You are on page 1of 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DIARE 1. Definisi Diare Diare adalah tinja encer keluar lebih sering, diare bukan merupakan suatu penyakit tetapi kelihatan dalam keadaa seperti enteritis regionalis, sprue, colitis ulcerosa, berbagai infeksi usus dan kebanyakan karena jenis radang lambung dan usus (Sasongko, 2009). Sedangkan menurut Ngastiyah (2005), diare merupakan salah satu gejala dari penyakit pada system gastrointestinal atau penyakit lain diluar saluran pencernaan, dikarenakan keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak; konsistensi feses encer; dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja. Menurut Dewi, (2010) Diare adalah pengeluaran feses yang tidak normal dan cair dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Berdasarkan beberapa pengertian diatas penulis dapat mengambil kesimpulan pengertian diare adalah suatu keadaan dimana terjadi pola perubahan BAB lebih dari biasanya (> 3x/hari) disertai perubahan konsistensi tinja lebih encer konsistensi tinja lebih encer atau berair dengan atau tanpa darah dan tanpa lendir. 2. Patogenesis Menurut Ngastiyah (2005), mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah: a. Gangguan osmotik Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga

usus

yang

berlebihan

ini

akan

merangsang

usus

untuk

mengeluarkannya sehingga timbul diare. b. Gangguan sekresi Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus. c. Gangguan motilitas usus Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula. 3. Patofisiologi Menurut Hidayat (2006), proses terjadinya diare dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan faktor diantaranya: a. Faktor infeksi Faktor ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus. Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorbs cairan dan elektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin bakteri akan menyebabkan system transport aktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat. b. Faktor malabsorbsi Merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi

pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadilah diare. c. Faktor makanan

Dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap dengan baik. Sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap makanan yang kemudian menyebabkan diare. d. Faktor psikologis Dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan pristaltik usus yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan diare. 4. Etiologi a. Infeksi 1) Enternal yaitu infeksi yang terjadi dalam saluran pencernaan dan merupakan penyebab utama terjadinya diare. Infeksi enternal meliputi: a) Infeksi bakteri : Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella

Compylobacter, Yersenia dan Aeromonas. b) Infeksi virus : Enterovirus (Virus ECHO, Coxsackie dan Poliomyelitis, Adenovirus, Rotavirus dan Astrovirus). c) Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, dan Strongylodies), Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia

lamblia, dan Trichomonas homonis), dan jamur (Candida albicans). 2) Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan, seperti Otitis Media Akut (OMA), tonsilofaringitis, bronkopeneumonia, ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama pada bayi dan anak dibawah 2 tahun. b. Faktor malabsorbsi 1) Malabsorbsi kabohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intiloransi glukosa, fruktosa dan galaktosa), pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering (intoleransi laktosa). 2) Malabsorbsi lemak

10

3) Malabsorbsi protein c. Faktor makanan, makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan. d. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas (jarang tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar (Ngastiyah, 2005). 5. Manifestasi klinik Menurut Ngastiyah (2005), manifestasi klinik penyakit diare antara lain cengeng, rewel, gelisah, suhu meningkat, nafsu makan menurun, feses cair dan berlendir, kadang juga disertai dengan adanya darah. Kelamaan, feses ini akan berwarna hijau dan asam, anus lecet, dehidrasi, bila menjadi dehidrasi berat akan terjadi penurunan volume dan tekanan darah, nadi cepat dan kecil, peningkatan denyut jantung, penurunan kesadaran dan diakhiri dengan syok, berat badan menurun, turgor kulit menurun, Mata dan ubun-ubun cekung, dan selaput lendir dan mulut serta kulit menjadi kering. 6. Klasifikasi Diare Pada klasifikasi diare dapat dikelompokkan menjadi diare dehidrasi berat, diare dehidrasi sedang atau ringan, diare tanpa dehidrasi, diare persisten, disentri (Hidayat, 2005) : a. Diare Dehidrasi Berat Diare dehidrasi berat jika terdapat tanda sebagai berikut letargis atau mengantuk atau tidak sadar, mata cekung, serta turgor kulit jelek. Penatalaksanaannya yaitu lakukan pemasangan infuse, berikan cairan IV Ringer Laktat, pemberian ASI sebaiknya tetap diberikan, pertahankan agar bayi dalam keadaan hangat dan kadar gula tidak turun. b. Diare Dehidrasi Sedang atau Ringan Diare ini mempunyi tanda seperti gelisah atau rewel, mata cekung, serta turgor kulit jelek. Penatalaksanaannya berikan ASI lebih sering dan lebih lama untuk setiap kali pemberian, berikan oralit, ajari

