You are on page 1of 169

PROF. DR. HAZAIRIN, S.H.

HTJKUM

KEWARISAN BILATERAL
menurut

Al

- QUR'AA{
dan

HADIT'H

Penerbit
le82

akarta

Cetakan Pertama

Kedua , l96l Ketiga , 1964

1958

Keempat

Kelima ,1981
Keenam

1967

1982

: P.T. Tintamas Indonesia Jalan Kramat Raya 60, Jakarta Pusat


Diterbitkan oleh
Anggota

: IKAPI

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG.UNDANG ALL RIGHTS RESERVED


Penyusun hurdf : Tintamas Indonesia Percetakan : Tintamas Indonesia

Kata pgngarltar b4gi cetakan l.rd,re.


Cetalian kedua
.

ini

apapun jYg., kgguali dua''buah ralat .t".i'

yaitu: hal

)t,

(Januari 1961) tidak mengandung sesuatu perobahan ,"t iian 'peitamir (Agu*u, l95g)

hal. '41, baris

mo.rki, ke-18 dari atas: "ll2t, baca ,,115,,.


. I :,

baris k6-17 dari bawarrr

''t'ti

;J ilx,.;ti.;'l -,

'telah Dalam cetakan kedua dipeibaiki. ,ini dua buah $atah cetak. iersebui
t.'

SEPATAI{

IGTA BAGI

CETAKAN KETIGA

Cetakan ketiga
'.

ini (Juni 1964) tidak

mengandung sesuatu perobahan apa-

pun

Ju$a:

Pengarang.

t"

I.".

SEPATAH

IGTA DARI PENERBIT

Untuk lebih m:Tlngankan harga sedapat mungkin serta aftN pertimbangan praktis bag . kepentingan mahasiswa dan peminat-peminat lain, kedua buku karangah Prof. Dr. Hazairin SH, yaitu Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadith Kewarisan dan Sistim Bilateral,

diq'iihi 'digabungkan nini.Ot ,.iu laman setiap buku semula itu.


rt

jilid

dengan tidak ffie;'obah angka ha-

Isi kedua buku ini tidak mengalanri sesuatu perobahan. Dengq.l demikian, buht pertama merupakan cetalwn ketiga, dan buku kedua
merupakan cetakfn kedua, tergabung dalam satu jilid.
PENERBIT.

t.
I

!r ti
I
:

vl

ISI
I.
PgndahUiUan .'...................................... ......
io

o.....
.1

, II.
f-

Garis-garis pokok tentang Hukum Kewarisan dalam Qurtdn .......r...o..... o.r..............................o.

6.

III.

Ada pelbagai bentuk masyarakat : Masyarakat bentuk manakah yang dituju oleh

Qur'in
ry. t Qur'aln

It
15

Ada pelbagai sistim kewarisan : Sistim Kewarisan'Bagaimanakah dijumpaidalam

le l9
26

45

57 59

xv

6l
6t
62

s s
$

3. Ketetapan-ketetapan Rasul 4. Ketetapan-ketetapan Ulutltamri r..o............. 5. Syura


6. Al-ahkam'lkhamsah

63 65 66 68 73 75 75 76 79 84

T. Kesimpulan

II.

Hukum Kewarisan Ahlu'ssunnah wa'ljama'ah

S l. Cara berpikir Ahlu'ssunnah wa'ljama'ah ..... S 2. Prinsip-prinsip .. .. .'. .. o... o.. ..... g 3. Garis-garis hukum .......r...........r.,..............
... .r........ ...
......

III. ji
' . . ' {

Haclith kewrarisan ,,....o....................,..,......:....o......

$'1i. Tu{unnya ayat-ayatkgwarisan ..........o........


:c

84
86

$ 2. Mansukh

.. o.. t... r.

$ 3. Keragu-raguan

'.....

r.

i.......:.. '. o.........rr.

t. o..o.o

atau pertikaian di kalangan


90
93 93

Salfabalf . ......:............ o.!............... r...r..........t g 4. Wasiat ..rto...r.:..........ro.r'...............r.r......r..... S 5. Kgutamaan ....o.ro..rr........r.......t!.........r.......... $ 6. Keturunan .....rr....orrr.rr.t.?.r...r.r....r..r.r..r...o.

r06

S'7 . Saudara .......o..rr................r.....'......ro..........


$ 8. Ibn Ukhti rtr.rr..r.o.....rr.......o...!................o. S 9. Datuk r.rt....r....rr.rr..r.........r...o.....o......o........
S

lt4

I 18 122

10. Datuk bersama saud


.....t..t.r

ar.a ....o.....o,.o........r.....

$ I I . Ngnek

r.r.r.ror.r...........t...o...........r......

t34 14l
146
155

2. Hak saling mgwaris .r.....o...o.o..............r....rro.r $ 13. Harta pgninggalan si tunggal .....o................. $ 14, Tanggung jawab mengenai hutang si-pewa$I

158
160
S

16. Pembunuh

160 160

17. Bekas budak, anak zina, anak li'an, anak pUngUt, bayi ............................................ S 18. Diyah ................o..................................r....
$

l6l

Ylu

aaa

HURUF .ARAB KEPADA HURUF LATIN


Oleh karena hal-hal dnrurat yang dihadapi percetakan di lndonesia, maka transkr',,pbi huruf 'Arab kepada huruf Latin belum dapat mengikuti cara ilmiah yang sewajarnya. Transkripsi secara darurat yang dipergunakan dalam karangan ini ialah seperti berikut:
.

TRANSKRIPSI

==

e
o

I
dz

=: ,-f

0:3 C q:d
E J:rf

=3.b.

th:r)

:s

T,:J;

gh: L

:L
t :
harnzah

lx

HUKUM KEWARISAT.I BILATERAL


MENURUT

AL-auR'AN

l.
S

PENDAHULUAII.

ial ah suatu ij iihed. untuk menguraikan hukum kewarisan dalam .rQpr'En secara bilateral. Semenjak tahun 1950 makin tebal teyitinad sa.ya bahwa Qur'dn adalah anti kepada masyarakat yang unilateral, yaitu masyarakat yang

' 1 . 'Karangan ini

patrilineal. Menurut keyakinan saya Qur'an hanya meridoi masyarakat yang bilateral. Bahwa Qur'dn menuju kepada pembentukan dan penyempurnaan mas.r/ara*at yang bilateral telah

berclan-cJan menurut sistim ke.kehrargaan secara matrilineal dan

juga clalam bentuk penguraian secara ringkas prinsip bilateral yahg terkandung cialam Qur'-an itu tclah saya bentangkan di muka

saya coba membuktikannya dalain l.u[a].-kuliah saya, demikian

umdrn dalam kuliah perayaan ulang tahun ke-VI Perguruan Tinggi Islam Jakarta, tanggal l7 Nopernber 19 57 , bertempat di-aula Universitas Indonesia, dengan berkepala ,,flendak kembna Hukum Islam?", sedangkan dalam karangan-karangan kecil paham bilateral itu telah juga mulai saya lansirkan ke dalam masvarakat kita yang terkenal mempunyai pelbagai bentuk kemasyarakatan itu Dalam studi Hukum Adat, yang telah saya jalankan selama lebih kurang seperempat abad ini, saya memperoleh kesan bahwa masyarakat adat yang berbagai jenis sistim kekeluargaannya itu, patrilineal, matrilineal, bilateral, patrilineal yang beralih-alih (patrilineal alternating system) dan dubbel unilateral -, semuanya dipengaruhi. oleh faktor-faktor dari iuar dan dari dalam yang bertujuan menyalurkan masyarakat yang bukan bilateral ke-arah yang bilateral. Menurut imin saya yang dipertebal dengan hasil studi yang menganugerahkan 'ainu-'lyaqin jelas bag saya bahwa faktor-faktor tersebut. merupakan semuanya tenaga-tenaga pembantu dalam alam ini untuk mencapai tujuan Qur?dn menjelmakan masyarakat yang bilateral bagi seluruh urnmat. Dari hasil studi .saya mengenai hukum frqh Ahlu-'l-Sunnah; yang telah tnasuk di Indonesia ini agaknya sudah lebih dari tujuh abad, saya mend apat kesan bah wa ada konflik antara hukum fiqh tersebut dengan hukum adat, konflik yang berkepanjangan sampai sekarang. Fiqh Ahlu-'l-Sunnah terbentuk dalam masyarakat kebudayaan 'Arab yang bersendikan sistim kekeluargaan yang patrilineal

ddlam suatu masa di dalam sejarah dimana ilmu mengenai bentukbentuk kemasyarakatan di dunia ini belum berkembang, sehingga mujtahid-mujtahid Ahlu-'l-Sunnah juga belum mungkin memperoleh bahan-bahan perbandingan mengenai pelbagai sistim kewansan yang dapat dijumpai dalam pelbagai bentuk masyarakat itu. ; Walaupun sistim hukum kewarisan menurut ciptaan Ahlu-'lSunnah bercorak patrilineal, jangan dikira bahwa konflik yang dimaksud tadi fidtk dijumpai dalam masyarakat-masyarakat kita yang patrilineal. Konflik itu sama-sama ada, baikpun dalam

masyarakat patrilineal, rn?upun dalam masyarikut yang matrilineal, baikpun dalam masyarakat yang bilateral. Sebabsebab kesulitan

itu adalah beraneka-warna. Bag masyarakat yang matrilineal dan bilateral adalah pokok persoalan yang terpendam di dalam sanubari rakyat, yang tidak dapat menganalisa ,, kekusutan kerohaniannya" itu: mengapakah pengertian 'usbah dan 'asibbt harus dipaksakan kepada mereka ! Bagi semua macam masyarakat, juga bagi masyarakat yang patritineal, soal yang terpendam ifu ialah: mengapa sistim penggantian yang dikenal dalam praktek hidup rakyat tidak diizinkan oleh sistim fiqh itu. Kegelapan persodlan-persoalan itulah yang menyebabkan mengapa, setelah sekian abad Islam masuk ke-Indonesia, hukum .kewarisan menurut fiqh kebudayaan 'Arab itu sangat sulit menawarkan dirinya kepada rakyat .Islam di-Indonesia, juga di daerah-daerah dimana keagamaan Islarn itu sangat tebal meliputi hidup kerohanian rakyat, seperti Aceh, Minangklbau, Banten, Pasundan. Juga sistim kewarisan menurut ajaran Syi'ah akan menemui bentrokan dalam masyarakat-rnasyarakat di-lndonesia ini, walaupun hukum Syi'ah telah sangat condong kepada sistim bilateral, ialah oleh karena juga hukum Syi'ah tidak memberikan jalan keluar terhadap persoalan mengenai sistim penggantian. yang disinggung di atas tadi. S aya berkeyakinan bahwa conflict-conflict itu bukan ditimbulkan oleh Qur'in sendiri, tetapi ditimbulkan oleh ikhtildf manusia. Karangan ini berusaha menghilangkan beberapa persoalan-persoalan kardinal, dengan tujuan mudah-mudahan dapatlah ummat Islim rnemeluk hukum Islam sungguh-sungguh menurut kemauan Tuhan dalam A1-Qur'bn-'l-Karim-Nya: kemauan All-ah, yang juga dalam kemauan-Nya itu benifat tauhid, yang hanya mengizinkan satu ma'na saja terhadap setiap ke2

mauan-Nya. Dalam hubungan ini patut diingat SDrah IV : 82 : Afald yatadabbarfina 'lqur'a'na? Walau kana min 'indi ghaiiri'llahi lawajadti fihi 'khtilafan kathiran !

umpamaan . . Orang-orang yang sungguh-sungguh ber'ilmu berkata : Kami beriman kepadanya . . . . semLra ayat-ayat itu adalah dari Tuhan kami . . . . Berdasarkan ayat tersebut, maka segala keiulitan dicoba pengatasinya dengan methodik perbandingan langsung antara segala ayat-ayat yang ada sangkut-pautnya dengan pokok persoalan, meskipun sekali persangkutannya itu dalam jarak yang jauh. Maka ayat-ayat yang ada persinggungannya dengan sesuatu hal dihimpunkan menjadi suatu kebul atan yang sebagai keseluruhan' menenttrkan arti bagi setiap bagian dari keseluruhan itu, dan dengan demikian menentukan arti bagi hal yang dipersoalkan. Menurut sistim tafsir ini maka tidak dibolehkan'mengartikan sesuatu ayat yang menjadi bagian dari keseluruhan itu secara terlepas dari keseluruhannya itu atau dikeluarkan dari ikatan keseluruhannya itu. Dengan demikian maka tidak ada kemungkinan bagr sesuatu ayat Qur'a-n untuk . nre-mansukh-kan ayat yang lain, sehingga ayat ini seakan-akan terhapus dari Qur'air dan karena itu tidak berlaku

S 2. Dalam menyalurkan pengertian-pengertian dari Our'an adalah jalan fikiran dalam karangan ini didasarkan kepada Sfrrah III i l, yang rnaksud ringkasnya ialah : ,,Dia, AllAh yang menurLtnkan Qur'dh itu kepadamu . Ayat-ayatnya ada yang bermuat ketentuan-ketentuan pokok , ada pula yang berupa per-

ayat yang pasti, yang bermuat ketentuan-ketentuan pokok atau ummu'lkitab. Dalam bab II diberikutkan ayat-ayat itu, tidak semuanya, tetapi sekedar yang ada hubungan langsung

$ 3. Semua ayat-ayat Qur'd'n mengenai kewarisan adalah ayat-

dengan soal-soal yang diureiikan dalam karangan ini. Ayat-ayat yang tidak ikut dinukilkan itu ialah : II : I 8l , yang memberi ingat kepada kita untuk berhatihati dalam mengurus keberesan perihal wasiat sehingga tersingkir kemungkinan pemalsuanny a. Il : 182 yang memungkmran memperbaiki kemauan pe-'

wasiat dalam.hal kekeliruan atau kesalahan dari pihak pewasiat sendiri; ry | 2, 3, 5, 6, 9. 10, yang memberi ingat untuk mengatur sebaik-baiknya keselamatan harta peninggalan yang menjadi milik alrli.waris ahli-waris yang belum dewasa atau dungu terhadap pengg+rs-pengurus harta tersebut; IV : 19, larangan menjadikan perempuan seperti harta warisan, sebagaimana dijumpai dalam masyarakat-masyarakat patrilineal tertentu, ayat mana menurut pendapat saya lebih tepat dibicarakan dalam uraian mengenai hukum perkawinan, yaifu dilarang mengawini janda saudara secara kekerasan dengan tidak semaunya janda itu sendiri:
,

istimewa antara orangorang seperjuangan yang berjuang terhadap keluarga sendiri dalam mendirikan agama; XXXIII i 4, bagian pertama, dimana dinyatakan bahwa perempuan yang dLziher tidak menjadi ibu bagr bekas suaminya. Angka-angka ayat-ayat Qur'dn dalam karangan ini adalah menurut rdka-an Mesir. Terjemahan ayat-ayat yang ada dinukilkan dalam bab II lebihlah mengutamakan isi maksud dan untuk mudahnya maka pelbagai garis hukum yang termuat dalam sesuafu ayat itu diperinci menurut alphabet Diantara soal-soal penting yang harus dikupas berkenaan . dengan ayat-ayat itu ialah : 1. sistim kekelu atgaan manakah yang berselarasan dengan hukum kewarisan menurut Qur'an ; ' 2. masuk jenis manakah kewarisan menurut Qur'dn ; 3. dikenalkah garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian sistim kewarisan secara Qur'dn. Satu soal yAng disini tidak disrnggung oleh karena saya bukan ahli dalam soal tersebut. yaitu ; sistim perekonomian manakah yang berselarasan dengan hukum kewarisan menurut Qur'?tn. Soal tersebut inembutuhkan studi yang tersendiri yang dilakukan oleh sarjana-sarjana perekonomiatt yang disamping itu juga ahli dalam ajaran-ajaran Qur'dn tentang segl kemasygrakatan mengenai usaha dan hasil usaha orang perseorang?n, tentang kSdudukan milik dalam
,

VIII': 72,75 dan XXXIII i 6, rnengenai kewarisan

lingkungan hajat perseorangan kemasyarakatan dan sebagainyu.

dan dalam lingkungan hajat

II.

GARTS_GARIS POKOK HUKUM KEwARISAN DALAM QUR'TN.

II : 180.
Jika seseorang dekat kepada 'mautnya dengan meninggalkan lrarfa maka diwajibkan bagi nya menentukar wasiat bagi ibubapaknya (bagi kedua orang tuanya, bagi ayah dan maknya)
dan keluarga dekatnya secara yang selratut-patutnya.

II : 240.
Seseorang yang dekat kepada mall tnya dengan meninggalkan isteri seorang atau lebih, berwasiatlah bagi isterinya itu guna pemeliharaan hidup isteri (isteri-isteri) itu selama setahuil, dengan isteri (isteri-isteri) itu berhak menetap tinggal selama itu ditempat

kediaman suaminya itu.

IV:7
Bagi seorang laki-laki, demikian juga bagi seorang perempuan, sebagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan keluarga dekatny&, sedikit atau banyak, se cara pembagian pasti. IV:11. Ketentuan Allah mengenai anak-anakmu ialah : a. anak laki-laki bagiannya sebanyak dua kali bagian anak
perempuan;

b. jika anak-anak itu hanya anak-anak perempuan saj a, tlu a .t orang atau lebih, maka baginya duapertiga dari harta c. jika anakmu
peninggalanmu;

hanya seorang anak perempuan saja maka baginya seperdua dari harta peninggalanmu;

IV: 1 l. Ketentuan Alleh mengenai ibu-bapakmu ialah d. jika ada anak (walad) bagimu maka bagi ayah dan makmu masing-masingnya ialah seperenam dari harta pening galanmu; e. jika tidak ada anak (walad) bagimu sedangkan ayah dan maKmu Kedua-duanya mewarisimu maka bagi makmu se6

f.

pertiga dari harta peninggalanrlu, yaitu manakala bagimu tidak ada saudara (ikhwatun); jika tidak ada unui. bagimu sedangkan ayah dan makmu 'makmu seperenam kedua-duanya mewarisimu maka bag dari harta peninggalanrnu, yaitu manakala bagimu ada saudara ( ikhwatun );

IV: I 1. g. Pembagan yang dimaksud dalam IV:l I huruf a sampai dengan f itu adalatr setelah dikeluarkan wasiat atau/dan hutangmu; IV: I 1. h. Ibu-bapakmu dan anak-anakmu, tidak tahu engkau siapa dari mereka itu yang terlebih dekat kepadamu dalam pernilaian kegunaannya bagimu.

IV:12. a. Bagimu seperdua dari harta peninggalan isteri-isterimu, jika bagi isteri-isterimu itu tida,k ada anak; b. Bagimu seperempat dari harta 'pelinggalan isteri-isterimu, jika bagr isteri-isterimu itu ada' anak;

c.

d. e.

dari harta peniggalanmu, jika bagimu tidak ada

Bag isteri-isterimu sebagai janda peninggalanmu seperempat


anak;

Bagi isteri-isterimu sebagai janda peninggalanmu seper delapan dari harta peninggalanmu, jika bagimu ada anak;
Pembagan yang dimaksud dalam IY:12 huruf a sampai dengan d itu adalatr setelah dikeluarkan wasiat atau/dan hutangmu;

IV:12.

g.

lY: 12. f. jika seseorffig, laki-laki malrpun perempuan, diwarisi secara kalilah dan baginya ada seorang. saudara laki-laki atau'Ss' orang saud ara perempuan 'maka bagi saudara itu masingmasing seperenam dari harta peninggalannya;
Jika seseor?flg, laki-laki maup1n pere:mpuan, diwarisisecara

kalilah dan baginya ada beberapa orang saudara, semuanya laki-laki atau semuanya perempuan atau semuanya campuran antara laki-laki dan perempuan, maka semua saudara itu berbagi sama rata atas sepertiga bagian dari harta peninggalannya;

IV
h.

IV : 12 huruf f dan g itu adalah setelah dikeluarkan wasiat atau/dan hutangny&, dengan tidak bctleh seorangpLut tnengumpat karena lerasa dirugilwn ( ghaira muddrrin ). atau dengan tidak boleh ada disknmmasi yang merugikan.
Pembagian yang dimaksud dalam
32.

l?.

IV :

Janganlah beriri hati karena Allah melebihkan seseorang dari yang lain. Baikpun bagi laki-laki maupun bagi perempuan, bagiannyalah apa yang diperolehnya, baik karena usahany&, maupun karena kewarisan.

IV
a.

33. Dan bagr setiap orang itu aku Allah telah mengadakan ahli waris (mawAn ) bagi harta peninggalan ibu bapa dan keluarga dekat (al-aqrabun);
33.

IV
b.

Dan bagi setiap orang itu aku Atleh telah mengadakan ahli waris (mawdli) bagi harta peninggalan seseorang -dengan siapa kamu telah mengikat janji;
33

IV
c.

Karena

b itu) riaka berikanlah


IV
a. 17 6.

itu

(atas alasan terseout dalam

IV : 33 hurr"rf a dan kepada mereka itu, ya'ni kepada

trt{twdli itu, bagiannya masing-masing.

Atas pertanyaan mereka kepadamu (Muhammad) jawablah balrwa penjelasan Allah mengenai orang yang mati .,,kalilah" ialah : ,,iika seseorang, laki-laki atau p('r(mpuan, nt(t'tinggul dunia derryan tidak ada bugins,a anuk (wulud)":

IV
b.

Dan jika or3ng yang mati kalilah itu ada baginya seorang saudara perempuan maka bagi saudara perempuannya itu seperdua dari harta'peninggalannya;
176. Dan jika yang mati kaldlah itu seorang saudara perempuan dan ia hanya mempunyai seorang saudara laki-laki saja, (ataupun lebih dari seorang), maka saudara laki-lakinya itu mewarisinya;

t7 6.

IV
c.

IV
d.

saudlra perempuan (atau lebih dari dua orang) maka bagr rnereka ini duapertiga dari harta peninggalannya

Jika bagr yang mati kaldlah itu ada dua orang

17

6.

IV
g.

Jika bag yang mati kalElah itu ada beberapa' saudara (ikhwatun), baik laki-laki maupun perempuan Jenisny?, maka pembagian 'antara mereka ini ialah : seorang laki-laki
mendapat dua kali sebanyak bagian seorang perempuan.

17 6.

XXKII : 4.
di
Alldh tidak menjadikan anak angkatmu (ad'iyd'akum) jaanak bagimu,
,

XXXIII : 5. ';."'

b. Anak yang telah terlanjur


bagimu.

nama ayahnya;

p**tillah anak angkat itu

dengan nama yang disertai


.

engkau angkat sebagai anak sedangkan engkau tidak dapat ketahui lagt siapa orang tua; nya sebenarnya, adalah saudaramu dalam agama dan mawdli

IV:8.

Jika pada pembagian harta peninggalan ada ikut hadir lain{ain keluarga (Ulu-'lqurba) dan anak-anak yatim dan
orang-orang miskin, maka berilah peragihan kepada mereka itu dari bagian-bagian yang telah diperoleh oleh ahliwaris.

;:9

II :

233.

pula ahli-waris karena pewarisnya (la tucldrra v'aliclatun bi vtalacliha wa ld nuwlucltut lahit bi v,alaclli , wa'ala 'lwaritlti rnithlu dzdlika).

Tidak diberati ibu atau ayah karena anaknyt, demikian

NI. ADA PELBAGAI BENTUK MASYARAKAT


MASYARAKAT BENTUK MANAKAH. YANG DITUJU OLEH QUR'Ett.

S 1. Hukum menentukan bentuk masya rakat. Masyarakat yang belum dikenal dapat clicoba mengenalnya pada pokokpokoknya dengan mempelajari hukum yang berlaku dalarn masyarakat itu : hukum mencerminkan masyarakat. .' Dari seluruh hukum maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistim kekeluargaan

yang berlaku dalam masyarakat itu. Bentuk kekeluargaan berpokok pairgkal kepada sistim (earis) keturunan. Pada pokoknya ada tiga macam sistim keturunan, yaitu a. yang patrilineal, yang menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeiuargaan yang besar-besar, seperti clan, marga, dimana setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya hanya kep ada ayahnya dan karena itu termasuk ke dalam clan ayahnyd, yakni dalam sistim patrilineal yang murni seperti di tanah Batak, atau dimana setiap orang itu menghubung kan dirinya kepada ayahnya atau kep ada makny?, tergantung kepada bentuk perkawinarr orang-tuanya itu, dan karena it.y termasuk ke dalam clan ayahnya afaupun kedalam clan ibunya, yakni dalam sistim patrilineal yang beraliltqlih, seperti di-Lampllng dan Rejang; yang matrilineal, yang juga menimbulkan kesatuan-kesatuan b. kekeluargaan yang besar-besar, seperti clan, suku, dimana setiap orang itu selalu rnenghubungkan dirinya hanya kep ada maknya dan karena itu termasuk ke dalam clan, suku, maknya itu; c. yang parental atau bilateral, yang mungkin menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang besar-besar, seperti tribe, rumpun, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dalam hal keturunan baik kepada maknya maupun
:

kepada ayahnya. Jika disebut suatu masyaralcat itu patrilineal atau matrilineal atau bilateral, maka yang dimaksud ialah bahwa sistim *e-

ll

keluargaan dalam masyarakat itu berdasarkan sistim keturunan yang patrilineal atau matrilineal atau bilateral. Jika disebut sesuatu hukum kewarisan itu patrilineal atau rnatrilineal atau bilateral, maka yang dirnaksud ialah bahwa htlktim kewarisan itu mencerminkan suatu sistirn kekeluargaan, dimana berlaku sistim keturunan yang patrilineal atau matriline. al atau bilateral itu. Kekeluargaan ditimbulkan pada prinsipnya karena perkawinan. Benteng untuk mempertahankan bentuk masyarakat yang patrilineal ataupun matrilineal ialah bentuk perkawinan yang disebut exogafili, dimana terlarang perkawinan antara lakilaki dan perempuan yang se-clan. Demikianlah dalam masyarakat yang matrilineal dilarang kawin antara 'All dan Fdtirnah, manakala mak 'AlI dan mak Fatimah se-mak (mernpunyai mak yang sanra). sebab dalam hal ini maka 'AlT dan Fltimah adalah se-clan. Dcmikianlah purla dalam masyarakat patrilineal yang murni dilarang kawin antara 'AlI dan Fdtimah manakala ayah 'Ali dan Fatilnah se-bapak, sebab dalam hal ini maka 'Alf dan F5'timah adalah se-clan. Dalam masyarakat patrilineal yang beralilt-alilt (alternerend patrilineale ordening, alternating patrilineal system) seperti di-Rej?ilg, dilarang kawin antara 'Ali dan Fdtimah jika ayah 'Alf memperanakkan 'Ali dalam kawin yang patrilokal, demikian juga ayah Fdtimah memperanakkan Fdtimah dalam kawin yang patrilokal, sedangkan ayah 'Af dan ayah Fdtimah atau diperanakkan pula dalam perkawinan y ang patrilokal oleh ayah yaTg sama ataupun dilahirkan dari perkawinan yang matrilokal oleh ibu yang sama, sehingga semua mereka itu se-clan; atau dilarang kawin antara 'Alf dan Fdtimah jika mak 'Ali rnelahirkan 'Alf dalam perkawinan yang matrilokal, sedangkan ayatl Fdtimah memperanakkan Fdtimdh dalarn perkawinan yang patrilokal sedangkan mak 'Ali dan ayah Fdtimah diperanakkan oleh ayah yang sama ddlam perkawinan yang patrilpkal , ataupun dilahirkan oleh ibu yang sama dalam perkawinan yang matrilokal, sehingga semua mereka itu se-clan; atau dilarang kawin antara 'Ali dan Fdtimah jika mak 'Ati melahirkan 'Alldan mak Fdtimah melahirkan Fdtimah dari perkawinan yang matrilokal sedangkan mak 'Ali dan mak Fdtimah dilahirkan oleh ibu yang sama dari perkawinan yang matrilokal ataupun diperanakkan oleh ayah yang sama dalam perkawinan yang patrilokal, sehingga semua

t2

' 'i:i

mereka itu se-clan. Dalam sistim patrilineal yang beralih-alih seperti di-Rejang itu banyak lagi kemungki.nan-kemungkinannya sehingga 'Ali dan Fftimah yang sepupu'itu tidak boleh saling mengawini karena se-clan itu. Mempelajari larangan-lar.angan dan kebolehan-kebolehan diI ap angan perka win an sep up u, - c ross-c ousins d an p aral le l-c ousins-, akan memperdalam perlgertian tentang bentul<-bentuk sistim kekeluargaan, baik bagi masyarakat yang patrilineal, maupun bagi masyarakat ya,ng matrilineal, baikpun bag masyarakat yang bilateral.
$, 2. Jika Qur?n dipelajari dengan beralatkan ilmu tentang pelbagai bentuk kemasyarakatan, yakni tentang pelb agai jenis sistim kekeluargaan, tentang pelbagai jenis sistim garis

keturunan, tentang pelbagai macam larangan-larangan perkawin&il, rnaka ayat-ayat Qur'En di lapangan perkawinan dan kewarisan mencerminkan suatu bentuk sistim kekeluargaan yang bilateral. Qur'an, dalam SDrah IV : 22, 23, 24, setelah memperinci larangan-larangan perkawin&n, memproklamirkan dalam ayat 24 itu "wa uhilla lakum mE ward'a dzdlikum" , yaitu dihalalkan, artinya trdhk boleh dilarang dan tidak boleh dicela, semua macam perkawinan yang tidak termasuk ke dalam perincian laranganlarangan Qur'dn itu. Jelas ikut tidak termasuk ke dalam laranganlarangan itu semua bentuk perkawinan sepupLl, SemLla bentuk cross-cousins dan parallel-cousins, maka dengan sendirinya hakekat proklamasi itu ialah hendak menghancurkan sistim masyarakat yang patrilineal dan matrilineal untuk selanjutnya hendak membangunkan masyarakat bilateral menurut model yang diberikan oleh Qur'dn. Dengan terhapusnya pelbagai larangan mengenai kawin sepupu itu, larangan mana dalam masyarakat yang patrilineal dan matrilineal adalah untuk seluruhnya atau hamtrlir untuk seluruhnya parallel dengan larangan kawin se-clan, maka akan ikut terhapus pulalah larangan perkawinan se-clan dalam masyarakat yang patrilineal dan matrilineal itu, hal mana berarti menanggalkan syarat 'exogami dan j'ika syarat ini telah tanggal maka tumbanglerh clan yang berbentengkan exogami itu, dan jika clan telah tumbang maka akan timbullah masyarakat yang bilateral.
r3

-luga dari ayat-a:/at. kewarisan dalam Qur'dn dapat secara diambil ketryaraan bahwa sistim kekeluargaan menurut Qur'a-n ittr adalah bilateral. Silrah IV : 1l meniadikan semua anak, baik anak lakilaki, mauplln anak perempuan, menjadi ahli-waris bagi orang-tuanya (ayah dan ibunya). Ini adalah sistim bilateral, karena dalam sistim pairiliueal pada prinsipnya hanyS anak laki-laki yang berhak mt:waris sedangkan dalam sistim matrilineal anak-anak hanya mqr,r.,aris dari ibufly&, dan tidak dari bapan ya. Demikian pula ayat tersebut menjadikari ayah dan mak rncrnjadi ahli waris bagi anaknya yang mati punah. Ini adalah sistirn bilatdral, karena dalam sistim patrilineal anak itu diwarisi oleh ayah, 'sedangkan dalam sistim matrilineal anak tersebut diwarisi oleh ibu Slirah IV : 12 dan 17 6 menjadikan saudara ahli-waris bagi sattdaranya yang punah, tidak perduli apakah si-nrati itu lakilaki atau perelnpuan, demikian pula tidak perduli apakah saudara yang mewarisi itu laki:laki atau perempuan. Ini adalah sistim biiateral, karena dalam sistim patrilineal hanya saudara laki-laki pada prinsipnya yang berhak mewaris, sedangkan saudara itu harus pula se-clan, sedangkan dalam sistim matrilineal juga hanya atas restriksi se-clan dengan si-pewaris baru dapat diizinkan saudara perempuan dan saudara laki-laki itu menjadi ahli-waris.
langsLrrlg

l4
t.

IV. ADA PELBAGAI SISTIM

KEWARISAN : SISTIM KEWARISAN BAGAIN{ANAKAH DIJUMPAI DALAI\{ QUR'Iru

bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan pemilikannya diantara ahli-waris seperti dalam masyarakat bilateral di-Jawa dan dalam masyarakat patrilineal di-Tanah-Batak; kedua : sistirn kewarisan lcollelctif, yang cirinya ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli-waris yang merupakan semacam badan hukum dimana harta tersebut, yang diseburt harta pttsaka, tidak boleh dibagi-bagikan pemililcannya dian tara ahli-waris ahli-waris, dan hanya boleh dibagi-bagikan pemakaiannya kepada mereka itu, seperti dalam masyarakat matrilineal di-Minangkabau; ketiga : sistim kewar$an rnayorat, dimana anak yang tertua pada saat matinya si-pewaris berhak tunggal untuk mewarisi selttruh harta peninggalan, Atau berhak tunggal untuk mewarisi sejumlah harta pokok dari satu keltrarga, seperti dalam masyarakat patrilirteal yang treralih-alih di-Bali (hak mayorat anak lakilaki yang terttra) dan di-Tanah-Semendo di-Sumatera-Selatan (hak mayorat anak perempuan yang tertua). Sifat indivrduil ataupun lcollektif ataupun mayorat dalam suatu ltukurn kewarisan tidak perlu langsung menunjuk kepada bentr-rk masyarakat dimaner hukr-rm ker,varisan itu berlaku, sebab sistirn kewarisan yang individuil bukan saja dapat ditemui dalam Inasyarakat yang bilaterAl, tetapi juga dapat dijumpai dalam masyarakat yang patrilineal seperti di-Tanah-Batak, malahan diTanah- Ba tak i tur di sana sini mungkin pula dijumpai sistim mayorat dan sistim kollektif yang terbatas ; dernikran juga sistim mayorat (hak anak perempuan yang tertua) itu, selain dahm masyarakat patrilineal yang beralih-alih di-Tanah:Semendo, dijumpai pula pada masyarakat bilateral orang Dayak di-Kalimantan Barat, sedangkan sistim kollektif itu dalam batas-batas tertentu malahan dapat pula dijumpai dalam masyarakat yang bilateral

$ l'/Di-Indonesia kita menjtrmpai tiga macam sistim kewarisan, yaitu pertama : st.s tim kewarisan individuil yang cirinya ialah
:

r5

seperti di Minahasa Sulawesi-Ut


/
.t.

ara.

3 z.'/Oleh karqna bentuk masyarakat belum dengan sendirinya memberikan kepastian tentang jenis hukum kewarisannya maka jika kita akan menentukan apa jenisnya hukum kewarisan menurut Qur'dn itu kita harus mempergunakan ukuran yang berdiri sendiri terlepas dari ukuran bagi bentuk masyarakat menurut Qur'En. Setelah dijawab apa bentuk masyarakat yang dituju oleh Qur'En, yakni masyarakat yang bilateral, maka derlgan jawab itu saja belum lagr dapat dijawab soal mengenai sistim kewarisan bilateral macam apakah yang diciptakan oleh Qur'dn. Mencari perbandingan dengan masyarakat yang bilateral telah tepat, setelah ditetepkan bahwa Qur'dn menghendaki masyarakat yang bilateral. Membandingkan sistim kewarisan menLrrut

yang bilateral mbmbutuhkan terlebih dahulu suatu ketetapan bahwa sistim kewarisan menurut Qur'dn itr-r sungguh termasuk kepada jeniS yang individuil. Untuk menjawab itu kita hanya dapat memakai ukuran yang telah ada juga di luar Qur'dn, balrwa yang dinamakan sistim kewarisan yang individuil itu ialah sistim kewarisan dimana ahli-waris ahli-waris berhak memperseorangkan harta peninggalan itu dengan cara membagi-bagikan pemilikan harta itu diantara lnereka. Sistim ini mengambil pendirian bahwa dengan matinya si-pewaris dengan senclirinya hak milik atas harta-hartanya itu berpindah en bloc kepada ahliwaris ahli-warisnya, setelah mana segera atau setelah berlalu beberapa waktu ahli-waris itu membagi-bagikan milik harta, itu antara mereka untuk dijadikan Uari nrilik bersama antara nrereka semenjak saat matinya si-pewaris itr"r ntenjadi milik perseorangan dengan jalan berbagi. Sistim serupa ini menghendaki bahwa pada saat rnatinya si-pewaris itu telah dapat diketahui dengan pasti siapa ahli-waris ahli-rvaris itu, seticlak-tidaknya telah wajib diketahui pada saat berbagi itu. Jika diperiksa apa adakah ciri-ciri sistim kewarisan yang individuil itu pada ayat-ayat kewarisan dalam Qur'dn, maka kenyataan bahwa ayat-ayat itu memenuhi akan unsur-unsllr sistim rndrvrduil itu. Qur'dn IV : 7 clan IV :.33. ntenganclung prinsippfinsip bagi sistim kewarisan yang inclividuil, y"itu acla utiti-r,vaiis yang masing-masing berhak atas srratu bagian yang pasti, dan

Qur'd'n dengan sistint kewarisan yottg inc)ivicluil clalam masyarakat

l6

bahwd bagian-bagian

itu wajib diberikan kepada mereka (nasiban mafrfidan; feetilhum nasibahum). Qur'6ri lV : 8 sengaja menyebut alqismah yaitu pembagi&il, sedangkan Qur'dn IV : 11, 12,'176 menentukan selanjutnya bagian-bagian untuk ahli-waris ahli-waris itu. Maka sekarang tidak iaa lagi ragu-ragqnya uhtuk inenyatakan bahwa sistim kewarisan menurut Qur'6'n itu termasuk jenis yang individuil bilateral.

yang bilateral maka kenyqtaan bahwa yahg sungguh merupakan hal baru dalam Qur'an ialah bahwa QurlEn dalam Sdrah IV : l ld mendudukkan anak si-pewaris bersama-sama dengan orang-tua si-pewaris serentak seb agai ahli-warisnya, sedangkan dalam sistim kewarisan di luar Qur'dn hal yang demikian itu tidak mungkin karena orang-tua baru mungkin mqnjadi ahli-waris jika si-pewaris mati punah (mati tidak berketurul?n). Hal baru tersebut adalah saluran langsdng brg prinsip yang diletakkan Alfah dalam IV : llh : iba'ukum *u-abna'rikum ia taarfrna ayyuhum aqrabu lakum nafan. Demikian juga Qur'dn 'membawa hal yang baru dalam IV : 1?, 17 6 yaitu bahwa dalam hal si-pewaris mati punah ada kemungkman bersama-sama bertindak sebagai ahli-warisnya saudara-saudaranya beserta dengan orang-tuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya, seperti nanti akan diuraikan dalam pembicaraan rnengenairkal-alah. Juga hal baru yang kedua ini adalah saluran langsung b.agi prinsip yang dimaksud, sebab jika orang-tua sipewaris dapat berkonkurrensi dengan anak-anak si-pewaris, apalagr dengan saudara-saudaranya, yang sederajat lebih jauh dari anak-anaknya. Menurut sistim kewarisan di luar Qur'dn maka saudara si-pewaris tertutup oleh orang-tuanya. i Sefanjutnya hal 6aru yang ketiga yang dibawakan oleh Qur'an ialah bahwa suami' istri saling mewarisi. Suatu keanehan sebagai hal baru yang keemp at yang tidak dijumpai dalam sistim kewarisan di luar Qur'dn ialah fara'id, yakni bagiutt-Uugian tertentu bagi oranforang tertentu dalam keadaan tertentu. $

3: Jika dibandingkan sistim kewarisffi. individuil bilateral menunrt Qur'dn itu dengan sistim yang senrpa dalam masyarakat
S

.:.

4.-/,Ketentuan Qur'dn mengenai fara'id itu menimbulkan


t7

m4 a}lgfiairi, :'bi 1a{SihT,'aSabah bi-'lghairi : Oan. semuanya . orang:o{.alg ..yang.term4suk pengertian anggautal _lng-gguta suatu kqkel,u argaar: yang ptatrilinial, Iun ,kedua Aiunuut 'larfdm,'yaitu semud orang yang Uutcan dzawil-'lfarE'id'dan ilk; 'asabEt dan pada umum"vu ,teidiri dari ;;il-;;il; l;;; termasuk angg?uta-anggauta- keluarga. patrili'neal "pihit< -tnrnuntu -: taki-iaki'atau onggarrrj-unggau ta rceiii argapihak ayah J;ti-*iii-; ; ; ; ,' Pembagian menurut Arlu-'t-Sunnih-itu *udutr dipahamkan jika .orang clapat berfikir menurut.alam ,fikiran masyarakat yong patrilineal. Hubungan ant ara 'aSab6't dengan d,zawf'larl.rEm itrl dapat dalam batas-batas tdrtentu dibandingt un dengan hri'bungun antara kahanggi di satu,pihak dengan mori dun unut boru di iain pihak pada' orang Batak. Piirar.-Svi'ffmengadakan perbedaan secara lain yuitu diluai' golongan dzawfi-'lfard'i{ itu ditempatkannya golongan. dzlu qEiribat, yakni anggauta-anggauta kelu arga biiateial.-, Slitim bilaietul dalam hukum kewarisan Syi'ah, meskipun timbulrlya.tif,a! clirpat dilepa*un cta5i soal politik mengenai imam,ui, aOufal O! mata say? suatu. kemajuan besar.

ilfl$'id. Yqlg bukgn dzE.w[-'lfarE'i{ ini dibagi,oletr Allu-]l-Sun|{- a!as- dua g'o!|ng?t*"pgrtama,laiabe't yang diperinci lagi dalam ;a3aUah, 'as-abah

Pg"gqglpngan ahli-Waris dalam d2awf-'lfar6'i{ dan bukan rlzawu-

hubungan lang-sung dengan . soal apakah Qur'dn . in.ngenal Stag tidak akan gar::is pokok keutamaan dan geris pokctk pinggantiart sepqlti dikenal^ dalam sistim kewarisan yang indiviOuii- dalam m4Fyarakat y,oir'g bilateral di .Indonmii:

jenis, yaitu dzaviil-'lfay7i4, clzqwrt-'Qardbat . dan mnwdli Pernbagian yang say a' adilkan dalam tiga jenis. ili 'adalah bellgu'"

r8

V.

GARIS POKOK KEUTAMAAN DAN GARIS POKOK PENGGANTIAN

' ..

Dalam bab IV $ I telah kita singgung bahwa di-Tanah-Batak juga ada sistim kewarisan yang individuil tetapi sifatnya bukan bilateral tetapi patrilineal. 1 Membandingkan , sistim kewarisan menurut Qur'in itu denganJistim kewarisan individuil dalam masyarakat yang patrilineal adalah suatu perbuatan.yang pihcang. Meskipun demikian ada juga faedahnya 'mengenal sistim individuil patrilineal itu karena sistim kewarisan Islim seperti yang diciptakan oleh Ahlu-'l-Sunnah dapat digolongkan kepada jenis individuil yalg patrilineal itu. Sebab itu perh; benar dibentangkan di bawah ini perbedaan-perbed aan ylng dijumpai bila kita membandingkan antara sistim individuil bilateral yang berlaku umpamanya di-Jawa dengan sistim individuil patrilineal sr,pr-r'ti yang berlaku di-Tanah-Batak. Perbedaan yang cfibawakan karena perbedaan bentuk masyarakat itu. yakni bilatcial kontra patrilineal, dalam sistim kewarisan yang sarna, yakni sistim irrtlividuil, &dalah sangat illustrAtif di datlarn cara pernakaian clua ntu(unt prinsip utttuk mengetahtti siapa ahli wtnis, ),aitu ltet,latrut garis pttkok keutarnaan clafi l;rd uu grris pol;olc penggantictrt. Duu tttacottl prinsip tersebu t jugo bcrlaku bagi sistim kewarisan yang kollcktif di-Minangkatrau, yaitu kollektif rtratrilineal, tetapi juga disini dengan cara pemakaiannya yang khas pula. Kita lihatlah bahwa sesttatu prinsip dapat ;Sarna-sama dianut dalam pelbagai , sistim kewarisan tetapi pelaksanaan prinsip itu akan berbeda-beda menurut sistim kemasyarakatannya. Karena itu maka sangat pentinglah untuk mengetahui perbedaan-perbedaan itu. /Di tiawah ini akan kita tinjau berturut-turut sernua segi dari dua' prinsip tersebut, mula-mula menurut hukum adat di-Indonesia (A), sesudah itu menurut Al-Qur'hn (B).

nentukan : a) siapa sesungguhnya ahli-waris di antara orang-orang yangseke(

(A). Menuntt hukum adat di-Indonesia. { S l. Garis pokok penggantian ialah suatu cara untuk

me-

t9

ny? mcngizinkan pembagian. ' Jelaslalt dari definisi tersebut bahwa bagi sistim kewarisan, yang kollekril'. dimana tidak diizinkan pernbagian, pemilikan harta peninggalan atau harta pusaka itu, seksi'b dari definisi tersebut tidak dibutuhkan,,sghingga hanya seksi a yang diperlukan. fun je.laslah pula bahwa seluruh'detjnisi tcrsebut tidak dibutuirkan' basi sistinr kewarisarl'mayorat, sebab d-isana tidak ,dillutuhkan untuk memilih sidpa-siapa abli-waris diantara suatu' keloinpok keluarga, apalagi {isana tidak ada pembagian apapun .iuga. Bagi sistim n)ayorat itu yang dibutuhkan ialah ketentuan tentang apa caranya melanjgtka4 hak ry,?yorat itu jika,pada saht 'bagrnya:'seorang nratiiiy=i .si-pgworit t-idJ aau anakpun, anik
laki-laki bagi mayorat lakilafi, .dah ana,k peretnpuan bagi may.oratpcrernpuan. Mungkin dalani distim sgrrupa "itu orang menempuh i,rlatt yang dapat diumpamakan denjair menukar kelamin, yaitu ;rllabila dalam sistim mayorat, laki-laki tidak arla sama sekali' zlil?k hki-laki. 'crrma ada unuk perempuan, '{nuko ?il?k perempuan ini rlr.ungkin..dijadikgnnya serupa" dengan anak laki-laki seperti rl i- Buti {nyglrtariayang),"itau''mereka menempuh jalan lain umpa;, nlilny4 aciqpSi,"atau' jika adopsi '"tidak diizinkan pula seperti tli-Tanah-Batak maka mereka merigadak3.x perincian perikutan priorit.git antara anggauta-angg.auta -kelu arga dekat. y*ng

lompok kcr.rtamaan dalarn lingkungan kelu.grga si-p9waris, dan b),berapa bagian masing-masing ahli-w4ris, jiki hukum kqwariian-

tarnpilke'tnukabilayanglaintidak,.ada. '(laris pokok penggantian itu baru dap,u t dipergunakan' sctelah diketahui kelompok keulamaad dimana akan "dilakpkan penyaringan ahli-waris ahli-waris itu. Sbtlab itu m0sti ada pula' suatu prhr:;i1, rnengenai kelornpok keutamaan itur. yang disebut gttlis 1to kok l;eu fenutctn.

'gatp

.S 2. Garis pokok keutamaan ialah suatu garis hukum yang rnencntukan perikutan keutamaan antara gqlongan-golongan dalam keluarga si-pewaris, dalam arti golongan yang satu lebih diutamakan dari yang lain dengan akiba t bahwa scsuatu golongan belum boleh dimasukkan.-dalam pelhi{ungan jika mlsih ada -'-golongan yang lebih' utama. Golongan' pertama dalam keutamaan ialah kelompok yang terdiri clari senvta keturunan si-pewaris, yakni keturunan yang masih hidup pada saat berbagi
20

:.

harta peninggalan dalam sistim kewarisan yang individuil, atau pada saat matinya si-pewaris dalam sistim kewarisan yang kollektif.
Jika golongan pertama itu kosong, artinya si-pewaris tidak mempunyai seorangpun keturunan yang masih hidup, hal mana disebut punah, maka barulah diizinkan tampil ke muka golongan kedua dalam kqutamaan ialah ,,kelompok" yang terdiri dari orang-tua (ayah dan mak) si-pewaris. Jika golongan kedua ini kosong pula, maka barulah diizinkan tampil ke muka golongan ketiga, yaitu .semua saudara yang masih hidup bersama-sama dengan semua keturunan yang masih hidup dari semua saudara si-pewaris, yaitu masih hidup pada saat berbagi harta bagi sistim yang individuil atau pada saat matinya si-pewaris bagi sistim yang kollektif. Jika juga golongan ke tiga ini kosong, maka barulah diizinkan tampil kemuka kelompok yang terdiri dari orang-tua dari orang ttta si-pewaris, dan manakala ada ,,temp at" yang kosong daldm kelompok tersebut maka ,,temp at" yang kosong itu diduduki oieh semua keturunan yang masih hidup dari orang yang teinpatnya kosong itu, dan jika orang itu punah maka tempatnya itu diduduki oleh orang-tuanya pula, dan jika mereka tidak ada maka tempatnya diduduki pula oleh semua keturunannya yang masih hidup dan begitu seterusnya. Jacli: lnula-.mula ke garis bawah, sesurdah itu selangkah ke garis atas, sesudah itu ke garis sisi pertatna, sesudalt itu selangkah lagi ke garis atas, sesLldah itu kegaris sisi kedua, clan begitu seterusnya selangkah demi selangkah ke atas dan ke garis sisi. Kita lihatlah bahwa berbagi harta peninggalan dalam sistim yang individuil merupakan suatu keramaian dimana berhimpLln seluruh keluarga si-nrati. Dari selururh keluarga ini dipilihlah suatu kelompok yang paling utama dari yang lain{ainnya, dan setelah itu barulah disaring siapa ahli-waris diantara orang-orang yang sekelompok keutamaan itu, penyaringan mana disebut pemakaian garis pokok penggantian.

