You are on page 1of 135

MANUAL PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

BERBASIS HAK ASASI MANUSIA

BAGIAN HUKUM DAN HAM


SETDA KABUPATEN SANGGAU,
KALIMANTAN BARAT 2011

Manual Penyusunan Peraturan Daerah Berbasis Hak Asasi Manusia

Penyusun : Marina Rona, Yulia Theresia, Laurianus Yoka, Mutmainnah, Ervansius Hendra Gomesdy, Dwi Yuliani, Ariyanto, Henny Lorryda Yuliana, Feri Budi Jayanto, Syafrinal, Bambang Sugiharto Editor : Melia Karyati Wahyu Wagiman Desain/layout : Alang-alang Cetakan I : Oktober, 2011 Penerbit Bagian Hukum dan HAM Setda Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat

Kata Sambutan Bupati Kabupaten Sanggau

Assalammualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh... Penyusunan dan penerbitan buku MANUAL PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH BERBASIS HAK ASASI MANUSIA ini merupakan kerjasama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau dengan Pontianak Institute (PI) dan Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) melalui Program Penyusunan Peraturan Daerah Berbasis Hak Asasi Manusia yang telah dimulai sejak 2010 lalu. Dalam rangka pelaksanaan kerjasama tersebut maka dibentuklah Tim Penyusun yang anggotanya terdiri atas perwakilan: Bagian Hukum & HAM Pemkab. Sanggau, Sekretariat DPRD, Sekretariat Daerah, DinSosNaKerTrans, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan & Aset Daerah (DP2KAD), Bappeda, Dinas Pendidikan Pemuda & Olahraga, Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Kehutanan & Perkebunan, bersama-sama dengan PI dan ELSAM. Secara keseluruhan, buku manual ini berisikan panduan/pedoman bagi para SKPD ataupun legal drafter seluruh instansi yang ada di Kabupaten Sanggau dalam menyusun/merancang Peraturan Daerah di tingkat lokal. Buku Manual ini dilengkapi dengan prinsip dan norma penyusunan Peraturan Daerah yang mengintegrasikan Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Jender ke dalamnya. Harapannya adalah akan ada perbaikan kondisi penikmatan dan penghormatan Hak Asasi

Manusia di Kabupaten Sanggau, karena ini merupakan komitmen politik yang tulus dari Pemerintah Kabupten Sanggau akan peningkatan pemajuan hak asasi manusia di Kabupaten Sanggau. Publikasi ini dimungkinkan atas dukungan dari PI dan ELSAM yang telah mendukung penyusunan buku manual ini. Ucapan terima kasih tak lupa kami haturkan kepada seluruh anggota Tim Penyusun yang telah bekerja keras dalam menyelesaikan penulisan buku manual ini. Terima kasih juga yang sebesar-sebesarnya kepada Kepala Dinas terkait yang telah memberikan kesempatan dan izin bagi para stafnya untuk terlibat langsung dalam penyusunan buku manual ini. Kami berharap buku manual ini dapat menjadi pedoman dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat menghasilkan Peraturan Daerah yang menghormati tinggi prinsip dan nilai Hak Asasi Manusia demi terciptanya kehidupan yang lebih bermartabat di Kabupaten Sanggau. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, kami mengharapkan buku manual ini bisa memberikan kontribusi yang positif dalam pembangunan yang berkelanjutan dengan berbasis Tata Kelola Pemerintahan yang semakin baik ke depannya. Wassalammualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Sanggau, 1 Oktober 2011

BUPATI KABUPATEN SANGGAU

Ir. H. Setiman H. Sudin iv

DAFTAR ISI Kata Sambutan Bupati Kabupaten Sanggau ..........................................iii Daftar Isi ....................................................................................................... v Bab I Pendahuluan ................................................................................... 1-5 Bab II Integrasi Hak Asasi Manusia, Kesetaraan Jender ke Dalam Peraturan Daerah peraturan daerah A Hak Asasi Manusia ........................................................................... 5 1 Denisi ......................................................................................... 5-7 2 Prinsip-Prinsip Dasar Hak Asasi Manusia ............................ 8-9 3 Hak Asasi Manusia dan Kedaulatan Negara ....................... 9-10 4 Demokrasi, HAM dan Parlementer..................................... 10-11 5 Kewajiban Negara .................................................................. 11-13 6 Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional .................... 13-16 7 Bolehkah Pemerintah Membatasi Hak Asasi Manusia ....... 16-18 B Kesetaraan Jender ........................................................................... 19 Bab III Penyusunan Peraturan Daerah A Peraturan Daerah ............................................................................ 21 1 Denisi .......................................................................................... 21 2 Dasar Hukum dan Tanggungjawab Pemda................................21-24 3 Kedudukan, Fungsi dan Hierarki Peraturan Daerah ..........24-26 4 Asas-Asas Pembentukan Peraturan Daerah ...................... 26-27 5 Proses dan Tahapan Penyusunan Peraturan Daerah ........ 27-32 6 Sistematika Penyusunan Peraturan Daerah ....................... 32-44 B Naskah Akademik ..................................................................... 44-48 C Partisipasi Publik ....................................................................... 49-50 Bab IV Peran Parlemen Dalam Perlindungan dan Promosi Hak Asasi Manusia A Meratikasi Perjanjian Hak Asasi Manusia ................................ 51 B Memastikan Pelaksanaan Nasional ......................................... 52-53 C Menciptakan dan Dukungan Infrastruktur Kelembagaan ......... 53-55 D Mobilisasi Opini Publik.................................................................. 55 E Berpartisipasi Dalam Upaya Internasional ................................. 56

Daftar Pustaka ...................................................................................... 57-59 Prol Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau .................................... 60 Prol Tim Penyusun ............................................................................ 61-63 Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 2006 Tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah .................... 106-108 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 tahun 2006 Tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah ........... 109-116 Rancangan Peraturan Daerah Lembaga Adat Kabupaten Sanggau ............................................................................................. 117-123

vi

Pasca diundangkannya UU Pemerintahan Daerah, ribuan peraturan daerah lahir, baik Perda provinsi maupun perda kabupaten/kota. Perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah menjadi UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga memberikan perubahan signikan terhadap pembentukan Perda. Hal ini disebabkan, karena Undang-Undang ini diatur secara rinci apa yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah. Pengaturan ini bahkan membagi pula kewenangan pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Urusan yang menjadi kewenangan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Adanya wewenang untuk membuat Perda sendiri merupakan harapan baru karena pemerintah di tingkat lokal dapat memberdayakan daerah dalam mengatasi persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran, perdagangan perempuan-anak, pengabaian hak-hak minoritas, dan sebagainya. Harapan ini muncul dikaitkan dengan sejumlah asumsi diantaranya adalah daerah lebih mengetahui konteks lokal baik sosial maupun budaya dan juga kebutuhan dasar masyarakatnya. Dengan asumsi ini, kehadiran perda diharapkan dapat memberikan ruang perlindungan yang lebih tepat dan mudah diakses oleh masyarakat di daerah tersebut. Buku manual ini berisikan panduan/pedoman bagi para SKPD ataupun legal drafter seluruh instansi yang ada di Kabupaten Sanggau dalam menyusun/merancang Peraturan Daerah di tingkat lokal. Buku Manual ini dilengkapi dengan prinsip dan norma penyusunan Peraturan Daerah yang mengintegrasikan Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Jender ke dalamnya. Harapannya adalah, akan ada perbaikan kondisi penikmatan dan penghormatan Hak Asasi Manusia di Kabupat-

en Sanggau, karena ini merupakan komitmen politik yang tulus dari Pemerintah Kabupten Sanggau akan peningkatan pemajuan Hak Asasi Manusia di Kabupaten Sanggau. Buku manual ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat menghasilkan Peraturan Daerah yang menghormati tinggi prinsip dan nilai Hak Asasi Manusia demi terciptanya kehidupan yang lebih bermartabat di Kabupaten Sanggau.

viii

BAB I PENDAHULUAN
Lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan momentum perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintah daerah dari pola sentralisasi ke desentralisasi. Pemerintah daerah diberikan kewenangan yang cukup besar untuk menyelenggarakan pemerintahan di tingkat lokal. Untuk itu, Pemerintahan Daerah membutuhkan instrumen yuridis yang tepat untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya, yaitu Peraturan Daerah. Pasca diundangkannya UU Pemerintahan Daerah, ribuan Peraturan Daerah-pun lahir, baik Peraturan Daerah provinsi maupun Peraturan Daerah kabupaten/kota. Perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga memberikan perubahan signikan terhadap pembentukan Peraturan Daerah. Hal ini disebabkan, karena di dalam Undang-undang ini diatur secara rinci apa yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah. Pengaturan ini bahkan membagi pula kewenangan pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Urusan yang menjadi kewenangan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Penyusunan suatu peraturan perundang-undangan dalam hal ini peraturan daerah, harus memperhatikan secara jelas dari mana sumber kewenangannya, yang diberikan berdasarkan atribusi, delegasi/mandat dan tidak boleh melampaui kewenangannya.

Kewenangan untuk menyusun Peraturan Daerah setelah otonomi daerah membuat jumlah Peraturan Daerah sampai dengan pertengahan 2002 melonjak tinggi, yakni mencapai 6000-an yang diterbitkan oleh 368 kabupaten/kota di Indonesia. Dari jumlah Peraturan Daerah tersebut, 761 diantaranya dibatalkan dan masih ada 200 Peraturan Daerah yang masih dalam proses review di Kementrian Dalam Negeri. Peraturan Daerah yang dibatalkan tersebut pada umumnya Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah karena dinilai berpotensi mendistorsi aktitas perekonomian. Selain itu, terdapat berbagai Peraturan Daerah yang kontroversi dan bermasalah pada tingkat implementasinya di tengah masyarakat terkait dengan Hak Asasi Manusia, diskriminasi, kesetaraan jender, pencemaran lingkungan dan sebagainya.1 Kabupaten Sanggau yang merupakan salah satu daerah kabupaten di Kalimantan Barat (Kalbar) yang termasuk banyak mengeluarkan Peraturan Daerah dalam rangka mengatur pelaksanaan pemerintahan daerahnya. Sejak 1999 sampai dengan periode 2010, Pemerintah Kabupaten Sanggau telah mengeluarkan setidaknya 110 Peraturan Daerah dari 23 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di kabupaten ini. Dari jumlah tersebut terdapat pula Peraturan Daerah yang bermasalah di tingkat implementasinya, salah satunya Peraturan Daerah masyarakat adat. Padahal di sisi lain, Negara Indonesia mengakui hak-hak Masyarakat Adat beserta Adat Istiadat melalui UndangUndang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan UndangUndang No. 41 Tahun 1997 tentang Kehutanan, Negara Indonesia mengakui hak-hak Masyarakat Adat berserta Adat Istiadat. Oleh karena itu, dalam perumusan peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional maupun daerah wajib mempertimbangkan aspek lokal seperti halnya keberadaan Masyarakat Adat.
1 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan Daerah, hal. 3-4, Jakarta, 2009.

