You are on page 1of 27

A.

Pendahuluan Hal yang dipelajari dalam Ilmu Hadits Dirayah adalah pembahasan tentang kaidah-kaidah yang membantu untuk membedakan antara hadits yang shahih, yang disandarkan kepada Nabi saw, dan hadits diragukan penyampaiannya kepada beliau. Ilmu yang berkaitan dengan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadits itu bersambung sanadnya atau tidak, dan para perawinya termasuk orangorang yang terpercaya atau tidak. Sedangkan ilmu yang berkaitan dengan matan akan membantu kita mengetahui informasi yang terkandung di dalam hadits apakah berasal dari nabi atau tidak dan berhubungan dengan dalil atau tidak. Setiap pengenalan dan pembedaan terhadap nilai suatu hadits, harus dibina oleh ilmu pengetahuan tentang hal ihwal rawi, mengenai keadilannya, hafalannya,, kelemahannya, dan sebagainya. Dengan mengetahui itu kita akan bisa menentukan kualitas suatu hadits, apakah maqbul (diterima) atau mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut matannya maupun sanadnya.

B. Pembagian Hadits Secara Kualitas Hadits bila ditinjau dari kuantitasnya, berarti memandang jumlah rawi yang meriwayatkannya. Sedangkan bila ditinjau dari kualitasnya, maka memandang mutu dari rawi maupun matannya. Kedua tinjauan ini masih mempunyai hubungan. Jika hadits mutawatir sudah memberi faidah yaqin bil qathI, berbeda jika hadits ahad yang memberi faidah dhanny (prasangka yang kuat akan kebenarannya). Maka di sini mengharuskan penelitian terhadap para rawi beserta matan hadits ahad tersebut. Sehingga nantinya akan diketahui apakah hadits itu bisa maqbul dengan terpenuhinya semua persyaratan yang telah ditentukan; atau mardud apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi.1 Jumhur muhadditsin membagi hadits secara kualitasnya menjadi tiga: 1. Hadits shahih 2. Hadits hasan 3. Hadits dhaif2 Dari pembagian itu, menurut jumhur muhadditsin, yang termasuk maqbul3 adalah hadits shahih dan hasan. Sedangkan hadits dhaif adalah mardud. Imam

1 2

Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, (Bandung: Al Maarif, 1974), 94. Ibrahin al Lahim, Syarah Ikhtishar Ulum al Hadits, (t. tp: Maktabah Asy Syamilah, t. t), 22. 3 Hadits maqbul sendiri terbagi menjadi dua: mamul bihi dan ghairu mamul bihi. Memgenai macammacamnya, akan disebutkan pada pembahasan di Hukum Hadits Shahih.

Turmudzi, adalah ulama pertama yang membagi hadits ke dalam tiga jenis tersebut. Sebelumnya, taqsim hadits hanya terbagi menjadi dua, maqbul (shahih) dan mardud (dhaif). Dengan cara adanya jalan lain pada suatu hadits dhaif, Imam Turmudzi menggolongkannya ke dalam hadits hasan.

C. Hadits shahih 1. Pengertian Secara bahasa yaitu lawan dari kata saqim (yang berpenyakit), yaitu hakekat pada badan dan majas (personifikasi) dalam hadits dan dalam makna-makna lain. Atau bermakna sah dan benar.4 Sedangkan sacara istilah, menurut muhadditsin, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah:

. ,
Hadits yang sanadnya bersambungan, dinukilkan (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya, tidak berillat dan juga tidak syadz (janggal). Dari pengertian di atas, dapat diketahui syarat hadits shahih menurut jumhur muhadditsin adalah: a. Sanadnya tidak terputus b. Rawinya adil. c. Rawinya dhabit (sempurna ingatannya). d. Tidak ada illat. e. Tidak janggal. Menurut jumhur muhadditsin, suatu hadits dinilai shahih tidak tergantung banyaknya sanad. Tetapi cukup jika sanadnya dan matannya shahih meskipun perawinya hanya seorang. Ibnu Shalah berpendapat, seandainya ada perselisihan di antara para muhaddits tentang keshahihan suatu hadits, bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri, melainkan karena adanya perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut, atau karena adanya perselisihan dalam mensyaratkan sifat-sifat tersebut.
4

Mahmud Thahhan, Taisiru Mushthalahul Hadits, (Surabaya: Al Hidayah, t. t.), 34.

2. Syarat Hadits Shahih a. Sanadnya tidak terputus Maksudnya ialah perawi-perawinya dari sanad hadits tersebut benar-benar meriwayatkan dari rawi sebelumya, mulai dari sanad pertama sampai sanad terakhir yang menuju ke Nabi saw. b. Rawinya adil. Yang dimaksud dengan adil disini adalah rawi hadits tersebut harus seorang muslim, mukallaf (akil baligh), serta selamat dari sesuatu yang menjadikan dia seorang fasiq dan sebab-sebab yang dapat mencecatkan kepribadiannya (muruah).5 Menurut jumhur muhaddits, keadilan dalam periwayatam hadits lebih umum daripada adil dalam persaksian (syahadah). Jika dalam syahadah membutuhkan dua orang saksi laki-laki dan juga merdeka, maka dalam periwayatan hadits cukup seorang, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka atau pun budak. Adapun yang dapat mempengaruhi muruah adalah sebagai berikut: 1) Mengerjakan dosa kecil yang bisa menodai agama dan sopan santun. 2) Mengerjakan perkara mubah yang dapat mengakibatkan penyesalan dan jauh dari kemulyaan, seperti kencing di jalan. c. Rawinya dhabit (sempurna ingatannya). Ialah orang yang kuat ingatannya. Maksudnya bahwa ingatnya lebih banyak daripada lupanya,dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Ibnu Hajar membagi dhabit menjadi dua: 1) Dhabit shadr, yaitu apabila orang itu ingatannya kuat, sejak dari menerima sampai menyampaikan hadits tersebut kepada orang lain kapan saja. 2) Dhabit kitab, yaitu jika hafalan yang kuat seseorang itu dari kitabnya yang terjaga setelah ia mendengarkan atau menerima suatu hadits.6 Jadi, dhabit itu terkumpul beberapa hal: 1) Tidak pelupa

5 6

Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ushul al Hadits, (Beirut: Dar al Fikr), 40. Mahmud Thahhan.,et. al., Mujam al Mushthalah al Haditsiyah, (t.tp: Al Maktabah Syamilah, t.t.), 28.

