Professional Documents
Culture Documents
Perkembangan kota ini pada awalnya tidak terlepas dari fungsi Sungai Siak sebagai sarana transportasi dalam mendistribusikan hasil bumi dari dataran tinggi Minangkabau ke wilayah pesisir Selat Malaka. Pada abad ke-18, wilayah Senapelan di tepi Sungai Siak, menjadi pasar (pekan) bagi para pedagang Minangkabau.[5] Seiring dengan berjalannya waktu, daerah ini berkembang menjadi tempat pemukiman yang ramai. Pada tanggal 23 Juni 1784, berdasarkan musyawarah "Dewan Menteri" yang terdiri dari datuk empat suku (Pesisir, Limapuluh, Tanah Datar, dan Kampar), kawasan ini dinamai dengan Pekanbaru, dan dikemudian hari diperingati sebagai hari jadi kota ini.[6][7] Berdasarkan Besluit van Het Inlandsch Zelfbestuur van Siak No.1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru menjadi bagian distrik dari Kesultanan Siak. Namun pada tahun 1931, Pekanbaru dimasukkan ke dalam wilayah Kampar Kiri yang dikepalai oleh seorang controleur yang berkedudukan di Pekanbaru dan berstatus landschap sampai tahun 1940. Kemudian menjadi ibukota Onderafdeling Kampar Kiri sampai tahun 1942.[8] Setelah pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, Pekanbaru dikepalai oleh seorang gubernur militer yang disebut gokung. Kemudian, berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1948, ditetapkan kabupaten Kampar dan kota Pekanbaru diberikan status kota kecil, dan menjadi kota praja setelah keluarnya Undang-undang nomor 1 tahun 1957. Kota Pekanbaru resmi menjadi ibu kota provinsi Riau pada tanggal 20 Januari 1959 berdasarkan Kepmendagri nomor Desember 52/I/44-25[7] sebelumnya yang menjadi ibu kota adalah Tanjung Pinang[9] (kini menjadi ibu kota provinsi Kepulauan Riau).
Penduduk provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku bangsanya. Mereka bermukim di wilayah perkotaan dan di pedesaan di seluruh pelosok provinsi Riau. Adapun etnis-etnis yang terdapat di provinsi Riau antara lain Banjar, Melayu, Jawa, Minangkabau, Tionghoa, Mandailing, Batak, Bugis, Aceh, Sunda, dan Flores. Suku Melayu merupakan suku mayoritas di provinsi ini dan terdapat pada setiap kabupaten dan kota, suku Jawa dan Sunda pada umumnya banyak berada pada kawasan transmigran. Sementara etnis Minangkabau umumnya menjadi pedagang dan banyak bermukim pada kawasan perkotaan seperti Pekanbaru, Dumai, serta terdapat juga di Kampar, Kuantan Singingi, dan Rokan Hulu. Begitu juga orang Tionghoa pada umumnya sama dengan etnis Minangkabau yaitu menjadi pedagang dan bermukim pada kawasan perkotaan serta banyak juga terdapat pada kawasan pesisir timur seperti di Bagansiapiapi, Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis. Suku Banjar dan Suku Bugis umumnya banyak terdapat di kabupaten Indragiri Hilir, terutama di Tembilahan. Selain itu di provinsi ini masih terdapat sekumpulan masyarakat terasing di kawasan pedalaman dan bantaran sungai seperti Orang Sakai, Suku Akit, Suku Talang Mamak, dan Suku Laut.
Bahasa yang dipakai adalah bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia dan ada juga yang menggunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu Riau mempunyai sejarah yang cukup panjang, karena pada dasarnya Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pada Zaman Kerajaan Sriwijaya, Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa internasional Lingua franca di kepulauan Nusantara, atau sekurang-kurangnya sebagai bahasa perdagangan di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu, semenjak pusat kerajaan berada di Malaka kemudian pindah ke Johor, akhirnya pindah ke Riau mendapat predikat pula sesuai dengan nama pusat kerajaan Melayu itu. Karena itu bahasa Melayu zaman Melaka terkenal dengan Melayu Melaka, bahasa Melayu zaman Johor terkenal dengan Melayu Johor dan bahasa Melayu zaman Riau terkenal dengan bahasa Melayu Riau. Pada zaman dahulu ada beberapa alasan yang menyebabkan Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi digunakan, yaitu: 1. Bahasa Melayu Riau secara historis berasal dari perkembangan Bahasa Melayu semenjak berabad-abad yang lalu. Bahasa Melayu sudah tersebar keseluruh Nusantara, sehingga sudah dipahami oleh masyarakat, bahasa ini sudah lama menjadi bahasa antar suku di Nusantara. 2. Bahasa Melayu Riau sudah dibina sedemikian rupa oleh Raja Ali Haji dan kawankawannya[rujukan?], sehingga bahasa ini sudah menjadi standar. 3. Bahasa Melayu Riau sudah banyak publikasi, berupa buku-buku sastra, buku-buku sejarah dan agama baik dari zaman Melayu klasik maupun dari yang baru.
Pacu Jalur adalah sejenis lomba perahu dayung tradisional dari Riau berukuran panjang sekitar 25-40 m dengan awak perahu 40-60 orang.[rujukan?] Setiap tahunnya, sekitar tanggal 23-26 Agustus, diadakan Festival Pacu Jalur sebagai sebuah acara budaya masyarakat tradisional Kabupaten Kuantan Singingi,Riau bersamaan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.[1] Pacu Jalur ini sudah masuk kalender pariwisata nasional[rujukan?]. Biasanya sebelum pacu jalur dimulai diawali dengan Upacara Sakral dan Magis oleh Pawang jalur. Seluruh Desa dan Kecamatan di Kabupaten Kuantan Singing mengirimkan wakilnya untuk mengikuti lomba sebagai partisipasi dan prestise masing-masing desa. Disamping pacu jalur diadakan juga Pekan Raya Kuantan Singing, pertunjukan Sendratari, lagu daerah, randai, dan sebagainya.[rujukan?]