S 3. Dalam memb acaapa yang diuraikan di atas tadi hendaklah orang waspada bahwa istilah-istilah kekeluargaan yang dipakai disini seperti anak, orang-tua, saudara dan sebagainya, berbedabeda artinya,' menurut bentuk masyarakatnya. Istilah keluarga
2t

iLo

it

;i

saja sudah lain artinya dalarn masyarakat yang bilateral, lain pula dalam masyarakat patrilineal dan luq pula dalam masyarakat'yang .yan1 matrilineal; demikian pula istilah saudara, keturunan dan sebagainya berbeda-beda .pula artiny? menurut'rnasy4ra[atnya. Dalam hubunBan kedarahdn itu,'semuania gipengaryhi oleh iara 'menentukein garis' ketururian. Bagi masyarakat masyarakat itu yang ber-clatr maka keluarga yang ada $angkut-pautnya;dengan kewarisan . mestilah, pacia prinsipnya, orang-grang yang' se-clan

dengan si-mati itu.

g-4. Menur.ut garis pokok penggantian seperti yangberlaku


cli-indonesia, maka ahli-waris:ialah setiap orang dalam Seielompok '"dengan' keutantaat-l syarat,. bahwa antara dia dengan si-pewiris tidak ada pengltubung atau.tidak ada lagi penghub4rlg yang ntasilt hidup, yakni penghubung yang ticlglc ada.tasi itu mestilah dalam

sistim individuil telah mati sebeh.rm saat pembagian. harta dan dalam sistiry kollektif telah mati terdahuh-l dari si-piwaris,
,

Tidak acla penghubttitg.ialah ahtara si-pewaris dengan anakny&, atau antara si-pewaris dgngan ayah atau'maknt[a. lictak ada'lagi lteryghubung ),ang'tnrosih hi(tup ralah misalnya antara cucu si-pewaris dengan si-pewaris manakala anak si-pewaris yang. melrjadi penghubung palarn keturunan itu telah mati, atau antaia piut si-pewaris dengan.si-pewaris manakala grak si-pewaris dan cucu Si-pewaris yang menjadi penghubung'dalarn: keturunan itu telah mati. 'sebaliknya dalam dua contoh itu masilt ada lagi pcryEttubung yang maiilt hidup jika ranak si-pewaris itu belum rnati sehingga cucu itu tidak berhak menjadi ahli-waris, atau anak itu memal.lg sudah rlrati tetapi cucu itu'masih hidup, maka piut itu bukan ahli-waris, tetapi ahli-waris ialah cucu itu. Demikian ptrla datuk si-pewaris tidak berhak sebagai ahli waris bila ' anak. datuk itu yang menjadi penghubung dengan si-pewaris, yaitu ayah si-pewaris, masih hidup. Demikian juga 'anak. saudara bagr si-pewans tidak mungkin qlpnjadi ahli-waris jika ^ saudara itu atau orang-tua sipewaris itu masih hidupl sebab anlk saudara itu baru berhak menjadi ahliwaris bila saudara itu dan orang-tua si-pewaris itu kedua-duanya ,niati. " telali Demikian juga paman si-ppwaris belum berhak mewaris jika orang-tua si-pewaris atau datuk si-pewaris masih hidup, sebab dua

ll }'

itu

adalah penghubung antara si-pewaris dengan paman nyaltu. Hanya jika dua benghubung itu sudah mati, barulah paman ihl berhak mewaris; sebab tidak ada lagr penghubung yang hidup antara dia dengan si-pewaris itu..

$ 5. Sebagai

,illustrasi fierhatikan

gambar dibawah

ini

p=

peu'aris, laki-laki atau perempuan.

Q = tanda bagi laki-laki, masih hidup. C

= =

tanda bagi laki-laki, sudah mati.

tanda bagi perenpuan, masih hidup.


tanda bagi perempuan, sudah mati.

Gambar lersebut melukiskan kelompok keutamaan pertama,

terdiri dari a sampai dengan p. ' Jika gambar itu mengenai sistirn lcewarisan indtvidutl bilateral, maka.semua dan telah mati sebelum sadt berbagi harta. Meskipun mungkin di ant ara mereka ada yang mati kemudian dari si-pewaris tetapi sebelum berbagi, namun mereka tidak dihitung sebagai - ahli-waris dan disamakan dengan mereka - yang telah mati terdahulu dari si-pewaris. Yang mungkin diperhitungkan sebagai ahli-waris hanya orang yang masih hidup saja, tetapi
yang berhak menjadi ahli-waris hany aJ,*t a,, b, c lcarena tidak ada .parylrubutts dengan P, selanjutny z e , E, i, k, o dan p kareno tidak
23

ada tagi 'pengltubung yong nnsih ltidup dengan P. Bukan ahliwaris ialah d, f, h: j, l, tn dan n, karena antara mereka dengan P ntasih ada pengltubung yang hidup. Jika gambar tersebut mengenai sistim kewarisan individuil patrilineal murni maka P haruslah laki-laki, atau perempuan yang mati dalam ikatan kesatuan keluarga. suaminya, maka-ahli-warii hanyalah b, c, e, sedangkan yang fermasuk dalam kelompok keutamaan pertama itu hanyalah b, c, e dan h. Dalaq sistim individuil patrilineal murni ini merek a yang lahir dari anak'perempu4n si-pewaris atau lahir dari anak-anak perempuan dari anakanak laki-laki si-pewaris termasuk lain clan, sedangkan perempuan tidak berhak menjadi ahli-waris. Maka dari gambar tersebut orang-orang yang telah pasti termasuk lain clan, ialah d, j, k, l, nt, g, o dan p sedangkan i dan n juga akan termasuk lain clan jika dalam masyarakat patrilineal murni itu hanya diizinkan connubium yang asymmetris, yaitu terlarang connubium yang symmet
ris.

Untuk memudahkan pembicaraan tidak diuraikan disini siapa ahli-waris bagi P jika ta seorang anggauta masyarakat patrilineal yang ber-alih (alternating patrilineal system). Jika garnbar tersebut mengenai kewarisan kollektif matrili-

neal maka P hanya mungkin seorang perempuan. Maka yang akan pasti terhitung masuk dalam kelompok keutamaan itu ial ah a, b, c, d, g, i dan n sedangkan yang akan menjadi ahli waris ialah o, b, c, g dan t, sebab d dan n mempunyai penghubung yang masih hidup antara mereka dengan P, yakni bagi masing-masingnya a dan g. Jika P laki-laki maka ahli-warisnya menurut sistim matrilineal itu ialah maknya. Laki-laki tidak mempunyai kelompok keutamaan yang terdiri dari keturunan sebab laki-laki tidak berhak dengan dirinya melanjutkan keturunan bagi clan-nya. Jika maknya sudah rnati maka ahli-warisnya ialah saudara-saud ara yang seibu dengan dia ditambah keturunan yang berhak dari saudara perempuannya yang telah mati, misalnya dengan memakai gambar diatas itu maka jika pewaris seandainya ayah si- e maka ahli warisny?, jika maknya sudah mati, ialah a, b, c, g dan i.

S'6. Dengan oontoh-contoh yang diberikan itu cukup jelaslah hendaknya bahwa garis pokok penggantian itu tidak ada sangkutpautnya dengan ganti-mengganti. Dia hanya cara untuk me24

itu berdiri sendiri .sebagai ahli-waris. Dia bukan menggantikan

nunjukkan siapa-siapa ahli-waris ahli-waris. Tiap-tiap .ahli-waris

ahli-waris yang lain, Sebab penghubung yong tidak ada lagi ittt bulian ahli waris, sehingga soal representasi ataupun substitusi tidak ada disini. Setiap ahli-waris itu mendapat bagiannya masingmasing, secara sendiri-sendiri tergantung kepada kedudukannya dalam jurainya. Dalarn sistim individuil yang berlaku di-Indonesia ini, dimana pada prinsipnya berbagi itu atas dasar satna rata, maka ke-sama-rataan itu hanya berlaku terhadap orang yar:'g sama kedudukannya ilalam jurai. Arti jirrai ialah bagi kelotnpok per- . turrtc anak (hidup atau tidak) beserta keturunanny?, b agi kelompok lce-tiga saud ara (hidup atau tidak) beserta keturunannya, bagi lcelontpok ke-linru saudhra orang-tua (hidup atau tidak) beserta keturunannya. Bagi orang-tua sebagai kelompok ke-dua atau bagi orang-tua dari orang-tua sebagai kelompok ke-empot tidak dibutuhkan pengertian jurai, sebab bagi orang-tua pengertian jurai itu adalah identik dengan pihak sau &aru beserta keturunannya (garis sisi pertama) yang telah termasuk ke dalam kelompok ke-tiga, dan bagi orang-tua dari orang-tua pengertian jurai itu adalah identik dengan pihak saudara,,orang-tua beserta keturunanannya (garis sisi kedua) yang telah termasuk kedalam kelompok ke-lima. Jurai yang telah kosong karena tidak ada seorangpun lagi anggautanya, sebab anak atau saudara atau saudara otang-tua itu telah punah, dianggap sebagai tidak pernah ada. Jika kita pergunakan kembali contoh gambar di atas bagi pembagian antara ahli-waris dalam'sistim individuil bilateral, maka hasilnya seb agar berikut: kenyataan ada enam jurai yang tidak kosong, sebab semui anak, mati atau hidup , ada beiketunrnan, maka fl mendapat I l6 sebab tidak ada lain-lain ahli-waris dalam jurainya; a, b, dan c mend apat masing-masing | 16, se6ab hanya merekalah yang berhak sebagai ahli-waris dalam jurainyl, sedangkan lain-lain anggauta jurainya tertutup, karena masih ada lagr penghubung yang hidup antara mereka dengan si-pewaris; e,' k dan g mendapat masing-masing I l12 sebab jurai mereka terdiri masing-masing atas 2 cabang dan dalam tiap jurai-cabang hanya masing-masing merekalah satu-satunya ahli:waris ; o dan p mend apat masingmasine' I 124 karena jurai mereka terdiri dari 2 jurai-cabang sedangkan jurai-cabang mereka sendiri terdiri pula atas 2 runting dan dalam jurai-ranting masing-masing mdreka itu hanya masing-

MTLTK PERPUSTAKAAI.{ Drektorat Pernbinnan


Badan Peradilan Agama lql"rn Dit "Ien Bi;r Baga Iskixl
-h't'rttrl

25

fi'6.1.':..,'. !. r'- -n., E,

masing nrerekalah yang berhak menjadi ahli-waris, karena tidak ada lagi penghubung yang madih hidup. Bagi sistim individuil patriline.al murni maka e, b, dan c mend apat masing-masing | 13, sebab hanya ada tiga buah jurai yang tidhk kosong, sedangkan masing-rnasing mereka adalah satusatunya ahli-waris dalam jurai mereka masing-masing. Dari contoh-contoh tersebut ternyatalah bahwa harta peninggalan itu dibagi sama rata 'antara jurai dan jurai, sedangkan pembagian dalam jurai dilakukan sama rata antaru jurai-cabang dan juraicabang, demikian pula dalam jurai-c abang diadakan pemb agian sama rata antara jurai-ranting dan jurai-ranting. Masing-masing ahli-waris akan mendapat bagian menurut kedudukannya dalam jurai itu atau dalam percabangan juiai itu.

dareh, Qur'in *enitapkan hubun gan antara ayah dan mak di satu pihak dan anak-anak di lain pihak secara yang sangat khusus, yaitu dalam lV: 1l h:,,aba'ukum wa abn-d ukum la tadrtrna ayyuhum aqrabu lakum naf'an", satu cara berkata yang maksudnya bahwa hubungan an tara orang-tua dan anak-anak itulah hubun gan kedarahan yang paling akrab. Mengenai ayat tersebut lihat lebih lanjut $ 4. Setelah ayah dan mak beserta: anak-anak maka hubungan kedarahan selanjutnya dijeniskan oleh Qur'hn, dalam. dua bualt islilatr yaitu pertama: istilah aqrabiln dalam II: 180, IV: 7,IV:33 dimana selalu istilah aqrali-un itu ditempatkan sesudah kata wilidin; kedua: istilah irlir-'lqurbb dalam IV: 8. Istilah-istilah dalam rangka kekelu argaan bukan semata-mata hanya nama seperti meja'atau kursi tetapi selalu nama.yang menunjukkan hubungan darah antara seseorang dengan yang- lain. W-alid5'n selalu hubungan yan1 timbalannya walid; demikian juga aqrabun timbalanny a aqrabln pula, d an*il lu--' lq u rb 5' sdn an tiasa b e rtim b al an irlir-'lqurb-a pula. Wdliddn, awldd, aqrabDn-dan UlL-'lqurba adalah emPat buah jenis hubungan darah yang dimasukkan oleh Qur'ln ke clalanr pokok jenis yang disebutnya illU-larhE'm dalam XXXIII: 6, sedangkan hubungan kedarahan itu sendiri disebutnya al-arhim dalam IV: l.

(B) Menurut Al-Qur'dn. S 1. Di dalam pertalian

26

\*

, 1l:,

Dalam ayat-ayat kewarisan dimana watiddn dan aqrabhn dijumpai, mereka itu adalah selaku pewaris, tetapi karena katakata tersebut sebagai istilah kekeluargaan selalu berarti perhubungan, dan perhubungan selalu bertimbalan, maka wilidin dan aqrabhn itu dapat pula menjadi ahli-waris, wilidan bagr anaknYl, dan aqrabhn bagr sesama aqrabirn-nya. flL-'lqurbi ditinjau dan sudut seseorang terang maksudnya buknn ahli-warisnya tetapi mereka itu masih sepertalian darah dengan dia.'Dimana Qur'in menyatakan irlir-'lqurbi bukan ahli-waris baE seseorang. maka orang ini sebagai timbalan perhubungan dan karena itu juga sebagai hlu-'lqurbb tidak mungkin menjadi pewaris bagr sesama irlir-'lqurrbi-nya. Karena itu dapatlah aqrabhn diartikan sebagai kelrtarga deknt yang antaru sesatnanya mungkin meniacli ahti-waris atau pewaris, sedangkan ulh-'lqurbi sebagai keluarga jauh yang antara sesamanya tidak mLlngkin menjadi ahli-waris atau pewaris.

Saya berpen dapat bahwa soal itu dapat dijawab dengan meneliti maksudnya Qur'-an IV: 33, dimana dijumpai selain istilah .waliddn dan aqrab-un Juga istilah nlawali : Wa likullin ja'alnE mawdlia ' mimma taraka'lwalidini wa-'laqrablril?, wa'lla dzina 'aqadat 'aima nukuffi, fa atirhum nasibahum. Terjemahan maksud dari nukilan itu ialah ,,Dan untuk setiap orang itu Aku Alah telah rnengadakan maw-ali bagi harta peninggalan ayah dan mak dan bagr harta peninggalan kelltarga dekat, demikian jr"rga harta peninggalan bagi tolan seperjanjianmu, karena itu berikanlah bagian-bagian kewa-

S Z.Dimanakah batasnya antara aqrabirn dan irl-u-'lqurbi, ditinjau dari jauh dekatnya derajat kekeluarg aan antara mereka ?

Tolan seperjanjian itu mungkin maksudnya seorang orang yang tidak rnenrplrnyai kellrarga lag, yang telah mengikat janji
tuntuk meninggalkan sebagian atau segala harta bendanya sesudah rnatinya kepada seseorang, yang diwajibkannya mengurLls kematiannya dan menyelesaikan hutang-piutangnya serta memeliharanya selama hari tttanya, lihat $ 9, hl. 39 NaSfuahum saya terjernahkan seba gai bagian lcewarisan, yaitu sesuatu bagian dari harta peninggalan, beralaskan pemakaian kata , naSib itu didalam ayat kewarisan lainny a, yaitu dalarn Qur'in IV: 7 , selain hubungannya sendiri dalam ayat 33 itu dengan ,,mimmi taraka" dan sebagainya.Di dalam ayat 33 itu jelas bahwa na37b itu
27

risannya.

"

disuruh berikan kepad'J nwtwti itu dan bukan kepada orang yang tersimpul dalam likullin, sehingga nmwdlf itu adalah alili-vvarts. Untuk menarrgkap maksr-rd ayat 33 itu, coba kita isi likullin itu dengarr li l;uldrtirt, dan jo'altti diganti dengan ja'ala 'lldhu, sedangkatr Llrllsall perjanjian itu untuk gampangnya ditinggalkan saja, maka. bunyi ayat itu menjadi ,,w& li Fulhnin ja'ala'llhhu mawilia mimmh, taraka 'lwilidiniwa 'ldqrahLna, fa atirhum naSibahurn". Disini si-pewaris ialah ayah atau rnak atau seorang-orang dari aqrabirn. Jika ayah atau ntak yang mati maka istilah-istilah itu mcmpunyai timbalan berupa, Analc, anak yang mati ataupun anak yang menjadi ahli-waris karena rnasih hidup. Jika tidak ada anak-anak, baik anak-anak yang rnati terlebih dahulu maupun anak-anak yang masih hidup pada saat matinya sipewaris, maka sipewaris itu br"rkan ayah atau nrak tetapi seorang dari pada aqrabhn. Kepada anak-anak yang hidup telah pasti mesti diberikan naTibnya scbagai ahli-waris menurut IV: I I o, b, c, tetapi disantping naSib bagi anak-anak ini mesti pula diberikan naSib kepada 'mawili yang diadakan Allih bagi si Fulan, dengan lain perkataan rnawdli si Fulin ikut serta sebagai ahli-waris bagi ayah atau mak dan bukan si Fulin sendiri. Apa hubungan si Fulfn dengan ,,mak atau ayah" yang mati itu, sehingga mawali bagi si Fulbn itu ikut pula menjadi ahli-waris tragi ,,mak atau ayah" itu sedangkan si Fulan sendiri tidak ikut menjadi ahli-waris? Berdasarkan prinsip urnum bahwa Qur'in meletakkan hubungan kcwarisan atas dasar pertalian darah antara si-mati dengan anggota keluarganya yang masih hidup, maka si Fulhn itu hanya dapat saya pikirkan sebagai anggota keluarga yang telah mati terlebilr dahulu dari sipewaris, sedangkan mawhli si Fuiin itu seb agai ahli-waris bagi ,,ayah atau mak" itu hanya dapat saya pikirkan sebagai keturunan yang bukan anak bagi ,,ayah atau mak" itu. Hubun gan antara si Fulin dan rnawillnya, dalam hal mak atau qtah sebagat pewAris, hanya dapat dipikirkan ketiga jurtrsan , y4itu mawblinya itu mungkin seorang clari wilidbnnya, dalam hal mana si Ful-an sendiri adalah pr.rla keturunan bagi ,,,tyah atau mak" itu; ataupun mungkin awladny?, ataupun lebih jauh aq rabunily&, dalam hal malla si Fulin sendiri adalah juga ketur-rndrl bagr ,,ayah dan mak" itu. Menurut jalan pikiran itu maka si Ful?rn itu; dalam hubungan ,,ayah dan mak" sebagai pewaris, termasuk keturutrun bagi ,,ayah dan mak" itu, sedangkan mawbli bagi
-t

28

:.

}b"

bulwrt anak bagi ayah dan mak itu; sehingga si Fulan itu adalah anak bagi ayah dan mak itu. tetapi analc yang telah moti terlebih clciltultt. Maka hubungan si Fulin .dan mawilinya itu adalah hubun gan sipewaris dengan ketunlnannya melaluri mendi ang -lraknya si Fulbn itu. Keb'enaran konklusi terscbut hanya dapat diujikan kepada ayat-ayat Qur'-an yang membicarakan kewarisan bagi seseorang yang ada meninggalkan anak (walad) yaitu IV: l l a, b, c, d,dengan dibandingkan pula dengan ayat-ayat Qur'in yang membicarakan kewarisan bagi seseorang yang tidak ada baginya walad, yaitrr IV : I I e,f, IV : 12f, g dan IV : 176. Jika tidak ada ketentllan Qur'dn mengenai mawdli dalam IV : 33 q. itu, maka bilamana s.eseorang pewarib h any? meninggalkan keturunan yang bukan walad bagi dia, karena keturunan itu adalah cucu atau piut bagi si-pewaris dari kelahiran via mendiang anak-anak sipewaris, maka akan berlakulah atas hdrta peninggalannya itu IV: l1 e, f, IV : 12 f, g dan IY-' 176' sehingga cucu-cucu dan piut-'biut itu akan tersingkir dari-kewarisan dan hanya dipandang sebagai filil'lqurbd saja (IV : 8) dalam berhadapan dengan orang-tua dan sattdara-saudara sipewaris yang akan berbagi harta peninggalan itu. Keadaan yang senlpa ini akan be?tentangan dengan seluruh titrah yang ditanamkan Ailah dalam sanubati mattusia, sehingga tidak ada sistim apapun yang akan dapat membenarkannya. Dari sudut callaya ini, maka IV : 33 o itu termasuk rahmat yang sebesar-besarnya, yang telah diberikan Allah kepada UmmatNya. Jika tidak ada rahmat tersebut, maka apakah lagi dasar hukum yang dapat- disalurkan 'clari Qur'bn untuk mendirikarf hak ke warisan bagi lain-lain aqrab-un yang. tidak tersebut dalam ayat-ayat kewarisan dalam Qur'in, seperti paman dan bibik, datuk dan nenek, cucu dan piut, d.s.b, ? !! - Selaras dengan pahaqn iune'dianut disini, inaka IV: 33 attu dapat diterjemalrkan seb agai berikut : , ,, Bagi rqendiang anak, Allah mengadakan mawifisebagai ahli-waris dalam harta-penin ggalan ayah atau mak; dan bagl mendiang aqrabfin, Allah mdngadakan mawaf s6bagai ahli-waris dalam harta peninggalan sesama aqrab-unnya". Jika kaliryat panjang ini dipendekkan maka ta boleh berbunyitL,,Bagi mendiang anak dan bagi mendiang keluarga dekat
29

si Frrlbrt' itu juga lce turttnan bagi ,,ayah dan mak" itu, tetapi

'

Ailah lnengadakan mawbfl bagi harta peninggalan orang-tua clan kelu arga dekat". Kalimat ini pendek tetapi kurang jelas dan dapat mengacaukan. Jika dibikin lebih pendek lagi maka ia akan lebih jelas dan tidak akan mengacaukan, yaitui .,,Bagi betiap orang Allah mengada\an mawali bagi harta penin! galan orang-tua dan keluarga dekat". Kalimat sangat pendek ini tidak akan mengaqaukan jika'orang langsung berpikir mentrrut hubungan bertimbalan dalam setiap istilah kekelu argaan yakni jika si-pevraris orang-tua , nraka hubungan beitimbalan yang langsultg bagi istilah itu ialah anak, dart jika si-pewaris keluarga cJeliat, maka hr"rbungan bertimbalan yang langsung bagi istilah itu ialah lieltrurgd clclial pula, umpama saudaru sebagai pewaris.tinrbalannya sauclaio bula, tetapi disini ,.bukan anak itu atau saudara itu y'ang menjadi ahli waris, . tetapi mawilinya, sehingga anak atau sauclara itu mesti telah mati terlebih dahulu dari si-pewaris, sebab jika anak atau saudara itu rnasih hidup maka dia sendiri menjadi ahli-waris, sehin gga Allah ' tidak rnengadakan lagi ahli-waris yang lain Apa maksudnya Allah nrengadakan nrawili ,,Lultuk si Fulln", sedangkan si Fulan sudah rnati dan karena itu ticlak .acla iagi berkeb.utuhan mendapat hartabunia, jadi juga tidak berkebutuhan untuk mbnjadi ahli-waris, umpamanya bagi alyah atau makSaya berpendapat bahwa 'maksud ,,nteigaclalwn ,n'utwatl urttuk si FufAn" itu ialah bahwa^ bagian si Fulin , yzn1 akan diperolehnya, seandainya dit hidup, dari harta peninggalan itu, dibagi-bagikan kepada maw-alinya itu, bukan seb agai ahli-warisnya tetapi sebagai ahli-waris ahli-waril bagi'maknya atau ayahnya yang meninggalkan harta itu. Y,ang digambarkan itu mungkin keadaan seorang ayah itau rna\ yang diwarisi oleh anak-anaknya bersama-sama dengan mawili bagi anak-anaknya yang telah mati terlebih dahulu. Pengertian selanjutnya ialah mungkin pula jika ayah atau mak itu diwarisi hanya oleh mawhf untuk anak-anakny a {ang serhuanfa telah mati terlebih dahulu , Contoh yang kita berikan terhadap ayah atau mak sebagai pewaris, dapat diperluas dengan .lain{ain pewaris' dari kalangan aqrabirn, umnalnanya sau dara diwarisi oleti saud ara bersanw-sTtnxq dengan maw-ali bagt saudara-saudara yang telah mati terlebih dalrulu , atau hariya oleh mawili bagi saudara-sau dara saja, 30

nya.

demikial pula dapat diperluas dengan seseorang yang mati punah dengan tidak ada pula saudara atau keturunan saudara sebagai ahli-waris, maka dia d(warisi oleh mawhli.bagi orang-tuanya jika orang-tuanya. itU telah mati pula terlebih dahulir.

S 3. Siapakah presis yang disebut'mawaf bagi seseoiang itu? Untr-rk me.ryawab ini kifi hanya dapat berpegang kepacla dua ' patokan: , '
per tanta, dengan,mengecualikan hubungan antara suami dan isteri, hubungan 'antara keluarga orang-tua-angkat dan anak-angkat (hal 37)dan hubungan antara tolan seperjanfian (hal 38), maka Qunl-an .hpnya' rneletakkan .ikatan kewarisan antara orang-orang yang sepertalian darah. Sebigai tegoran dari Allah dalam urusan ini ialah pernyataan-Nya dalam XXXIII: 4 bah'tua isteri ydng diZihar bukanlah mak, daru anak apgkat br.rkanlah anak, sehingga tidak .aba pertalian kewarisan antara peremplran yang dizihar itu dengan misalnya saud ara pihak mak bekas lakirlVa itu; demikian ju.ga misalnya antdra ayah.gngkat dengan anak angkatnya; . ' keciua, bahwa istilah'ja'ala itu mengandung arti penciptaan dari. tiada kepada ada, disamping istilah khalaqa, yang prosedurnya selalu menurut macam ,,Kun fa yakitn" dalam XXXVI: 86, dan buk'an menurut prosedur- hukum seperti mendirikan waqf. Dalam hubungan ini dapqt diambil arti.ja'ala itu dari XXXIII: 4

'"

,t

-tidak yang maksudnya: Atl?h mengadakan dua, jantungtdalam ttrbuh rhanusia, tidak pula mengadakan mak' bagimu dari perempuan yahg telah engkatl Zih?rr-kan dan tidak pula mengadakan anak bagimu secara- mengangkat anak,- tidak, sebab Alldh hahya menQiptakan sebuah jantung s111 untuk setiap tubuh, dan 'r.orang perempuan menJadi 'mak bigirnu secara rn.triodikan' melahirkan kamu dari perempuan itu dan menjadikan ailak bagimr"r secara melahirkan dari bibitmu. . Nyatalah bahwa Ja'ala di lapangan kewarisan ini hanya mungkin berarti mengadakan 'dengan cara kelahiran, sehingga ada hubungan liekeluargaan antar{yang diadakan dengan pihak asal kgttrrunannya dan sebaliknya. Hubungan seseorang yang telah mati dengan mawhfi-nya mungkin hubungan kedarahan ke garis bawah, atau ke garis sisi atau ke garis atas, umpamanya ada kemungkinan bagi orang-tua pihak ayah atau pihak mak untuk menjadi maw-ali bagi ayah atau mak si-mati, jika ayah atau

3l

.'.

, ):.. ....
1.,

,lt'. ';ii .i r.

'inak itu telah mati pula terdahulu dari anaknya yang meninggal: kan hana*itu. Lain iontoh' seorang pewaris aiwarisi otetr mawaf saudaranya yang mati terlebih dahulu; seorang pewaris diwarisi oleh keturunan mendiang anaknya. Dengan demikian maka nyatalah pula bahwa mawali itrl adalah ahli waris karend penggantian, yaitu orang-orang J,ang menjadi ahli-waris karerw tidak ada lagi penghttbung-aitam "merekn dengan si-pewaris. Ahli-waris lainnya yang bukan mawili 'ahli-lvaris ialah lcarena tidak ada penghubung antara dia dengan si'pewarts, seperti anak yang langsung menjadi ahli-waris bagi - ayghnya atau maknya atau sebaliknya. Dengan demikian nyatalah pula (lihat bab* V n g l ) bahwa mawa-li itu juga termasuk pengertian aqrabirn. Maka berartilah irlir.ilqurbi seseorang yang ada pertaliam darah dengan si-pewaris tetapi masih ada penghubungnya yang masih hidup dengan si-pewaris, setringga Oia tidak berhak mewaris. Dengan'ini saya mengharap bahwa saya telah membuktikan ,bahwa Qur'-an mengenal garis pokok penggantian yaitu dalam

{li ilr'i
:{ i:

ii

IV: 33

1r,

'.ilr. l,Q r. ', t

il'

iii
rii ,t
,.1

| "iI 3r
.'i i
.Jll'' '';t'

i!;,
.

:'lr'
I l.,l

r,li
:

iti

.l'.

pewaris.
. ,

Jikd kita pergunakan kembali sebagai illustrasi gambar diatas taAi (nU. 20) maka P meninggalkan dui macam ahli-waris, yaitu a, b, dan c sebagai anak yang menurut penjenisan sayadisebut dtgwit-'lqar-abat (bab IV S 4), selanjutnya beberapa orang aqrabrjn selagai ahli-waris yang disebut mawali, yakni e, g, i: k, o, p, menurut perincian sebagai berikut: e. dan k adalah mawili bagi seorang mendiang anak laki-laki pewaris', g, o, dan p adalah mawalibagi seorang mendiang anak perempuan pewaris, i adalah satu-satunya rnaw-ali bagi seorang, mendiang anak perempuan

itu.

,,ri
,l i

lt ' rl'
r!

.i
.

Harap fiperhatikan bahwa kita berbicara itu menurut sistim kewarisan individuil bilateral ! Yang termasuk jenis ulu-'lqurba dalam gambar tersebut ialah : d, i, I l, m, n dan h. Menurut konsekwensi ajaran . saya, maka bagian-bagian untuk ahli-waris ahli-waris si P itu adalah sebagai berikut: anakanak sebagai ahli-waris ada satu orang anak peremp.ratt dan dua orang anak laki-laki. Mendiang anak-anak yang ada maw-ali. baginya adalah dua orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki, maka jumlah jurai adalah enam yaitu dua jurai dari 32

mendiang anak-anak perempLlan, satu jurai dari mendiang anak laki-laki, dua jurai dari anak-anak laki-laki yang masih hidup dan satu jurai clari anak perempuan yang masih hidup. Pembagian secara Qur'-an IV: I I a, b, c, kepada anak, di dalam bandingan anak laki-laki mendapat dua kali sebanyak anak perempuan, menghasilkan pembagian bagi dzaw-u-'lq arhbat a I19, b 219, c 219, dan basr mawhli- i l19, e 4127 (213 x 219),k 2127 (l13 x2l9 ) , s ll27 (r13 x ll9), o 2l8l (l/3 x 213 x 119) dan p 4181, jumlah l. Inilah yang saya maKsucl pembagian menurut kedudukan alrli-waris dalam jurainya.

S 4. Cara pembagian yang dibentangkan dalam S 3 itu sangat berbeda dengan cara yang diikuti oleh Ahlu-'l-Sunnah, dirnana a ak?rn mendapat | 15, b 2lS dan c 215, sedangkan i, e, ld, g, o, dan p niltil. Paham yarlg rnereka anut bahwa cucu kelahiran dari anak laki-laki tidak berhak mewaris bila masih ada anak laki-laki ikr.rt serta sebagai ahli-waris dan bahwa datuk dapat bersama-sama mewaris dengan salrdara si-pewaris menunjukkan bahwa tafsiran ntereka mengenai IV: I I lt adalah sangat dipengaruhi oleh alam fikiran nlasyarakat patrilineal. Bagi ayat tersebut yang berbunyi: ..ebe'ukum wa abni'ukum la tadr-una ayyuhum aqrabu lakum naf'an" lnemang dapat clitafsirkan secara patrilineal, tetapi jika kita telah menginsyafi bahwa Qur'hn menuju kepada masyarakat yans bilate'ral nraka kita juga akan waspada mengenai arti aba'ukum dan abrri'ukum yang menurut Qur'-an tidak perlu lranya bcrarti ,,u),alra.t,ah liatnu" dan ,anaktnalt laki-laki kamu" tetapi rnungkin juga berarti ..csrong-tua kanlu" (atau ,,oyah dan tnektttlt") clan .anal;-anak kantu laki-laki cJan perempudn". Dengan ntelihat saja akan tempatnya bagian ayat tersebtrt dalam keselttnlhan ayat IV : I 1, clirnana disebut ,,fi ctv,ladikunt" (lakilaki dan perenrprtan)., ,,rr,(J li abuv,ailti" (ayah dan rnak) ) ,,x,A v'urilltaltu abawohu" (ayah clan nrak), maka telah dengan sendiriltya pikiran ditujukan kepada urllsan lrlengenai ayah clan rnak dan scnlrra jcnis ilnak. Jika bcnar bagian ayat tersebut hanya mengenai huburngan antara si-pewaris clengan ayahnya dan anak laki-lakinya saja, maka kebenaran itr-r tidak ternyata dari isi seluruh ayat I I tersebut, yang malahannya membicarakan hubungan si-pewaris dengan
33

bagaimana isi dan susunan perikutan kelompok-kelornpok ketrtamaannya. Adanya semacam garis pokok k'eutamaan dalam Qur'5n dafat langsung diuraikan dari ayat-ayat kervarisannya, meskipun bentuknya tidak serupa dengan garis pokok ker.rtamaan yang kita kenal dalarn sistim kewarisarr yang individuil clalam rnasyarakat yang bilateral di-lndonesia Ada dua hal yang pada langkah pertarma harus diatasi yaitu pertatna bahwa Qur'in menernpatkan anak si-pewaris setaraf dengan orang-tuanya seb agai ahli-waris atas dasar keterangan yang diberikan oleh Qur'in sendiri dalam IV : 1 I lt : dbd ukum wa abni'ukum h tadrhna ayyuhum aqrabu lakum naf'an, dan kedua ialah bahwa Qur'in memlrerikan kepada sebagiart ahli-waris itu bagian pasti yang angkanya tetap tidak berobah menurut pasangan-pasangan khusLrsnya, ahli-waris mana juga kita sangat setuju dinamakan dz.awl-'lfara'i{, yang bagian-bagiarlnya dikeluarkan dari sisa bcsar, yaitu setelah dari harta peninggalan dibayarkan wasiat dan hutarrg-hutang termasuk ongkos kematian, sedangkan kepada ahli-waris ahli-waris lainnya Qur'in memberikan bagian terbuka, artinya bagian yang dapat berobah-obah banyaknya tergantung pada caslrsnya, yaitu diarnbilkan dari sisa kecil yakni setelah dari harta peninggalan dibayarkan wasiat hutang-hutang, tennaspk ongkos kematian, dan - bagian-bagian

UntLk kepentingarruraian kita, baiklah clisingkirkan dahulu senrua clzaw-u-'lfar-a'i{, sebab mereka selalr-r rnewaris, sehingga tinggal lagi ahli-waris ahli-waris yang saya sebut clzawu-'lqar-abat. Mereka ialah: analc laki-lalci, clemilcian pun anak perempuett )'ang cligandertgi ctleh arrul; Ialci-laki (IV :lla), ayalt, .iika si-mati tidak berketurunan (lV: l 1c , f dan menurut'paharn saya juga IV:72, lihat bab VII tentang kalalah) , satrclara lal;i-laki clemikian pun sauclura perentpuan yang bergartclengan cle ngart saudara .loki-laki jika si-mati tidak berketurunan dan tidak berayah lagi. (lV :17 6
(t

fara'id.

Dari perincian tersebut, yang perturutannya persis seperti dijunrpai dalam Qur'an, kita lihat, bahwa Qur'an mengurus pc'rt(nna-tanm harta peninggalan seseorang yang mati meninggalkan anak (keturunan) sebagai ahli-warisnys,jadi yang mati adalah ayah atau mak : kedua harta peninggalan' seseorang yang mati
35

, a).

tidak meninggalkan dnak (keturunan) tetapi ada lneningggalkan ayah sebagai ahli-warisny&, jadi yang rnati adalah anak; ketiga harta peninggalan seorang saudara, ying mati tidak beranak (ketttrunan) dan tidak berayah tetapi ada meninggalkan saudara. Jadi jika kita lihat bahwa ayah dan anak saling mewarisi, demikian juga saudara-saudara saling mewarisi. Selanjutnya bahwa ayah barulah dapat mewarisi anaknya jika anak itu tidak berketurunan, sehingga disini terselip prinsip bahwd anak (keturunan) sebagai ahli-waris menlpunyai keutamaan yang lebih tinggi dari pada ayah sebagai ahli-waris, selanjutnya bahwa saudara sebagai ahli-waris mempunyai keutamaan yang lebih rendah sesudah ayah, yaitu manakala ayah tidak ada barulah saudara menda pat giliran, IV : 17 6 c , e . Maka periku tan keutam aan ialah : pertanru atnk, kedtta a)talt, ke tiga sauclara, presis seperti perturutan ayat-ayat yang bersangkutan, sehingga terbukti bahwa Qqr'dn itu berpikir menuntt sesuatu garis pokok keutamaan yang berpokok pangkal kepada perikutan anak, ayah dan saudara, presis menurut perikutan pokok pangkal pengertian keutamaan yang kita jumpai dalam sistim individuil yang bilateral, sebab
anak yang dimaksud ialah kedua jenis anak, ayah yang dimaksud sebenarnya segandengan dengan ibu yang kita singkirkan sementara 'karena ia selalu berhak fara'i{, sedangkan saudara yang dimaksud ialah saudara dalam semua jenisnya. Dihubungkan dengan adanya. mawili untuk semua mendiang anak dan semua mendiang saudara, yang mati meninggalkan jurai (IV : 33 a), maka dapatlah kita rekonstruksikan prinsip keutainaan yan g ada

dalam Qur'In

itu

seperti berikut

Kelompok keutam aan pertama ialah anak-anak beserta kelurunannya; kelompok keutamaan kedua ialah orang-tua dan kelompok'keutamaan ketiga ialah saudara beserta keturunannya. Kelompok keutamaan keempat yaitu untuk peristiwa dimana simati tidak berketurun&n, tidak berorang-tua dan tidak pula bersauddra atau keturunan saudara dapat kembali dengan bantuan IV : 33 a kita rekonstruksikan yakni : kelompok keutamaan keempat ialah mawdli untuk orang-tua, yakni orang-tua dari orang-tua, selanjutnya jurai mereka ini pada garis sisi kedua, berikutnya orang-tua dari orang-tua dari orang-tua, seterusnya garis sisi ketiga dan begitu seterusnya. '
36

b.

Menurut perincian keutamaan yang tersebut itu, maka sekali-kali tidak mungkin dapat bersama-sama mewaris orangorang dari kelompok-kelompok keutamaan yang berbeda-beda, sebab tertutup kelompok keutamaan yang lebih rendah oleh kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Akan tetapi oleh karena Qur'd'n seperti telah disebutkan mengenal pula sistim far6'i{ sehingga ada dzawD-'lfarE'i{ yang mesti selalu ikut diperhitungkan dalam berbagi harta, seperti ibu, duda dan janda. ditambah lagr dengan pernyataan Qur'dn IV : 11 h, tentang hubungan aqrab antara seseorang dengan anaknya dan orang-tuanya, nrakar perumusan mengenai kelompok-kelompok keutamaan itu men' dapat perobahan penyesuaian, yakni sebagai berikut : l. keutamaan pertama : a) anak-anak, laki-laki dan perempuan, atau sebagai dzawil-'lfard'id atau sebagai dzawil-'lqarEbat, beserta mawdfi bagi mendiang-mendiang unak laki-laki clan perempuan (IV : 11 a, b, c jo. IV : 33 a) ;' b ) orang-tua (ayah dan mak) sebaghi dzawti-'lfarE'id

2.

f uou sebagai dzawu--'rrara'id (rv t2), keutamaan kedua : a) saudara, laki-laki dan perempuan, atau sebagai dzawil'lfara'id atau sebagai dzawfi-'lqarEbat, beserta mawali bagi mendiang-mendiang saudara laki-laki dan perempuan dalarn' hal kalilah IV : I 2 f dan IV : 17 6 jo. IV : 33 a ' b) mak sebagad aruwii-'lfarElid (IV : I I f jo. IV : 12 f, g dan IV.: fi6); c) ayah sebagai dzawu--'lqardbat dalam hal kalalah IV : 12

fix.;

ilit

3. 4.

keutamaan ketiga: a. mak sebagai dzawE-'lfar-f id (IV : I I e) ; b. ayah sebagai dzawfi-'lqarEbat (IV : I I e) ; c. janda atau duda sebagai dzaufr-llfarE'i{ (IV Keutamaan keempat : a. janda atau duda sebagai dzauff-'lfartr"id (IV b. mawdli untuk mak (IV : I I e) ; c. mawali untuk ayah (IV : I I e).
r

,d) janda atau dudi

f, g;

seb agai

dzaw[-'lfard'id (IV

l2).

: :

l2).
12) ;

37

S- 6. Dari 'perumusan lielompok keutamaan seperti iersebut dalam $ 5 terny ata bahwa bagi mak dan ayah dalam keutamaan pertama, kedua dan ketiga, demikian pula bagi janda dan duda dalam semua keutamaan, tidak diadakan mawEll atas alasan berikut. Untuk mendiirng ayah atau mendiang mak tidak diadakan mawEli,,karena : .1. dahm keutamaan pertama, jilg bagi meqdiqng ayah atau mendiang mak, diadakan mawEli, maka mawEli itu juga akan ' terdiri dari anak-anak atau keturunan mereka, sedangkan ' keturunan mereka itu telah diikutkan sebagai ahli-waris ' dalam huruf a, sedangkan keturunan mereka yang selainny4 yaitu saudara si-pewaris atau keturunan saudara si-pewaris, telah dimasukkan ke dalam keutarnaan kedua, berhubung dengan urusan kaElah; 2. dalarn keutamaan kedua* jika bagi mendiang mak clalam kalElah IV_ : 12 f, g ltaq IV : 17 6 dan bagi _mendiang ay4 dalam kal{lah IV : lZ f, g diadakan nrawdli, maka mawdli .r itu akan terdiri juga dari anak-anak mereka atau keturunan mereka, yakni . saudara-sau dara dan keturunan saudarasau dara si-pewaris, yang telah diikutkan juga sebagai ahliwaris dalam hurut a. 3. dalam keutamaan.ketiga: ayah dan mqk bagi si-pewaris adalah setaraf dalam naf'an dengan anak menurut ajaran Qur'dn sendiri (IV : I I h); maka karena itr,r untuk mak yang mati punah sedangtdn ayah masih hidup, demikian juga untuk ayah yang inati. punah sedangkan ibu masih hidup tidak perlu... lagi diadakan maw6li, sebagaimana_juga untuk anak yang mati punah tidak diadakan mawdli, jika masih ada anak yang lain.atau ketunrnannya. 'Jika semua anak mati pu4ah maka ahli-wads berikutnya ialah orang-tua si-pewaris. Dernikian juga bilam ana kedua orang-tua mati ptinah, rnaka ahli-waris berikutnya ialah orang-tua dari orang-tua, dan mereka ini sebagai. mawali telah mendapat ternpat dalam / ketrtamaan keempat. , Unttik duda atau janda, absolut tidak mungkin diadakan mawdll oleh karena duda atlu janda itu baru ada dengan tnatiny'a si-pewaris, dan tidak mungkin ada sebelttnl nuttin.va si-pe-rvaris.

38

tE.

'l

Untuk m,g,mperoleh mawdfl mestilah orang telah ada dan teilah ntati sebfium sipewaris, maka istilah ;;mendiang dua" atau ,,niendianftjanda" adalah dalam hubungan kewarisan ini istilahistilah yang sungguh-sungguh nonsense, non-existent. Jika ada
jtrga istilah-istilah tbrsebut' maka .maksudnya ,,ada orang yang telah'mati seb,agat duda ata|u ian'Qa", seduttgLun dulurn lapangan kewarisan ini orang-mati sebagai isteri atau suami dan karena itu ada ducla atau ianda baginya. 'Iika si Fuldn mati setelah kawan hiclupnya si Anu mati terlebih dahulu, maka.si Fulfn itulah sendiri yang mati sebagai duda atau janda si Anu. Mungkin juga si Ful[n itu mati sebagaijanda atau duda si Anu dengan meninggalkan janda atau duda, tetapi janda atau duda si Fuldn ini Itidup dan bertiltdak iebagai ahli vts,risnya, sedangkan mawali dibutuhkan bagi orang yang mati terlebih dahulu dari si Ful6n. Si Anu memang mati sebelum si Fr-rl6n tetapi si Anu mati sebagai isteri atau suami si Ful?n dan bukan sebagai duda atau jandania. S 7. Selanjutnya teriihat dalam sistim keutamaan yang dianut dalam karangan ini, bahw a ada mawafi juga untuk dzawu-'lfar-a'i{ yaitu dalam keutamaan pertama huruf a untuk anak perempuan (IV : 1 I b, c), dalam keutamaan kedua huruf a untuk saudara perernpuan (IV : I 7 6 b, d) 'dan untuk saud ara laki-laki dan saud ara perempllan (IV : 1 2 f , g); dalam keutamaan keempat huruf b untuk mak (IV : I 1 e). Dengan adanya mawdli untuk dzaw[-'lfard'id itu, maka mawdlT itu tidalc pula menjadi dzawrt'lfar7i/, sehin gga bagian yang diterima oleh mawdli itu juga bukan bagian sebagai farE'id, cuma rnereka berbagi dalam satu jumlah sebesai jumlah untuk fard'id mendiang yan_g bersangkutan, seperti ,juga halnya jika mereka menjadi maw?li untuk dzawil'lqarepat mereka berbagi dalam satu jumlah sebesar iumlah untuk

annya dalam jurai yang bersangkutan berbagi antata mereka menurLrt prinsip ,,laki-laki mendapat sebanyak clua kali bagian perempuan", scdangkan sama-sama laki-laki atau sama-sama perempuan berbagi sama-rata, yakni prinsip ygng dijumpai dalam IV : I I a bagi anak juga berlaku bagi mawdli untuk anak; yang dijumpai dalam lV : l7 6 e bagi saudara juga berlaku bagi mawEfi .'-untuk saudara yang clijumpai dalam IV : I I e bagi ibu sepertiga, juga berlaku bagi mawdlT untuk ibu, sehin gga ayah dan mak dari ibu itu mend apat bersanla-sama sepertiga sedangkan sisanya
39

bagiSn nrendiang yang bersangkutan. Mawali yang sama keduduk-

diperoleh bersama-sama oleh mawdli untuk ayah, yaitu ayah dan mak dari ayah, atas prinsip mana maka juga antara ayah.dan mak pihak ibu atau pihak ayah itu akan berbagi menurut bandingan sepertiga untuk yangperempuan dan sisanya untuk y11ng laki-laki, dan demikianlah seterusnya cara bagian untuk mawd'li berikutnya yakni ke garis sisi kedua antara saudara ayah atau mak, maka saudara laki-laki mendapat dua kali sebanyak bagian saudara perempuan, sesudah itu setingkat lagi ke atas kepdda poyangpoyang ( ayah-dan-mak dari datukdan-nenek pihak ayah di satu pihak dan ayah-dan-rnak dari datuk-dan-nenek pihak ibu di lain pihak), sesudah itu ke garis sisi_ ketiga dan sebagainya. Ringkasnya: semua mawdfi berbagi antara mereka jumlah bagian oiung untuk siapa'mereka menjadi mawEfi dengan mengindahkan kedudukan mereka masing-masing dalam jurai dan selanju tnya atas dasar kesam aan kedudukan maka laki-laki dan perempuan berbagi dalam ban dingan 2 r I , sama-sama perempuan atau sama-sama laki-laki birbagi sama rata dan jika mawili itu tunggal maka ia mendapat seluruhnya. Perhatikanlah lagi contoh yang diberikan pada pagina 30. Dibawah ini diberikan pula contoh pembagian untuk mawifi bagi ayah atau mak. rl P mati meninggalkan duda (D), orang-tua pihak ayah (A) dan orang-tua AA MI,I A1,I MA 0-6 O-'--A pihak mak (M). Pembagian ialah: o___-l__= A

tt

I=O PD

D-l12; MA+MM=l13; AA + AM = ll0. Maka:MA = 213 x l!3;


MM = ll3 x ll3; AA = 2ll x 116; AM = lll x 116:

AA 3--a

Ai'l

rl O-A
I

I'lA J--

t'l ]'1

P mati tidak meninggalkan janda atau duda: MA= 213 x ll3;

ll3 x ll3; x 213; ffi= ll3 x 213.


MM=

AA=

213

40

!b-

AAO:-AAr'l
A lpll

o-..=-_A

M- = 3i3

AA = nihil AM = :lihil
MA AM
a

' ::!

Alrl

1{A

!1!-:n ril.

l3=-l

213
I

r14xtlz x r13,
213

x t 13; 13 x 213:

b
c

t12xtlt x t13:

r14x l/3 x l13: x 213.