2) Hafal terhadap apa yang didektekan kepada muridnya, bila ia memberi hadits dengan hafalan; dan terjaga kitabnya dari kelemahan, biloa ia meriwayatkan dari kitabnya. 3) Menguasai apa yang diriwayatkan dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud, bila ia meriwayatkan menurut maknanya saja. d. Tidak ada illat. Yaitu sejahtera dari suatu penyakit samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits, baik pada matannya maupun sanadnya. Seperti, jika pada sanadnya, meriwayatkan hadits secara muttashil terhadap hadits mursal (yang gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits yang munqathi (yang gugur salah seorang rawinya). Dan jika pada matannya, seperti menyisipkan suatu lafadz pada matan hadits. e. Tidak janggal (syadz). Yaitu adanya perbedaan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (rawi yang adil dan dhabit) dengan hadits yang rawinya lebih kuat disebabkan oleh kelebihan dhabitnya, atau jumlah sanad yang lebih banyak, atau adanya segi-segi tarjih yang lain.7

3. Klasifikasi Hadits Shahih Hadits shahih terbagi menjadi dua: shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi.8 a. Shahih li dzatihi Yaitu hadits yang sandnya bersambungan, dinukilakan oleh rawi yang adil dan dhabit, dan tiada syadz dan juga illat dalam matannya. Secara lebih mudahnya, semua hadits yang memenuhi persyaratan hadits shahih disebut hahits shahih li dzatihi. Seperti yang terdapat dalam shahih Bukhari


Hadits ini shahih karena:

7 8

Nuruddin, Manhaj an Naqd fi Ulum al Hadits, (Damaskus: Dar al Fikr, 1997), 243. Abu Sanad Muhammad, Mausuah, (t.tp: Maktabah As Syamilah, t. t.), 12.

1) Sanadnya bersambungan. Kesemua rawinya meriwayatkan apa yang mereka dengar dari gurunya yang sampai ke Nabi. 2) Rawi-rawinya adil dan dhabit. Para ulama berpendapat bahwa Abdullah bin Yusuf adalah seorang yang diyakini tsiqahnya; malik bin Anas adalah seorang yang hafidz, dapat menjaga hafalannya; Ibn Syihab Az-Zuhri adalah seorang faqih lagi hafidz yang telah disepakati; Muhammad bin Jabir adalah seorang yang tsiqah; dan Jubair bin Muthim adalah seorang sahabat Nabi. 3) Tidak ada syadz padanya, karena belum ada hadits yang lebih kuat. 4) Tidak ada illat di dalamya.9 b. Shahih li ghairihi. Adalah hadits hasan li dzatihi (akan diterangkan di bawah) yang didapati riwayat yang lain, yang serupa atau yang lebih kuat, sehingga dapat menutupi kekurangan hadits hasan li dzatihi tersebut (perawinya kurang dhabit). Contoh:

:
Muhammd bin Amr bin Alqamah adalah seorang yang terkenal dengan kejujurannya dan juga dalam menjaga hadits. Tetapi beliau tidak dhabit. Maka hadits ini adalah hadits hasan li dzatihi. Tetapi karena hadits tersebut mempunyai jalan sanad yang lain, maka naiklah derajat hadits tersebut ke hadits shahih li ghairihi.10

4. Tingkatan Hadits Shahih Tingkatan hadits shahih tergantung pada tingkat keadilan dan kedhabitan rawinya. Hadits shahih yang paling tinggi derajatnya adalah yang bersanad ashahhul asanid. Adapun kriteria ashahhul asanid itu sendiri para ulama berbeda pendapat. Sebagian Muhaddits memperbolehkan menggunakan ashahhul asanid secara mutlak. Namun Imam Nawawi da Ibn Shalah tidak setuju menilai suatu sanad hadits dengan ashahhul asanid, atau pun menilai matan dengan ashahhul hadits, secara mutlak. Menurut mereka, penilaian itu hendaknya dikhususkan kepada sahabat
9

10

Mahmud Thahhan, Taisiru Mushthalahul Hadits, (Surabaya: Al Hidayah, t. t.), 36. Ibid., 51.

tertentu, misalnya ashahhul asanid dari Abu Hurairah ra; atau dikhususkan pada penduduk daerah tertentu, misalnya ashahhul asanid dari penduduk Mekah; atau dikhususka pada masalah tertentu, seperti ashahhul hadits dalam bab wudhu. Contoh ashahhul asanid yang ditentukan adalah: a. Shahabat tertentu. 1) Umar bin Khattab, ialah yang diriwayatkan oleh Ibn Syihab Az-Zuhri dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya (Abdullah bin Umar) dari kakeknya (Umar bin Khattab) 2) Ibn Umar ra, ialah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi, dari Ibn Umar ra. 3) Abu Hurairah ra, yang diriwayatkan Ibn Syihab Az-Zuhri dari Ibn AlMusayyab dari Abu Hurairah ra. b. Penduduk kota 1) Kota Mekah, ialah yang diriwayatkan oleh Ibn Uyainah dari Amr bin Dinar dari Jabir bin Abdillah ra. 2) Kota Madinah, ialah yang diriwayatkan oleh Ismail bin Abi Hakim daribidah bin Abi Sufyan dari Abu Hurairah ra.

Contoh ashahhul asanid yang muthlaq: a. Menurut Imam Bukhari, yaitu Malik bin Anas bin Nafi bin Umar ra. b. Menurut Imam Ishaq bin Rahawiyah dan Imam Ahmad, yaituaz-Zuhri dari Salim bin Abdullah bin Umar ra. c. Menurut madzhab Ali bin Al-Madini dan Amr bin Al-Falas, yaitu Muhammad bin Sirin dari Ubaidah dari Ali bin Abi Thalib. d. Menurut Imam Yahya bin Muin, yaitu amasy dari Ibrahim bin Yazid dari Alqamah dari Qois dari Abdullah bin Masud.11

Setelah itu, berturut-turut tingkatan hadits shahih adalah sebagai berikut: a. Hadits yang muttafaqun alaih atau muttafaqun ala shihhatihi. Yaitu hadits yang disepakati oleh kedua imam hadits, Imam Bukhari dan Imam Muslim, tentang sanadnya. Jika kedua imam tersebut meriwayatkan hadits yang sama namun sanadnya berlainan, maka tidak lazim disebut muttafaqun alaih.

11

Sebagaimana dikutip oleh Fathur Rahman, dari kitab Syarh Alfiah as-Suyuthi, karangan Muhyiddin Abdul Hamid, hal. 12 s.d. 22.

b. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, sedangkan Imam Muslim tidak meriwayatkannya. Biasanya, hadits ini disebut infirada bihi Al-Bukhari. c. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sedangkan Imam Bukhari tidak meriwayatkannya. Biasanya, hadits ini disebut infirada bihi Al-Muslim. Hadits yang shahih menurut syarat-syarat Imam Bukhari dan Imam Muslim, sedangkan keduanya tidak meriwayatkannya. Yang dimaksud syarat-syarat Bukhari dan Muslim ialah, rawi-rawi hadits yang dikemukakan itu terdapat dalam kitab kedua imam tersebut. d. Hadits yang shahih menurut syarat Imam Bukhari. Maksudnya, rawi-rawi yang menjadi sanad hadits yang ditakhrij tersebut, terdapat dalam kitab shahih Bukhari. e. Hadits yang shahih menurut syarat Imam Muslim. Maksudnya, rawi-rawi yang menjadi sanad hadits yang ditakhrij tersebut, terdapat dalam kitab shahih Muslim. f. Hadits yang tidak dishahihkan oleh kedua imam tersebut, tetapi dishahihkan oleh imam-imam kenamaan, seperti Shahih Ibn Khuzaimah dan Sunan al Arbaah (An-Nasai, Abu Dawud, At-Turmudzi, Ibn Majah).12 Faedah pembagian derajat-derajat ini adalah untuk mentarjih bila suatu hadits terdapat taarudl (perlawanan) dengan hadits lain.