Anugerah Sagang adalah sebuah penghargaan/award dunia Melayu yang diberikan kepada sosok atau tokoh yang berdedikasi terhadap kehidupan berkesenian, karya yang dinilai unggul, berkualitas, dan monumental, serta pemikiran yang mampu menggerakkan dinamika budaya Melayu dalam ranah tertentu. Penganugerahan Sagang diberikan oleh Yayasan Sagang, sebuah yayasan dalam grup Riau Pos yang menaruh kepedulian atas pelestarian dan pengembangan budaya Melayu. Penganugerahan Sagang ini merupakan komitmen yayasan Sagang terhadap negeri Riau, negeri yang menjadi salah satu teras tumbuh-kembangnya budaya Melayu. Suatu daerah yang dalam perjalanan sejarahnya telah menyumbangkan sebongkah emas budaya yang bernama bahasa Melayu, yang menjadi pemersatu bahasa di Indonesia. Bahasa Melayu merupakan cikal bakal dari bahasa Indonesia yang digunakan saat ini. Sebuah kontribusi dan sumbangan yang tak ternilai harganya. Kata Sagang berasal dari khazanah tradisi kehidupan masyarakat Melayu Riau di kawasan pesisir. Kata ini populer di kalangan nelayan yang bermukim di Singkep, pesisir semenanjung Malaysia dan sekitarnya. Sagang adalah nama sepotong kayu kecil, dengan diameter sekitar 2-3 cm. Biasa digunakan sebagai penyangga bubungan rumah di kawasan pantai. Kayu kecil itu dipasang melintang diagonal pada bentangan atap rumah. Gunanya untuk menjaga keseimbangan bila terjadi terpaan angin ribut. Masyarakat nelayan biasa menyebutnya sagang barat, karena kayu kecil itu sangat berjasa dalam meredam goncangan angin barat. Para nelayan biasa menggunakan kayu kecil ini sebagai penyokong bentangan layar. Fungsinya untuk menjaga bentangan layar agar tetap terbuka dalam menerima tiupan angin sehingga perahu tetap melaju kencang. Dipilihnya kata Sagang karena mengandung sebuah filosofi mendalam. Sagang merupakan simbol dari semangat untuk menjadi penyangga/penyokong, pendorong dan penggerak semangat berkreasi budaya Melayu. Ia merupakan simbol dari semangat pantang menyerah, semangat yang tak gentar betapapun hebat tantangan yang dihadapi. Sejak ditaja pada tahun 1996, Anugerah Sagang telah memberikan anugerah dalam berbagai kategori. Tiap tahun jumlah kategori yang diberikan selalu bertambah.
Riau sebagai salah satu provinsi di Indonesia memang cukup banyak memiliki jejak-jejak kebesaran kebudayaan Melayu. Di daerah Riau, pernah berdiri kerajaan-kerajaan Melayu yang cukup besar dan memiliki pengaruh yang luas di zamannya. Sebut saja Kerajaan Siak Sri Indrapura atau Kerajaan Lingga. Selain itu, dari tanah Riau juga pernah lahir tokoh-tokoh kebudayaan Melayu, semisal Raja Ali Haji. Berdasarkan bukti-bukti kebudayaan ini, menjadi wajar jika Pemerintah daerah Riau menciptakan visi Riau menjadi pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara pada 2020. Selain kerajaan dan tokoh Melayu, Riau juga kaya akan kerajinan tradisional seperti songket, tekat, batik, bordir, anyaman, atau ukiran kayu. Kerajinan-kerajinan ini terdokumentasi
dengan baik dalam buku berjudul Khazanah Kerajinan Melayu Riau ini. Buku ini membahas tentang berbagai kerajinan khas Riau yang merupakan kebudayaan orang Riau masa silam. Kerajinan-kerajinan ini hingga kini masih terjaga dengan cukup baik. Untuk melestarikan budaya Riau, penerbitan buku ini penting untuk diapresiasi.
Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia? Pengakuan bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau, secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu pusat kekuasaan yang telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya tersebut. Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk yang membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Contohnya tak begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti Aceh. Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT, atau SMAT misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebutnyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaa Melayu itu berlangsung. Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.
Pusat Bajak Laut Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul Pemikiran Tentang Sejarah Riau, sebuah makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman. Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum bersedia untuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan Malaysia, pengertian Riau itu sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-1685) dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali ke Johor tahun 1690 pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan sejarahwan di Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih sering dipakai, RiauLingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan Johor dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah pengawasan Belanda dan Singapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung Melaysia di bawah kekuasan Inggris. Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau itu, atau lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik internasional tidak pernah merupakan pusat kekuasaan terpenting atau terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat pelarian raja-raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada tahun-tahun setelah 1511, yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut, seperti untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr Ong, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham perlu mengaris bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511 itupun tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda terhadap Makasar atau Banten abad ke-17. Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, Kepulauan Riau tidak kalah dengan sekitarnya. Dinasti raja-raja Riau mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya mereka tetap unggul. Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang mendorong lahirnya budaya yang unggul itu. Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan selintas perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai salah satu kawasan kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.
Saham Raja Kecil Sejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang pengertian Kesultanan Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) dengan makalahnya Kesultanan Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman). Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian tentang wilayah kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya. Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti masalah sejarah yang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai pengertian kerajaan-kerajaan Melayu dan berkembang di Riau dari tokoh kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satu perebutan kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang dikatakan anak Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan dibesarkan di Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan, kemudian memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu terpecah belah oleh kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat kekuasaannya yang baru, yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru yaitu Kesultanan Siak (1723-1945). Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian bahwa dikawasan Riau (dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan Siak dengan penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan, selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua Kesultanan ini adalah satu, yaitu Kesultanan Johor yang merupakan penerus Malaka. Oleh karenanya banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di kawasan Semenanjung dan tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-1528), dilanjutkan Johor (1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945. Bahkan mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang yang dahulu menurunkan bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian bangkit kembali sesudah Trakat London, 1824. Namun demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai Kesultanan Riau itu, adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Malaka dan keturunan Bendahara Tun Habib, Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang dan Riau, sesudah perbelahan itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan Pahang. Itu bermula dari tahun 1722 saat Sultan Sulaiman dilantik dan menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam pengertian ibukota dan bukan wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara Johor dan Pahang, keduanya dijadikan daerah pegangan yang masing-masing dikuasai oleh dua Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang Temenggung, dan Pahang dibawah Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal lagi gugusan pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan Johor dan Pahang serta Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri sendiri. Dipandang dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan berdulat, sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya berlangsung tak lebih dari 62 tahun (1722-
