You are on page 1of 16

IMAM SHALAT BERJAMAAH

A. Pengertian Imam Shalat Berjamaah Imam Salat adalah seseorang yang ditunjuk untuk memimpin salat yang dilakukan secara bersama-sama (berjama'ah). Sedangkan Salat berjamaah adalah aktivitas salat yang dilakukan secara bersama-sama. Salat ini dilakukan oleh minimal dua orang dengan salah seorang menjadi imam (pemimpin) dan yang lainnya menjadi makmum. B. Syarat Imam Shalat Berjamaah Syarat untuk menjadi seorang imam shalat yang layak telah ditetapkan oleh para ulama berdasarkan nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah sebagai berikut: 1. Muslim. 2. Akil. Orang gila dan tidak waras tidak syah bila menjadi imam. 3. Baligh. Jumhur ulama termasuk di antaranya Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan AlHanabilah sepakat bahwa anak kecil yang belum baligh tidaksyah bila menjadi imam shalat fardhu di depan jamaah yang sudah baligh. Hal itu berdasarkan hadits Nabi SAW. "Janganlah kalian jadikan anak kecil sebagai imam shalat." Namun bila shalat itu hanyalah shalat sunnah seperti tarawih, bolehlah anak kecil yang baru mumayyiz tapi belum baligh untuk menjadi imam shalat tersebut. Kecuali pendapat terpilih dari kalangan Al-Hanafiyah yang bersikeras tentang tidak syahnya anak kecil yang belum baligh untuk menjadi imam dalam shalat apapun. 4. Laki-laki. Seorang wanita tidak syah bila menjadi imam shalat buat laki-laki menurut jumhurul ulama. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Dan tempatkan mereka di belakang sebagaimana Allah SWT menempatkan mereka." Dan juga berdasarkan hadits dari Jabir yang hukumnya marfu', "Janganlah seorang wanita menjadi imam buat lakilaki." 5. Mampu membaca Al-Quran dengan fasih. Syarat ini berlaku manakala ada di antara makmum yang fasih membaca Al-Quran. Maka seharusnya yang menjadi imam adalah orang yang paling baik bacaannya. Sebab imam itu harus menanggung bacaan dari para makmum, sehingga bila bacaan imam rusak atau cacat, maka cacatlah seluruhnya.

6.

Selamat dari Uzur. Seperti luka yang darahnya masih mengalir, atau penyakit mudah keluar kencing (salasil baul), mudah buang angin (kentut). Sebab orang yang menderita hal-hal seperti di atas pada hakikatnya tidak memenuhi syarat suci dari hadats kecuali karena ada sifat kedaruratan saja. Ini adalah pendapat dari kalangan Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah serta sebagian dari riwayat As-syafi'iyah. Adapun mazhab Al-Malikiyah dan sebagian riwayat dari As-syafi'iyah tidak menjadikan masalah ini sebagai syarat bagi seorang imam shalat.

7. Mampu melaksanakan rukun-rukun shalat dengan sempurna. Seseorang yang tidak mampu shalat dengan berdiri, dia boleh shalat sambil duduk, namun tidak syah bila menjadi imam untuk makmum yang shalat sambil berdiri karena mampu. Ini adalah pendapat jumhur ulama kecuali As-syafi'iyah. 8. Selamat dari kehilangan satu syarat dari syarat-syarat shalat. Misalnya kesucian dari hadats dan khabats. Maka tidak syah shalat seorang makmum yang melihat bahwa imamnya batal atau terkena najis saat menjadi imam. Apa yang kami sebutkan di atas adalah syarat minimal yang harus ada untuk seorang imam shalat jamaah. Namun masih ada kajian tentang siapa saja yang paling berhak untuk menjadi imam. Insya Allah SWT pada kesempatan mendatang akan kami bahas juga. (sumber: Lihat Al-Mausu'ah AlFiqhiyah) C. Adab Imam dan Makmum dalam Shalat Berjamaah Seorang muslim yang baik, senantiasa berupaya untuk menyempurnakan setiap amalnya, karena hal itu merupakan bukti keimanannya. Kesempurnaan pelaksanaan shalat berjama'ah merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Persatuan dan kesatuan umat Islam terlihat dari lurus dan rapatnya suatu shaf (dalam shalat berjama'ah), sebagaimana yang disabdakan oleh Raslullh shallallhu 'alaihi wasallam:

Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allh akan memecah belah persatuan kalian.

Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Adab-adab Imam dan kedua, Adab-adab Makmum. Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Raslullh shallallhu 'alaihi wasallam dan juga Khulafa Ar Rasyidin radhiyallhu'anhum setelah beliau shallallhu 'alaihi wasallam wafat. Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Raslullh shallallhu 'alaihi wasallam, Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat, kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya. Akan tetapi dalam hal ini manusia berada di dua ujung pertentangan. Pertama, menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi imam. Dan yang kedua, sangat disayangkan masjid pada masa sekarang ini telah sepi dari para imam yang bersih dan berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan ahli ilmu kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allh. Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca Al Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang sebuah hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan. Secara tidak langsung, para imam seperti ini menjauhkan orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang penting ini. Hingga, sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum muslimin sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria kelayakan syarat-syarat menjadi imam. Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermuamalah dengan riba, menipu dalam bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di atas.

Berikut ini, akan dijelaskan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya. 1. Menimbang diri, apakah dirinya layak menjadi imam untuk jamaah, atau ada yang lebih afdhal darinya? Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syariat. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah: Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam. Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib. Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Qur'an dan lebih alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri radhiyallhu'anhu. Raslullh shallallhu 'alaihi wasallam bersabda:

Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum,

ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya.

Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jamaah tidak menyukainya. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu radhiyallhu'anhu disebutkan:

Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya...

Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullh: Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orangorang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang

lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya. Kebanyakan, kebencian yang timbul terkhusus pada zaman sekarang ini berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allh, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allh. (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya tanpa sebab atau karena sebab agama agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya. Berkata Ahmad dan Ishaq: Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum. 2. Seseorang yang menjadi imam harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat, Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam yang sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan Allazi jaamaa maalaw wa addadah, dengan memanjangkan Ja, sehingga artinya berubah dari arti mengumpulkan harta, menjadi menyetubuhinya. 3. Mentakhfif shalat. Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jamaah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-

sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan. Di antara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallhu'anhu :

Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya. Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syariat atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah bagi imam mencontoh yang dilakukan Nabi shallallhu 'alaihi wasallam, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau shallallhu 'alaihi wasallam dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum. 4. Kewajiban imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi shallallhu 'alaihi wasallam mengerjakannya. Dari Numan bin Basyir radhiyallhu'anhu berkata: Adalah Raslullh shallallhu 'alaihi wasallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau.

Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:

Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allh akan memecah-belah persatuan kalian. Adalah Umar bin Khattab radhiyallhu'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata, Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan! Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang, Rapat dan luruskan shaf, kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?! Anas bin Malik radhiyallhu'anhu berkata: Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya. Dalam satu riwayat disebutkan, Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen). Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas radhiyallhu'anhu, Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya, Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Raslullh shallallhu 'alaihi wasallam? Beliau menjawab, Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf. Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan hafizhahullah: Jika para jamaah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Numan radhiyallhu'anhuma, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan,

tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syariat. Diantaranya: Membiarkan celah untuk syetan dan Allh Ta'la putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallhu'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallhu 'alaihi wasallam bersabda, Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allh akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allh akan memutus (urusan)nya. Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jamaah. Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Raslullh shallallhu 'alaihi wasallam:

Sesungguhnya Allh dan MalaikatNya mendoakan orang yang menyambung shaf.

5. Meletakkan orang-orang yang telah baligh dan berilmu di belakang imam. Sebagaimana yang disabdakan oleh Raslullh shallallhu 'alaihi wasallam :

Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar. 6. Membuat sutrah (pembatas) ketika hendak shalat. Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiyallhu'anhu:

Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia, sesungguhnya bersamanya jin. Sedangkan dalam shalat berjamaah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama. Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau shallallhu 'alaihi wasallam bersabda, Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut. Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata:

Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun. 7. Menasihati jamaah, agar tidak mendahului imam dalam ruku atau sujudnya, karena (seorang) imam dijadikan untuk diikuti. Imam Ahmad berkata: Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku atau sujud. Janganlah mereka ruku dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukan) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta

memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya. 8. Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku agar memanjangkan sedikit rukunya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu rakaat, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.

Dalam shalat berjamaah, di antara syarat-syarat bermakmum adalah seorang imam

haruslah qari', yaitu orang yang mampu membaca al-Quran dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan tajwid. Seseorang tidak boleh bermakmum kepada orang yang ummi, yaitu orang yang buta huruf atau tidak mampu melafadzkan Al Qur'an dengan dengan fasih atau masih sering terjadi kesalahan (Al Lakhnu). Terlebih lagi, seorang qari' tidak boleh bermakmum kepada orang ummi.