5. Istilah Hadits Shahih Pada Kitab-Kitab Hadits a.


Hadits yang dinilai seperti ini mempunyai rentetan sanad yang lebih shahih.

b.


Sanad hadits ini perlu diselidiki lebih lanjut karena ada pertentangan tentangnya. Hadits ini belum segera dapat diamalkan sampai memperoleh bantuan dari hadits lain.

c.


Hadits ini shahih sanadnya, tapi tidak berarti shahih matannya, dikarenakan adanya illat atau pun syadz pada matannya. Namun, apabila ahli hadits mutamad (yang bisa dipegangi) mengatakan shahihul isnad tanpa menyebutkan illatnya, maka jelaslah keshahihan

12

Abu Sanad Muhammad, Mausuah, 50.

matannya. Karena pada dasarnya dan kenyataannya tak perlu disebutkan illatnya. d.


Hadits ini sudah bersambungan sanadnya dan memenuhi semua syarat hadits shahih. Istilah ini tidak memberi pengertian harus diterima secara qathi. Sebab mungkin saja hadits tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Demikian juga jika dikatakan,

. Hal ini bukan berarti bahwa

hadits itu dhaif yang harus ditolak. Maknanya adalah tidak shahih sanadnya, menurut syarat-syarat shahih. Bukan diyakini bahwa matan hadits itu dusta. e. f.


Kebanyakan istilah ini terdapat dalam kitab mustakhraj, mengandung arti bahwa hadits yang ditulis oleh mustakhrijnya terdapat dalam shahih bukhari dan shahih muslim.

g. h.


Istilah ini terdapat digunakan oleh imam turmudzi. Ibnu hajar menjelaskan, yang juga didukung oleh As-Suyuthi, ada dua kemungkinan: 1) Hadits itu mempunyai dua sanad, yang pertama bernilai hasan dan yang kedua bernilai shahih. (Ibnu Shalah lebih setuju dengan alasan ini). 2) Apabila hanya mempunyai satu sanad, maka bernilai hasan menurut sebagian kaum dan bernilai shahih menurut kaum yang lain. Selain dua pendapat di atas, sebagia ulama memberi pendapat bahwa di antara kedua kalimat itu ada uruf yang dibuang, yaitu au (atau). Sehinnga, hadits itu hanya mempunyai satu sanad dan ada perbedaan ulama dalam menilainya, sebagian menilai hasan dan sebagiannya lagi menilai shahih.13

i.


Menurut Ibn Shalah dan al-Buqiny, istilah itu sama dengan dalam Sunan at-Turmudzi terdapat istilah dengan

. Di
yang artinya sama

.
8

13

Fathur Rahman, Ikhtishar, 108.

Ibn Hajar tidak setuju apabila istilah jayyid

itu disamakan dengan shahih,

kecuali bila awal hadits tersebut hasan li dzatihi naik derajatnya menjadi shahih li ghairihi. j.


Pengarang At-Tadrib mengatakan, bahwa hadits ini dapat diterapkan penggunaanya pada hadits shahih dan hasan.14

6. Hukum Hadits Shahih Hukum beramal dengan hadits shahih, baik shahih dzatihi maupun shahih li ghairihi, menurut Ijma Ahli Hadits dan fuqaha adalah wajib. Namun, tetap ada perbedaan di antara ulama dalam membina hukum dengan hadits shahih, di antaranya: a. Dalam menanggapi hadits shahih yang ahad. 1) Hadits shahih ahad yang memfaedahkan yakin (untuk dijadikan hujjah hukum), yaitu jika hadits itu dishahihkan oleh Imam Bukhari dan atau Imam Muslim. Inilah yang dipegang oleh Ibn Shalah. 2) Pendapat Ibn Thahir Al-Maqdisi, hadits shahih ahad yang memfaedahkan yakin (untuk dijadikan hujjah hukum), walaupun hadits itu tidak dishahihkan oleh Imam Bukhari Muslim. 3) Hadits shahih ahad yang dishahihkan oleh Imam Bukhari Imam Muslim dan hadits shahih yang masyhur dan yang musalsal dengan kedua imam itu, berfaedah meyakinkan. Demikianlah pendapat Ibn Hajar. An-Nawawi berpendapat, jika hadits ahad yang shahih tidak berfaedah yakin, tapi dhan. b. Menyepakati bahwa semua hadits shahih itu wajib diamalkan, meskipun tidak diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim. c. Al Ilamah Shiddiq Hasan Khan dalam Husunul Makmul mengatakan, bahwa hadits shahih tidak dapat ditentang oleh perbuatan kebanyakan ulama yang menyalahinya, karena perbuatan ulama itu bukanlah hujjah. d. Hadits shahih harus diterima walaupun tidak diamalkan oleh seseorang. As Syafii setuju dengan pendapat ini

14

Hasbi Ash-Shiddiqi, Pokok-pokok Dirayah Hadits, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,1987), 176. Sebagai mana dikutip dari Tadrib al-Rawi hal 58.

Ulama yang mengatakan hadits shahih wajib diamalkan dan dijadikan hujjah, menentukan selama hadits shahih tersebut maqbul yang mamul bihi. Di antara macam hadits maqbul yang mamul bihi adalah: 1) Hadits muhkam, yaitu hadits yang tidak ada perlawanan dari hadits lain, dan tanpa ada syubhat sedikit pun. 2) Hadits mukhtalif (berlawanan) yang bisa dikompromikan. Kedua hadits ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan kedua-duanya. 3) Hadits nasikh. 4) Hadits rajih. Sedangkan hadits maqbul yang ghairu mamul bihi antara lain: 1) Hadits mutawaqqaf alaih, yaitu hadits yang berlawanan dengan yang lain yang tak dapat ditarjihkan dan tak dapat diketahui mana yang lebih dahulu dan yang kemudian. 2) Hadits mansukh. 3) Hadits marjuh.15

7. Sumber-Sumber Hadits Shahih Imam An-Nawawi mengatakan, bahwa permulaan kitab yang disusun untuk diisi dengan hadits shahih saja ialah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.kedua kitab itu adalah seshahih-shahihnya kitab setelah Al-Quran. Selain kitab dua itu, hadits shahih juga banyak terdapat di dalam kitab sebagai berikut: a. Al Muwatho Ibn Malik. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebenarya Ibn Malik lah orang pertama yang menyusun kitab hadits shahih. Awalnya ada yang menganggap dalam kitab beliau terdapat hadits mursal, muqanthi, dan mudhal. Namun, menurut As-Suyuti dan Ibn Abu Barr, semua hadits itu sudah ada penguatnya sehingga maushul. b. Shahih Ibn Khuzaimah. c. Shahih Al-Hafidz Abu Hatim Al-Busti Ibn Hibban. d. Al Mustadrak Abu Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi e. Kitab-kitab Mustakrajat, yaitu apabila ulama mengambil hadits dari suatu kitab hadits, dengan meriwayatkan kembali hadits-hadits dalam kitab itu dengan
15

Hasbi As Shiddiqie, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits,(Jakarta: Bulan Bintang, 1958), I: 106.