1784). Sebab, dengan berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana Riau dikalahkan oleh Belanda, maka sejak saat itu Riau sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC. Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC Utrech, antara lain disebut bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan pengantian para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika itu meskipun punya sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari sebuah koloni yang dalam pengertian kesombongan VOC disebut sebagai daerah Anugerah sang ratu dan sebagai pinjaman. Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795, Riau sempat sekejap menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan negeri-negeri lain di Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti sendiri. Tetapi akibat berbagi kelemahan pemerintahan ketika itu, Riau kembali jatuh ke dalam kencaman Belanda, 1815, ketika seluruh jajahan Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan. Tenggelam Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 sampai dengan tahun 1824, dan tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-1913), sebelum akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah karesidenan yang kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau. Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung dan berhasil membantai habis satu datasemen tentara VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784 yang menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC Malaka Walvaren bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan sejarah asing, seperti buku Jan Kompeni (C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut ikut dicatat. Anti Bugis Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu, bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau, yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku Sejarah Riau (Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan pengedarannya karena ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak dikencam sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu Siak Sentris dan terlalu Anti Bugis. Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis, disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk mengangkat figur Raja Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan orang Melayu setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi berat sebelah. Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu Bugis sentris pula dan mengenyampingkan sama sekali hasil
kecermelangan beberapa tokoh keturunan Melayu, serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai Si Pembuat Onar Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, sehingga belukar sejarah yang sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada beberapa makalah lain, seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH, Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap sebagai sumber pembentukan bahasa Melayu tinggi itu. (bersambung)
Seni bina pada setiap kebudayaan biasanya memiliki ciri khas. Kekhasan tersebut berkaitan dengan fungsi bangunan, model, ornamen dan makna simbolik yang dikandung oleh setiap elemen bangunan.Dalam budaya Melayu, seni bina tersebut juga memiliki ciri khas yang terefleksi pada simbol-simbol bangunan yang sarat makna. Saat ini, bangunan-bangunan yang berarsitektur Melayu masih dapat ditemui di beberapa daerah di Nusantara, Semenanjung Malaysia, Brunei Darussalam dan negara rumpun Melayu lainnya, namun, yang masih bisa dinikmati kekhasannya hanyalah tempat-tempat ibadah, misalnya Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau; Masjid Syekh Abdurrahman Siddiq al Banjari, di Indradiri Hilir, Riau; dan Masjid Lama Kraton Melayu Sambas, Kalimantan Barat. Sedangkan bangunan tempat tinggal sudah sangat jarang dijumpai, kalau pun ada, hanyalah
tinggal istana-istana kerajaan yang jarang mendapat perhatian. Kondisi di atas mungkin bisa dimaklumi, karena perubahan zaman memang tidak dapat dielakkan lagi. Kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi telah mempengaruhi perkembangan kebudayaan, termasuk kebudayaan Melayu. Akibatnya, rumah Melayu tradisional kemudian semakin ditinggalkan, sebagai gantinya, kemudian tumbuh berkembang rumah Melayu modern yang menggunakan arsitektur dan bahan bangunan yang berbeda. Meskipun demikian, perubahan model arsitektur dan bahan bangunan dalam rumah Melayu modern, tidak sampai mengubah makna dan nilai simbolik yang terkandung dalam rumah Melayu tradisional. Dengan demikian, adat dan nilai tetap dijunjung, walau zaman telah berubah. Itulah yang dimaksud oleh Mahyudin Al Mudra dengan memangku adat menjemput zaman dalam bukunya: Rumah Melayu: Memangku Adat, Menjemput Zaman. Dalam buku ini, Mahyudin membedah secara luas dan mendalam simbol-simbol dan nilai yang terkandung dalam arsitektur rumah Melayu. Dalam masyarakat tradisional Melayu, rumah memiliki arti yang penting, bukan saja sebagai tempat tinggal di mana seseorang atau satu keluarga melakukan kegiatan hariannya, tetapi juga menjadi lambang kesempurnaan hidup. Maka dari itu, pembangunan rumah selalu dilakukan dengan hati-hati, dengan memperhatikan segala unsur unsur-unsur perlambangan yang merupakan refleksi nilai budaya.Dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut, maka sebuah rumah diyakini akan menjadi suatu ruang yang membawa kebahagiaan lahir dan batin bagi penghuni rumah dan masyarakat sekitarnya. Dalam masyarakat Melayu tradisional, rumah merupakan bangunan utuh yang dapat dijadikan tempat kediaman keluarga, tempat bermusyawarah, tempat beradat berketurunan, tempat berlindung bagi siapa saja yang memerlukan. Oleh sebab itu, rumah Melayu tradisional umumya berukuran besar, biasanya bertiang enam, tiang enam berserambi dan tiang dua belas atau rumah serambi. Selain berukuran besar, rumah Melayu juga selalu berbentuk panggung atau rumah berkolong, dengan menghadap ke arah matahari terbit. Secara umum, jenis rumah Melayu meliputi rumah kediaman, rumah balai, rumah ibadah dan rumah penyimpanan. Penamaan itu disesuikan dengan fungsi dari setiap bangunan. Yang paling menarik dari arsitektur rumah Melayu ialah simbol-simbol yang terdapat pada bagian-bagian rumah; atap, tiang, tangga, pintu, jendela, dinding, dan lain sebagainya. Dan, terdapat pula beberapa macam arsitektur untuk setiap bagian rumah yang memiliki arti tersendiri. Misalnya atap lontik. Atap lontik ini berciri kedua perabungnya melentik ke atas, yang melambangkan bahwa pada awal dan akhir hidup manusia akan kembali kepada penciptanya. Sementara lekukan pada pertengahan perabungnya melambangkan lembah kehidupan yang terkadang penuh dengan berbagai macam cobaan (h.38). Simbol-simbol itu biasa diiringi dengan ornamen yang khas dan memiliki makna tertentu pula, dan ada kalanya juga dihiasi dengan kaligrafi Arab.
Bisa dikatakan, hampir seluruh elemen yang ada dalam rumah Melayu mengandung nilai budaya. Misalnya, kamar dara yang terletak di atas loteng atau para-para dengan jalan masuk dan keluarnya dari ruang tengah, dimaksudkan untuk menjaga keselamatan dan mengontrol perilaku si anak dara. Hal ini sangat penting dilakukan, karena sifat, sikap dan perilaku anak dara tersebut berkaitan dengan kehormatan serta harga diri keluarga (h.80). Hal ihwal dan detail tentang rumah Melayu cukup terangkum dalam buku ini. Selain itu, penulis buku ini juga memberikan gambar-gambar untuk melengkapi setiap uraiannya. Buku yang berisikan lima puluh gambar arsitektur Melayu ini, dedikasikan untuk melestarikan dan mengembangkan arsitektur Melayu yang sarat dengan muatan simbol dan pandangan hidup. Bagian lain yang paling menarik dalam buku ini ialah, uraian tentang bagaimana mempertahankan simbol-simbol pada rumah Melayu tradisional dalam arsitektur rumah Melayu modern. Contoh dari usaha tersebut adalah rumah Melayu modern yang dibangun Mahyudin di Yogyakarta. Walaupun rumahnya modern, tapi simbol dan nilai-nilai tradisional yang terkandung dalam rumah Melayu tradisional tetap ia pertahankan. Setidaknya, kehadiran buku yang mendapatkan anugerah Sagang Award tahun 2003 ini dapat menjadi panduan bagi orang Melayu dalam merancang bagunan yang besendikan nilai kemelayuan di zaman modern.
Burung Srindit - Memiliki warna hijau kuning dan sedikit kemerahan di bagian ekornya ,tiga warna yang menyimbolkan kemelayuan riau,adalah burung serindit (loriculus galgulus) berukuran mini tak lebih hanya 15cm. Burung yang di identikkan dengan sifat ke arifan dimana burung ini hidup akur antar komunitasnya tanpa harus saling mengalahkan jika di tempatkan pada satu sangkar. Serindit jantan dan serindit betina memiliki ciri fisik yang tak jauh berbeda ,cuma pada jantan memiliki tanda pada kepala dan bercak merah pada bagian tenggorokan sedangkan yang betina memiliki warna yang sedikit pudar. Keunikan lain dari burung yang akan di jadikan maskot pada pelaksanaan PON XVIII di propinsi riau
yang akan datang ini yaitu lebih banyak beraktifitas dengan berjalan dari pada terbang dan ketika istirahat ia menggantungkan badan dengan posisi kepala di bawah,seperti halnya kelelawar.