.l = ll+,f=2l3xll3: d r 2l3xl!3xll3; i = ll3illlxli3: Y, a. t), = nihil c = llZxlllx5,ll2; e = 2l3xll3x5ll2;


s= 2ll x 213 x 213x5 ll2; tu= | 13 x 2lZ x 2lZxS ltZ

k = tl3x2l3xSltz

S 8. Istilah nlowali itu selain clalam IV: 33, juga drjumpai dalam XXXIII: 5 b, yang bunyinya:',,f'a illam ta'lamU aba'ahum fa ikhwinukum fiiddlni wa mawilikum". Dalam XXXIII: 4 yang mendahului ayat tersebut, Qur'in menghapuskan hr;kum adat tentang pengangkatan anak yang berakibatkan bahwa anak angkat itu menjadi ahli-waris bagi si-pengairg&at. ,Bagi masyarakat 'Arab yang mengangkat itu selalu laki-lalii dan anak angkat itupun selalu' laki{aki, sebab anak perennpuan tidak dapat jadi pgnghubung keturunan di dalarn'u-sbah yang patrilineal itu. Di dalam masyarakat , yang bukan patrilineal, ,anak angkat itu mungkin anai< perempuan,, mungkin anaB,laki-taki, seperti dalam masy4rakat bilateral, atau murlgkirl''anak pepmpuan saja seperti dalam masyaraka! yang matrilineal. Kardna itu orang dari kebudayaan '.'Arab akhn" me.mdhamkan kata abnTi"akum dalam
4t

ja'ala ad'iyi'akum abni'akum" dalam arti ,,dan (Alleh) tidak menjadikan anak-anak angkatmu anal;-anuk laki-laki bagimu" ' sehingga pengertian anak angkat itu akan terbatas pada anak laki-laki saja. Qur'an bukan diturunkan untuk orang 'Arab saja tetapi juga unttrk keperluan orang Minangkakabau (matrilineal) darl orang Jalva (bilateral) dan unttrk lain-lain piltak di seluruh dunia ini. Maka tidak mungkin Allalt yang

XXXIII: 4

.,,w& ura

mengenal selurnthnya akan membatasi perkataanNya hanya Lragi orang-orang yang ber-clan patrilineal saja. Karena itu rnaka

anak itu anak laki-laki atau anak perempuan. Kesimpulan yang sama mengenai arti abrrZt' telah pula dibcrikan dalant E 4. AllZrlt juga menlakai istilah ikltwdrtttkutn dalarn XXXIII: 5 h, kata marla sanra artinya dengan ikhwatukunt, sedangkan ikhrvatull llletlurttt IV: ll 6 e tegas artinya saudara laki-laki dan saudara pcrclltpLlatl: ,,ikhwatan rijalan wa nish'an". Jika tidak ada penjelasatr Allah demikian itu maka orang Minangkabau atau orang Jawa masih boleh nlengangkat anak perempuan untuk dijadikan ahli-waris bikinan, suatu hal yang merupakan anomali terhadap kemauan Allah. Jika Alleh menghapuskan hukunr adat maka acapkali diberikanNya sernacanl dispensasi, yakni clalam hubungan pelik yang bersangkut-paut dengan hidup kepribadian, nrisalnya sebutan ,,iilA mh qod salafa" dalam IV: 22, 23, untuk nrembiarkan prkawinan yang sudah terlanjur. Juga mengenai mengangkat anak itu, yang sudah terlanjur kejadian, sedangkan orang-tua anak itu tidak lagi diketahui, Qur'bn memberikan dispensasi terbatas dengan cuma mengakui hak anak angkat itu sebagai tnaw:alibagi orang-tua angkatnya. dengan pengertian bahwa anak angkat itu tidak boleh lagi dipanggil anak, tetapi hanya boleh dipanggil sar tdara (ikhw-anukum fi'ddin). Sekarang timbul soal dalam kelornpok keutamaatr nranakah anak angkat itu harus ditempatkan. Apapun juga kelompok keutamaanny&, saya berpendapat bahwa anak angkat yang dirnaksud itu hanya mungkin melakukan haknya kalau atas dasar pertalian darah ticlak ada seorang mawili-pun bagi orang-tua angkatnya itu. Dalam hal ini orang-tua angkat itu bukan pervoris, tetapi orang yang mungkin menjadi ahli-waris jika seandainya ia masih hidup waktu membagi sesuatu harta peninggalan itu.
42

,,abni'akum" pasti artinya ,,anakmu", tidak

perdu

li

apakah

Karena itu maka kelompok keutamaan tempat anak angkat itu tergantyng kepada hubungan kekeluargaal antara seseorang pewaris itu dengan mendiang orang-tua angkat itu, yaitu pada kelompok pertama jika si-pewaris adalah orang-tua bagi mendiang orang-tua angkat ittr, pada kelompok kedua jika si-pewaris itu saudara'bagi mendiang orang-tua angkat itu"dan pada kelompok keempat jika si-pewaris itu adalah anak bagi mendiang orang-tua angkat itu. Selanjutnya harus ditegaskan bahwa ketelanjuran mengang-

kat anak itu, bagi masa kita sekar?ng, hanya dapat diakui bagl orang yang se telah melakukan pengangkatan anak itu memeluk
agama Islam

S g. Maw-ali sebagai akibat dari p.eljanjian pertolalan yang climaksud dalam IV: 33 b akan : timbul bila si 'Ali sebagai
pemelihara bagi si 'Abbis, yalg.m.enjanjikan seluruh atau sebagian dari harta peninggalannya untuk si 'AIi, mati terlebih dahulu dari 'Abbas. Menurut hukum 'p9rj.u.njian hak dan kewajiban seseorang yang nrengikat janji-aka.n berpindah kepada ahli-warisnya pada saat kematiannya. Mengenai perjanjian pertolanan itur dapat dirasakan bahwil mungkin timbr-rl persoalan apakah hukum'perjanjian yang tlimaksucl juga akan berlaku sepenuhtrya, dimana perjanjian pel'tolanan yang dimaksud ada mernpunyai segi kepribadian yang beEtu rapat, sehingga orang dapat mentafsirkan bahwa dengan ntatinya si 'Ali terlebih dahulu dari si 'Abbis, perjanjian. pertolanan alttara mereka itu dengan sendirinya akan hilang pula
ke

kuratann! 8;

Dengan adanya ketetapan dalam Qur'an itu maka persoalan atau keragll-raguan tersebut,.menjadi lenyap, sehin gga walaupun

: timbalannya befkewajiban meneruskan pemeliharaan yilng _,selama ini menjadi kewajihal bagr si 'Ali. Maka ahli-waris si 'Ali yang berkewajiban demikian itu dan berhak pada matinya si 'Abbis menerim'a harta peninggalan'si 'Abbis itu,'dinamakan oleh Qur'ln mawbli untuk si 'Ali terhadap harta peninggalan si 'Abbhs. Menurut pendapat saya si 'Abbhs yang mengikat lrcrjarnjian pertolanan itu haruslah seseorang yang tidak merfisebagai

ini tetip terikat terhadap ahli-waris si 'Alf, yang sebaliknya

si'Ali

yang mati terlebih dahulu dan bukan si'Abbis, si'Abbis

i-'

punyai Ulil-'lEr[ram seorangpun lag .dan jika ada Dlil:'larh-am baginya 'maka perjanjian pertolanan tersebut tidak boleh inelampaui sepertiga dari harta peninggalannya, yakni juga berpedoman kepada hukum wgsiyyat. Patut dicatat disini bahwa juga hukum adat di-Indonesia ini mengenal bentuk perjanjian pertolanan itu, seperti di Minahaga (ngaranan) dan di Bali (rnakehidang raga). Sungguh maha tatru Alhh itu !

S 10. Dalam sistim keutamaan ,seperti diuraikan dalam karaiigan ini, tidak ada kemungkinannya untuk menjadikan ayatl dari ayah atau mak dari ayah atau mak dari mak menjadi dzawtr'lfari'ifl. Demikian juga tidak ada kemungkinan untuk menjadikan cucu perempuan menjadi dzawlr-'lfari'i{ seperti dilakukan dalam sistim Ahlu-'l-Sunnah. Demikian pula tidak ada kemungkinan untuk memberikan tempat istimewa kepada datuk di samping saudara, seperti dalam sistim Ahlu-'l-Sunnah dan Syi'ah.
.t

44

VI. SISA

BAGI.

S 1. Tentang keutam aan dalam membayarkan sesuatuny*a dari harta peninggalan, Qur'-an menghendaki supaya terlebih dahulu dikeluarkan wa3iyyat, yang menurut ketetapan Rashl, tidak boleh melampaui dari | 1.3 dari jumlah harta peninggalan, sesudah itu hutang-hutang si-mati (termasuk hutang kematiannya), maka tinggalah lagi sisa besar dan dari sisa besar ini dikeluarkanlah sesudah itu bagian-bagian fari'id dan jika masih ada sisa, slsa kecil, maka sisa kecil inilah untuk mereka yang saya namakan dzawlr-'lqaribat, yang mungkin tidak akan mendapat apa-apa. Jika seorang dzawirl-'qaribat tidak mendapat apa-apa maka ju-.: ga mawilinya tidak akan mendapat apa-apa. Saya berpendapat bahwa manusia tidak boleh mencari akal-akal untuk lebih mengllntungkan dzaw-u:qar-abat itu dalam pembagian harta, sebab dengan demikian kita mengganggu nasib yangtelah ditentukan Allah bagi mereka dengan menrgikan pihak lain. Berhtrbung dengan hal ini maka praktek Khalifah 'UMAR tidak dipakai dalanr sistirn yang diuraikan disini, yakni janda atau dr"rda dengan tidak seizin ibu si-mati tidak akan diberikan prioriteit mendapat fari'id terdahulu dari pada ibu si-rnati dalam hal si-mati tidak t'rerketurunan, sebab perbuatan tersebut merllgikan ibu itu dan nrenguntungkan ayah si-mati sebagai dzawir-'lqarabat
S 2. Ada kemungkinan bahwa jumlah fara'i$ itu lebih dari angka l. Dzawir-'lfara'id dapat.dijumpai dalam semLla kelompok keutamaan. Dalam kelompok keutamaan pertama dan kedua itu sajalah jr-rmlah semua fara'iQ itur mungkin melampaui angka l. Karena Qr"rr'hn tidak memberikan prioriteit diantara sesama dzawu-'lfarh'ir,l, maka sangatlah genial ketetapan Khalifah'Afi ylurg nrenterirttahkan 'uwl antara ntereka itu. Misalnya: ahli-waris ialalt seorang anak perempuan, ayoh, mak dan duda, yang fari'idrya berturutan ialah ll2+ ll6 + ll6 + ll4 = 13l12, maka jumlah tersebut dibulatkan menjadi 13 I 13, yaitu untuk anak perempuan 61 13, ayah dan mak masing-nlasing 2ll3 dan dud a3 I 13.
S 3. Ada kemungkinan bahwa clzawil-'lqarabat ticlak menclapat apa-apa. Dzawil-'lqardbat Aijumpai dalam lcelompok ke-

45

utamaan pertama, kcdua dan ketiga, dan dalam kelompok keutamaan kedua itulah saja, yakni dalam hal kalalah IV : 12 f, ada kenrungkinan ayah sebagat dzawtr-'lqarEbat tidak mendapat apa&p&, yaitu jika ada si-mati mempunyai lebih dari seorang saurd ara yang berhak fara'i{ itu, bersama-sarna dengan durda dan 'nak. Kemungkinan tersebut tidak ada dalam sistim Ahlu-'l-Sunnah sebab dalam sistirn tersebut juga bagi kalalah tV : l2f ini disyaratkan bahwa si-mati tidak berayah lagi.
S 4. Ada kemungkinan masih ada sisa-bagi setelah dilakukan pembagran dalam masing-masing kelompok keutamaan itu. Kemungkinan sisa-bagi itu akan terdapat dalam kelompok keutamaan pertama, kedua dan ketiga, jika tidak ada dzawtl-'lqarEbat.

Maka soal ialah siapa y ang berhak atas sisa bagi itu. Sebagai contoh untuk kelompok keutamaan pertama ialah jika cuma ada seorang anak perempuan atau mawllinya, ayah. dan mak. Angka fardid untuk mereka berturutan ialah I 12 + I le + I 16, jumlah 5 16, sisa-bagi I I e. Soal ialah diapakan sisabagi I lA itu. Untuk kelompok keutamaan kedua contoh sisa-bagi misalnya jika pada kal-alah IV : 17 6 cuma ada seorang saud ara peremplran dan ibu, sehingga soalnya diapakan sisa-bagi sejumlah I l6 itu. Bagi kelompok keutamaan ketiga misalnya bila hanya ada ibu saja, sehingga soal diapakan sisa-bagi sebesar 213 itu ? Bagi kelompok keutamaan keempat tidak ada sisa-bagi; yang ada ialah sisa kecil llz atau 314 setelah dikurangkan fara'i{ bagi duda atau janda, dan jika tidak ada duda atau janda, maka ada sisa besar. Sisa kecil atau sisa besar itu adalah bagi mawifi untuk ayah dan ibu. Qur'dn sendiri tidak memberikan sesuatu garis hukurn khusus untuk perlakuan, terhadap sisa-bagi itu, sehingga terpaksa kita mempedomani prinsip-prinsip umum yang dapat disalurkan dari ayat-ayat kewarisan. Di atas tadi (h1.33) dalam mencari apakah Qur'dn mengenal garis pokok keutamaan, kita telah dapat menyalurkan dari ayatayat tersebut, pertama perikutan keutamaan anak-orang-tuasaudat?, dan kedua berdasarkan petunjuk dalam IV : I I h kita terpaksa menempatkan anak bersama-sama orang-tua dalam satu
46
I

h.

kelompok keutamaan, ialah dalam kelompok keutamaan pertama, apalagi paksaan it'u diperkuat dengan derajat yang diberikan oleh

Qur'dn kepada kedua orzng-tua seb agai dzawD-'lfar6'id jika simati ada berketurunan, se'dangkan bagi kelompok keutamaan kedua terpaksa pula kita menempatkan bersama-sama saudara setidak-tidaknya ibu si-pewaris, karena Qur'dn memberikan Kepada ibu hak fara'id juga jika si-pewaris mati kalelah, yaitu mati dengan tidak berketurunan, demikian juga terpaksa kita menempatkan ibu dalam kelompok keutamaan ketiga, sehingga alhasilnya orang-tua kedua-duanya mendapat tempat dalam tiga kelompok keutamaan tersebut. Menempatkan orang-orang dalam kelompok keutamaan idah untuk menentukan bahwa mereka yang sekelompok berhak berkonkurrensi, artinya yang satu tidak boleh menyingkirkan yang lain, selanjutnya bahwa jika telah ada kepastian siapa-siapa yang termasuk dalam suatu kelompok keutamaan, maka mereka berhak menyingkirkan orang-orang dari lain kelompok yang kurang
keutamaannya. Sisa-bagi yang dimaksud disini adalah sebenarnya sisa kecil, Lang akan hapus jika seandainya ada dzawD-'lqardbat

atau mawdli bagi mereka. Tetapi karena dalam hal sisa-bagi ini kebetulan tidak ada dzawu-'lqarabat atau mawafi bagi dzawi'lfhrd'i{ yang semuanya adalah Dl[-'lerbam bagi si-pewaris, kecuali duda atau janda, maka soal pertama ialah apakah duda atau janda juga berhak atas sisa-bagi itu, Menurut paham saya, yaitu dengan berpedoman kepada prinsip bahwa si-kecil adalah untuk dzawu--'lqarabat, maka duda atau janda yang bukan dzawlr: 'lqardbat itu haruslah disingkirkan dalam persoalan sisa-bagi itu. Dengan pengecualian dari janda atau duda itu, maka dalam kelompok keutamaan pertama yang menghadapi sisa-bagi itu hanya dzawD-'lfara'ifl bersama-sama dengan mawali dari anak perempuan yang dzawu-'lfar-a'id, sedangkan dalam kelompok keutamaan kedua yang menghadapi sisa-bagi itu hanya dzawu'lfard''i{ beserta dengan mawdli untuk saudara yang dzawD'lfar?'id, dan dalam kelompok keutamaan ketiga sisa-bagi itu hanya dihadapi oleh ibu sebagai dzawu'lfara'i{. Dengan demikian maka kesulitan kita terbatas kepada kelompok keutamaan pertama jika tidak ada anak laki-laki atau mawalinya dan pacia kelompok keutamaan kedua mengenai kaldlah jika ayah tidak ada, sehingga menurut sistirn saya ini diper47

c) bila ada dua orang atau lebih anak perempuan atau mawdlinya, maka semua anak atau maw?linya ini mendapat 415 danayah

: . ,

atau mak l/5. Bagi urusan kal-alah IV : 176 maka sisa-bagi itu tidak menimbulkan soal lagi karena juga beralaskan IV : I I h maka ibu lebih dekat dari saudara, sehingga hanya ibu yang akan mendapat seluruh sisa-bagi, dan jika ibu tidak ada maka sisa-bagi itu diperoleh oleh saudara atau mawElinya atas dasar bagi sama rata antaru saudara dan berbagi menurut dasar 2 : I diantara mawdli lakilaki dan perempuan yang sama kedudukannya dalam jurai. Dalam keutamaan ketiga, karena ibu saja yang menghadapi sisa-bagi itu, maka seluruh sisa-bagi itu untuk ibulah semuanya. Dalam keutamaan kedua mengenai kaldlah IV : 12 dan dalam keutamaan ketiga, bila ayah masih hidup, maka karena ayah telah merupakan dzawil-'lqar-abat, soal sisa-bagi itu akan terhapus dan berpindah menjadi sisa-kecil biasa yang bulat akan didapat oleh ayah itu, malahan dalam keutamaan ketiga itu, jika tidak ada ibu, janda atau duda, maka seluruh sisa-besar akan bulat didapat oleh ayah.

i"

49

VII. KALALAH li 1. Arti katElah telah dijelaskan oleh Allah sendiri dalam Qur'dn IV : 176, yaitu ,jika seseorang mati dengan tidak ada baginya walad" (inimru'un halaka laisa lah[ walad) sehingga

baru jelas jika telah diketahui apa maksudnya Dalam IV : 1 I &, b, c dijumpai bentuk jama' dari walad ,,walad". yaitu awlld dan disana tegas dinyatakan bahwa awl6d itu mungkin anak laki-laki, mpngkin anak-anak perempuan, mungkin bergandengan kedua jenis anak-anak itu dan nrtrngkin pula tidah seperti dalam bagian kalimat ,,fa'in kuttna nisa'an". Maka teranglah bahwa arti walad setiap macam anak, boleh anak laki-laki, boleh anak perempuan, sehin gga arti kalilah dilam IV : 12 f dan lV : 17 6 ialah ,,kead aan seseorang yang mati dengan tidak ada baginya seorang anakpun, baik anak laki-laki maupun anak perempuan". Dihubungkan dengan arti mawiti tV : 33 a, maka arti anak mesti pula diperluas dengan ketttrttnan, sehingga arti kaldlah selengkapnya ialah ,,kead aan seseorang yang rnati punah, artinya mati dengan tidak berketurunan". Dalam sistim bilateral yang dianut oleh Qur'dn maka keturunan artinya setiap orang di garis ke bawah, tidak perduli apakah garis itu melalui laki-laki atau perempuan. definisi

itu

S 2. Mengenai arti akhun, ukhtun dan ikhwatun seperti ditemui dalam ayat-ayat kaldlah itu, haruslah diingat bahwa katakata itu dipergunakan dalam Qur'dn dengan tidak memberikan sesuatu perincian'tentang hubungan persaudaraan itu, hal mana selaras dengan sistim kekelu argaan bilateral menunrt Qur dn, selringgayang dimaksud dengan akhun (saudara laki-laki), ukhtun (saudara perempuan), ikhwatun (saudara-saudara) adalah saudara dalam semua macam hubungan persaudaraan, baik karena pertalian darah dengan ayah, maupun karena pertalian darah dengan mak. Semda macam hubungan persaudaraan rtu waiib ikut diperhitungkan dengan tidak boleh mengartikannya berlain-lain, lain untuk IV : 12 f, g, h dan lain untuk IV : 17 6 (a sampai dengan e ). Berlainan cara pembagian dalam dua ayat kal-alah itu tidak boleh
saudaraan

menyebabkan berlainan pula tafsir mengenai hubungan peritu. Sebab juga dalam hubungan ayah dan mak, seperti
50

dalam IV: I I d, e, f, dimana ayah dan mak itu adalah ayah kartdtmg dan malc lcanclung, bagian ayah atau ibu itu dapat berbeda-beda menurut keadaan. Demikian juga dalam hubungan anak dan anak, seperti dalam IV: I I 3, b, c, anak-anak itu mungkin mendapat pembagian yang berbeda-beda menumt keadaan sedangkan anak-anak itu jelas anak kandung bagi si-mati. Karena itu maka kesamaan arti secara bilateral bagi akhttn atau uklttun dalam kedua-duanya ayat-ayat kalilah itu tidak perlu pula berarti kesamaan bagi dasar pembagian atau jika diperbedakan dasar pembagian itu, seperti halnya dalarn ayat-ayat kal-alah itu, maka hal ittr tidak perlu menunjuk kepada sesuatu perbedaan mengenai lrubungan persaudaraan dalam ayat l2 dan ayat 176 itu. Karena Qtrr'-an tidak memberikan perincian tentang macamnya pgrhubungan akhttn dan ukhtun itu, maka semua macam derlrubungan yang mungkin pada ayat l2 harus mungkin pula pada ayat 17 6. Maka perbedaan dasar pembaglan antara dua dyat itu bukanlah harus dicari sebabnya karena perbedaan macam perhubungan akhttn dan ukhtun itu sendiri, tetapi hanrs dicari sebabnya karena,,keadaan lalniya".

S 3, Coba kita tinjau pelbagai macam perhubungan persaud ara' an itu, seperti yang kita jumpai dalam hukum adat. Setiap puhak bangsa kita mengenal perbedaan antara saud ara kandung dan saudara tiri, tetapi pengertiannya berbeda-beda menurut sistim kekeluargaan yang dianut dalam masyarakat mereka. Perbedaan itu ditentukan oleh cara bangsa itu menarik garis keturunannya yaitu ada yarig menariknya iecara matrilineal, ada yang secara patrilineal dan ada yang secara bilateral. Bagi sistim kekeluargaan yang matrilineal maka saudara kandung artinya saudara semak (se-ibu), saudara mana selalu se-clan, sedangkan saudara tiri artinya saudara se-bapak lain mak, yakni tidak perduli apakah saud ara se-bapak lain mak itu se-clan atau tidak. Dalam kekeluargaan matrilineal itu tidak ada kebutuhan untuk membedakan lagr saudara se-mak itu dalam saudara se-ibu se-bapak dan saudara se-ibu lain bapak BaE sistim kekeluargaan patrilineal yang murni nraka saud ara kandung artinya saudara se-bapak, asal saja saudarasaudara itu semuanya lahir dari perkawinan yang patrilokal, sedangkan saud ara tiri artinya saudara se-mak lain bap3k, yakni
5l

tidak perduli apakah saudara se-mak lain bapak itu se-clan atau tidak se-clan dan tidak'perduli pula dari perkawirian macam apakah saudara-saudara itu dilahirkan, apakah dup perkawinan patrilokal ataukah matrilokal. Bagr sistim patrilineal yang penghubung dalap keturunan' dapat beralih-alih dari laki-laki ke-perempuan, yakni tergantung
kepada bentuk perkawinan penghubung.itu, p&trilokalkah atau .rnatrilokalkah, maka saudara kandung artinya atau saudara sebapak asal saja semua saudara itu tidak berlainan clan walaupun . mungkin lahir dari pelbagai bentuk perkawinan seperti di-Rejang, atau saudara se-mak asal saja saudara-saudara itu semuanya lahir dari perkawinan yang matrilokal, dengan'pengertian bahwa semua saudara-saudara itu termasuk dalam satu clan dengan maknya, sebab ada kemungkinan diantara saudara-saud ara itu ada yang dalam clan ayahnya seperi di-Rejang. 'masuk kesistim kekeluargaan yang bilateral maka saudara BaE kandung mungkin artinya saudara se-bapak atau n-lungkin pula saudara se-mak, atau mungkin pula saudara se-bapak ditambah dengan saudara se-mak, sehingga termasuk didalamnya semua jenis hubun gan persaudara4n yakni saudara se-ibu se-bapak ditambah saudara se-bapak lain mak dan ditambah saud ara semak lain bapak. Dalam sistim bihteral ini orang'hanya mungkin bersaudara atau tidak bersaudara. Pengertian ,"saud ara' tiri" memang ada dalam masyarakat yang bilateral, tetapi yang disebut ,,saudara tiri" itu saftn sekali bulcnn saudAra, tetapi orang lain benar yang tidak ada sangkut paut kedarahan apa-hpa dengan orang yang menyebutnya, umpamanya .hubungan bntaia a dan b di satu pihak dengan e dan f di lain pihak dalam contoh yang digambarkan dalam $ 4.

S 4.Perbedaan derjat kemasyarakatan antara mak dan mak bagi saudara-saudara yang se-bapak, ataupun antara ayah dan ayah bagi saudara-saudara yang se-mak, bagt masyarakat yang ber-cl&n, telah dinaturalisir, jika mereka termasuk ke dalam clan ibu masing-masing atau ke dalam clan bapak masing-masing, oleh perbedaan clan itu yang menjadi penghalang dilapangan kewarisan antara saudara-saudara itu, atau jika saudara-saudara itu se-clan dinaturalisir oleh kesatuan keluarga dimana masing-masing mereka termasuk, seperti ,,seperut" di Minangkabau dan ,,sakahang-

52'

gi" di-Tanah-Batak.

sehingga perbedaan kesatuan keluarga itu yang menjadi penghalang di lapangan kewarisan, sedangkan jika mereka itu se-clan tlcut sekesatuan keluarga nraka perbedaan derjat kenrasyarakatan ittr tidak mungkin ada, sehingga penghalang satu-satuirva ialah garis hukum 'yang berlaku mengenai garis-garis pokok penggantian dan keutamaan Dalam masyarakat yang bilateral perbedaetn derjat dalam ukuran kemasyarakatan antara ayah dan ayah atau antara mak dan mal< mungkin memberikan pengaruh dalam hubungan persaudaraan antara mereka ysng se-mak ataupun yang se-ayah itu, ditinjau baik dari sudut kemasyarakatan maupun dari sudut
kewarisan.

Contoh: CABD

mak ayah perkawinan

^x'7T^T"
s? ?s ? t

n hubungan kelahiran

. Jika A, B, C dan D seder:-tjat dalam ukuran kemasyarakat?r, maka a, b, e dan f semua saLrdara kandung bagi c dan d, walattpun clapat diperinci bahwa c clan d adalah saudara se-ibu se-bapak; c, cl, e, f adalah saudara se-ibu, (t, d., a, b adalah saudara sebapak; e; f adalah saud ara se-ibu lain bapak bagi c, d; dan a, b adhlafu saLlclara sebapak lain mak bagi c, d. Antara a, b dan e, f tidak ,ada hubungan persaudat'aan, se'!-rab mereka tidak se-ayah dan tidak se-ibu. Jika dalam masyarakar yang bilateral akan diperbedakan antara saudara, maka ada yattg mau membedakan pntara saudara kandung (se-ayah se-ibu) dengan saudara yang bukan kandung (saudara tiri se-bap?k, dan saud ara tiri se-ibu) tetapi perbed aan demikian tidak diketahui apa faedahnya dalam hubungan saudara dengan saud ara jika mereka tidak berlainan
derjat dalam ukuran masyarakat. Jika C atau D rendah martabat kemasyarakatannya dari A B, maka n"tLn'tgkirt c? d tidak akan menganggap a, b atau e, f dan segolongan dengan mereka baik dari sudut kemasyarak atan rnaLrpun dari sudut harta.
53

S 5. Diskriminasi seperti dimaksud di atas itu antara

saudara

tidak dikenal oleh Qur'-an, karena Qur'in menuju kemasyarakat bilateral yang tidak berkelas, dimana ukuran antara manusia
hanya adalah ukuran taqwa, disamping ukuran arhdm: wattaqir' llaha ..... ....... wa'l-arhEma (lV: I ). Apalagi Qur'in yang mengizinkan poligami mengetahui apa akibatnya poligami itu, yaitu adanya saudara-saudara se-bapak lain mak, disamping.saudar&.S&udara se-mak lain bapek, dan juga mengetahui bahwa perbed aan dalam masyarakat antara kandung dan tiri itu adalah sumber besar bagi bermacam-macam kedengkt4r, kebencian, kecurangan, permusuhan d.s.b., hal-hal yang wajib dibasmi. I(arena Qur'in menganut sistim kekeluargaan yang bilateral maka perkataan ak|ttut atau ttkhtun nreliputi semua macam hubungan persauclara&n, terlepas dari diskriminasi apapun juga. Dalam hubungan ini sangat menarik perhatian peringatan dalarn Qur'-an IV: 12 f, E, h ,,gltaira muddrrin", peringatan mana jelas untuk menolak sesuatu diskriminasi yang merugikan antara semua lnacam hubun gan persaLldaraan itu. Karena itu maka perbedaan dasar pembagian dalam kalilah IV: 12 dan IV: 176 itu harus dicari sebabnya bukan dalam perbedaan macam persattdaraan tetapi dalam ,,keaclAan lainnya" itu yang menyebabkan lain cara pembagian pada IV: 12 f, g, h dan lain pada IV: 176. Dalant dua ayat-ayat ini arti kal-alah hanya satu, yaitu tidak berketurunan, arti alcltun, ulclttttn, ikhwatun juga sama, yaitu semua hubungan persaudaraan terhadap seorang laki-laki atau seorang perempuan ataupun terhadap beberapa orang lakilaki dan perempuffi, sehingga satu-satunya kemungkinan perbed aan antara dua ayat itu terletak pada perbedaan keadaan nrcngenai orang-tua si-pewaris. Disinilah dicari ,,keadaan lainnya" itu,lain bagi IV: 12 dan lain bagi IV: 176. Keadaan yang berlainan bagi orang-tua si-pewaris itu dapat diperinci sebagai berikut :
1 . ayah dan mak sudah mati terlebih dahulu; 2. ayah sudah mati, ibu masih hidup; 3. ayah masih hidup, ibu sudah mati; 4. ayah dan ibu masih hidup. Marilah kita tinjau setiap kemungkinan mengenai keadaan orangtua itu pada dua macam hukum kalalah itu.

54

Pada kalalah IV: 12 tidak ada sesuatu yang menolak kemungkinan untuk ikut berkonkurrensi antara ibu dan janda atau duda dengan saud ara si-pewaris, kecuali maut bagi ibu, janda atau duda, sebab mereka ini adalah sama-sama dzaw-u-'lfard'id selringga jika mereka masih hidup maka mereka mvsli diikut' sertakan clalam berbagi. Tentang saudara, semua merekapun dzaw-ui1'lfar-a'i{, dan adanya mereka ialah syarat mutlak untuk kalalah lV: l2 itr"r. Apakah yang menghambat bagi ayah untuk ikrrt serta seb aga;r dzawfi-'lqardbat dalam berbagi itu ! Tidak ada sesuatupun yang ntenghambat ! Dia tidak berhak untuk menyingkirkan salrdara-sauclara itu sebab mereka adalah Ozaulir'lfarh'id, sebaliknya dzawl-'lfari'i{ tidak berhak menyingkirkan dzawlr-'lqaribat, asal saja ada kemungkinan sisa-bagi untuk dzawir-'lqaralrat itu, dan siapa dzaw-u-'lqaribat yang berhak atas sisa-bagi itu adalah urusan mengenai kelompok keutamaan, di dalarn marla orang itu climasukkan. Ayah si-mati adalah setaraf dengan ibu si-mati, sehingga dimana ibu dapat ikut mewaris disana ayah itr"r pacla prinsipnya harus dapat ikut mewaris. Lain lralnya pada kalalah IV: 176, dimana diatur bagian untuk saudara sebagai dzawh-'lqarirbat (lV: ll6 c dan e) yakni jika si-mati meninggalkan seorang saudara laki-laki saja, atau beberapa orang saudara laki-laki atau campuran antara saudara laki-laki dan salrdara perernpuan. Jika ayah sebagai dz.awh-'lqaribat ikut hadir, maka semLla saudara tersebut yang juga dzawir-'lqar-abat akan tersingkir dari hak berbagi menurut IV: 17 6 c dan e itu, karena ayah mempunyai prioriteit lebih tinggi dari saudara-saudara itu, akan tetapi tidak tersingkir untuk ikut berbagi menurut IV: 12 f , g, h sebagai dz,aw-u-'lfarh'i$. Demikian juga jika si-mati hanya puan itu akan terlepas hak far-a'idnya menurut.IV'. 176 jika ada ayah, akan tetapi akan timbul hak fara'idnya menurut IV: 12 f, g, h, sebab bagi IV: 176 itu tidak mungkin syarat yang dikenakan runtuk huruf c dan e nya, yaitu ayah telah mati, tidak serentak dikenakan pula untuk hurtrf b dan d nya.
I

mernpLrnyai saudara perempuan saja maka saudara-saudara perem-

Kesinrpulan ialah: . pada IV: ll (t itu Allah mengatur kewarisan seseorang yang mat i tidak berketurunan tetapi ada meninggalkan saudara, yakni dalam hal ayahnya telah mati terlebih dahulu, fiadi
55

'mak suclah mati terlebih dahulu, atau .mungkin ayah dan hidup). ,mungkin ayah sudah'mati tetapi ibu masih ''g, h itu Allah mengatur kewarisan seseorang Z:'padu lVt \?,f; yang mati tidak berketurunxil, tetapi ada meninggalkan saudata . .,beserta ayah (iadi mungkin mak iuga masih hidup, atau munglsn mak sudah mati).

56
:

VIII. WASIYYAT KEPADA AHLI-WARIS

tidak ada sesuatu ay at Qur'bn oleh ayat yang lain dalam Qur'in, maka yang dimansirkh-kan tidak ada sesuatu halangan nntuk menta'att II: 180 dan lI:240. Juga cara redaksinya ayat-ayat tersebut tidak memberikan kesan bahwa sifat suruhatrtryu dan mutu wejibnya acla berbeda sedifcitpun juga dengan ayat-ayat kewarisan berikutnva. seperti IV: 11,
Berdasarkan paham bahwa

Yang sangat menarik perhatian saya ialah bahwa Qur'hn mewajibkan dalam II: 240 wa$iyyat bagi isteri-isteri sebesar jumlah yang dibutuhkan bagi pemeliharaan hidup mereka selama satu tahun, hal mana membuktikan bahwa Qur'hn yang mengizinkan poly.gami bukan saja memberikan syarat-syarat bagi melakukan polygami (IVr 3, 127), tetapi juga melindungi akibat berpolygami itu dengan syarat-syarat tertentu pula, bagi kepentingan isteri-isteri itu, sampai matinya suami mereka. Laki-laki yang berpolygami mempunyai harapan akan mendapat anak dari salah seorang isteri-isterinya itu, sehingga fari'ifl urn tuk janda cuma akan berjumlah seperdelapan (l/8) dari harta peninggalannya. Bila ada empat orang janda, maka bagian masing-masing cuma 1132. Janda yang tidak memperoleh anak dari si-pewaris cuma ada harapan atas | 132 itulah sedangkan janda yang ada memperolah anak dari sipewaris akan ikut meni'mati bagian anaknya sebagai ibu yang bertugas bagi pemeliharaan anaknya itu. Teranglah bahwa tujuan Qur'in dalam II: 240 itu supaya jangan terlantar janda-janda itu, setidak-tidaknya untuk selama setahun setelah mati suaminya. Mengenai wa$iyyat yang dimaksudkan dalam II: 180 untuk kepentingan orang-tua dan keluarga dekat timbul persoalan dalam hal mana wa-.siyyat itu dibutuhkan lagi setelah Qur'hn mengatur pembagan harta peninggalan dalam IV: I l, 12, 17 6. Dalam II: 180 itu hanya dijumpai sebagai syarat-syarzt ,,in taraka khairan" clan ,,bi-'lma'rlff ". Apa lagikah yang lebih ma'ruf dari pada pembagian yang telah diaiur sendiri oleh Allah secara umunr I Sebab itu saya berpendapat bahwa wa3iyyat yang dimaksud itu aclalah untuk menghadapi hal-hal kltttstts mengenai ayah, mak,
57

12.

anak-anak, dan saudara-saud ara, umpamanya ada diantara mereka itu yang sakit lumpuh berlarut-larut sehingga banyak membuttrhkan blaya peng.obatan, atau seorang anak yangrnempunyai bakat . untuk sesuatu cabang ilmu pengetahuan atau kesenian membutuhkan biaya extra untuk didikannya ; atau seorang saud ara sangat terlantar hidupnya diluar salahnya atau sangat besar pikulan hidupnya karena banyak anakny&, dibandingkan dengan saudara-saudara yang selainily&, dan sebagainya. Terhadap hal-hal istimewa ini ukuran ma'ruf itu ierbatas kep ada kebutuhan istimewa dari anggota kelu arga yang bersangkutan itu dan kepada batas umum yang telah ditentukan Rasul, yaitu jangan me-

lampaui I 13 dari harta peninggalan.

,( .

'l

i :.
t
i

i;
i:

:'
l. t;

s8

I I

l,
li
t,

L
H

IX.

PENUTUP

Sebagai perrnulaan, saya kira cukuplah sekian dahulu, walaupun masih banyak yang dapat diuraikan, diantara lain-lain soal modernisasi di lapangan procedure dan administrasi berkenaan selang sengk eta, pengawasan budel, peffieliharaan hak anak yatim, PenYelesaian hutang-hutang si-mati dan sebagainya. Berhubung dengan penyelesaian hutang-hutang simati, tampaknya sistint Qur'dn adalah sistim tanggung jawab terbatas, yaiiu ahliwaris hanya bertanggung-jawab maximal sampai jumlah aktiva harta peninggalan (II : 233).

Jakarta, Ramadan 1377.


PROF. Mr. Dr. HAZAIRIN

59

HUKUM KEWARISAIY BILATERAL


II'ENURUT

HADITH

Mempelalari Fara'id Ialah melalui Logika Bertemukan Allh Mahaesa Pemikir Agung Mahasuci ( Halaman 33, 67 )

PENDAHULUAN
Karangan ini ialah lanjutan dari uraian-uraian saya mengenai kebilateralan hukum kekelu argaan . menurut Qur'bn. Tentang uraian-uraian yang telah mendahului itu bacalah karangankarangan saya yang berjudul ,,Hendak kemana hukunt Isldm" dan ,,Hltkum kewarisan btlateral menurut al-Qttr'd.n", keduaduanya diterbitkan oleh Tintamas, Jalcnrto. Dalam kedua karangan tersebut pokok pembahasan ialah al-Qur'hn sebagai pokok dari segala usirl'lfiqh. Dalam karangan yang disajikan sekarang ini dilakukan pengupasan dari sudut unsur-unsur usll' fiqh selanjutnya, terutama dari sudut sunnah rasirl. Tidak lengkap sesuatu tinjauan mengenai hukum Islim jika tidak diikut-sertakan setidak-tidaknya sunnah rasirl yang sehubungan dengan garis-garis hukum Qur'in itu. Sebab itu maka perlulah dalam karangan ini diuraikan pula pokok-pokok pengertian usirl fiqh itu untuk mendapat selayang pandang tentang seluk beluk berdirinya hukum Islam.

Oleh karena dalam pembicaraan-pembicaraan selanjutnya banyak disinggung hukum Ahlu'ssunnah wa'ljami'ah, dan hadithhadith yang menjadi pokok pembi caraan merupakan tulang punggung bagi hukum Ahlu'ssunnah tersebut, rnala saya pikir ada faedahilys, terutama bag murid-murid saya sendiri, jika saya berikan pula secara ringkas penguraian tentang prinsip-prinsip sistim hukum AJrlu'ssunnah wa'ljami'ah itu, sup ayaterhimpun dalam jilid yang kecil ini bahan-bahan perbandingan yang diperlukan dalam mempelajari fiqh bilateral itu. Nasehat: janganlah dibaca bab II dan bab III kitab ini, sebelum mempelajari dua karangan yang mendahului yang tersebut diafas tadi.

I.
S 1.
Fiqh

USUL'LFIQH

Fiqh ialah pemikiran tentang hubungan manusia dengan Turhanfly&, dengan sesama manusia, dengan sesama makhluk hidup selainnya dan dengan segala macam bbnda, sekadar pemikiran itu dapat melahirkan sesuatu norma (hukm), Pemikiran itu berdisciplin, tentu ttjung pokoknya, tentu caru-carq atau jalan-jalan yang ditempuhnya (methode interpretasi, deduksi. induksi) dengan mengikuti undang-undang Iogilca yang senlurni-murninya . ,, (ljungnya" telah kita sebut, yaitu hendaklah mencapai sesuatu norma atau kaedah. Yang dimaksud dengan ,,pokoknya" talah hal yang menggerakkan pemikiran itu, sumber atau dasar pemikiran itu. Maka hal atau sumber atau dasar itulah yang disebut ugirl fiqh. Menurut ajaran umum maka uslrl'ifiqh terdiri dari Qur'-an, sunnah Nabi, ijmi'dan qiyis. Disciplin yang diajarkan oleh Qur'in tentang usirl fiqh itu pada pokoknya termaktub dalam IV: 59, XLII: 36,38, XXXIII: l, 2, 21 ,36, XVI: 44,90. Sirrah lV ayat 59 itr.r berbunyi 1 ,,Hai otung-orang yang perc aya, tunduklah kamu akan ketetapan-ketetapan All-ah, ketctapan-ke tctapan Rashl dan kctetapan-ketetapan lrl-u'l'amri yang se-imin dengan kamu. Jika kamu bertentangan paham tentang sesuatu maka carilah penyelesaiannya selaras dengan ketetapanketetapan Allah dan Ras-ul ............... itulah penyudahan yang
r " XLII: 38 mengandung kalimat ,,wo amruhum syhri bainahlrm" (dan mereka itu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi

terbaik.

nya dengan bermusyawafah). Kalirnah itu sepertalian dengan


kalimah dalam XLII :36 yang berbunyi ,,wB ma 'inda'llehi khairun abq-a lilladzina imari'iit' (dan segala apa yang bersumber kepada Allah, itulah yanAr"terbaik dan berkekalan bagi mereka yang beriman). Dari pbrtalian tersebut lahir garis hukum bahwa orong Islam wajib bermusyawarah mengenai segala persoalan dengan mengilcuti segala petuniuk (httdd yang diberikan Tuhan, Teranglah bahwa ada hubungan yang rapat antara IV: 59

wa

61

XLII: 3 8, yaitu : setnuo ltal yang nyata telalt metnp,ptnyai tapan dari Allah ataupttn dari Rasul wajiblah dicari garis Itukttillnya melalui nil$))awarah tersebut. XXXIII: 21 ,36 mcnegaskan lebih lanjut dalam bentuk laraigun bagi orang yang mu'min untttk ntertyimpong dari ketetapan AUAb dan''Rasitl, tcrmasuk ketetapan Rasul yang berupa ,,(q,wottut hasanatun': (contoh teladan yang cliberikan oleh Rasful) dan yong . beruyta pqnjelg;an-penjelasannya atas ayat-ayat yang ditunmkan AUAU seperti tersebut dalam XVI: 44. XVI : 90 memberikan rangka umum bagi semua ketetapan, yaitu mgnjamin hubung?n:hubungan yang adil dan baik dan mencegah yang. jahat dan buruk dan kezalinlan
da4
ke te
:

',PegsgalEn

perhtukuman' .';

itu

memilih atau menunjukkan garis hukum manakah yang

mengenai Ul-u'l'amri ialah: apakah tugasnya dalam hanya berarti ,,menetapkan" dalam makna
akan

dipakaikau kepada sesuatu hal ataukah juga berarti ,,menetapkan" dalam nlakna membentuk atau menciptakan garis hukum.

lain ialah: bagaimana hubungannya antara keAllah dan ketetapan Rasirl di satu pihak dan di lain pihak bagaim ana hubungannya antara ketetapan Allah ataupun Rasll dan ketetapan irlir'l'amri ?
,Persoalan
tetap,an:,

2.

Ketetapan Allah.

Ketetapan itu dijumpai dalam semua kitab-kitab Allah yang telah ditumnkan-Nya kepada rastrl-rasirl-Nya. Menurut rukun im-an, seorang mu'min itu wajib percaya kepada-semua kitab-kitab Allah dan kepada-semua rasirl-rasDl-Nya (II: 4, 136,285; XVI: 104). Nyatalah bahwa iman itu ialah dasar dari sekalian dasar bagi semua pekerjaan fiqh atau dasar bagi
t1;ul'efig.h.

dalam segala rnacam kitab-kitab Allah itu? Menurut tI:' 1 06 dan XVI: 10i maka Allah-lah yang mengganti sesuatu ayat dengan aiat yang.lain.' Jika ayat yang diganti itu'mengandung sebuatu ketetapan 'r,naka ketetapan itu tidak berlaku lagr dan untuk penggantinya diberikan ketetapan yang lain dalam ayat yang
62

masing kiteb Allah. Misalnyl, suatu ayat dalam Taurit tidak mungkin terhapus oleh ayat lain dalam kesatuan Taurit yang itu juga. Demikian pula tidak mungkin terjadi penggantian sesuatu ayat dalam Qur'aln dengan lain ayat dalam Qur'an juga, sebabnya ialah oleh karena setiap kitab Allah diturunkan sebagai suatu kesatuan yang bulat yang didalamnya tidak ada pertentangan. Mengenai Qur'dn kemungkinan ayatnya yang satu menghapuskan ayatnya yang lain tertolak oleh III : 7 jo II : 85 (yang bermuat murka Allah terhadap mereka yang beriman setengah-setengah kepada Al-Qur'dn) dan IV : 82 (lihat halaman 2 dan 3 ,,Hltkum Kewarisan Bilateral tnenurut Al - eur'dn" ) Penggantian atau penghapusan yang dimaksud hanya mungkin oleh ayat-ayat dalam suatu kiteb Ailah terhadap ayat-ayat dalam kitab Alleh yang terdahulu, seperti ayat Injil mungkin menghapuskan ayat Taurat, demikian pula ayat Qur'dn mungkin menghapuskan ay at-ayat kitab-kiteb Ailah yang mendahuluitrY&, sehingga bagi orang Islam ayat-ayat dalam kiteb-kitab Injil, Taur-at dan lain-lainnya itu hanya dapat dipandang masih berlaku sekadar ayat-ayat kitab-kitab tersebut tidak bertentangan dengan ayat-ayat Qur'dn. Bagaimana caranya menrahamkan garis-garis huktrm dalam Qur'dn dengan beralatkan Qur'an semata-mata atau menyalurkan garis-garis hukum semata-mata dari Qur'dn, lihat 5 2 pada halaman 3 ,,I{ukunt Ken,ctri:;rut Bilateral nrcnurut Al-Qur'dn". Cara yang dimaksud ini sungguh merupakan tafsir yang authentik.
,

baru. Ayat diganti atau dihapuskan (mansLkh) oleh ayat, atau sesu'atu ketetapan dimatikan dan diganti dengan ketetapan yang lain, tidak mungkin terjadi dalam tubuh yang sama dari masing-

3.

Ke te tapart Rasill.

hak nremberikan penjelasan dengan perkataan atau dengan perbtratan atau secara lain, dengan syarat tidak boleh interpretasinya itu bertcntangan dengan kemauan Tuh?fl, seperti ternyata dari ayat-ayat XXXIII : 1,2,,21 dan XVI : 44. XXXIII : I berseru : ,,yi ayyuha'nnabiyyu'ttaqi'll-aha" (wahai nabi takutlah (ber63

Ketetapan Rasfl merupakan supplement bagi ketetapan AllIh, dalam arti kepada RasDl diberikan hak interpretasi berupa

taclwalah) engkau kepada Allah). Bertaqwa artinya menjauhi semua keerlgkaran, tnelindungi diri , dari berbuat sesuatu yang menyalahi ketnatlan Atlah, dengan cara mengikuti semua kehendak Allah. XXXIII : 2 berseru i ,,wa'ttabi' mi ytiha ilaika mirrabbika" (dan ikutilah olehmu segala apa yang diwahyukan kepadalnu dari Tuhanmu). XVI : ,44 berkata : ,,wa anzalnd ilaika,dd,zlkra li tubayyina linna-si nra nuzzlla ilaihim" (dan Kami turunkan kepadamu "peringatan" sup aya engkau memberikan penjelasan bag manllsia mengenai segala apa yallg telah diturunkan untuk mereka). XXXIII : 2l berkata kepada kita : ,,laqacl kdna lakum fr Rasfilill[hi usrvatun [asanatun" (sungguh telah adalah, bagimu sekalian, teladan yang baik pada Raslrluflah). Dalam u;ul fiqh disebut interpretasi atau penjelasan atau ketetapan Rasirl itu sunnatunnabiyyi (sunnah nabi), yang terbagi atas sunnat'lqawl'(perkataan'rasul), sunnat'lfi'l (perbuatan rasul) dah 'sltllnat'slukut atau sunnat'ttaqrir (pendiaman yang mernbenarkan).

' ImEn kita kepada RasDl, Nabi Muhammad s.a.w., yang bersifat 'isttrah karcna Allih sencliri rnengatakan bahrva Rasillulldh merupakan uswatun hasanatun (contoh yang mumi), mernaksa kita untuk menolak lgmua hadiih (riwayat) nrengenai Muhammad Rasulullah, jika hadith itu rnencemarkan kemurnian Rasfil, yaitu jika ltadiJh itu bermuat sesuatu qawl atau fi'l atau sukut yang .nyata berlawanan dengan kemauan Tuhan seperti yang dapat diketahui secara langsung dari Qur'rur atau secara tafsrr yang
authentik.

Dalam pacla itu ada kemungkinan bahwa Raslil dalam ketiadaan ketetapan Aileh atau dalarn menanti-nanti ketetapan Allah, mengambil tindakan senrentara yang sungguh sah dan tnesti diikuti selanra waktr.l senlentara itu, tetapi yang kemudian setelah datang ketetapan Aileh menjadi mansTrkh jika tidak bersesuaian dengan kemauan AilAh itr"r : nraksudnya, tindakan yang telah diambil sebelttmnya itu tetap sah tetapi tidak boleh diglang lagi sesudah datang ke,tetapan Alldh yang memandilkhkannya itu. IV : 105 berpesan kepada Rastrl r ,,Inn? anzalna ilaika'lkitlba bi'lfaqqi lital;kuma baina'nnasi bima arlka'llahu." (,,Aku turunkan al-Qur'an kepadamu dengan sempllrna kebenarannya sup aya
64

engkau menghukumkan antara manusia sesuai dengan petunjuk Allah kepadamu.")


S

4.

Ketetapan il|il'l"amri.

UtU'l'amri ialah petugas-petugas kekuasaan, masing-masing dalam lingkungan tugas kekuasaannya. Ketetapan mereka dapat dibagi dalam dua bagian : a) ketetapan yang berwujud pemilihan atau penunjukan garis hukum yang setepat-tepatnya untuk dipakaikan kepada sesuatu perkara atau kasus yang dihadapi. Garis hukum itu mungkin garis hr-rkum jenis pertama yang langsung diambil dari Qur'an (ayat-ayat mufrkamdt) atau yang ditimbulkan dari tafsir y^ng authentik, mungkin pula garis hukum jenis kedua yang ditimbulkan dari penjelasan atau contoh Rasill (sunnah Ras[rl).
Jika kasus yang dihadapi tidak presis sama bentuknya seperti yang dimaksud dalam garis hukum yang dipakaikan tetapi sangat nlenyerupai ataupun satna I ttnksi-Jiulksi tttumatt.t'e, seperti beras jaguilg, gandum dan kurma sama funksinya sebagai bahan makanan rakyat, maka akan terjadi pemakaian suatu garis hr-rkum secara kiyds atau analogi yang effectnya ialah pengluasan lapangan kekuasaan garis hukum itu. Jika pemakaian kiy?s itu telah terjadi berulang kali dengan tidak ada pembantahan dari lrlil'l'amri yang lebih tinggi atau irlil'l'amri kemudian yang sederajat, maka praktek kiyds itu akan menjadi jr"rrisprudensi tetap. Jelaslah bahwa praktek kiyds yang semacam itu, yaitu kiy?s secara induktil tidak menimbulkan garis huktrm yang baru ; b) ketetapan yang berwujud penciptaan atau pembentukan garis hukum yang baru baE keadaan-keadaan baru-menurut tempat clan waktu, dengan mempedomani garis hukum yang lama yaitu garis hukumdari Qur'dn dan Sunnah Raslil yang funksionil banya[ pertemLlannya dan persinggungannya dengan kebutuhankebutuhan baru yang dihadapi itu. Misalnya : menurut Qur'dn maka pencuri dipotong tangannya untuk melindungi hak milik. Kcmudian timbul kejahatan. lain terhadap hak milik, misalnya fraude (pbnggelapan) dan penipuan. Sebagai ancaman terhadap hak milik ada kesamaan antara rnencuri, menipu dan menggelapkan, totapi sebagai perbuatan' kejahatan maka besar juga per6s

bidang kekuasaanllya. Jika Rasul sendiri tidak berhak memberikan hukum yang berlawanan dengan kemauan Tuhan, apalagi ulu'l'amri. Mereka ini wajib menyelaraskan segala cip taannya dengan kemauan Tuhan dan RasDl. V : 44 menegaskan ,,man larn yahkum bimZ anzala'lldhu fa rllai'ka humu'1k-afiru-na" (barang siapa menglrukurnkan tidak selaras dengan hukum yang diberikan Anah maka orang itu orang kafir).
S

bedaan-perbedaann)ra. Mal',a soal ialah: bolehkah dijehnakan garis hukum yang baru, ysng berwujud untuk mencegah fraucle dan penipuan dengan hukulm potong tangan ? Pernbentukarr garis hukum yang baru ,ffie lalui kiyds secara deduktif, seperti yang dirnaksud disini, membutuhkan begitu banyak kewaspad aan dan ketelitiatt, sehingga tugas tersebut ticiak dapat dip ercayak;ur kepada hanya satu orang yang berkuasa. Lain halnya dengan pemakaian kiyas secara induktif seperti pacla huruf a) tacli. yatlg dapat dipercayakan kepada seorang kadi, seorang mufti, seorang ntantri, seorang raja atau presideil,'seorang pelaksana hukum administratif dan lain-lain illfi'l'amri, masing-masing dalam bidang kekuasaannya. Setiap kekeliruan dalam mempergunakan kiy-as secara induktif itu dapat segera dikorreksi oleh yang "fU'l'amri lebilt tinggi atau oleh nlu'l'amri kemudiiin yang sederajat. Pembenttrkan hukum secara kiy4s yang deduktif itu henrJaklah dilakukan dalam suatu musya*iti [ril.T'l'amri (badaur legislatif) yattg berwenang, walaupun atas ketetapan musyawarah itu penyelesaian bagian furuknya (details) dapat diserahkan secara delegasi kepada satu orang atau badan yang berkuasa menunrt

5.