10

sanadnya sendiri. Di antara kitab mustakhraj adalah: Mustakhraj li Abi Bakr AlIsmailiy ala Al Bukhari; Mustakhraj li Abi Awanah Al-Asfaroiniy ala Muslim; Mustakhraj li abinuim Al Ashbahany ala Kulli Minhuma.16

D. Hadits Hasan 1. Pengertian Secara bahasa, hasan berarti bagus. Para ulama muhadditsin berbeda pendapat dalam mentarifkan hadits hasan. Hal ini tentunya mempunyai pengaruh yang berlainan. At-Turmudzi mendefinisikan sebagai berikut: Ialah hadits yang pada sandnyatidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak ada kejanggalan pada matannya da hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang maknanya sepadan.17 Al Khattabi mendefinisikan sebagai berikut: Ialah hadits yang dikenal makhrajnya dan masyhur orang-orangnya (rawinya), sebagian besar ulama menerimannya dan diamalkan oleh fuqaha pada umumnya.18 Adapun definisi dari jumhur muhadditsin sebagai berikut:


Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil, (tapi) tidak begitu kuat ingatannya, bersambungan sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan (pada matannya). Dari definisi umhur muhadditsin, syarat hadits hasan adalah: a. Rawinya adil. b. Kedhabitan rawinya tidak kuat c. Sanadnya bersambungan. d. Tidak syadz. e. Tidak illat. Jika melihat syarat hadits hasan di atas, maka tampaklah perbedaan hadits shahih dan hadits hasan. Yaitu pada hadits hasan tingkat dhabit rawinya lebih rendah

16 17

Ibrahin al Lahim, Syarah Ikhtishar Ulum al Hadits, (t. tp: Maktabah Asy Syamilah, t. t), 36. Al Hadits al Hasan baina al Had wa al Hujjiyah, (t. tp: Maktabah Syamilah), 24. 18 Hatim As Syarif, Mashadir as Sunnah wa Manahij Mashanifiha. (Maktabah Syamilah), 29 Mahir Yasin Al Fahal, Muhadhirat fi Ulum Al Hadits (Maktabah Syamilah), 11.

11

jika dibandingkan dengan hadits shahih. Sedangkan syarat-syarat lain dari hadits shahih masih diperlukan dalam syarat hadits hasan.19

2. Klasifikasi Hadits Hasan Hadits hasan terbagi menjadi dua macam: a. Hadits hasan li dzatihi Ibn shalah memberikan definisi yaitu hadits yang perawinya terkenal jujur dan amanah; tetapi hafalan dan kebagusan hafalannya tidak mencapai derajat perawi hadits shahih. Dalam pada itu dia tidak termasuk dalam gilngan orang yang dipandang munkar haditsnya. Boleh dikatakan hadits hasan li dzatihi adalah hadits yang sudah memenuhi persyaratan hadits hasan. Dan inilah yang dimaksud ole al khattabi dalam tarifnya, dengan ditambah tidak illat dan tidak munkar. Hadits ini, bila mempunyai jalan yang lain atau mempunyai mutabi, maka derajatnya naik ke shahih li ghairihi.20 Contoh hadits hasan li dzatihi dalam riwayat Imam Turmudzi: :

: " ) (
Hadits di atas bernilai hasan karena keempat perawinya adalah rawi yang tsiqah, kecuali Jafar bin Sulaiman. b. Hadits hasan li ghoirihi Definisi Ibn Shalah, yaitu hadits yang sanadnya tidak sepi dari orang yang mastur (tidak diketahui keahliannya), bukan pelupa yang beanyak salahnya, tidak nampak adanya sebab yang menjadikannya fasik, dibantu oleh perawi mutabar baik merupakan mutabi atau syahid, dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan semisal atau semakna dari segi yang lain. Inilah yang dimaksud Imam Turmudzi dalam tarifnya tentang hadits hasan.

19 20

Al Hadits al Hasan baina al Had wa al Hujjiyah, (t. tp: Maktabah Syamilah), 24. Hasbi As Shiddiqie, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits,(Jakarta: Bulan Bintang, 1958), I:164.

12

Menurut tarif tersebut, hadits hasan li ghoirihi adalah hadits dhaif ( yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, tidak banyak salah dan bukan orang fasik) yang mempunyai mutabi atau syahid.21 Hadits dhaif yang dikarenakan buruk hafalannya, tidak dikenal identitasnya (mastur) dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik menjadi hasan li ghairihi karena dibantu oleh hadit lain semisal dan semakna, atau karena banyak yang meriwayatkannya. Adapun jika hadits itu dhaif dikarenakan rawinya orang fasik, atau orang yang tertuduh dusta, menurut jumhur muhaddits tidak dapat naik menjadi hasan li ghairihi, meskipun hadits tersebut banyak sanadnya tau disokong oleh hadits dhaif lain yang kedhaifannya karena rawinya fasik dan dusta juga. Misalnya hadits At-Turmudzi:


Dalam hadits di atas terdapat seorang rawi Ismail bin Ibrahim At-Taimy yang oleh para ulama didhaifkan. Dan Imam Ahmad ternyata juga meriwayatkan hadits yang sama tetapi dengan jalan yang berbeda. Snadnya yaitu Abdus Shamad dari Abdul Aziz bin Muslim dari Abu Yahya Ismail dari Yazid bin Abu Ziyad dari Abdur Rahman dari Bara dari Nabi saw. Jadi, dikarenakan hadits dhaif itu mempunyai penguat yang berupa jalan yang lain, maka naiklah ke derajat Hasan li ghairihi.22

3. Tingkatan Hadits Hasan. Tinggi rendahnya martabat/tingkat hadits hasan, terletak pada tingkat tingkat kedhbitan dan keadilan para rawinya. Hadits hasan yang paling tinggi tingkatannya ialah yang bersanad ahsanul asanid, yaitu: a. Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin Muawiyah) dari kakeknya (Muawiyah bin Haidah).
21 22

Ibid., 165. Sebagaimana dikutip dari kitab Alfiyah as-Suyuthi, Taliq Muhyiddin, hal 42. Mahmud Thahhan, Taisiru Mushthalahul Hadits, (Surabaya: Al Hidayah, t. t.), 51.

13

b. Amru bin Syuaib dari ayahnya (Syuaib bin Muhammad) dari kakeknya (Muhammad bin Abdillah bin Amr bin Ash) c. Ibnu Ishaq dari at-Timiy d. Dan lain-lain yang dapat digolongkan ke bagian serendah-rendahnya tingkatan shahih.23 Kemudian dibawahnya adalah hadits hasan li dzatihi dan yang terakhir hadits hasan li ghairihi.

