You are on page 1of 3

Bukit Cemara Tidar blok M 2.6 Kamar Dimas. 2 Februari 2012. 00.

.36 WIB EVALUASI Beberapa pertanyaan yang tersirat, tapi sulit untuk kuungkapkan. Pertanyaan yang akan lebih baik kusimpan, daripada kukatakan. Karena kuyakin, sekali kuutarakan pasti mengundang pemikiran-pemikiran pintar untuk menjawabnya, dan pemikiran-pemikiran itu, menyesalkanku. Mungkin salah satunya penyesalan adalah karena ternyata pertanyaanku bodoh, salah, dan paling parah ditertawakan. Dari situ, aku berpikir. Lalu buat apa bertanya kalau tak ingin mendapat jawaban...............?? Disini, lebih karena pertanyaan yang kutangkap itu merupakan suatu kejanggalan wajar yang sudah biasa terjadi. Dan apapun alasannya, tetap tak ada solusi yang tepat menutup pertanyaan ini. Janggal..... hanya janggal. Apa itu keterbukaan yang sebenarnya? Menyampaikan keluhan? Membuka kelemahan? Dan rahasia? Mengutarakan ketidaksukaan terhadap orang lain? Mengatakan uneg-uneg akan sesuatu hal? Atau yang lainnya selain yg telah kusebutkan? TERBUKA. Memang wajar kita sebagai manusia ingin didengar, diperhatikan, dimengerti. Yang sering menjadi masalah tentang keterbukaan, antara lain: Kepada siapa kita seharusnya terbuka? Hal apa yang musti dipilah-pilah untuk pantas tidaknya diceritakan kepada seseorang? Kapan saatnya kita harus terbuka dan menutup diri? Bisakah kita menerima konsekuensi?? Biasanya masalah-masalah tersebut sangat erat dipengaruhi oleh karakter. Dimana seseorang harus bisa membatasi diri dan omongannya. Hanya saja, apakah keterbukaan selamanya bisa menyelesaikan masalah?? 1. Keterbukaan yang menyelesaikan masalah Keadaan yang paling diharapkan dari keterbukaan, adalah selesainya, atau berakhirnya suatu masalah. Disini semua hal yang berkaitan dengan masalah diselesaikan dengan rapi, satu per satu, terstruktur, dan jelas. Diimbangi dengan pribadi-pribadi yang ikhlas, berjiwa besar, bersedia mengkritik, dikritik, dan mau menerima saran. Tidak harus orang yang pintar dalam teori ataupun berbicara. Namun orang yang mampu memberi solusi sebaiknya bagaimana, agar masalah terpecahkan. Cara yang ditempuh, bisa jadi secara halus, ataupun kasar. Tapi, sekasar-kasarnya solusi, jika memang benar dan pada nyatanya sesuai, seseorang harus bersedia mengakui kebenarannya dan dengan besar hati menerima kesalahnnya. Jadi, keterbukaan yang menyelesaikan masalah ialah ketika cara penyampaian dan respon tanggapan seseorang dalam pembicaraannya adalah POSITIF. Dengan catatan, tanpa ada niat menjatuhkan, menyesatkan, atau merendahkan lawan bicara.