Slt

urd

sanctumnya (pengu atnya) telah terperinci dalam kit-abulleh. Dalam $ yang dihadapi sekarang ini kita membicarakan ketetapan-ketetapan banr sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ber-evolusi menurut waktu dan tempat, dimana timbul kebutuhan-kebutuhan akan alrkEm yang baru pula.
66

Jika dalam S 2, 3 3 dan 3 4 kita membicarakan ketetapan Ahdh, Rasill dan lrlfl'l'afild, maka pembicaraan itu adalal terbatas dalam lingkungan ahk?m (norma-norma) yang dengan

k'.
L

Mengenai penetapan-penetapan peraturan baru itu Qur'an hanya memberikan patokan secara umum dengan mempergunakan istilah-istilah seperti 'adl, kist, ihsEn, ma'rfif, seperti dalam ayat-ayat yang berikut :

IV : IV :

58.

,,Wa idzd,lrakamtum baina'nndsi an taJrkumrJ bi'l'adli" (dan jika engkau menghukumkan antara manusia supaya engkau hukumkanlah secara yang adil).
135.

,,..r kDnfi qawwd'rnina bi'lqisfi ..." (berdiri tegaplah kamu dalam


keadilan ; berpeganglah'kepada pertimbangan yang sama berat).

V:8.

,,.r. i'dilU huwa aqrabu littaqwa" (berlaku adil-lah, karena ifu lebih mendekatkan kamu kepada takwa).

XI:85.
asyya'ahum walf ta'thau fi'l'ardi mufsidiha" (penuhilah semua ukuran dan timbangan dengan kejuruan dan janganlah merugikan manusia pada harta bendanya dan janganlah berbuat ' jahat di muka bumi). XVI: 90 .'n"^" ,,InnallSha ya'muru bi'l'adli wa'l'ihsEni . . . wa yanha 'anilfal.rsy-a'i wa'lmunkari wa'lbaghyii' (sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan berbuat baik dan melarang berbuat keji, berbuat jahat dan berbuat busuk).'
:

,,... aufiJ'lmikydla wa'lrniztna bi'lqiqti walE

tabkhasD'nnasa

III :
)).

bi'lma'rufi . . ." (dan mereka itu memerintahkan berbuat yang pantas dan patut).
wa ya'murfina

..

104.

Untuk keperluan penetapan peraturan-peraturan baru itulah berlaku XLII : 38 ,,w& arnruhum syfira bainahum", maksudnya : mengenai urusan-urusan yang timbul dalam masyarakat bermusyawarahlah carilah kata sepakat untuk mend apat pe: nyelesaian atau hukumnya. Yang berhak bermusyawarah itu ialah menurut IV : 58 orang-orang yang sepantasnya menurut ilmu dan kecakapannya (inna'llEha y?'murukum an tuwaddil 'l'amEndti ile ahlihe). Mereka yang terpilih untuk musyawarah tersebut termasuk ke dalam categori yang disebut illfr'l'amri
67

dalam

oleh ummat sebawahannya. Syarat sahnya bagi ketetapan musyawarah itu ialah bahwa ia tidak boleh bertentangan dengan sesuatu yang telah diatur dalam kiffib Allah atau oleh Rasfil
sendiri. Suatu bentuk dari syDrE :^e.lah ijma'. Dimasa perkembanghukum fiqh sangat sulit untuk menghimpun orang-orang cerdik pandai yang bertebaran diseluruh wilayah negara Islam disebabkan jarak-jarak yang sangat berjauhan yang membutuhkan perjalanan sampai berbulan-bulan. Sebab itu untuk mudahnya orang kumpulkan dan perbandingkan tulisan-tulisan mereka mengenai sesuatu perkara dan kesamaan paham yang terkuat dikalangan cerdik pandai dijadikan hukum. Bagi cerdik pandai yang diam berdekatan atau setemp?t, umpamanya cerdik pandai di Madinah atau Kufah, maka persesuaian paham antara mereka itu lebih mudah dapat diketahui karena contact yang rapat diantara mereka itu.
an

IV :

59, sehingga ketetapan-ketetapannya wajib diikut

6. Al-ahkim 'lkhamsah.

Setiap peraturan, apapun jua macam dan sumbeffiy&, inti sesuatu norna atau kaedah. Dalam bahasa ilmu Figh disebut kaedah itu hukum , jama'anya ahkam. Ahkam itu hanya lima macamnya, sebab itu ia dinamakan al-ahkam alkhamsah, yaitu I ) fard atau wajib , 2) haram , 3) sunnah atau mandfib atau -dan mustahabb ,' 4) makrfrb 5) jd;iz atau mubi[r. Lima macam penjenisan kaedah ini adalah ukuran buruk baik bagr perbuatan, tidak perduli apakah perbuatan itu termasuk ke dalamlingkungan
mengandung

peraturan agama, ataukah ke dalam lingkungan peraturan hukum (buatan) dunia, ataukah ke dalam lingkungan peraturan kesusilaall.

a)

Jd'iz.

Ta'iz adalah jenis kaedah untuk semua perbuatan yang semata-mata terserah kepada pertimbangan, kemauan dan pilihan masing-masing manusia apakah ia akan lakukan atau akan tinggalkan dengan tidak dapat ditentukan terlebih dahulu apakah penguatnya (sanctumnyh) jika perbuatan itu dilakukan atau ditingealkan, sebab penguatnyaitu bukanlah sesuatu yang datang

68

dari luar, tetapi akan timbul dengan sendirinya sebagai hasil pengalaman orang yang berbuat atau tidak berbuat itu sendiri, yaitu mungkin berupa penjelasan atau mungkin berupa kepuasan bagi dirinya sendiri dengan tidak akan menyinggung sedikitpun,, kepentingan pihak lain. Semua perbuatan yang kaedahnya iT'u itu termasuk ke dalam urusan kewenangan setiap orang, berupa hak yang tidak bertimbalan kewajiban baik bagi diri sendiri maupun bagi pihak lain. Dalam bahasa Indonesia dapatlah.ji]iz itu disamakan dengan ukuran boleh, yaitu tidak terlarang, tidak dicela, tidak disuruh dan tidak dianjurkan. Setaraf dengan ji'iz ialah halil yang'dipergunakan terhadap benda atair orang, seperti dagrng sapi itu halil untuk dimakan, perempuan itu lralll untuk dikawini, cuma [al-al berarti tidak boleh dilarang, tidak boleh

dicela, tidak boleh disuruhkan secara paksa tetapi boleh clianjpr; anjurkan. Nyatalah bahwa j-a'iz itu dapat berlaku. di lapangan kesusilaan perseorangan dan dapat puladilapangan hukum dunia (hukum adit dan hukum bikinin kekuasaan dalam masyarakat) dan di lapangan lrukum agama (hukum yang bersumber 'kepada wahyu ll-ahi), yaitu berupa kewenangan pribadi. Sesuatu perbuatan yang ukurannya ia'tz d\lapangan hukum agama itu mungkin bukan jd'iz dilapanganhukum dunia,misalnya hukum agama membolehkan perkawinan endogami dalam masyarakat yang berclan, tetapi menurut hukum dunia ,,lalam'masyarakat lersebut endogami itu dilutangnya. Sebaliknya' yan! dibolehkan sebagai sesuatu keweningan dalam hukum dunia itu djharimkan ''oleh hukum agama, misalnya menurut hukum dunia'boleh berzina dalam batas-batas syarat-syarat tertentu' tetabi menurut hukum a9ama berzina itu absolut merupakan pelanggaran larang: an keras (haram). Bagi mereka y{tE ber-imbn maka ie?iz in) dipahamkan sebagai suatu persimpangan jalan yanggelap gulita, simpang yang di kanan dijaga oleh malaikat, simpang yang di kiri dijaga oleh iblis; maka barang siapa menempuh simpalg YanB pertama akan berbahagialah dia, dan siapa yang mene{npuh simpang yang kedua akan kecewalah dia. Di lapangan ji'iz itu hendaklah manusia banyak-bairyak bermohon petunjuk dan perlindungan dari All-ah S.w.t. -supayd rliberinya rahmat mqmilih dan memasuki simpang yang di kanan, yaitu girala'lmustaqim. Apakah manusia percaya atau tidak, di lapangan jA'u itu dalam memilih dan memutuskan ap4 yang
69

an Tuhannya yang dapat membiarkannya menempuh jalan kiri dan terjerumus ke dalam ranjau pangkuan iblis, yaitu jika ia lupa atau tidak acuh atau tidak mau kenal akan All-ah.

dianggapnya baik, dia akan berhadapan langsung dengan kekuasa-

b)

Sunnah dnn mnkTilh.

Manusia di lapangan hidup kesusilaan perseoranganilya, yang kebah agSaan atau kekecewaan sebagai akibat dari berbuatnya atau tidak berbuatnya, berkecenderungan untuk menyampaikan pengalamannya itu kepada orang lain berupa nasehat-nasehat begini dan begitu, sehingga dalam masyarakat timbul pengertian-pengertian umum tentang macam-macam per-

telalr mengalami

buatan yang sebaiknya ditinggalkan atau sebaiknya dilakukan. Maka timbullah dalam bidang kesusilaan umum atau kesusilaan (dalam hidup) kemasyarakatan kaedah-kaedah makruh dan sunnah. Perbuatan-perbuatan yang semulanya berukuran itrz bagr hidup kesusilaan perseorangan, karena selalu dialami oleh pembuat-pembuatnya akibat-akibat yang berupa kepuasan atau kebahaglaan bagr dirinya, meningkat martabatnya dari berukuran ji'iz kepada ukuran sunnah yaitu menjadi perbuatan yang dianjurkan oleh masyarakat supaya dilakukan dengan sebagai pengu atny a diberikan kepada pembuat-pembuatnya pujian. Pujian ini tidak perlu berupa sanjungan dengan kata-kata, malahan lebih dirlsakan jika pujian itu berupa sikap baik atau pandan gan hormat dari orang-orang sekelilingnya. Penghargaan masyarakat terhadap diri pembuat itu memberikan kepadanya rasa kebangga&fl, rasa kemuliaan, yang menambah penghargaan sendiri atas diri. Sebalikny?, perbuatan yang semulanya berukuran je'iz bagi hidup kesusil aan perseorangan, karena selalu dialami oleh pembuatnya akibat-akibat yang berupa kekecewaan atau kemalangan bagi dirinya, berobah martabatnya dari berukruan jb'iz kepada ukuran makrirh, yaitu perbuatan yang dicela oleh masyarakat sehingga celaan itulah yang menjadi penguatnya. Pada sunnah penguatnya itu berarti dorongatr, pada makrtrh pengu atnya itu berarti hamb atan. Juga celaan itu tidak perlu dengan mulut, malahan lebih dirasakan jika celaan itu berupa sikap benci dan pandangan rendah dari orang-orang sekelilingnya, sampai-sampai orang menjauhkan diri 'dari si pembuat, atau lebih hebat lagi
70

memboikot sipembuat itu clalam hidup kemasyarakatan. Sikap benci dan merendahkan dari masyaraklt itu menimbulkan rasa malu dalam diri si pembuat, rasa kehinaafl, rasa kehilangan sesuatu yang juga berarti pbnderitaan bagi jiwanya. Juga di lapangan hukum agama ada kaedah sLlnnah dan makr-uh, cuma penguatnya berlainan. Perbuatan sunnah yang dilakukan dalam agama diberikan upahnya berupa pahala dari sisi Allah, demikian juga perbuatan makrirh yang iengajq ditinggalkan. Ini mungkin bagi Allah, sebab Dia m.ngrlahui:uga hal yang tersembunyi. Perbuatan sunnah yang sengaja ditinggutkun ataupun perbuatan makrirh yang sengaja dilakukan, *ulu,rpun tidak lnendapat hukuman atau siksa dan tidak merupakan doru, akan tetapi sedikit banyak ada juga akibatnya bagi jiwa atau badan, apalagi jika perbuatan yang makrirh itu berulang-ulang dilakukan sampai berkepanjang?n, dapat merusakkan badan atiu ahklak demikian pula perbuatan sunnah yang berulang-ulang atau berkepanjangan ditinggalkan itu; segala sesuatunya itu puda akhirnya dapat mempengaruhi pandangan o{ang-orang disekitarnya ke arah yang kurang menguntungkan bagr diri yang birsahgkutan.

c)

jika perbuatan yang nrakrfih, yang tercela itu, berhubungan dengan perkembangan dalam masyarakat itu sendiri, makin larni makin dirasakan mudaratnya bagr pergaulan hidup, rnaka pada suatu ketika dapat penguasa (Lll'l'amri) menurunkan martabat kaedah perbuatan itu dari bidang kesusilaan kemasyarakatan kepada bidang hukum dunia, sehingga kaedahnya berobah menjadi lrarim, dan perbuatannya menjadi perbuatan yang terlarang dengan penguatnya berupa hukuman dunia sebagai pengganjar dan p.ngharnbat. Hukuman dunia itu berupa penderitaan bagi kebebasatt bergerak, penderitaan bagr martabat diri, penderitaan bagi badan atau harta, penyingkiran dari niasyarakat atau pembuangan, sampaisampai berupa penyingkiran untuk selama-lamanya yaitu dibunuh (hukuman mati dalam pelbagai bentuknya). Sebaliknya, jika perbuatan sunnah,, yang dipujikan dalam pergaulan hidup ittt, makin lama makin dirasatian fiedahnya bag kesejahteraan umum, bagi keselamatan masyarakat, maka pada
7t

WAiib don frardm. Di lapangan kesusilaan kemasyarakatan,

suatu ketika penguasa akan menganggap perbuatan itu begitu penting untuk umum, untuk orang banyak, sehingga dinaikkannya martabat kaedah perbuatan itu dari lapangan kesusilaan umum kepada bidang hukum dunia dengan menjadikan yang sunnah itu menjadi wbjib dengan diberi penguat berupa hukuman dunia bagi yang melalaikan 4.tau meninggalkan perbuatan itu. Wajib dan har6m itu juga merupakan kaedah-kaedah dalam bidang hukum agama dengan penguatnya berupa upah atau pahala dari sisi Tuhan bagi yang menunaikan suruhan (kewajiban ) itu atau bagi yang menin ggalkan larangan (keharatnan) itu dengan sengaja. Sebaliknya bagi mereka yang mengabaikan suruhan itu atau yang melanggar larangan itu disediakan penguat berupa siksa di akhirat dan mungkin pula serentak siksa di dunia dan httkttrnan di dunia. Hukuman agarna di dunia itu, selrerti potong tangan, dera dll., mesti tetap berlaku seganderlgan dengan huktrman dunia yang ditetapkan oleh ilu'l'amri dan tidak boleh disingkirkan berlakunya oleh sesuatu ketetapan irlir'l'amri. Ajaran . ,,ntodern " bahwa htrkLlrn pidana ltarus bertujuan perbaikan akhlak bagi sipeirjahat dan bahwa kejahatan adalah sebagian dari
akibat keadaan sosial dalam masyarakat, walaupun sungguh benar, tidak boleh menyebabkan manusia Islam mengabaikan im-an dan taqwb.nya kepada Allah dengan membekukan hukuman agamallya.

Dalam masyarakat-masyarakat di dunia ini, dimana ajaran ,,tnodern" itu berkumand ?fr1, jumlah penjahatnya terus meningkat walaupun perbaikan keadaan sosialnya diperhebatnya. Manusia Islam hendaklall menggabungkan tuntutan-tuntutan,,modern" itu dengan tuntutan-tuntutan hukurnan menunrt Qur'bn, kitab All?rh yang seluruhnya merlrpakan huda untuk mencapai akhlak yang setinggi-tinggnya dan keadaan sosial yang seadil-adilnya. Jika diikuti hukuman Qur'in, maka insya'a'llbh jumlah penj ara akan berkurffig, demikian pula jumlah polisi, penllntut, hakim dan lain-lain pegawai untuk pembasmi kejahatan, akan berkurang dan penghematan anggaran belanja yang dihasilkannya akan memperkuat usaha-usaha dalam lapangan sosial dan perbaikan akhlak, (Baca pula mengenai Al-ahkim al-khamsah itu pidato pelantikan saya sebagai Guru Besar tanggal 13 September 19 52 berjudul,,KesLtsilann dan lIukurn").
72

S 7. Kesimpulan

l. 2.

Hukum agama meliouti semua macam Jtr'iz, beserta halal, bukan saja kaedah hukum agama, tetapi juga merupakan kaedah kesusilaan pribadi dan mungkin pula merupakan kaedah hukum dunia yang menimbulkan hak dalam arti kewenangan dengan tiada bertimbalan
kewajiban. Sunnah dan makrirh bukan saja kaedah hukurn agama tetapi juga berupa kaedah-kaedah kesuSilaan umum. Wejib dan ljar6m bukan saja kaedhh-kaedah hukum agama, ' tetapi juga berupa kaedah-kaedah hukum dunia.

: 'kaedah.
.

3. 4. 5.

Yang membedakan kaedah dalam ketiga lapangan itu (lalapangan kesusilaankah, lapangan hukum -agamufuh, duniakah) ialah bentuk dan cara sanctumnya (penguatnya): di lapangan agama sanctum itu berupa siksa dan pahala, ganjaran penderitaan dan ganjaran kebahagiaan, y?ilg langsung dikenakan Tuhan di dunia dan di akhirat, dan mungkin pula berupa hukuman yang dikenakan oleh penguasa dunia menurut penetapan All-ah; di lapangan kesusilaan um.um sanctum itu berupa celaan dan pu3i-an; di lapangan hukLm dunia sanctum itu berupa hukuman dalam pelbagai bentukpanga-n

nya.

6. 7. 8. ().
10.

di bidang kesusilaan

Penguasa berhak menjadikan perbuatan yang semulanya umum berkaedah sunnah atau makrirh

menjadi perbuatan yang berbentuk suruhan atau larangan


dengan mengobah kaedahnya meryadi wajib atau haram. Di bidang hukum agama dilarang mengobah yang fraldl mcnjadi lraram (V: 87, LXVI: l) atau menjadikan yang

haram menjadi halal (lX: 37). Pcrintah Alleh, baik larangannya maupun suruhannya, tidak bolt:h digcser-geser. Yang harhm mesti fraram dan yang tetap rvliib rncsti tctap wajib (lV: 47, 59 dan XXXIII: 37). Rasulillllh tidak berhak rnenetapkan sesuatu bertentangan dcngan kemallan (penetapan) Allah yang nyata ada termuat clularn Kitabullih. Kcrtctapan Rasll yang diambilnya dalam ketiadaan ketetapan Allilt, rllotr iacli mansukh .iika tidak benesuaian dengan
73

kefetapan N6h yang diturunkan kemudian. ' 11. Tidak' ada ayat Qur?in' yang mansltkh. : ' 12. Kesusilaan dan hukum dunia, yong tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah hukum agarrrs, dapat terus berlaku. 13t tlt'l'amri hanya berhak leluasa menetapkan sesuatu yang tidak ada ketentuAn kaedahnya dalam hukum agama seperti 'termuat dalad Qur'an dan Sunnah Rasfll, asal saja ketetapan irlir'l'amri itu tidak bertentangan dengan sesuatu kaedah dalam hukum agama itu (Qur'-an dan Surmah Ras0l). " 14. " Tugas dalam pe{nbentukan hukum yang baru wajiblatr ' dilakukan oleh Lllr'l'amri melalui sytri. Dalam rnenjalankan atau memakaikan hukum maka irlir'l'amrt berhak melakukan qi3rds yang induktif. l6'. Peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh filil'l'amri dapat diobah atau dicabut oleh irlir'l'amri kemudian yang setaraf atau oleh irlir'l'amri yang lebih tinggi.
,

74

b___

il.

HUKUM KEWARISAN AHLU'SSUNNAH WA' LJAI\,II'AH.

S l.

C^ara

berpikir Altlu'ssunnah wa'ljamh'ah.

a). Garis-garis hukum kekelu argaan, termasuk garis-garis hukum kewarisan, dalam Qur?in'dipahamkan oleh Ahlu'ssunnah
wa'ljami'ah sebagai hanya suatu penyirnpangan dari hukum adat masyarakat 'Arab, suatu penyimpangan yang membawakan perobahan-perobahan besar dalarn hukum adat itu, dengan tidak diinsyafi bahwa garis-garis lfukunl Qur'dn itu merombak seluruh ststim mesyarakat 'Arah ittt sencliri, Karena itu ditafsirkannya garis-garis hukum Qur'hn itu dalam kepercayaan bahwa dasardasar sistim masyarakatnya yang patrilineal itu dapat berjalan terus dengan akibat bahwa tafsir itu .sendiri diliputi oleh paham prinsip-prinsip kemasyarakatannya itu, yaitu paharn pemikiran secara patrilineal murni. b). Selain dari dasar berpikir secara patrilineal itu, tafsirhya dihinggapi'pula oleh anggapan bahwa ada ayat-ayat Qur'hn yang dimanstrkhkan (dihapuskan) oleh ayat-ayat yang lain dalam Qur'in, sehingg a ayat-ayat yang mansirkh (terhapus) itu dilepas kan dari- kungkungan im-an. c). Kebenaran hadiih lebih diutamakah ukurannya menunrt isn-adnya (perangkaian orang-orang y angmenyampaikannya) daripada menurut matn-nya (isi textnya). Isi matn itu , yffiE acapkali tidak memberikan gambar yan1 sempurna tentang'..kasusnya (duduk perkaranya), ditafsirkan pula- secara'pemikiran yang patrilineal. Juga kurang teliti pemeriksaan apakah isi, matn itu tidak bertentangan dengan sesuatu ayat Qur'-an. d). Istilah-istilah di dalam Qur'ln, yang rlrenrpr"rnyai arti khusus menurut Qur'-an sendiri, mungkin .pula' oleh mereka dianggap mempunyai arti yang biasa dalam bahasa 'Arab pergaulan

berpikir adalah abstract, yaitu'hal yang dipikirkan itu dilepaqkan dari hubun gan perkaitan seltik beluknya dengan lain-lain hal yang merangkainya.
Kadang-kadang cara
:

e).

75

g 2. Ifinsip-prtnsip

po ko lc-po ko

k,

penger tiurt-pengertian utn-

um) ),ang tlipakai oleli' Ahlu'ssttnnah wa'ljarith'ah dalant lutliunt kewarisan. Prinsip-prinsip tersebut, yang tidak dapat dilepaskan dari cara berpikir seperti dimaksud dalarn S I dan juga ditimbulkan oleh cara berpikir tersebut, ialah setragai berikut.

a)

' (Js

ltqh.

Pengertian 'u$bah, yang berurat kepada susullan lnasyarakat yang patrilincal, tetap dipertalrankanltya, karena tidak lncnginsafi llaltrva Qrrr'-an ircndak n'lrrrom bak masyaraka t tersebut rnen jadi tnasyarakat yang llilnlErral. 'Upbah ialah sekumpulan orang yiutg dapat lnembtrktikan bahwa nlercka sckct urttnan IncrnurLrt sistinr patrilineal rnuffri (lihat lanrpiran II., P (l), halaman l9 kitab saya ,,Hcn{lak l;c,ntunu ltukunt Islarn .?").

b)

'Asabdt.

Pengertian'apabht, yang semulanya berarti sentua anggota yang laki-laki dalam 'irgbah, dipertahankan, tetapi IV: I I a dan IV: l7 6 e (lihat bab II kitab saya ,,llu l;turt Kew,nrisutt Biluteral nrcnurut al-Qur'dn" ) menimtlulkan kebutuhan akan tambahan pengertian 'apabah dengan 'agabah bi'lghairi. 'Asabah semnlanya berarti seorang laki-laki di dalam 'usbah. Maka yallg dimaksud dengart tambahan istilah 'a;abalr bi'lghairi ialah anggota yang perempltarl didalam 'u;bah yarlg sama derjat kelahirannya dan setaraf dengan seorrurg 'a.satrah (laki-laki) clcrngan siapa perempuan itu bersarlla-sama berhak mervaris atas dasar angka-bagi 2: I . yaitu yalg laki-laki mendapat dua kali sebanyak bagian yang perempuan. Untuk pembedaan selanjutnya disebut 'asabah yang laki-laki itu 'a.sabah bi nafsihi. Hal sedcrajat liarena kelahiran itu ditinjau dari sudut sipewaris. misalnya anak laki-laki beserta anak perempuan, spudara laki-laki kandung beserta saudara perempuan lcandung, cucu laki-laki kelahiran anak laki-laki beserta clrcu perempuan kelahiran anak laki-laki jika ar:ak laki-laki sudah mati semuanya. 'Aqabah bi nafsilri berirak mewaris dengan sendirinya, tetapi 'asabah bi'lghain hanya dapat mewaris jika digandengr oleh 'agabah bi nafsihinya.
76

c)

Dzawft'l'arhdrn.

Jika dari 'usbah si pewaris dikeluarkan orang-orang yang bergelar 'agabah bi nafsihi dan 'agabah bi'lehairi maka tinggal lagi orang-orang perempuan yang berhak fara'id dan yang tidak berhak far-a'i$. Perempuan-perempuan yang tidak berhak fari'i$ ini semuanya digolongkan kepada pengertian dzawti'l'arh?m. Selain dari perempuan-perempuan tersebut dimasukkan pula ke dalam pengertian dzaunf'l'ar[im itu keturunan patrilineal dari semua perempuan kelahiran 'u,sbah sipewaris ditambah lagi dengan semua orang yang se'usbah dengan ayah setiap perempuan, yang menjadi ibu bag anggota-anggota 'usbah sipewaris, dengan demikian orang-orang yang karena hubungan perkawinan exogami termasuk kedalam 'usbah-'usbah lain, yaitu 'usbah pihak menantu laki-laki dan 'ugbah pihak mertua laki-laki dari sipewaris dan dari setiap 'agabah bi nafsihi bagr sipewaris itu. Sebagai akibat perkawinan endogami maka juga di dalam 'usbah sipewaris sendiri ada kemungkinan laki-laki menjadi dzawri'l'arlrhm. ;j Dalam arti lebih luas lag maka dzawti'l'arhim ialah setiap orang yang ada hubungan darah dengan sipewaris tetapi bukan, dzawri'lfar-a'id, bukan 'agabah bi nafsihi, bukan 'asabah bi'lghairi dan bukan 'asabah ma'a'lghairi.

d)

'Asabah nw'a'lghairL

Jika dalam 'ugbah sipewaris telah mati semua 'agabah bi nafsihi, tetapi sipewaris ada meninggalkan keturunan yang perempuan yang berhak fari'id disamping saudara perempuannya yang se'usbah dengan sipewaris dan se'usbah pula dengan keturunan sipewaris itu, maka saudara perempuan sipewaris itu dinaikkan martabatnya dari dzawri'l'arlram menjadi 'asabah dengan nirma 'asabah ma'a'lghairi.

e)

HiiAb.

Hijeb @endindingor, penutupan) ialah semacam sistim keutarnaan, yang menentukan siapa yang berhak menyingkirkan orang lain ikut serta mewaris. Garis-garis hukum mengenai hijab itu adalah sebagai berikut.
77

Dzawfi'If'arh'igl (semua orang yaltg berhak metrdapat tertentu, secara tetap dan pasti menurut Qur'bn dan Fiqh) dalam pembagian pokok tidak menghijab clan tidak dihijab. Jika kebetulan jurnlah far?'id genap satu atau lebih dari satu, maka mereka yang bukan dzawu'lfar-a'i{, seandainya berh&k, tidak Vda yang akan dibagikan lagi dari harta peninggalan. Bagian dzawfl'lfari'id diambilkan dari sisa besar, yaitu sisa harta peninggalan setelah dikeluarkan pembayaran hutang-hutang dan wasiat. Jika jumlah fara'i{ melampaui sisa besar itu maka dilakukan 'awl yaitu pengurangan bagian menurut perimbangan angka-angka fqrd',iQ itq. Jika setelah dikeluarkan farb'i{ kebetulan.masih ada ketinggalan sisa,. yaitu sisa kecil, maka sisa kecil inilah yang dapat dibagikan' kepad4 golongan berikutnya, yaitu'a.sabah.Jika tidak
I

b.agian

ada dzawri'lfar-a'id {naka 'agabah berbagi sisa besar.

2). 'Apabah, dalam semua perinciannya (bi nafsihi, bi'lghairi, ma'a'lghairi) rnenghijeb dzaw-u'l'ar!r-am, sehingga dzawir'l'arhim baru mungkin mewaris jika tidak adadzawD'lfira'id dan tidak acla
'agabah.
, 3) , Dikalangan la$abah ada selusin perincian hijeb yang intinya ialah bahwa 'asabah bi nafsihi yang dekat menghijab 'a$abah yang lebilr jauh dengan pengertian bahwa yang kandung lebih dekat dari yang hanya sebapak.
r,

4) Jika tidak ada 'apabah tetapi ada dzawfi'lfEra'i{ yang bukan -duda atau janda maka mereka itu menunrt rnadzhab Hanafi .dan madzhab ,Hambali menghijab, sedangkan menurut
urusan sisa-bagi,"sehingga terjadi radd, yaitu sisa-bagi itu dibagikan .lagi kepad a dzawir'lfari'id . tersebut sehingga habis menurut angka-angka farb'i$ mereka. .perbandingan

Sydfit dan Meliffii rnurlgkin menghijab dzawit'ltr[am

dalam

5) Bagi madzhab Syafi'i dan IWaliki maka bai'tlm-al yang memenuhi syarat menghijab bukan saja dzawlrl'l'arhim tetapijuga dzawtr'lfari'i{ dalam urusan sisa-bagi tadi, sehingga sisa ini 'diperoleh oleir bait'l;al. Jika bait'lmaiitu tidak memenuhi syarat atau tidak ada sama sekali maka barulah sisa-bagi itu diraddkan kepada dzawu'lfari'id.
78

6) Jika tidak ada 'a.sabah dan dzauflr'lfarb'i$ maka menurut madhab Hanafi dan Hambali barulah dzaw{r'l'arh?m berhak atas harta peninggirlan, akan tetapi. menurut madzhab'Sy-afi'i barulah mereka berhak jika tak ada bait'hlral yang memenuhi syarat atau tidak ada bait'lmil saina sekali. 7) Dalam lingkungan sebama dzauni'l'arhdm maka pada madzhab hdaliki, Sy-af i dan Hambali b6rlaku sistim hijeb yang tersendiri (sistim ahli'ttanzil), dimana ukuran jauh dekat bukan diukur dari simati tetapi dari orang-orang yang paling akhir nrcnghubungkan simati dengan dzawir'l'ar[rdm itu, penghubungpenghubung mana sendiri-sendiri seandainya hidup dapat menjadi ahliunris bagr simati, 'baik ahliwbris 'sebagai 'apabah maupun ahliwaris sebagai dzawlr'lfari'i$, dan jika' dzauni'l'arl.rfm itu sama clekatnya menurut ukuran tadi maka hijtb rnenghijeb antara mereka ntengikuti cara hljab menghijab antara penghubungpenghubung tadilah. Pattra mad tnuA- Hanafr Ueitatiu sistim climana jautr dekat itu diukur dari simati, maka yang lebih dekat menutup yang lebih jauh (sistim'ahli'lkirebah), tetapi jika sama jauhnya maka belum berarti bahwa mereka akan sama-sama mendap?t, sebab orang yang lebih dekat derajatnya kepada penghubun Enya seperti yang dimaksud pada sistim ahli'ttanzl tadi menutup orang yang lebih jauh derajatnya kepada penghtrbungnya sendiri menurut ukur[h seperti yang dimaksud pada sistim alrli'tt anzlt itu juga.
$

3. Garis-garis hukum yantg ditambahlwn oleh

Ahtu'sunnah wa'ljamii'ah kepada garis-garis hukum kewarisan dalam Qur'an dan tafslr mereka mengenai sesuatunya dahm garis-garis hukum Qur'dn itu.

a)

Kepada

ry: ll a ditambahkan:

Dasar-bagi menurut Qur'dn, yaitu sama rata antara sesama anak-anak laki{aki dan menurut perbandingan 2:l antara anak laki-laki dan anak perempuan berlaku untuk keturunan seufnumilyo, yaitu menurut cara pertarna';antara sesilma ketuntnan jenis laki-laki dan menurut cara kedua antara keturunan jenis laki-laki beserta keturunan jenis perempuan, yaitu semuanya keturunan

meilurut garis patriiineal, dengan syarat bahwd keturunan itu


7g

,sama derajatnya dan di atas mereka

hijab itu keturunan dari sipenghijeb sendiri atau bukan. Keturunan jenis laki-laki yang terdekat itu tidak menghiieb keturunan yang sama dekat derajatnya dengan dia dan tidak pula menghijIb keturunan jenis plrempuan yang lebih dekat lagi derajatnya

tidak ada keturunan jenis taki-laki yang lebih dekat derajatnya kepada simati. Jika ada keturunan jenis laki-laki yang lebih dekat'itu maka semua keturunan yang lebih jauh terhifib, tidak perduli apakah yang ter-

dari

dia.
1

b)

Kepada IV :

I b, c ditambahkan

Jika keturunan yang terclekat itu perempuall dan tidak ada keturunan jenis laki-laki yang sederajat dengan dia (mereka) atau lebih dekat lagi derajatnya dari dia (mereka), maka keturunan perempuan yang terdekat itu berhak far?'id, jika seorang I 12 dan jika ada dua orang atau lebih yang sama-sama terdekat maka bagiannya 213, sedangkan keturunan jenis laki-laki, atau keturunan jenis laki-laki dan jenis perempuan, yang sesam anya sederajat tetapi lebih jauh dari yang berhak far6'i{ itu, memperoleh sisa yang dibagi antara mereka secara sama rata antara sesama lakilaki dan secara perbandingan 2:1, antarc yang laki-laki dan yang perempuan. Dalam hal ini mungkin seorang ketunrnan perempuan yang derajatnya lebih jauh dari yang berhak faf i{ itu tetapi lebih dekat dari yang berhak sebagai 'asabah itu akan terjepit dalam soal pembagian itu, misalnya S pada gambar A. Jika

lJA

cNd

J ibi

i
s

ketuntnan yang lebih jauh itu hanya terdiri dari perempuan sedangkan keturunan jenis ferempuan yang terdekat itu seorang saja maka dia ini mendapat l12 dan keturunan jenis perempuan yang tebih jauh itu, seorang atau lebih, berhak atas l/6 (takndlah), yang akan dibagi secara sama rata jika mereka lcbih dari seomng dan sederajat, dan jika tidak sederajat maka timbul
persoalan seperti halnya dengan S pada gambar B. 80

lr-

nya ke atas, ayah dari'ayah dan seterusnya (,,datuk" pihak ayah), dalam arti yang lebih dekat menutup yang lebih jauh, penghubung mana berhak far6ti$ seperti agah, jika ayah tidak ada lagi.

c) Kepada IV : I I d ditambahkan I ) erti 'ayah ialah juga setiap penghubung


:

patrilineal selanjut-

2) Arti ibu ialah juga setiap penghubung matrilineal


ke atas, mulai dari ,,ibu dari

selanjutnya

j ,

orang ,,nenek", yaitu 3 ,,nenek" pihak ibu dan 6


,,nellek" pihak ayah,

dari ayah", dari ,,ibu dari datuk" dan seterusnya (,,nenek" pihak ayah), dalam arti yang lebih dekat menutup yang lebih jauh, dengan satu penlecualian bahwa ,,nenek" pihak ayah tidak menghijab ,,nenek" pihak'ibu yang lebih jauh; ,,nenek" itu bi:rhak fari'i{ seperti ibu jika ibu tidak ada lagi, yaitu ,,nenek" pihak ayah jika pula ayah tidak adb li'bi, yaitu ,,nenek" pihak ibu berhak penuh jika ,,datuk", dalam arti pada cl, ada, ataupun tidak ada tetapi tidak ada pula ;,nenek" pihak ayah. ", 3) Jika ,,datuk" dalam arti pada cl. dan,,nenek" pihakibu ti. dak ada, maka ,,nenek" pihak ayah berhak farE'i{ seperti ibu, yaitu jika hanya seorang ,,neiiek" pihak ayah maka ia berhak penuh dan jika ada lebih dari seorang ,,nenek" pihak ayah maka mereka berbagi secara sama rata bagian faia'i$ untuk ibu itu. 4) Jika berhimpun seorang ,,nenek" pihak ibu dengan seorang atau lebih ,,nenek" pihak ayah maka mereka berbagi sama rata far?'id untuk ibu. Untuk illustrasi menge rfiiperlgertian ,,nenek" dan ,,datuk" itu lihat gambar C, diman a p sipewaris nlempunyai, selain ayah, tiga orang ,,datuk" dan selain mak, sernbilan
orang orang

ibu" (,,nenek" pihak ibu), dhri ,,ibu

i:

d) Ketentuan-ketentuan untuk ,,nenek" seperti tersebut pacla c) angka 2,3 dan 4 juga berlaku jika sipewaris tidak berketurunan e)
Kepada IV : I I

ditarn-bahkan tafsir, bdhwa:

8l

.t

untuk ibu tetap I !3 jika hanya ada seorang saudara tiri sebap?k, laki-laki maupun peremPUffi, yang ditutup (dihijeb) oleh ayah, 2) Jika ada duda atau janda maka ibu diperlakukan seakan-akan ia seorang 'agabah bi'lghairi bagi ayah, tetapi jika ayah tidak ada rnaka ibu itu diperlakukan penuh sebagai dzawri'lfard'id.
I

kandung atau

Far-a'id

lV : 12 ditanrbahkan tafsir bahwa arti ltalildr ialah punah ke lrawah sedarrgkan ayah (rnenurut Syifi'i hanya ayah saja, tetapi menurut Hanafi jtrKepada
:

l')

ga ,,datuk") telah mati lebih dahulu, dan bahwa yang dimaksud dengan saudara ialah saudara tiri seibu.

g) I)

Kepada IV

: 17 6 ditambahkan tafsir

bahwa arti kalalah ialah punah ke bawah sedangkan_ayah (menttrut Syati'i hanya ayah saja tetapi menurut Hanafi juga ,,datuk") telah mati lebih dahulu dan bahwa yang dimaksud

dengan saudara ialah saudara kandung atau saudara

saudara-saudara yang mewaris itu atau hanya saudara-saudara kandung-saja, atau hanya saudara-saudara tiri sebapak saja, dan bukan campLrran antara kandung dan tiri sebapak. 3 ) Jika ada sattdara laki-laki kandung' maka semua saudara tiri sebapak terhijib. 4) Jika yang rnewaris hanya saudara-saudara perempuan saja, yaitu cuma satu orang yang kanduilg, maka yang tiri sebapak, seorang atau lebih, mendapat I 16 (taknrilah), yang dibagi sama rata jika saudara tfui sebapak itu lebih dari seorang,

2) Ketentuan-ketentuan

tiri sebapak. dalam IV: \76 berlaku penuh jika

punah ke bawah dan punah ke atas.

5) Menurut Hanafi ,,datuk" menghijeb saudara, sehingga hukum kalilah praktis hanya dapat dipergunakan jika orang mati

sebagai seorang saudara yang diistimewakan, dengan mendapat bagian sebanyak bagian untuk seorang saud ara laki-laki tetapi tidak boleh kurang bagiannya itu dari I 13,
82

6a) Menurut SvEfif jika datuk berhimpun dengan saudara yang bukan dzawf'lfard'i{ maka datuk berhak berbagi sisa besar

6b) Jika selain sauda ra yang buka n' dzaunJ'lfar6'id ada pula bukan saudara yang berhak fare'i{ (ibu, duda, janda, saud ara tiri seibu) maka bagian datuk.. tidak boleh kurang dari I 13 sisa kecil atau ll6'dari siSa besar,. dengan ada kemungkinan saudara tidak meridapat apa-apa. 6c) Jika datuk berhimpun dengan sa'ldara-saudara yang dzaufi'lfard'i{ dan dengan bukan saudara yang berhak far6'i{, maka datuk berhak riienerima sisa kecil ataupun sekurang-kurangnya I 16 sisa besar. 6d) Jita datuk berhimpun dengin hanya saudara dan diant ara' nya ada yang berhak fara'id, maka datuk berhak mendapat sekurang-kurangnya I 13 sisa besar, dalam hal mana saudara tiri sebapak rrrend ipat maximal I 16 atau nihii. 6e) Dalam hal datuk menuntut I l6sisa besar sedangkan jumlfi farE'i$ bagi saudara dan bukan saudara telah melampaui 5 I 6 maka clatuk diitut sertakan dalam 'awl, seakan-akan di1 dzawfi]lfari'i4' 7) Buat selebihnya ada casus-casus istimewa yang mempunyai penyelesaian secara istimewa pula, seperti akdariyyah, musyarrakah. Buat selanjutnya mengenai hukum Ahlu'ssunnah itu oraiig dapat baca dalam bahasa, Indonesia karangan-karairgan Mahmud Junus, A. Hassan, M.'Anyad Th. Lubis' dll.
.l

83

**'*$

fIT. fIAffTH KEWARISAN


tr. Turunnya ayfita,yqs kewarisan.

a) Muhammad 'bn 'l-Munkadir mendengar Jabir 'bn 'Abdilfah berkata bahwa dalam sakitnya ta dikunjungl oleh R(asillull-a{t s.'a.w.) dan AbU Bakr, maka J6bir bertanya kepada R ,,innam? li akhawdtun ... kaifa apna'u (aqd'i) fi mafi ?" (,,aku hanya mernpunyai saudara-saudara perempuan ... maka betapalah aktt perbuat dengan hartaku?") R tiada menjawab sampailah turun ayatay at kewarisan. (Bukheri). Dapatlah kita taksir (kira) bahwa ayat-ayat kewarisan yang dimaksud dalam hadTth tersebut ialah IV:116, dimana antara lain ditetapkan bahwa jika orang mati tidak berketunrnan dengan meninggalkan dua orang saudara perempuan (atau lebilt) maka mereka ini mendapat 213 bagian dari harta peninggalan setelah dikurangkan hutang dan wasiat.
nisfi yastaftfinaka kulilllhu yuft?kum fi'lkalalati" (ayat terakhir yang diturunkan sebagai penutup surah furnisa' ialah yastaftDnaka kulillahu yuftikum fi'lkalalati).

b)

AlbarE' berkata: ,,akhiru ayatin nazalat khatimatu sDratin-

- (BukhEri) Teranglah bahwa ayat ymrg dimaksud ialah IV:176.

c) Jibir menceriterakan bahwa isteri peninggalan Sa'd 'bn 'rRabi' datang menghadap R dengan membawa dua orang anak perempuannya dari Sa'd tersebut maka berkatalah janda itu : ,'Ya R, inilatr dua orang anak perempuan Sa'd 'bn 'r-Rabi'yang telah mati perang di Uhud dibawah komandomu. Maka sekarang paman anak-anak ini (yaitu saudara laki-laki bagr Sa'd) telah mengambil harta mereka dengan tiada pula menyediakan perbelanjaan bagi mergka ...tt Berkata R 1 ,,Altah akan memberikan penetapan mengenai perkara ini." Maka turunlah ayat kewarisan, lalu R suruh panggil paman anak-anak itu, maka berkata R I ,rBerikan kepatla dua orang anak perempuan Sa'd 213 dan kepada mak anak-anak ittr
84

dan sisanya untuk kamulah." (Ahmad, Attirmid;i, Abu D-awud. Ibn Ma.jah, dari Nail'l'awtalr dan Misyk-at'lmas?lbih)Dari hadith tersebut dapatlah kita pastikan,. bahwa telah serentak turun IV: I I dan 12. Dihubungkan dengan keterangan Albari' bahwa IV: 176 merupakan ayat terakhir yang diturunkan sebagai penutup surdh Annis6' maka tidak dapatlah dielakkan kesimpulan bahwa Iv:.i3 dan IY.:23 jo 24 diturunkan sesudah IV: l1 dan 12 tetapi sebelum IV: 176;.Menginsyafi hal tersebut sangat penting artinya bagi penilaian hadiih-hadiih mengenai sunnah R di lapangan kewarisan, yakni misalnya sewaktu R mengurus harta peninggalan Sa'd kira-kira tahun 5 Hijrah sesudah perang lJhud dengan berhukumkan IV: I I dan 12 maka belum ada lagi ayat-ayat muhkan'iit tentang bentuk masyarakat yang dituju oleh Qur'a-n, yaitu masyarakat bilateral seperti disiratkan
pula jika ada soal-soal penggantian maka belumlah R dapat msmpergunakan cara yang diberikan dalam IV:33 dan juga belumlah pula dapat digambarkan sistim keutamaan menurut Qur'an yang pada ketika itu belum lagi mempunyai peraturan lengkap.Di masa R merenungkan perkara harta peninggalan Sa'd itu hanya baru kelompok keutamaan pertama yang hampir lengkap tersusu& sedangkan kelompok keutamaan kedua belum mungkin disusun karena penjelasan AtlElr mengenai arti kalalah masih belum ada (lihat kelonpok-kelompok keutamaan itu pada halaman 33 kitab ,,Hltkum Kewarisan Bilateral menurut al-Qur'dn" ). Karena itu maka R belum dapat mengetahui bahwa seorqng saudara bagi simati barulah berhak mewaris jika simati tidak berketurunan. Dalam hal demikian maka R berhak bertindak menurut kebijaksanaannya sendiri dengan kemqdian dapat ditinggalkan lagi kebijaksanaan sementara itu jika telah turun ayat mufrkamahnya Cara itulah yang ditempuh oleh R sewaktu beliau memerintahkan orang IslEm berkiblat ke Masjid al-Aqs6 dan kemudian membelokkan kiblat itu ke Masjid al-$ar-am setelah turun ayat rnuhkamah yang bersangkutan (II: 143). Dan demikian pulalah R bertindak dalam mengadili perkara kewarisan harta peninggalan Sa'd, yaitu diikutnya dengan teliti kemauan IV: I I dan 12 mengenai bagian untuk anak perempuan dan janda, tetapi mengenai bagian untuk saudara itu, kepada siapa diberikannya sisa-bagi, R hanya
8s

l/s

dalam IV: 23 ja 24, sungguhpun perobahan besar ke arah bilateral itu telah terbayang-bayang juga dari IV: I I dan 12. Demikian

daprt mengikuti kebijaksanaannya sendiri, sementara menunggu penjelasan dan ketetapan All-ah. Menurut sistimatik Qur'ln tentang susunan keutamaan per-

tama maka sisa-bagi itu wajib diraddkan kepada

anak-anak

huruf d maka sisa-b agi, yang diberikan R kepada paman anakanak yatim itu dapat pula diartikan sebagai tu'mah untuk
illil'1qurb6

perempuan Sa'd itu, sedangkan paman anak-anak itu tidak berhak apa-apa. Dengan mempedomani apa yang diterangkan dalanr 5 9

(t\t : 8)

$ 2. Mansilktt.

a) Ibn 'Abbes berka ta: ,,.... adalah semulanya wasiat itu bagi orang tua ( ayah dan mak); maka Allah menghap uskan yang sedemikian itu dengan menetabkan bagi masing-tnasing orang-tua itu bagian tertentu 16 :' ;:.( BukhEri) 1

Maksuci Ibn 'Abbes ialah'bahwa dengan turunnya IV: I l dan 12 maka tidak berlaku lagi II:'l 80 dan 240 yang diturunkan lebih dari 4 tahun sebelumny.a. Telah kita tryatakan bahwa hal mansfikh sedemikian itu- tidbk dapat diaktri karena. berlawanan dengan III:7, dimana All-atr berfirman bahwa ,,orang-orang yang sungguh-sungguh ber'ilmu'akan berkata bahwa mereka beriman

kepada semua ayat-ayat itu. karena semua ayat-ayat itu adalah datang dari Tuhan mereka" (lihat halaman 3 dan 50 kitab ,,Hltkum Kewarisan Bilateral menurut al-Qur'dn" ).

b) Ibn 'AbbEs berkat zi ,',, Sebermula orang-orang pengungsi (a1-Muh?jirfrn) semenjak datang di Madinah diwarisi oleh pihak Ansari dengan te.rsingkir keluarga pengungsi itu sendiri, ialah karena persaudaraan (uklru.Wwah) yang diadakan oleh R antara Iv{uhdjirin dan AnSdri, maka setglah turun ayat ,ja'aln-a maw6lia' (maksudnya IV:33) berkatalah R i ,,nasakhat-ha wallad fina 'aqadat aim6nukum". . Cerita Ibn 'AbbE's itu membagi tV: g: dalam dua bagian, yaitu bagian pertama: ,,likullin ja'atni mawilia mimmE taraka'lwalictani wa'l-akrabina" dan,bagian kedua:,,walladzlna'aqadat aimlnukum ...". Tidak heran jika kemudian ada tangan yang sengaja menaruhkan tanda jim diantara dua bagian tersebut.
86

Maksud ceritera Ibn 'Abbds itu barulah jelas jika cliketahui apa yang menjadi fa'il dan maf.frl bagi perkataan nasakltot-ha (dia jenis perempuan telah menghapuskan akan hal yang juga berjenis perempuan), Siap ?. , dia" itu dan apa n,h&I" itu yang dimaksud dengan he dalam nasakhat-ha ? Ibn 'Abbas mau memberikan kesan bahwa ha itu ialatr ,,ukhuwwah", yaitu persauclaraan antara MuhEjirirr dan AnS6ri dengan berakibatkan kewarisan seperti yang teliilr ditetapkan oleh R sebagai suatu kebij aksanaan beliau. Petbuatan R itu termasuk kedalain pengertian sunnah nabi. Maka sunnah R itu dihapuskan oleh X dan X ini hanya mungkin berupa 'ayat Qur'd'n atau berupa sunnah nabi yang baru. lbn 'Al/bds tictat mqriwayatkan &dany4 sunnah nabi :/ang banr yang mencabr-rt hal ukhuwwah yang dimaksud. tetapi menceriterakan ukhuwwah itu sehubungan dengan turunnya IV:33, sehingga X itu ialah ayat Qur'6n tersebut. Maka X seb agan fa'il terdiri dari dua wajah, yaitu IV:33 bagian pertama dan IV:33 bagian kedua seperti dimaksnd diatas. Wajah pertama menasabkan maw?li senasab dengan,,likullin" dan senasab dengan pewaris yaitu ,,wilidEn" dan ,,aqrabfin", sedangkan wajah kedua menasabkan rnaw?ll senasab dengan ,,likullin" tetapi tidak dengan pe"*.gris, yaitu ,,all ad{ina 'aqadat aimEnukum" (lilrat mengenai maviali itu kitab ,,FILtkum Kewarisan Bilateral ntenurut al-Qur'dn, bab V, htrruf B, S 3 dan S 9). Menurut Ibn 'Abb6s maka pewaris dalam hubungan ukhuwwah antara Muhdjirin dan Anl-ari' ialah pihak Muhajirin, dan ahli-waris ialah pihak ArSerT, sehingga seandainya rukhuwwah itu tetap berlaku maka juga mawali bagi seseorang fur;iri ialah orang-orang yang senasab dengan orang Ansari itu juga.Tetapi hal ukhuwwah itu telah terhapus oleh IV:33, sehing: ga tidak ada lagi soal ,,ja'alnd mawdlia" bagi orang Anpdri mengenai ukhuwwah tersebut. Terhapuslya itu adalah atas kadrat perkat aan airn-an ukum clalam ,,walli dzina 'aqadat aimlnu'J(Llm" yang berarti ,,mereka dengan siapa kamu orang telah mengikat janji" ; jadi dapat dilakukan ikatan pertolanan itu oleh setiap orang atas dasar kenuttan sendiri dan bukan atas dasar ketetapan rasiil (bukan ,,rvalladzina 'aq,adat aimEnuka yV Muhammad"). Sebab itu Muhammad berkata : ,,nasakhat-hE walladzina 'aqadat aimEnukum" (wajah kedua dari IV:33 ,,walladzlna 'aqaclai aimanu kutn" telah menghapuskan ukhuwwah yan g aku Rasill telah adakan antara Muhajirin dan fuisari), Akibat penghapusan yang
87

An;Eri ialah bahwa mereka atas kaclrat dari IV:33 hanya lnungkin menjadi mawifi jika *uj*.pertama pervaris senasab dengan rnereka, kecuali dalam hal urusan tolan seperjanjian yang diikat .atas kemauan sendiri, dimana mereka dapat menjacli maw6li walaupun pewaris bukan senasab dengan mereka, asal saja mereka senasab dengan mendiang si fuiu yang selnasa hidupnya mengikat perjanjian pertolanan itu dengan
pewaris.

dimaksud ;bagi pihak

Sekadar berpedontan kep ada ceritera (hadith) Ibn 'AbbEs itu lnalca l< digambarkannya soakiur-akan hanya inga t kcpada urusar] ,,ukhuwwah" antara N{uhljirin cian Anldri sewaktu turun ayat IV:33 iru, seciangktn IY:33 hanya rnenyinggLlng secara irnplicit (secara tersirat) unisan ,,ukhurvwah" yang dimaksud itu. Secara explicit (secara langsung dan jelas) nraka kewarisan antara Ivfuhdjiri=n dan Angdri itu sebagai orang-orang yang tidak senasab (tidak seperhubungan darah), dihapuskan oleh XXXI I l: 6 ,r... wa illil'l'arllami ba'duhum awla biba'din f] kitebillahi rninalmu'minina wa'lmnh-ajirinailla 4n taf'alf il[ awliyd'ikum ma'rfrfan ..." (clan mereka yang sepertalian darah lebih utama yang satu dari yang lainnya menurut ketetapan Nlah daripada orarlg-oraltg mu'min lainnya dan daripada orang-orang Nluh6jirin, kecr-rali bahwa engkau hendaklah berbaik-baik dengan handai tolanmu). Menurut bunyi ayat tersebut tidak berdosa kita jika dalam hati dibubuhkan dibelakang Muh?jilin tambahan ,,clan Ans1trl". Dalam hadith huruf c dibawah ini nama kesatuan untuk fulsEri dan Multajirin itu ialah' $ahebah. Tentu R tidak hanya ingat akan hal yang implicit sewaktu turun IV:33 itu, tetapi juga akanartilangsutlgnya ayat tersebut, yang memberikan hak sebagai. maw?li tcepacla Dl['lar[dm yang awl6 untuk menduduki tempat-tempat yang kosong karena meninggalnya penghubung-penghubung ya\g, seandainya mereka ini hidup sewaktu rnatinya pewaris, berhak menjadi ahliwaris menurut perincian keutamaan fI kitebill&i (menurut ketetapan dalam Qur'dn). Maka tentu R akan ingat pula bahwa IV:33 juga bertujuan menghapuskan semua praktek yang telah terjadi sebelumnya, juga praktek kebijaksanaan R sendiri, jika seandainya praktek itu bertentangan dengan IV:33 itu dan dengan lain-lain ukuran awl-a yang diberikan oleh Qur'In

(rufiIII
88

:1,2).