4. Istilah-Istilah Hadits Hasan Pada Kitab Hadits a.


Artinya hadits ini sanadnya saja yang hasan, tidak sampai mencakup matannya.

b.


Hadits ini hasan, baik sanad maupun matannya.

c.


Istilah ini terdapat dalam sunan at-Tirmidzi. Ada ulama yang berpendapat bahwa maksud At-Tirmidzi denga perkataan itu ialah mengokohkan keshahihan hadits dengan naik dari derajat hasan ke derajat shahih. Ada juga sebagian ulama yang mengatakan maksud perkataan itu adalah hadits hasan li dzatihi dan shahih li ghairihi. Pendapat yang lain mengatakan bahwa hadits itu mempunyai dua sanad, dengan sanad yang pertama shahih, dan sanad yang kedua hasan.24

d.


Istilah ini juga terdapat dalam kitabnya Imam Turmudzi. Dalam menyikapi sebutan hadits hasan ini, sebagian ulama memberi pendapat bahwa di antara kedua kalimat itu ada huruf athaf , yaitu au. Dengan demikian, Imam Turmudzi masih meragukan apakah hadits itu hasan atau gharib.

e.


Hadits ini diartikan dengan hadits maknanya yang sangat menarik hati.

f.


Kedua istilah ini terdapat dalam kitab al-mashabih, krya al-baghawy. Yang beliau kehendaki dengan shahih, ialah segala hadits yang tercantum dalam kitab

23 24

Nuruddin, Manhaj, 266. Sebagai mana dikutip Hasbi as-Shiddiqi dari Alfiyah As-Suyuthi Taliq Muhyiddin, hal. 54.

14

shahih bukhari dan muslim; dan hisan adalah hadits-hadits yang tercantum dalam kitab sunan. g.


Istilah ini terdapat dalam sunan Abu Daud. Menurut pendapat beliau, hadits ini dapat digunakan hujjah, apabila disokong dengan hadits lain (hasan li ghairihi). Kalau tidak ada hadits yang lain menguatkannya, maka hanya dapat digunakan itibar (dhaif ghairu syadid).

h.


Istilah ini menerut para ahli hadits adalah yang mendekati hadits hasan.

5. Hukum Hadits Hasan. Setidaknya ada tiga pendapat mengenai hukum berhujjah dengan hadits hasan a. Menerima Jumhur fuqaha dan muhadditsin berpendapat hadits hasan menyamai hadits shahih tentang hukum mengamalkannya dan mengambil dalil dengannya, baik itu hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi. 25 Hal itu dikarenakan hadits hasan li dzatihi sangat dekat dengan shahih yang sebagian tingkatan sanadnya disamakan dengan hadits shahih. Sedangkan untuk hadits hasan li ghairihi, meskipun pada awalnya ia merupakan hadits dhaif tetapi sudah dikuatkan dengan jalan (sanad) lain yang tidak terdapat pertentangan di dalamnya. b. Meneliti terlebih dahulu. Ulama mutaakhirin lebih berhati-hati dalam beramal dengan hadits hasan karena hal itu sangat dekat dengan prasangka. Jika hadits shahih sudah dipastikan bisa diterima dan hadits dhaif tidak bisa, maka bagaimana dengan hadits hasan?26 Pengarang al-iqtiran mengatakan bahwa: Sesungguhnya hadits mempunyai beberapa sifat. Apabila didapatinya, wajiblah hadits itu diterima. Jika tidak didapati, maka wajiblah ditolak. Maka jika pada hadits yang dinamai hasan didapati padanya sifat-sifat yang karenanya wajib

25 26

Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-Hadits, 77. Al Hadits al-Hasan Baina al-Had wa al-Hujjiyah, 17.

15

diterima, jadilah ia hadits shahih, bukan hadits hasan. Jika tidak didapati sifatsifat itu, tidaklah boleh kita berhujjah dengannya walaupun dinamai hasan. c. Menolak Sebagian ulama menolak dengan tegas. Seperti yang diriwayatkan dari ibnu hatim:


Saya bertanya kepada ayahku tentang suatu hadits. Beliau menjawab, isnadnya hasan. Kataku,bolehkah kita berhujjah dengan dia? Beliau menjawab, tidak.27

6. Sumber-Sumber Hadits Hasan Para ulama belum menulis kitab yang berisi hadits hasan secara tersendiri, tetapi masih terkumpul dengan hadits shahih maupun hadits dhaif. Meskipun jumlah yang shahih dan yang dhaifnya hanya sedikit sekali. Di antara kitab yang banyak terdapat hadits hasan adalah: a. Kitab Jami, karya Imam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surat At Tirmidzi. b. Kitab Sunan karya Imam Abu Daud Sulaiman bin al-Asyats as-Sijistani. c. Kitab Al Mujtaba karya Imam Abu Abdur Rahman Ahmad bin Syuaib anNasai. d. Kitab Sunan al-Musthafa karangan Ibnu Majah Muhammad bin Yazid al Qazwaini. e. Kitab al-Musnad karangan imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. f. Kitab al-Musnad karangan Abu Yula al-Muwashali Ahmad bin Ali.28

E. Hadits Dhaif 1. Pengertian Secara bahasa, dhaif adalh lawan dari quwa (kuat); lemahnya sesuatu. Tarif Hadits dhaif dari jumhur ulama adalah:


Hadits yang tidak memenuhi sifat-sifat hadits shahih dan juga sifat-sifat hadits hasan.
27

Hasbi As Shiddiqie, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits,(Jakarta: Bulan Bintang, 1958), I: 169. Sebagai mana dikutip dari Manhaj Dzawin Nadhar, 30. Dan Qawaidut Tahdits, 82. 28 Nuruddin, Manhaj, 276.

16

Atau dapat diartikan dengan hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat- syarat hadits shahih atau hadits hasan.

2. Klasifikasi Hadits Dhaif Ulama telah membagi hadits mardud ke dalam beberapa bagian, dan bagianbagian itu belum mereka berikan nama tertentu, tetapi hanya dinamai dengan sebutan umum yaitu hadits dhaif. Hadits dhaif banyak sekali macamnya, dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, yang disebabkan banyak sedikitnya syarat Shahih maupun Hasan yang tidak terpenuhi. Dari segi sanadnya, klasifikasi hadits dhaif itu ada dua sebab: tidak bersambungnya sanad; dan adanya cacat pada rawinya.29 a. Klasifikasi hadits dhaif berdasarkan tidak bersambungnya sanad. 1) Hadits Muallaq


Yaitu hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad. Inqitha ini bisa terjadi pada sanad pertama, atau pun seluruh sanad kecuali selain sanad sahabat.30 Perumpamaan ini seperti semua sanadnya dibuang kemudian dia mengucapkan Rasulullah saw bersabda: demikian . . . Atau jika semua sanadnya dibuang kecuali shahabat. Hadits muallaq, pada prinsipnya adalah Dhaif karena sanadnya tidak bersambung, sehingga tidak diketahui keadaan perawinya. Namun bila ternyata terdapat sanad lain, maka hukumnya bisa menjadi shahih. 2) Hadits Mursal

Yaitu hadits yang gugur dari akhir sanadnya, setelah seorang tabiiy.31 Gambaran dari tarif tersebut apabila seorang tabii menyampaikan suatu hadits tanpa menyebutkan sahabat yang memberi berita tersebut. Hadits ini masih mempunyai pembagian:

29 30

Sebagaimana dikutip oleh Fathur Rahman dari Ibn Hajar dalam kitab Nuzhatu al-Nadhar, hal 30 s.d. 44. Fathur Rahman, Ikhtishar, 176. 31 Ibid., 179. Yang dikutip dari Syarh Alfiah as Suyuthi, hal. 78-80. Manhaj, 54-55.