Kebudayaan Melayu sarat muatan kesusastraan, dan sastra lisan mengambil bagian terbesar setelah sastra tulis. Sastra lisan orang Melayu dikenal cukup indah dengan pilihan kata dan susunan kalimat yang elok. Ungkapan-ungkapan indah tersebut, biasanya dalam bentuk pantun, syair, gurindam, peribahasa, seloka dsb, yang sering diselipkan dalam bahasa komunikasi sehari-hari. Banyak di antara ungkapan-ungkapan indah tersebut mengandung petuah, nasehat, petunjuk dan contoh teladan, karena itu, sering digunakan sebagai media pengajaran dan pendidikan. Di kalangan orang-orang Melayu, ungkapan-ungkapan yang mengandung petuah dan nasehat disebut juga dengan tunjuk ajar. Menurut orang tua-tua Melayu, sebagaimana disampaikan oleh Tenas Effendy, fungsi dari tunjuk ajar ini untuk membawa manusia ke jalan yang lurus dan diridhai Allah, sehingga selamat dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, kedudukan tunjuk ajar menjadi sangat penting dalam kesusastraan dan tradisi Melayu. Buku Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy ini, memuat ungkapan-ungkapan yang mengandung tunjuk ajar tersebut. Tenas cukup telaten dalam mengumpulkan dan menyusun ungkapan-ungkapan tunjuk ajar yang mulai jarang digunakan oleh masyarakat Melayu tersebut menjadi satu buku. Agar lebih sistematis, tunjuk ajar yang terangkum dalam buku tersebut kemudian ia klasifikasi ke dalam beragam tema, sesuai dengan kandungan isi masing-masing ungkapan. Tunjuk ajar yang terangkum dalam buku ini berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan,
mulai dari masalah keagamaan, sosial, kekeluargaan, etika, moral hingga politik. Misalnya, pantun mengenai rasa tanggung jawab, apalah tanda batang dedap / pohonnya rindang daunnya lebat / apalah tanda orang beradap / bertanggung jawab samapi ke lahat. (h.207) Contoh lain, misalnya pantun tentang musyawarah dan mufakat, pucuk putat warnanya merah / bila dikirai terbang melayang / duduk mufakat mengandung tuah / sengketa usai dendam pun hilang. (h.262) Pembagian secara tematik yang dilakukan Tenas dalam buku ini disesuaikan dengan isi kandungan dari setiap ungkapan. Namun, bisa saja satu ungkapan memiliki beragam kandungan isi, sesuai dengan pemahaman dan penafsiran pembaca. Misalnya ungkapan, bila hidup tidak mufakat, di sanalah tempat tumbuhnya laknat. Oleh Tenas, ungkapan diatas dimasukkan dalam tema persatuan dan kesatuan, gotong royong dan tenggang rasa. Namun, bila diperhatikan, sebenarnya ungkapan di atas bisa dimasukkan pula dalam tema musyawarah dan mufakat. Sebagai pembaca, mungkin kita bisa berbeda pendapat dengan Tenas dalam hal kategorisasi dan pemaknaan setiap ungkapan ini. Namun, menurut Tenas, hal ini dapat dimaklumi, bahkan penting, mengingat perkembangan penafsiran harus sejalan dengan konteks masyarakatnya, sehingga ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai luhur itu dapat dipahami dan berfungsi dengan baik. Ringkasnya, walaupun beberapa ungkapan ini bisa ditempatkan secara fleksibel dalam beberapa kategori atau tema, tetapi kandungan ajarannya yang paling dalam tetap sama: sebagai pedoman dan petunjuk bagi orang Melayu. Pada setiap tema dan kategori, Tenas memberikan keterangan pengantar tentang adat istiadat Melayu yang berhubungan dengan tema yang disajikan, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami nilai luhur yang terkandung dalam budaya Melayu. Tampaknya, upaya tematik yang diberikan Tenas hanya untuk mempermudah pembaca dalam menelusuri kandungan atau sebagian kandungan, dari setiap ungkapan yang disajikan, terutama syair. Selebihnya, pembaca dapat menafsirkan dan memahaminya sendiri. Meskipun buku ini cukup tebal, namun Tenas mengakui bahwa, ungkapan-ungkapan yang disajikannya secara tematik tersebut belum dapat mengungkap seluruh jenis tunjuk ajar, sebab masih banyak sekali tunjuk ajar Melayu yang belum terjamah, terutama tunjuk ajar yang berkembang dalam masyarakat perkampungan. Setidaknya, kehadiran buku ini telah memberikan kontribusi besar dalam upaya melestarikan tamadun Melayu, terutama dalam kesusastraan, di tengah ketidakpedulian generasi muda pada warisan agung leluhurnya. Dalam konteks tersebut, buku ini menjadi sangat penting, sebab, mengutip Tenas, bila orang Melayu kehilangan tunjuk ajarnya, berarti mereka telah kehilangan jati diri dan nilai-nilai luhur yang selama berabad-abad telah mampu mengangkat harkat dan martabat Melayu. Selain itu, kehadiran buku ini juga penting dalam upaya memahami seni kesusastraan Melayu. Membaca buku setebal 688 halaman ini, kita akan terbuai dan terlena oleh indahnya ungkapan-ungkapan Melayu. Keindahan ungkapan bukan saja terletak pada pilihan kata serta kalimat yang rancak, demikian kata Mahyudin Al Mudra dalam pengantar buku ini, tetapi lebih dari itu adalah pada makna yang terkandung di dalamnya. Buku ini cukup representatif untuk memahami adat istiadat Melayu.