.t

c) Ibn 'AbbEs menceriterakan bahwa R rnempersaudarakan para .sahEbah dan mereka karena itu saling mewarisi, sampailah turun ayat ,,w? ilIil'l-arhEmi ba'duhum awlE biba'din fi tcitabillah", maka semenjak itu mereka hanya saling mewarisi jika meredari Nail'l'awtgr).ka sepertalian darah. (Adderukutni, - dan untuk selanjutAyat yang dimaksud ialah XXXIII:6, nya bandingkanlah dengan hadith huruf b. d) Kuthair 'bn 'Abdilleh mengetahui dari ayahnya dan ayahnya dari datuknya bahwa R pernah berkata : ,,wa halifu'lkawmi rinhum" (kawan yang bersumpah setia atau tolan sepedanjian bagi sesuatu kaum adalah dari mereka). Lengkapnya perkataan R itu iala-h ,rmAwld'l-kawmi minhum wa halifu'lkawmi minhuru wa'bnu ukhti'lkawmi minhum." (AdderamT , dari Misyltfit 'lmaiabih) Anehnya pada Bukh?ri hanya dijumpai perkataan R yang berbunyi i ,,1\&wld'lkawmi min anfusihim wa'bnu ukhti'lkawmi minhum aw min anfusihim," seperti yang disampaikan oleh Anas 'bn Malik, jadi dengan tiada ada ,,w8 |ralifu'lkiwmi rninhum. " Mungkin hal itu disebabkan oleh karena bagr BukhEri telah jelas bahwa ,,w& haflfu'lkawmi" itu hanya ulangan dengan lain perkataan ctari maksud kalimat Qur'a--n ,,walladzJna 'aqadat aimEnukum". Secara langsung hadiTh Kuthair itu bukanlah rnengenai soal mansTrkh. Cuma hadiih itu memberi petunjuk bahwa sebelum turun ayat IV:33 masyarakat 'Arab telah mengenal juga akan lembaga tolan seperjanjian yang dimaksud dalam IV:33 itu, yaitu dengan istilah ha[f, lembaga mana tidak ikut terhapus atas kadrat IV:33 yang untuk kesempllrnaan lembaga tersebut mernberikan penegasan tentang kemungkinan adanya rnawEli jtrga untuk lembaga tersebut, walaupun sekali seb agai pengecualian atas prinsip umum bahwa mawali itu senasab dengan pewaris. Dalam arti inilah dapat dipahamkan perkataan R bahwa ,,halifu'lkawmi minhum", yaitu jika haff itu meninggal dunia maka ia mengenai harta peninggalannya diperlakukan seakan-akan dia senasab dengan kaum dari tolan seperjanjiannya. Maka halif itu akan diwarisi oleh tolan seperjanjiannya itu dan jika tolannya itu mati terlebih dahulu maka halif itu akan diwarisi oleh mawali bagi tolannya itu, dan mawali tersebut adalah dari kalangan kaum tolannya itu menurut perikutan keutamaan persis seperti
89

yang ditentukan dalam kiteb AllZh. Fengertian kawm yang drsebutkan oleh R hanya mungkin dalam arti kawm secara bilateral (lihat kitab ,,Hendak kemana httkurn Isluot"). Contoh hafif sebagai pewaris yang diwarisi oleh mawali bag tolanny?, lihat gambar D dimana h = halif, t = tolanny&, m.t. = Irlswali bagi tolan, dimana mawlti Uerarti setiap orang yang sepertalian darah dengan tolan itu dan yang menurut keutamaannya berhak mee7=S*., warisi tolan tersebut. Halif itu menurut pendapat saya hendaklah orang yang qawmnya telah musnah total sehingga dia sebatang kara. Jika rnasih ada anggota kawmfl)'a maka tolannya atau mawgli bagi tolannya itu metlurut pendapat saya hanya mungkin mewarisi maximal I 13 dari harta peninggalan setelah dikurangkan dengan semua hutang. Jika halif itu meninggalkan janda atau duda maka far?'id bagi mereka itu tetap wajib dikeluarkan beserta kemungkinan wasiat untuk janda rnenuntt II :24A yang jumlahnya tidak tunduk kepada pembatasan yang'' ditetapkan R, tetapi menurut Al-Qur'd'n selalu sejurnlah yang dibutuhkan oleh janda itu untuk keperluan hidup setahun. Jika disamping janda ada pula anggota qawm, maka menurut pend apat saya dikeluarkan dahulu semua hutang dan wasiat untuk janda, sesudah itu dari sisanya dikeluarkan I 13 untuk tolan atau marvllinya, maka barulah dikeluarkan far?'i$ dan kemudian seluruh sisa terakhir adalah untuk anggota qawm yang berhak menurut ukuran keutam aan dalam Qur'an. S 3. .Keragu-raguan atau pertiknian di kalangan sahdbat

i,

a) Huzail 'bn Syural.rbil menceriterakan pertentangan paharn antara AbTl Mfrs6 dan Ibn Mas'frd tentang pembagian harta simati yang meninggalkan seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan (diperanakkan oleh anak laki-laki) dan seorang saudara perempuan. Pertikaian itu mengenai hak cuclt perempuan dan hak saudara perempuan itu. - (Bukhari) - Lihat $ 6 huruf b,

b) KabiSah 'bn Dzuwaib menceriterakan bahwa Abu Bakr, mengenai soal apakah nenek simati berhak mewaris, semul anya
90

hl. laz.

berpend

ia hendak bertanya dahulu ke kiri-kanan (N,faiik, Ahmad, Abir D-awud, Attirmidfr,, AdderamT dan Ibn IWajah, dari l[isykAt'L nwfrblh). Lihat $ I t hunrf a, hl. I 3l c) Altrasan menceriterakan bahwa 'Umar menanyakan ttentang bagian untuk datuk. Maka Ma'kil 'bn Jasar'hnuzanl menjawab bahwa R telah menentukan bagian datuk itu sebesar 1 16. Berkata 'Umar: ,,Dengan siapa datuk itu berbagi ?" Menjawab Ma'kili ,,Entahlah." Maka berkata 'Umar: ,,Tidak tahu engkau ! Jika begitu engkau tidak menambah pengertian bagiku !" (Ahm&d, - dari lYail'l'ovttfir).d) Alkdsim 'bn Muhammad berkata bahwa datang dua orang nenek kepada Abil Bakr meminta bagian dari harta peninggalan Abu Bakr menetapkan I 16 untuk neneE pihak mak (mak dari mak) saja. Maka berkata seorang fuig6ri i ,,Engkau kesampingkankah nenek pihak bapak ? (mak dari ayah), yang seandainya nenek pihak bapak itu yang mati dan cucunya itu yang hidup, maka dialah yang akan diwarisi oleh cucunya itu !" I\{aka Abir Bakr bagikan I 16 itu antara dua orang nenek itu. (lvlelik fi'lMtrwatta',- dari Nail'l'ow,tdr) Lihat $ l1 huruf c. hI.133 dan g 12 huruf a, hl. 135. e) Ibn 'Abb[s berkata: ,,Apakah si Zaid 'bn ThZbit tidak takut akan AllIh dengan menjadikan anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu rnelalui anak laki-laki) seperti anak laki-laki tetapi ia tidak jadikan ayah dari ayah (datuk) seperti ayah t)) - ( Bidd:tat 'lntuitahid, dari A.Hassan ,,Al-fara-idl") Lilrat $ 6 huntf a, ru. $ dan $ t huruf a, hl. 57 . f) Mu'awiyah menulis surat kepada Zaid 'bn Thabit menanyakan bagian datuk jika berbagi bersanta dengan saudaro.(Metk, - dari A. Hassan ,,Al-faraa-idl") g) Anas menceriterakan bahwa R berkata:, ,,Yang paling tinggi pengetahuannya mengenai fari'id ialah Zaid 'bn Thebit." (Ahmad, Ibn lvladjah, Attirmidfr' AnnasaT, dari Nail'l'awtdr) h) Pandangeu tidak mengherankan jika banyak pertikaian dan keragu-raguan dalam lapangan hukum kewarisan oleh karena: 9t

apat bahwa baik menurut Qur'dn, " maupun menllrut Sunnah Rasill, nenek itu tidak berhak. Walaupun demikian per kara yang ltersangkutan itu ditunda dahulu oleh Abil Bakr karena

pertanta, sewaktu R wafat, hukum kewarisan menurut Qur'[n itu barulah mempunyai permulaan praktek selama katakanlah 6 tahun; kedua, semenjak perang Ultud sampai wafatnya & dalam rnendirikan negera dan masyarakat Islim itu telah terjadi kesibukan peperangan besar dan kecil - lebilr dzrri 60 peperangan-, yanq semuanya menghendaki pimpinan R dan hampir seperdua dari jumlah peperangan itu dipimpin langsung sendiri oleh R, hal mana mengurangkan kesempatan bagi R untuk mengawasi sentua kejadian pembagian kewarisan clalam satu daerah yang setiap tahu semakin meluas; lce tiga, selama kesibukan petnbentrii..an negara tersebut perhatian ditujukan terutama kepada urusatl politik dan kepada ikhtiar meluaskan penebaratl ajaran-ajaran pokok mengenai tawhld, rukun iman dar: islam. Dalarn urusan politik itu harus pula ditunjukkan mau tak mall beber apa toleransi terhadap sistim clan yang menjadi dasar bagi hidup politis-ekonomis masya rakat 'Arab, dirnana negara Islim itu didirikan. Tanpa toleransi tersebut tidak mllllgkin dalam masa singkat itu (q tahun) nlenundukkan bani-bani'Arab itu ke bawah panji-panji Isldm, karena yang berkuasa'dan diikuti dalarn banJ-banT itu ialah tua-tua (syaikh-syaikh) dalam clan sedatrgkan bantuan dan kewibawaan tua-tua clan itulah yang sangat dibtrtuhkan dalam urusan pembentukan negara itu; keempat, tidak serentak turunnya seinua ayat-ayat kewarisan itu, sehingga pembulatan paham mengenai sistimatiknya tidak segera dapat diperoleh. Ay at-ayat kewarisan itu bertebaran dalam katakanlah empat surah, yaitu surah II, IV, VllI dan )O(XIII. Surah II dan VIII turun dalam 2 tahun pertama sesudah Hijrah sedangkan lV dan XXXUI dalam masa antara 4 dan 7 Ilijtuh. Di. masa itu Qur'd'n belum lagi terhimpun dan tersebar berupa sebuah buku, baru terhimpun dalam ingatan hafalan para salrabat dan dalam catatan-catatan yang lepas-lepas, sedangkan ingatan hafalan saja tidak mencukupi untuk membulatkan pikiran mengenai seluk beluk semua ayat-ayat kewarisan itu, yang safu dengan lainnya banyak pula terpisah-pisah, sehingga menyulitkan proses assosiasi dan konsentrasi yang dibutuhkan untuk menjalankan induksi dan deduksi;
92

kelirna. besar pengaruhnya yang dibawal(an oleh sistim masya rakat patrilineal 'Arab atas cara-cara pemikiran cerdik pandainya, yang menyebabkan mereka tidak dapat mendalami sepenuhnya

akan tujuan sistim bilateral yang dianut oleh

Qur'dn.

g 4.

Wasiat.

a) Sa'd 'bn Abi Waqq?s berceritera bahwa, sewaktu ia sakit payah dan R mengunjunginya, ia bertanya kepada R: ,,Saya mempunyai harta yang ba.nyak sedangkan saya hanya mempunyai seorang anak perempuan yang akan mewaitsi saya. Saya sedekahkankah dua pertiga dari harta saya itu 't') Jawab R: ,,Jangan !" Maka bertanyalagi Sa'd: ,,Bagairnanakah jika seperdua ?" R menjawab lagii ,,Jangan !" Sudah itu bertanyalagi Sa'd: ,,Bagaimanakah jika sepertiga 't" Maka berkata R: ,,Aththuluthu kabirun, innaka in tarakta waladaka aghniyd'a khairun ..." (Besar jumlah sepertiga itu, sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam (Bukh-ari) berkecukupan adalah lebih baik ... ) Ahlu'ssunnah berdasarkan hadlth tersebut menetapkan, bahwa wasiat tidak boleh melampaui I 13 dari harta setelah dikurangi dengan semua hr"rtang (lihat huruf c). Saya sependapat. Perhatikatl penggllnaan kata walad oleh R untuk anak perempuan !

b) Ibn 'Abbbs: lihat $ 2 huruf a. c) 'Afi berkata bahwa R telah menetapkan bahwa wasiat barulah boleh dikeluarkan setelah semua hutang telah dibayarkan. -- (Attirmid'ui,lbn Mejah,- dari Misl,pfs'lmAsablU Dihubungkan dengan huruf a) maka wasiat yang melampaui sepertiga dari sisa setelah hutang dibayarkan, mestilah diperkecil sampai sama besarnya dengan sepertiga dari sisa tersebut. Ketetapan R itu sangat bijaksana. $ 5.
Ketttamaan.

a) Ibn 'Abb6s menceriterakan bahwa R berkata: ,,A[riq[ 'lfar-a'ida ahhha fami baqiya (aw fami tarakati'lfari'idu) li
awl-a

rajrrlin dzakarin"

(Bukhafi')

93

Artinya, R berkata: ,,B4yarkanlah farb'icf kepada yang berhak atasnya, maka sisanya (yaitr"r apa yang masih tinggal sesudah pengeluaran farb'i{) unhrk orang iaki-laki yang terdekat (terutama)", Awla dapat diterjemahkan dengan ,,lebih dekat" atau ,,lebih utama". Sisa yang dimaksud saya namakan sisa kecil. Dari harta peninggaian dibayarkan lnenurut perikutan yang dimaksud dalam g 4 huruf c, mula-mula semua hutang, sudah itu baru wasiat, maka terdapatlah sisa yang saya namakan sisa besar. Dari sisa besar ini dikeluarkan iarb'i[], maka terdapatlah sisa kecil, yang menurut hadiih Ibn 'Abbas diperuntukkan bagi awli rajulin dzhkarin. Soal pertama ialah: apakah ukuran bagi awli, bagilebilr dekat atau lebih utanra itu'l ;1oal keriua ialah: benarkah hadith tersebut memberikan suatu garis lrukurn yang berlaku urnum,. atau apakah hadith tersebut hanya inenggambarkan suatu kasus tertentu sehingga hanya berlaku untuk kasus tertentu itu pula ? Yang dimaksud dengan kaius ialah suatu perkara tertentu yang diputuskan hakirn. Keputusan itu jika tidak ada cacatnya dapat dipergunakan dalam lain-lain kasus yang serupa. Maka timbullah yurisprudensi, garis hukum ciptaan hakim-hakim, bagi perkaraperkara serupa, maka yurisprudensi demikian merupakan garis hukum yang berlaku umum, Begitulah theori bagi perturnbtrhan garis hukurn adat dan bag interpretasi beberapa garis hukum perundang-undangarl. Tetapi berlakukah theori itu juga bagi hukum yang berdasarkan kemauan Tuhan yang tidak boleh ditafsirkan dan dipakaikan secara penyimpang dari kemauatl Tuhan itu ? Perkembangan huktrm ada t memang dipercayakan kepada hakim{rakim unhlk menyalurkan selaras dengan perkernbangan masyarakat. Dernikian pula hukum perundang-undangan dapat dimana perlu ciiraut Can diperhalus oleh hakim-hakim untuk lebih menyesuaikannya dengan kebutuhan zammr. Dcngan hukum Qur'dn lain halnya. Rasill mesti mengikuti kemauan Tuhan dengan penuh taqu'E (XXXIII: 1,2). Rasfrl berkewajiban memperjelas semua ayat-ayat yang diturunkan untuk urnmat (XVI: 44). Dalam hiCup Rasiil kita lihat bahwa ia boleh mempergunakan kebijaksanaan sendiri sebelum Alleh memberikan ketetapan yang pasti. Se.lanjutnl'a ummat wajib rnengikuti contolt-contoh dan ketetapan-ketctapan Rasul, baik contohcontoh atau ketetapan-ketetapan yang hanya berupa kebijaksana-

94

annya untuk sement ara, rnaupun contoh'contoh. dan penjeluJurrper{elasannya berkenaan dengan ketetapan''ketetapan yang peF manent dari Ailah (XXXIII: 2l ). Bagaimanapun juga sunnah Rasril tidak boleh dan tidak mungkin akan bertentangan dengan sesuatu ketetapan Allah yang telah permanent, Jika ada orang mengkhabarkan bahwa Rasfrl ada berbuat yang bertentangan dengan ketetapan yan1 pasti dari Alleh. maka khabar itu adalah khabar bohong, dan jika bukan khabar bohong maka'perbu at*rr Rasfrl. itu adalah dilakukannya sebagai kebijaksanaan sencitu sebelum turun ketetapan yang pasti itu dari Allah. Lihat Bab t 93, Oleh karc'.na strnnalr Rastl rr:.erupakan supplement {penjelasan) bagi Qur'dn dan ttdak mllngkirn bertentangan dengan Qtrr'dn, rnaka hendaklah, untuk menguji kebenaran hadith Ibn 'Abbds itu, tradith tersebut dibaca,berhadapan dengan ayat-ayat Qur'an yang dianggap membutuhkan pejelasan Rasill itu, Dalam hal hadith Ibn lAbbds itu maka ayat-ayat yang dimaksud ialah XXXIII: 6 dan VIII: 7 5, dimana ada bagianny yang berbunyi: ,,wo LlL'l'arhhmi ba'duhum awl?r bi ba'din n kitabilahi ,...," (A* orang-orang larg sepertalian darah setengahnya lebih dekat lebih utama dari yang lainnya mgnurut ketetapan Ailah dalarn Qur?n). 'Apakah artinya ,,orang-orang yang sepertalian darah" (irlu 'l'arhdmi) menurut Qur'6n ? Dan apakah ketetapan-ketetapan Allah (fi kitabilllahi) yang wajib dita'ati mengenai ukuran awli (-ukuran jauh dekahy?, irkuran lebih"atau kurang keutamaan-) bagr orang-orang yang sepert aliian darah' itu (atau mengenai keutamaan di antare mereka itu) ? Soal mengenai pertalian clarah - al-arhhm i-j menurut Qur'an telah dijawab dalarn kitab ,,IIendak kemana hukum Isldm?" ialah pertalian darah menutrut si;ttm bilateral, danbpkan menurut sistini patrilineal atau matrilrneal atau lain{ainnya. Soal keutamaan - soal awld telah pilla dijawa.b dalam kitab ,,Hitkum Kewarisan Bilateral menuntt al-Qur!-an". Ternyata bahwa soal keutamaan-antara orang-orang yang sepertalian darah itu tidak semata-mata tergantung kepada jauh dekatnya derajat hubungan darah antara rnereka (umpamanya cucu mungkin mend apat sama banyak dengan anak karena sama keutamaan mereka, walaupun
9s

anak lebih dekat derajat kelahirannya daripada cucu;

saud ara

dan cucrr meskipun sama-sama dua derajat jauhnya kepada simati tidak mungkin mervaris benarna sebab cucu lebih utama , dan tidak pula tergantung kepada perbedaan kelamin antara laki-laki clan perempuan (inisalnya cucu nrelahri anak perentpuan dan cucll melalui anak laki-laki sama-sama berhak mewaris). Dalam hubungan ini sangat besar pengaruhnya IV:33 disamping sistimatik yang menguasai IV: 1 I , 12 dan n rr, yang begitu tinggi mutunya dan begitu kokoh dasar 'ilmiahny&, sehingga sungguhldl Qur'dn itu bukan ciptaan tVluhantnrucl s.'a.w. tetapi stntgguh wahyu agung dart Alla-h ^Sw/. Hadith lbn 'Abbis itu tidak nlernberikan penjelasau rnengqnai . maksudnya ,,awld rajulin dzakarir,", sehingga wajib diambil kesimpulan bahwa rajultrn dz,akarun itu mestilah seseorang yang bersesuaian clengan ukuran menurut kiteb Alleh dan br-rkan seseorang menurut hanya anggapan masyarakat masing-lnasing. Lagi pula hendaklah rajuh-rn dzakarun itu seorang laki-laki yang lebih dekat atau lebih utama dari yang lain-lain. Oleh karena syarat yang istimewa itu pu.!a mesti diperhatikan maka saya menarik kesirnpulan bahwa hadith Ibn 'Abbis itu adalah mengenai sesuatu kasus tertentu ynng tunduk kepada sistimatik Qur'an tentang keutamaan, dimana beberapa orang laki-laki tampil ke clepan berkonkurrensi. Kita dapat perinci kasus-kasus yang tunduk kepada tuntutan ,,sisanya ulltuk orang laki-laki yang terdekat atau terutama", diantaranya sebagai berikut:

1)

Pewaris meninggalkan seorang anak laki-laki, aYfr, janda atau duda dan seorang saud ara laki-laki maka bagian mereka ialah : ayah I 16, janda I /S, atau duda I 14, anak laki-laki sisanya dan saudara laki-laki nihil, maka anak laki-laki itulah awld rajulin dzakarin. Siapa laki-laki yang lain dari saudara tersebut, :'&ttg dapat tampil ke depan bersan"a-sama dengan mereka yang berhak pembagian, tidak perlu diperinci sebab sangat banyak kemungkinannya yaitu semua laki-laki di semu? garis-garis sisi'dan di garis ke atas selanjutnya. Garis hul,;um yang berla.b.u ialah IV: I 1, t2.

96

2)

Sipewaris meninggalkan seorang saud ara laki-laki, mak, janda atau duda. Maka awli rajulin dzakarin ialah saudaro laki-laki itu dengan mend apat seluruh sisa sebesar 5ll2 atau | 16. Garis hukumnya IV: I I . 12, 17 6. Siapa laki-laki yang bukan awli ialah semlra laki-laki di semua garis sisi yang lebih jauh dan di garis ke atas lebih lanjut.
Sipewaris meninggalkan mak , ayah, janda atau duda. Awld rajurlin dzakarin ialah ayah dengan mendapat semua sisa. Garis hukumnya IV: I l, 12. Siapa laki-laki yang bukan awld, ialah semua laki-laki di garis-garis sisi dan di garis ke atas selanjutnya

3)

/+)

Sipewaris meninggalkan ayah, mal<, saud ara seorang atan lebih. Arvla rajulin dzakarin ialah altalt, yang mendapat sisa | 12. Garis hukumnya IV: I l, 12. Laki-laki yang bukan awl[ rajulin dzakarin ialah semua laki-laki di semua garisgaris sisi yang lebih jauh dan di garis ke atas selanjutnya. Ditambah dengan kemungkinan dari IV:33, maka awld rajuanak, juga cucu, piut, cicit,dan selain saudara mungkin pula keturunan sand ara.

5)

lin dzakarin mungkin selain

Jika diperhatikan casLrs-casus tersebLrt, maka mungkin orang berkata: ,,Jika hanya sekianlah kadratnya haclitlr lbn 'Abbesitu, maka hadlth itu tidak ada gunanya, sebab ia bu lcan nterupakart garis ltu ktttrt tetapi hanya mengganrbarkan kasus-kasus dimana kebettrlan ada seorang laki-laki di tengah laki-laki lainnya menjadi awl6 rajulin dzakarin. Dengan tak guna ada hadith tersebut orang dapat saja dengan mudah mengadili -semLla kasuskasus itu dengan semata-mata bersenjatakan ayat-ayat Qur'd'n dan sistimatiknya.
Dalam kasus-kasus macam no. l, anak laki-laki itu mungkin lebih dari seorang dan mungkin pula bergandengan anak laki-laki dengan anak perempuan. Demikian pula dalam kasus-kasus macam no.2, saud ara laki-laki itu mungkin lebih dari seorang dan mungkin pula bergandengan saudara laki-laki dengan saudara perempuan. Maka buyarlah pengertian awld rajulin dzakarin (yaitu ,,ltan7'a satu orang laki-laki terdekat") sedangkan semua sisa itu akan dibagikan habis juga antara semua merekayang ber-

97

hak, karena sarna-salna awld, antara sesanla laki-ieki yallg setaraf atas dasar santa rata dan antara laki-laki bersama perempLlan yang setaraf atas dasar seoratrg laki-laki ntendapat dura kali sebanyak bagiarr seorang perempuan. Dalam hal-hal tersebut, cli nralla ada lebilr dari seorang laki-laki _atau cli lnana iktrt serta pula orangorang pcrenlpuail, maka hadith Ibn 'Abbds .,,fantd baqiya li awlil rajulitr d,zakarin" ticlak lagi sesuai, oleh karena llteln ang kastts tidak dapat lnenguasai lain kasus, hanye garis hr"rkum yang bersifat umum yang mampu rnengltaseri kasus apapun yang termasuk dalam bidangnya. Dengan ini sebenarrlya telali boleh kita tutr"rp pp-rilbicaraait kita mengcnai hadith llrn 'Abbls yang ticiak Lrerha rga untuk 'ilmu hukum itu, ; ika se' cindainya ciia tidak ntenyinggurlgnylnggung Junjtirlgarr kita. iika R pemah berkata seperti disebut tlalarn ha,Cith itr-r maka R cLiuta rnenguraikan penyelesaian suatur kasus yang kebetulan saja atJa cliclatanutya satlt,oreng awld rajulin clzakarirt kepada siapa R inenitrerikan senrlra sisa, unrpamanya praktek pertama R sendiri, lihat $ I humf c, yang kebetulan pula Itanya berupa praktek kebijaksanaan sementara sebelum tunrn IV.33 dan setelah turun ayat tersebu,t telah rnenjadi mans[iklt pula : nasakhat-ha, karena paman anak-anak perenipuan itu tidak boleh menurut IV:33 menjadi nrawili bagi clatuk mereka (bandingkan halanran 65 gambar II ciengan rruggqlti huruf m itu rttetjadi saudara). Menilik di bab rnana Bukhari _ meltempatkan hadith Ibn 'Abbds itu, maka tampaknya Bukhdri rnemaharnkan awld rajulin dzakarin itu bukan sehubungan dengan kasus yang dimaksucl di atas , jadi bukan seorang paman bagi anak-anak perempuen simati, tetapi seb agal seorang ibnu'l'ibni (cucu lakilaki kelatiiran anak laki-laki. Lilrat $ 6 huruf a pada halam an 43). Jika praktek R semacam dalam S I huruf c itu dianggap oleh Ibn 'Abba-s seb agar garis hukum umum dan diterima baik oleh AJrlu'ssunnah sebagai garis hukum umunl, maka tidak akan mengerti orang mengapa menurut ajaran Ahlu'ssunnah saud ara perempuan bagi si pewaris yang meninggalkan keturunan perempuan dengan tidak ada lagi mempunyai seorangpun 'aqabah bi nafsihi, mendapat. semua sisa, sedangkan 'a;abah ma'a'lghairi tersebut bukan awld rajulin dzakarin, kecuali jika diberikan pengertian khusus kepadi awla rajtrlin dzakarin, yaitu : orangorang terdekat di kalangan 'uqbah yang berhak memakai gelar
98

'asabah (asabah binafsihi, 'asabah bi'lghairi dan 'agabah ma'a'lghairi), maka itulah yang berhak menerima sisa sesudah dikelttarkan fard'id, dan mereka berhak karena mereka 'asabah. Yang belakangan ini memang sesuai dengan kemauan sistim Ahlu'ssttnnah, yang berdasarkan alam pikiran patrilineal itu, tetapi sekalikali tidak sesuai dengan alam pikiran Qur'dn yang bilateral itu dan karena itu tidak mungkin sesuai dengan kemauan R sendiri yang selalu menyesuaikan diri dengan kemauan Tuhannya.Bahwa R telah memahamkan juga pengertian bilateral ternyata dari S 8. Jika kita berikan beberapa perincian diatas tadi mengenai seorang laki-laki yang mendapat seluruh sisa sesudah dikeluarkan .fdra'i{ maka bukanlah hal itu berarti hendak menyatakan bahwa laki-laki itu mestilah seorang anggota 'uqbah bagi sipewaris, seolah-olah keanggotaan 'usbah itu menjadi syarat untuk memperoleh sisa tersebut ! Cobalah kita tinjau kembali perincian tersebut. Pada contoh no. I pewaris mungkin laki-laki, mungkin perempuan. Jika ia laki-laki maka dalam sistim patrilineal mernanglah anakny?, ay.ahnya dan saudaranya itu termasuk 'ugbah si mati. Tetapi jika sipewaris itu perempuan rnaka dalam sistim patriline?l ayahnya dan saudaranya betul se'ugbah dengan dia, tetapi anaknya tidak ! fuiak itu masuk 'uqbah siduda (suami pewaris) dan anak itulah pula akan mendapat seluruh sisa, walaupun dia tidak se'usbah dengan pewaris. Ini saja telah cukup untuk membuktikan bahwa istilah ,,awli rajulin dzakarin" itu, seandai'nya ia dari mulut R, bukan berarti orang se'uEbah atau tidak perlu berarti se'usbah, karena Qur'dn tidak menghiraukan pengertian 'usbah, sebab Qur'6n bilateral. b) Abu Hurairah menceriterakan : ,,qada- R fi jan'ini 'mra'atin min bani LahyEna saqata mayyitan bi ghurratin 'abdin aw amatin thumma inna 'lmar'ata'llati qade lahl (aw qadf 'alaihO bi'lghurrati tuwuffiyat faqadf R bianna niirdthaha libanihl wa za' wjiha wa anna'l 'aqla 'ali. 'asabatihe. (Bukheri) Artinya I ,,R mernutuskan dalam suatu perkara mengenai seorang perempuan dari bani Lahyina yang kandungannya telah mati keguguran, bahwa yang bersalah dalam kematian bayi yang gugur itu mesti memb ayar denda tebus nyawa, yakni seorang budak, ldki-laki atau perempuan. Setelah jatuh ponis tersebut maka matikh perempuan yang berhak menerima (atau yang
99

wajib membayar) denda itu. Maka R mengeluarkan ponis tarnbahan bahwa harta peniqggalan perempuan yang msti itu adalalt untuk anak-anaknya (tibanihfl dan untuk suaminyo, sedangkan ,,al'aqla" (keWajiban membayar denda itu) nrestilah dibebankan
kepada ,,'asabah" b.{'empuan .yang mati itu. ..Acia tiga kemungkinan mengenai siapa perernpuan yang mati itu ': perterna, yang mati ialalr peremptrair yang keguguran itu, sedangkan yang bersalah dalam keguguran itu seoran g perempuan keclua, yang mati ialah pereirnpuan lain yang bersalah itu, seclangkan perempllan yang keguguran itu rnasih hidup terus ; kcligu, yang'Fati:ialah perelnpllan yang keguguran itu dan dia' settcliri'yang'bersalah dalam' keguguratrnya itu. r Kemungkinan yang. kcrtiga tidak clapat cliteiirna, karena denda itu mesti dibayar oleh seorang perempuan kepada seorang perenrpuan.(lahd dan alaihdl. jadi dalanr hal ini oleh simati kepada sinrati itu sendiri ! ? Dirlam kernungkinan pertama, pcrempuan yang bersalah itu rnenyebabkan dura kali kenratian, kematian bayi dair kclnatian ibu bayi itu ; inaka sclrrirusnya perempuan yang bersalah it u inestilah dikenakan clua kali te bus nyawa, tetapi dalanr ltadith tersebut hanya dikenakan clenda ganti n1,awa untuk bayi itu saja, sehi ngga kenrungkinan pertama itu sukar untuk diterinra. Tinggal lagi kemungkinan yang kedua : yang mati ialah perelnplran lain yang bersalair itu. dan yang hidup ialalh pcremplran yarlg keguguran itu. Maka yang wajib inemb ayar denda ialah pcrempuan yang bersaiah itu, yakni kepada perenrpuan yang kegr,rguran itu. Karena itu rnaka ltaclith itu seirarusnya berbunyi ltukurt qaQd laltT, tetapi qactf 'alaihT, dan terjemahannya kita pcrrbaiki rnenjadi : ,,... Setelah jatuh ponis tersebul nlaka lnatilah pcrempLlan yarry v,ajib ntctnbaysr clenda itu .:." Hadith itu menampakkan suatu segl dari nlasyarakat 'Arab yang berclan-clan patrilineal itu. Perkawinan yang urnumnya dilakukan secara exogami (kawin jujur, patrilokal) tidak ntenghilangkan keanggotaan clannya bagi siistri. Hanya anak-anak masuk ke dalam clan ayah; Perempuan tidak diakui berhak nrcwaris tetapi boleh menjadi pewaris (nrewayiskan). Y.ang berhak rnewarisi perernpuan:!xng tidak dalam ikatan kawin ju..iur ialalt anggota=aflBgota 'ugbahnya sendiri. .
:

tain;'

jujur atau yang mati seb agai janda ikatan jujur ialah

Yang berhak mewarisi perempuan yang mati dalam kawin


anggota-

anggota 'ugbah suaminya. Tetapi anehnya, kesalahan besar yang dilakukan oleh seorang isteri atau seorang janda ikatan jujur dipikulkan kepada 'usbahnya sendiri. Di Indonesia, umpamanya di Tanah Batak, jika seorang isteri ikatan jujur berbuat salah besar (berzina) maka dapat uang juj.ur diminta kembali dari pihak ayahnya sehingga perempuan itu terlepas dari ikatan jujur dan kembali rnenjadi tanggung jawab keluarganya (,,kahangginya")
scmula.

Dari ha,Cith tersebut dapat clilihat bahwa R dalam nlasa pembentukan negara Islam itu masih terpaksa mengindahkan hukum n'tanggung jawab interclan yang masih kokoir berpegang kepada yang kollektif, juga di lapangan pidana, sedangkan dalam hukurrn pidana Islam dianut prinsip tanggung jawab yang inclificluil (laha md kasabat wa 'alaihl ma'ktasatrat, II:286). iVlengenai peinbunuhan berlaku XVll:33, yaitu ahli waris dari orang, yang dibunuh di luar hak, diberi kekuasaan oleh Aileh untuk di bawah pengawasall d'an dengan bantuan penguasa membuntrh sipembunuh secara yang tidak melampauri ukuran yang sepatutnya. Maka tergantung kepada ahlilvaris tersebut untuk melakukan kekuasaannya atau tidak, dan jika ia tidak malr melakukan kekuasaannya sampai seluas it;, maka ia clapat dengan bantuan dan pengawasan penguasa memilih sesuatu hukuman yang lebih enteng untuk clikenakan kepada sipembunuh. Dalarn haclith tersetlut maka nlpanya hukuman enteng yang dipilih ialah mengenakan dcnda tebr-rs nyawa, dalam hal ini menghukLlm sipcmbunuh menyerahkan seorang budak kepada ahliwaris bayi itu, yakni maknya. Denda tebus nyawa itu adalah salah satu bentuk hukuman menurut hukum adat 'Arab. Menurut hukum kewarisan Islam ahliwaris bagi anak yang mati punah ialah kedua orang tuanya dan jika seorang daripadanya telah meninggal terlebih dahulu maka yang lainnya (mak atau ayah) adalah ahliwaris tunggalrtya. Dalam perkara ini nlpanya ayah bayi itu telah meninggal terlebih dahulu. Jika mak itu mblahirkan anak itu sebagai anak zina maka mak itu juga ahliwaris tunggalnya.Dalam perkara bayi gugur ini berkesan bahwa R telah memakaikan hurkum kewarisan Isldm, sebab menurut hukum adat 'Arab ma-

r01

ka denda tebus nyawa itu bukan untuk didapat oleh seorang perempuan tetapi dibayarkan kepada laki-laki anggota terdekat 'qbah sitewas.Di atas tadi diterjernahkan libariha dengan ,,ufttuk onak-anaknya" dan bukan ,,untuk anak bani dalam arti clanny t" , pertqnxa- karena Qaikpun menunrt hukum adat 'Arab seorang perempuan yang telhh kawin (exogami) tidak dapat diwarisi lagi oleh orang-orang clannya se4diri ; ,, kedua'maupu.l menurut hukurn Islim setiap orang barulah I . rmungkin' diwarislt oleh pihak ayahnya atau oleh pihak maknya jika sipewaris mati tidak berkelurunan ; ketiga karena dalam hadith itu sendiri diterangkan bahwa sipewaris ada mempunyai seorang anggota keluarg a pihak ayfr, disebut ,,'4;aba4", yang tidak .: diberikan hak mewarisi harta peninggalan tetapi dibebani dengarr kewajiban memikul denda tebus nyawa, 'yakni sebagai suatu konsessi dari R bagi tanggung jawab kollektif yani; masih hidup teguh dalam hubungan interclan. Jil,la R tidak pirlu lagi mengindahkan tanggung jawab kollektif tersebut, maka R tentulah akan hukumkan bahwa denda tebus nyawa itu wajib dikeluarkan sebagai hutang dari harta peninggal-. an simati ; keempat, seandainya sipewaris tidak beranak (berketurunan) dan tidak pula berorang-tua lagi, maka orang yang disebut 'agabah tadi mesti diberi hak untuk ikut rnewaris, umpamanya_gebagai saudara dalam hal kalalah IV: 17 6 atau sebagai mawdli pihak ayah, misalnya saudara ayah (p3man). 'A"qabah yang disebut tadi tidak mungkin dalam kasus hadith ini seorang aydl, sebab,jika ia ayah maka dia tentu pula mendapat bagian fard'idnya dalam harta peninggalan perempuan itu. Ditinjau dari segala segr maka telah pastilah bah wa libanihA dalam kasus tersebut hantya mungkin berarti ,,untuk anaktrwknya- Hadith ini mengajar kita bahwa di dalam sistim bilateral tidak ada halangan untuk memakai istilah 'agabah tetapi bukan dalam arti semulanya, yaitu mesti selalir sebagai orang yang seclan saja, tetapi hanya dalam arti ,,anggota keltnrga pihak ayah" untuk membedakan da.ri, ,,anggota keluarga pihak mok". Maka.jelaslah hendaknya bahwa bukan hal istilah atau nama yang diperdebatk&il, tetapi apa isinya dan maksudnya istilah tersebut ! Sebagai contoh kecil dari keluarga pihak ayah Can keluarga pihak ffiak, lihat gambar paling trawah pada halaman 37 kitab
,

rc2

,,Hukunt, Kew,arisan Bilateral nlenurut Al-Qlr'ah". Bagian kiri dari gambar tersebut menggambarkan keluarga pihak ayah, dan bagian kanannya menggambarkan keluarga pihak mak. Ditinjau dari - pandangan clan patrilineal murni yang mempraktekkan exogami maka tidak mungkin dalam gambar tersebut p seclan dengan &,b ,c,e,g,h, atau p seclan dengan d,f,i,y. Demikian juga

ditinjau dari clan matrilineal maka tidak rnungkin p seclan dengan


&rbre,crkrg,h.

Berkenaan dengan soal keutamaan, kesimpulan apakah yang dapat ditarik dari hadlth Abu Hurairah itu ? R menguntukkan seluruh harta peninggalan hanya bagi anak-anak simati dan untuk duda. BanD dan awl5'd berarti anak-anak semuanya secara umum, anak-anak seumumnya, dengan tidak perlu berarti hanya semua anak-anak yffig laki-laki saja, Bahwa artt awldd dalam mulut R mungkin berarti anak perempuan, lihat $ 4 huruf a halaman 87. Perempuan yang mati itu misalnya mungkin meninggalkan dua orang anak, semllanya laki-laki, atau semuanya perempuffi, atau seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dalam hal pertama dan ketiga maka semua sisa, setelah dikeluarkan bagian duda, adalatr semata-tnata untuk anak-anak itu. Dalam keadaan kedua, maka dua orang anak perempuan itu mendap at 213 dan duda I l!,maka untuk siapakah sisa-bagi sebesar 1 I 12 itu ? Menumt hadith ter-, sebut , tidak mungkin untuk lasabah, walaupun jelas ada lagabah, karena semua harta peninggalan itu dibagikan habis antara anakanatk itu dan duda. Dr-rcla ateru jancla pada prinsipnya ticlak mungkin memperoleh lebih clari angka fard'idnya, karena sisa-bagi, yang sebenarnya adalah sisa kecil, pada prinsipnya hanya untuk ulu'l'arl.rfm , yaitu orang-orang yang sepertalian darah dengan simati. Dalam kasus hadith itu orang-orang yang sepertalian darah dengan simati ialah anak-anaknya dan 'asabah tersebut. 'Aqabah ini, walaupun orangnya termasuk kepada pengertian ilfi'l'arlrdm bagi si rnati, walaupun anak-anak perempuan itu bukan anggota 'upbah sirnati. . iy.to sekali lagi trahwa disini pengertian 'aga'bah tidak dilriraukan oleh Qur'dn , yang hanya menghiraukan pengertian Dltl'l'arhiim saja, yaitu semata-mata sebagai keluarga bilateral. Mengcnai ulLl'l'arham ini Qur'an mengadakan penjenisan dalam awlad, wdliddni, ikhwatuil, mawill selanjutnya dalam akrablrn dan frlir'lqurbi (lV:8,11,33 ; XXXIII:6). Ultt'l'ar[rdm yang aq103

rabfrn diwarisi oleh al'aqrabiln juga dan tidak oleh [rlir'l'arhdm 'asabah tadi hanya mungkin Vang ulu'lkurba. Terangtah bahwa si saja. Dengan demikian maka memang seseorang dari irlu'lqurbi rruOltrr lu" Hurairih itu. telah ada mengandung pengertian keutamaan di kalangan ilfl'l'arfrim, seperti yang diajarkan oleh )C(XIII:6 dan Vlll ,1 S (wa tilf 'l'arhami ba'{uhum awli bi ba' din fi kitibi'llthi), yakni ayat-ayat itu menunjuk kepad? ,,fi kitdbi'll1hi", kep ada'sigala sesuatu yang ditetapkan dalam Qur'aln, je'las atau tersirat. Pengertian 'uribuL secara yang dipahamkan oleh masyarakat 'Arab, yaitu keluarga patrilineal, jangankan tersirat, bahkan disuruh tumbangkan oleh Qur'd'n itu sendiri (IV:23 io 24, lihat kitab ,,Hendak kemana htrkum Islam?"). Maka menurut faham ,,fi kitebi'ilah" jika ada anak-anak (awldd) maka semua irli'l'arbem yang bukan ayah atau mak (wilidani) adalah UlDjl; qurba bag ri*uii, kecuali keturunan lebih lanjut sebagai mawdli bagi anak--anak yang mati terlebih quhulu. Sebab itu dalam semua hal dimana anak-anak atau mawili bagi anak-anak ikut mewaris bersama-sama dengan dzaud'lfarl"i{ yang ,,bukan anak" maka senlua sisa harta adalah untuk anak-anak dan mawdli untuk anakanak saja, dan jika anak-anak itu sendiri pula berhak fard'i{ (mungkft lagr Oitambah dengan nawill bagi anak-anak yang dzaurfr'lfar6"+l maka semua sisa-bagi hanya untuk keturunan itulah jika tiiak ada orang-tua. Sebab itu R dalam kasus hadlth Abf Hurairal itu tidak pJrlu memperinci lebih dahulu apakah jenis-jenisnya simati itu untuk ponisnya ,,bi anna mi-,,banfr" rathahe h banihd wa zawjih e (bahwa harta peninggalannya adalah untuk keturunannya dan dudanya)", sebab tidak ada lagt yang lain yang berhak. Jika keturunan itu memang hanya anak-anak perempuan saja atau disertai oleh mawali bagr anak-anak perempuan yang miti terlebih dahulu maka sisa-bagi itu diraddkan kepadi mireka, sesama anak-anak perempuan mendapat sama jenis banyak dan sesama maw6li mendapat bagian mentlrut jurai (lihat kitab mereka dan menurut kedudukan mereka dalam 45) ,,Hukttm Kewarisan BitAteral menuntt al-Qur'dn", hl' 41 Hadith Abfi Hurairah yang telah selesai kita bicarakan ini clapat dipandang sebagai iunnah rasfil yang memansflkhkan penyeratran sunnah rasfil yang mendahului (S I huruf c) mengenai sisa kecil kePada 'aPabah.

c) Abil Hurairah menceriterakan bahwa R berkata : .,AnE arvld bi'lmu'minina min anfusihim faman mdta wa taraka malan famaltrhu li mawa-li'l'agabati wa man taraka katlan aw daya'an fa ana waliyyuhu fali ud'6 lahfr." (Bukhefi) Artinya I ,,Saya lebih dekat kepada orang-orang yang mu'min dari mereka sendiri antara sesamanya. Maka barang siapa nrati meninggalkan harta maka hartanya' bagi ahliwaris-ahliwarisnya dari golongan 'apabatnya dan barangsiapa meninggalkan keluarganya dalam kesengsaraan atau kemelaratan maka sayalah pemikul urusannya, maka hubr-rngilah saya untuk urusannya itu."Dalam hactlth itu acla kata-k ata )/ang menunjuk kepada XXXIII:6 ,.annabiyyu awlS' bi'lmu'mirTina min anfusihim." Ada perbedaan paham tentang yang mana terlebih dahulu diturunkan, XXXII I atau lV kah 't Saya berpihak kepada paham bahwa IV lebih dahulu turunnya dari pada XXXIII, yaitu sesudah III. Katakanlah III dalam tahun 3 a 4 H, IV dalarn tahun 4 a 5 H dan XXXI I I dalam tahun 6 a I H. Jika R mensitir (mengulang atau menonjolkan) XXXIII:6, walaupun sebagian, maka iman saya mengatakan bahwa prinsip-prinsip hukum kewarisan menurut Qur'dn surah IV telah juga diketahuinya, sebab bukankah XXXIII: (t menunjuk kepada keutarnaan-keutamaan yang telah ada fi kitabillehi ? Maka'sekali-kali tidak masuk akal bahwa beliau akan berkata : ,,faman mita wf taraka malan famEluhu limawali'l'ASabati" seakan-akan beliau tidak ketahui bahwa ada dzawri'lfarf id yang bukan 'agabat, seperti ntak, janda, duda. Menurtrt im?n tersebnt maka hadith itu, sekadar yang mengenai kewarisan, aclalah ceritera keliru dari Abil Hurair&h, dan menurut prinsip-prinsip uslrl tiqh tidak dapat diterima sebab bertentangan dengan Qur'in. Dalam pada itu jika diikuti paham yang mengatakan bahwa IV turun sesuclah LX dan LX'sesudah XXXIII, katakanlah XXXIII dalanr tahun 4 a 5 H dan IV ditahr"rn 6 a 7 H, maka masuk akal juga kebenaran seluruh hadittr Abil Hurairah ittr, dengan pengertian bahwa ,,famlluhu lirnawllll'apabati" (hartanya untuk ahliwaris-ahliwaris dikalangan 'asabatrrya) menunjuk kep ada htrkunl adat'Arab sebelum turtrn surah IV, dan sesudah ttrmn surah IV nraka R obah' pernyataannya itu dengan perrlyataan lain yang juga disampaikan oleh Atru llurairah, yaitu bunyinya : fur? awld bi'lntu'minina: min anfusihim faman m?ta wa'alaihi dainun rvalam yatruk wafE'an fa'alain? qada'uhu wa man taraka malan fa li
105

Artinya : Rasul bcrkata ,.Saya lettih clekat kepacla orangorang mu'min daripada mereka sendiri antara sesamanya, maka jika orang rnati meninggalkan hutang yang tak dapat dilunasi clari harta peninggalannya nraka sayalah nrclunasinya dan jika orang ntenitrggalkan ltarta (lebih dari jr.rmlah hutangnya) maka harta lrcrlebih an itu untuk ahliwaris-ahliwaripny.alah. " Lihat mengenai hadlth tcrakhir ini S 14 h r.rruf a.
:

warathatihi. (tsukhdri)

6.

