You are on page 1of 8

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh manusia untuk meningkatkan taraf hidup ke arah yang lebih sempurna. Pendidikan dapat mendorong dan menentukan maju mundurnya proses pembangunan bangsa dalam segala bidang. Dalam Undang-undang No.2/1989 tentang pendidikan Nasional dinyatakan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa mendatang. Pendidikan bidan merupakan sebuah lembaga yang membekali para calon bidan dengan penekanan pada nalar dan pemahaman pengetahuan berdasarkan keterkaitan antara teori dengan pengaplikasiannya dalam dunia praktek, sehingga diharapkan institusi pendidikan bidan mampu menghasilkan bidan yang kompeten dan professional. Bidan merupakan suatu profesi kesehatan yang bekerja untuk pelayanan masyarakat dan berfokus pada kesehatan reproduksi perempuan, keluarga berencana, kesehatan bayi dan anak balita serta pelayanan kesehatan masyarakat yang memiliki posisi penting dan strategis terutama dalam penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi (Menteri Kesehatan RI, 2007). Keberhasilan seorang calon bidan dalam dunia pendidikan tidak hanya dilihat dari nilai atau prestasi yang diraihnya. Menurut Suwardjono (2004)

pengendalian proses belajar lebih penting daripada hasil atau nilai ujian. Jika
proses belajar dijalankan dengan baik, nilai merupakan konsekuensi logis dari proses tersebut. Jika proses belajar tidak dikendalikan dengan baik, nilai tidak mencerminkan adanya perubahan perilaku walaupun nilai tersebut menambah atribut seseorang.

Dalam proses belajar diperlukan perilaku belajar yang sesuai dengan tujuan pendidikan, dimana dengan perilaku belajar tersebut tujuan pendidikan dapat dicapai secara efektif dan efisien, sehingga prestasi akademik dapat ditingkatkan. Perilaku belajar, sering juga disebut kebiasaan belajar, merupakan dimensi belajar yang dilakukan individu secara berulang-ulang sehingga menjadi otomatis atau spontan (Rampengan, 1997). Kebiasaan belajar adalah perilaku (kegiatan) belajar yang relative menetap karena sudah berulang-ulang dilakukan, baik cara, strategi belajar maupun pendekatan yang digunakan dalam belajar (Syamsu, 2006). Kebiasaan belajar dipengaruhi oleh kecerdasan atau intelegensi seseorang (Sugihartono, 2007) Kecerdasan atau intelegensi menurut Claparde dan Stern adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru. Intelegnsi tidak hanya merupakan suatu kemampuan untuk memecahkan berbagai persoalan dalam bentuk simbol-simbol (seperti dalam matematika), tetapi jauh lebih luas menyangkut kapasitas untuk belajar, kemampuan untuk menggunakan pengalaman dalam memecahkan berbagai persoalan serta kemampuan untuk mencari berbagai alternative baru dalam menghadapi situasi dan kondisi baru (Irwanto, 2002). Sehingga intelegensi

tidak hanya sekedar kecerdasan intelektual ( Intellegence Quotient ) saja, akan tetapi ada berbagai konsep kecerdasan lainnya yaitu, kecerdasan emosional (Emotional Quotient), kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) dan kecerdasan sosial (Adversity Quotient) (Rahman dalam Djafar, 2002) Menurut Depdiknas (2007) IQ adalah kecerdasan yang relatif permanen, titik berat pada logika dan analisis serta berperan sekitar 4% keberhasilan. Sedangkan EQ merupakan kecerdasan yang dapat dipelajari dan berubah menjadi baik, titik berat pada emosi dan biologis serta berperan lebih dari 40% terhadap keberhasilan. Sedangkan menurut Goleman (1997) IQ menopang kesuksesan seseorang sebanyak 20% selebihnya adalah factor-faktor lain diantaranya EQ. Kecerdasan emosi berpengaruh besar pada kesuksesan seseorang di masa mendatang. Menurut Jack Block seorang wanita yang ber IQ yang tinggi digambarkan mempunyai keyakinan intelektual yang tinggi, lancar mengungkapkan gagasan, menghargai masalah-masalah intelektual dan sekitar 80%

mempunyai minat intelektual dan estetika yang luas. Mereka cenderung mawas diri, mudah cemas dan gelisah, mudah merasa bersalah serta raguragu untuk menggungkapkan emosi secara terbuka. Sebaliknya seorang wanita yang ber EQ tinggi digambarkan cenderung bersikap tegas, mampu mengungkapkan perasaannya secara langsung dan wajar, serta memandang diri sendiri secara positif. Mereka mudah bergaul dan ramah juga ceria dan spontan. Kemantapan pergaulannya membuat mereka mampu untuk menerima orang-orang baru (Jamil, 2002).

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan maupun menyakitkan (Hidayat, 2005). Menurut Goleman Kecerdasan emosional meliputi kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri, pengendalian emosi, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial. Kecerdasan emosional seseorang dapat dikembangkan lebih baik, lebih menantang dan lebih prospek dibanding IQ. Kecerdasan emosional dapat diterapkan secara lebih luas dan membuka pintu bagi kemajuan kecakapan manusia yang lebih substansial (Nggermanto, 2002). Kecerdasan emosional tidak muncul dari pemikiran intelek yang jernih, tapi dari pekerjaan hati nurani manusia (Depdiknas. 2007). Selain itu, kecerdasan emosional bukanlah kecerdasan statis yang diperoleh karena warisan dari orang tua sebagaimana IQ. Kecerdasan emosional dapat tumbuh dan berkembang seumur hidup. Cerdas tidaknya seseorang sangat tergantung pada proses pembelajaran, pengasahan dan pelatihan emosi diri yang dilakukan sepanjang hayat (Jamil, 2002). Pada mahasiswa pelatihan EQ sangat penting untuk menumbuhkan iklim dialogis, demokratis, dan partisipatif, terutama bagi mahasiswa baru (Hidayat, 2005). Hal ini dikarenakan pada mahasiswa baru keadaan emosinya tidak stabil dan cenderung meledak-ledak, yang bisa disebabkan oleh segi umur yang masih terbilang masa remaja (Izzaty, 2008). Menurut Hurlock (1980) batasan usia remaja akhir 17-21 tahun. Selain itu, ada berbagai problematika yang dialami mahasiswa baru dikarenakan adanya perubahan lingkungan. Menurut Littlejohn (2004) setiap mahasiswa akan mengalami