Pengertian Melayu seringkali dipahami dengan cara pandang yang sempit sehingga membentuk pemikiran dan pengertian yang terkungkung dalam lingkaran parsial. Istilah Melayu pada akhirnya kerap ditinjau lewat sudut pandang tertentu, bahkan oleh kalangan ilmuan dan orang Melayu sendiri, yang nyaris selalu didefinisikan melalui sekat-sekat perspektif, termasuk lewat pandangan linguistik, politik, geografi, etnik, dan agama. Salah kaprah dalam memaknai Melayu inilah yang kemudian justru membuat kebesaran rumpun Melayu semakin lama semakin tergerus dan kian lirih gaungnya. Kejayaan Melayu sebagai salah satu rumpun bangsa yang besar di jagat raya ini seolah-olah lenyap tanpa bekas, tenggelam di tengah riuh-rendah persaingan peradaban di bumi, terasing dari gegap-gempita semesta. Hal ini disebabkan oleh efek eksklusifitas yang berdampak pada kecongkakan etnis/suku bangsa tertentu dan memecah-belah serta menempatkan bangsabangsa Melayu serumpun ke dalam kotak-kotak yang berdiri sendiri-sendiri. Melayu tidak lagi dipandang secara utuh melainkan diartikan dengan subjektif atas nama kepentingan masing-masing etnis/bangsa yang merasa memiliki hak membawa nama rumpun Melayu dengan congkak dan angkuh. Mahyudin Al Mudra berusaha melakukan upaya pencerahan agar bangsa Melayu tidak melupakan asal-usul dan nenek-moyangnya. Di bagian awal dari buku ini, Mahyudin Al Mudra menjelaskan fase-fase perjalanan bangsa Melayu dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa bangsa Melayu adalah bangsa yang sudah ada sejak lama, jauh sebelum Islam datang dan menebar pengaruh. Dalam buku ini, Mahyudin Al Mudra memaparkan kenyataan bahwa bangsa Melayu adalah bangsa yang sudah tua, bangsa yang sudah ada sejak zaman purbakala, tepatnya sejak tahun
3000 Sebelum Masehi. Kenyataan bahwa bangsa Melayu telah ada sejak zaman pra HinduBuddha, kemudian berkembang dan menyebar ke berbagai penjuru dunia merupakan alasan www.MelayuOnline.com meredefinisikan Melayu berdasarkan kesamaan sejarah dan budaya, bukan atas dasar kepentingan politik, etnik, dan bahkan agama sekalipun. Mahyudin Al Mudra mengakui, memang tidak mudah memberikan redefinisi Melayu yang dapat memuaskan semua pihak. Sejauh ini, upaya yang Mahyudin Al Mudra untuk meredefinisikan Melayu dan telah diwujudkannya dalam struktur dan isi dalam portal www.MelayuOnline.com dinilai oleh beberapa orang masih problematis. Melalui www.MelayuOnline.com, saya meredefiniskan Melayu sebagai bangsa di manapun mereka berada yang pernah atau masih mempraktekkan budaya Melayu tanpa dibatasi sekat-sekat agama, ras, bahasa, geografi, dan afiliasi politik, jelas Mahyudin Al Mudra (hal. 5). Mahyudin Al Mudra menegaskan, upaya redefinisi Melayu bertujuan untuk mengakomodir dan menyatukan seluruh puak-puak Melayu di seluruh dunia dengan memanfaatkan teknologi informasi, bukan untuk menambah daftar perbedaan definisi. Bangsa Melayu adalah manusia-manusia diaspora yang sering berkelana ke negeri-negeri lain. Gerak diaspora yang dilakukan oleh orang-orang Melayu itu mengemban peran penting dalam upaya penyebaran budaya Melayu. Maka tidak mengherankan bila puak-puak Melayu tersebar di berbagai tempat dan masih mengamalkan tradisi Melayu hingga saat ini. Sebagian besar orang Melayu memang menghuni wilayah di sekitar Semenanjung Melayu. Dalam konteks negara dan bangsa saat ini, orang-orang Melayu itu berdiam di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Namun, orang-orang Melayu yang hidup di luar areal Semenanjung Melayu juga tidak bisa diabaikan kemelayuannya. Orang-orang Melayu yang ada di Thailand, Filipina, Kamboja, Laos, Vietnam, Srilanka, Asia Selatan, bahkan Pulau Cocos dan Pulau Krismas di Oceania, serta Madagaskar, Afrika Selatan, dan Suriname, tidak berbeda dengan orang-orang Melayu Semenanjung. Semuanya masih terhimpun dalam satu rumpun, yakni rumpun bangsa Austronesia. Upaya untuk mewujudkan redefinisi Melayu demi terciptanya kesatuan bangsa Melayu serumpun yang bebas dari segala bentuk kekangan parsial memang diperlukan kerja yang ekstra keras. Sudah saatnya bangsa Melayu sedunia dipersatukan agar bangsa Melayu lebih dikenal dunia global. Caranya adalah dengan bersama-sama membenahi pandangan tentang Melayu dengan membangun paradigma yang berbeda dalam tataran horisontal melalui perspektif yang tidak lagi sempit. Salah kaprah dalam kemelayuan harus diluruskan dengan mengembalikan perspektif asal-usul bangsa Melayu. Perjuangan meredefinisi Melayu bisa dilakukan dengan memetakan serta mencari kelebihan dan kekurangan dengan tujuan memberi keleluasaan pada bangsa-bangsa Melayu untuk berkembang secara utuh. Dengan demikian, orang Melayu diharapkan akan terus belajar dalam melihat dan mengidentifikasi dirinya sendiri untuk kemudian bersiap memberikan sumbangsih yang berarti bagi dunia.
Ketika kita membincangkan tema sastra, hal pertama kali yang teringat adalah pandangan Plato mengenai sastra. Menurut Plato, sastra hanyalah mimesis, tiruan atau gambaran dari kenyataan. Artinya, yang diekspresikan dalam karya sastra adalah kenyataan yang kurang, padahal yang ingin dicapai orang adalah ide-ide yang ada di balik kenyataan tersebut. Seniman itu karena sifat pekerjaannya demi keberhasilannya, terpaksa menonjolkan sifat-sifat rendah manusia. Seninya tidak bertujuan untuk menonjolkan segi rasional jiwanya, yaitu sifat manusia yang paling luhur. Jika seni bermaksud demikian, maka berarti seni hanya meningkatkan nafsu yang sebenarnya harus ditekan. Berdasarkan tiga keberatan di atas, maka sastra tidak perlu dipandang sungguhsungguh untuk mencapai kebenaran (D. Daiches, 1956). Berbeda dengan Plato, Aristoteles memandang sastra secara lebih positif. Aristoteles menganggap bahwa sastra justru merupakan kegiatan utama manusia untuk menemukan dirinya di samping kegiatan lain seperti agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Karena itu, sastra layak untuk diapresiasi sehingga muncullah pemahaman atas karya sastra sebagai a unified whole. Artinya, bahwa seluruh bagian dalam karya sastra merupakan bahan organik pembangun hasil seni itu. Dalam mengkaji sastra, maka kajian struktur adalah penting untuk mengetahui arti keseluruhan karya sastra tersebut. Dalam konteks ini, maka sastra perlu untuk dikaji dan dipelajari. Buku karangan Prof. Dr. Sulastin Sutrisno ini adalah salah satu buku yang mencoba mengkaji salah satu karya sastra terbesar Melayu, yaitu Hikayat Hang Tuah (HHT), dari sisi struktur dan fungsi. Kajian struktur dan fungsi bertujuan untuk mencari unsur terdalam dalam sebuah karya sastra. Dalam bidang antropologi dan sastra, kajian ini banyak memakai epistimologi struktural fungsional. Seperti dikatakan oleh Prof.Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam pengantar buku ini, buku karya Prof. Dr. Sulastin Sutrisno ini merupakan kajian sastra yang serius, namun sayangnya justru analisis tentang struktural fungsional itu sendiri tidak ada. Untuk itu, pembaca sebaiknya memahami dahulu apa itu struktural fungsional sebelum lebih jauh membaca buku ini.