Adanya wewenang untuk membuat Peraturan Daerah sendiri merupakan harapan baru karena pemerintah di tingkat lokal dapat memberdayakan daerah dalam mengatasi persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran, perdagangan perempuan-anak, pengabaian hak-hak minoritas, dan sebagainya. Harapan ini muncul dikaitkan dengan sejumlah asumsi diantaranya adalah daerah lebih mengetahui konteks lokal baik sosial maupun budaya dan juga kebutuhan dasar masyarakatnya. Dengan asumsi ini, kehadiran Peraturan Daerah diharapkan dapat memberikan ruang perlindungan yang lebih tepat dan mudah diakses oleh masyarakat di daerah tersebut. Banyaknya Peraturan Daerah yang dibatalkan dan penolakan dari masyarakat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terhadap proses pembentukan Peraturan Daerah. Bagaimana proses tersebut berjalan? Apa kekurangan dari proses yang ada saat ini? Dinamika politik seperti apa yang muncul selama proses pembentukan tersebut dilakukan sehingga berakhir dengan pembentukan Peraturan Daerah yang kontroversial dan bermasalah dalam implementasinya sampai dengan terindikasi terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Situasi ini mengakibatkan meningkatnya tuntutan dari banyak pihak untuk mengintegrasikan hak asasi manusia ke dalam Peraturan Daerah. Oleh karenanya, peran pemerintah daerah dalam memenuhi, menghormati dan melindungi hak asasi manusia sangatlah penting2. Oleh karena itu, tugas praktis untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia adalah terutama tugas nasional dan setiap negara harus bertanggungjawab atasnya. Pada tingkat nasional, hak dapat dilindungi dengan baik melalui peraturan yang cukup, badan peradilan yang mandiri, dan pelaksanaan perlindungan dan pemulihan individu, serta pembentukan institusi yang demokratis. Selain itu, pendidikan dan kampanye informasi yang paling efektif harus dirancang dan dilaksanakan pada tingkat nasional dan lokal, dengan mempertimbangkan konteks budaya dan tradisi lokal. Ketika negara-negara meratikasi
2 Lembar fakta 19 Lembaga Negara untuk memajukan dan melindungi HAM

suatu instrumen hak asasi manusia, mereka memasukkan ketentuanketentuan instrumen hak asasi manusia itu ke dalam peraturan domestiknya secara langsung atau menggunakan cara-cara lain sesuai dengan kewajiban yang terdapat di dalam instrumen hak asasi manusia tersebut. Saat ini standar hak asasi manusia dan norma-norma universal tercermin dalam hukum domestik dari hampir seluruh Negara. Dalam konteks nasional, paling tidak ada tiga produk perundang-undangan yang memberikan mandat kepada pemerintah untuk segera memperbaiki kondisi penikmatan hak asasi manusia: 1. UUD 1945 Amandemen ke-2, terutama pasal 28I ayat (5). 2. UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 71 dan 72. 3. UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 22 huruf (a) sampai dengan (o). 4. UU No.40/2008 tentang Penghapusan Segala Diskriminasi Rasial, khususnya Pasal 6 dan 7. Bentuk

BAB II INTEGRASI HAK ASASI MANUSIA, KESETARAAN JENDER KE DALAM PERATURAN DAERAH
A. Hak Asasi Manusia 1. Denisi Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan, mencakup hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu. Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan : All human beings are born free and equal in dignity and rights. Ini berarti bahwa sebagai anugerah dari Tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang dipunyai oleh semua orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi. Hak asasi manusia ini selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamental dan penting. Hak asasi manusia melalui pendekatan-pendekatan Deskriptif, Hukum dan Filosos : (a) Hak-hak dasar, yang memberdayakan manusia untuk membentuk kehidupan mereka sesuai dengan kemerdekaan, kesetaraan dan rasa hormat pada martabat manusia. (b) Hak-hak sipil, ekonomi, sosial, budaya dan kolektif yang tertuang dalam berbagai instrumen HAM internasional dan regional serta dalam undang-undang dasar setiap negara. (c) Satu-satunya sistem nilai yang diakui secara universal dalam hukum internasional saat ini dan terdiri dari elemen

liberalisme, demokrasi, partisipasi populer, keadilan sosial, berkuasanya hukum (rule of law) dan good governance. Hak asasi manusia berlaku setara untuk hak-hak individu maupun kolektif, karena kurang tepat jika mengartikan hak asasi manusia sebagai hak individu saja. Contohnya, perkumpulanperkumpulan keagamaan yang menikmati kebebasan beragama atau partai-partai politik yang menikmati kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi dan lain sebagainya. Beberapa hak pribadi, seperti larangan penyiksaan dan perbudakan, betul-betul merupakan hak pribadi, sedangkan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah murni hak kolektif. Akan tetapi, untuk sebagian besar hak asasi manusia, ada hak-hak individual dan kolektif yang perlu dinyatakan dengan tegas.

Box 1 Contoh Hak Asasi Manusia : Kebebasan, Hak dan Larangan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia Di Bidang Hak-Hak Sipil dan Politik a) Hak untuk hidup b) Kebebasan dari penyiksaan dan kejam, tidak manusiawi atau perlakuan merendahkan atau hukuman c) Kebebasan dari perbudakan, penghambaan dan kerja paksa d) Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi e) Hak orang yang ditahan harus diperlakukan dengan kemanusiaan f) Kebebasan bergerak g) Hak atas pengadilan yang adil h) Larangan hukum pidana yang berlaku surut i) Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum j) Hak atas privasi k) Kebebasan berpikir, hati nurani dan agama l) Kebebasan berpendapat dan berekspresi m) Larangan propaganda perang dan hasutan untuk kebencian nasional, rasial atau agama n) Kebebasan berserikat o) Hak untuk menikah dan membentuk keluarga p) Hak untuk mengambil bagian dalam urusan publik, memilih, dipilih dan memiliki akses untuk jabatan publik q) Hak untuk kesetaraan dan non-diksriminasi di hadapan hukum Dalam bidang hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya a) Hak untuk bekerja b) Hak untuk kondisi kerja yang adil dan menguntungkan c) Hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh d) Hak atas jaminan sosial e) Perlindungan keluarga f) Hak atas standar hidup yang layak, termasuk cukup makanan, pakaian dan perumahan g) Hak atas kesehatan h) Hak atas pendidikan Dalam bidang hak-hak kolektif 1. Hak masyarakat untuk: a) Penentuan nasib sendiri b) Pengembangan c) Bebas memanfaatkan kekayaan dan sumber daya alam d) Peraturan daerahmaian e) Lingkungan yang sehat 2. Hak-hak kolektif lainnya: a) Hak berkebangsaan, etnis, agama dan bahasa minoritas b) Hak-hak masyarakat adat

2. Prinsip-Prinsip Dasar Hak Asasi Manusia Sebagai salah satu wujud diadopsinya hak asasi manusia ke dalam Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah yang berperspektif hak asasi manusia harus mengadopsi nilai atau prinsip dasar hak asasi manusia, seperti dibawah ini : a) Universal (Universality) Hak asasi manusia adalah universal karena mereka didasarkan pada martabat setiap manusia, tidak peduli ras, warna kulit, jenis kelamin, asal-usul etnis atau sosial, agama, bahasa, kewarganegaraan, usia, orientasi seksual, kecacatan, atau karakteristik yang membedakan lainnya. Hal ini karena mereka diterima oleh semua negara dan masyarakat, mereka berlaku dan tanpa pandang bulu untuk setiap orang dan adalah sama bagi semua orang di mana-mana. b) Tidak dapat dipindahtangankan (Inalienable) Hak asasi manusia adalah mutlak sejauh haknya tidak dilepaskan, selama di bawah hukum yang jelas. Sebagai contoh, hak seseorang untuk kebebasan mungkin dibatasi jika ia ditemukan bersalah atas kejahatan oleh pengadilan hukum. c) Tak terpisahkan dan saling ketergantungan (Indivisible and interdependent) Hak asasi manusia adalah tak terpisahkan dan saling tergantung karena setiap hak asasi manusia memerlukan dan tergantung pada hak asasi manusia lainnya, melanggar salah satu hak tersebut mempengaruhi pelaksanaan dari hak manusia lainnya. Sebagai contoh, hak untuk hidup mengandaikan penghormatan terhadap hak untuk pangan dan standar hidup yang layak. Hak dipilih untuk jabatan publik berarti akses ke dasar pendidikan. Membela 8

hak-hak ekonomi dan sosial mengandaikan kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat. Dengan demikian, hak-hak sipil dan politik dan ekonomi, hak-hak sosial dan budaya saling melengkapi dan sama-sama penting untuk martabat dan integritas setiap orang. Menghormati semua hak merupakan prasyarat bagi peraturan perdamaian berkelanjutan dan pembangunan. d) Non-Diskriminasi (Non-Dicrimination) Beberapa pelanggaran hak asasi manusia terburuk telah dihasilkan dari diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Hak untuk kesetaraan dan prinsip non-diskriminasi, secara eksplisit diatur dalam perjanjian internasional dan regional hak asasi manusia, karena itu penting bagi hak asasi manusia. Hak untuk kesetaraan mewajibkan Negara untuk menjamin ketaatan terhadap hak asasi manusia tanpa diskriminasi atas alasan apapun, termasuk jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, keanggotaan nasional minoritas, hak milik, kelahiran, usia, cacat, orientasi seksual dan status sosial atau lainnya. Lebih sering daripada tidak, diskriminatif kriteria yang digunakan oleh Negara dan aktor non-Negara mencegah kelompok-kelompok tertentu dari sepenuhnya menikmati semua atau sebagian hak asasi manusia yang didasarkan pada karakteristik. 3. HAM dan Kedaulatan Negara Di masa lalu, ketika hak asasi manusia masih dianggap sebagai urusan internal suatu negara, negara dan masyarakat internasional lainnya dicegah dari campur tangan, bahkan di sebagian besar kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia serius, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Bahwa pendekatan, berdasarkan kedaulatan nasional, 9

tertantang pada abad kedua puluh, terutama oleh tindakan Nazi Jerman dan kekejaman yang dilakukan selama Perang Dunia Kedua. Hari ini, promosi hak-hak asasi manusia dan perlindungan dianggap sebagai keprihatinan yang sah dan tanggungjawab masyarakat internasional. Namun, perbedaan antara kewajiban hukum universal dan kedaulatan negara dapat diselesaikan hanya berdasarkan kasus per kasus, sesuai dengan prinsip proporsionalitas. Prinsip mana menurut setiap tindakan yang diambil oleh otoritas sesuai dengan konsep universalitas tidak boleh melampaui apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan sesuai dengan hak asasi manusia. 4. Demokrasi, HAM dan Parlementer Dalam dekade terakhir, keterkaitan antara demokrasi dan hak asasi manusia dipelajari secara ekstensif. Demokrasi tidak lagi dianggap hanya sebagai satu perangkat aturan prosedural untuk konstitusi dan pelaksanaan kekuasaan politik, tetapi juga, bersama dengan hak asasi manusia, sebagai suatu cara untuk melestarikan dan mempromosikan martabat manusia. Pada tahun 1995, Uni Antar-Parlemen memulai proses penyusunan Deklarasi Universal Demokrasi untuk memajukan standar internasional dan memberikan kontribusi untuk demokratisasi yang sedang berlangsung di seluruh dunia. Dalam Deklarasi, diadopsi pada tahun 1997, demokrasi dan hak asasi manusia sangat erat terkait untuk dianggap tak terpisahkan. Demokrasi didasarkan pada gagasan bahwa semua warga negara sama-sama berhak untuk memiliki suara dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Hak untuk partisipasi dalam pelaksanaan urusan publik diabadikan dalam Pasal 21 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 25 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Namun, agar warga negara bisa

10

efektif menggunakan hak itu, mereka terlebih dahulu harus menikmati hak lain seperti kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat, dan hak-hak ekonomi dan sosial dasar. Parlemen merupakan Badan berdaulat didirikan melalui pemilu biasa, bebas dan adil untuk memastikan pemerintah rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, karena lembaga ini merupakan kunci dalam demokrasi. Sebagai badan yang kompeten untuk mengatur dan menjaga kebakan dan tindakan eksekutif di bawah pengawasan konstan, parlemen juga memainkan peran kunci dalam promosi dan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, parlemen menetapkan kerangka hukum yang menjamin independensi peradilan dan, oleh karena itu, aturan hukum, sebuah landasan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. 5. Kewajiban Negara Meskipun pada prinsipnya hak asasi manusia dapat dilanggar oleh setiap orang atau kelompok, namun berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional, suatu negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan manusia. Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut3. Apalagi setelah Negara tersebut meratikasi atau menjadi pihak pada perjanjian internasional hak asasi manusia. Dalam kaitan ini, paling tidak Negara memiliki tiga kewajiban utama, yaitu tugas untuk menghormati, melindungi dan memenuhi. kewajiban untuk menghormati Negara memiliki kewajiban untuk menghormati obligation to respect) berarti bahwa Negara berkewajiban untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban ini mengandung larangan
3 Hukum Hak Asasi Manusia, Rhona K.M. Smith dkk, PUSHAM UII, 2008