11

ibu cara membuat oralit, lanjutkan pemberian ASI, berikan penjelasan kapan harus segera dibawa kepetugas kesehatan. c. Diare Tanpa Dehidrasi Diare tanpa dehidrasi jika hanya ada salah satu tanda pada dehidrasi berat atau ringan. Penatalaksanaannya berikan ASI lebih sering dan lebih lama setiap kali pemberian, berikan cairan tambahan yaitu berupa oralit atau air matang sebanyak bayi mau, ajari pada ibu cara memberikan oralit dengan memberi 6 bungkus oralit, anjurkan pada ibu jumlah oralit yang diberikan sebagai tambahan cairan, anjurkan untuk meminum sedikit tapi sering. d. Diare Persisten Diare persisten apabila terjadi diare sudah lebih dari 14 hari. Tindakan dan pengobatan untuk mengatasi masalah diare persisten dan disentri dalam manajemen balita sakit adalah sebagai berikut : atasi diare sesuai dengan tingkat diare dan dehidrasi, pertahankan kadar gula agar tidak turun, anjurkan agar bayi tetap hangat, lakukan rujukan segera. e. Disentri Apabila diare disertai darah pada tinja dan tidak ada tanda gangguan saluran pencernaan. Tindakan dan pengobatan sama dengan diare persisten.

12

7. Tanda dan gejala Menurut Nursalam (2005), tanda dan gejala diare berdasarkan klasifikasi diare sebagai berikut: Tabel: 2.1 Tanda dan gejala diare
Tanda/gejala yang tampak Terdapat dua atau lebih tanda-tanda berikut: 1. Letargis atau tidak sadar 2. Mata cekung 3. Tidak bisa minum atau malas minum 4. Cubitan kulit perut kembalinya sagat lambat Terdapat dua atau lebih tanda-tanda berikut: 1. Gelisah, rewel, atau mudah marah 2. Mata cekung 3. Haus, minum dengan lahap 4. Cubitan kulit perut kembalinya lambat Tidak ada tanda-tanda untuk diklasifikasikan sebagai dehidrasi berat atau ringan/sedang Diare selama 14 hari atau lebih disertai dengan dehidrasi Diare selama 14 hari atau lebih tanpa disertai tanda dehidrasi Terdapat darah dalam tinja (berak bercampur darah) Klasifikasi Diare dengan dehidrasi berat

Diare dengan dehidrasi ringan/sedang

Diare tanpa dehidrasi

Diare presisten berat Diare presisten Disentri

Sumber: Pedoman MTBS (2008). 8. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk mengetahui terjadinya penyakit diare pada balita menurut Staf pengajaran ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), 2007: a. Pemeriksaan tinja 1) Makroskopis dan mikroskopis 2) pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet clinitest, bila diduga terdapat intoleransi gula. 3) Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.

13

b. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan menentukan pH dan cadangan alkali atau pemeriksaan analisa gas darah menurut Satrup (bila memungkinkan). c. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal. d. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan fosfor dalam serum (terutama pada penderita diare yang disertai kejang). e. Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jasad renik atau parasit secara kualitatif dan kuantitatif, terutama dilakukan pada penderita diare kronik. 9. Komplikasi diare Menurut Suriyadi dan Yuliani (2005), akibat diare dan kehilangan cairan serta elektrolit secara mendadak dapat terjadi berbagai komplikasi sebagai berikut dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik, hipertonik), hipokalemia, hipokalsemia, cardiac dysrhythmias akibat hipokalemi dan hipokalsemi, hiponatremia, syok hipovolemik, dan asidosis. 10. Penatalaksanaan Menurut Hidayat (2005) penatalaksanaan atau penanggulangan penderita diare di rumah antara lain: a. Memberi tambahan cairan Berikan cairan lebih sering dan lebih lama pada setiap kali pemberian, jika anak memperoleh ASI eksklusif berikan oralit atau air matang sebagai tambahan. Anak yang tidak memperoleh ASI eksklusif berikan 1 atau lebih cairan berikut : oralit, cairan makanan (kuah, sayur, air tajin) atau air matang. Sebagai tenaga kesehatan harus memberitahu ibu berapa banyak cairan seharinya : 1) Sampai umur 1 tahun : 50 sampai 100 ml setiap kali berak