17

a) Mursal shahab, yaitu seorang sahabat yang meriwayatkan hadits dari Nabi, namun ia sendiri tidak pernah menyaksikannya, karena mungkin ia masih kecil pada saat itu atau terbelakang masuk Islamnya. b) Mursal jaly, yaitu pengguguran sanad yangh dilakukan oleh seorang tabii itu jelas sekali, karena ia tidak hidup semasa dengan sahabat yang digugurkan itu. c) Mursal khafy, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabii yang hidup sezaman dengan shahabi, tetapi ia tidak pernah mendengar hadits dari shahabat tersebut. 3) Hadits Mudhal.


Yaitu hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih, secara berturutturut.32 Antara hadits muallaq dan mudhal terdapat persamaan, yaitu bisa jadi permulaan isnadnya dibuang dua isnad secara beruntun. Perbedaanya, jika dari tengah-tengah isnad dua perawinya dibuang secara beruntun, maka disebut hadits Mudhal; jika dari permulaan isnadnya hanya dibuang seorang perawi saja, maka disebut hadits Muallaq. 4) Hadits Munqathi.


Yaitu hadits yang gugur seorang rawinya sebelum shahabat, atau gugur dua orang perawi dari sanad dengan keadaan yang tidak berturut-turut. Jadi dapat diketahui, gugurnya rawi tidak terjadi pada thabaqh pertama (shahabat), terkadang seorang atau dua orang rawi, dengan tidak berturut-turut. Berbeda dengan hadits mudhal yang gugurnyan rawi secara berturut-turut.33 5) Hadits Mudallas.


Yaitu haditsyang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi dari hadits Mudallas ini pernah bertemu dengan rawi yang digugurkan, dengan motif adanya maksud tertentu, seperti

32 33

Ajjaj al-Khattab, Ushul al Hadits, (Damaskus: Dar al Fikr, t. t), 340. Ibid., 339.

18

untuk menutupi cela gurunya itu, agar dianggap bahwa hadits tersebut tiada bernoda. Perbuatan ini disebut tadlis.34 Tadlis sendiri ada tiga macam: a) Tadlis Isnad. Yaitu apabila bila seorang rawi meriwayatkan suatu hadits dari orang yang pernah bertemu dengannya, tetapi rawi itu tidak pernah mendengar hadits dari orang tersebut. b) Tadlis Syuyukh. Yaitu seorang perawi yang meriwayatkan suatu hadits dari seorang guru yang ia langsung mendengarnya sendiri, lalu dia memberikan nama, memberinya kunyah, dan menyiasatinya agar gurunya tidak dikenal. c) Tadlis Taswiyah. Yaitu perawi yang meriwayatkan satu hadits dari guru yang tsiqqah, yang guru tersebut menerima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari gurunya yang tsiqah. Tetapi olah mudallis sanadnya ditulis yang tsiqah semua.35

Perbedaan gugurnya rawi dalam hadits Mursal Khafy, Mudallas dan Muqanthi adalah: Jika dalam hadits Mursal Khafy, si pemberi dan si penerima hadits hidup sezaman, tetapi tidak pernah bertemu dan mendapat hadits dari rawi yang mempunyai hadits; Dalam hadits Mudallas, si pemberi dan penerima hadits itu hidup sezaman dan pernah bertemu, tetapi rawi yang menerima hadits enggan untuk menyebut gurunya itu; Dan dalam hadits Munqathi. Keduanya tidak hidup sezaman sehingga tidak pernah bertemu.36 b. Klasifikasi hadits dhaif berdasarkan terdapat cela pada rawinya 1) Hadits Maudhu.


Yaitu hadits yang dicipta serta dibuat oleh sesorang (pendusta), yang ciptaan itu disandarkan kepada Rasulullah secara palsu dan dusta, baik secara

34 35

Mahmud, Taisir, 79. Ajjaj al-Khattab, Ushul al Hadits, (Damaskus: Dar al Fikr, t. t), 341. 36 Fathur Rahman, Ikhtishar, 195.

19

sengaja maupun tidak.37 Hadits ini termasuk hadits yang paling buruk, dan sebagian ulama tidak memasukkannya ke dalam klasifikasi dhaif. Ciri-ciri hadits Maudhu: a) Adanya pengakuan dari si pembuat sendiri b) Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudhu. Misalnya pengakuan pernah bertemu dengan seorang guru dan menerima berita darinya, padahal dia tidak pernah bertemu dengannya. c) Qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya. Seperti seorang perawi yang rafidhah sedangkan hadits yang ia ceritakan berkisar pada ahlul bait Nabi. d) Dari segi maknanya, hadits tersebut bertentangan dengan Al Quran, Hadits Mutawattir. Ijma dan juga logika yang sehat. Para pembuat hadits maudhu kadang-kadang menggunakan pikirannya sendiri atau berdasarkan perkataan orang yang dipandang Alim. 2) Hadits Matruk.


Yaitu hadits yang sanadnya tertuduh dusta. Yang disebut rawi yang tertuduh dusta ialah seorang yang terkenal sebagai pendusta, tetapi belum dibuktikan bahwa ia pernah berdusta dalam membuat hadits. Kecuali bila ia sebelumnya betobat dengan sungguh-sungguh.38 3) Hadits Munkar.


Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang dhaif, yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang terpercaya.39 Tarif lain seperti yang diungkapkan oleh Ibn Hajar, yaitu hadits yang nampak sekali pada sanadnya kekeliruannya, pelupa, atau pun kefasikannya. Lawan dari hadits Munkar, ialah hadits Maruf, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, yang berlawanan dengan hadits riwayat rawi yang lemah. 4) Hadits Muallal.
37 38

Mahmud, Taisir, 89 Fathur Rahman, Ikhtishar, 156. 39 Ibid., 157.

20


Yaitu hadits yang nampak di dalamnya terdapat illat yang merusak keshahehannya, padahal lahirnya terlihat selamat dari illat (sebab tersembunyi yang merusak keshahihan hadits).40 Illat kadang tedapat di sanadnya, dan juga di matan. Illat yang ada di sanad terkadang juga mencacatkan matannya. 5) Hadits Mudraj.


Adalah hadits yang terdapat sesuatu yang merubah susunan isnadnya, itu jika terjadi pada sanadnya (mudraj isnad); atau sesuatu yang memasukkan sesuatu yang bukan termasuk hadits di dalam matan tanpa adanya pemisah, ini jika terjadi pda matannya (mudraj matan).41 6) Hadits Maqlub.