Ke

turmuilr.

a) Zard lrerkata : Cucu. laki-laki dan perempuan, kclahiran anak laki-laki (melalui anak laki-laki) sederajat dengarj-anak jika tidak ada anak laki-laki yang masih hidup. Cucu laki-laki sepcrti anak laki-laki, cucu peretnpllan seperti anak perempLran, mereka mewaris dan menglrijab seperti anak, dan tidal< mewaris cucu bersama-salrla dcngan anak laki-laki (Bukheri) Haclith ini bukan sunnah rasirl, hanya ajaran Zard, yang tidak clapat diterima seluruhnya sebagai suatu kebenaran, sebab bertentangan dcngan Qur'dn. Dalaffr pacla itu ada bagian-bagiannyh yang t'renar, sebagai nanti akan diperlihatkan. Bukhefi menernpatkan langsung sesudah hadJth Zaid itu hadith ILxr 'Abbds yang telah kita bicarakan dalam $ 5 huruf a. Pada Bukhari kita jumpai dua hadTth itu dalarn bab mirdttri'bni'I'ibni id'ze lam yakuni'bnun (bab kewarisan bagi cucu laki-laki kclahiran anak laki-laki jika tidak ada seorang anak laki-laki). Kesan yang diperoleh ialah seakan-akan BukhEii hendak mendudukkan ketreriaran hadith Zaid itu, yang hanya nlerupakan suatu paham atau ketetapan iltu'l'antri, atas kewibawaan sunnah rasul yang termuat dalam hactith Ibn 'Abb[s itu. Telah kita uraikan dalarn S 5 huruf a bahwa hadith Ibn 'Abbas itu hanya dapat_, tepat dipergltnakan bagi beberapa ntacaln kasus dan contoh r:asus yang sangat layak untuk clipergultakan oleh pihak yang hendak nrendttkung hadith hid itu ialah contoh macarn no. I dalarn 5 5 huruf a halaman 34, jika telah disesuaikan seperlunya menurut rnaksud Zaid itu. Dalarn contoh tersebut maka saudara laki-lz*i yang dua derajat dari si mati ditutup oleh anak laki-laki yang satu derajat dari sinrati. Maksud ZatJ adalah searah parallel :106

dengan itu juga, sebab. cucu laki-laki dan peremput'r adalah dua derajat dari simati, sehingga nrereka nre,nurut Zaitt ditutup oleh

anak laki-laki yang satu derajat terpisah dari simati. Dalam hal tersebut maka menurut pihak yang sepiilranr dengan Zaid akan berlaku penuhlah hadith lbn 'AbLrls, yakni anak laki-laki itu sebagai awla rajulin clzakarin akan mengfrijab cucu itu. Meniru lagak lbn 'Atrttls ($ 3 huruf e) orang di sinidapat berkata: ,,Apa-l'h7rtrit tidak takr.rt akan Allah dengan ia jadikan kah 7,aid lbn anak i.ki-laki scbagai awl[' rajulin dz'akarin yang menutup bukan saja parnannya tetapi jr,rga menutup keponakannya dengan hanya beraldskan lralr wa panlan dan keponakan itu sama-sama sattt derajat letrih jauh kepacla si mati daripada anak laki-laki itu, derrgan. dilupukan oleh Zairl satu perbeclaan besar yaitu bahwa pamatz ilu adalah keluarga si mati di garis slsi sedangkan keponakan itu adaiah keluarga si mati di gar:is luru,s ke bawah ! Sudahkah Zaid periksa firman Alleh '. ,,likullin ja'alnd' mawdlia minrmZ tiiaka'lwdlidfni", yang ditunrnkan All-ah bagi kepentingan cucucucu si mati, cucu-cucu yang semasa hidup datuk nrereka, telah menjadi anak yat,m karena kehilangan ayah ?" ]'ihat gdntbar E dimana menurut Zaid cucu-cuuu mendapat nihil. Sudahkah Zaid periksa lragaintana sistim Qur'[n
n)engenai ketttutna:tn antara garis lttrus ke bawah, garis lurus ke atas dan garis-garis sisi ?Jika belum maka batallah sebagian ajaran-ajaran Zaid. Untuk ltlengetahui ajaran Za,id yang nrenjadi lratal itu maka di bawah ini cliberikan gambargambar yang cocok dengan maksud Zaitl:yaitu I a,b, ll a,b,c, dan III a,b,c.
lu IIr nb ;OtI b

d'v.,5 r b c

, (ot

I Ad
. : b

tt?)c.

'\

II< tO.
I D

IIlr ;O
.b (

t)c ?b o, or o. a/b'y'b' A do /x
b c ;

nb of

;f

E(

menurut IV:33 nraka a dan b mendapat bersanta | 13, yaitu aLlg dan b219;cdan d mendapatmasing-masing l13. Tetapi Zaid memtrerikan kepada a Il6, b l13, c l13 dan d Ile, sehingga a dan b secara menguntungkan mendapat l12 sedangkan d di-

a:

ta7

rugikan dan cuma c yang mendapal bugiannya scsuai clertgan Qur


'Ett

I b : menurut IV:33 bagian a 116, b l16, c l13, d ll3,tetapi menurut Zaid a 115, b ll5, c 215, drls, dimana d menderita
kerugian besar.

II a : Menurut IV:33 bagian a,b,c masing-masing I lz, tetapi Taid memberikan seluruhnya kepada c, sehingga &,b mendapat
nihil.

II b : Menurut IV:33 bagian a 116, b 113, c I12, tetapi meuurut Zaid maka c mendapat selurtthnya clan E,b mendapat nihil.

II c:Menumt IV;33 bagian a %, b \4, c t/z,,menurut


c kebagian.

Zaid hanya

III a,b,c: IV:33 tidak berlaku dalam casus tersebut sebab a adalah penghubung_yang rnasih hidup, untuk siapa Ailah tidak mengadakan mawilT, sehingga hanya a ahliwaris.
Dalam casus-casus angka

III tersebut bolehlah berlaku hadith

Ibn 'Abbds (a ialah awli rajulin rJzakarin), demikian pula hadith Zaid: ,,tidak mewaris cucu bersama-sama dengan anak laki-laki", cuma harus lekas dibubuhi catatan,,karena anak laki-laki itu adalah ayah yang masih hidup bagi cucu-cucu itu." t 'lV ?,b merupakan casus-casus yang terletak di luarpandangan hadith Zaid, tetapi tidak di luar ralunat Allah swt, oleh karena ,,likullin" dalam sirrah lV:33 tidak hanya berarti Er llu t( Qr ,,bagi setiap laki-laki" tetapi juga ,,bagi setiap peoib 4b rempuan". Zaid agaknya menolak ra[rmat itu {\' db,' dengan nrisalnya menrpergunakan istilah dzawir'l' ,. 6A ': b arl.r-am dan akan .memberikan selunrh harta peninggalan kepada c. Menurut IV:33 maka dalam casus IV a akan diperoleh oleh a yz,. l, h dan c akan nihil sebab tidak mendapat berhak menjadi mawali bagi d (lihat halaman 65,7 1, sedangkan dalam casus IV b akan diperoleh oleh a213. x l13, b ll3 x l13 dan c 213 Dalam pada itu ajaran Zald itu tetap mempunyai harga, yaitu-nilai sejarah, yang membuktikan betapa kerasnSra di masa itu cekalan hukum adat 'Arab yang patrilineal itu sehingga orang sebagai Zatd tidak luput dari pengaruhnya. Cobalah kita hurbung.b

,* :{

ii

il
i3

108

kan ajaran Zaid itu dengan hadith pada S I huruf c, sewakttr R pertama kali menghadapi perkara kewariqan yang rnirip dengan casus II c diatas tadi, dengan perbedaan bdhwa waktu itu pr'rvaris ialah saudara bagi c dan bukan ayah sebagai pada ll c. Di rttasa jahiliyyah dua casus tersebut memang dianggap sejenis dan tunduk kepada garis hukum yang sama, yaitu garis ltukunr ),ailg juga menguasai casus II a dan Il b. Menurut garis hukunr tersebut..iika seorang laki-laki mati dengan meninggalkan janda, beranak atau tidak, maka saudaranya menurut pertalian patrilineal'bcrhak paksa untuk mengawini janda itu (bandingkan surrah I\r:19), berhak menguasai harta peninggalan simati yang ada pada janda itr"r iika ja:rda itu tidak beranak atau mempunyai anak yang bellrm de'uvasa dari simati, tetapi sebaliknya berkewajiban pula untuk mengurLls dan memelihara anak-anak simati itr"r seperti anaknya sendiri, untuk kemudian, bila anak-anak laki-laki simati sr"rdah dewasa, menyerahkan sisa harta peninggalan simati kepada anak-anak itu. Garis hukum tersebut akan berjalart beres menurut maksud baikrl1/a selagi hubungan-hubtrngan dalam keluarga yang bersangkutan terkungkung r4pi oleh pengawasan yang tajam dari kepala-kepala (syaikh-syaikh, datuk-datuk) dalam keluarga tersebut. Jika pengawasan tersebut mulai kendor, maka terjadilah pelbagai ke sewenang-v/enangan terhadap janda dan anak-anak yang belum dewasa itu. Di masa jahiliyyah itu hukum kewarisan itu btrat selanjutnya tranyak mengandung Llnsur-unsur collectif. Jika simati bukan saudara tetapi ayah, maka anak laki-laki tertua mengambil tempat seb agai pengganti ay&h, yang akan mengllrlls semua hal ihwal adik-adiknya dan hal ihwal anak-anak kepenakannya beserta ipar-ipar perernpuann ya.
Hal-hal inilah yang saya maksurd sangat mempengaruhi Zaid itu. ,;Kemajuan" Zaid dengan ajarannya itu ialah bahwa dia telah berhasil membelokkan htrkum kewarisan adat 'Arab yang agak bercorak kollektif ittr kepada suatu sistim yang berbentuk individuil. Saya beranggapan bahwa usahanya itu dilakukannya benar setelah tunrn IV: I l, 12, tetapi sebelum turunnya IV: 33, dan jika dilakukannya setelah turun IV:33 maka hasil karyanya itu membuktikan bahwa ia tidak sanggup mendalami maksud tyat tersebut, mungkin diperdayakan oleh hadith Ibn 'AbbEs yang
clalam membentuk garis hr.rkum menurut ajarannya

109

semata-mata menghubungkan IV:33 dengan urusan ukhuwWah antara Muhajirin dan Ang-ari (lihat g 2 huruf b). Pujian R kepada Zud ibn Thabit (S 3 huruf g) tidak boleh menyebabkan kita memandangnya sebagai orang yang mahatahu, sebab pujian R itu adalah relatif, tergantung kepada matcri, waktu dan nilai orangorang derrgan siapa Zaid dibandingkan, Bandingkan critik Ibn 'Abbds terhadap Zaid ($ 3 hunrf e). b)
Hu'r.atl

'bn Syurahbil menceriterakan bahwa

l)

menurut paham AbL Mush, jika ahliwaris hanya seorang anak perempaun, seorang saudara perempuan dan seorang anak perempuan dari artak laki-laki, maka anak perempuan dari anak laki-laki itu mendapat nihil dan harta peninggalan clibagikan salna rata kepacla anak percmpuan dan saudara
peremplran itur;
casus tersebut kepada anak perempuan itu yz, kepada anak perempuan dari anak laki-laki itu l16 (takmilah) dan sisanya

2)

tetapi nlgnurut paham lbn Mas'ird mesti diberikan


l13

dalam

itu kepada

sauclara perempuan

itu;
(Bukhafi)

3)

Abil Mirsi kecewa

Ibn

dengan paham Ibn Mas'hd itu, sedangkan Mas'-ud bersekuat trahwa pahamnya itu sesuai dengan

apa yang telah clitetapkan

oleh

Dtinjau dari sudut paham bilateral yang dianut oleh Qur'in itu mengenai kasus yang sejenis dengan kasus dalam hadith JEbir pada S I huruf c, yakni kedua-du anya mengenai hubungan antara garis lurus ke bawah dan garis sisi pertama. Dalam kasus Jatlir isi garis lurus ke bawah ialah anak-anak
rnaka hadith Huzail

't

R.

perempuan dan di garis sisi pertama saudara laki-lalci, sedangkan dalam kasus Huzail garis lurus ke barvah itu berisikan anak perempuan dan cucu pcrempuan dan Ci garis sisi pertarna sattd ara perempuan. Beda yang rehvant dan essensiil ialah bahwa kasus Huzail itu mempunyai persinggungan dengan .mawili bagr anak (IV:33). Pokok pertikaian antara AbIl ilflusa dan Ibn Mas'ud ialalr nasib mawili itu, hal rnana mernbuktikan bahwa ketetapail AAAh nxengenai rnaw?tli itu belum lagi diturunknn cli masa itu, sehingga orang mesti berjuang dengan surah IV: I I dan 12 saja, di mana nasib garis sisi pertama jika sirnati rneninggalkan ke-

1l0

turun&tr, .hal mana menyangkut soal keutamaan -) belum dapat dijawab langsung, karena Aileh belum menunrnl'.an penjelasannya mengenai arti kalilah, yang baru kemudian diberikanNya dalam. IV: 17 6. Berpedoman kepacla keterangan Ibn Mas'id bahwa pahamnya sesuai dengan ketetapan R, maka tentulah R -telah pernah mengadili perkara serupa. Maka jika pada kasusJ6bir R mengambil kebijaksanaan sementara, karena belum d apat secara tegas diketahu"tnya hal-hal keut amaan, yaitu dengan memberikan sisa, setelah dikeluarkan fari'id, kepada saudnra laki-laki, maka R telah bertindak consequent secara pemikiran bilateral, yang berprinsip perindahan yang sama antara laki-laki dan perempuan, sewaktu ia dalam kasus sejenis memberikan pula sisa tersebut kepad a saudara perrftpuan; hal mana ikut membuktikan bahwa R telah clirenapi melalui ayat:alat Qur'dn oleh paham bilateral. (Bandingkan 3 5 huruf b). Bahwa R memberikan I 16 kepada cucu perempuan sebagai takmilah dapat dipahamkan, karena hal mawlfi belum lagi diketahuiny?, dan setelah turun IV:33 dapat pula dipahamkan,lebih luas lagi dari paham Ibn 'AbbEs (S 2 huruf b) yang hanya menghubungkan ucapan R ,,nasakhat-ha" dengan ukhuwwah antara Muhijirin dan Ang-ari , bahwa ucapan R itu juga mengenai prakteknya tentang takmilah itu, yaitu ikut terhapus oleh IV:33 wajah pertama (likullin ja'alnE mawalia mimm? taraka' 'lw?lid-ani), sebab menurut IV:33 anak perempuan dalam kasus yang dimaksud oleh Ibn Mas'fid itu seharusnya mendapat I 13, cucu perempuan melalui anak laki-laki itu seharusnya mendapat 213, dan untuk saudara perempuan itu-nihil (bukan saja karena kehabisan pembagian tetapi kemudian setelah turun IV: 17 6 ternyata dari sistimatik Qur'fn bahwa saudara tidak boleh berhimpun bersama anak, karena anak mempunyai keutamaan lebih tinggi dari saudara). Hadith Huzail itu mempunyai persangkutan pula dengan ajaran Zaurd (S 6 huruf a) tadi. Menurut Zaid cuctt perempuan kelahiran anak laki-laki sama derajatnya dengan anak perempuan dan berhak mewaris dan mengftiiAb seperti anak perempua.n, yakni jika tidak ada anak laki-laki yang hidup. Sayang sekali Z?id tidak menerangkan lebih lanjut tentang hijab mengJrijab' bagi anak perempuan itu. Karena itu maka rupanya Abu.-Musa membentuk pahamnya sendiri, yaitu cucu perempuan dihijeb oleh

llr

Sebaliknya Ibn Mas't-tcl lnengakui clrcu perempllan itu sebagai semacam dzawu'lfarE'i{, tetapi dengan rnenyimpang dari ajaran Zaid maka Ibn Mas'frd tidak menyarnakan derajat cucu perentpLlan dengan anak perempuan, hal mana rnenyebabkan pembagian I lA sebagai takmilah untuk cllcu perernpuan ittr . Takrniiah '*i?titudnya msmperlepgkapi angka Yz untuk seorang anak perernpuan menjadi 2 3 uniuk dr"ra orang anak pcrenrpuan. Jika diikuti ajaran Zaid secara consequent maka seharusnya cucu perempuan itu mendbpat l13 dan anak perempuan itu juga l13. Akibat dari pahari Ibn'Mas'lid itu iala]r jika ada dua orang anak perempuan atau lebft yang berhak fafE, i{ maka angka fara'id 2lS untuk.'inerekd tidak dapat l+gi ditakmilahkan (disempurnakan), sehiri gg? akibatnya cucu perenlpuan itu tidak akan mendapat apa:apa. Dengan diikuti ajaqan Zaid secara consequent maka jika umpamanyaada 4 orang'anak-perempuan dan dua orang cucu perempuan kelahiran dari' anak laki-laki yang telah mati terlebih dahulu, rnaka 6 orang perernpuan itu akan mend apat masing-masing Ile x 213. I Kesamaan paham antara AbU MilsE dan Ibn Mas'ud ialah pandangan mereka terhadap saudara perempuan itu sebagai orarlg yang berhak mendapat sisa setelah dikeluarkan far6'i{ yaitu hak sebagai aw,ld rajulin dzakarin, yang tersebut dalam $ 5 huruf a. Saudara perempuan sebagai awld, rajulin 'dzakarin itu dinamakan 'agabah ma'a'lghairi, {.ngan gytrat rnEstilah tidak ada lagi seorangpun 'apabah binafsihi Oln karena itu mestilah pula berhimpun dengan hanya Keturunan, perempuan dari sipewaris. 'dapat Syarat yang sedemikian tentulah tidak dipenuhi jika sipewaris bukan laki-laki tetapi seorang pqrempuan, karena dalarn hal ini maka keturunan perempuan dari simati tidak se'upbah dengan saudara perempJan simati itu, kecuali jika sirnati se'usbah dengan mendiang suaminya dengan siapa dia kawin endogarni. Jadi jika simati perempilan dan perkawinannya, seba112

clapat dihijeb atau menghiiaU, sedangkan soal jatrh dekat derajat seseorang dari atau kepada simati tidak menentukan ukuran keutarnaan sebagai dasar hijab.

dihijab oleh saudaia perempuan, walaupun jarak clerajat dari mereka sampai kepada simati sama-sama dua deraj at- Paham Abil M[s[ itu tidak dapat diterima karena dzawu'lfara'id tidak

anak perempualt yang berhak fara'iql, ya malahan cucu perempuan

gai biasanya dalam masyarakat 'Arab, berbentuk exogalri, maka saudara perempuan tersebut tidak akan mendapat apa.apa, sehingga sisi harti peninggalan terpaksa diraddkan kepada keturunan pergmpuan dari mendiang perempuan tersebut, yaitu jika aiituti pembagSan menunrt bandingan r/z lawan 116, maka radd kepada lnak perempuannya % sisa dan kepada cucu perempuannya % sisa. Tidak termasuk sama sekali pada kasus hadith Huzail jika cuctt perempuan itu kelahiran anak perempuan. Dalam hal ini telah bersepakat Ahlu'ssunnah wa'ljam-a'ah bahwa cucu jenis itu seb agat dzawlrl'larhEm, tidak mendapat apa-apa, sehingga Ab[ Mfrsi dan Ibn Mas;frd sama-sama akan menetapkan bahwa anak perempuan mendapat tlz dan saudara peremp.uan juga I t2-Untuk keperl.ratr pemb aca baiklah di bawah ini digambarkan semua Uentuk-beniuk hubungan yang dibicarakan dt atas tadi (dimana p itu laki-laki atau PeremPuan).

+P
I r

l\ '[}l 'Fi(.i)
3

A i(.t)

a\*(.&)

Nomor I s/d 5 di atas itu adalah selaras dengan alam pikiran Ahlu'ssunnah wa'ljam-a'ah, tetapi menurut sistim bilateral berdasarkan eur'En maka pembagian sebagai berikut: 5 3 1dan2

oA\ 'i\ o'a+ o "'i +Y *(* r) At A+ A *t)


o{\
-

aO

o I\ /M*(*.*)
A*(t.*;

*(+

yang patrilineai ialah bahwa pada sistim dan sistem bilateral menurut Qur'a--n
perbed aan essentiel antara Ahlu'ssunnah

bilateral itu saudara perempuan dalam kasus-kasus tersebut selalu mendapat nihil karena termasuk kelompok yang kurang utama dan bahwa cucu perempuan selalu mendapat bagian sebagai mawili.
I

l3
D:

Selanjutnya tidak dibedakan apakah pewaris (p) laki-laki atau perempuan dan ataukah simawili kelahiran laki-laki ataukah kelahiran perempuan, demikian pula apakah simawlli perempuan ataukah laki-laki (selaras dengan emancipasi yarrg diberikan oleh Qur'dn kepada perempuan, dan renungkan pula perobahan wang jujur menjadi mahr dalam per-emancipasi-an itu).

Jabal sewaktu bertugas di Yaman membagikan harta peninggalan seorang laki-laki, yang hanya meninggalkan seorang anak perempuan dan seorang saud ara perempuan, kepada anak perempuan itu yz dan kepada saudara perempuan itu r/z pula.

7. Saudara. a) Al-Aswad 'bn Jafrd menceriterakan bahwa Mu'6dz'bn

(BukhEri) Yaman tunduk kepada kekuasaan Al-Isldm semenjak tahun 9 H, yaitu pasti setelah diturunkan semua ayat-ayat kewarisan , termasuk yang teraldeir yaitu IV: 17 6, sebab perhitungan yang selambat-lambatnya bagl turunnya surah-surah IV dan XXXIII ialah sebelum tahun 8'H. Satu antara dua: atau Al-Aswad mempraktekkan lagi ajaran lama seperti ajaran Abu MfrsI atau Alfuwad mempunyai pengertiannya sendiri tentang kalalah, yakni diartikannya sebagai ,,mati dengan tidak meninggalkan anak laki-laki atau keturunan laki-laki secara patrilineal", sehingga jika simati hanya meninggalkan anak perempuan' atau keturunan melalui anak perempuan maka si mati itu telah mati punah atav mati kalalah menurut pengertian Al-Aswad itu, dan dengan demikian dapatlah dipergunakannya IV: 17 6 ,,laisa lahD waladun walalrlr ukhtun falaha nisfu" (tiada baginy a anak laki-lnki dan ada baginya seorang:'saud ata perempuan maka,untuk saudara peremawllpuan ifu yz). Disamping itu dibacanya pula IV:1 I 11 ..i fi dikum ... wa in kanat wdridatan falahd"nnisfu" (mengenai anakanakmu ... dan jika hanya ada seorang anak perempuan maka bagrnya yr). Demikianlah keluar ponis Al-Aswad : untuk anak perempuan /z dan untuk saudara perempuan yz". Nabi sendiri tidak pernah memberikan penjelasan itu dalam IV: 17 6, sedangkan arti walad telah cukup jelas dari pernakaiannya dalam IV: I l, dikuatkan lagi dengap sistim bilateral yang dipergunakan oleh Qur'dn (lihat Bab Vi B $ 4 kitab ,,Hukum Kewarisan Bilatera,l

It4

" ) dan dengan arti walad di mulut Rasill walad berarti setiap macam anak, baik laki-laki rnaupun perenipuan. Dengan demikian maka arti kalalah sebenarnya ialah wwti punah total ke bawah,tidak meninggalkan seorang anakpun juga, baik anak laki-laki mauplln perempuan dan tidak pula berketurunan selanjutnya baik melalui anak laki 'laki maupun melalui anak perempuan. Karena itu maka ketetdpan Al-fuwad itu batal sebatai-batalnya ! Dia tidak boleh menggabtrngkan IV: I I a,b,c,d dengan ayat-ayat kal6lah, h{engenai ajaran atau praktek yang telah'manslrkh seperti dimaksud cli atas ( lihat S 6 huruf b) diulangi disini bahwa orang-orang yang di garis sisi tidak boleh, menurut sistimatik.keutamaan dalam Qur'dn, mewaris bersama-sama dengan orang-orang di garis lurus ke bawah. karena mereka ini mempunyai keutamaalt yang lebih tinggi dan. karena itu menutup sernua orang di garis sisi. Mansilkhnya itu teriadi setelah turun lV: 176, sebab setelah turunnya ayat tersebut maka telah dapat diketahui se'luruh perihal keutarnaan itu Tegasnya merlgenai hadith Al-;\swad ini maka yang mansfikh itu ialah pengertian Ahlu'ssunnah wa'lja ma'ah tentang 'a.sabah ma'a'lghairi sebagai kelanjutan dari paham mereka mengenai awld rajulin dzakarin (S 5 huruf a, S 6 huruf b). Menurut ajaran keutamaan dalam sistim bilateral menurut Qur'6n itu maka seharusnya dalam kasus Al-Aswad itu diberikan seluruhnya kepada anak perempuan itu (faf id lz + rad d yz).

(hl 31'), yaitu

tneiturut Al-Qur'dn

ti

b) 'Afi menetapkan bahwa jika seorang perempuan madengan meninggalkan hanya duda dan seorang saudara laki-laki

seibu, sedangkan dua orang tersebut adalah pula saudara sepupll bagi simati, yaitu bapak-bapak mereka adalah saudarasaud ara sebapak, maka duda mend apat y, (IV:12), saudara tiri seibu mendapat 116 (IV:12 kaldlah), sedangkan dari sisa yang sebesar I 13 diberikan lagi lA kepada duda dan I 16 kepada saudara laki-laki tiri seibu (sebagai pembagran untuk 'agabah). ' '
1

(Bukhef).

Lihat gambar F. Dari hadith itu ternyata bahwa 'Ali menberayah lagr dan mentafsirkan kalalah IV: 12 sebagai ,,mati tidak'ada meninggalkan tidak pula beiketurunan apapun juga tetapi saudara tiri seibu", sehingga IV:176 sebagai consequensi ajaran tersebrtt mengatur katrlah dalam arti: ,,mati tidak berayair lagi dan

il5

dan tidak pula berketurunan apapun F juga, tetapi ada nreninggalkan saudara lcandung atau saudara tiri sebapak", atau sebaliknya ajaran mengenai kalElah IV: 12 itu adalah consequensi dari ajaran 'Ali di bawah ini ($ 7 huruf c) mengenai kaldlah IV: 17 6. Syarat bahwa bapak telah mati terlebih dahulu ternyata dari membagikan stsa llS itu kepada dua orang ahli-waris tersebut di atas setelah kepada mereka diberikan hak fari'id, yaitu kepada duda t/z dan kepada saudara laki-laki tiri

('a;abah terdekat). Karena ayah telah mati maka 'agabah-'apabahberikutnya ialah dua orang sepupu itu, yang sama derajatnya, dan karena itu sama pula bagiannyz, yaitu masing-masing 116, sehingga sampailah kita kepada hasil pembagian yang' ditetapkan 'Ai, yaitu untuk ,,duda serta saudara sepupu" /z+ llS = 213 dan untuk ,,saudara tiri seibu serta saudara sepupu" l16 + I16 - l13. Menurut sistim kewarisan bilateral, yang tidak memberikan kedudukan istimewa kepada 'agabah selain kedudukan biasa selain ked.udukan biasa sebagai Ulfl'l'arhE'm dan tidak membedakan ant4ra saudara kanduflg, saudara tiri sebapak dan saudara tiri seibu, dan dalam hukum kalalah memakaikan IV: l2 jikaayah rnas_rh hidup dan memakaikan IV: 17 6 jika ayah telah mati ( lihat Bab VII kitab ,,Hukunt Kewarisan Bilateral nlenurut Al-Qur'drt) - 1 maka dalam kasus tersebut di atas diberikan kepada duda hak fard'idnya yang t/z dan sisanya hanya dibagikan kepada yang disebut saudara tiri seibu itu berdasarkan hak saudara (seayah atau semak) dan dalam kasus hanya ,,misan" atau ,,saufl ara sepupu" sedatuk tidak mendapat tambahan extra, dengan hasilnya mereka mendapat sama banyak. Jika ayah masih hidup maka menurut sistim bilateral duda mendapat r/2, saudara tiri scibu (ataukah $audara tiri sebapak, apakah saudara kandung)mendapat U6 dan ayah mendapat.s$a sebagai dzawil'lkarabat,. scdangkan ju.ga semua mereka dimasukkan ke dalam kelornpok kcutarttttan kedua.

seibu | 16. Jika ayah masih hidup maka menurut ajaran Ahlu 'ssunnah mestilah sisa Yz setelah dikeluarkan far6'i$ untuk duda itu diberikan kep ada ayah itu sebagai awld rajulin dzakarin

c) 'Ali berkata:
I l6

anna a'ylna barrl'['unr

rrr

i yutawl

rathTrna duna bani'l'allati; anajulu yarithu akhDhu li ab'ihi wa ummihi d[na akhihi li abihi." - (Attirmidzl tUn Majah, dari M i st, kd t' I rnasdbllt dan menurut lr/ail' I'At+, titr hadith tersebut juga dijumpai pada Ahmad) Artinya: ',,saudara-saudara laki-laki

kandung saling mewarisi dengan menyingkirkan saud ara- saud ara tiri sebapaknya". A'y?nu bani'l'ummi ialah saudara-saudara kandung, banfr'l'alldti ialah saudara-saudara tiri sebapak. Mennrut Il[isl; kdt'Inta;db\h maka Add6rami mempergunakan istilah al'ik ltw,at u ntinal' untnti untuk saudara-saud ara kanduilg, istilah yang sangat aneh jika diartikan semata-m ata menurut kata demi kata , yaitu ,,saudara-saudara keluaran dari mak" yang meng-

laki-laki

ingatkanorangkealammatrilinealsepertidiMinangkabau ,,saudara-saudara seperut". Tetapi perkataan um{n tidak perlu

berarti mak, mllngkin jtrga berarti lain seperti dalam ummu'ttarik (tengah labuh). Mungkin maksudnya: ,,saudara-saudara yang berkedudukan sama tengah" yaitu antara mak dan ayah. Saya singgung hal ini sebab ada duga-dugaan seakan-akan masyarakat 'Arab itu semr-rlanya ada mengenal hubung-hubun&an sistim yang matrilineal.

'Ali kala innakum takra'tina hadzihi'l'dyata min ba'di wasiyyatin tilsfina bihii aw clainin wa anna rasillalla]ri s.i.w. qagla bi'ddaini qabla' lwasiyyati wa anna a'fana bani'l'ummi yatawf,rathtina dltna bani'l'alla-ti; arrajulu yarithu akh-ahu li abihi wa ummihi dfina akliihi li aUJtri." Artinyar ,,clan dari 'Ali, berkata 'Afi: ,,kalian seclang lnernb aca ayat ini: min ba'di vvasiyyatin tisilna biha ovv rJdinin dan Rasulullah s.'a.w. telah menetapkan bahwa hutang mestilah dibayarkan setrelum wasiat (lihat $ 4 huruf c) dan bahwa saudara-saudara kandung saling mewarisi dengan menyingkirkan satrclara-saudara tiri sebapak; laki-laki mewarisi saudara lakilaki kandungnya dengan menutup saud ara laki-laki tiri sebapaknya." Ayat yang clikatakan sedang orang baca ittr, Yakni
1t7

Dicatat bahwa Buktr6ii ticlak mengambil alih l.racliih qarvl 'Alf, mungkin karena Bukhari tidak yakin bahwa qawl (pe$ata-an) itu bersih dari semla kecurigaan. Memang qawl .'nti itu dalam perangkaian bentuk lengkapnya sangat mencurigakan seakan-akan ada tangan gelap yang berusaha untuk menawarkan clawl itu seakan-akan ia sunnah Rasirl. Dalam perangkaian bentuk lengkapnya qawl yang diramakan qawl 'Ali berbunyi: ,,wa 'an

,,,min ba'di wasiyyatin tusuna biha aw dainin"

(artinya:

sesudah

jika

wasiat yang engkau laki-laki perbuat atau hutang) ialah lY:12 mengenai hak kewarisan untuk janda, sedangkan urusan mengenai a'ydnu banl'l'ummi dan banil'l'aileti adalah bersangkutan dengan soal kalalah IV: 17 6, yang tempatnya pada akhir s-urah IV itu ada kira-kira sejauh 20 halaman terpisah dari IV:12. Tidak mungkin jari 'Ali menunjuk IV;12, mulutnya menyebut hadzihi (= ini) sedang mata atau pikirannya Inenyeleweng ke IV:176 yang terdinding setebal atau terpisah sejauh 20 halaman dari jarinya itu. Siapa yang telah menjadikan 'Ali seperti itu Alldhu 'alam Tidak dapat dielakkan kesan bahwa semulanya memang ada hadiTh dari 'A[ yang menyampaikan ketetapan Rasil bahwa hutang mempunyai keutamaan yang lebih tinggi dari wasiat, yeng kita percayai benar seb agai sunnah Rasill, tetapi kemudian ada tangan atau nrulut yang menambahkan ,,w& anna a'yana dsb ." yang tidak ada hubungann),a dengan keutalnaan hutang; dan tambahan ini, sebab janggal bunyinya sesudah flr6'id janda dan lrutang atau wasiat, membikin orang curiga; yang dicurigai apakah benar tambahan itu termasuk sunnah rasill atau tidak. Oleh karena ada keragu-raguan itulah juga agaknya mengapa Bu khe;i yang sangat teliti itu tidak memasukkan hadith tentang qawl 'Ali itu di dalanr himpunan lradithnya. Diulangi disini bahwa selaras dengan sistim bilateral, Qur'En tidak mernbeda-bedakan antara macam-macam saudara itu dalam urusan kal6lah. Bahwa'Af sendiri berpendapat bahwa lV: 176 mengenai saudara-saudara kandung dan saudara-saud ara tiri sebapak, dapat langsung disimpulkan dari S 7 huruf b, dan ketetapan 'Ali sebagai ilIfr'l'amri hanya dapat diterima jika tidak bertentangan dengan Qur'dn, dan sesudah tidak bertentangan dengan Qur'5'n tidak pula bertentangan dengan sunnah Raslrl,
ada.

S 8. Ibnu Ukhtt.
Anas 'bn Melik menyampaikan bahwa R berkatjl: ,,'bnu ukhti'iqawmi minhum aw min anfusihim." (BukhEri; AddIraml dan menurut Misyk-at'lmaslbih : ntr"rttafaqLlnt'alaihi. ) -

il8

Artinya: ,,anak laki-laki yang lahir dari saudara perempuan


termasuk ke dalarn keluarga dari orang yang bersaudarakan sauda-

ra perempuan itu." Tidak ganlpang menterjemahkan hadith ini. Orang dapat juga terjemahkan sebagai berikut: ,,anak laki-laki termasuk keluarga paman pihak maknya" atau ,,dalam setiap keluarga jika lahir anak laki-laki maka anak itu termasuk keluarga itulah jika maknya bersaudara dengan orang dalam keluarga itu" dan sebagainya. Meskipun apa juga terjernahannya, maka soal ialah: kenlana tnasuknl,s anak peren"tpuan dari saudara peretnpttan_ittt jika ibn diartikan senluta-rnata sebagai atnlc lalci-laki ?l $aditlt itu tidak dapat diterjemahkan jika kita lepaskan diri dari
masyarakat orang yang berbicara. Yang berbic aru ialah R, seorang 'Arab di dalam masyarakat 'Arab. Menurut peraturan hukum adat 'Arab mengenai perkauman atdu kekeluargaan, maka anak dari saudara perempuan termasuk ke dalaln golongan ('usbah) suami-

nya, baik anak laki-lakinya mauplln anak perempuannya,

clan

ticlak termasuk ke clalam golongan patrilineal dari orang keluargir yang menyebut saudara itu. Misalny&, jika yang menyebut saudara ialah saya, maka saya berkata: ,,anak-anak saudara perent pLlan saya tidak termasuk ke dalam keluarga (bani, qawlil, 'Usbah) saya, tetapi tenlasuk ke dalam keluarga suami saudara perempuan saya itu, karena kami dalam masyarakat 'Arab hidup berclan-clan darr melakukan perkawinan secara patrilokal dan exogam". Maka datang Rasulullah yang mendengar perkataan saya itu, lalu ia berkata: ,,Anak-anak saudara perempuan kamu itu, hai Hazairin , termasuk ke dalanr kaum kamu dan adalah darah kamu dan darah kaum kamlr. Saya tidak katak an setnata-ntata termasuk ke dalam kaum kanu". Inilah ,,terjemahan" yang sewajarnya bagi perkataan Rastrl itu, yang berkewajiban memberikan penjelasan tentang hidup dan susunan kekeluargaan, cuma cara beliau berkata disesuaikannya dengan hutrungan-hubungan masyarakat setem pat , yaitu masyarakat 'Arab. Perkataan R itu di tengah-tengah masyarakat yang patrilineal, sllngguhpun kata-katanya sangat sederhana, telah cukr.rp untuk merasakan bahwa alam pikiran R bukan lagi alam pikiran patrilineal. Jika qawl R itu tidak tahu kita rnenempatkannya dalam hubungan yang sewajaffiyz, maka qarvl R itu dapat dibelokkan ke arah matrilineal. Tiga macam terjemahan yang diberikan mula-mula tadi, karena hanya mempedomani arti kata-kata belaka, akan membawa orang tersasar
119

,,tiirr

,)".

'{'

kepada pengertian-pengertian matrilineal. Hanya penjelasan dengan memakai contoh mengenai diri ,,saya" tadi, yaitu dengan menempatkan qawl R itu dalam surroundingni'a (dalampersangkut-pautannya) , sanggup menghambat kita terpeleset kearah rnatrilineal, dan juga pemakaian kata il'nLl (anak iaki-laki ) sebagai lawan dari ibnatu (anak perempuan) tneitrbantu kita pula sectikit untuk waspada terhadap kemungkinan terpeleset ke arah matrilineal. sebab rlalam pemikiran matrilineal ibnatu-lah yang menduduki ternptt yang utanra bagi adanya qawrn. Saya katakan ,,sedikit" kare.na juga ibnu dalam sistim.matrilineal termasuk kaum ibullya .atau kaunl paman pilrak ibunya. walaupLll't tidak melgambil tempat yallg meltcntukart untuk kelarljutan adanya kaum, sebab ketLrrullan dlri anak laki-laki tertnasuk ke lain kaurn. Dalam pada itu pemakaian kata ibntr itu disanrping kata ukhti mengobah dalam qawl R itu arti ibnu itu sendiri menjadi ibnu da1 ibnatu. Untuk memahailrkan perobahan arti itu lilratlah gambar G. A adalah orang clari kaurn K dalairr masyarakat 'Arab, rffi?k? b (saudara kandung bagi perempuan A) tentulah pula orang K' Menurut qaul G o:l R maka e (anak laki-laki bagi b) adalah u{ be pula orallg K.'Menurut qaul R juga maka c aA,C.anak laki-laki dari d (saudara perempuan "h Aiot kaldung bagi c) adalah ibnu'lukhti bagi c dan karena itu sekaum dengail c, demikian pula sekaum dengan b dan A. Bagaimana si cl'l Perempuan a adalah kelahitri dari perempuan b. orang K, dan pere*plun d melahirkan pula e orarlg K. orang yang lahir clari brang'K, dan melahirkan oturtg K, atau polton yang timbul dari batang pisang K dan kemudian menimbulkan pula anak pisalg K, puititutt orang K pula atau pohon pisang K pula' Alhasilnya a, anak perempuan dari b atau saudara dari c, adalah pula orang dari kaum K. D.ttgan demikian maka telah terbuktilah perpindaltan arti dari ,,ibnu" kepada .,ibnu dan ibnattt", sehingga dalant qawl R itu ibnu berarti setiap AnAk, laki-laki atau perempuan. Dalam masyarakat 'Arab, dimana R telah mengetuarkan qawl-nya itu, telah dengan sendirinya dipahamkan bahwa anak anak dari seorang laki-laki telah termazuk ke dalam qawmnYn, sehingga anak-anak bagr c dan e juga termasuk kepada kaum K' pula sebab c dan e adalah otuttg-orang K, sehing Ev f ,E,h,i, adalah

{1,

120

.ii

*' ii 't

untuk sistim patrilineal !dniSberalih-alih dibutuhkan adanya dua bentuk perkawinan dalam masyarakat y,ang patrilineal itu, yakni selain perkawinan yang patrilokal (kawin jujur yang exogam) juga perkawinan yang matrilokal (kawin semendo yang exogam), sebab adanya perkawinan semendg ]'ung matrilokal exogam itulah membukakan pintu bagi timbuilyr ;sistim beralih-alih" dalam masyarakat patrilineal itu. Sifat patrilokal pada perkawinan Isldm itu berbeda sekali dengan sifat patrilokal pada kawin jujur yang mesti pula exogam itu, sebab barang-barang'yang merupakan jujur itu dipemntukkan bugi kelLrarga ayah siperempuan itu sebagai ,,Peflgganti" untuk perempuan itu, sedangkan mas kawin (mahr) secara Isl-am itu adalah tequntuk bagi siisteri itu sendiri dan bukan sebagai ,,pnggantiny?", sehingga kesamaan yang tinggal dalam pengertian patrilokal pacla perkawinan Isldm dan kawin jujur ialah hanya arti inti dari patrilokal itu ienctiri yaitu siisteri rvaiib mengikuti suami (sedangkan arti matiilokal ialah siisteri tidak berkewajiban mengikuti suami). . Jika kita pakai$an 'sistim kewarisan' bilateral kepada gambar tersebut, maka.A jika ia laki-laki mendapa! 213 dan b 113,, dan jika b mati terlebih dah.ulu, maka d sebagai mawalibagi b mendapat l13 x l/3 dan c sebagai mawdli bagi d mendapat 213 x t13, dan jika c dan d telah mati terlebih dahulu pula maka e sebagai mawilIbagi b mendapat 113 x l13, f sebagai mawdli bagi b meridapat 113'x 213 x ll3 dan g sebagai mawdli b.agi b mendapat 213 x 213 x I13, dan jika e ,f,g teiah mati terlebih dahulu pula seperti b,c,d,'maka h sebagai maweli bagi b mendapat 213 x | '3 x l13 dan i sebagai mawdJi bagi b mendapat l13 x 113 x ll3. Dalam 'sistim Ahlu?ssunnah maka jika b mati terlebih dahulu maka A saja yang akan mendapat seluruh harta peninggalan itu serlangkAn c,d,e,f,g,h,i boleh mbnonton yvalaupin ntereAn rnenurut qau,l R ,, min anfusihi" (sebagirl dari dirinya) atau ,,tllitr qawtttihi" (termastrk kaumnya). Alasan mengapa mereka hanya boleh menonton itu ialaht ,,A adatan 'a$abah se-

orang-orang K. Maka gambar yang kita bicarakan itu bermuat semata-mata orang-orang K, bukan secara matrilineal dan bukan pula secara patrilineal, tetapi ituloh'secoro bilateral. Murid- murid saya .yang kurang hati-hati mungkin akan berkata bahwa gambar itu menggambarkan k.luarga ,,p&trilineal yang beralih-alih. " Jawab saya: ,,bukon'!",'karena perkawinan IslEm itu hanya satu bentuknya dan sifatnya hanya semata-mata patrilokal, sedangkan

t2t

dangkan C,d,e,f,g,h,i aclalah cl:awtt'l'(tt'lutrtt" dengan,tidak fnemikirkan apakah ai an tara dzawD'l'arham itu acla niwalf ti ukhtihi (rnawlli bagi rne,ncliang saudara perempuannya) ! !