14

2) Umur 1 sampai 5 tahun : 100 sampai 200 ml setiap kali berak Minumkan cairan sedikit demi sedikit tetapi sering dan jika muntah tunggu 10 menit kemudian lanjutkan lagi sampai diare berhenti. b. Memberi makanan Saat diare anak tetap harus diberi makanan yang memadai, jangan pernah mengurangi makanan yang biasa dikonsumsi anak, termasuk ASI dan susu. Hindari makanan yang dapat merangsang pencernaan anak seperti makanan yang asam, pedas atau buah-buahan yang mempunyai sifat pencahar. Bila diare terjadi berulang kali, balita atau anak akan kehilangan cairan atau dehidrasi yang ditandai dengan : 1) Anak menangis tanpa air mata 2) Mulut dan bibir kering 3) Selalu merasa haus 4) Air seni keluar sedikit dan berarna gelap, ada kalanya tidak keluar sama sekali. 5) Mata cekung dan terbenam 6) bayi tanda dehidrasi bias dilihat dari ubun-ubun yang menjadi cekung 7) Anak mudah mengantuk 8) Anak pucat dan turgor tidak baik Untuk menanggulanginya perlu diberi cairan banyak, tidak harus oralit. Bisa berupa teh manis, larutan gula garam atau sup. Air tajin justru cukup efektif bagi bayi untuk mengatasi diare. Dan jauh lebih baik dibandingkan dengan oralit karena tajin mengandung glukosa primer yang mudah diserap. Penggunaan air tajin sebagai obat diare tidak berbahaya untuk bayi sekalipun (Suryana, 2005). Penatalaksanaan penderita diare di tempat pelayanan kesehatan atau penatalaksanaan secara medis (Ngastiyah, 2005):

15

1) Pemberian cairan a) Cairan peroral, diberikan pada pasien dengan dehidrasi rungan atau sedang bisa diberi oralit b) Cairan parenteral, pemberiannya dapat diberikan dengan cara melalui intra vena misalnya cairan Ringer Laktat (RL) yang selalu tersedia di fasilitas kesehatan di mana saja. c) Pengobatan Diatetik Untuk anak di bawah 1 tahun dan anak di atas 1 tahun dengan berat badan < 7 kg jenis makanannya adalah : a) Susu (ASI dan atau susu formula yang mengandung laktosa rendah dan asam lemak tidak jenuh, misalnya LLM (Low Lactose Milk), Almiron atau sejenis lainnya). b) Makanan setengah padat (bubur) atau makanan padat (nasi tim), bila anak tidak mau minum susu karena di rumah tidak biasa. c) Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya susu yang tidak mengandung laktosa atau asam lemak yang berantai sedang atau tidak jenuh. 2) Obat-Obatan Prinsip pengobatan diare ialah menggantikan cairan yang hilang melalui tinja dengan atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain : a) Asetosal dosis 25 mg/kg BB/hari b) Khlorpromazin dosis 0,5-1 mg/kg BB/hari. B. UPAYA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN TERJADINYA

PENYAKIT DIARE PADA BALITA Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengurangi keparahan penyakit bila balita sedang menderita diare. Hal yang dapat dilakukan keluarga agar terhindar dari diare menurut Akhmadi (2009) dalam Sunoto (1990) adalah sebagai berikut:

16

1. Pemberian ASI ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi karena selain komposisinya tepat, murah dan juga terjaga kebersihannya. ASI tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. Oleh karena itu sampai usia 6 bulan bayi dianjurkan hanya untuk minum ASI saja tanpa tambahan makanan lain kecuali kalau sudah lebih dari 6 bulan dengan tambahan bubur. ASI mempunyai khasiat pencegahan secara imunologik dan turut memberikan perlindungan terhadap diare pada bayi yang mendapat makanan tercemar. Bayi yang diberi ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu formula. Flora usus bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare. Pemberian ASI selama diare dapat mengurangi akibat negatif terhadap pertumbuhan dan keadaan gizi bayi serta mengurangi keparahan diare. 2. Memperbaiki makanan sapihan Penyapihan adalah proses seorang anak secara bertahap mulai dibiasakan dengan susunan makanan orang dewasa. Susu, terutama ASI tetap merupakan bagian penting dalam susunan makanannya khususnya sampai usia 2 tahun. ASI eksklusif diberikan sampai bayi berumur 6 tahun setelah itu cara bertahap dikenalkan makanan tambahan yang lunak. Pada umur 1 tahun semua jenis makanan yang mudah disiapkan dapat diberikan sebanyak 4-6 kali sehari. Makanan dimasak dan direbus dengan baik, disimpan di tempat dingin dan dihangatkan sebelum diberikan. 3. Banyak menggunakan air bersih Air bersih merupakan barang yang mahal saat sekarang karena dibeberapa daerah banyak yang mengalami krisis air bersih. Namun penyediaan air bersih yang memadai penting untuk secara efektif membersihkan tempat dan peralatan memasak serta makanan, demikian pula untuk mencuci tangan. Hal ini memungkinkan untuk mengurangi tertelannya bakteri patogen pada balita. Kita juga harus membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat salah satunya dengan mencuci tangan dan

17

sabun ketika mau makan atau setelah memegang benda yang kotor. Demikian juga peralatan sumber air untuk bayi, tempat yang digunakan dan lainnya harus bersih untuk mencegah terjadinya diare. 4. Mencuci tangan Mencuci tangan dengan sabun, terutama setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan makan merupakan salah satu cara mencegah terjadinya diare. Keluarga dan setiap individu harus paham fungsi dan manfaat mencuci tangan dengan sabun. Cuci tangan dengan bersih dilakukan setelah membersihkan anak yang buang air besar, membuang tinja anak, dan buang air besar. Cuci tangan juga perlu dilakukan sebelum menyiapkan makanan, makan, dan memberikan makanan kepada anak. Anak juga secara bertahap diajarkan kebiasaan mencuci tangan. 5. Penggunaan jamban Penggunaan jamban yang baik adalah apabila tidak ada tinja yang tertinggal (menempel) di sekitar jamban, serta teratur dalam

membersihkan dan menyikat jamban. (Sutomo, 1995). Sedangkan karakteristik jamban yang baik sebagai berikut: dapat digunakan oleh semua anggota keluarga, berjarak sekurang-kurangnya 20 meter dari sumber air dan pemukiman, tandon penampung tinja sekurang-kurangnya sedalam 1 meter, serta tidak memungkinkan lalat/serangga hinggap di tampungan tinja (dengan sistem leher angsa). 6. Cara yang benar membuang tinja bayi Tinja harus dibungkus dengan kertas atau daun kemudian dibuang dengan cepat ke dalam jamban atau lubang di tanah. Apabila tinja terpaksa dibuang di udara terbuka, maka dibuang di tempat yang terkena sinar matahari, karena sinar matahari dapat membunuh bakteri dan kumankuman dalam tinja tersebut. Setelah buang air besar balita segera dibersihkan kemudian tangan keluarga yang membuang tinja dan tangan balita dicuci dengan sabun sampai bersih.