culture shock dalam tahun pertama mahasiswa itu pindah ke dalam lingkungan universitas yang baru, seiring dengan usaha mahasiswa tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan baru itu. Orang yang mengalami culture shock berada dalam kondisi tidak nyaman baik secara fisik maupun emosional. Permasalahan homesick juga biasa terjadi dikarenakan mahasiswa baru berpisah dari orang tua dan karib kerabatnya hingga masalah asmara yaitu rindu pada pacar yang ditinggalkan di kampung halaman ( Gobel, 2011). Di Prodi DIII Kebidanan semarang jumlah mahasiswi baru (semester II) berjumlah 98 orang mahasiswi. Seluruh mahasiswi diharuskan tinggal di asrama baik yang berasal dari daerah Semarang maupun tidak, hal ini memaksa mereka harus berada jauh dari lingkungan mereka sebelumnya, baik keluarga maupun masa-masa SMA. Sedangkan jika dilihat dari segi usia, usia mahasiswi kebidanan semester II berada pada masa remaja akhir, yaitu berkisar antara 17-19 tahun. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan dengan

menggunakan kuesioner kepada 10 mahasiswa, 70% diantaranya memiliki kecerdasan emosi rendah dan 30% memiliki kecerdasan emosi tinggi. Sedangkan untuk perilaku belajar diperoleh bahwa 80% diantaranya memiliki perilaku belajar yang kurang baik dan 20% mempunyai perilaku belajar cukup baik. Dari uraian tersebut sangatlah penting untuk meneliti hubungan faktor-faktor kecerdasan emosional dengan perilaku belajar mahasiswi

semester II di Prodi DIII Kebidanan Semarang Poltekkes Kemenkes Semarang tahun 2012. B. Rumusan Masalah Berdasarkan rumusan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah hubungan faktor-faktor kecerdasan emosional dengan perilaku belajar mahasiswi semester II di Prodi DIII Kebidanan Semarang Poltekkes Kemenkes Semarang tahun 2012? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor kecerdasan emosional yang berhubungan dengan perilaku belajar mahasiswi semester II di Prodi DIII Kebidanan Semarang Poltekkes Kemenkes Semarang tahun 2012. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui gambaran faktor-faktor kecerdasan emosional meliputi : pengenalan emosi diri, pengendalian emosi, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial. b. Mengetahui gambaran perilaku belajar. c. Mengetahui hubungan faktor pengenalan emosi diri dengan perilaku belajar. d. Mengetahui hubungan faktor pengendalian emosi dengan perilaku belajar. e. Mengetahui hubungan faktor motivasi diri dengan perilaku belajar.

f. Mengetahui hubungan faktor empati dengan perilaku belajar. g. Mengetahui hubungan faktor ketrampilan sosial dengan perilaku belajar. h. Mengetahui pengaruh faktor-faktor kecerdasan emosional yang paling dominan dengan perilaku belajar. D. Manfaat Penelitian 1. Institusi Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam menentukan arah kebijakan terkait kecerdasan emosional dan perilaku belajar mahasiswanya. 2. Mahasiswa Sebagai bahan informasi dalam pengelolaan kecerdasan emosional dan memperbaiki perilaku belajar. 3. Peneliti Menambah wawasan dan pengalaman peneliti. 4. Peneliti lainnya Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian dengan variabel yang belum diteliti

E. Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Keaslian penelitian analisis faktor-faktor kecerdasan emosional (Emotional Quotient) yang berhubungan dengan perilaku belajar mahasiswi semester II di prodi DIII kebidanan Semarang Poltekkes Kemenkes Semarang tahun 2012
No Nama Peneliti Frenty Rohmawati Sukma Nuryanti Judul Penelitian Jenis dan Rancangan Penelitian Korelasional dengan pendekatan cross sectional Variabel Penelitian Hasil Penelitian

1.

Hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar mahasiswa D IV Kebidanan FK UNS tahun 2010

Variabel dependent: Terdapat hubungan yang Kecerdasan Emosi signifikan antara kecerdasan emosi dengan Variabel prestasi independent: Belajar Prestasi Belajar

2.

Sri Mulyani

Analisis pengaruh faktor-faktor kecerdasan emosi terhadap komunikasi interpersonal perawat dengan pasien di unit rawat inap RSJD dr. Amini Gondohutomo Semarang tahun 2008

Observasional Variabel dependent: dengan - Kesadaran emosi pendekatan - Pengendalian emosi Cross sectional - Motivasi diri - Empati - Ketrampilan sosial

Terdapat hubungan yang signifikan antara kesadaran emosi, empati dan hubungan social terhadap komunikasi interpersonal perawat. Hasil analisis Variabel multivariate menunjukan independent : adanya pengaruh - Komunikasi bersama-sama antara interpersonal pasien kesadaran emosi, empati dengan perawat dan hubungan sosial terhadap komunikasi interpersonal perawat

You might also like