11

tindakan tertentu yang dapat merusak penikmatan hak. Misalnya, berkenaan dengan hak untuk pendidikan, itu berarti bahwa Pemerintah harus menghormati kebebasan orang tua untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta dan untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. kewajiban untuk melindungi Negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak asasi manusia. Kewajiban negara untuk menghormati adalah kewajiban paling dasar. Contoh, hak anak-anak atas pendidikan harus dilindungi oleh negara dari gangguan dan indoktrinasi oleh pihak ketiga, termasuk orangtua dan keluarga, guru dan sekolah, agama, sekte, marga dan perusahaan bisnis. Negara memiliki wewenang yang luas sehubungan dengan kewajiban ini. Sebagai contoh, hak atas integritas pribadi dan keamanan mewajibkan Negara untuk memerangi fenomena meluasnya kekerasan domestik terhadap perempuan dan anak-anak. Walaupun tidak setiap tindakan kekerasan dilakukan oleh suami terhadap istrinya, atau oleh orang tua terhadap anak-anak mereka, merupakan pelanggaran hak asasi manusia, yang mungkin Negara bertanggung jawab, Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengambil tindakan positif - untuk mengurangi kejadian kekerasan dalam rumah tangga. kewajiban untuk memenuhi Kewajiban untuk memenuhi. Negara-negara diminta untuk mengambil tindakan positif untuk memastikan bahwa hak asasi manusia dapat dilaksanakan. Adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, 12

yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia. Sehubungan dengan hak atas pendidikan, misalnya, Negara harus memberikan cara dan sarana untuk pendidikan dasar gratis dan wajib untuk semua, pendidikan menengah gratis, pendidikan tinggi, pelatihan kejuruan, pendidikan orang dewasa, dan penghapusan buta huruf (termasuk langkah-langkah seperti mendirikan sekolah umum yang cukup atau menyewa dan menyediakan cukup banyak guru). 6. Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional (a) Deklarasi Universal HAM (DUHAM) Pasca Perang Dunia II, perjuangan penegakan hak-hak asasi manusia tidak lagi berlangsung dalam tataran nasional di lingkungan negeri-negeri dan negara-negara Barat saja, melainkan diangkat pada tataran internasional, dan terwujud dalam rumusan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (1945) dan Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia (1948). Tak diragukan lagi, deklarasi tersebut dengan lantangnya telah mencanangkan pernyataan internasional yang diharapkan dapat berdampak luas, di tengah kehidupan yang jelas-jelas sudah berubah dan berkembang ke arah formatnya yang baru sebagai suatu world system. Substansi deklarasi itu tetap saja, ialah pengakuan atas martabat dan hak yang melekat pada siapapun yang tergolong ke dalam bilangan umat manusia. Itulah martabat dan hak-hak manusia yang sungguh asasi, dan yang karena asasinya itu tak lalu boleh dicabut atau dialihserahkan kepada siapapun yang berkekuasaan (inalienable) serta tak pula mungkin digugat-gugat keabsahannya (inviolable)4.
4 Hak Asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya Dari Masa Ke Masa, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Bahan Bacaan Kursus Hak Asasi Manusia, http://www.elsam.or.id/ new/index.php?id=263&lang=in&act=view&cat=c/603.

13

Pada tanggal 10 Desember 1948, dengan sebuah resolusi bernomor 217A(III) suatu deklarasi diproklamasikan oleh suatu organisasi antarbangsa yang telah dibentuk seusai selesainya perang Dunia II, ialah Perserikatan BangsaBangsa (United Nations). Deklarasi itu mensenaraikan dalam pasal-pasalnya sejumlah hak-hak manusia yang asasi, yang pada dasarnya mencanangkan pengakuan secara umum tentang pentingnya hak-hak itu dihormati dan ditegakkan. Berbeda dengan deklarasi-deklarasi serupa yang ada sebelumnya, deklarasi kali ini bukanlah deklarasi suatu bangsa atau suatu negara bangsa tertentu. Deklarasi kali ini, ialah The Universal Declaration on Human Rights (yang di dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia), dikumandangkan melalui suatu kesepakatan antarbangsa, yang dikatakan sebagai standar umum semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap individu dan organ masyarakat mengupayakan -- melalui pengajaran dan pendidikan -- dimajukannya penghormatan kepada hak dan kebebasan (manusia)5. Deklarasi yang berjumlah 31 Pasal ini mencantumkan pengakuan hak-hak sipil dan hak politik dalam pasalpasalnya yang ke-3 sampai ke yang 21. Termasuk dalam hak asasi yang dicantumkan dalam pasal-pasal ini antara lain hak-hak untuk tidak diperbudak, untuk tidak mengalami penganiayaan dan perlakuan atau hukuman yang keji dan merendahkan martabat manusia, dan pula untuk mendapatkan peradilan yang terbuka dan independen serta tidak berpihak. Pasal-pasal berikutnya, dimulai dengan pasal 22 sampai ke pasal 27 mengemukakan pengakuan atas hak-hak asasi manusia dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Termasuk dalam hak-hak
5 Loc Cit

14

kategori kedua ini antara lain hak-hak untuk bekerja, untuk memperoleh pendapatan yang sama atas pekerjaan yang sama, untuk memperoleh stanadar kehidupan yang layak, untuk memperoleh jaminan kesehatan dan layanan pendidikan, dan pula untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya masyaraka (b) Perjanjian Hak Asasi Manusia Utama Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia telah dilengkapi dengan sejumlah instrumen spesik yang mengikat. Beberapa perjanjian berada di bawah pengawasan badan-badan pemantauan, dengan dua Kovenan, seperangkat instrumen biasanya dilihat sebagai perjanjian hak asasi manusia utama. Dibawah ini instrumen- instrumen hak asasi manusia tersebut : a. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966, Terbuka untuk penandatangan, ratikasi dan aksesi, diratikasi Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005. b. Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratikasi, dan aksesi, diratikasi Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005. c. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD; adopsi pada tahun 1965; berlakunya pada tahun 1969); Negara Indonesia meratikasi konvensi melalui Undang-Undang No. 29 Tahun 1999. d. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW, adopsi pada tahun 1979; berlakunya pada tahun 1981); Negara Indonesia 15

meratikasi konvensi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. e. Konvensi Menentang Penyiksaan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Hukuman (CAT; adopsi pada tahun 1984; berlakunya pada tahun 1987); Negara Indonesia meratikasi konvensi melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1998. f. Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC; adopsi pada tahun 1989; berlakunya pada tahun 1990); Negara Indonesia meratikasi konvensi melalui UndangUndang No. 36 Tahun 1990. g. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (yang dikenal sebagai Konvensi Pekerja Migran, atau CMW; adopsi pada tahun 1990; berlakunya pada tahun 2003). 7. Bolehkah Pemerintah Membatasi Hak Asasi Manusia? Perlindungan dan penegakan hak asasi manusia merupakan kewajiban semua pihak, negara dan warga negaranya. Hak asasi manusia tidak hanya berbicara mengenai hak, tetapi berbicara pula mengenai kewajiban, yaitu kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai hak asasi manusia orang lain. Setiap hak asasi manusia seseorang akan menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Sehingga terdapat pembatasan dan larangan dalam pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia. Pembatasan yang ditetapkan melalui undang undang dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, ketertiban umum dan

16

kepentingan bangsa6. Derogasi atau pembatasan HAM adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Dalam kamus hukum hak asasi manusia dikenal dua jenis hak, yakni hak asasi manusia yang bisa dikurangi (derogable rights) dan yang sama sekali tidak bisa dikurangi (non-derogable rights)7. Hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negaranegara pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah: (i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tulisan). Hak-hak non-derogable yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang sama sekali tidak bisa dikurangi antara lain meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk bebas dari perbudakan dan perdagangan budak, hak untuk tidak dipenjara hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban yang muncul dari perjanjian, dan berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama. Meski demikian, pembatasan hak asasi manusia harus ditempatkan dalam rangka implementasi konsep tanggung jawab negara yang melekat dalam derogasi hak asasi manusia. Dalam hal ini negara harus memenuhi situasi dan persyaratan hukum khusus dan tidak mudah sebelum melakukan derogasi
6 7 Hukum Hak Asasi Manusia, Rhona K.M. Smith dkk, PUSHAM UII, 2008 Derogasi dan HAM, R Herlambang Perdana, Kompas, 18 Oktober 2007

17

itu, seperti standar Pasal 4 Ayat (1) dan (3) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, yaitu : a. pembatasan hanya bisa dilakukan bila dalam keadaan darurat mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya; b. Kepala Negara secara resmi harus mengumumkan kepada publik tentang keadaan bahaya. Dalam konsep hukum pernyataan bahaya; c. langkah-langkah derogasi itu tidak bertentangan dengan kewajiban lain berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi hanya berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul sosial; d. Kepala Negara harus segera memberi tahu kepada negara-negara pihak lainnya (yang telah meratikasi ICCPR) melalui perantaraan Sekretaris Jenderal PBB tentang aneka ketentuan yang dikurangi dan tentang alasan-alasan pemberlakuannya, serta pemberitahuan tentang saat berakhirnya derogasi itu.
Box 2 PEMBATASAN DAN KETERBATASAN HAM Beberapa HAM mutlak : a) Larangan penyiksaan b) Larangan perbudakan c) Pengakuan sebagai seseorang di hadapan hukum d) Kebebasan atas kesadaran Sebagian besar HAM dapat dibatasi dalam situasi tertentu : a) Reservasi berdasarkan hukum internasional b) Pengurangan pelaksanaan hak dalam situasi darurat c) Larangan penyalahgunaan d) Klausul-klausul batasan e) Prinsip proporsionalitas

18

B. Kesetaraan Jender Mengenal kesetaraan jender pada dasarnya telah tercakup dalam perubahan kedua UUD 1945 yang memberikan penegasan akan penghormatan, pemajuan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan oleh Negara akan Hak Asasi Manusia sebagai hak konstituational warga negara. Pada tanggal 24 Juli 1984 Pemerintah Republik Indonesia telah meratikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. oleh karena itu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kesetaraan jender memuat prinsip-prinsip yang diatur dalam CEDAW. Terkait ketentuan mengenai jender misalnya, seringkali peraturan secara sadar atau tidak memuat ketentuan-ketentuan yang netral jender. Artinya, ketentuan dimaksud tidak mempertimbangkan bahwa dalam kenyataan sosialnya kapasitas dan peluang yang dimiliki oleh kelompok berjenis kelamin tertentu (umumnya perempuan) tidak sama dengan kelompok lainnya (umumnya laki-laki). Sehingga ketika peraturan tersebut dilaksanakan, ketentuan yang netral jender justru melestarikan kondisi yang tidak seimbang antara kelompok perempuan dan laki-laki bahkan mendiskriditkan perempuan. Contohnya, qanun syariat di Nangroe Aceh Darusalam telah menginspirasi banyak daerah di luarnya untuk mengeluarkan Peraturan Daerah syariat yang diskriminatif terhadap perempuan. Pada rentang 1999 s.d 2010 telah lahir 189 kebakan diskriminatif, 7 di antaranya diterbitkan di tingkat nasional. 80 di antara 189 kebakan itu secara langsung menyasar kepada perempuan. Sebanyak 21 merupakan kebakan aturan busana Islam.8

Perempuan dalam Perda Syariat, http://jurnalperempuan.com/2011/05/perempuan-dalam-perdasyariat/.