2. Keterbukaan yang justru memulai masalah Hal ini bisa jadi karena: Salah tempat, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi yang tepat saat bicara. Salah orang, tanpa bisa membedakan mana orang yang tulus dan bisa diajak terbuka dengan yang tidak. Sehingga tanpa kita sadari, apa yang kita buka padanya justru menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Sudah terlanjur terbuka, dia tau kelemahan kita... Dan ujungnya yang tersisa hanya penyesalan. Salah bicara, sehingga apa yang kita sampaikan menjatuhkan orang lain, atau justru menjatuhkan dan melemahkan diri kita sendiri dihadapan orang lain. Serta bisa jadi karena salah bicara, kita menyakiti lawan bicara saat itu juga. Niat yang salah, dengan kata lain, terbuka dikarenakan bermaksud buruk. Jadi intinya, segala hal tentang keterbukaan yang tanpa dipertimbangkan sehingga menyebabkan kesalahan, akan justru memulai masalah baru tanpa menutup masalah lama yang saat itu mungkin sedang dibicarakan. Kembali lagi pada diri sendiri. Pintar-pintarlah memilih orang dan kata-kata. Jangan sampai ada yang SALAH. Karena dalam kasus keterbukaan seperti ini, bukannya malah menutup masalah, tapi justru membuka pintu masalah baru yang lebih lebar. Sampai pada akhirnya yang merasa dirugikan bukan hanya kita, tapi juga orang lain yang mungkin tidak tau apaapa, dan tidak terlibat pada masalah sebelumnya. 3. Keterbukaan yang sia-sia Hal ini yang sering terjadi tanpa kita sadari. Dan kadang menimbulkan kesan tidak suka orang lain terhadap kita. Karena kadang kita, tanpa sadar mengatakan sesuatu yang sia-sia dan justru membuat jengkel orang lain disekitar kita. Kata lainnya adalah mengeluh. Memang tidak masalah, dan tidak akan menyebabkan suatu masalah. Hanya saja terkesan tidak pantas dan bukan pada tempatnya. Sehingga dalam keseharian, kita dituntut untuk lebih bisa mengontrol diri dalam mengutarakan komentar-komentar yang mungkin tidak perlu. Sehingga tidak sembarang omongan kita sampaikan secara blak-blakan. Perlu juga dipertimbangkan penting tidaknya hal yang akan kita keluhkan. Atau apakah yang kita keluhkan ini berada di saat dan tempat yang tepat. Sehingga tidak mengusik telinga pendengar di sekitar kita yang mungkin merasa terganggu dengan celotehan yang tidak berbobot. Biasanya jika seseorang yang terbiasa seperti ini akan dinilai banyak omong dan terlalu banyak komentar. Karena sebenarnya, komentar dan keluhan yang kita sampaikan hanya sia-sia belaka. Dan tidak ada gunanya, karena apapun yang kita katakan bagaimanapun juga tidak akan mengubah keadaan apapun saat itu menjadi lebih baik. Hal lain yang menyebabkan keterbukan sia-sia adalah ketika kita terbuka kepada seseorang yang mungkin senasib dengan kita, merasakan hal yang sama dengan kita, dan sependapat. Sehingga tidak menghasilkan solusi apapun kecuali kesia-siaan. Misal, bergosip, membicarakan kejelekan orang lain dibelakang, dll. Karena tidak akan ada penyelesaian yang jelas dan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Bisa dibilang justru MENGAMBANG, dan tidak memberikan keuntungan di pihak manapun. Lalu... dari sini pikiranku kembali berlari. Masih janggal... Apakah lebih baik menutup diri? Karena pada dasarnya setiap orang tidak dapat dipercaya.. Dan bagiku, terbuka=melemahkan diri sendiri. Dimana kita terlihat lemah di mata orang lain

Itulah mengapa aku lebih suka menjadi tempat bagi orang lain untuk membuka dirinya, memberi mereka solusi, dan melihat mereka tersenyum. Itu semua sangat lebih dari cukup, dengan tanpa sedikitpun membuka sesuatu hal tentang diriku sendiri. Karena selain aman, juga akan membuatku tenang, tanpa memikirkan resiko masalah yang akan timbul jikalau kubuka diriku sedikit saja... Memang terkesan egois, tapi niatku tidak buruk, dan tidak mencelakai seorangpun... berkata apa adanya walaupun menyakitkan. Jadi apa bisa dibilang adil?? Jika dibandingkan dengan seorang pendengar yang terlihat baik, mengerti, memahami... tapi dalam hatinya mencaci, menertawai... penuh kepura-puraan. Hmmm

OPINI BY: ALIVE INSPIRED FROM : GG

You might also like