Yaitu hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahulukan dan mengakhirkan. Ada kalanya pemutar-balikan susunan itu terdapat pada sanad (maqlub sanad) maupun matan hadits (maqlub matan).42 7) Hadits Mazid fi Muttashilil Asanid.


Adalah penambahan seorang rawi di tengah-tengah isnad, yang pada lahirnya adalah sudah ittishal.43 Perbedaanya dengan mudraj isnad, kalau mudraj isnad tidak sampai menambah susunan sanad, hanya merubahnya. 8) Hadits Mudhtharib.


Adalah hadits yang terdapat pertentangan dengan hadits lain, yang keduanya diriwayatkan dari beberapa jalan yang berbeda, dan sama kuatnya.

40 41

Mahmud, Taisir, 99. Fathur Rahman, Ikhtishar, 161. 42 Mahmud, Taisir, 107. 43 Ibid,. 110.

21

Pertentangan keduanya itu tidak dapat dikumpulkan ataupun ditarjihkan salah satunya. Idhtharab ini terdapat pada sanad maupun pada matan.44 Sebagian ulama berpendapat, umumnya umumnya ahli hadits tidak menamai hadits Mudhtharib kalau terjadi pada sanad. Seandanya idhtharab itu pada matan, maka itu menjadi tugas mujtahidin untuk membicarakannya. 9) Hadits Mushahhaf dan muharraf. Hadits mushahhaf adalah


Yaitu hadits yang mukhalafahnya karena perubahan syakal kata. Namun maknanya berubah karenanya. Sedangkan hadits muharraf adalah


yaitu perubahannya terjadi pada titik kata. Kedua hadits ini bentuk tulisannya tidak berubah. Tashif dan tahrif ini bisa terjadi di sanad maupun matannya. Sebagian ulama tidak membedakan dua jenis hadits ini.45 10) Hadits Syadz.


Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang maqbul (tsiqah), yang menyalahi riwayat orang yang lebih rajih, lantaran mempunyai kedhabitan atau banyaknya sanad atau dari segi-segi pentarjihan yang lain.46 Sedangkan perbedaanya dengan hadits muallal adalah, muallal diketahui illatnya dan menunujukkan terjadi waham padanya; dan syadz tidak diketahui illatnya tetapi terasa bahwa pada hadits itu ada suatu kesalahan. Adakalnya syadz terdapat dalam sanad, dan juga terdapat daam matannya. Kebalikan dari hadits syadz, yaitu hadits mahfudz. 11) Hadits Mubham, Majhul dan Mastur. Hadits Mubham ialah

44 45

Fathur Rahman, Ikhtishar, 162. Yang dikutip dari Ibn Hajar al Asqalani, hal. 35. Ibid., 166. 46 Mahnud, Taisir, 117.

22

hadits yang sanad atau matannya terdapat rawi yang tidak jelas apakah lakilaki atau perempuan, atau mengenai nama dari rawi maupun yang terdapat dalam matan hadits. Mabhum yang terdapat pada sanad hukumnya dhaif. Jika rawi tersebut namanya disebutkan tetapi dia bukan tergolong orang yang dikenal adilnya dan tidak ada rawi yang tsiqah yang meriwayatkan haditsnya kecuali hanya satu saja, maka haditsnya disebut hadits Majhul. Jika rawi itu dikenal adilnya dan kedhabitannya atas dasar periwayatan orang-orang yang tsiqah, namun penilaian itu belum mendapat kebulatan yang sama oleh masyarakat, maka haditsnya adalah hadits mastur. 12) Hadits Suul Hifdzi.


Yaitu hadits yang rawinya buruk hafalannya. Maksudnya yaitu salahnya lebih banyak daripada betulnya, dan hafalannya tidak lebih banyak daripada lupanya, hukum hadits ini termasuk syadz.47 Jika suul hifdzi-nya itu karena tua, atau kitabnya yang terbakar, maka haditsnya disebut hadits Mukhtalit .

3. Tingkatan Hadits Dhaif Hadits dhaif terbagi menjadi beberapa tingkatan. Keadaannya adalah menurut kelemahan perawinya. Hadits dhaif yang sanadnya terputus dan tidak adil rawinya, adalah lebih dhaif daripada hadits dhaif yang hanya gugur salah satu syarat maqbul saja. Hadits dhaif yang gugur tiga syarat maqbul, lebih dhaif daripada yang gugur dua syarat. Adapun untuk tingkatan berdasarkan klasifikasi hadits dhaif, ulama berselisih pendapat. Pendapat jumhur adalah yang paling buruk yaitu hadits maudhu, sesudah itu berturut-turut hadits matruk, Munkar, Muallal, Mudraj, Maqlub, dan Mudhtharab. Az-Zarkasyi berpendapat bahwa yang lemah bukan karena terputusnya sanad ialah: Maudhu, setelah itu berturut-turutmudraj, Maqlub, Munkar, Syadz, Muallal dan Mudhtharab. Sedangkan jika dikarenakan terputusnya sanad, maka yang paling lemah adalah Mudhal. Setelah itu berturut-turut Munqathi, Mudallas, dan Mursal.48 Adapun sanad-sanad yang dipandang Dhaif (adhaful asanid) ialah:
47 48

Ibid., 125. Ajjaj al-Khattab, Ushul al Hadits, (Damaskus: Dar al Fikr, t. t), 349. As Shiddiqi, Pokok Ilmu Dirayah, 226.

23

a. Sanadnya Abu Bakr, ialah dari Shadaqah bin Musa dari Ad-Daqiqi dari Fargad dari Murah dari Abu Bakr. b. Sanadnya Ahlul Bait, ialah Amer bin Syammirdari Jabir Al-Jaif dari Harits AlWar dari Ali bin Abi Thalib. c. Sanadnya Abu Hurairah, yaitu As-Sary dari Daud dari ayahnya (Yazid) dari Abu Hurairah. d. Sanad penduduk Yaman, ialah Hafsah bin Umar bin Maimun Al-Adawi dari AlHakim bin Abban dari Ikrimah dari Ibn Abbas.49 e. Sanad Asy-Syamiyyin, ialah Muhammad bin Qais Al-Mashlub dari Ubaidillah bin Zahr dari Ali bin Yazid dari Al-Qasim dari Umamah.

4. Hukum Hadits Dhaif Secara umum, ulama sepakat bahwa hadits dhaif tidak bisa dijadikan hujjah meskipun dhaifnya masih samar. Namun, ada sebagian ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum hadits dhaif ini, dalam kaitannya dengan fadhailul amal, yang terpecah menjadi tiga pendapat:50 a. Mengamalkannya secara mutlak. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Ahmad, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, dan Sufyan Tsauri. Imam An-Nawawi berkata, bahwa ulama Muhadditsin dan Fuqaha dan juga lainnya memperbolehkan dan mensunahkan beramal fadhailul amal, targhib, dan juga tarhib dengan hadits dhaif, selama bukan hadits maudhu. Karena hal itu tidak akan menimbulkan kerusakan, lantaran di dalam fadhailul amal itu tidak ada hukum untuk halal atau pun haram, tetapi hanya untuk menambah kebaikan. b. Melarang secara mutlak. Imam Bukhari, Muslim, segenap pengikut Daud bin Adz-Dzahiri, menetapkan bahwa tidak boleh menggunakan hadits dhaif walaupun untuk fadhailul amal, supaya tidak ada orang yang meyakini suatu pekerjaan sunah yang sebenarnya tidak disunahkan, atau belum tentu disunahkan, yang membawa dusta kepada Rasulullah saw. c. Mengamalkannnya dengan syarat:

49 50

Ath Thahhan, Taisir, 64. Sulaiman bin Nashir Al-Alwan, Al-Ilam, (Maktabah Syamilah), 32.