19

20

BAB III PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH


A. PERATURAN DAERAH 1. Denisi Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, Peraturan Daerah mendapatkan landasan konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945). Kemudian, dalam ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah propinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah9. 2. Dasar Hukum dan Tanggungjawab Pemda Pada dasarnya komitmen pemajuan hak asasi manusia Pemerintah Kabupaten Sanggau adalah turunan komitmen nasional bangsa Indonesia di masa reformasi 1998, yang menempatkan langkah-langkah perbaikan kondisi penikmatan hak asasi manusia sebagai agenda reformasi nasional.
9 Pasal 136 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Dan kemudian mendorong lahirnya pelbagai perundangundangan yang memerintahkan pemerintah nasional dan daerah untuk memajukan penikmatan hak asasi manusia di seluruh Indonesia. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Sanggau juga berkomitmen untuk: 1. Meningkatkan akses masyarakat ke berbagai fasilitas dan layanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial, terutama untuk masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan dan terpencil. 2. Meningkatkan kualitas pemerintahan yang bersih dan baik, dan 3. Meningkatkan upaya-upaya pelestarian lingkungannya Melihat persoalan ekonomi, sosial, dan budaya yang begitu kompleks, tidaklah mudah melaksanakan tiga kewajiban dasar hak asasi manusia yang dibebankan hukum nasional kepada Pemerintah Kabupaten Sanggau. Namun demikian, walaupun ada keterbatasan, setidak-tidaknya ada sejumlah langkah yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sanggau terkait dengan mandat tiga kewajiban dasar tersebut. Pertama, adalah di tingkat kebakan. Di tingkat kebakan Pemerintah Kabupaten Sanggau telah melakukan sejumlah langkah yakni memproduksi pelbagai Peraturan Daerah yang tujuannya untuk melindungi hak dan kebebasan dasar masyarakat Sanggau. Kedua, Pemerintah Kabupaten Sanggau juga melakukan langkah-langkah untuk memastikan bahwa kewajiban memenuhi telah dilaksanakan. Apa saja langkahlangkah tersebut? Berikut ini adalah sejumlah langkah yang telah diambil: a. Pembentukan Panitia RANHAM Kabupaten Sanggau b. Melakukan Pendidikan HAM bagi Aparatur 22

c. Meng-anggarkan dana untuk Kegiatan RANHAM hingga tahun 2007 d. Melakukan kerjasama penyuluhan hukum bagi masyarakat e. Melakukan Sosialisasi Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah Kab. Sanggau Dari rencana dan langkah yang telah dilaksanakan oleh Pemda Sanggau tersebut, ada beberapa hal yang menjadi kendala implementasinya, yakni semua hasil-hasil dari program pemenuhan hak asasi manusia di atas dalankan dengan anggaran yang sangat-sangat terbatas. sehingga harus dipahami jika kebanyakan program lebih diprioritaskan pada inisiatif pembuatan peraturan daerah, ketimbang memberikan tekanan yang sama pada program-program penguatan pengetahuan, pemahaman, dan keahlian hak asasi manusia aparatur pemerintah. Program-program di atas dalankan oleh Pemkab secara mandiri tanpa proses asistensi yang memadai dari Pemerintah Pusat. Sehingga dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya mengacu pada prinsip dan standar hukum hak asasi manusia nasional dan internasional. Di tengah keterbatasan sumberdaya dan anggaran, Pemerintah Kabupaten Sanggau memiliki komitmen yang kuat untuk meningkatkan kualitas kebakan daerah di masa mendatang, yakni dengan mencoba mengintegrasikan prinsip dan standar norma hukum hak asasi manusia nasional ke dalam kebakan daerah, termasuk melakukan penguatan-penguatan atas sejumlah Peraturan Daerah yang ada, sehingga bisa selaras dan sejalan dengan prinsip dan norma hukum hak asasi manusia. Meningkatkan proses upgrading pengetahuan dan pemahaman hak asasi manusia di lingkup aparat pemerintah, dari tingkat kabupaten hingga desa. Pelatihan dan pendidikan tentunya akan diupayakan mampu menjangkau seluruh pejabat dan

23

pegawai negeri sipil sehingga memudahkan mereka untuk menjalankan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia masyarakat Sanggau. 3. Kedudukan, Fungsi dan Hierarkhi Peraturan Daerah Peraturan Daerah merupakan salahsatu jenis Peraturan Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Saat ini, Peraturan Darah mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (6) yang menyatakan Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi, yaitu : a. Sebagai instrumen hukum adalah alat untuk melaksanakan kebakan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan;

b. Sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; c. Sebagai alat penangkap dan penyalur aspirasi masyarakat daerah;

d. Sebagai alat tranformasi daerah untuk mengubah institusi dan perilaku bermasalah dari obyek yang coba diaturnya, dan; e. Sebagai harmonisator ataupun produk dari berbagai kepentingan.

UUD 1945 sebagai hukum dasar dalam peraturan perundangundangan, sebagaimana di atur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Ada beberapa kaidah hukum yang harus diketahui sebagai langkah penyusunan suatu perundang-undangan, yakni:

24

Lex Superiori Derogat Legi Inferiori (dalam hal mengatur suatu yang sama, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi, jika bertentangan, perauran yang lebih tinggi akan mengalahkan yang lebih rendah) Lex Posteriori derogate Legi Priori (Dalam hal mengatur sesuatu yang sama, peraturan yang lebih baru akan mengalahkan peraturan yang lebih lama) Lex Specialis derogate Legi Generalis ( Dalam hal mengatur hal yang sama, peraturan yang lebih khusus akan mengalahkan peraturan yang lebih umum). Demikian juga dengan asas peraturan perundang-undangan yang harus diketahui pembentuk undang-undang, sebagai berikut; asas persamaan dan tidak memihak, motif dan tujuan yang sah, kepastian hukum, Kepentingan umum, dapat dilaksanakan dan Non retroaktif (tidak berlaku surut). Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Sehingga, setiap jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan muatan materinya berbeda satu sama lain. Demikian juga dengan kekuatan hukum peraturan perundang-undangan tersebut yang disesuaikan dengan hierarkinya10. Sebagai contoh, materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi 11: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

10 Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 11 Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

25

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Sementara materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/ atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi12. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan13

4. Asas-Asas Pembentukan Peraturan daerah Peraturan Daerah dibuat berdasarkan asas-asas: 1. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, meliputi; kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat (SKPD yang berkaitan), kesesuaian antara jenis dan materi muatan ( antara judul dan isi yang dabarkan benar), dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.

12 Pasal 14 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 13 Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

26

2.

Asas materi muatan peraturan perundang-undangan, yaitu; pengayoman, kemanusian, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhineka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintah, ketertiban dan kepastian hukum, dan atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain: asas hukum pidana, asas hukum peraturan daerah, asas tata urutan/susunan (hierarki peraturan perundangundangan, dan serta asas-asas hukum umum yang secara khusus dapat diterapkan juga pada pembentukan peraturan perundang-undangan.

3.

5. Proses dan Tahapan Penyusunan Peraturan Daerah Dalam upaya membangun administrasi legislasi yang baik serta peningkatan kualitas produk hukum daerah, dibutuhkan suatu mekanisme atau prosedur yang jelas tentang pembentukan suatu Peraturan Daerah agar lebih terarah dan terkoordinasi.

Bagan 1. Mekanisme dan Prosedur Penyusunan Peraturan daerah

27

(a) Perencanaan Perencanaan legislasi di tingkat daerah dilakukan dengan menyusun sebuah Program Legislasi Daerah (Prolegda), sehingga tahap ini sering pula disebut sebagai tahap penyusunan Prolegda. Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Keberadaan Prolegda Kabupaten/Kota ini telah diatur dalam Pasal 39 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. yang mengatur bahwa perencanaan penyusunan legislasi daerah dilakukan dalam suatu Prolegda. Penyusunan Prolegda Kabupaten/Kota antara DPRD Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Kabupaten/Kota melalui alat kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota yang khusus menangani bidang legislasi. Sementara Penyusunan Prolegda Kabupaten/ Kota di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Bagian Hukum dan HAM dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait14. Bagi masyarakat, Prolegda berfungsi untuk : mengetahui Peraturan Daerah yang masuk dalam prioritas pembahasan di tingkat DPRD; mengetahui arah kebakan legislasi di tingkat daerah; mengetahui Peraturan Daerah apa saja yang sedang dibahas oleh DPRD, dan; mengukur beban legislasi pada kurun waktu tertentu. (b) Persiapan Pada tahapan ini, aktivitas yang dilakukan adalah perancangan penyusunan naskah akademik dan
14 Pasal 36 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

28

Peraturan daerah. Proses persiapan bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) maupun DPRD. Proses penyiapan Rancangan Peraturan Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah

Usul inisiatif DPRD

Selanjutnya tahap yang lebih bersifat administratif yakni tahap penyampaian Rancangan Peraturan Daerah yang telah selesai. Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah 29

merupakan usul prakarsa DPRD, maka pimpinan DPRD akan mengirimkan surat kepada Gubernur atau Bupati/ Walikota disertai dengan naskah Rancangan Peraturan Daerah yang terkait. Sementara itu, apabila Rancangan Peraturan Daerah merupakan usul inisiatif Pemerintah Daerah, maka Gubernur untuk Peraturan Daerah Provinsi atau Bupati/Walikota untuk Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota akan mengirimkan surat pengantar Gubernur atau Bupati/Walikota kepada Pimpinan DPRD. (c) Pembahasan; Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah di DPRD baik atas inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisitiaf DPRD, dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur/ Bupati/Walikota. Pembahasan suatu Pemerintah Daerah dilakukan melalui empat tingkat pembicaraan seperti bagan berikut ini. Bagan 2. Proses Pembahasan Peraturan Daerahdi DPRD

(d) Penetapan dan Pengundangan;

30

Bagan 3. Proses Penetapan dan Pengundangan

(e) Penyebarluasan Suatu tahapan yang juga sangat penting adalah mengenai pernyebarluasan Peraturan Daerah. Dalam hal ini Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah agar semua masyarakat di daerah setempat dan pihak terkait mengetahuinya. Penyebarluasan ini bisa dimaknai sebagai upaya mendistribusikan naskah Peraturan Daerah yang sudah diundangkan dan upaya sosialisasi kepada masyarakat yang dilakukan menyeluruh. (f) Pengawasan Satu tahapan yang membedakan pembentukan Peraturan Daerah dengan pembentukan Undang-Undang adalah tentang pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu pertama, pengawasan dilakukan sesudah Peraturan Daerah disahkan. Dalam hal ini melakukan klarikasi, pengkajian dan penilaian

31

terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah untuk mengetahui ada tidaknya unsur yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi (pengawasan represif). Yang kedua, sebelum Peraturan Daerah disahkan atau masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah, melakukan evaluasi pengkajian dan penilaian terhadap Rancangan Peraturan Daerah dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan Kepala Daerah untuk mengetahui ada tidaknya unsur yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pengawasan preventif). Evaluasi preventif dilakukan terhadap empat jenis Rancangan Peraturan Daerah, yaitu : (1) APBD/ Perubahan APBD; (2) Pajak Daerah; (3) Retribuasi Daerah; dan (4) Rencana Tata Ruang. Sementara itu pengawasan represif dilakukan terhadap seluruh Peraturan Daerah diluar empat jenis Rancangan Peraturan Daerah di atas. 6. Sistematika Peraturan Daerah Sistematika teknik penyusunan peraturan perudang-undangan sesuai dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur secara lebih lengkap dalam sistematika teknik penyusunan peraturan perudangundangan pada lampiran UU No. 12 tahun 2011, yaitu sebagai berikut: A. JUDUL Judul peraturan perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapannya, dan nama peraturan perundang-undangan. Nama peraturan perundang-undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi peraturan perundangundangan. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. 32

Contoh:

B. 1.

PEMBUKAAN Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Pada pembukaan tiap jenis peraturan perundangundangan sebelum nama jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakan di tengah marjin.

2.

Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan Jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan di tulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma (,).

Contoh:
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ... (Nama Provinsi/Kabupaten/Kota)

3.

Konsiderans a. Konsideran diawali dengan dengan kata Menimbang. b. Konsideran memuat uraian singkat mengenai pokokpokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Daerah.

33

c. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Peraturan Daerah memuat unsur Filosos, Yuridis dan Sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya. Filosos : menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat berlandaskan pada kebenaran dan cita rasa keadilan serta ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem, dan supremasi hukum.

Sosiologis : Menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan sosial masyarakat setempat. Yuridis : Menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat mempunyai keterkaitan dengan peraturan yang telah ada, yang akan diubah atau yang akan dicabut.

d. Pokokpokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peraturanperundang-undangan tersebut. e. Jika konsideran memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian. f. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh: Menimbang : a. bahwa...; b. bahwa...; c. bahwa...;

34

g. Jika konsideran memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut: Contoh: Menimbang : a. bahwa; a. bahwa; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Peraturan Bupati tentang...; h. Konsideran Peraturan Bupati pada dasarnya cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan, ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Peraturan perundangundangan/Peraturan Daerah yang memerintahkan pembuatan peraturan Bupati tersebut. Contoh : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal. Peraturan Daerah Nomor Tahun. Tentang... perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang 4. Dasar Hukum a. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. b. Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan peraturan perundang-undangan / Peraturan Daerah tersebut. c. Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan

35

Perundang-undangan yang tingkatnya sama atau lebih tinggi. d. Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah yang akan di cabut dengan Peraturan perundangundangan/Peraturan Daerah yang akan di bentuk atau Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah yang sudah ditetapkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum. e. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan/ Peraturan Daerah yang dadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantumannya perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundangundangan dan jika tingkatannya sama, disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya. f. Dasar hukum yang diambil dari pasal (pasal) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan dengan frase UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital. Contoh: Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; g. Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama, judul Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah.