Sebagaimana Hadits Dari Abu Masud Al-Anshari, bahwa dia menuturkan: Rasulullah SAW bersabda:


Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan AlQurannya.[*] Kalau di dalam Al-Quran kemampuannya sama, dipilih yang paling faham tentang ajaran sunnah. Kalau di dalam sunnah juga sama, dipilih yang lebih dahulu berhijrah. Kalau di dalam berhijrah juga sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang mengimami orang lain di dalam wilayah kekuasaannya, dan janganlah dia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa seizinnya. (HR.Muslim,MusnadAhmad)

Keterangan: (*) Yang paling banyak hafalannya dan paling bagus mutu bacaannya (Tajwid dan Tilawahnya)

Termasuk dalam kategori orang ummi yang tidak boleh dijadikan imam, adalah: 1. Fasid ( ;)yaitu orang yang bacaan al-Fatihahnya tidak benar, baik keseluruhan maupun sebagian, ataupun hanya 1 (satu) huruf saja. (Hasyiyah 'Ianatuth Thalibiin -Ad-Dimyati: 43) 2. Arott ( ;)yaitu orang yang bacaannya bisa menyebabkan pergantian suatu huruf. Misalnya, ia meng-idghamkan huruf yang tidak semestinya sehingga mengganti atau merubah redaksi kata, seperti kata ( )menjadi ( )dengan mengganti sin dengan ta' karena idgham. Lain halnya dengan orang yang hanya meng-idgham-kan saja tanpa mengganti huruf, seperti mentasydid huruf lam atau kaf pada kata ( ,)maka ia bukan termasuk Arott. 3. Altsagh (- )Altsagh lebih umum daripada Arott- yaitu orang yang mengganti suatu huruf dengan huruf lain ( ,)baik pergantian huruf itu disertai idgham ataupun tidak. ((Hasyiyah

'Ianatuth Thalibiin -Ad-Dimyati: 44) Misalnya, bacaan kata ( )menjadi ( )dengan mengganti huruf sin menjadi tsa', atau kata ( )menjadi ( )yaitu dengan mengganti huruf dal menjadi dzal atau terbaca "dhin". (Nihayah az-Zain Imam Nawawi Al-Bantani, 1995:116).

4. Rakhwah ( ;)yaitu orang yang lisannya tidak dapat mengucapkan tasydiid. Ia tidak boleh menjadi imam. (Kifayatul Akhyaar -Al-Husaini, 1994:110) Adapun seseorang bermakmum kepada orang yang ta-ta (bacaannya selalu mengulang-ulang ta') atau orang fa'-fa' (bacaannya selalu mengulang fa) maka hukumnya adalah makruh.[Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi'i, Tuhfah al-Muhtaj]

Kecuali, jika bacaan si makmum dan Imamnya sama-sama lakhn, maka shalatnya tetap sah dan kasus ini termasuk dharurat.

Jika makmum meragukan atau tidak mengetahui kemampuan imamnya, maka ia boleh tetap bermakmum kepada imam tersebut hanya pada shalat sirriyah (dhuhur dan ashar) saja. Jika makmum tetap mengikuti imam yang ia ketahui bacaannya lakhn (salah) pada shalat jahriyah (subuh, maghrib dan isyak), maka si makmum harus mengulang shalatnya. (Nihayah az-Zain Imam Nawawi Al-Bantani, 1995:116).

Sabda Rasulullah SAW dari Ubadah bin Shamit: Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah. (HR. Al-Bukhari)

DAFTAR PUSTAKA

Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149. Kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al Salman, halaman 249. http://jatiqo.com/index.php?option=com_content&task=view&id=55&Itemid=42 (Diakses tanggal 25 mei 2012 ) http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_shalat (Diakses tanggal 25 mei 2012 ) http://petanidakwahmenulis.blogspot.com/2009/09/syarat-yang-harus-terpenuhi-untuk.html (Diakses tanggal 25 mei 2012 )

IMAM SHALAT BERJAMAAH

Disusun oleh : Nama NIM : Fauzan Al Ikhsan : 09222077

Mata kuliah Dosen Pembimbing

: Pembekalan KKN : DR. Zaenal Berlian. BA

FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN TADRIS BIOLOGI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG 2012

PENDAHULUAN

Imam sholat berjamaah adalah seorang yang memimpin sholat bejamaah dalam pembelajaran pembekalan kkn mahasiswa mampu dituntut untuk dapat menjadi seorang imam agar pada saat terjun ke lapangan mahasiswa sudah menguasainya. Oleh karena itu di dalam makalah dijelaskan seluk beluk menjadi imam dan pernerapannya di dalapangan

You might also like