18

7. Imunisasi campak Pemberian imunisasi campak berkorelasi terhadap kejadian diare. Hal ini dilakukan pada balita yang sedang menderita campak dan selama dua atau tiga bulan setelah penyakit campak menunjukkan kasus diare dengan angka lebih tinggi dan lebih parah daripada balita yang sama tanpa campak. Oleh karena itu balita diusahakan untuk mendapatkan imunisasi campak segera setelah berumur sembilan bulan. Sedangkan menurut Murtaqi (2009), adapun cara pencegehan diare dapat dilakukan dengan cara: 1. Mencuci tangan pakai sabun dengan benar pada lima waktu penting yaitu: 1) sebelum makan, 2) setelah buang air besar, 3) sebelum memegang bayi, 4) setelah menceboki anak dan 5) sebelum menyiapkan makanan. 2. Meminum air minum sehat, atau air yang telah diolah, antara lain dengan cara merebus, pemanasan dengan sinar matahari atau proses klorinasi; 3. Pengelolaan sampah yang baik supaya makanan tidak tercemar serangga (lalat, kecoa, kutu, lipas, dan lain-lain); 4. Membuang air besar dan air kecil pada tempatnya, sebaiknya menggunakan jamban dengan tangki septik. Diare umumnya ditularkan melaui 4 F, yaitu Food, Feces, Fly dan Finger. Oleh karena itu upaya pencegahan diare yang praktis adalah dengan memutus rantai penularan tersebut. Beberapa upaya yang mudah diterapkan adalah (Ngastiyah, 2005): penyiapan makanan yang higienis, penyediaan air minum yang bersih, kebersihan perorangan, cuci tangan sebelum makan, pemberian ASI eksklusif, buang air besar pada tempatnya (WC, toilet), tempat buang sampah yang memadai, berantas lalat agar tidak menghinggapi makanan, dan lingkungan hidup yang sehat. sedangkan menurut Styanegara dan Widjaja (2005), untuk mengurangi kemungkinan anak menderita diare antara lain sebagian besar infeksi diare menular melalui kontak tangan kemulut secara langsung, setelah terpajan tinja (kotoran). Ini terjadi paling sering pada anak yang tidak pernah dilatih ketoilet. Tingkatkan kebersihan diri
19

(seperti cuci tangan setelah ketoilet atau mengganti popok dan sebelum makan) dan kebersihan didalam rumah serta ditempat penitipan anak atau taman kanak-kanak. Hindari meminum susu mentah dan memakan makanan yang terkontaminasi/basi. Hindari penggunaan obat-obatan yang tidak perlu, khususnya antibiotik. Jika memungkinkan, beri ASI bayi anda sejak dini. Jangan memberi anak anda minuman yang manis atau jus secara tidak terbatas. Faktor yang mempengaruhi upaya keluarga dalam pencegahan terjadinya diare pada balita. 1. Faktor lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya baik berupa benda hidup, benda mati, benda nyata maupun abstrak termasuk manusia lain, serta suasana yang terbentuk karena terjadinya interaksi di antara elemen-elemen di alam tersebut lingkungan itu sangat luas, oleh karenanya seringkali dikelompokkan untuk mempermudah permohonan (Makono, 2000). Adapun sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Ruang lingkup kesehatan lingkungan antara lain: a. Perumahan Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia. Karakteristik rumah yang dapat mencegah terjadinya diare dapat diukur berdasarkan tingkat kesejahteraan keluarganya pada keluarga pra sejahtera, keluarga haruslah mempunyai rumah yang sebagian besar berlantai bukan dari tanah. Pada keluarga sejahtera 1 setiap anggota keluarga haruslah mempunyai ruang kamar yang luasnya 8 m. semua anggota keluarga sehat dalam tiga bulan terakhir sehingga dapat melaksanakan fungsi mereka masing-masing

20

(Sudiharto, 2007). Lingkungan fisik rumah dapat dilihat dari kebersihan lingkungan rumah, alat rumah tangga, perabot, dan alat makan minum (Anonim, 2009). Menurut Notoatmodjo (2008), Rumah yang sehat harus mempunyai fasilitas-fasilitas sebagai berikut penyediaan air bersih yang cukup, pembuangan tinja, pembuangan air limbah (air bekas), pembuangan sampah, dan fasilitas dapur ruang berkumpul keluarga. b. Penyediaan air bersih Sarana air bersih adalah semua sarana yang dipakai sebagai sarana air bersih bagi pemenuhan rumah yang dipakai sehari-hari. Hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan air bersih adalah: 1) Jarak antara sumber air bersih dengan sumber pengotoran septictank tempat pembuangan sampah dan tempat pembuangan air limbah adalah > 10 meter. 2) Pada sumber gali kedalam 3 meter dari pemukiman tanah dibuat kedap air dan dilengkapi tutup atau bibir sumur. 3) Sumber air diperoleh dari air sumur dalam, air sumur dangkal, mata air, air sungai dan danau, air hujan, air PAM. 4) Sarana yang ada perlu dijaga dan dipelihara kebersihannya. 5) Secara fisik, air yang sehat adalah air yang jernih, tidak berbau dan tidak berasa. Air minum seharusnya tidak mengandung kuman pathogen yang dapat membahayakan kesehatan manusia, juga tidak mengandung zat kimia yang dapat mempengaruhi fungsi tubuh, serta air juga tidak boleh meninggalkan endapan pada seluruh jaringan distribusi yang mempunyai tujuan untuk mencegah terjadinya penyakit bawaan air (Notoatmodjo, 2007).