36

Penulisan Undang-undang/ Peraturan Daerah, ditulis dengan huruf kapital Peraturan Perundang-undangan perlu dilengkapi dengan pencantuman Lembar Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakan diantara tanda baca kurung. Contoh : Mengingat : 1. ; 2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi(Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4316); h. Dasar hukum yang berasal dari Peraturan perundangundangan jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staadblad yang dicetak miring diantara tanda baca kurung. Contoh : Mengingat: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Peraturan daerahta (Burgerlk Wetboek, Staatsblad 1847:43); 2. ...; i. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah, tiap dasar hukum diawali dengan angka arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.

37

5.

Contoh: Mengingat : 1. ...; 2. ; 3. ; Diktum Diktum terdiri atas; a. Kata memutuskan; Kata MEMUTUSKAN ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi diantara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakan di tengah marjin. Sebelum kata memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf capital dan diletakan di tengah marjin. Contoh: Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SANGGAU dan BUPATI SANGGAU MEMUTUSKAN: b. Kata menetapkan; Kata MENETAPKAN dicantumkan sesudah kata MEMUTUSKAN yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua (:).

38

c.

Nama Peraturan Perundang-undangan / Peraturan Daerah. Nama yang dicantumkan dalam judul Peraturan Perundang-undangan / Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan dan didahului dengan pencantuman jenis Peraturan Perundang-undangan / Peraturan Daerah tanpa frase Republik Indonesia/ Kabupaten Sanggau, serta di tulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diahiri dengan tanda baca titik. Contoh: MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTA CATATAN SIPIL. Pembukaan Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah yang tingkatannya lebih rendah dari Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah seperti Peraturan Bupati, Keputusan Bupati secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah.

C.

BATANG TUBUH Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah yang memuat semua substansi Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah yang dirumuskan dalam pasal-pasal. Pada umunya substansi dalam batang tubuh dikelompokan ke dalam: 1) Ketentuan Umum 2) Materi Pokok yang Diatur 3) Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)

39

4) Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan) 5) Ketentuan Penutup Dalam pengelompokan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi perdata. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi keperdataan dan sanksi administratif dalam satu bab. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa antara lain ganti kerugian. Pengelompokan materi Peraturan Perundangundangan/Peraturan Daerah dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian dan paragraph. Jika Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah mempunyai materi yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasalpasal tersebut dapat dikelompokan menjadi buku (jika merupakan kodikasi), bab, bagian dan paragraf. Pengelompokan materi dalam buku, bab, bagian dan 40

paragraph dilakukan atas dasar kesamaan materi. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut: bab dengan pasal (-pasal) tanpa bagian dan paragraph bab dengan bagian dan pasal (-pasal) tanpa paragraph, atau bab dengan bagian dan paragraph yang berisi pasal (-pasal). Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh: BUKU KETIGA PERIKATAN Bab di berikan nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh: BAB I KETENTUAN UMUM Bagian diberikan nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberikan judul. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase. Contoh: Bagian Kelima Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan Paragraph diberi nomor urut dengan angka Arab dan di berikan judul. Huruf awal dari kata paragraph dan

41

setiap kata pada judul paragraph ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase. Contoh: Paragraf 1 Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pasal merupakan satu aturan dalam Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah yang memuat satu norma, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas dan lugas. Materi Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab, dan huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital. Contoh: Pasal 34 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. Pasal dapat dirinci kedalam beberapa ayat. Ayat diberikan nomor urut dengan angka Arab diantara tanda baca kurung tanpa diakhiri dengan tanda baca titik. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam kalimat utuh, huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil.

42

Contoh: Pasal 8 (1). Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang. (2). Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan. (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. D. PENUTUP Penutup merupakan bagian akhir peraturan yang memuat : 1. Penunjukan organ atau kelengkapan yang melaksanakan peraturan; 2. Nama singkat; 3. Status peraturan yang ada; 4. Saat mulai berlaku peraturan; 5. Penempatan dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah. Contoh :
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota). Ditetapkan di ................... Pada tanggal .................... PROVINSI/KABUPATEN/KOTA NAMA GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA Diundangkan di ................... Pada tanggal ........................ Sekretaris Daerah ................

43

E. F.

PENJELASAN (Jika diperlukan) LAMPIRAN (Jika diperlukan)

B. Naskah Akademik a) Denisi Naskah Akademik (NA) merupakan naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat15. Naskah Akademik berisi latar belakang pemikiran serta hasil kajian yang menyertai dibuatnya suatu rancangan undang-undangan atau peraturan daerah. Naskah akademik biasanya berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek atau arah pengaturan rancangan undang-undang atau peraturan daerah. b) Pentingnya Naskah Akademik dalam Peraturan Perundang-undangan Pentingnya Naskah Akademik dalam menyertai suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan karena di dalam Naskah Akademik itulah paradigma kehidupan kemasyarakatan yang hendak dituju oleh Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk dirumuskan secara terperinci melalui pendekatan ilmiah. Lain daripada
15 Pasal 1 angka 11 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

44

itu, keberadaan Naskah Akademik yang menyertai suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan dapat juga dikatakan sebagai sumber inspirasi bagi Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang akan diperjuangkan oleh pihak pemrakarsa agar memenuhi kriteria akademik, sehingga perdebatan mengenai materi muatan yang nantinya akan dituangkan ke dalam sebuah Rancangan Peraturan Perundang-undangan dapat dieliminir seminimal mungkin. Ketentuan mengenai Naskah Akademik juga diatur dalam Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 Pasal 5 ayat (1) bahwa Pemrakarsa dalam menyusun Rancangan Undang-undang dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam Rancangan Undangundang. Berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Kabupaten/ Kota) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik16. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Presiden tersebut dinyatakan bahwa Naskah Akademik paling sedikit memuat dasar losos, sosiologis, yuridis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur. c) Siapa saja yang membuat Naskah Akademik Naskah Akademik disamping disusun oleh pakar hukum, juga harus melibatkan pakar ilmu lain yang sesuai dengan bidang yang akan diatur dalam Peraturan Perundang16 Berdasarkan ketentuan Pasal 63 Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

45

undangan. Perumusan Naskah Akademik merupakan kerja kolaboratif antara Bagian Hukum dan HAM, SKPD dan pakar ilmu lainnya yang memiliki kedekatan dengan materi muatan yang akan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Namun, dalam perkembangannya kemudian Naskah Akademik tidak selalu merupakan produk perguruan tinggi. Naskah Akademik bisa dibuat oleh siapa pun sepanjang metodologinya bisa dipertanggungjawabkan. Cukup dengan penelitian sederhana serta dengan melibatkan kelompok-kelompok sosial yang berkompeten dan berkaitan dengan tema yang akan menjadi sasaran pengaturan. Kajian peraturan yang ada ditambah dari pengalaman empirik yang dialami kelompok sosial tertentu sebagai pelaku dari masalah yang akan diatur dalam peraturan daerah, serta pemangku kepentingan lainnya, sudah cukup menjadi argumentasi ilmiah sebuah naskah akademik.17 d) Apa saja isi dalam Naskah Akademik Naskah Akademik memuat gagasan pengaturan suatu materi perundang-undangan (materi hukum) bidang tertentu yang telah ditinjau secara sistematik-holistikfuturistik dan dari berbagai aspek ilmu dilengkapi dengan referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, atas hukum dan prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma yang telah dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal dengan mengajukan
17 Komnas Perempuan, Pedoman Peraturan Daerah tentang Perlindungan Buruh Migran Indonesia Berperspektif Hak Asasi Manusia dan Keadilan Jender, hal. 15, 2006.

46

beberapa alternatif, yang disajikan dalam bentuk uraian yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan sesuai dengan politik hukum yang telah digariskan. Unsur-unsur yang perlu ada dalam suatu Naskah Akademik adalah urgensi disusunnya pengaturan baru suatu materi hukum yang menggambarkan : 1. Hasil inventarisasi hukum positif; 2. Hasil inventarisasi permasalahan hukum yang dihadapi; 3. Sebab-sebab diperlukannya Peraturanya Perundangundangan yang baru; 4. Gagasan-gagasan tentang materi hukum yang dituangkan ke dalam Rancangan Undang-Undang dan/atau Rancangan Peraturan Pemerintah; 5. Konsepi landasan, alas hukum dan prinsip yang akan digunakan; 6. Pemikiran tentang norma-norma yang telah dituangkan kedalam bentuk pasal-pasal; dan 7. Gagasan awal naskah Rancangan Peraturan UndangUndang dan/atau Rancangan Peraturan Pemerintah yang disusun secara sistematis sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Peraturan Perundangundangan : bab demi bab, serta pasal demi pasal untuk memudahkan dan mempercepat penggarapan RUU/RPP selanjutnya oleh instansi yang berwenang menyusun RUU/RPP.

47

e)

Sistematika Naskah Akademik NASKAH AKADEMIK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG

.
I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Identifikasi Masalah Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Metode.

II. KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Kajian teoretis. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT


Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundangundangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang- Undang atau Peraturan Daerah yang baru.

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS Landasan Filosofis Landasan Sosiologis Landasan Yuridis

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

PENUTUP Kesimpulan Saran

48

C. Partisipasi Publik Suatu Peraturan Daerah dapat dikatakan berbasis hak asasi manusia jika telah menerapkan nilai dan prinsip hak asasi manusia itu sendiri. Salah satu yang penting adalah ketika dalam proses penyusunan sebuah Peraturan Daerah telah memperhatikan prinsip akses informasi dan partisipasi. Partisipasi tidak bisa dipahami sekedar sebagai sosialisasi, karena partisipasi menitikberatkan proses menjaring dan mengartikulasikan gagasan dan ide untuk kemudian ditindaklanjuti secara konkret dalam sebuah policy. Keterlibatan partisipasi publik idealnya ada di semua tahapan penyusunan sebuah peraturan daerah. Jaminan akan kebebasan berpartisipasi ini termuat dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik adalah asas keterbukaan (huruf g) yang selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa : dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pengesahan atau penetapan, pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. 1. Perencanaan Perencanaan yang dilakukan harus dilalui dengan penerapan partisipasi publik. Proses perumusannya tidak dimonopoli oleh DPRD dan Pemda, namun aspirasi masyarakat harus diakomodasi dalam penyusunan Prolegda. Salah satu forum yang bisa digunakan adalah musyawarah perencanaan pembangunan daerah (musrenbangda). Penyusunan Prolegda bisa dadikan salah satu agenda dalam musrenbangda. 2. Persiapan Dalam tahap ini juga harus mengoptimalkan partisipasi publik. Hal ini dapat dilakukan melalui : (i) pelibatan elemen masyarakat dalam penyusunan naskah akademik dan

49

perancangan dan (ii) penyelenggaraan forum-forum baik formal maupun non-formal yang bertujuan menampung aspirasi masyarakat. 3. Pembahasan Tahap pembahasan merupakan tahap paling krusial dalam membentuk peraturan daerah. Hal ini karena dalam tahap ini proses politik untuk merumuskan ketentuan mulai dilakukan melalui rapat antara komisi/gabungan, komisi/alat kelengkapan lainnya dengan perwakilan pemda. Sehingga, pada tahap ini juga publik harus aktif dalam berpartisipasi. Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan antara lain: (i) Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), (ii) audiensi dengan pimpinan DPRD, perwakilan alat kelengkapan DPRD yang membahas Peraturan daerah, dan unsur fraksi baik pimpinan maupun anggota. Disisi lain, pihak pembahas yaitu DPRD dan pemda juga harus aktif untuk menggali aspirasi masyarakat antara lain dengan cara mendatangi masyarakat. 4. Penyebarluasan atau sosialisasi Penyebarluasan atau sosialisasi tidak hanya sebagai kegiatan pendistribusian naskah peraturan daerah, namun juga sebagai aktitas untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat atas ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan daerah. Sehingga, sosialisasi ini memerlukan metode yang mampu mempertemukan antara warga dengan pembentuk Peraturan Daerahuntuk memaparkan dan berdiskusi tentang Peraturan Daerah yang telah disusun. Berbagai forum baik formal maupun non-formal dapat dioptimalkan untuk sosialisasi.