Hikayat Hang Tuah dalam Kajian yang Sudah Ada Hikayat Hang Tuah (HHT) dikenal sebagai salah satu karya sastra tradisional Melayu. HHT sudah dikenal sejak lama oleh para pengkaji sastra di dunia. HHT secara umum mengisahkan tentang sosok Hang Tuah. Hang Tuah adalah tokoh penting dalam alam pikiran orang Melayu. Ungkapan paling terkenal yang konon yang berasal dari Hang Tuah adalah Tak Kan Melayu hilang di dunia. Dalam HHT, Hang Tuah diceritakan berlayar mengelilingi dunia dari Indonesia hingga Madagaskar, Afrika. Berdasarkan perjalanan Hang Tuah inilah, puak-puak Melayu meyakini bahwa suku Melayu juga tersebar dari Indonesia hingga Madagaskar, Afrika. Sebagai sebuah karya sastra Melayu, HHT telah menjadi bahan kajian dari berbagai disiplin ilmu, baik oleh ahli sastra dari luar maupun ahli dari puak Melayu sendiri. Kajian-kajian tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sehingga menghasilkan pandangan yang berbeda-beda pula. Nama HHT konon pertama kali didengungkan oleh pendeta Belanda yang bernama Francois Valentijn dalam bukunya Oud en Niuews Oost-Indien (1726) yang terdiri dari tujuh jilid. Pada jilid V, dalam lukisannya tentang Malaka, dia menyebutkan sebuah karya Melayu yang indah yang bernama Hikayat Hang Tuah. Namun, dalam buku ini HHT disalahartikan dengan kitab Sulalatus Salatin (sultan-sultan Malaka), yaitu nama lain untuk Sejarah Melayu. Hal yang sama juga dilakukan oleh G.H. Werndly, seorang pendeta Swiss. Menurutnya, Hang Tuah adalah pengarang buku sejarah Melayu dan Iskandar Zulkarnain adalah nenek moyang raja-raja Melayu. Pada tahun 1854, E. Netscher menolak anggapan tentang HHT sebagai karangan sejarah. Baginya, HHT adalah sebuah roman yang amat penting, yang menampilkan tata cara hidup Melayu beberapa abad yang lalu. Sementara itu, peneliti Inggris yang bernama John Eyden menyebut HHT sebagai roman sejarah yang di dalamnya fiksi dan data sejarah tercampur. Dalam buku History of Indian Archipelago (1820), John Crawfurd menganggap HHT sebagai cerita yang tidak masuk akal dan kekanak-kanakan. HHT hanya bernilai ketika mengisahkan tentang budi pekerti dan cara hidup orang Melayu. Sementara itu, seorang ahli bahasa dan sastra Melayu dari Rusia yang bernama B. Parnickel, dalam buku An Epic Hero and: an Epic Traitor in the Hikayat Hang Tuah, menganggap HHT sebagai karya sastra hasil masyarakat feodal. Baginya, pada awalnya Hang Tuah adalah pahlawan rakyat yang membela kepentingan kalangan kelas menengah melawan Raja yang lalim. Buku tersebut kemudian jatuh ke tangan ke kelas feodal dan diubah sesuai kepentingan kaum feodal. Dalam buku A study of Genre: Meaning and Form in The Malay Hikayat Hang Tuah (1975), dan dalam kertas kerjanya berjudul Some Comments on Style in The Meaning of The Past (1976), Erington memandang HHT sebagai sejenis karya sejarah dalam hal menyimpan peristiwa-peristiwa sejarah, terutama adanya pengiriman utusan Melayu ke Rum untuk membeli senjata dan peristiwa penaklukan Malaka oleh Portugis. Para peneliti dari puak Melayu memandang HHT dengan cara yang beragam pula. Sebagian besar menganggap karya ini sebagai karya fiksi. Pandangan ini disampaikan oleh Abdul Azis Mone (1972) dalam buku Hikayat Hang Tuah dalam Kesusasteraan Indonesia Lama. Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Abdul Ghani Suratman (1963) dalam buku Hikayat Hang Tuah dalam Bidang Sastera Melayu Lama, Anas Haji Ahmad (1962) dalam buku
Kenapa Hikayat Hang Tuah bukan Satu Penulisan sejarah?, dan MD. Zahari bin Md. Zain (1970) dalam buku Persamaan dan Perbedaan antara Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu. Ada pula peneliti yang memandang HHT sebagai karya sejarah. Pandangan ini diungkapkan antara lain oleh Abdul Khadi Ahmad 1963 dalam buku Hang Tuah Sebenarnya Ada Hidup Buku Sejarah Melayu menjadi Buktinya, Ahmad Sarji Abdul Hamid (1960) dalam buku Hang Tuah dalam Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu, dan Abu Hasan Syam (1976) dalam buku Wanita dalam HHT: Imej Wanita dalam Hikayat Hang Tuah. Ada juga peneliti yang lain mengklasifikasikan HHT sebagai karya sastra dengan kategori karya sastra lain. Pandangan ini disampaikan oleh Abu Hasan Sham (1976) dalam buku Perbandingan antara Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Inderaputera dan Nilai-nilia Tradisional dalam HHT. Nilainilai Masyarakat Melayu Tradisional dilihat dari Hikayat Hang Tuah. Kassim Ahmad dari Universitas Malaya dalam buku teks Hikayat Hang Tuah (1964) menganggap bahwa HHT bukan karya sejarah melainkan karya sastra Melayu asli yang melahirkan cita-cita dan kebesaran bangsa Melayu. Menurut Kassim Ahmad, pengarang HHT tidak mempedulikan tata tertib sejarah. Dia hendak menciptakan manusia Hang Tuah yang luar biasa. HHT memang merupakan sebuah karya sastra yang besar dan penting untuk dikaji jika kita melihat berbagai kajian di atas. Kesimpulan yang beragam tentang HHT justru menunjukan bahwa HHT ikut melambungkan kebudayaan Melayu sebagai kebudayaan besar dunia. Hikayat Hang Tuah di Mata Sulastin Sutrisno Pada akhir kajiannya, Sulastin Sutrisno menyatakan bahwa dari segi tradisi dan pembaharuan, HHT mengandung sifat-sifat roman modern. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teks HHT yang panjang dan berbentuk prosa itu mengisahkan seluruh kehidupan pelaku-pelakunya dengan segala untung malangnya, pada segi kehidupan jiwanya, cita-citanya, jalan pikirannya, sikapnya dan sebagainya, dalam ruang dan waktu tertentu. Pelaku-pelakunya terdiri atas orang-orang yang berbicara, bukan dewa-dewa atau jin dan peri (hal 343). Pernyataan Sulastin Sutrisno di atas dikaitkan dengan hasil kajiannya yang menemukan bahwa HHT secara umum mengandung sifat roman karena dua hal. Pertama, peranan tokoh utama yang tidak dimainkan atas nama pribadinya sendiri. Artinya, sepanjang cerita HHT, tokoh Hang Tuah lebih merepresentasikan manusia Melayu dalam tanah Melayu yang dicitacitakan. Kedua, jika dalam cerita roman umumnya cerita cinta ditonjolkan, maka tidak demikian halnya dengan HHT. Unsur umum cinta tidak tumbuh subur dalam HHT. Akan tetapi cerita cinta yang dimunculkan justru ketegangan dalam episode Tun Teja yang menegaskan tentang kesetiaan seorang Hang Tuah sebagai hamba kepada rajanya. HHT di mata Sulastin Sutrisno justru komplit, yaitu tetap kuat unsur tradisionalnya namun juga memuat nilai-nilai internasional sebagai sebuah roman. Untuk itu, HHT layak untuk mendapat tempat dalam ilmu sastra dan menjadi warga sastra dunia. Lebih lanjut, jika kita mencermati pernyataan di atas, usaha Sulastin Sutrisno dalam menulis buku ini patut untuk diapresiasi, bahkan beliau pantas untuk dihormati sebagai salah seorang tokoh Melayu meskipun beliau berasal dari suku Jawa. Apapun kesimpulannya, kajian ini mengajarkan kepada kita semua bahwa HHT sebagai sebuah karya sastra Melayu dapat dijadikan sebagai media untuk memahami kebudayaan Melayu yang penuh warna.