21

c. Jamban keluarga Jamban keluarga adalah salah satu bagian yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia bagi keluarga yang lazim disebut kakus/WC jamban keluarga bermanfaat untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dan pencernaan dari kotoran manusia. Adapun syarat jamban sehat adalah tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus, tidak mencemari tanah sekitar, sudah dibersihkan, aman dipergunakan, dilengkapi dinding dan atap pelindung, cukup penerangan, lantai kedap air, jamban berbentuk leher angsa, tersedia alat pembersih jamban, lubang penampung kotoran tertutup (Notoatmodjo, 2007). d. Pengelolaan sampah Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang

(Notoatmodjo, 2003). Sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena dari sampah tersebut akan hidup berbagai mikroorganisme berbagai penyakit, dan juga binatang serangga sebagai pemindah atau penyebar penyakit (vektor). Oleh sebab itu sampah harus dikelola dengan baik sampai sekecil mungkin tidak mengganggu atau mengancam kesehatan masyarakat, Notoatmodjo (2007) menyebutkan bahwa yang perlu diperhatikan dalam

pengelolaan sampah adalah: 1) Tersedianya temapat pembuangan sampah dilingkungan rumah yang terbuat dari tong. 2) Jarak pembuangan samapah dengan rumah adalah 5 meter. 3) Dengan cara pengumpulan dan pengangkutan sampah serta pemusnahan dan pengolahan sampah. Pemusnahan dan

22

pengelolaan sampah dilakukan melalui berbagai cara, antara lain: ditanam (landfill), dengan membuat lubang ditanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah. Dibakar (inceneration), memusnahkan sampah dengan cara membakar didalam tungku pembakaran. Dijadikan pupuk (composting), sampah diolah menjadi kompos, khususnya untuk sampah organik. e. Saluran pembuangan limbah Saluran pembuangan air limbah adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang air dari kamar mandi, tempat cuci, dapur dan lain-lain bukan dari jamban, dengan persyaratan, bentuk saluran pembuangan air limbah tertutup atau terbuka, kelancaran air limbah, tidak menimbulkan bau dan karakteristik air limbah (Notoatmodjo, 2003). 2. Faktor perilaku a. Definisi Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003). Kebersihan pada ibu dan balita terutama dalam hal perilaku cuci tangan setiap makan, merupakan sesuatu yang baik. Sebagian besar kuman infeksi diare ditularkan melalui jalur fecal-oral. Dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda tercemar dengan tinja misalnyakan air minum dan makanan. Kebiasaan dalam kebersihan adalah bagian penting dalam penularan kuman diare, dengan mengubah kebiasaan dengan tidak mencuci tangan menjadi mencuci tangan dapat memutuskan penularan.
23

Penularan

14-18%

terjadinya

diare

diharapkan

sebagai

hasil

pendidikan tentang kesehatan dan perbaikan kesehatan (DepKes RI, 2000). Menurut skinner dikutip dari Notoatmodjo (2005), bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon) yang dibedakan adanya dua respon, yaitu: 1) Respondent respon adalah respon yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan tertentu dan menimbulkan rangsangan tetap, misalnya makanan yang lezat menimbulkan air liur. 2) Operant respons adalah respon yang timbul dan perkembangannya diikuti oleh perangsang tertentu dan diperkuat oleh respon yang telah dilakukan oleh organisme. Misalnya seorang anak belajar atau telah melakukan perbuatan kemudian memperoleh reward (hadiah), maka ia akan menjadi lebih giat belajar atau akan lebih baik melakukan perbuatan tersebut. b. Prosedur pembentukan perilaku Notoatmodjo (2005), mengungkapkan bahwa sebagian perilaku manusia adalah operant respons, sehingga untuk membentuk jenis respon atau perilaku ini diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut skinner adalah sebagai berikut: 1) Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk. 2) Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.
24