S
al

Bcrkata Abil Bakr, Ibn 'Abbis dan lbn'l-Zubair: ,,Aljaddu ,un" (datuk ialah ayah). (Bukhafi)

9. a)

Dutu k.

kepacla kcturunan tbrlhlm , yang selnasa turunnya ayat itu, katikanlalr, sebelum tahun 7 H, terbagi atas dua golongan yang sangat bertentangan, yaitu golongan Isldm dan golongan jahiliyyatt (golorlgalt musyrik, golongan penyembah berhala). Ja;rgankan sampai tahun 7 H, ya sampai sekarang keturunan lbr-aihim itu ur;lgmnya nrasih saja menentukan garis keturunannya secara patrilineal, sedangkan katakanlah sernenjak tahun 7 itu Allah mere ka telah menyuruh mereka mengobah cara itu menjadibilateral. Dalam sistim clan patrilineal yang mereka anut, memanglalt lbrdhi-rn rnenjacli ayah asal bagi mereka. Tetapi apakah di mata Allah, mertua Ismd'il (ayah dari istei Isma'il) bukan pula ayah bagi anak Ismi'il? Tidakkah anak Ismi'il itu bukan saja berdatuk kepada Ibrdhinr tetapi juga berdatuk kcpada mertua Isma'il ? C\rma datuk yarlg berpangkat ,mertua bagi Ismd'il tidak mem bawakan suatu rlillah yang climaksud oletr Allult, tetapi datuk yang berpangkat ayah bagi Isrna'il, yaitu Ibrdhim 1da membawakan millah yang berpokok kepada Tawltid. Bagi Alleh datuk yang berketuhanan yang mahaesa itulah yang penting, bukan datuk yang ticlak berrnillah sebagai yang clirnaksud. Lagi pull tidak t.tutrg bagi orarlg b:rnyak itu jika hanya disebut ,,nrillata abikum", sebab bukan rn:rin banyaknya aba'mereka setelah Ismd'il dal Ishaq, l-',aik di kalangin Quraisy nlaupun cli luar Quraisy, yang

Paharn ,,datuk ialah ayah" didasarkan oleh mereka kepada XXI l:l 8 clan XII:3 8. Pada XXII:78 tersebut ,,millata ablkum Ibrdttfina ' (aganra ayah kamu-orang .lbrdhim). Nyatalah bahwa Ibrahim atlalah ayah bagi ,,kamu orang". Siapakah ,,kamu orallg" itu'l Selr,rruh ntanusia di duniakah? Tentu tidak, sebab antara tbrihirr clan Adarn telah turun temurllll sekian banyak laki laki clan perentpuan yallg menjadi nenek moyang bagi manllsia, sedalgkan yang menjadi keturunan bagi lbrdhTm hanya sebagian kecil saja clari nranusia seluruhnya. Ayat tersebut iranya di'rujukan

t22

menjadi bapak tidak keruan, yaitu penyembah berhala, sebab itu Allah perlu memberi ingat, supaya jangan diteruskan mengikuti bapak-bapak yang tidak keruan, tetapi kembalilah kepada ke bersihan Tawhid yang telah menjadi tuntunan hiOup bagi bapak yang dimuliakan Allah itu, yaitu ikutlah ,,millata abikum Ibrahima" sebagai sekarang telah diperlengkapi oleh Al-Qur' a-n, sehingga telah menjadi sempurna untuk pakaian hidup semua manusia. Hukum kewarisan yang dibawakan oleh Qur'dn, demikian juga sistim kekelualgaan yang dijadikart dasar bagi hukum kewarisan Jtu, sekali-kali bukafl mill ata lbrahiffi&, tidak dikenal oleh Ibrdhim, oleh lsmZ'i[, oleh AdnEn, oldr Quraisy;'oleh'lshdq , oleh Ya'khb, oleh MDsa, oleh Da-wud, oleh Sirlaimiln, oleh 'Isd dan baru saja diperkenalkan kepacla Muhammad disekitar tahtin 'l itulah clan merombak pengertian abd' secara lama itu dengan menggantinya dengan perngertian abd'' secara baru , yaitu setiap penghubung yang laki-laki, ay3h dari ayah, ayah dari mak, ayah dari mak dari ayah dari mak dari mak, dan bukan lagi seperti dahulu hanya"ayali dari ayah, ayah dari ayah dari' ayah, ayah dari ayah dari ayah dari ayah, sehin gga ,,al-jaddu abun" yang dipahamkan secara patrilineal oleh Abil , Bakr'c.s: "itu dan didasarkannya kepada XXII:78 sekali-kali bukan landasan bukti lagi untuk keperluan hukum yang terbaru yang disampaikdn Alleh melalui Muhammad kepada kita selirruh ummat. Menufut hukum yang baru ini sdtiap penghubung itu,'apakah id laki-laki ataukah pereppLlan, menaapirt pe.rnilai?ttttya s'endiri:sendiri mdnurut keutanraannya 'dan tidak dapat.lagi, disamaratakan ataS landasan ,,aljacldu abun" ala'Atiu'Bakr itu. Bahwa di kalangan sabdbatada pihak yang tidak setuju dengan paham Abil Bakr cs. itU ternyhta dari $ 3 hurul' e,cli manaZaid'bn Thabit tidak bersedia menjadikan ayah dari ayah seperti ayah
Pacla XII:3 8 tersebut perny ataan Yiisuf bahwa dia mengikuti aganra bapak-bapaknya, Ibrdhim, ,ls[rdq'dan Yd'kub. Memang benar, sebab sebelum turun Al-Qur'An maka dalam keluarga Yfsuf dan masyarakat Yfrsuf hanya berlaku sistim keturunan yang patrilineal, tetapi setelah Al-Qur'dn (IV:23 yo 24) mempioklamirkan sistim bilateral sui generis untuk pengganti lain-lain sistim kekeluargaan, maka pengertian ,,ayah" atau ,,datuk" meluas berlipat-lipat ganda, yaitu umpamanya bukan saja ayah pihak

t23

ayah tetapi juga ayah pihak mak sungguh legal trntuk menjadi datuk, sehingga Yfrsuf, jika dia hidup di dalarn sistim Isldm model Al-Qur'[n, dan karena itu bernenek moyang secara bilateral, wajib menambahkan kep ada lbrahim, Ishdk dan Ya'kDb lain-lain nenek moyang lagi, yaitu ayah bagi nrak Ibr?ihim, ayah bagi mak Ishdq o ?yah bagi mak Ya'kdb, ayah bagi mak mak Ya' krIb dsb, maka baru didapa;t.,,ayah" atau ,,clatuk" saja bagi Ylisuf' belum lagi ,,mak" dan ,,nenek" yang wajib pula {ipgrhitungkan nYv, diantaranya mak lbrdhim, mak mak lbrlhim, mak ayah Ibrdhirn, mak Ishdq, mak mak Ishak, mak ayah IshEq'dsb. Coba perhatikan gambar No.ll hurutf B., halantan l9 kitab ,,[[cn(lul; l;enutnu [[trkunt Isldnt't", maka pada gambar ts yang di pihak kiri acla cligambarkan Y[suf dlngan tanda segi cnrpat,dinrana ia secara bilateral mempunyai 7 orang,,ayah" darl 7 orang,,ntak" dan itu haltya baru tiga generasi ke atas!Mcnurui sistirn patrilincal tnaka dalarn gan-lbar tersebut Yfisuf hanya mcntlrr.rnyai tiga orarlg ,,'ayah", yaitu ayahny4, ayah dari ayahnya, clan ayah dari ayah dari ayahnyo, sedangkan yang 4 ormg lagi, tiga orallg cii turaf poyang dan seorang di taraf datuk*ubukanlah ,,xyah" bagi Yfistrf. seclartgkan ,,rnak" clengan siapa Yursr-rf ada sangkut paLrt hak dan kewajiban curna ada tiga orang saja, yaitr.r perrrmpLlan yang ntelahirkannya, nrak dari ayahnya, clan mak dari ayah clari ayah. ilyo, sedangkan 4 orang,,tnak" lagi cllnta nlr.rngkin setinggitingginya kenalan baik atau kenalan rapat saja bagi Ylrsuf, yaitu sama saja dengan 4 orang laki-laki yang bukan ,,ryalt"nya tadi. Dengan demikian maka dalil yang dikemukakan olch tiga orang sahdbah Rasr-rl tadi, , telah ntettiacli batal, dan hanya berupa kebcnaran historis saja, yang dulu nlempunyai arti secara exclusif dalanl hukum, tetapi kemudian tidak lagi exclusif dan bertukar rnenjadi . inclusi.f' dengan effectnya pengluasan seluas-luasnya hidup kekeluargaan Isldm. Dalil ,,datuk ialah ayah" secara patrilineal itulah yang diganjalkan oleh Ahlutssunnah untuk menjadikan ,,datuk" ( ayah dari ayah, ayah dari ayah dari ayah, &yah ayah ayah ayah, clsb.) sebagai dzawfi'lfaf id jika ayah tidak ada tetapi ada keturunan bagi simati (IV: 1l d). Jika juga ,,datuk" akan dijadikan dzawil' lfara'id dalarn hal tersebut, maka hendaklah pengertian ,,datuk" itu diperluas sehingga terhimplln semLta ,,detulc" menurut sistim

r24

Al-Qur'6'n yang bilateral itu, dan sudah itu dipikirkan soal keutamaan ataupun soal tlijab mengtrijab terhadair mereka.

b) HaOittr Ibn 'Abbds ($ 3 huruf e). Di sini ternyata bahwa Zaid ibn Thebit tidak sepakat untuk menjadikan ayah dari ayah (datuk) seperti ayah. Saya kira keengganan Zaid itu adalah mengenai hal memberikan hak farf id 116 kepada datuk sebagai pengganti ayah dalam hal simati berketurunarl. Dalam hal kalf,lah IV: 176 ternyata Zaid tidak berkeberatan menghimpunkan datuk sebagai 'asabah bersama-sama dengan saudara sebagai ahliwaris, tetapi dalam hal ini datuk bukan sebagai pengganti ayah, sebab irenurut Atrlu'ssunnah tiada adanya ayah adalah syarat untuk berlakunya hukum kalSlah. (Lihat g I 0 huruf &,b.). c) flaA1tn Alhasan (S 3 hunrf c). Kekecewaan 'Umar dalam soal jawab mengenai kedudukan datuk dalam hukum kewarisan akan dirasakan benar oleh setiap orang yangmempelajari hadittr-

'.'li

,t&

hadith mengenai datuk itu, sebab hampir semua hadiTh itu tidak jelas tentang duduk perkaranya, tentang kasusnya , sehingga orang jtiga mesti merab a-raba tentang garis hukum menurut 'Qur'an-kah atau menurut Sunnah R-kah atau menurut
hukum adat-kah yang menjadi landasan ketetapan dalam perkaraperkara itu. Walaupun demikian kita hanrs juga mencoba membikin reconstrucsi kasus-kasus tersebut untuk mencoba menangkap faktor-faktor pcrtumbuhan fiqh itu.

d) 'lmran 'bn Husain berkata: datang seorang laki-laki kepada R menceriterakan bahwa telah mati cucLl laki-lakinya kelahiran anak-laki-lakinya, maka bertanya orang itu apakah haknya atas harta peninggalan cucunya itu. R menjawab
,
:

,,bagimu | 16". Orang itu berpaling hendak pergi, tetapi R panggil dia seraya berkata: ,,bagimu ll6 lagi". Orang itu berpaling lAgi henclak pergi, tetapi R panggil lagi dia dan berkata: ,,yong llO terakhir itu sebagai tu'mah (permakanan)". - (Ahmqd, Attirmi dzl, Abu Ddwird, dari L[fs.t, l;dt'lnwsd,\ ilt) Hadlthlni sekaii-kali tidak jelas tentang duduk perkaranya ; Ttertanta, adakah cucu itu berketurunan jika ada, apa jenisnya dart berapa orang setiap jenisnya; kedua, jika cucu itu tidak berketurunan, adakah baginya saudara, berapa orang, lpa jeniq -

l2s

I
,I

persaudaraan itu, tiri s.:ibukah, tiri sebapakkah, sckanclungkah. dan campurankah: ,ketiga, masih hidupkah orang tug cucLr itu; l;cern1)at, adakah jandanya 't Entpat persoalan itu, sebagai pokok.pokok persoalan, telah meliputi daerah kckuasaaJr seluruh hukum kewarisan. Kita dapat pahamkan mengapa hadith itu tidak mendapat tempat pada Bukh[ri. Walaupun persoalannya sangat pelik, karena kasusnya sangat kabur, saya akan coba jr"rga mcninjaunya dengan mengambil contoh yang masuk akal, walaupun tidak boleh diyakinkan scbagai sungguh telah terjadi sebagaimana yang telah dihadapi oleh Rasillulklh sendiri, jdcii hanya sebagai duga-dugaan ilmiah belaka. Saya tidak pernnh dengar ka.bar'bahwa R pernah ada ntutgudili perkara kaldlah, ataupun bahwa R peTrtah meninggalkan penjelasan tentang kalElah. Bahwa R.tidai p'ernah ud+ mengurus perkara kalilah sangat masuk akal karena garis fiukurn kaldlah yang lnenentukan arti kalllah, yaitu IV: 17 6, sangat paling terakhir turunnya 'dan semenjak itu R menghadapi soalsoal besar mengenai perkembangan negara ygng sangat lekas pertumbuhannya. Karena itu maka kasps hadith 'Imratt hendak saya batasi dalanl daerah kekuasaan IV;.I I d, yaitu orang mati meninggalkan keturunan. R mernberikan I 16 terakhir sebagai tu'mah, r-rntuk rnembedakannya dengan digian ll6 pertama sebagai bagian kewarisan. Maka bagi saya tidak dapat dielakkan kesimpulan bahwa R nrasih pada taraf kebebasan untuk ntenja{ankan kebijaksanaan scndiri, karena,.belum lengkap turunnya ayat-ayat kewarisan (lcbelunt turunnya IV:33 dan IV: 176) sehingga perikutan kerrrdrrlaan bclLlln dapat dengan tegas ditentukan. Yang terang barulah, feutamaan pertama, berisikan anak-anak, orang tua, janda atau cluda, sedangkan keutamaan kedua belum dapat diisi karena syarat untuk mervaris bagi saudara belum lagi diketahui, yaitu pengertian kaldlah. Lagi pula mungJcin R mau rnelnberi teladan bagaim ana rnenlakaikan IV:8 ,,wE idzd, hadxra' lqisrnata Dl['lkurba ... fa'rz,uqnhuln minhu wa qirlil lahLtn] qawlan ma'nlfan", ayat yang sebenarnya ditujukan kepada ahliwaris ahliwaris yang beibagi. Ayat IV:8 itunlenyuruh kepadaahliwarisalrliwaris yang mendapat bagian untuk memberikan rizq (peragihan ) kepada anggota kelu arga yang menghadiri pembagian harta itu jika mereka tidak berhak ikut berbagi. Selain kepada mereka tersebut juga wajib riz.q itu diberikan kepada yatim dan miskin

rlyil, bagairnana

t26

yang kebetulan ada.di tempat pernbagian. R menamakan cont6h oeragihan yang dilakukannya itu tu'mah, bukan rizq karena R tidak berhak menjadi ahliwaris, tetapi mal'.sudnya sama juga, .yaitu pemberian, peragihan, pqrmakdiran. I)i masA kebijaksanaan bebas itu R agaknya. melg?ng'gap datuk itu sebagai pengganti ayah dan berhak mendapat bagian fard'id untuk 'ayhh sebesar | 16, tindakan kebijaksanaan mana menjadi mansu-kh setelah dapat kepastian tentang kemauan Allah mengenai-,pe.1ikutan keutama &il, bukan saja bagi ahliwaris yang langsulg tetapi juga bagi ahliwaris yang berkedudukan sebagai mawdli. "Dengan mengang gap datuk sebagai pengganti ayah, bukan dimaksudkan bahwa R menjadikan datuk itu menjadi dzawfr'lfar6'id, tetapi semaclm mawali dengan mendahului turunnya IV:33. Datuk tak mungkin dianggap mawdli bagi ayah menurut IV: 33, karena anak sebagai pewaris bukanlah ,,wdlidun" atau ,,aqrabun" bagi ayah. Huh,qngan ayah dengan anak bukanlah hubungan antara hqrabfrn; aqrabDn ialah orang-orang yang lebih jauh dari wdliddn dan lebih, jauh dari awlS'd atau abna-' (lihat halaman 65 dan 87). Sebelum kasus 'Imran itu, R telah mempraktekkan kebijaksanaan terhadip paman pihak ayah ($ I huruf c) dan terhadap saudara perempuan bagi ayah ($ 6 huruf b) dan sekarang pula terhadap ayah bagi ayah. Perbedaan ilengan kasus-kasus yang mendahului ialah bahwa kasus-kasus tersebut adalah mengenai soal ,, untuk siapakah sisa" setelah dikeluarkan fard'id, tetapi dalam kasus 'Imran bukan hal sisa yang dipersoalkan, sebab tidak ternyata bahwa R tahu ber{pa. sisi. tersebut, dan seandainya dia tahu maka barulah mdn'gkinjioalnya, seperti pada kasus-kasus yang mendahului,niengenai ymtg dinamakan ,,awl6 rajulin dzakarin". Misalnya simati meninggalkdn satu orang anak perempuan (Yz) dan mak ( I /6 ) dan sisa I 13' iriitu'k datuk sebagai awla rajulin dzakarin. Tetapi dalam hal- ini. maka tu"mah itu tidak pada tempatnya, sebab dattrk yang diberi sisa'itu hiutrg gap sebagai ahliwaris, sedangkan tu'mah hanya pembOrian kepada orang,yang bukan ahliwaris. Juga jika dalarn hal 'simati hanya meninggalkan dua orang anak perempuan dan datuk, maka jika datuk itu dianggap sebagai pengganti ay*h, dan rnemperoleh bagian sebesar fari'i{ untuk ayah, makarjUga datuk itu dianggap sebagai ahliwaris dan secara consequent maka ahliwaris tidak mungkin mendapat tu'mah atau rizq. Tetapi segalanya itu tidak zpi, sebab R menjalankan ket27

bijaksanaan sendiri, cli satu pihak untuk mengisi secara sementara soal perlggantian , yang kemudian baru jelas setelah turunnya IV: 3 3 yang memansfrkhkan (nasakhat-hd) kebij aksanaan mengenai praktek penggantian itu, dan cli lain pihak sekadar untuk nlsmberikair contoh tentang pernakaian IV:8. Dengan memberikan tu'nrah kepada datuk, yang dianggap sementara oleh R sebagai ,,ahliwaris karena penggantian", telah terb ayang juga bahwa anggapan R itu, juga bagi dia R sendiri, adalah suatu anggapan yang sangat tipis atau sangat sementara, yaitu anggapan i/ang diselirrgi dcngan pandangau bahwa datuk itu mungkin juga Ulu'lkurbi. Dalam sistirl Ahlu'ssunnah datuk itu didudukkan scbagai clrt\vu'lf'trr-I'id I ulcn, jika simati meninggalkan keturunan sediurgkan aylrh tidak acla lagi. dengan berhak tetap atas I 16, dan jika kcturLnlalt s,mati itr-r ltanya perempuan belaka, maka datuk itu rncndrrp;rt Iagr sisa scbagai 'agabah (awl[ rajulin dzakarin), sedangkan dri t trk diartikan rncnurut ajaran Abu Bakr cS., yaitu ' setiap ..datrrk dalant arti setialr penghubung lratrilineal ke atas yang lebih trnggi dari ayah ($ 9 huruf a). Bagaimanapun juga duduk perkara sesllngguhnya dalanl kasus hadith 'lmran, tetapi ditinjau dan :;istrnratik hukuln liewarisall lnenurut QLlr'Cn,, dapatlah dikemu ka xan lrah wa: a) rncrnburi kan tu'nrdr atau riz,k diwajibkan atas ahliwaris menurut I V. I kcpada ulri'ltltrrba., yaitu anggota keltrarga yang bukan ahliwuris. clan kepada yatirn dan nriskin, yang hadir pada pernbagian. Kcwajiban ute'stilah berpatokan. karena jika tidak maka kewajillln lneuiadi mandub' anjuran.yang orang ikuti atalt tidak rkuti, clan jrka diikutinya tergantung pula kepada kcmurah an hatinya a!uu kepada ku'sckakara.nnya berapa dia mau berikan sebagai peragihan Scbab itu bcrhaklah ultr'l'amri untuk mencntukan garis-garis hukuntnyi,l. Unrpamanya sebelunt ahliwaris melakukan pernb.rgian, dikeluarkan dahulu tu'mah-wajib, misalnya sebesar' 5%,, untr-rk clibrrgi-bagrkan atas rlasar sima rata kepada [lD'lqurba, yatinr clln lnlskin yang hadir. dan untuk selebihnya terserahlah kepada lnasing-nrasing ahliwaris berapa pula dan kepada siapa dia ingin memtrenkan tu'mah atau tambahan tu' mah yang sukarela;

manusia tidak berhak menetapkan tambahan atau pengurangatl jumlah oraltg-orang yang telah berhak fara'id menurut

b)

r28

ketetapan Allah atau rnenetapkan perobahan 'mengenai syaratsyarat dalam hal mana timbul hak farc'id. Yang berhak fara'id menunrt Qur'an ialah l) anak perempuan, jika tidak ada attak laki-laki dan tidak ada keturunan bilateral dari anak laki-laki (lV: 11b,c), dengan pengertian bahwa ketuntnan bilateral dari anak perempuan, yang ntati terclahulu, diikut sertakan metrurut haknya masing-masing sebagai mawali bagi anak perenrpuilrl itu., 2) ayah clan mak, jika sirnati berketurunan, dengan perlgertian bahwa ayah dan mak hanyalah orang yang langs;ung nlernperanakkan simati, sehingga tersingkir orang-orang yang mertjadi penghubung lebilr jauh di garis lurus ke atas (IV:l I d); 3) mak, jika simati tidak acla meninggalkan seorang ketunlnan apapr,rn juga, dengan terperinci selanjutnya sbb,: jika tidak ada saudara atau ketr.rrultan saud ara seorangpun juga, maka fara'id untuk mak 113, clemikian juga jika hanya ada seorang saudara saja, baik yang masih hidup maupun yang telah mati terlebih dahuh-r dengan adg meninggalkan keturunan (lV:1 I e); tetapi jika ada dua orang saudara atau lebih (ikhwatun IV:11 f), baik masih hidup ataupun sudah mati dengan berketurunan, maka fara'id untuk mak menjadi | 16, 4) sauclara, jika simati meninggalkan ayah clan matinya secara kalalah , yaitu tidak berketurLrnan (lV:12 f,g), dengan pengertian bahwa keturunan dari saudara yang mati terlebih dahulu, mana yang berh&k, diikutsertakan sebagai mawali bagi saudara tersebut; 5) sattdara pere mpuert, jika simati tidak meninggal\an ayah, tidak pula meninggalkan saudara laki-laki dtau mawali bagi saudara laki-laki dan matinya secara kalllah, yaitu tidak berketurunan (lV:176 b,d), dengan pengertian, bahwa keturunan dari saudara perempuan yang rnati terlebih dahulu, mana yang berhak, diikutsertakan sebagai mawali bagi saud ara tersebut. Selain daripada yang 5 jenis itu tidak ada lagi dzawD'lfarE'id dari kalangan ulu'l'ar[r-a'rn, dan selanjutnya ditambah lagi dengan duda dan iand0.

,i
!,

,'
'ri ', i,

.r i ,l' 'ii r i t, ,. .'.t :: i+' 'ii't i r' ,;. ri'.1 ri r, Jr I t, ,,li; ii:. "r rlr

,' .it.

i, i;i 'i,

;i

l.t

1
1

1l

:tl i' ;llll I ,. .. i! .. 'i:. 't ' it i', :',11: i )1": ' 'ji Ii::''.'rl:r
I
:

i;r '',il tl.' ;i ': il


:

, i!
:

!:j
'!

l-.,,i'ill
i"
I. ,[ ; I ,.t :;;

:i

I
l;

ti

t:'
t',': f

Ii ,' ir ,,ii
''
:, rt,

,:rl,

j: 'i

.: l,' ll " lt
'.: ,,1

':

r,

:,t

,:i:

i, i; -l

ii

:l

., ,l .i

ri ,.'
j

'i

Semua macam sisa (sisa-besar, sisa-kecil, sisa-bagi) hendaklah dibagi-habiskan kep a'da merek a yang berhak dalam kelompok keutamaan yang bershngkutan. Datuk dan nenek urnpamgnya baru berhak mewaris jika mereka bertindak sebagai mawdlibagi ayah atau mak, yakni jika bagi simati tidak ada keturunan, tidak
arJa saudara

c)

i '.1 Ll,'
' i ,[ 1

::i
rl
iII

it
I.

r.

i.
A '. .,i '' 'J .j

:l:I
: ll:

..:

,.1

dan tidak ada keturunan pihak saudara dan tidak ada

'n ,ltt, l.

,;
l'

t29

ti',

I -t a

.l ....
l1

.'it riI
#!;'1, :" ii
t: i: ',I: l
f

rl.

,,I{ul;tutt irt" saya sebutkan secara nteringkaslcan bahwa kelompok keutamaan keempat itu isinya (selain duda clan jand a) mawall btagi ayah dan nwwali bagi mak, dengan diterangkan pula di sana mengapa bagi kelompok keutamaan pertama, kedua dan ketiga tidak dapat diadakan mawali bagi orang-tua. Ada baiknya jika disini saya perjelas hal tersebut. Istilah ,,mawali- untuk ayah" dan ,,mawEli untuk mak" dalam kelompok keutamaan keempat itu
r30

orang-tua kedua-duanya. Keberanian manusia menambah jurnlalr mauamnye orang orang yang diizinkan Allah mendapat fara'id, ],aitu hak atas bagian yang istime w&, bukanlah karena sesuatu ciorongan dari R, karena R-lah yang sangat bertaqwa kepada kemauan Allah.Semua ketetapannya yang nampaknya menyirnpang dari kemauan Alleh, adalah ketetapan-ketetapan sementara sebelum turun ketegasan dari Allah mengenai kemauanNya itu. Mengenai datuk, perkembangan kedudukannya dalam fiqh Ahlu'ssunnah dari awld' rajulin dzakarin sampai meningkat menjadi pula Idzu'lfaridah bukanlah terjadi tampa pertikaian paham n-rengenai persoalan apakah datuk ,,3yah" atau bukan, yaitu persoalan mengenai 'Pertikaian itu terbayang dari hadith Ibn 'Abbas ,,aljaddu abun". (3 3 huruf, e, s t huruf b). Nampaknya Za\d yang dipuji oleh R tentang ketinggian ilmunya mengenai fara'id (S 3 huruf g) dan yang tidak mau mengakui adagium (pepatah) .,,aljaddu abun )' telah dikalahkan oleh suara terbanyak dalam pertikaian paham tersebut. Bilakah timbul rjma' tentang peltgakuan hal datuk itu sebagai dzu'lfarldah jika simati ada berketurunan tetapi tidak berbapak lagi? Tidak mungkin cli nrasa hidup R, tetapi pasti telah ada pengakuan tersebut cli masa'Urnar (lihat 5 l0 huruf c).Di masa R maka yang mungkin hanyalah sebagai kebijaksanaan semen tara dari beliau menjadikan datuk itu rnenjadi awla rajulin dzakarin atau menjadi semacam mawali rnenurut construcsi R sendiri. tetapi kemudian tindakan kebijaksanaan R itu menjadi nransfikh setelah turun IV:33 dan IV: 116, setelah mana barulah ada kelengkapan sistimatik hukum kewarisan, bukan saja mengenai macam-macamnya ahliwaris, tetapi juga mengenai keutamaannya, mengenai sclnua syarat-syaratnya dan mengenai :,peltggan t ianny a" ( mawall) -Dalam kitab kcv,arisan bilatt,rAl tnenurut Al-Qur-

i'

'.3

'ii
'j':!
',i?
;.t.

i:ri

,rl

.1 -ii

-s

,{
...;{ ;lt,

r'*

,I.

& -u '. '.it ',.f {.:-l


|-l
,..4

.Vr

iil rl?

r0

tfi':

,i;'
:.

adalah keringkasan untuk sebutan: ,,orang-tua dari ayah dan 'mawdli bagi orang-tua dari ayah" dan ,,orang-tua dari me k dan mawdli bagi orang-tua dari mak". Sebenarnya istilah yang panjang lebar itu yang sebaik-baiknyl, bukan saja untuk effect nya tetapi juga untuk kebersihan perumusannya. Walaupun istilah pendek yang dipergunakan dalam kitab tersebut, yaitu ,, mawdli untuk ayah" dan ,,mawali untuk mak", tidak sesuai dengan perumusan IV:33, akan tetapi dalam pemakaiannya istilah pendek tersebut tidak mengganggu atau mengurangi atau melebihi maksud IV: 33, ialah karena dalam kelompok-kelompok keutamaan pertama, kedua dan ketiga telah diperinci lengkap isinya masing masing, sehingga isi kelompok keempat itr"r telah menjadi jel pula. Coba perhatikan gambar I dan II, di mana m = mawdli, k = likullin, p = pewaris dan a- anak, II Soal mengenai dua gambar tersebtrt ialah m yang manakah yang palsu "'? rQ menurut IV:33, m I kah atau m II kah? Jawabnya m II itulah yan! palsu Pl aO menurut perumusan IV:33. Keterangaltr nya sebagai berikut : jika benar m II mawali maka ia adalah mawali bagi k dalam harta peninggalan p. Coba cocokan dengan IV:33a, maka jadinys ,,li k ja'alnd m mimm[ taraka p, sedangkan menurut IV:33 maka p mestilah ,,wfliddni" atau ,,aqrabuna" bagi k, sedangkan menurut gambar II maka p itu bukan wdliddni (ayah atau mak) bagi k, dan br-rkan pula aqrabfln bagi k, sebab p ialah anak (walad) bagi k dan lvalad bukan aqrabu-n bagi ayah atau mak, sebab jika walad aqrabfrn bagi ayah atau mak maka sebaliknya mak atau ayah aqrabtTn pula bagi walad, sehingga terlan ggar pemisahan dalam IV:33 antara wdlidfiti, yang bertimbalkan walad, dan aqrab[na, seakan-akan k bukan hanya wdlidun tetapi juga aqrabiirr bagi p, seakan-akan p bukan hanya waladun tetapi juga aqrabrln bagi k, seakan-akan a aqrabiln pula bagi p dan seakan-akan k dan a-adalah aqrabu-n bagi P, sedangkan p walidun bagi a dan waladun bagi k. Jika diabaikan pemisahan itu maka juga walidani aqrabfrn, sehingga terhapus atau kacau kegunaan IV:33,yang sengaja memisahkan antara wdlid5'ni dan aqrabirna. Jika waliddni bukan aqrabfin maka walad juga bukan aqrabfrn (lihat hl. 87).

m? rf

tef

l3l

Dalarn gambar I'nrernang m sungguh-sungguh mawEli selaras dengan perumusan IV:33 ,,li k ja'alna m mirnma taraka p, dan p disini memang akrabun bagi k dan-k juga alqfabun bagi p, sebab akrabun ialah seseomng yang berltak rnewarisi atau mewariskan tetapi lebih jauh dari walidani atau lebilr jauh dari awlad (abna') , ditinjau dtl si pewaris atau si ahliwaris.

Tadi dikatakan bahwa m Il adalah mawdli palsu menurut perumusan IV:33. Karena m II menurut perumusan IV:33 tidak mungkin menjadi maw6lf (ahliwaris penggantian) untuk k, maka satu-satunya kedudukan yang dapat diberikan kepadanya ialalt sebagai pewaris atau seb agai ahliw,aris yarry langsung, dan m baru berhak menjadi ahliwaris yang langsurlg jika p tidak berketurunan dan tidak bersaudara atau tidak rnempunyai keturunan saudara dan tidak pr.rla berorang-tua (ayah dan mak). Walaupun m II tidak multgkin menjadi mawlli, dan hanya mlrngkin ntenjadi ahliwaris langsung rnenurut keutamaannya, yaitu keutamaan keempat, tetapi sebagai ahliwaris langsung ity tidak berhak dia dalam sistim bilateral tnenerima seluruh harta peninggalan; haknya itu terbatas, ialah jika dia datuk pihak ayah2l3 x 2l3,dan jika dianenek pihak ayah tl3 x zl3, jika dia datuk pihak anak 213 x ll3, dan . lika dia nenek pihak mak ll3 x ll3, seltingga praktis dia iuga diperlakukan sebagai raw,dlL Sebab itulah maka saya tinggalkan pdrumusan yang panjang lebar dan saya samaratakan orangtua itu sebagai ,,t?'rawdlf untuk ayalt" dan ,,n'tewdlluntuk mak."
Hal tersebut di atas sengaja disinggung untuk memperlihatkan bahwa datuk atau nenek itu tidak dapat disamakan dalam hak serupa dengan ayah atau mak, sebab datuk dan nenek itu lain kelompok keutamaanny &, sampai-sampai menuru.t Qur'an mereka tidak boleh dinantakan nttwdl{ bagi orang-tttt, sebab tnereka merupakan jenis ahliwaris langsr-rng yang paling terakhir, yang tidak disebutkan dalarn IV: I 1, 12, 17 6 dan hanya secara tersirat mempp'nyai tempat dalam IV:1?. Karena mereka (orang-tua dari orang-tua) merupakan jenis ahliiyaris terakhir maka merekahanya diperbolehkan tampil ke depan jika tidak ada lagi keturunan, tidak ada lagi orang-tua dan tidak ada lagi saudara dan keturunan sou: dara. Keturunan yang lebih jauh dari anak merupakan mawali' bagr rnendiang anak yang bersangkutan (yaitu yang nrerijadi penghubung bagi mereka), dan keturunan saudara imerupakan

t32

mawall bagr mehdiang saudara yang bersangkutan (yaifu yang menjadi 'penghubung bagr mereka), tetapi orang-tua dari orangtpa (datuk dan nenek secara bilateral) tidak boleh menjadi mawd'li bagi. orang-tua, sebab mereka ahliwaris-langsung yang tersirat seperti tersebut di atas tadi. Ini sangat penting,. dan di sinipulalah terletak kemohaagungon Pemikir yang menciptakan garis hukum IV:33 itu, karena dengan adanya orang-tua dari orang-tua sebagai jenis ahliwaris langsung, maka barulah ada kemungkinan bagr garis sisi kedua dan ketiglr dsb., menjadikan mereka itu sebagai landasan untuk kemawalianny&, sedangkan orang-orang bawah di garis sisi pertama telah ada mempunyai landasan , untuk kemawEliannya, yaitu mendiang saudara. Jika dibolehkan semua garis-garis sisi menjadikan mendiang orang-tua sebagai landasan 'kemawallanfly?,' maka akan berantakan seluruh sistim kewarisan IV: 1 I , 12, l7 6, sebab akibatnya akan serentak semua anggota keluarga di garis sisi, sekadar mereka tidak mempunyai penghubung lagi, boleh ikut serta mewaris dengan tidak guna menghiraukan apakah simati berketurunan atau tidak, sehingga bukanlah tercipta sistim kewarisan yang, individuil tetapi semacam s;istim kollektif yang sangat cotnmunal,' yang l,'egitu aneh sehingga orang Minangkabau sekalipun yang juga mengenal sistim kollektif dalam herannya akan geleng-gelengkan kepalanya.'Sebab itu orang-tua tidak boleh menjadi landasan kemawdlian bagr siapapun juga. Landasan kemaw-allan bagi keturunan ialah ,.anak (ahliwaris langsung menurut IV: I I ?,b,c,d), landasan kemawdlian bagi keturunan saudara (garis sisi pertama) ialah saudara (ahliwaris langsung' menurut IY:12 f,g dan IV:176) dan landasan kemawalian bagi garis sisi kedua ialah orpng-tua dari orang-tua (ahliwaris langsung yang tersirat dalam IV:33), yang juga menjadi landasan kemawdfian bagi semua mereka yang lebih jauh cli garis lurus ke atas' (orang-tua dari orang-tua -dari orang-tua, dst) dan via mereka ini juga bagi semua orang di garis-garis sisi yang lebih, jauh lagi dari garis sisi kedua (garis sisi ketiga, keempat dst). Bah wa saya meskipun rnenginsyafi segalanya itu berani juga dalam kitab "Ifukum kewarisan bilateral menurut Al-Qur'iin" menyebut ,,rnawali bagi ayah" dan ,,mawdli bagr mak" adalah disebabkan karena isi kelompok keutamaan pertama, kedua dan ketiga telah diperinci serapi-rapinya, sehingga tidak ada lagl
-f r.. r lt..l r.r { I l

133

bahayanya untuk menyebut lain-lain anggota keluarga yang tidak

termasuk kedalam tiga kelompok keutarnaan tersebut sebagai ,,ffi?wEli bagr orang-tua", yaitu ditempatkan dalam kelompok keutamaan ke-empet, sebagai orang-orang yang paling terakhir mewaris. Lihat gambar H: p = pewaris, a = anak, ma = mawdli bagi anak; s = saud ara; H d ms = mawEli bagi saudara; b = orang-tua ; c s5t c = orang-tua dari orang=tua; d = orang-tua ss b dari orang-tua dari orang-tua; s$ = garis sisi P s kedua, sss = garis sisi ketiga. Keutamaan pertama ma + b; keutamaan kedua ms + b; kem.s a utamaan ketiga b; keutamaan keempat c,' m.a mungkin lengkap semua anggotanya yaitu 4 orang, atau jikg tidak lengkap maka 'ditambah _ dengan ,r*i,Ati bagi *uiatins arnggotanya. Maka mawdfi bagi mendiang anggota c itu ialah::(menurut perikutan keutamaan antara mereka) pertama ss, sudah,itu dari d (yang isi lengkapnya 8 orang), sudah itu baru sss jika dikalangan:d itu ada yang sudah mati. Maka teranglah hendaknya bahwa ss mewaris seb agai maw?f bagi sebagian c, sedangkan sebagian c'lainnya mewaris sendirisendiri sebagai ahlilwaris-ahliwaris langsung bagi p, cuma bagrannya masing-masing ditentukan 'oleh jenis 'sexenya sendiri dan oleh jenis sexe dari salah seorang dari b yang diperanakkannya. Demikian juga hendaknya jelaslah bahwa tidak pernah mungkin akan berhimpun .c dengan a atau ffia, atau c dengan s atau ms . Ttlasn))a; datuk ataut nenek simati tidak.mungkin berhimpun dengan keturunan simati atau dengan pihak sau,dara simati.
'

S 10.

Datuk bersatrn saudara.

a) Mu'Eririyah menulis .kepada Zad'bn ThEbit bertanyakan tentang datuk (ayah dari ?yah), maka dibalas oleh Zudi ,, ... aku sendiri telah'menyalcsikan du'a orang khalifah sebelum saudara memberikan kepada datuk seperdua jika dia mewaris bersamasama seorang 'saudara laki.laki. dan sepertiga jika dia mewaris bersama-sama dua orang atau lebih saudara, dan tidak boleh kurang bagian datuk itu dari sepert iga, sekalipun banyak jurtrlah saudara-saudara itu,. tidak perduli apakah saudara-saudara itu laki-laki, pergmpuarl, ataukah setengahnya laki-laki dan setengah = nya perempuan" . -: (Mehk, dai A.Hassan 'iAl-Faraa-icll")
t34

Dari lradith ini ny atabahwa kasus,,datuk bersama saudatl", yang dikaiangan Ahiu'ssunnah dihubungkin dengan IV:..17 6,

hukumnya bersumber kepada filU'l'amri dan tidak kepada sunnah


RasDl.

kurangnya atau setinggi-tingginya Jepertiga ?). (Adddrami, dari A Hassan ,, Al-Faraa-idl") - Hadith Altrasan ini dapat menimbulkan paham bahwa datuk dalam bersyarikat dengan saudara-saud ata memperoleh settng' gi-tingginya sepertiga atau sampai sepertiga (... kdna Zardull. ... yUsyarriku'ljadda ma'a'l'ikhwati il6'lthuluthi). n,
,

datuk dengan saudara-saudara (dengan datuk mendapat sekurang'

^ b)

Alllasan berkata bahwa Zaid.'bn Thabit menyerikatkan

Assya'biyyu berkata bahwa 'Lfmar membugit un sama banyak antara datuk dan seorang saudara laki-laki atau antara datuk dan dua orang saudara laki-laki.. Bila saudara-saudara itu lebih dari dua orang maka diberikannya kepdda datuk sepertiga dan jika datuk berhimpun {engan anak (keturunan) maka diberinya datuk 116.- (Addarami, dari A.Hass&lr ,,Al-faraa-idl") Dari tiga buah fadittr itu, yang sekali-kali tidak beristkan -hanya berdasarkan , ketetapan Dlf'l'amri, sunnah rasil tetapi jelaslah bahwa kedudukan datuk jika berhimpun denlan saudara adalah kedudukan istimewa bagi seorang 'agabah yang disegaili ,

c)

juga disebut seorang ,,khdl", yaitu seorang kepala adat, sebab sistim clan membawakan sistim pemerintatran yang gdnealogis.
suku, bugian suku atau sekelompok keluarga matrilineal,'dan

yang terkemuka, yang memimpin, seorang syaikh, kadang-kadang

Bandingkanl,ah kedudukannya clengan kedudukan,,dnt rtk-datuk " di Minangkabau ,,datuk" ,sebagdi gelar Untuk ,,tua-tua" di dalam

kadang-kadang hanya mengepalai dan menguasai beberapa rumah tangga saja, sampai-sampai ada yang menguasai seluruh orangorang yang sesuku di dalam sesuatu nalari'Minangkabau. Juga di Tanah Batak (patrilineal) ada kepala-kepala adat itu yang disebut
{' ompu (datuk). Bagian untuk datuk meriurut Ahlu'ssunnah itu terjenis kepada bagian untuk 'asabah. Jika di.a berhimpun dengan seorang saudara laki-laki sampai dengan dua orang saudara laki-laki maka pembagian antara mereka adalah pembagian sama rata menurut

r35

I
_

".i

jumlah mereka, - jika dua orang maka masing-masing mendapat rl3 -; hal mana -r.*un masing-misine mendapat'a iik* t orani mika seakan-akan datuk itu disamakan. dengan ' menimbulka" jumlah kepala itq, J_ugl dilakukan jika seterhimpun denq.4n.seorang. sigdara laki-laki.beserta berturu! -tunrt orang utuu ouu ot*g ti""Attu pttJnipuu4' d1r-nana O"lti akan mendap ZtS- dan tl3, se'akan-akan datuk itu seorang ,"ocuru f"U:runiria"g berhimpun dengah t"t'9"i".perempuan'

;il;;.rt"gi--rn"*t il;k it

antara-'agabafr #;i h;fit; ;.i.*-rr,rbungan persamaan aniara datuk. dan _binafsihi dan. ,asabah bi'lghairinya. semacim cii;il" ;ijililtin"g"'i tita d'atam' I4g.gt,ol"T,P"t$^:' anggi (adik) datl cucu me-

dimana datlk-memanggil cuiunya ;fig1 autut"iu angkl-ng (kak3k), selanjutnya-gelar.atlat yang

'

Jip"lii datuk'itu ianya botih {iturpnkan kepada cucuqya

rur.i-rur.i.Bahwa,datuk-dhlamsistimAhlu"ssunnahj.se:ung..
'atau berhimp"n Otng; f.Uiii-Outi O.u" qtang saudbrq.laki-l'aki' orang '*"*,.akpresisdisamakandengimsaudaraterny:ftajihadatuk bbserta lebih dan,-dua r""*ng: ru,rAura.laki-hki
. saudara

'

'

taei berbaei dengan tuua^Iu=pi;;-p;"; dimani ou'tut'tidak terjamin *-"'-'galu! r/3"Hal' ini '' menuru, i"rjuii .megnbuktikan b.h;'a datuk it,t,irtim"*a kddudukannya dalam 'falary-'si1Ji+ iild6"g"" kfu-g", t.petti disinssung di atas tadi' i.tu' dikaiJkan pr"iu.gi* 11tqa. dituk dan dagd 1a Ali;ffi sep'era4gkaim " kepada nar r.u'rarurt-ini i6 9ng^1" dimanb teTlvS? pdla bahva :Te'!t:t-1k gutir tt"turn liyatnt'Zz), -aut,lt jika d;hi;;,,n -dttgun saudara-3ad dara' v s1g d iantaranva itu ue*,"-r i*a:id lgaal{ran diluai' baudara-sauddra' terjeada pula pihak'lain vaneberhak fardig,-p1ta-{.1tyf jiba. jumlah sernua *in'mett-Oaitai t"t"t*g.tur-angnya t/er{an datukitu mel.ampaur-angka 1' "nt"t Pula maka d.atut ifp.1i"i'tfl*-tttut"n-ukan dia'. dZaw-u'lfara'i{ telah pula kepada peraturan '1w.! .s26aea! ;;dss; *"ttiTunaut c Ip ;;rdb;; pud"tS 9 hu|;r Cnr._oitl_tan dikuitkan oieh'$ huruf . maka ddtuk ii.J-i-O;"ruii'ff"ia'ig tulgn bi.kinan,Ahlu'ssunnah ;;;ean iliriitt fuia:i4 116 seperti ayah'hanya'dikaitkan oleh ertii;iU-;h-;ud"'iV: I'ld, viitit jit u sipewaris a'dii meninggaldan jitn datuk tidak ada maka ayah

i!"d: p.t"*p-"""itau

dengan beberaoas4udara'laki-laki. besert4

il;;ii;i*tl

;;*i

ilb.il

ililft

fan

;;i;'ift;i4 t;a;-iio i

;;-k.tr;'r;;n-iairiline+l

dari datuk ( pendeknya penghubung patrilineal yang selanjutnya ke atas) berhak pula menjadi dzawfr'lfard'id Dalam sistim bilateral menunrt Qur'dr dan sunnah Rasfll maka semua ajaran hukum Ahlu'ssunnah mengenai hak datuk sebagai ahliwaris segandengan dengan saudara simati, batal sebatal-batalnya. Saya sebut sunnah RasDl, sebab RasDl tidak pernah memberi teladan serupa itu ! Mari kita buktikan kebatalannya itu. Dalam bentuk yang luas maka persoalannya ialah: pertama, dapatkah orang-tua dari orang-tua menjadi ahliwaris langsung; kedua, jika ordng-tua dari orang-tua dapat menjadi
alrliwaris langsung bagr cucunya maka apakati syaratnya; ketiga, dapatkah orang-tua dari orang-tua mewarisi cucunya bersama sama dengan saudara-saudara cucunya itu, ysilg mtrni;kin diantara' nya sekalt-leli bulcan cucunya ?. Kita mulai dengan memrOrAr cOrAo buktikan bahwa saudara cucu tidak perlu berarti cucu pula, yaitu lihat gambar K, dimana a dan b memang cucu bagi A dan K B, tetapi c bukan cucu mereka, demikian pula b dan c memang cucu bagr C dan D tetapi a bukan cucu mereka, selanjutnya b bukan hanya cucu bagr A dan B, tetapi cucu pula bagi C dan D. Mengenai soal pertama: dalam IV: 1 1, 12,17 6 Qur'an hanya menyebutkan sebagai ahliwaris langsung yaifu anak saia. berikut nya anak beserta orAng-tua, selanjutnya orang-tuo saia atau sauda-

ra beserta orong-tua atau saudara saja, sehing9a ahliwaris langsung di kalangan flrfl'arlram menurut ayat-ayat tersebut ialah anak , orang-tua dan saudAra. Dhubungkan dengan IV:33 maka kepada ahliwaris langsung itu mesti ditambatikan pula mawdli untuk mendiang anak dan mawdti untuk dendiang saudarA. Maw[liuntuk oiurg-tua iidak ada, sebab seandainya ada mawdfi untuk orang-tua maka mungkinnya hanya dari kalangan orang-tua dari orang-tua (4 orang) atau dari kalangan saudara, tetapi saudara. telah berkeduclukan sebagan ahliwaris{angsung sehingga dia tidak dapat lagi dijadikan maw-af, demikian pula orang-tua dari orang tua tidak boleh dijadikan mawdli untuk orang-tua karena terbentur kepada perumusan IV:33 yakni berhubung dengan

t37

kenyataan bahwa'pewaris tidak tcmrasuk pongortian,,wdlidEni" atau ,,aqrabDna" tetapi adalah .dari kalangan awladltn. Hal tersebut telah diuraikan dalam S 9'huruf d, di mana juga telah ditegaskan dan dibuktikan bahwa hanya secara tersirat dalam IV:33 dapat orong dari kqlaniaTt orang-tua dari orang-tua dijadikan ahliw,aris langsung b.agi cucutl)U, yaitu untuk lnemungkinkan menjadikan orang dari iralangan otang-tua dari orang-tua dari orang-tua (8 orang) menjadi mawali Qagi orang dari kalangan orang-tua dari orang-tua itu dalam harta peninggalan cucunya itu. Maka telah terjawalr bahwa orang dari kalangan orang-tua dari orillg-tua (urypamanya datuk pihak ayah) dapat dijadikan ahli waris langsung bagi cucunyz, cuma apa syaratnya baru mungkin sedemikian itu? Maka sampailah kita kepada penjawaban soal kedua. Qur'an tidak akan memperinci semua ahliwais langsung ddam IV: I 1, I 2,17 6 (furak, orang-tua, saud ara) jika tidak dengan maksud menjadikan mereka sebagai yang terutama berhak untuk mewaris secara langsuflg, yaitu lebih terutama dari sekalian anggota kelurarga lain-lainnya seperti orang-tua dari oiang-tua, (yang paling terdekat cii antara sernua anggota keluarga lain-lainnya itu), yang selaras Cengan keutamaannya yang paling' rendah hanya diperlakukan secara tersirat saja dalam IV: 33, yang membutuh kan tenaga ilmu untuk mengeluarkannya dari siratan itu sebagai alrliwaris langsung y ang tersembunyi. Memong, dengan mengikuti sistimatik keutamaan dalam Qur'an secara teliti, akan didapati bahwa orang-tua dari ordng-tua hanya dapat diurasukkan ke dalalll .,.keutamaan keempat, hal mana berarti bahwa orang-tua dari orangtua hanya berhak mewaris jika sipewaris (cucu) tidak ada lagi saudara dan keturunan saudaranya. Dengan demikian maka telah sampai pula kita kepada jawab soal ketiga: ialah, orang-iua dari orang-tua tidak dapat mewaris bersama-sama orang-tua, atau bersama-sama dengan anak ataumawafbagi anak, atau bersamasarun dengan saudara atau mawali bagi saudara. Terdapatnya orang-tua dari oranftua secara tersirat sebagai ahliwaris kelas empat di antara sekian banyak mawali yang dimaksud dalam IV:33, mepjadikan saya berani untuk memperlakukannya sebagai maw-ali pula,, tetapi setelah dijaga semua kemungkinan yang dapat meflga6hukan, dan untuk ringkasnyt dan praktisnya saya gabungkan mereka dengan lain-lain mawdli

'.t

138

I'
'1.

,'ri ':9 ;\l .:l;

'.d
r#[
.4

dari garis sisi kedua dan seterusnya dan dengan orang-orang dt garis lurus ke atas selanjutnya menjadi en groupe Seb agai mawdli bagi altah dan wwt+dli bagi rnak, sebagaimana juga mereka dijumpai di kalangan mawelldalarn IV:33 itu.

,,wdliddni" dan bukan ,,aqrabtlna" bagi b menurut IV:33 a; jika d boleh mewaris bersama-sama dengan s maka d juga mewaris
sebagai mawdti Uagi b, sedangkan telah berulang-ulang ditegaskan bahwa bagi b tidak ada mawali menurut IVt33 a". Bertanyalag| murid saya itu i ,,y1, tetapi apa bedanya antara d dan s, sebab kedua-duanya sama-sama berhubungan denganp melalui b sedangkan derajat mereka sama-sama jauh pula ?" Maka saya jawab : ,, Sekarang angkamu saya beritanda kurang, sebab engkau belum juga mengetahui bahwa ^s menjadi ahliwaris lgpgsura karena penetapan Qur'an sendiri jika a tida ada, yaitu' s sebf, gaL'.dzu't faridah jika b masih hidup (IV:12), dalam hal mana b mendapat sisa kecil dengan menutup d atau s sebagai .,,ae{abtrn" -(dzu'lkarabat) jika b sudah mati (IV:176)," ddam hal mana s akan mend apat seluruh sisa besar, sedangkan d dibenamkan Allah da-' Iam kelompok mawEfi IV:33 a dengan tidak berhak menjadi

Murid saya yang cerdik bertanyakan kepada saya, bukan kah penjawaban soal kedua itu hanya 2ann (sangka-sangka) saja, yaitu ,,Qur'[n tidak akan memperinci semLla ahliwaris-langsung ... jika tidak dengan maksud menjadikan rnereka sebagai yang terutama ... ') Murid sa.ya itu saya beri angka yang baik dengan diberikan pula tambahan keterangan istimew?, yang seharusnya dia telah dapat cari sendiii, yaitu seb agil berikut, lihat gambar L, di mana d = datuk, b = ayah, p - pewaris, a j anak dan s = saud ara> seb agai contoh yang sangat bersahaja (gamp&ng, mudah). Bahwa d tidak mungkin mewarisi bersama-sama b seandainya b masih hidup dapat mudah dipahamkan sebab untuk dapat mewarisi di dalam garis keturunan yang sama (yang itu juga), maka tidak boleh ada menyela seseorang penghubung yang masih hidup. Sekarang tinggal lagi soal mengapa d tidak boleh mewarisi bersama-sama dengan a atau bersama-sama dengan s. Jawabnya : ,,jika d boleh mevlarisi bersama-sama dengan a' maka d mewaris sebagai mawdli bag b sedangkan bagi b tidak mungkin ada mawdli sebab p bukan

139

mawelf bagi b dirn hanya boleh menjadi ahliwaris langsung dan karena itu menjacli landasan pula bagi *u*iii cli garis sisi yang lebih jauh atau bagi penghubung yang lebih .iauh di garis lurus ke atas, jika tiduk ada lagi sesuatu penghalang, yaitu tidak ada &,b dan s dan atas kekuatan IV:33a tidak ada pula mawhti bagi mendiang anak dan mawdti Uagi mendiang saudara; ;jika" yang' terakhir ini bukan .,,Lann" tetapi cot'tclusi, conclusi yang diberikan oleh sistimatik Qur'dn yang penuh rahmat bagi d dan semua mawdli bagi d 'itu. Tentang sama-sama jauh derajat (lihat S L2 huruf a) nialia cucu simati umparnanya akart nleltutup saudara simati, walaupun mereka sama-sama clua clerajat terpisah dari simati, sebab faktor yang nlcnentukan berhak atau tidak ialah faktor keutamaan antara mereka, yakni keturunan iebih utama dari garis sisi. Demikian pula halnya antara s dan d tadi : s mempunyai keutamaan yang lebih tinggi dari d, jika p tidak bcrketurunan da4 tidak 'berayah lagi. Perhatikan pula gambar L II, cli mana k sebagai datuk bagi"sipewaris p menjadi landasan yang sah bagi kemawdlian m I dan rn 2, yang sama jauh hubungin darahnya dengan p, yaitu sarna-sama tiga derajat. Walaupgn m I tlan m 2 formil berhak menjadi mawdli bagi k dan walaupun sama pula jaulr derajatnya dari p, tetapi rn 2 mempunyai keutamaan yang lebih tinggi dari pada m l. Hubungan antara k, ffi I dan m2 berbeda sekali dari pada hubungan 'antara seorang .pewaris dengan anaknya dan orang-tuanya ; k bukan pewaris tetapi ahliwaris langsung sedangkan m I dan m 2 adalah. ahliwaris pengganti untuk k. Karena itu tidak dapat dalam hubungan k dengan m I dan dengan m 2, walaupun sekali secara qiyals -, dipakaikan IV: I I h, yang mensetaralkan anak sipewaris dengan orangtua sipewaris, schingga anak mewaris bersama dengan orsng-tua. Mengapa m 2 lebih utama dari m I ? Jawabnya terletak dalam perbedaan unsur-unsur ,,"tbdfli" antara mereka dengan k dan p. Qtrr'an berseru dalam IV: I ,,wattakD'll5ha wal-arhd-ma ! " Taqwa itu memaksa kita berwaspada mengenai unsur-unsur ar. tram itu ! m I mempunyai dua unsui a dan b (a = darah ayahnyl, b = darah maknya); k mempunyai tiga unsur a, b dan c (c=darah maknya); m 2 mempunyai empat unsur, yaifu a,b,c dan d
'

140

arhi-m antara mereka, sedangkan dengan rn I si-p hanya sepertalian arham karena unsur-unsur a dan b saja; karena itu maka m 2 lebilr utama dari m 1. Supaya jangan tersesat, hendaklah diingat bahwa dalam hubungan sipewaris dengan saudara dan ketuntnannya pernilaian unsur-unsur arlrdm itu dalam menentukan keutamaan mendapat perobahan karena ketentuan Allah sendiri, yang mengutamakan anak (keturunan) dari pada saudara, sekalipun unsur-unsur sepertalian arhZm dengan sipewaris sama saja antara saudara dan keturunan, seperti dalam L II kesam aan unsrlr-unsur abcde. Menurut jumlah kesamaan unsur-unsur ar$Im maka anak sipewaris lebih utama dua unsur dari orang-tua sipewaris tetapi Qur'dn mensetarafk an anak dengan orang-tua itu. Jika. tidak ada ketentuan chas seperti itu dalam Qur'dn maka berlaku, ketentuan umum VIII:7 5 ,,wo tilu'l'arhami ba'duhum awld' bi ba'din fi. kitebillehi" dengan mernpedomani unsur-unsur kesed erhanaan (arhEm) secara bilateral. Mengenai jumlah unsur-unsur itu hendaklah dicamkan bahwa cl i garis lurus ke atas jumlah itu berkurang dengan satu untdk setiap derajat dan garis lurus ke bawah bertambah clengan satu untuk setiap derajat (iika p mempunyai x unsur maka ayah atau mak si p mempunyai x I unsur, sedangkan anak si-p mem-

(d - darah maknya); p mempunyai lima unsur, yaitu ?,b,c,d dan e (e = darah maknya). Menurut u$ty darah maka p paling dekat ke kepada m 2,. karena unsur-unsur abcd rnerupakan sepertalian

punyai x+lunsur).