50

BAB IV PERAN PARLEMEN dalam PERLINDUNGAN dan PROMOSI HAK ASASI MANUSIA
Bicara mengenai promosi dan pelindungan hak asasi manusia, anggota parlemen adalah aktor penting: kegiatan parlemen secara keseluruhan - legislatif, mengadopsi anggaran dan mengawasi eksekutif meliputi seluruh elemen politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya dan tentunya memiliki dampak langsung terhadap penikmatan hak asasi manusia oleh masyarakat. Sebagai lembaga negara yang mewakili rakyat dan melalui mana mereka berpartisipasi dalam pengelolaan urusan publik, parlemen memang penjaga hak asasi manusia. Parlemen harus menyadari peran ini sepanjang waktu karena peraturan daerahmaian di negara itu, harmoni sosial dan pembangunan stabil sangat tergantung pada sejauh mana hak asasi manusia menembus semua kegiatan parlemen. A. Meratikasi Perjanjian Hak Asasi Manusia Ratikasi perjanjian hak asasi manusia adalah sarana penting untuk menunjukkan kepada masyarakat internasional dan opini publik domestik komitmen Negara untuk hak asasi manusia. Ratikasi tindakan Negara untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan Perjanjian dan untuk memungkinkan pengawasan internasional atas kemajuan dalam promosi hak asasi manusia dan perlindungan - memiliki konsekuensi yang luas bagi Negara yang meratikasi. Perjanjian Hak Asasi Manusia ditandatangani dan diratikasi oleh eksekutif, biasanya kepala Negara atau Pemerintah atau menteri untuk urusan luar negeri. Namun, keputusan akhir, apakah perjanjian internasional harus diratikasi atau tidak di sebagian besar negara tergantung dengan parlemen, yang harus menyetujui ratikasi.

B. Memastikan Pelaksanaan Nasional Mengadopsi Anggaran Menjamin pemenuhan hak asasi manusia oleh semua bukanlah tanpa biaya. Langkah- langkah efektif bagi perlindungan hak asasi manusia dan, terutama, untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia memerlukan cukup dana. Dalam menyetujui anggaran nasional, dengan menetapkan prioritas nasional, parlemen harus memastikan bahwa tersedia dana yang cukup untuk pelaksanaan hak asasi manusia. Kemudian, dalam pemantauan belanja Pemerintah, parlemen bisa, jika perlu, terus memantau kinerja Pemerintah di lapangan terhadap pemenuhan hak asasi manusia. Mengawasi Eksekutif Melalui fungsi pengawasan mereka, menundukkan kebakan dan tindakan eksekutif untuk pengawasan yang konstan, parlemen dan anggota parlemen dapat dan harus memastikan bahwa hukum benar-benar dilaksanakan oleh administrasi dan setiap badan lainnya yang bersangkutan. Dibawah prosedur parlemen, tersedia sarana untuk anggota parlemen untuk meneliti tindakan Pemerintah meliputi: Pertanyaan tertulis dan lisan kepada menteri, pegawai negeri sipil dan pejabat-pejabat eksekutif lainnya; Interpelasi; Fakta-temuan atau pemeriksaan komite atau komisi; Suara tidak percaya, jika upaya di atas gagal. Menindaklanjuti Rekomendasi dan Keputusan Rekomendasi yang dirumuskan oleh PBB dan badan-badan pengawasan pelapor khusus dan oleh badan lainnya pemantauan internasional atau regional dapat secara efektif digunakan oleh anggota parlemen untuk meneliti kepatuhan tindakan eksekutif dengan kewajiban hak asasi manusia dari Negara.

52

Parlemen Membentuk Badan-Badan Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia secara menyeluruh harus menyatu dengan kegiatan parlemen. Dalam kompetensi wilayahnya, setiap komite parlemen harus secara konsisten mempertimbangkan hak asasi manusia dan menilai dampak dari norma hukum yang diusulkan pada penikmatan hak asasi manusia. Untuk memastikan bahwa hak asasi manusia sepatutnya diperhitungkan dalam pekerjaan parlemen, parlemen mengatur badan khusus hak asasi manusia atau komite mempercayakan tugas yang ada dengan mempertimbangkan isu-isu HAM. Banyak parlemen juga telah membentuk komite untuk spesik isu-isu hak asasi manusia, seperti kesetaraan jender atau hak-hak minoritas. Dalam beberapa badan kasus tersebut kompeten untuk menerima petisi individu. Mengadopsi Undang-Undang Jika kewajiban hukum internasional tidak diterapkan di tingkat domestik, masing-masing perjanjian menjadi surat mati. Parlemen dan anggota parlemen memiliki peran penting untuk mengadopsi undang-undang pelaksanaan yang diperlukan dalam setiap daerah (peraturan daerahta, pidana, administratif atau hukum perburuhan, pendidikan, perawatan kesehatan atau undangundang jaminan sosial). C. Menciptakan dan Dukungan Infrastruktur Kelembagaan Institusi Hak Asasi Manusia Nasional (National Human Rights Institution/NHRI) Selama 20 tahun terakhir, telah ada kesadaran akan kebutuhan untuk memperkuat institusi hak asasi manusia nasional. Aksi ini bertujuan untuk menerapkan dan memastikan kepatuhan dengan standar hak asasi manusia. Salah satu cara yang digunakan untuk adalah pendirian lembaga nasional hak asasi manusia. Sementara istilah ini mencakup berbagai badan hukum yang status, komposisi, struktur, fungsi dan mandat berbeda, semua

53

badan seperti ditetapkan oleh Pemerintah untuk beroperasi secara independen - seperti lembaga peradilan - dengan maksud untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia. NHRI, sering disebut komisi hak asasi manusia, harus memiliki kapasitas dan otoritas untuk: 1. Menyerahkan rekomendasi, proposal dan laporan kepada Pemerintah atau parlemen di setiap hal yang berhubungan dengan hak asasi manusia; 2. Mempromosikan kesesuaian hukum nasional dan praktek dengan standar internasional; 3. Menerima dan bertindak atas keluhan individu atau kelompok pelanggaran hak asasi manusia; 4. Mendorong ratikasi dan penerapan standar HAM internasional dan berkontribusi untuk prosedur pelaporan di bawah perjanjian internasional hak asasi manusia; 5. Meningkatkan kesadaran hak asasi manusia melalui informasi dan pendidikan, dan melakukan penelitian di bidang hak asasi manusia; 6. Bekerja sama dengan PBB, lembaga-lembaga regional, lembaga nasional lain negara dan LSM. Kantor Ombudsman Kantor Ombudsman adalah suatu lembaga nasional yang ditemukan di banyak negara. Ada beberapa tumpang tindih antara kegiatan kantor ombudsman dan orang-orang komisi hak asasi manusia nasional tetapi peran ombudsman biasanya agak lebih terbatas, yang umumnya terdiri dari memastikan keadilan dan legalitas dalam administrasi publik. Ombudsman umumnya laporan kepada parlemen. Hanya ombudsman dengan mandat hak asasi manusia tertentu dapat digambarkan sebagai lembaga nasional hak asasi manusia.

54

Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tidak ada Negara di dunia memiliki rekor hak asasi manusia yang sempurna. Selain itu, karena setiap negara harus mengembangkan kebakan hak asasi manusia yang spesik dalam politik, budaya, sejarah dan keadaan hukum, tidak ada pendekatan tunggal bagi negara-negara untuk mengatasi masalah hak asasi manusia. Oleh karena itu, Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia, yang diselenggarakan pada tahun 1993, mendorong Negara untuk membuat aksi nasional hak asasi manusia merencanakan untuk mengembangkan strategi hak asasi manusia sesuai dengan situasi mereka sendiri. Penerapan Rencana aksi nasional harus merupakan upaya nasional yang sesungguhnya, bebas dari pertimbangan politik partisan. Sebuah rencana aksi nasional harus didukung oleh Pemerintah dan melibatkan semua sektor masyarakat, karena keberhasilannya sangat tergantung pada sejauh mana penduduk mengambil kepemilikan itu. D. Memobilisasi Opini Publik Parlemen dapat memberikan kontribusi besar terhadap meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia dan memobilisasi opini publik tentang isu-isu terkait lebih-lebih sejak perdebatan politik sering berfokus pada pertanyaan seperti diskriminasi terhadap berbagai kelompok, kesetaraan gender, hak minoritas atau masalah sosial. Parlemen harus selalu peka terhadap dampak bahwa pernyataan-pernyataan publik mereka pada isu hak asasi manusia dapat memiliki persepsi pada isu publik tersebut. Untuk meningkatkan kesadaran umum hak asasi manusia di negara mereka, anggota parlemen harus bekerja dengan aktoraktor nasional lainnya yang terlibat dalam kegiatan hak asasi manusia, termasuk LSM.

55

E. Berpartisipasi dalam Upaya Internasional Parlemen dan anggota parlemen dapat memberikan kontribusi yang signikan terhadap perlindungan dan upaya promosi hak asasi manusia di tingkat internasional. Penghormatan dan perhatian masyarakat internasional terhadap hak asasi manusia dan, di bawah hukum internasional, Negara pihak dalam perjanjian hak asasi manusia memiliki kepentingan hukum dalam pemenuhan kewajiban oleh Negara-negara Pihak lainnya. Sesuai dengan prosedur pengaduan antar Negara disediakan untuk di beberapa inti perjanjian hak asasi manusia, suatu Negara karena itu dapat meminta perhatian untuk tindakan yang dilakukan oleh Negara lain melanggar perjanjian. Parlemen, melalui badan hak asasi manusia mereka, dapat mengangkat isu-isu hak asasi manusia yang melibatkan adanya kemungkinan pelanggaran tersebut dan dengan demikian meningkatkan kepatuhan dengan norma-norma hak asasi manusia di seluruh dunia.

56

Daftar Pustaka Peraturan


Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentuan Peraturan Perundang-undangan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah Instrumen Hak Asasi Manusia Deklarasi Universal HAM (DUHAM) Kovenan Internasional tentang Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB; yang diratikasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2005). Kovenan Internasional tentang Sipil Politik (SIPOL); yang diratikasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005).

Konvensi Internasional Diskriminasi Rasial.

tentang

Penghapusan

Segala

Bentuk

(CERD; adopsi pada tahun 1965; berlakunya pada tahun 1969); yang diratikasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 1999. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW, adopsi pada tahun 1979; berlakunya pada tahun 1981); yang diratikasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Konvensi Menentang Penyiksaan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Hukuman (CAT; adopsi pada tahun 1984; berlakunya pada tahun 1987); yang diratikasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1998. Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC; adopsi pada tahun 1989; berlakunya pada tahun 1990); yang diratikasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 1990. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (yang dikenal sebagai Konvensi Pekerja Migran, atau CMW; adopsi pada tahun 1990; berlakunya pada tahun 2003). Buku Cipto Handoyo, B. Hestu. Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik. Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2008. Departemen Hukum dan HAM dan United Nation Development Programme (2007), Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah. 2008. Jason M. Patlis. Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan. Penerbit Center for International Forestry Research. 2004. 58

Sholikin, M Nur. Awasi Peraturan daerah, Berdayakan Daerah. Penerbit Pusat Studi Hukum dan Kebakan Indonesia (PSHK). 2009. Rawasita, Reny. Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan Daerah. Penerbit Pusat Studi dan Kebakan Indonesia (PSHK). 2009 Rhona K.M. Smith dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, 2008 Makalah Proses Penyusunan Peraturan DaerahDalam Teori dan Praktek, http:// www.huma.or.id Setyadi, S. Bambang, Drs, M.Si, Pembentukan Peraturan Daerah. Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel Kajian Terhadap Kebakan-Kebakan Yang Perlu Dimuat Dalam Peraturan DaerahDalam Rangka Mendorong Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)di Bank Indonesia, Maret, 2007. Sriyana, SH, LLM, DFM. Memahami Landasan Hukum, Asas dan Substansi dalam Penyusunan Peraturan Daerahserta Prosedurnya. Makalah disampaikan dalam Workshop Penyusunan Manual Drafting Peraturan DaerahBerbasis Hak Asasi Manusia di Pontianak, Juli, 2010. Artikel R Herlambang Perdana, Derogasi dan HAM, Kompas, 18 Oktober

59

PROFIL PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SANGGAU

Kabupaten Sanggau berjarak 267 Km dari ibukota Provinsi Kalimantan Barat (Pontianak) dan merupakan salah satu dari 5 (lima) kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia Timur), dengan garis perbatasan sepanjang 129,50 Km (15%) dari panjang garis perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Sarawak sepanjang 877 Km. Dari 15 kecamatan di Kabupaten Sanggau, terdapat 2 (dua) kecamatan yang berbatasan langsung (kawasan perbatasan lini 1) dengan Sarawak (Malaysia Timur) yaitu Kecamatan Entikong dan Sekayam. Luas Kabupaten Sanggau adalah 12.857,70 Km2 merupakan urutan ke-4 (12,47%) dari kabupaten/ Kodya di Propinsi Kalimantan Barat. Kemudian jika dilihat kecamatan terluas adalah Kecamatan Jangkang dengan luas 1.589,20 Km2 kemudian Kecamatan Meliau yaitu 1.495,70 Km2. Sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Balai dengan luas 395,60 kemudian Kecamatan Beduwai dengan luas 435,00 Km2. Kabupaten Sanggau dengan luas wilayahnya 12.857,0 Km2 atau 8,67% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Barat mempunyai jumlah penduduk 455.334 jiwa, dengan rincian penduduk laki laki 235.810 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 219.524 jiwa18 yang menyebar di 15 kecamatan dengan kepadatan penduduk 29 jiwa per Km2 , penyebaran ini tidak merata antara daerah kecamatan satu dengan lainnya. Saat ini Kab. Sanggau dipimpin oleh Bupati Ir. H. Setiman H. Sudin dan Wakil Bupati Paolus Hadi, S.IP, M.Si. Kab. Sanggau memiliki 23 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan telah melahirkan sekitar 110 Peraturan Daerahperiode tahun 2007 2010.
18 Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Per 24 Oktober 2011

62

PROFIL TIM PENYUSUN


MARINA RONA, lahir di Sengoret pada tanggal 15 Maret 1977. Menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan lulus Sarjana Hukum pada tahun 1998. Kemudian menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana (S2) di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak. Saat ini berkarir sebagai Kasubbag BanKum dan HAM di Bagian Hukum dan HAM Pemkab. Sanggau sejak Februari 2005.