3) Dengan mengunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforce atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut. 4) Melakukan pembentukan perilaku, dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiahnya diberikan, hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau perilaku ini sudah terbentuk, kemudian dilakukan komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk. c. Faktor yang mempengaruhi perilaku Menurut Green, dalam Notoatmodjo (2005), mengemukakan bahwa untuk mencoba menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan orang dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dari dalam perilaku dan faktor dari luar perilaku. Perilaku terbentuk dari tiga faktor yaitu: 1) Faktor predisposisi (presdisposing factor) yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, norma sosial, dan unsur lain yang terdapat dalam diri individu maupun masyarakat. Terbentuknya suatu perilaku baru dimulai pada cognitive domain dalam arti subyek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi untuk cuci tangan, sehingga menimbulkan pengetahuan baru bagi subjek tersebut, sehingga menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap subjek terhadap pengetahuan tentang cuci tangan. Pengetahuan dan sikap subjek terhadap cuci tangan diharapkan akan membentuk perilaku (psikomotorik) subyek terhadap cuci tangan. Dibawah ini akan diuraikan tentang pengetahuan, sikap dan praktek.
25

a. Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2005), mengemukakan

pengetahuan merupakan hasil tahu dan hal ini telah terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap pengetahuan ini. Selain pengindraan ini, juga dengan penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan ini juga merupakan domain (kawasan yang penting untuk terbentuknya perilaku mencuci tangan yaitu pengetahuan. Pengetahuan yang cukup didalam cognitive domain mempunyai enam tingkatan, yaitu tahu (know) artinya mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap materi mencuci tangan dan prakteknya yang telah diterima, kemudian memahami

(comprehension) mempunyai arti suatu kemampuan untuk menjelaskan tau mempraktekkan secara benar tentang cuci tangan, aplikasi (application) dapt diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan pengetahuan tentang

pentingnya cuci tangan yang telah dipelajari, sedangkan analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk

menghubungkan dan menguraikan dalam seluruh materi tersebut. Evaluasi (evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap materi tersebut. b. Sikap Sikap merupakan kesiapan atau ketersediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) reaksi tertutup. Sikap terhadap cuci tangan

26

merupakan reaksi (respon) yang masih tertutup dari seseorang terhadap materi cuci tangan sikap secara nyata menunjukkan tambahan adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap tersebut merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap pengetahuan tentang

pentingnya cuci tangan, penghayatan terhadap pengetahuan ini meliputi komponen untuk mencuci tangan yaitu kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep, kehidupan emosional (evaluasi) kecenderungan untuk bertindak ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam

pengetahuannya, pengetahuan berfikir, keyakinan dan emosi memegang peran penting (Notoatmodjo, 2003). Berbagai tindakan, sikap yang berpengaruh terhadap pengetahuan tentang pentingnya mencuci tangan antara lain menerima (receiving), merespon, menghargai dan bertanggung jawab menerima sendiri artinya keluarga mau memperhatikan pengetahuan tentang pentingnya mencuci tangan. Merespon (responding) dapat diartikan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap tingkat tiga, sedangkan tanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2005). c. Tindakan atau praktek Tingkatan-tingkatan praktek antara lain persepsi, respon terpimpin, mekanisme serta adaptasi. Dalam persepsi

(perception) mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktek tingkat

27

pertama, sedangkan respon terpimpin (guided respons) dapat melakukan cuci tangan yang benar sesuai dengan contoh merupakan indicator praktek kedua. Untuk mekanisme (mecanism) artinya apabila seseorang telah melakukan cuci tangan dengan benar dan tanpa paksaan (dengan penuh kesadaran) maka sudah mencapai praktik tingkat tiga, sedangkan adaptasi (adaptation) adalah suatu praktek