Salah satu cerita lisan yang masih mentradisi di kalangan masyarakat Melayu Bengkalis, Riau adalah kisah ikan Terubuk. Kisah ini terabadikan dalam bentuk syair dengan 285 rangkaian bait yang lebih dikenal dengan Syair Ikan Terubuk. Rangkaian bait syair ini telah diterbitkan sekitar dua puluh versi, salah satunya ditulis oleh Ulul Azmi. Rangkaian syair ini menceritakan perjuangan ikan Terubuk, salah satu jenis ikan yang menjadi pemimpin kerajaan laut dengan daerah kekuasaan meliputi beberapa selat, untuk mendapatkan putri nan cantik jelita bernama Puyu-Puyu dari kerajaan air tawar. Untuk mendapatkan putri Puyu-Puyu, ia pun mengerahkan bala pasukan yang dimilikinya untuk menerobos masuk ke kerajaan air tawar. Namun mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, pasukan Terubuk terjerat jaring nelayan. Melalui buku ini, Ulul Azmi menunjukkan bahwa syair ikan Terubuk merupakan karya sastra sarat makna dan bernilai tinggi yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat Bengkalis, khususnya di laut muara sungai Siak, Riau. Di samping itu, Azmi juga menunjukkan bahwa karya sastra yang diciptakan pada abad ke-19 ini dibuat oleh seorang penyair yang memiliki pengetahuan luas mengenai kehidupan di dalam air, baik air asin maupun air tawar. Mantra Sakti Ikan Terubuk Dalam perkembangannya, Syair Ikan Terubuk yang menceritakan nasib ikan Terubuk dan pasukannya yang terjerat jaring para nelayan mengalami pergeseran nilai dan fungsi.
Mulanya syair ini merupakan karya sastra sarat makna, kemudian beralih fungsi menjadi mantera pengundang yang mempunyai kekuatan magis. Perubahan dari sekedar karya sastra menjadi mantra berkekuatan magis menunjukkan adanya pergeseran makna dan fungsi dari Syair Ikan Terubuk. Masyarakat Bengkalis percaya bahwa pembacaan Syair Ikan Terubuk dapat mengundang ikan Terubuk yang dipercaya berasal dari selat Malaka agar datang berbondong-bondong ke wilayah perairan Bengkalis untuk bertelur, beranak pinak, hingga akhirnya dapat ditangkap oleh para nelayan setempat. Untuk menghadirkan kekuatan sakral sebagai mantra pengundang, Syair Ikan Terubuk selalu dibacakan dalam upacara mengundang ikan Terubuk. Upacara ini disebut semah laut. Pelaksanaan upacara semah laut dipandu oleh para Bathin (tetua adat) yang berasal dari Bengkalis, Senderak, Alam, dan Penebal. Dalam upacara ini, para tetua adat berperan sebagai mediator untuk memanggil ikan-ikan Terubuk. Nuansa Penaklukan Membaca Syair Ikan Tarubuk akan semakin menarik jika kita membacanya melalui kaca mata politik. Secara politik, rangkaian Syair Ikan Terubuk menggambarkan ambisi yang gagal dari penguasa lautan, ikan Terubuk, untuk menguasai daerah pedalaman, putri PuyuPuyu. Jika ditarik pada konteks awal keberadaan syair tersebut, kita akan mengetahui bahwa Syair Ikan Terubuk menceritakan ambisi dari negeri pantai di wilayah Semenanjung Melayu, yang diwakili oleh Sultan Mahmud dari Melaka, untuk menaklukan negeri-negeri di daerah pedalaman, seperti Pagarruyung, Minangkabau dan negeri-negeri agraris lainnya. Tanpa menggunakan kaca mata penaklukan dalam membaca Syair Ikan Terubuk, kita akan terperosok dalam sebuah langgam dan irama yang membosankan. Namun dengan mengaitkannya dengan upaya penaklukan pada masa itu, Syair Ikan Terubuk akan mempunyai nilai lebih terutama di tengah situasi di mana sebagian besar masyarakat selalu melihat pusat kekuasaan sebagai mimpi-mimpi yang tak teraih, bahan gunjingan, dan harapan yang selalu (disuntikkan) kepada anak-cucu agar suatu saat kelak mereka akan menjadi penglima yang memegang peranan penting dalam sebuah pusat kekuasaan. Sebagai sebuah karya sastra, buku yang ditulis oleh Ulul Azmi cukup menarik dengan pemilihan kata yang cukup bagus sehingga tidak akan membosankan pembaca. Bahkan, semakin sering dibaca, semakin banyak pula nilai-nilai tersirat di dalamnya yang bisa dibongkar. Usaha Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bekerjasama dengan Adicita Karya Nusa dalam menerbitkan buku Syair Ikan Terubuk merupakan salah satu upaya pelestarian dan pengekalan khazanah seni budaya Melayu.
yang dapat dipelajari dan dipetik hikmahnya, serta menjadikan sejarah itu sebagai pedoman dalam membangun masa depan. Untuk membangun masyarakat yang terbuka, kuat dan demokratis, suatu masyarakat harus mempertahankan warisan sejarah dan budaya yang baik, dan pada saat yang sama mengadopsi hal-hal baru dari luar yang lebih baik. Masyarakat Melayu Riau pada kenyataannya kurang membuka diri terhadap kemajuan dan perkembangan modern karena mereka terlalu silau terhadap warisan sejarah dan budayanya, sehingga terbuai dengan masa lalunya. Tenas cukup memahami karakter masyarakat Melayu Riau yang cenderung pemalas. Sifat inilah yang membawa mereka pada keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan modern. Dalam syairnya Tenas menulis (bait 94): Walau Melayu bertanah luas Tetapi terlantar karena malas Dimanfaatkan orang awak pun cemas Lambat laun semuanya lepas. Di bagian akhir syairnya, Tenas menjelaskan secara detil karakter- karakter lain orang Melayu Riau. Meminjam perkataan Mahyudin Al Mudra, pemangku Balai Melayu Yogyakarta, Tenas cukup jujur dalam menilai karakter orang Melayu. Dalam syair ini, tidak lupa pula Tenas memberikan sugesti kepada generasi-generasi muda Melayu sebagai pewaris kebudayaan, seperti termaktub dalam syair di bawah ini (bait 255 dan 256): Ke generasi muda kita berharap Kuatkan semangat betulkan sikap Kokohkan iman tinggikan adab Supaya Melayu berdiri tegap Ke generasi muda kita berpesan Hapuslan sifat malas dan segan Isilah diri dengan ilmu pengetahuan Supaya Melayu tidak ketinggalan Karya sastra yang diselesaikan pada tahun 1990 ini merefleksikan pandangan-pandangan penulisnya. Dalam buku ini, Tenas banyak memotret kondisi sosial dan budaya masyarakat Melayu Riau sebelum tahun 1990. Meskipun demikian, bila dicermati secara mendalam, syair-syair tersebut masih memiliki relevansi dengan kondisi sekarang, karena proses penulisannya berlangsung dalam sebuah kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Sebagai karya sastra, "Syair Nasib Melayu" masih menampilkan gaya penulisan tradisi sastra kuno, tanpa melepaskan gaya modernnya. Beberapa bait di atas adalah salah satu contohnya. Inilah salah satu unsur yang membuat karya sastra ini begitu nikmat untuk dibaca dan diresapi. Selain itu, gaya kritik sosial yang dibangun, menurut penilaian Al Azhar, dalam prakatanya, mirip dengan sejumlah syair Lingkaran Penyengat, seperti Syair Lebai Guntur, Syair Awai, Syair Kadamuddin, dan lain sebagainya. Dengan diterbitkannya karya ini, telah bertambah khazanah kesusastraan Melayu.