24

1) Apabila hadits itu bukan dhaif syadid (dhaif yang parah, seperti ditakhrij dengan hanya satu jalan oleh orang yang dusta dan yang banyak salahnya). 2) Dasar amal yang ditunjuk hadits dhaif tersebut masih berdasarkan hadits / dalil yang dapat diamalkan. 3) Tidak meyakini bahwa hadits itu benar-benar bersumber dari Rasulullah ketika mengamalkannya. Tapi hanya untuk Ikhtiyath (hati-hati). Di anatara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibn Hajar.51 Dalam berijtihad, sebagian ulama lebih suka menggunakan hadits dhaif daripada dengan rayu, seperti Imam Ahmad dan Hanafiyah. Bahkan menganggap hadits dhaif melebihi Qiyas dan juga rayu, selama tidak ada yang melemahkan dhaif tersebut di dalam suatu bab tertentu. Namun, yang dimaksud hadits dhaif menurut mereka adalah hadits hasan menurut golongan lain. Karena pada masa mereka, hadits belum dibagi menjadi shahih, hasan dan dhaif. 5. Meriwayatkan Hadits Dhaif Apabila ada suatu hadits dhaif, maka dalam periwayatannya harus disebutkan tentang kedhaifannya. Itulah yang sangat diinginkan oleh Imam Muslim. Menurut beliau, jika tidak demikian akan dapat menimbulkan mudharat yang besar. Karena jika hadits itu berisi tentang hukum dan tidak diterangkan dhaifnya, akan bisa mengecoh umat Islam. Lantaran sangat dimugkinkan hadits itu diamalkan. Jika kita menemukan hadits yang sanadnya dhaif, harus disebut kedhaifan sanad itu. Tetapi jika matannya, kita tidak boleh menilainya dhaif karena mungkin saja hadits itu diriwayatkan dalam sanad yang lain yang bernilai shahih. Boleh menghukumi dhaif apabila diketahui hadits tersebut telah didhaifkan oleh imam yang terkemuka dengan berkata, hadits ini tidak diriwayatkan dari jalan lain. Begitu juga jika seorang imam berkata ,saya tidak mengetahuinya/mengenalnya ketika menemukan suatu hadits, maka hadits itu bisa dihukumi dhaif. Sebagian ahli tahqiq mengatkan bahwasannya tidak ada seorang pun yang mengaku mengetahui semua ilmu, atau setengahnya. Dengan demikian, tidak dapat dapat dikatakan jika suatu hadits tidak diketahui oleh seorang imam, berarti tidak ada.52

51

Mushthafa Al Adwi, Mushthalahul Hadits fi Sual wa Jawab,(Maktabah Syamilah), 21. Al Hadits wa Mushthalahahu, (Maktabah Syamilah), 26. 52 As-Shiddiqi, 230. Yang dikutp dari Alfiyah as-Suyuthi, 1411.

25

Seandainya kita meriwayatkan hadits yang masih diragukan keshahihannya tanpa menyebutkan sanad, maka tidak boleh dengan ucapan,sesungguhnya Rasulullah telah bersabda tetapi dengan ucapan,diriwayatkan dari Nabi. Karena kita tidak boleh menjazamkan bahwa itu perkataan Nabi, jika kita belum mendapat keterangan yang benar.

6. Sumber-Sumber Hadits Dhaif a. Kitab-kitab yang ditulis dalam penjelasan hadits-hadits dhaif: seperti 1. Ad Dhuafa Ibn Hibban; 2. Mizanul Itidal Adz-Dzahabi. b. Kitab-kitab yang disusun khusus untuk hadits dhaif: seperti 1. Marasil Abu Dawud; 2. Illal Daruquthni. Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Hujjatullah al-Balighah, menjelaskan beberapa musnad yang kualitasnya setara dengan hadits dhaif karena banyak ulama yang tidak mengenal hadits yang termuat di dalamnya, di antaranya Musnad Abi Yala, Mushanif Abdur Razaq, Mushanif Abi Bakr bin Abi Syaibah, dan Musnah Abd bin Hamid.53

F. PENUTUP Dari uraian di atas, dapat disimpulkan pembagian hadits ditinjau dari segi kualitasnya adalah peninjauan mutu hadits, baik dari segi sanad maupun matannya. Pembagian itu sendiri terdiri dari hadits Shahih, Hasan, dan Dhaif. Dari pembagian itu, hadits shahih dan hasan digolongkan ke dalam hadits yang maqbul, dan hadits dhaif termasuk yang mardud. Derajat ketiga hadits itu bisa berubah, jika syarat-syarat yang ditentukan terdapat dalam hadits tersebut. Faedah mempelajari taqsim ini adalah untuk mengetahui mana hadits yang lebih rajih. DAFTAR PUSTAKA

Al Lahim, Ibrahin. Syarah Ikhtishar Ulum al Hadits. t. tp: Maktabah Asy Syamilah, t. t. As Shiddiqie, Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1958.
53

Umar Hasyim, Qawaid, 94.

26

As Syarif, Hatim. Mashadir as Sunnah wa Manahij Mashanifiha. Maktabah Syamilah, t. t. Al Fahal, Mahir Yasin. Muhadhirat fi Ulum Al Hadits. Maktabah Syamilah. t.t. Al Hadits al Hasan baina al Had wa al Hujjiyah. t. tp: Maktabah Syamilah. Al-Khattab, Ajjaj. Ushul al Hadits. Damaskus: Dar al Fikr, t. t. Al-Alwan, Sulaiman bin Nashir. Al-Ilam. Maktabah Syamilah. Al Adwi, Mushthafa. Mushthalahul Hadits fi Sual wa Jawab. Maktabah Syamilah. Hasyim, Ahmad Umar. Qawaid Ushul al Hadits. Beirut: Dar al Fikr. Muhammad, Abu Sanad. Mausuah. t.tp: Maktabah As Syamilah, t. t. Nuruddin, Manhaj an Naqd fi Ulum al Hadits. Damaskus: Dar al Fikr, 1997. Rahman, Fathur. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: Al Maarif, 1974. Thahhan, Mahmud. Taisiru Mushthalahul Hadits. Surabaya: Al Hidayah, t. t. Thahhan, Mahmud.,et. al., Mujam al Mushthalah al Haditsiyah. t.tp: Maktabah Syamilah.

27

You might also like