(tindakan) yang sudah berkembang dengan baru artinya suatu itu sudah dan telah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. 2) Faktor pendukung atau pemungkin (Enabling factor) Faktor pendukung antara lain umur, status sosial ekonomi, pendidikan dan sumber daya manusia. Hubungan antara konsep pengetahuan dan praktek kaitannya dalam suatu materi kegiatan biasanya mempunyai anggapan yaitu adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal yang akan menyebabkan orang mempunyai sikap positif terhadap hal tersebut. Selanjutnya sikap positif ini akan mempengaruhi untuk ikut dalam kegiatan ini. Niat ikut serta dalam kegiatan ini akan menjadi tindakan apabila mendapatkan dukungan sosial dan tersedianya fasilitas kegiatan ini disebut perilaku. Berdasarkan teori WHO menyatakan bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku ada tiga alasan diantaranya adalah sumber daya (resource) meliputi fasilitas, pelayanan kesehatan dan pendapatan keluarga. a) Umur Umur adalah usia yang menjadi indikator dalam kedewasaan di setiap pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu yang mengacu pada setiap pengalamannya. Umur seseorang sedemikian besarnya akan mempengaruhi perilaku,

28

karena

semakin

lanjut

umurnya

maka

semakin

lebih

bertanggung jawab, lebih tertib, lebih bermoral, lebih berbakti dari usia muda (Notoatmodjo, 2002). Karakteristik pada ibu balita berdasarkan umur sangat berpengaruh terhadap

pencegahan terjadinya diare pada balita. Semakin tua umur ibu maka kesiapan dalam pencegahan terjadinya diare pada balita akan semakin baik dan dapat berjalan dengan baik. b) Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam pemberian respon terhadap sesuatu yang datangnya dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan berfikir sejauh mana keuntungan yang akan mereka dapatkan. c) Status pekerjaan ibu Status pekerjaan ibu mempu yai hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada balita. Pada pekerjaan ibu atau keaktifan ibu dalam berorganisasi sosial berpengaruh pada kejadian diare pada balita. Dengan pekerjaan tersebut diharapkan ibu mendapat informasi tentang pencegahan diare. Terdapat 9,3% anak balita menderita diare pada ibu yang bekerja, sedangkan ibu yang tidak bekerja sebanyak 12% (Irianto, 1996). d) Paparan Media Massa atau Informasi Melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik berbagai informasi dapat diterima oleh masyarakat sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa (TV, radio, majalah dan lai-lain) akan memperoleh informasi yang lebih

29

banyak dibandingkan dengan orang tidak pernah terpapar informasi media massa. e) Akses Layanan Kesehatan atau Fasilitas Kesehatan Mudah atau sulitnya dalam mengakses kesehatan tentunya akan berpengaruh terhadap pengetahuan khususnya dalam hal kesehatan. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dan subjek penelitian atau respon (Notoatmodjo, 2003) 3) Faktor pendorong (Reinforcing factor) yaitu faktor yang

memperkuat perubahan perilaku seseorang yang dikarenakan sikap suami, orang tua tokoh masyarakat atau petugas kesehatan.

30

C. KERANGKA TEORI

Faktor yamg mempengaruhi upaya keluarga dalam pencegahan diare: 1. Faktor Predisposisi: Pengetahuan, Sikap, Kepercayaan, Tradisi, Nilai nilai, Tingkat pendidikan, Tingkat sosial ekonomi. Faktor pendukung: Sarana dan prasarana, Terjangkaunya fasilitas kesehatan, Ketersediaan pelayanan kesehatan. Faktor penguat: Sikap dan perilaku petugas kesehatan, Tokoh agama, Tokoh masyarakat, Peraturan pemerintah.

2.

3.

Upaya keluarga dalam pencegahan terjadinya penyakit diare pada balita 1. Diare Penyebab diare: 1. 2. 3. 4. Faktor infeksi Faktor malabsorbsi Faktor makanan Faktor psikologis 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Akibat diare: Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik, hipertonik) Hipokalemia Hipokalsemia Cardiac dysrhythmias akibat hipokalemi dan hipokalsemi Hiponatremia Syok hipovolemik Asidosis

Skema: 2.1 Kerangka teori (Nursalam, 2008; Ngatsiyah, 2005; Murtaqi, 2009, dan Green, dalam Notoatmodjo 2007) D. VARIABEL PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif yang mempunyai variable tunggal/mandiri yaitu upaya keluarga dalam pencegahan terjadinya penyakit diare pada balita. Penelitian diskriptif adalah penelitian yang dilakukan terhadap variable mandiri yaitu tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variable lain (Sugiyono, 2005).

31

You might also like