"Syair Nasib Melayu " menjadi penting di kalangan peneliti dan pencinta budaya Melayu karena memuat gambaran utuh namun ringkas tentang sejarah, karakter, dan tantangan Melayu di masa depan. Tanpa bermaksud untuk berlebihan, bagi orang Melayu sendiri, hadirnya karya sastra ini ibarat cermin datar yang menjalaskan realita secara apa adanya, baik kelebihan maupun kekuranganya.
Riau berada di garda terdepan dalam menjaga tradisi dan kebudayaan Melayu di Indonesia. Bahasa pengantar di provinsi ini umumnya Melayu. Adat istiadat yang berkembang dan hidup di provinsi ini adalah adat istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakatnya bersendikan Syariah Islam. Penduduknya pun terdiri dari Suku Melayu Riau dan berbagai suku lainnya, mulai dari Bugis, Banjar, Mandahiling, Batak, Jawa, Minangkabau, dan China. Uniknya, di provinsi ini masih terdapat kelompok masyarakat yang di kenal dengan masyarakat terasing, antara lain: 1. Suku Sakai: kelompok etnis yang berdiam di beberapa kabupaten antara lain Kampar, Bengkalis, Dumai: 2. Suku Talang Mamak: berdiam di daerah Kabupaten Indragiri Hulu dengan daerah persebaran meliputi tiga kecamatan: Pasir Penyu, Siberida, dan Rengat: 3. Suku Akit: kelompok sosial yang berdiam di daerah Hutan Panjang Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis: 4. Suku Hutan: suku asli yang mendiami daerah Selat Baru dan Jangkang di Bengkalis, dan juga membuat desa Sokap di Pulau Rangsang Kecamatan Tebing Tinggi serta mendiami Merbau, sungai Apit dan Kuala Kampar. Provinsi Riau sangat kaya dengan kerajinan daerah. Hanya saja hingga kini potensi kini potensi ekonomi rakyat ini masih kurang perhatian. Salah satu bentuk kerajinan daerah Riau adalah anyaman yang erat hubungannya dengan kebutuhan hidup manusia. Kerajinan ini dikembangkan dalam bentuknya yang aneka ragam, dibuat dari daun pandan, daun rasau, rumput laut, batang rumput resam, rotan, daun kelapa, daun nipah, dan daun rumbia. Hasil anyaman ini bermacam macam pula, mulai dari bakul, sumpit, ambung, katang katang, tikar, kajang, atap, ketupat, tudung saji, tudung kepala dan alat penangkap ikan yang disebut sempirai, pangilo, lukah dan sebagainya. Kerajinan lain yang juga populer adalah Tenunan Siak. Tenunan ini mempunyai motif yang khas, sehingga nilai jualnya juga cukup tinggi. Tenunan ini biasanya dikerjakan dengan peralatan tradisional.
Tunjuk ajar adalah ungkapan-ungkapan bijak yang dikemas dalam pantun atau syair di lain waktu ia juga bisa berupa gurindam atau hikayat berisi petuah, pengajaran atau nasehat orang tua kepada anak secara turun-temurun atau dari orang tua-tua kepada generasi muda dari generasi ke generasi dalam masyarakat Melayu. Defenisi ini adalah hasil tafsiran saya sendiri terhadap Tunjuk Ajar Melayu ini. Oleh sebab itu, mungkin, belum terlalu tepat benar. Tunjuk ajar ini, dahulunya, hanya tersimpan dalam minda dan tersebar melalui tutur dari mulut ke mulut (ungkapan). Dan (mungkin) sejak era kepengarangan Raja Ali Haji ada upaya untuk menyimpan dan juga menggubah hal semacam ini dalam bentuk nukilan atau karya sastra. Tapi, tetap saja jumlah yang ternukil itu tak seberapa jumlahnya dibanding yang tersebar dalam tutur. Demikianlah betapa banyaknya ungkapan-ungkapan bijak ini jumlahnya. Dewasa ini, di Riau, salah seorang budayawan yang amat berkhikmad dalam upaya menghimpun kembali Tunjuk Ajar ini dalam bentuk buku adalah Bapak Tennas Effendy.
Untuk menyebarluaskannya lebih jauh lagi, sebagian dari apa yang telah beliau himpun dalam buku yang bertajuk Tunjuk Ajar Melayu itu, saya kutipkan di sini. Selamat menikmati. Wahai ananda hendaklah ingat, hidup di dunia amatlah singkat banyakkan amal serta ibadat supaya selamat dunia akhirat wahai ananda dengarkan peri, tunangan hidup adalah mati carilah bekal ketika pagi supaya tidak menyesal nanti wahai ananda dengarlah madah, baikkan laku elokkan tingkah banyakkan kerja yang berfaedah supaya hidupmu beroleh berkah wahai ananda dengarlah pesan, kuatkan hati teguhkan iman jangan didengar bisikan setan supaya dirimu diampuni Tuhan wahai ananda peganglah janji, berbuat khianat engkau jauhi banyakkan olehmu bertanam budi supaya kelak hidup terpuji wahai ananda cahaya mata, janganlah tamak kepada harta mencari nafkah berpada-pada supaya hidupmu tiada ternista
wahai ananda sibiran tulang, betulkan kaji, tegakkan sembahyang umur yang ada jangan dibuang supaya hidupmu dipandang orang wahai ananda belahan diri, kerja menyalah jangan hampiri berbuat maksiat jangan sekali supaya hidupmu diberkahi Ilahi Ini hanya sebagian kecil saja dari yang ada. Boleh jadi, di lain masa, akan saya kutipkan juga petuah-petuah yang lainnya. Semoga bermanfaat.