LAURIANUS YOKA, lahir di Karangan pada tanggal 04 Juli 1984. Menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, dan lulus Sarjana Hukum pada tahun 2002. Saat ini berkarir sebagai staf di Sekretariat DPRD Kab. Sanggau.

MUTMAINNAH, lahir di Nanga Bunut pada tanggal 04 Juni 1981. Menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, dan lulus Sarjana Hukum pada tahun 2004. Saat ini berkarir sebagai staf di Bagian Hukum dan HAM di Sekretariat Daerah Pemkab. Sanggau sejak tahun 2006.

ERVANSIUS HENDRA GOMESDY, lahir di Sanggau pada tanggal 18 April 1983. Menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Panca Bakti Pontianak, dan lulus Sarjana Hukum pada tahun 2006. Saat ini berkarir sebagai staf di DINSOSNAKERTRANS Pemkab. Sanggau.

DWI YULIANI, lahir di Lampung pada tanggal 11 Januari 1980. Menyelesaikan studi di Fakultas Teknik Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta dan lulus Sarjana Teknik Informatika pada tahun 2004. Saat ini berkarir sebagai Staf Keuangan di Dinas Kependudukan & Pencatatan Sipil Pemkab. Sanggau sejak tahun 2010.

ARIYANTO, lahir di Lubuk Antuk pada tanggal 9 Desember 1979. Menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Samata Dharma Yogyakarta, dan lulus Sarjana Ekonomi Akuntansi pada tahun 2004. Saat ini berkarir sebagai staf di Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DP2KAD) Pemkab. Sanggau sejak tahun 2009.

HENNY LORRYDA YULIANA, lahir di Semitau pada tanggal 09 Juli 1975. Menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawaya dan lulus Sarjana Administrasi Publik pada tahun 2003. Saat ini menjabat sebagai Kasubbid. Kesehatan, Pendidikan, Penerangan Komunikasi di Bappeda Pemkab. Sanggau sejak tahun 2008. 64

FERI BUDI JAYANTO, lahir di Yogyakarta pada tanggal 13 Oktober 1964. Menyelesaikan studi di Fakultas Pendidikan di IKIP Yogyakarta Jurusan Geogra dan lulus Sarjana Pendidikan pada tahun 1989. Saat ini berkarir sebagai Pengawas SMP & SMA di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Pemkab. Sanggau sejak tahun 2004.

YULIA THERESIA, lahir di Setawar pada tanggal 09 Juli 1964. Menyelesaikan studi di Fakultas Pertanian Jurusan Agronomi Universitas Tanjungpura Pontianak, dan lulus Sarjana Pertanian pada tahun 1992. Saat ini berkarir sebagai sebagai sekretaris Dinas Kesehatan kab. Sanggau sejak tahun 2010. Sebelumnya beliau pernah tugas di Bappeda (19932005), Dinas Pertanian (2005-2007), BP4K (2008), dan HUBKOMINFO (2009).

SYAFRINAL, lahir di Pontianak pada tanggal 21 Juli 1970. Menyelesaikan studi di STM 2 Jurusan Elektronika Komunikasi, Padang pada tahun 1989. Saat ini berkarir sebagai Staf di Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkab. Sanggau sejak tahun 2003.

BAMBANG SUGIHARTO, lahir di Anjungan pada tanggal 23 September 1970. Menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Jatinangor, Jawa Barat, dan lulus Sarjana Kehutanan pada tahun 2006. Saat ini berkarir sebagai Kasi. Perlindungan Tanaman Perkebunan di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pemkab. Sanggau sejak Maret 1992. 65

66

Lampiran UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan; c. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan; Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. 2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundangundangan. 3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 68

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. 5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. 7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. 8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. 9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan UndangUndang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 10. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 11. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

69

12. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundangundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. 13. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. 14. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 15. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 2 Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Pasal 3 (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (3) Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya. 70

Pasal 4 Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. BAB II ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 5 Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. b. c. d. e. f. g. kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. Pasal 6 (1) Materi muatan Peraturan mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; Perundang-undangan harus

71

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. j. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. BAB III JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 7 (1) a. b. c. d. e. f. g. (2) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8 (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank

72

Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pasal 9 (1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. (2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pasal 10 (1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan UndangUndang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.

73

Pasal 11 Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 12 Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Pasal 13 Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Pasal 14 Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Pasal 15 (1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. Undang-Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda

74

selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya. BAB IV PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Bagian Kesatu Perencanaan Undang-Undang Pasal 16 Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. Pasal 17 Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Pasal 18 Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan Undang-Undang didasarkan atas: a. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. perintah Undang-Undang lainnya; d. sistem perencanaan pembangunan nasional; e. rencana pembangunan jangka panjang nasional; f. rencana pembangunan jangka menengah; g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Pasal 19 (1) Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan UndangUndang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.

75

(2) Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan UndangUndang yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan c. jangkauan dan arah pengaturan. (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik. Pasal 20 (1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah. (2) Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan UndangUndang. (3) Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. (4) Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. (5) Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pasal 21 (1) Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.

76

(2) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. (4) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan DPR. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 22 (1) Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR. (2) Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPR. Pasal 23 (1) Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: a. pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan e. penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang.

77

(2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Bagian Kedua Perencanaan Peraturan Pemerintah Pasal 24 Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah. Pasal 25 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 memuat daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. (2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Pasal 26 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (2) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. 78

Pasal 27 Rancangan Peraturan Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya. Pasal 28 (1) Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah. (2) Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan kebutuhan Undang-Undang atau putusan Mahkamah Agung. Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Ketiga Perencanaan Peraturan Presiden Pasal 30 Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden. Pasal 31 Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Presiden. Bagian Keempat Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 32 Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi. 79

Pasal 33 (1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. (2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d. jangkauan dan arah pengaturan. (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik. Pasal 34 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi. (2) Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. (3) Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. Pasal 35 Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas: a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; b. rencana pembangunan daerah; 80

c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan d. aspirasi masyarakat daerah. Pasal 36 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur. Pasal 37 (1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi. (2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi. Pasal 38 (1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:

81

a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. (2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konik, atau bencana alam; b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan c. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum. Bagian Kelima Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 39 Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota. Pasal 40 Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 41 Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka mengenai pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya dan/atau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya. Kabupaten/Kota

82

Bagian Keenam Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Lainnya Pasal 42 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau instansi masing-masing. (2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga, komisi, atau instansi masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. BAB V PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Bagian Kesatu Penyusunan Undang-Undang Pasal 43 (1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. (2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD. (3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Peraturan

83

(5) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. Pasal 44 (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 45 (1) Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. (2) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: a. b. c. d. e. otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 46 (1) Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.

84

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPR. Pasal 47 (1) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. (2) Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian terkait membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. (3) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 48 (1) Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik. (2) Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang. (3) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang

85

perancangan Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan Undang-Undang. (4) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan tertulis mengenai hasil pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna. Pasal 49 (1) Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. (2) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. (3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Pasal 50 (1) Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. (2) Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR. (3) DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima. (4) Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.

86

Pasal 51 Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan Rancangan Undang-Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. Bagian Kedua Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pasal 52 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. (2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang. (3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. (5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. (6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud

87

pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan UndangUndang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 53 Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Ketiga Penyusunan Peraturan Pemerintah Pasal 54 (1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian dan/atau antar non kementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.

88

Bagian Keempat Penyusunan Peraturan Presiden Pasal 55 (1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau antar non kementerian. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian dan/atau antar non kementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Kelima Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 56 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur. (2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. (3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau c. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.

89

Pasal 57 (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 58 (1) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Pasal 59 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 60 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi. 90

Pasal 61 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD Provinsi disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur. (2) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi. Pasal 62 Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. Bagian Keenam Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 63 Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

91

BAB VI TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 64 (1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundangundangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari UndangUndang ini. (3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. BAB VII PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pasal 65 (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan: a. otonomi daerah; b. hubungan pusat dan daerah; c. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e. perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.

92

(3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan UndangUndang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I. (4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan UndangUndang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan Undang-Undang yang dibahas. (5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Pasal 66 Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan. Pasal 67 Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 terdiri atas: a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna. Pasal 68 (1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: a. pengantar musyawarah; b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c. penyampaian pendapat mini. (2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD 93

menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR; c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; atau d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden. (3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; atau b. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2). (4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh: a. fraksi; b. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2); dan c. Presiden. (5) Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan. (6) Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.

94

Pasal 69 (1) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap- tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi. (2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. (3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Pasal 70 (1) Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. (2) Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPR. Pasal 71 (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.

95

(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden; b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tersebut. Bagian Kedua Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pasal 72 (1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. (2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

96

Pasal 73 (1) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. (2) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan UndangUndang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. (3) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir UndangUndang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pasal 74 (1) Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut. (2) Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

97

BAB VIII PEMBAHASAN DAN PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 75 (1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur. (2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. (3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. Pasal 76 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. (2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.

98

Bagian Kedua Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 77 Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bagian Ketiga Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 78 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi. (2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Pasal 79 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. (2) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan.

99

(3) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah. Bagian Keempat Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 80 Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. BAB IX PENGUNDANGAN Pasal 81 Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: a. b. c. d. e. f. g. Lembaran Negara Republik Indonesia; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia; Berita Negara Republik Indonesia; Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; Lembaran Daerah; Tambahan Lembaran Daerah; atau Berita Daerah.

100

Pasal 82 Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi: a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Presiden; dan d. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pasal 83 Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan Perundang-undangan yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 84 (1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (2) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 85 Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

101

Pasal 86 (1) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah. (3) Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Pasal 87 Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. BAB X PENYEBARLUASAN Bagian Kesatu Penyebarluasan Prolegnas, Rancangan Undang-Undang, dan Undang-Undang Pasal 88 (1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.

102

Pasal 89 (1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Pasal 90 (1) Penyebarluasan Undang-Undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dilakukan secara bersamasama oleh DPR dan Pemerintah. (2) Penyebarluasan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh DPD sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 91 (1) Dalam hal Peraturan Perundang-undangan perlu diterjemahkan ke dalam bahasa asing, penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (2) Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan terjemahan resmi.

103

Bagian Kedua Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 92 (1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan. Pasal 93 (1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD. (3) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Pasal 94 Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. 104

Bagian Ketiga Naskah yang Disebarluaskan Pasal 95 Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah. BAB XI PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 96 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. b. c. d. rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

105

BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 97 Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam UndangUndang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/ Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat. Pasal 98 (1) Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 99 Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), tahapan pembentukan UndangUndang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli.