Kabisah 'bn Dzuaib berkata : datang seorang nenek kepada AbD Bakr bertanyakan tentang hak kewarisannya. AbU Bakr menjawab i ,,Baikpun dalam Kitab Allah maupun dalam sunnah RasDl tidak ada sesuatu garis hukumpun yang memberikan hak kewarisan kepadamu. Tetapi datang jugalah kembali setelah aku tanyakan ke kanan-ke kiri mengenai halmtr itu." AbU Bakr menanyakan perkara itu kepada'Al-Mughirah'bn Syu'bah dan Muhammad 'bn Musalmah ( Maslamah ? ). Mereka rnenerangkan bahwa mereka hadir sewaktu R memberikan kepada seorang nenek I 16 (dari harta peninggalan cucunya). Maka AbD Bakr meluluskan pula kepada nenek yang menuntut itu 116 dari [rarta peninggalan. - (Milik, Ahmad, Attirmidzi, Ab-u D-awud,

S 1 l.

Nenek.

a)

r4l
t,
't )

Addfuami dan Ibn Majah, dari A4i:;.t,kat'lrtrusdbih) Satu hal yang menarik perhatian saya, ialah bahwa Abu Bakr telah menjalankan prinsip kehakiman modern, yaitu hakim tidak boleh berdalih bahwa dia tidak sanggup mengadili karena tidak ada garis hukumnya. Dalam pada itu tidak benar keterangan AbD Bakr bahwa Qur'an tidak mengandung sesuatu garis hukum bagi hak kewarisan nenek. Baikpun nenek maupun datuk, pihak makkah atau pihak ayahknh, dan lain-lain penghubung lebih jauh di garis lurus ke atas, telah diperuntukkarl oleh Qur'an (oleh sistimatik Qur'dn) hanya menurut syarat-syarat sebagailnana telah diuraikan panjang lebar dalam S 9 huruf d dan S l0 huruf c dan secara serba ringkas telah diuraikan pula dalam kitab "tlttkurn Kew,srisun Bilatcral nrcnuntt AI-Qur.'dn", di nrana telah diuraikan prinsip keutamaan menurut lV:11,12,176,33, jo XXKII:6. Disayangkan bahwa lraOJttr Kabisah tidak memberikan keadaan kasus yang dihadapi oleh R, demikian pula tidak memberikan keadaan kasus yang dihadapi oleh Abu Bakr itu sendiri, yang nampaknya sesudah wafatnya R. Soalnya apakah R memberikan I l6 kepada nenek itu sebagai hak fara'icl bagi dzat'lfari{ah tambahan atau sebagai hak semacam mawlli untuk mak atau sebagai tu'mah (bandingkan S t huruf d).

b) Ibrf Mas'ud berkata : R memberikan tu'mah (permakanan) kepada seorang nenek , yang pertama kali diunrsny&, I 16 dari . harta peninggalan. Nenek itu didampingi oleh seorang anak lakilakinya dan anak laki{akinya hidup (... at'amahl RasDlullahi s.a. w. sudusan rna'a'bniha wa'bnuha frayyun). (Attirmidzl Addaraml, dari Mtsltkat'lma;abih) = Attirmidzi memandang lladlth itu lemah. Bagi saya itulah badlth yang lebih terang dan lebih kuat dari yang lain-lainnya itu, walaupun kasusnya. tetap tidak sempuma. Walaupun demikian masih dapat kita mereconstruksikan kemungkinan kasus tersebut. Uhat gambar M, di mana n = nenek dan p pewaris. Dalam gambar I dipahamkan batrwa anak laki-laki yang menggandengi nenek itu sama orangnya dengan anak laki-laki yang hidup itu; yaitu anak laki-laki dari nenek itu sendiri. Maka kita menghadapi satu kasus yang tunduk kepada IV: 1 le, di mana seluruh sisa besar untuk ayah dan dari bagian ayah itu R atas kebijaksanaan sendiri dan untuk memberi contoh
t42

'

bagi pemakaian IV:8 mengeluarkan tu'mah untuk nenek I16,


karena nenek bukan ahli waris, cuma termasuk kepada pengertian ulu'lkurba. Dalam gambar II kita menghadapi suatu kasus

yang tunduk kepada IV: I ld, t4n di mana anak pewaris seharus0r nya mendapat lY4 116 = olTo 7 ll2 tetapi dari bagian ini R memberikan tu'mah kepada 'io nenek I 16 sebagai seseorang penting dari ulu'lkurba. Pada gambar II itu dipahamkan bahwa anak laki-laki yang menggandengi nenek itu ialah anak nenek itu sendiri, sedangkan anak laki-laki yang masih hidup itu ialah anak dari pewaris, yaitu mendiang cucu perempuan bagi nenek itu. Kasub kedua ini didasarkan atas ,,keganjilan" bunyi lradith itu: ,,ma'a'bniha wa'bnDh? lrayyun"; mengapa tidak,,ma'a'bnihd wa hurva l.rayyun" jika yang dimaksud hanya anak laki-laki nenek itulah, malahan tidak perlu lagr ditambah hayyun sebab telah terselip arti l.rayyun dalam ma'a, jika tidak maka nenek itu digandengi oleh bangkai anaknyakah ! ?

c) AFKesim 'bn Muhammad berkata : datang dua orang nenek kepada Abii Bakr, maka semulanya AbU Bakr hendak menetapkan 1 16 hanya bagi nenek pihak ibu (mak dari mak), tetapi seorang Ansari- berkata : ,,apakah saudara kesampingkan nenek pihak bapak (mak dari ayah) yang seandainya dia yang mati dan bukan cucu laki-laki itu, maka cucu itulah yffie akan mewarisi ?" , maka Abu Bakr membagikan I 16 itu antara dua orang nenek itu. (Mehk fi'l-Muwatta', dari Nail'l'awtar) -. Juga dalam hal ini tidak diketahui duduk kasusnya yang tampaknya juga terjadi sesudah wafatnya R. Dalam perkara ini tidak ada terbayang sesuatu alasan untuk menduga bahwa dua orang nenek itu dianggap oleh Abu Bakr sebagai dzawita'lfar6'i{ tambahan ataupun sebagai semacam mawali untuk ayah atau ibu Menilik akan hadlth ibn Mas'fid pada huruf b maka lebih beralasan untuk menduga bahwa bagian unfuk nenek-nenek itu diberikan oleh Abu Bakr sebagai tu'mah.
143

i,'

t,

d) Kebigah 'bn Dzuaib berkata : clatang seorang ncnek kcpada Umar bertanyakan hak kewarisannya maka dijawab oleh 'Umar: ),seperenam, dan jika berhimpun nenek dengan seorang nenek yang lain lagi maka tragian I 16 itu berbagi dua antara mereka atau didapat seluruhnya oleh seorang nenek yang tidak berhimpul_ dengan nenek yalg lain". - (Malik, Ahmod, Attirnridzl Abu Dawud, Addarami dan Ibn Mrijah, dari tllisl'lcdt'
Irrta;ab

mengandung kasus, cuma semacam ajaran dari 'Umar, itung dapat diduga berdasar kepada praktek

fladith Kabisah ini tidak


sebelumnya.

iil

Abu- Bakr

e). 'Ubfdah 'bn'l-Samit menceritakan bahwa R telah menghukumkan untuk dua orang nenek I 16 dari harta peninggal -an dengan cara berbagi dua antara mereka. ('Abdullah 'bn Alrmad, dari lllail'l'arvtaT) Juga ini tidak diketahui apa kasusnya dan apa maksudnya bagian itu; kita hanya dapat berpegang kepada qawl Ibn Mas'ud pada huruf b, yaitu tu'mah.
'Abdurralrmdn 'bn Jazld berkata : R memberikan kepada tiga oirang nenek l16 untuk dibagi di antara mereka, yaitu dua orang nenek pihah ayah dan seorang nenek pihak.ibu. (AdderuKufni, dari lVail'|'ov,lo7) Juga ini tidak diketahui bagaimana kasusny^. Dengan mempedomani_haaitn Ibn Mas'ild pada huruf b maka juga bagian I 16 pada l,radith 'Abdurrahmdn itu mungkin hanya dimaksudkan sebagai tu'mah '' kepada ilfi'lkurbd, dan bukan sebagai bagian untuk mawili karena mereka terdiri dari pihak ayah, dari pihak datuk dan dari ptak mak, yang hal ,,likullin"-nya berbeda-beda, sehingga kemawdliannya ada yang palgu dan ada yallg tidak palsu, sedangkan bagiannya sebagai mawdli berbeda-beda pula, yaitu mak pihak ayah rl3 x 213, mak pihak datuk tl3 x 213 x 213 dan mak pihak mak I 13 x I 13 . Tetapi Alu'ssunnah memahamkan tiga orang nenek itu sebagai dzawdt'l-fara'i4 tambahan yang berbagi sama rata bagian I l0 itu. Berbagi sama rata sesuatu bagian angka fari'id hanya mungkin menurut Qur'd'n antara

f)

orang-orang yang sepertalian darah (antara anak-anak perempuan, antara saudara-saudara perempuan), sedangkan nenek-nenek itu

tidak $epertalian darah karena berlain-lain t44

asal.

Buraidah berceriiera, bahwa R menentukan bagi seorang 116 kalau (idzd) tidak ada ibu. (Abfi Da'wud, - dari ' Nail'l'av,tdr) , ' Juga ini tidak tentu kasusnya dan apakah ,,idzA" (kalau) itu

g)

nenek

.wtl'lfaie'i4, sebdb bolehkah manusia mengatui-atur sendiri syarat-

samadengan,,illsyartiYYalt''(jikadalamartisyarat) memberikan {u'mah kepada nenek ' seb agai ulfi'lkurbd tidak dimestikan ada atau tiada ibu, Jetapi untuk memberikan far6'id memang mesti-.aQa sleratnya yang selalu dimulai dengan ,,iil" (perhatikan baik-baik IV: I l,12,17 6). Inilah pula yang menjadi penghalang bag manusia untuk rnenambah-namba[ jumlah dza-

Mengenai 'fu'mah, 'IV:8 mempergunakan perka taan idzd 'dalam arti . ,;bila kebdtulan ada" atau ,,kalau ada". Ctfi'tkurbd mendhpat pemberian lcalau merelca ada hadir sewaktu ahliwaris berbagi harta, dengan tidak disyaratkan apakah mak ada atau tidak ada. Nenek pihak mak berhak mendapat pemberian itu juga bila ia hadir berssrn&:S ama mak. Jika mak tidak ada maka nenek pihak mak itu kalau hadir juga tetap berhak mendapat pemberian itu jika ahliuhris yang serta berbagi ialah ayah, atau anak, atau ayah bersama andk, atau ayah bersama saudara atau saudaia'sajl. Juga nenek pihak ayah demikian pula; tidak berbeda' llaknya dengan hak nenek pihak mak untuk mendapat pemberian ex IVl'8.
t'

nyr itu ?

balian nenek ialah :


I

' h). )

Kesimpulan mengdnai tujuh buah hadith mengenai pem-

'2:i,

bagian- nenek dalam, hadlth-badittr tersebut tidak dapat dipahamkair sebagai bagian far['id, sebab berarti menambah\ nambah jumlah dzAwu'lfara'i{ yang telah ditetapkan AIlAh. Hak fard'id bagi nenek juga tidak dapat disesuaikan dengan bunyi [adith-hadith tersebut bagian nenek dalam hadith-hadith tersebut tidak dapat dipandang sebagai bagian trntuk mawali sebab bagian mawili berbeda-beda menurut kedirdukannya ; dipandang sebagai fu'mdh untuk ultrlkurb-a.

. 3)

bagian nenek dalam hiaitn-haOittr tersebut cuma dapat


i

t45

t2. Ifak saling mewaris. a)


Alkasim 'bn Muhammad berkata

huruf c) bahwa seorang Angri mengecam kebijaksanaan Abu Bakr yang memberikan I 16 hanya kepada nenek pihak ibu dengan menyingkirkan nenek pihak bapak dari pembagian. Ansari itu berkata i ,,Apakah saudara kesampingkan nenek pihak bapak yang seandainya nenek pihak bapak itulah yang mati dan bukan cucu laki-lakinya itu, maka cucu itulah yang akan mewarisinya". Maka Abu Bakr bagikan 1 16 itu sania rata antara dua orang nenek itu. Dalam kecaman Ansari itu terselip trga persoalan : pertamn, apakah dalam kasus yang dihadapi itu keadaan memang begitu sehingga nenek dan cucu itu tak dapat tidak mesti dapat saling mewarisi ? ; kedua, apakah merupakan prinsip umum dalam hukum kewarisan pertimbal-balikan antara pewaris dan atrliwaris, dalam arti jika A berhak mewarisi B malia B mesti pula lrerhak mewarisi A ? ; ketiga, apakah cucu melalui anak perempuan tidak berhak mewarisi mak dad maknya (nenek pihak mak) ? Lihat gambar I. Menurut IV : 1l a,b,c, jo IV : 33a maka b dapatlah di-

: (lihat g I t

laki-laki

warisi oleh a jika ayah si a (atau anak si b) sudah mati terlebih dahulu. Menurut IV : 1le jo IV:33 a maka a dapat di-

warisi oleh b (sebagai ,,qhliw'aris langsung yang tersirAt" di ant ara mawlli) jika a mati tidak berketurunan, tidak mempunyai ayah dan mak lagi (IV:l I h), sebab jika ayah mati tetapi mak masih hidup maka mak akan mend apat semuanyz, atau jika mak mati tetapi ayah masih hidup, maka ayah akan mendapat semuanya (lihat hl 23, 29-31 kitab ,,Httkutn kewarisan bilateral nuenurut Al-Qur'{n"), dan tidak pula ada saudara atau keturunan saudara (lihat g l0 huruf c). Akan tetapi walaupun dalam keadaan penuh syaratsyarat tersebut si b diakui menjadi ahliwaris bagr a maka bukanlah sebagai ahliwaris satu-satunya, sebab selain si b juga si csama-sama berhak mev/aris, ditambah lagi dengan semua mawali bagr mendiang suami si b dan bagi meirdiang suami si c (keduanya
146

datuk bagi. si a). Jika kita hanya berpbgang kepada keadaan menurut gambar saja, maka alrliwaris. begr a ialah b dan c, dan ahliwaris bagi b dan c ialah a, sbmuat'rya jika a tidak mempunyai ayah dan mak lagi. Jelaslah bahwa'kecaman Anqari .tadi juga berlaku seandainya nenek. p:ihak mak inlah yong mati. J*a b : dan c mewarisi a, mika bagran b bukan l/5 atau l/12, danbagian c juga bukan l/6 atau lll2,.akm tetapi b mendapat 213 dan c mendapat 1/3, yaitu mengikuti bagan untuk'ayah dan mak si a menurut IV : I le; sehingga dalam hal jumlah bagian tersebut . b dan c, sebagai ahliwaris langsung yang tersirat dalam IV:33a, mendapat pembagian seperti mawdf, walaupun mereka bukan . mawdli. Demikianlah halnya menurut Qurlfu. Tetapi me. nurut hukum adat 'Arab yang patrilineal ifu maka memang cucu
laki-laki berhak niewarisi nenek pihak ayahnya, dan tidak berhak mewarisi nenek pihak maknya sebab berlainan,kaum (keluarga). Sebaliknya nenek.pihak bapak, apa lagi neriek pihak mak,tidak .. berhak mewarisi cucunya karena peremp.ua{l tidak berhak me. waris. Nampak kepada kita bahwa Anqari- itu, dan karena peng. .u*h dari Angdri itu juga Abu- Bakr, masih diliputi pikiran yang diaduk-aduk oleh paham-paham patrilinbal. Conflict yang timbul dalam pemikiran enqariiiu,aun yang merembet pula kepadaAbu Bakr ialah : tidak adiltdirasakan oleh.mereka jika nenek pihak mak dan nenek pihak ayah, yang semulanya menurut hukum adat 'Arab sama-sama tidak berhak mewarisi cucu (dan lain-'lainnya), sekarang ini tidak diperlakukan sama pula, yaitu jika dalam hd ini hanya kepada nenek pihak mak diberikan hak mewaris, sedairgkan menurut hukum adat 'Arab (dan juga menurut hukum Islam ajaran Zaid) cucu itu tidak berhak mewaris dari dia, tetapi tidali diberikan hak mewaris itu kepada nenef; pihak ayah sedangkan cucu itu menurut hukum adat 'Arab (dan juga menurut hukum Islam ajaran Zaid berhak mewaris dari dia. Ndmpalilah bahwa Ansari itu dan Abu Bakr mempersoalkan hak saling mewaris itu hanya untuk menitik bOratkan bahwa jika kepada nenek, yang menurut hukum adat 'Arab tidak bethak saling mewaris ya, tidak ada sanaa sekali hubungan kewarisan, dengan cucunya, boleh diberikan hak, sekalipun rRenurut hulcim Islam ajaran Zaid cucunya itu tidak berhak mewarisinyl, apa lagi kepadanenek yang boleh diwarisi oleh cucunya baik menurut hukum adat 'Arab maupun menurut hukum Islam ajaran Zaid. t47

Seperti ternyata dari S 6 huruf c, Zatd hanya mau mengakui hak cucu kelahiran anak laki-laki untuk mewarisi seperti anak,

tetapi tidak mau memberikan hak tcrs'ebut kepada cucu kelahiran anak perempuan. Menurut hukum Qur'dn mereka tidak perlu lagi menitik beratkan soal tenebut kepada hak saling mewaris, yang. menurut kasus memang benar ada, walaupun berlainan hasil bagi pihak yang satu (b) dari pihak yang lain (s,), yqitu a berhak mewarisi b dan c sebagai mawElluntuk mendiang ayahnya dan mendiar'g maknyt, sedangkan b dan c berhak pula mewarisi a jika kedua orang tua a telah mati terlebih dahulu, yaitu b untuk ll3 x 213 dan c untuk ll3 x ll3 bagian. Selanjutnya ternyata dari fradlth Alkfsim itu bahwa ,lglarn kasus yang dihaclapi oleh Abu Bakr dan advisornya Anqf,ri itu, rnereka ini sendiri telah mempunyai paham a priori bahwa juga dalam Islam nenek piha\ mak itu tidak dapat diwarisi oleh cucu, sebagaimana juga Zau.d (lihat S 6 huruf a) secara a priori beranggapan sedemikian. Benar bahwa menurut ajaran Ahlu'ssunnah cucu melalui anak perempuan dapat diberikan hak kewarisan tetapi bukan sebagai ahliwaris kelompok yang terutaffi&, hanya sebagai ahliwaris yang paling-paling ujung, yakni sebagai dzawil'l-arha-m, artinya baru berhak mewarisi jika tidak ada dzawi'lfara'i{, tidak ada 'a$dbah (Hananj aan tidak ada pula bait'lmal yang teratur baik (Syaf i). Dibawakan kepada gambar elementair kita di atas tadi maka menurut Altlu'ssunnah benar a ahliwaris bag b, tetapi belum tentu benar bagi c, sedangkan menurut sistim bilateral benarbbnar a ahliwaris baik bag b maupun bagr c, dengan syat'at bahwa orang-tua si a telah mati kedua-duanya. Sebagai illustrasi bahwa menurut hukum Qur'dn hak saling mewaris' itu tergantung kepada syarat-syarat yang berlainan bagr masing-masing pihak yang bersangkutan, perhatikanlah gambar:gambar yang di bawah ini. II"
b

AA.

liA
3'

uA Ac

6.4

t'

t48

Pada gambar Ia memang b dan c berhak mewarisi a) dan a berhak mewarisi b dan c, dengan syarat a mati tiada keturunan tiada berorang-tua dan tiada bersaudara atau keturunan saudara maka b dan c menjadi ahliwaris langsung yang tersirat dalam IV:33a dengan mendapat pembagian sebagai mawflli seperti tersebut di atas tadi, sedangkan a berhak mewarisi b dan c sebagai -ti mawali untuk mendiang kedua-dua orang-tuanya.

Jika ada anak bagi a (gamtrar II) rnaka a tetap ahliwaris bagi b dan c, tetapi b dan c tidak boleh mewarisi a, sebagai anak si a lah ahliwaris bagi a. Berpedoman kepada sunnah R maka wajib diberikan dari bagian untuk anak si a itu tu'rnah bagi b dan c. Pada gambar IIa, maka b dan c bukan ahliwaris bagi a sebab
tersingkir oleh IV:1lh, sedangkan a bukan pula ahliwaris bagi b dan c atas sebab yang sama. Ahliwaris bagr a ialah kedua orang tuanya dan anaknya (IV: I 1d). Jika masih ada ayah (gambar III) maka b ticiak berhak mewarisi a, sebab terhalang oleh ayah (IV:1lh), dan c pun tidak berhak mewarisi a sebab harta peninggalan diborong oleh ayah si a (IV: I t h), lagi pula karena c bukan mawdli bagr mendiang mak si a (IV:33a) dan bukan pula ahliwaris langsung berdasarkan IV:l lh (aba'ukum akrabu lakum naf"an), ayat mana menyebabkan -jugg. terhalang. Sebaliknya a berhak mewarisi c, sebab a adalah mawdli bagi mendiang mAka (IV:33a), tetapi a tidak berhak mewarisib sebab terhalang karena IV: 1 I h (abna'ukum akrabu lakum naf'an) yang mengutamakan ayah si a, yaitu anak si b yang masih hidup itu. Pada gambar IV, maka a berhak mewarisi b, yaitu sebagai mawdli bagi mendiang ayahnyt, tetapi tidak berhak mev,'arisi c karena a terhalang oleh ibunya menurut IV: 1 th (abnd'ukum akrabu lakum naf'an, di mana abna'ukum juga meliputi bandtu kum, lihat kitab "Hukttm kewarisan bilateral menurut al-Qur'fin", hl 29 - 30).
Sebaliknya b tidak berhak mewarisi a karena b tidak boleh rnenjadi mawali bagi ayah si a (IV: 33a) dan harta peninggalan diborong oleh mak si a atas kekr-ratan IV: 1 I h )aba'ukum akrabu laktrm naf'an, dimana aba'ukum juga meliputi ummahatuk,uffi, lihat kitab ,,Hukurn kewarisan bilateral menttntt al-Qur'an",
149

hl 23-30) dan karena itu pula maka c tidak berhak mewarisi a. Pada gambar IVa di mana ayah dan mak mendiang si a M masih hidup, maka teranglah bahwa b dan c terhalang karenA IV: 1 I h dan ayah serta mak si a itulah ahliwarisnya yang akan berbagi menurttt IV: I I e, ayah mendapat 213 J dan ibu | 13. Dan jika rlalanl hal itu b dan c yang ntati maka juga a terdinding untuk mewarisi oleh IV: 1 t h itu juga, maka b akan diwarisi oleh ayah si ar dan c akan diwarisi oleh mak si a. Pada gambar V, maka b dan c diwarisi olc,h a dan satrclarattlrn sebagai mawili untuk mendiang kedua orang-tua mereka, tetapr b dan c tidak berhak mewarisi a) sebab mereka tidak berhakmenjadi mawali untuk masing-

't

T'

masing mendiang anak mereka (b untuk ayah si a dan c untuk mak si a) dan tidak pula berhak untuk menjadi ahli-waris langsung bagi a karena a mempunyai saudara yang lebih tinggi keutamaannya (lihat hl 68) sehingga ahliwaris bagr a hanyalah saudaranya (IV:lJ 6\. Pada gambar Va, maka b dan c dan a tidak dapat saling mewarisi karena terhambat oleh IV: I t h. Jika a mati maka ahliwarisnya ialahkedua orang-tuanya dan saudaranya (IV:12 kalalah), dan jika b mati maka ahliwarisnya ialah ayah si a, clan jika c mati maka ia diwarisi oleh mak si a.

HM

Dari contoh-contoh tersebut jelaslah bahwa hak saling mewaris itu, karena sangat tergantung kep ada syarat-syarat yang berlainan bagi kedua belah pihak, ada kalanya mungkin seperti pada gambar I a tetapi umumnya tidak mungkin. Segala sesuatu yang diteranglian di atas tadi tetap benar jika dan walaupun a perempuan dan b dan c laki-laki, yaitu dalam hubungan antara datuk dan cucu perempuannya. Begitulah menurut sistim bila150

teral, tetapi menurut ajaran Ahlu'ssunnah yang patrillineal itu


maka datuk pihak (ayah dari mak) dan cucu melalui anak perempuan adalah dzawil'l'arlrd'm yang baru berhak mewarisjika tidak ada dzawillfard'id dan 'a;abah, dengan mungkin tambahan jika mewaris yang dimulai oleh orang Angari dalam hadith Alklsim itu memang sangat penting, sebab ia membuka jalan kepada pemecahan soal keutamaan atau soal hijab menghijab. Gambar II memperlihatkan keutamaannya gambar III dan IV dan IVa memperlihatkan keutamaan orang tua dan gambar

tidak ada pula bait'lmil yang teratur baik. Persoalan

saling

IIa mempeilihatkan keutamaan orang tua beserta anak, gambar V memperlihatkan keutatncnn saudara dan
gambar Va memperlihatkan keutamaan orang tua beserta saudara.

Hanya jika tidak ada anak (atau keturunan anak), dan tidak ada pula orang-tua, dan tidak ada pula saudar a (atau keturunan saudara) seperti pada gambar la, maka barulah ada keutamaan bagr nenek (dan datuk),yaitu ahliwaris langsung menurut IV:33a yang mendapat bagian mawdll seperti bags, ayah dan bagr mak sipewaris. Dari penemuan pelbagai keutamaan itu, yang mesti ada dalam Qur'an oleh karena XXKII:6 dan VIII:IS sendiri telah menyebut-nyebutnya, maka conclusi yang dimaksud pada hl 73 memang conclusi yang terlepas dari setiap pengertian Lann, sangka-sangka yang tidak mampu menghadaqi kebenaran, Seperti tersebut dalam X:36 "inna 'i2anna ldyughni minalhakki syai'an (,,duga-dugaan atau sangka-sangka tidak berkemampuan apapun juga terhadap kebenaran"). Bagi muridku yang belum juga dapat memahamkan soal keutamaan tersebut saya berikan contoh sebagai berikut : jika Abu Bakr ada dildalam ka'bah maka '(Jmar, 'Usmdn dan 'Ali tidak boleh masuk; jika 'IJmar ada di dalam ka'bah maka 'Llsman dan 'AlI tidak boleh masuk; jika 'Usman ada didalam ka'bah maka 'Alf tidak boleh rnasuk. Soal: kapankah 'Ali boleh masuk ke clalam ka'bah ? Jawab: jika AbD Bakr, 'Umar dan 'Usmdn sedang bepergian. Maka demikianlah pula halnya dengan datuk dan nenek, mereka baru boleh menjadi ahliwaris jika sipewaris tidak ada berketurun&il, tidak ber-orangtua dan tidak pula mempunyai saudara atau keturunan sattdara.

, b)

Muhammad 'bn Abi- Bakr 'bn flazm menceriterakan bahwa dia acapkali mendengar ayahnya (AbU Bakr 'bn Hazm) berr

5l

'Umar 'b.n Chatab r.'a.h. pernah menyatakan keherananflya kepada bibiknya (saudara perempuan ayahnya); ,,B_ibik cliwarisi tetapi ti,tak mewaris" . - (Melik', clari lll is.t'l;ut'lnrusablh)Lihat gambar U dimalla u = 'Untar, b bibiknya dan c -'dattrk si a. Keterangan 'Umar ittr timbul setelah dia mendapat ajaran Islanr sebab sewaktu 'Umar masih seoraltg jahil maka sekali-kali dia ticlak heran akan hal tcrscbut scrbitb tllctrtilllg rnentrrut hukrlm aCat Arab pcrelnpllall tidak lnervaris tetapi diwarisi (pcrempuan lloleh rnenjacli pewaris tc:talri ticlak Lrolerh rnenjadi ahliwaris). Yang mcngherattrkatr 'Umar ialah'' apakah sallla hukurn aclltt 'Aratr clengatt ltttkttttt Islarn, sebab dirasaketnnya baltWa ltuktrm lslam ittr seltarusnya tidak sa nra dertgan httktttt't iahiliyyah.
katat bahwa

Di mana terletak {<e'ajaiban perkara itu ? ! Jika dibawakan kepada gambar, maka menurut hukum adat 'Arab b tidak boleh mewarisi a, tetapi a berhak mewarisi b jika belum dikawinkan secara exogami kepada orang lain 'u$bah. Menurut hukum yang dibikin oleh Ahlu'ssunnah maka b itu dzawfr'l'arha-m bagi a dan baru boleh mOwarisi dari a jika telah punah 'aqabah si a dan tidak ada dzawu'lfara'id. Karena a adalah 'Umar yang banyak 'asabah nya maka telah pastilah bahwa bibiknya yang dicintainya itu tidak akan pernah mungkin mewarisi dari dia, sehingga keheranan 'Umar itu ialah terhadap hukum Islam yang di masa'LImar itu belum cukup lengkap perkembangannya, sehingga 'Umar sendiri menghadapi keragu-raguan atau keheranan. Jika diikuti sistim Qur'En maka menurut gambar tersebut, - yaitu jika benar a tidak berketurunarl, tidak berorang-tua, tidak bersaudara atau "keturunan saudara dan tidak ada pula orang-tua dari orang-tua , b berhak mewarisi a, yaitu b resminya sebagai mawlli untuk c dengan berhak mend apat _bagian sebeser 213 x 213 dan jika tidak ada benar lain-lain mawdli untuk orang-tua pihak mak dan pihak ayah si a, maka b berhak atas seluruh harta peninggalan a (iika tidak ada janda). Sebaliknya jika b rnati punah dan tidak berduda, maka a berhak mewarisinya sampai seluruh harta peninggalan b, yaitu a sebagai mawtli untuk saudara si b (IV:176 io IV:33a). Juga menurut Ahlu'ssunnah, jika kei,Jaarr kasus persis r;eperti dalarn gambar, maka a berhak mewarisi b seakan-akan lr itu ayah,

t52

dan b berhak sebagai dzawfr'l'arhd'm mewarisi a seakan-akan a itu anak, maka effectnya ialah bahwa jika a mewarisi'b maka a dapat seluruh harta peninggalan, dan jika b mewarisi a maka juga b mendapot, atau mungkin mendapat (Sylti'i), harta perringgalan seluruhnya. Jelaslah bahwa ajaran Ahlu'ssunnah mengenai kewarisan bagr dzawrl'l'arh6m di masa 'Umar belum mencapai perkembangannya, sebab jika telah maka tak mungkin 'Umar

akan terheran-heran itu. Bahwa hukum kewarisan untuk


dzawfr'l'arl.rd'm sangat lambat berkembang dapat mudah dipaham-

kan

karena dalam sesuatu sistim sejak semulanya telah

c!idasarkan atas pahanl-paham yang patrilineal,, maka tidak mudah

hak kewarisan akan tanggal dari golongan 'qbah, sebab kepunahan 'usbah hampir-hampir tidak mungkin terjadi. Dalam sistim bilateral, yang tidak mengenal pengertian dzawu'l'arhdm dan h anya _ mengena! pengertian dzawfr'lkarabat atau aqrablrn dan ntawali, maka setiap sebentar akan dijumpai orang-orang ikut mewaris yang menurut Ahlu'ssunnah tidak berhak serentak
mewaris karena tergolong kepada dzawtfl'arha-m. Jelaslah bahwa sistim bilateral mendekatkan orang-orang yang sepertalian darah sedangkan sist im Ahl u'ssunnah rnemperenggang urusan sepertalian darah itu. sehlngga bagi mereka sangat tepat peringatan Qur'iin IV: I .,wattaku'llaha wa'l'arl.i5ma Sebagai contoh dari perobahan kedudukan bagi dzawil'l'ar[dm jika mereka dikenakan hukum kewarisan bilateral berdasarkan Qur'an d an sunnah Rasul (ingatlah akan ajaran bilateralnva dalam S 8) dan bukan hukum yang hanya berdasarkan paham para $ahabah, lihat gambar N. Menurut Ahlu'ssunnah yang kl:banyakannya memakai sistim ahli't tanzil maka a meskipun hidup dimatrkan hak kewarisannya oleh b, oleh karena b baru satu derajat ter.pisah dari pcrcmpuan yang masrh sedarah patril ine al dengan p' yaiiu mak si b, sedangkan a suclah d ua derajat terpisah dari perenrpuar- yang masih seclarah patrilineal dengan p, yaitu mak dari mqk sr a. Menurut sistim bilateral maka a dan b samasama mawali, u untuk lrtak perempuan si p dan b untuk anak laki-luki si p. nr;rkir a rncndapat I l3 dart b mendapat 213. Menurut Ahlu'ssunnah. Irlrirt garnbar Q, maka d menggantikan ayah si p,
153

Menurut sistim bilateral c mendapat seluruhnya sebagai mawdli bagi anak perempuan si p yang berkedudukan dalam keutamaan pertama dan seandainya masih hidup berhak mendapat fard'i{ yz ditambah mendapat radd sisa-bagi Yz sebagai dzawu'lkarabat, sedangkan d dan e dalam kasus tersebut tidak berhak kewarisan apa-apa, karena mereka hanya r.rlu'lkurba (IV:8) dan hanya berhak untuk mendapat tu'rnah. hanya jika c tidak ada maka barulah d dan e berhak mewarisi sebagai mawdlf trntuk masing-masing ayah (dan mak) mereka, yaitu untuk datuk datuk @an neneknenek) si p, karena datuk-datuk (dan nenek-nenek) itu adalah, jika hidup, ahliwaris-ahliwaris yang terpenclarn dalam IV:3?a, maka d akan mendapat 2lZ dan e akan mendapat ll3, jika tidak ada lain-lain maw?li. femUali kita kepada keheranan 'Umar, maka menurut hukum kewarisan bilateral berdasarkan Qur'aln, yang kebilateralannya juga telah dipahamkan oleh R sendiri, memang adakemungkinan bahwa 'Umar berhak mewarisi bibiknya sedangkan bibiknyatidak berhak mewarisinya, lihat gambar R, .mana a ='Umar, b = bibik dan c = mak. Maka a berhak mewarisi b, yaitu sebagai maw6li untuk mendiang saudara si b, yaitu mendiang ayahL si a, tetapi a tidak dapat diwarisi oleh b lcarena b sebagai mawdli bagi ,,orang:tua dari orang-tua" si a tdrmasuk keutamaan y ang terrendah (keutamaan keempat) sedangkan c termasuk keutamaan pertama, sehingga c-lah yang berhak mewarisi seluruh harta peninggalan a, yaitu l13 sebagai fara-'iql (IV: I le) dan 213 ieLagai radd sila-bagi *yung dipeioleh atas kekuatan IV. I l h, karena rekan setarafnya dalarn hal ,,naf"an" yaitu ayah si a tidak ada lagi, sedanghan di masa jahiliyyah baik c maupun b tidak berhak mewaris. Dalam hal yang sulit baiklah nyinyir, maka saya ulangi di sini bahwa soal keutamaan yang dimaksud dalam XXXII:6'dan VIII:15 dan disebutnya ads dalam kitab

e, menggantikan mak si p, dan c menggantikan anak perempuan si P, dengan akibat c mendapat ll2, d Il3 farE'id 116 dan bagian 'asabah 116) dan e lle.

ts4

Allult bertiang aras kcpqda IV:l I h dan IV:53 a yang menyebabKan I ) anak darn rnawlli untuk anak dapat berhirnpun dengan orang tua ,2) saudara dan mawlli untuk satrdara dapat berhimpun

clengalt orang-tua,3) orang-tua dapat nremborong selnua harta peninggalan jika tidak acla anak, rna#dli untuk anak, saudara dan'mawlli untuk sauclara,4) selanjutnya b'ahwa jika tidak ada anak, mawlli trntuk anak, saudara nlawlli untuk saudara, dan orang-tuan rnaka barulah berhak orang-tua dari orang-tua untuk mewansi cucunya sedangkan untuk setiap orang yang telah rnati terlebih dahulu di antara 4 orang..orang-tua dari orang-tua" itu diadakan mawali

dari kalangan garis sisi kedua' dan jika ini kosong maka barulah dari penghubung-penghubung yang setingkat lebih tinggi di garis lurus ke atas dan setiap tempat di antara 8 orang ,,orang-tua dari orang-tua dari orang-tua" .itg yang terny ata kosong diisi dengan mawEli dari garis sisi ketiga. Dengan demikian maka ahliwaris

mimnfa taraka'l'wiliddni wa'l'awlddu wa'l'akrablna" (Maksudnya : IV:33a lnenyebut sebagqi pewaris hanya orang-tua dan keluarga dekat, sehingga mawSlihanya mungkin untuk men diang anak dan untuk mendiang keluarga dekat, Jika ada ptrla mawEll untuk mendiang orang-tua maka pewaris bukan lagr hanya orang-tua dan keluarga dekat tetapi mendapat tambahan dengan anak-anaH.

akhir orang-tua dari oiang-tua (te_rpentl.. rTr dalarn IV:33a), sgdangkan ahli-waris sebagai mawdli ialah untuk anak; mawS'li untuk saudara dan mawall untuk orang-tua dari orang-tua (IV: 33a), tetapi mawdli untuk orang-tua formil tidak adA, sebab bertentangan dengan perumLlsan IV:33a, yaitu seakan-akan bunyinya bukan ,,... mimmZ taraka'lwhliddni wa'l'akrabTrna"

sepertalian darah karena hak sendiri (ahliwaris langsung) menurut Qur'dn ialah a.nak, orang-tua, saudara (V:1 l. 12, 116) dan ter-

tetapi

meninggalkan barang yang tidak penting (syai'an) dengan tidak diketahui ada baginy.a anak atau orang yang hampir padanYs, maka berkata R : ,,berikanlah barangnya itu kepada siapapun orang sekampunglya." (Abu Ddwud dan At-Tirmidfr., dari M i,s.t' kdt'l r:nSab1il 155

$ 13. Harta peninggalan si-tunggal. . a) 'Aisyah menceritakan bahwa seorang bekas budak R mati
.

'A'isyah menceritakan bahwa seorang bekas budak R mati, maka bertanya R : ,,adakah baginya orang-orang sepertalian darah ..?. (min nalibin awrafrimin) ?" Orang-orang berkata : ,,Enggak ada." Maka berkata R I ,,Berikanlah harta peninggalannya kepada orang-orang yang sekampung dengan dia" (b a'Q{ahh karyatihi).Alrmad, Abu Dawud, Ibn Majah, dari A. Hassan ,,Al-faraa-idl"). c) Kuthair 'bn 'Abdillah menyampaikan bahwa ayahnya menerima cerita dari datuknya bahwa R pernah berkata r ,,rnawla'lkawrni minhurn" - (Addarami,- d ari IVisykut'hrrusabflt) d) fuias 'bn Mahk menceritakan bahwa R berkata : ,,mawla'lkawmi min anfusihim" ( kepala kaurn, kepala adat dalam clan, termasuk bilangan sepertalian darah clan itu). e) . Buraidah berkata: ,,Ada orang mati dari clan Chuza'ah,maka orang bawa ke muka R perkara barang-barang peninggalan simati itu, maka berkata R : ,,Periksa jika ada baginya ahliwaris atau orang yang sepertalian darah dengan dia !" Orang tidak dapat temukan ahliwaris atau keluarga simati, maka berkata R: ,,Berikan barangnya itu kepada kepala adat tertinggi orang Chuza'ah (,,alkibara min Chuza'ah atau ,,akbara rajulin min

b)

Auza'ah"). (Abu Dawud, dari M is.t'l;ut'lrtrusclbln) f) Al-Mukda-m menceritakan bahwa R berkata 1) ,,Sayalah mawla- bag orang yang tidak punya mawla
:

D 3) 4)

( kepala adat). Saya warisi harta bendanya dan saya ha puskan kehinaannya (,,waafukku'a'nahu" yang mungkinkah juga artinyo ,,dan saya bayarkan hutang-hutangrlya" ?). ,,Ke.pala kaum atau kepala adat (akhalu) mewarisi harta orang yang tidak mempunyai ahliwaris dan menghapuskan kehinaannya (,,w& yafukku 'Enahu", yang mungkinkah juga berarti ,,dan dia bayarkan htrtang-hutangnya" ?). ,,Saya adalah ahliwaris bagi orang yang tidak berahliwaris, saya akan selesaikan sangkut-pautnya (.,,&'kilu'anhll", yang mungkin juga artinya ,,saya akan selesaikan hutang-hutangnya) dan saya warisi dial' ,,Kepala kaum atau kepala adat (alkiralu) adalah ahliwaris bagr orang yang tidak berahliwaris, dia akan selesaikan sangkut-paut simati (,,ya'kilu 'anhu", yang mungkin juga berarti ,,dia akan selesaikan hutang-trutanE simaii") dan

r56

g) Ibn Umamah 'bn Sahl menyampaikan perkataan R: ,,Allah dan Ras[lnya mawl6 bagi orang yang tidak bermawl6 dan alkhalu adalah ahliwaris bagi orang yang tidak berahliwaris" (Ahmad, Ibn Mdjah, At-"firmidzi, : dari Nail'l'awtEr) h) 'Umar berkata : ,,48rta peninggalan orang yang semasa kecilnya menjadi anak pungutan denga! tidak diketahui siapa orang tuanya, masr,tk bait'lmEl." (Razim , dari A. Hassan

dia akan warisi simati 'lntasdblil -

itu". - (AbE DEwud, - d afi Misltkdt-

D:

,,Al-faraa-icll". ) i) Dari l;actTth-haclith yang tersebut cli atas dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang anggota kaum (dalam masyarakat

'Arab kaum itu selalu merupakan clan atau bagian clan yang patrilineal) atau anggota sesuatu masyarakat hukum yang g.nrulogis, jika mati sepunah-punahnya ke garis atas, ke garis bawah clan ke garis sisi, maksudnya jika mati dengan tidak dapat

lngi diltttktil<nn siapa yang sepertalian darah dengan dia menurut sistim patrilineal, dianggap selaras dengan kepercayaan tlmum clalarn setiap kaum bahwa semua anggota adalah sepertalian darali secara patrilineal - meninggalkan seluruh kaum itu sebagai ahliwarisfly&, dal karena itu unttrk pelaksanaan pewarisan semacam commtrnal tersebut maka secara praktisnya 'diserahkar harta peninggalan si mati itu kepada kepala kaum itu (syaikha,khdl).Dari sini dapat disalurkan garis hukum bahwa ,,linum mewarisi anggotett.ttct .t,eng rnat i gtttnuh, atau lebih tegas lagi ,,tnosyarofut 4tulctutt ),ang genealogis mewarisi anggotanya yang mati punah", dengan pengertian bahwa punah di sini berarti ,,tiacla ada mempunyai ahliwaris, tidak ada mempunyai anggota keluarga yang berhak mewarisi." Karena pengertian masyarakat lukum sebagai badan hukum belum lahir. di masa R itu, maka' masyarakat hukum itu atau kaum itu dipersonifikasikan kep,ada kepala adatnya. Di Indonesia berlaku garis hukum bahwa setiap masyarakat hukum, tidak perduli genealogis atau tidak mewarisi apggotanya yang mati punah dengan perantaraan kepala adat sebagai wakil masyarakat hukum itu dalam rvajah nya seb agai badan hukum, maksudnya harta peninggalan itu bukan dipeieunakan untuk kepentingan diri kepala adat itu tetapi untuk kepentingan umum dalam masyarakat hukumnya itu-

rl
I

rs7

Bait'lmal yang dimaksud oleh 'Urnar itu tampaknya timbul setelah wafat R.' Juga tidak jelas dari qawl 'Umar itu apakah bait'lmEl yang dimaksud kepunyaan seluruh Negara Isldm yang dipimpin oleh 'IJmar atau adakah pula bait'lmal setempat untuk setiap masyarakat hukum dalam negara Isl5'm itu ? Dari l.radlth-fradith itu ternyata pula bahwa datam perkembangpn Negara Islim di nrasa R itu ada orang-orang yang- terlepas dari setiap perikatan dengan sesuatu masyarakat hukum sehingga mereka ;tidak mempunyai mawla (kepala adat, khal, Syaikh), maka dalam hal tersebut Rasfilulldh dan Allah-lah yang menjadi marvla bagi mereka, dan Rasill-lah yang mewarisi mereka. Rasil dan Atlah sebagai mawla beraiti Rasiif sebagai pelindung umum dalam Negara IslTm yang sedang berkembang itu dan Allah adalah pelindung bagi semua makhluknya. Mengenai tanggung jawab bagi hutang piutang simati punah itu lihat S '14.

S 14.

Tanggutxg jawab mengenai hutang sipewaris

a) Abu Hurairah menceritakan bahwa R berkata: ,,AnEawll bi'hnu'minlna min anfusihim faman ni6ta wa 'alaihi dainunn wa lam jatruk wafd'an fa'alainf ta{a'uhu wa man taraka mElan (Buchdr-i) faliwaraihatihi. " Artinya i ,,Aku lebih dekat kepada orang-orang mukmin dari mereka -itu sendiri antara sesamanya, rnaka jika ada orang mati meninggalkan hutang ypng tak dapat dibayarnya (tak dapat dilunasi dari harta peninggalannya) maka kewajibankulah untuk nrembayarnyt, dan jika dia meninggalkan harta (saldo yang akti0 maka harta itu untuk ahliwaris-ahliwarisnya." Jika dihubungkan l.radith ini'dengan VIII:75 (wa ilil'l'ar$ami ba'duhum awlE biba'din ti kitebilhhi) dan XXKII:6 (turnabiyyu awl6' bi'lmutmiriina min' anfusihim ... wa il1il'l',arhanri ba'duhum awl6 biba'din' fi kitabillahi minal mu'min]na wa'lmuhEjirTna ...) maka 'dapat dipercaya bahwa lladith itu timbuli.' sesudah turunnya ayat XXXIII:6 itu yang bertujuan pertama untuk menghapuskan ketetapan R semula bahwa orang-orang Angari dan MuhEjifn saling mewarisi, kedua bahwa hak kewarisan antara mereka yang sepertalian darah diatur menurut keutamaan seperti yang dimaksudkan dalam Qur'I'n dan ketiga bahwa "' jika tidak ada lag yang sepertalian darah yang berhak mewaris
158

maka Rasill-lah yang lebih berhak mewqris dari siapapun juga, dengan akibat bahwa setelah wafat R maka haknya itu berpintlah kepada Negara Isltrm, yang mernasukkan harta warisan itu ke dalam bait'ltna central'itaupun ke dalam bait'lmlll setempat, yang dipegang oleh pemerintah local. Kewajiban R untuk melunasi hutang si rnari yang melampaui jumlah harta peninggalannya adalah akibat langsung dari IX:60, bahwa zaidt waiib antu' rA laln dipergunakan untuk rnelepaskan siapapun iuga dari hutangnya. Inilah puncak dari segala macam socialisme ! Sesudah waiat R maka kewajibannya tersebut diwarisi oleh setiap Negara Isldm yang wajib menta'ati IX:60 itu. Sejalan dengan tujuan zakd,t maka ahliwads-ahliwaris terbatas tanggung jawabnya mengenai huiang si mati sampai maximal seharga harta peninggalan itu, yaitu nrereka tidak diwajibkan untuk menutup kekurangan yang timbul karena tidak mencukupi harta peninggalan bagt pelunasan hutang si mati, de.ngan kekayaan mereka sendiri. Hak ahliwaris untuk melunasi hutang si nrati hanya sampai sejumlah harta peninggalan dikuatkan pula oleh Il:233 Oihat -kev,Arisan bilaterel menlrtfi ,4\-Qur'dn). ht 52 kitab .,Ilitkunt prosedur pernbayaran hutang-hutang Dengan demikian maka simati yang melampaui jumlah harta peninggalan ialah menurut pengurangan yang berseimbangan, yakni rnenttrut rllmus setiip hutang (h).dibagi dengan semua hutang-hutang (H) dikalikan Oingan truttu prtrirggalan (P) yaitu sesudah P itu dikurangi dengan ongkos-ongkos (O) yakni ongkos sakit dan ongkos kematian :
.

0:

AbU Hurairah : lifuat g 5 huruf c, hl' 98' ,Al-Mukdam mbnceritakan baiiwa R berkata : ,,An6, awl6, bikulli mu'minin min rra.isihi faman ta-raka dainan aw 4ai'atan failainE wa man taraka mZlan faliwarathatihi."- (Abu Dawud, dari fuIisykat'lmgsabilt) Maksudnya hampir serupa dengan hadith huruf a dengan perbedaan: ,,... maka barangsiapa meninggalkan htrtang atatt ,ilui'utt (kesengsarain atau orang-orang tanggungannya yang di159

HH b) c)

X (P-O)

h (p-o)
atau
.F

tinggalkarUrya dalam kemelaratan?) maka ilaind (kepada saya nrusanny&?) .. .

$, 15. Perbedaan Agama a) AsEmah 'bn Zad m6nyampaikan perkataan R bahwa orang Muslim dan or4ng kafir tidak waris-mewarisi. (Bukhaii) b)'AbdullEh 'bn 'Umar menyampaikan pellataan R bahwa tidak waris-mewarisi sekali-kali orang-orang yang berlainan agama. - AbD D6wud, Ibn Mejah dan At-lfirmidzT dari Jabtu, - dari Misylcgt'lmapab1il _ ,r Soalnya: 'berlakukah fradith-trrOill tersebut juga terhadap perempuan Nasrani dan Yahudi yang dikawini oleh seorang Islam

(V:5X

g 16. Pembunuh.

a) AbD Hurairah menyampaikan perkataan R:,,Sipembunuh tidak mewaris." - (At-Tirmidzi, Ibn Mejah, - dari Misykdt'lntusabiU b)'Umar 'bn Syu'aib dari ayatrny\ dari datukny?, dari R yang berkata:,,Sipembunuh tidak mewarisi apapun jua". -' (AbU Dewud, - dari Nail'l'awldr)

$ 17. Belcas. budak, anak zina, anak li'an, anak pungut, bayi.
a) Ibn 'Abbas menceriterakan bahwa ada orang mati tanp4 ahliwaris, hanya ada seorang budak lepasannyv, maka R menetapkan bahwa harta peninggalan sirnati untuk budak lepasannya itulah.

(Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibn

blu

Majah,

dari llIisl'kat'lnutsa-

b) Wethilah 'bn Al-Aska' mengatakan bahwa R berkata: ,,Prempuan menghimpun tiga macam hak mewaris, yakni mewarisi budak lepasannya, mewarisi ,, anakpungutnya" (anak zinanya) dan mewarisi anak li'annya". (At-Tirmidzi, Ab[ Dawud, Ibn Mejah, dari Misylcat'lmasdbfU -'

c) 'Urhar berkata bahwa harta peninggalan orang yang smasa kecilnya menjadi anak pungutan (Inggeris: foundling) dengan tidak diketahui siapa orang-tuanya, masuk bait'lmal. (Razin, dari A. Hassan ,,Al-faren-idl") 160

'

1r1..'
1,

I
1

f) AbE Hurairatr menceriterakan bahwa R berkata: ,,Jika bayi


yang dilahirkan menangis maka dia bprhak

11 :l

mewaris."

(Abil D6wud, - dari Nail'l'awtad -

S 18. Diyah.
rat kepadairya bahwa isteri Asyyam Aqgibabl berhak waris atas denda tebus nyawa (diyah) untuk suaminya itt- (yang dibunuh orang). - (Attirmidri, aUD Ddwfld, - dari Misykht'lmasiibfh)
Nyatalah bafuwa diyah termasuk .harta peninggalan orang yang dibunuh itu.

A{$a}ek 'bn Sufyln menceriterakan bahwa R berkirim slr-'

; .. .. '.. Jakarta, Dzu'lka'dah 1380 ,


''''

',,.";'
.

PROF. DR. HAZAIRIN,

S.H.

"i

l5l.

,I

You might also like