106

BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 100 Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan UndangUndang ini. Pasal 101 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 102 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 103 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

107

Pasal 104 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR

108

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG JENIS DAN BENTUK PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib administrasi penyusunan produk hukum daerah, perlu dilakukan penyeragaman jenis dan bentuk produk hukum daerah; b. bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 2001 tentang Bentuk Produk-Produk Hukum Daerah tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, sehingga perlu diganti; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor Republik Indonesia 4389); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi

Mengingat : 1.

2.

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); 3. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG JENIS DAN BENTUK PRODUK HUKUM DAERAH. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Kepala Daerah adalah Gubernur atau Bupati/Walikota. 2. Daerah adalah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pasal 2 Jenis Produk Hukum Daerah terdiri atas: a. Peraturan Daerah; b. Peraturan Kepala Daerah; c. Peraturan Bersama Kepala Daerah; d. Keputusan Kepala Daerah; dan e. Instruksi Kepala Daerah. Pasal 3 Bentuk produk hukum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, tercantum dalam lampiran Peraturan ini. Pasal 4 Pada saat peraturan ini mulai berlaku, maka Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 2001 tentang Bentuk Produk-Produk Hukum Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

110

Pasal 5 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal MENTERI DALAM NEGERI, Ttd H. MOH. MARUF, SE Salinan Sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO HUKUM, PE RW I RA

111

112

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 16 TAHUN 2006 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib administrasi penyusunan produk hukum daerah perlu dilakukan penyeragaman prosedur secara terpadu dan terkoordinasi; b. bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk-Produk Hukum Daerah tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, sehingga perlu diganti; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor Republik Indonesia 4389); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); 3. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Prosedur penyusunan produk hukum daerah adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak perencanaan sampai dengan penetapan. Produk hukum daerah adalah peraturarj daerah yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kepala daerah adalah gubernur atau bupati/walikota. Daerah adalah provinsi dan kabupaten/kota. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan pembentukan produk hukum daerah yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis.

2.

3. 4. 5.

114

BAB II PRODUK HUKUM DAERAH Pasal 2 Produk hukum daerah bersifat pengaturan dan penetapan. Pasal 3 (1) Produk hukum daerah bersifat pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a. Peraturan Daerahatau sebutan lain; b. Peraturan kepala daerah; dan c. Peraturan bersama kepala daerah. (2) Produk hukum daerah bersifat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a. Keputusan kepala daerah; dan b. Instruksi kepala daerah. BAB III PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM Bagian Pertama Produk Hukum Bersifat Pengaturan Pasal 4 Penyusunan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan dilakukan berdasarkan Prolegda. Pasal 5 (1) Pimpinan satuan kerja perangkat daerah menyusun rancangan produk hukum daerah. (2) Penyusunan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Biro Hukum atau Bagian Hukum.

115

(3) Penyusunan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibentuk Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah. (4) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diketuai oleh Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah dan Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum berkedudukan sebagai sekretaris. Pasal 6 (1) Rancangan produk hukum daerah dilakukan pembahasan dengan Biro Hukum atau Bagian Hukum dan satuan kerja perangkat daerah terkait. (2) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menitikberatkan permasalahan yang bersifat prinsip mengenai objek yang diatur, jangkauan, dan arah pengaturan. Pasal 7 Ketua Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah melaporkan perkembangan rancangan produk hukum daerah dan/atau permasalahan kepada Sekretaris Daerah untuk memperoleh arahan. Pasal 8 (1) Rancangan produk hukum daerah yang telah dibahas harus mendapatkan paraf koordinasi Kepala Biro Hukum dan Kepala Bagian Hukum dan pimpinan satuan kerja perangkat daerah terkait. (2) Pimpinan satuan kerja perangkat daerah atau pejabat yang ditunjuk mengajukan rancangan produk hukum daerah yang telah mendapat paraf koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.

116

Pasal 9 (1) Sekretaris Daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap rancangan produk hukum daerah yang telah diparaf koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). (2) Perubahan dan/atau penyempurnaan rancangan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada pimpinan satuan kerja perangkat daerah pemrakarsa. (3) Hasil penyempurnaan rancangan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Sekretaris Daerah setelah dilakukan paraf koordinasi oleh Kepala Biro Hukum dan Kepala Bagian Hukum dan pimpinan satuan perangkat daerah terkait. Pasal 10 Produk hukum daerah berupa rancangan Peraturan Daerahatau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, yang diprakarsai oleh Kepala Daerah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dilakukan pembahasan. Pasal 11 Dalam rangka pembahasan Peraturan Daerahatau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Sekretaris Daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Pasal 12 Pembahasan rancangan Peraturan Daerahatau sebutan lainnya atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau Pimpinan satuan Kerja perangkat daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya.

117

Pasal 13 Pembahasan rancangan Peraturan Daerahdi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik atas inisiatif pemerintah maupun atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dibentuk tim asistensi dengan sekretariat berada pada Biro Hukum atau Bagian Hukum. Bagian Kedua Produk Hukum Bersifat Penetapan Pasal 14 (1) Pimpinan satuan kerja perangkat daerah penyusun produk hukum daerah yang bersifat penetapan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (2) Produk hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada sekretaris daerah setelah mendapat paraf koordinasi dari Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum. Pasal 15 (1) Produk hukum daerah yang bersifat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditandatangani oleh Kepala Daerah. (2) Penandatanganan produk hukum daerah yang bersifat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Sekretaris Daerah. BAB IV PENOMORAN AUTENTIFIKASI, PENGGANDAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN PENDOKUMENTASIAN PRODUK HUKUM DAERAH Pasal 16 (1) Penomoran produk hukum daerah dilakukan oleh Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum sekretariat daerah. (2) Penomoran produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat pengaturan menggunakan nomor bulat. 118

(3) Penomoran produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat penetapan mengggunakan nomor kode kiasikasi. Pasal 17 Produk hukum dalam bentuk Peraturan Daerahatau sebutan lainnya yang telah ditetapkan dan diberikan nomor harus diundangkan dalam lembaran daerah. Pasal 18 Produk hukum dalam bentuk peraturan kepala daerah dan peraturan bersama kepala daerah serta produk hukum yang bersifat penetapan tertentu yang telah ditetapkan dan diberikan nomor harus diumumkan dalam berita daerah. Pasal 19 (1) Pengundangan Peraturan Daerahatau sebutan lainnya dan pengumuman peraturan kepala daerah serta peraturan bersama kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 dilakukan oleh Sekretaris Daerah. (2) Pengundangan Peraturan Daerah atau sebutan lainnya dan pengumuman peraturan kepala daerah serta peraturan bersama kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum. Pasal 20 (1) Produk hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 sebelum disebarluaskan harus terlebih dahulu dilakukan autentikasi. (2) Autentikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum.

119

BAB V PEMBIAYAAN Pasal 21 Pembiayaan berkaitan dengan penyusunan produk hukum daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 22 Penggandaan, pendistribusian dan pendokumentasian produk hukum daerah dilakukan oleh Biro Hukum atau Bagian Hukum dan satuan kerja perangkat daerah pemrakarsa. Pasal 23 Sosialisasi produk hukum dilakukan secara bersama-sama Biro Hukum atau Bagian Hukum dengan satuan kerja perangkat daerah pemrakarsa. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Dengan berlakunya Peraturan ini, maka Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk-Produk Hukum Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 25 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Mei 2006 MENTERI DALAM NEGERI, Ttd H. MOH. MARUF, SE 120

RANCANGAN PERATURAN DAERAHKABUPATEN SANGGAU NOMOR..TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SANGGAU Menimbang : a. Bahwa dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, wajib mengakui, menghormati, dan melindungi hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat setempat; b. Bahwa pengakuan dan penghormatan tersebut diputuskan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi keberdayaan, kelestarian dan perkembangan adat istiadat dan hukum adat, khususnya lembaga adat dalam rangka menjadikan adat istiadat dan hukum adat sebagai pedoman perilaku Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sanggau; c. Bahwa berhubungan dengan huruf a dan b di atas, perlu menetapkan Lembaga Adat di Kabupaten Sanggau dengan Peraturan Daerah Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 27 tahun 1959 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun

1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 352); 2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493) yang telah ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun200 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587);

122

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat di Daerah; 7. Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 11 tahun 2000 tentang Kewenangan Kabupaten Sanggau sebagai Daerah Otonom. Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SANGGAU Dan BUPATI SANGGAU MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DAEARAH KABUPATEN SANGGAU TENTANG LEMBAGA ADAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerahini yang dimaksud dengan: a. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah; b. Daerah adalah Kabupaten Sanggau; c. Bupati adalah Bupati Sanggau; d. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daearh sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah; e. Lembaga Adat adalah organisasi kemasyarakatan yang dibentuk,

123

dikelola dan dikontrol oleh masyarakat hukum adat sesuai dengan hak asal usul dalam suatu Masyarakat Hukum Adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku; f. Hukum Adat adalah seperangkat aturan dan atau kesepakatan yang hidup dan berlaku dalam Masyarakat Hukum Adat yang diwariskan secara turun-temurun;

g. Adat Istiadat adalah seperangkat nilai atau normal, kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh, berkembang dan ditaati oleh masyarakat hukum adat dan atau satuan masyarakat lainnya sebagaimana terwujud dalam pola kelakuan dalam kehidupan seharihari; h. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang masih terikat adat istiadat, hukum adat dan kelembagaan adat yang masih ditaati, memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri; i. j. Wilayah Adat adalah tempat tumbuh dan berkembangnya adat istadat; Hak Adat adalah hak yang melekat pada Masyarakat Hukum Adat;

k. Kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat adalah polapola kegiatan atau perbuatan yang dilakukan oleh para warga masyarakat, yang merupakan sebuah kesatuan hukum tertentu yang pada dasarnya dapat bersumber pada hukum adat atau adat istiadat sebagaimana diakui keabsahannya oleh warga masyarakat tersebut dan atau oleh warga masyarakat lainnya, dan masih berlaku dalam kehidupan masyarakat tersebut; l. Pengakuan adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah daerah Kabupaten Sanggau untuk mengakui keberadaan lembaga Adat;

124

m. Perlindungan adalah suatu upaya hukum yeng dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau terhadap lembaga adat dari tindakan yang dapat mengancam keutuhan lembaga adat beserta hak adatnya; BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 (1) Maksud dilakukan pengakuan, penghormatan dan perlindungan lembaga adat adalah untuk meningkatkan peranan lembaga adat dalam mengembangkan nilai-nilai adat istiadat, hukum adat, sosial, ekonomi, politik, dan budaya demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat hukum adat. (2) Tujuannya untuk menciptakan kehidupan Masyarakat Hukum Adat yang berdaulat. BAB III KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG Bagian Pertama Pasal 3 Kedudukan Lembaga Adat berkedudukan di wilayah Kabupaten Sanggau. Bagian Kedua Pasal 4 Tugas, Fungsi, dan Wewenang (1) Lembaga Adat mempunyai tugas, fungsi dan wewenang sesuai dengan kesepakatan Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan dan atau sukunya yang diwariskan secara turun temurun demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan Masyarakat Hukum Adat;

125

(2) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya lembaga adat dikontrol oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan; BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Pertama Pasal 5 Hak Lembaga Adat berhak: a. Mendapat pengakuan dan perlindungan dari Pemerintah Daerah; b. Mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Bagian Kedua Pasal 6 Kewajiban Lembaga Adat mempunyai kewajiban antara lain: a. Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen; c. Berperan serta dalam menciptakan susasana aman dan tenteram dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan menjalankan tugas dan fungsi secara benar. BAB V PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN LEMBAGA ADAT Pasal 7 (1) Lembaga Adat yang diakui dan dilindungi adalah lembaga adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum adat berdasarkan asal-usul dan diakui keberadaannya oleh masyarakat hukum adat di mana lembaga adat tersebut menjalankan tugas dan fungsinya;

126

(2) Pengakuan terhadap Lembaga Adat mencakup hal-hal yang berhubungan dengan kelangsungan hidup lembaga adat itu sendiri seperti wilayah adat, masyarakat hukum adat, adat istiadat, hukum adat dan hak adatnya; (3) Pemerintah Daerah wajib memberi perlindungan kepada Lembaga Adat dari tindakan dan ancaman yang dapat membahayakan keutuhannya. (4) Perlindungan dapat juga berupa jaminan kepastian hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati. Pasal 9 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Praturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembar Daerah Kabupaten Sanggau. Ditetapkan di : Sanggau Pada tanggal : ...........................2006 Bupati Sanggau

YANSEN AKUN EFFENDY

127

128

You might also like