You are on page 1of 46

1.

ANALISA

SOSIOLOGI

HUKUM

BERDASARKAN

METODE

PENDEKATAN DAN FUNGSI HUKUM Latar Belakang Analisa Sosiologi yang berdasarkan Metode Pendekatan dan Fungsi Hukum, yang pada pokoknya adalah terdapatnya unsur-unsur seperti Sosiologi Hukum Pendekatan Intrumental, Pendekatan Hukum Alam dan Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum.Dengan memerlukan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum, Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif, Hukum Sebagai Sosial Kontrol dan Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, yang merupakan sebagai tolak ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam masyarakat, apakah norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar bagaimana pernerapan sangsi, sebagai yang melakukan pelanggaran tersebut. Norma atau kaidah yang hidup didalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal dari masyarakat itu sendiri. Terdapat beberapa permasalahan pokok yaitu : 1. bagaimanakah Pendekatan Intrumental dan Pendekatan Alam yang

dipengaruhi oleh kondisdi internal maupun eksternal ?, dan 2. bagaimanakah Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif apabila dilihat dari sudut pandang internal maupun eksternal

Tujuan dan maksud, dalam membahas serta menganalisa sampai tentang Sosiologi Hukum yang secara tidak sadar meresap dan hidup didalam kehidupan masyarakat baik secara internal maupun secara eksternal didalam melakukan interaksi social, yaitu dengan menggunakanMetode Pendekatan Sosiologi Hukum dan Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif adalah yang merupakan standarisasi sebagai objek pokok pembahasan Sosiologi Hukum. Penggunaan kerangka teori dan konsep adalah untuk melihat pendapat para ahli yang telah mendefinisikan, seperti : konsep dari H.L.A. HART yang difinisinya adalah : Bahwa suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur

kekuasaan yang berpusat kepada kewajiban tertentu didalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasyarakat. Pengertian Sosiologi Hukum terlihat dari Difinisi para ahli Sosiologi Hukum sepert : 1. Soejono Soekanto. Sosilogi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya. 2. R. Otje Salaman. Sosiologi hukum (ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis). Jelas terlihat berdasarkan definisi para ahli bahwa sosiologi hukum adalah segala aktifitas social manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi hukum. Dasr sosiologi hukum adalah Anzilotti pada tahun 1882, yang dipengaruhi oleh disiplin ilmu Filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi yaitu : 1. Filsafat Hukum adalah dimana pokok bahasannya adalah aliran filsafat hukum, yang menyebakan lahirnya sosiologi hukum yaitu aliran Positivisme (difinisi Hans Kelsen. Hukum berhirarkhis). Dan aliran filsafat hukum tumbuh dan berkembang berdasarkan : a. Mazhab sejarah yang dipelopori oleh Carl Von Savigny yang mengungkapkan bahwa hukum itu dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat (volksgeisf). b. Aliran Utility (Jeremy Bentham) yaitu bahwa hukum harus bermanfaat bagi masyarakat guna mencapai hidup bahagia. c. Aliran Sociological Juriprudence (Eugen Ehrlich) yaitu hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat (living law).

d. Aliran Pragmatic Legal Realism (Roscoe Pound) yaitu law as at tool of social engineering.

2. Ilmu Hukum menganggap bahwa hukum sebagai gejala social, banyak mendorong pertumbuhan sosiologi hukum dan hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir sosiologi (non yuridis). 3. Sosilogi yang berorientasi pada hukum adalah bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada solideritas, ada yang solidaritas mekanis yaitu terdapat dalam masyarakat sederhana, hukumnya bersifat reprensip.

Ruang Lingkup Sosilogi Hukum, dimana sosiologi hukum didalam ilmu pengetahuan, bertolak kepada apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan, yang meliputi disiplin analitis dan disiplin hukum (perskriptif). Disiplin analitis, contohnya adalah sosilogis, psikologis, antropologis, sejarah, sedangkan disiplin hukum meliputi : ilmu-ilmu hukum yang terpecah menjadi ilmu tentang kaidah atau patokan tentang prilaku yang sepantasnya, seharusnya, ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dan system dari pada hukum dan lain-lain. Terdapatnya pendekatan-pendekatan yang terdiri dari : 1. Pendekatan Instrumental. Adalah menurut pendapat Adam Podgorecki yang dikutip oleh Soerjono Soekanto yaitu bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat

2. Pendekatan Hukum Alam. Adalah menurut Philip Seznik yaitu bahwa pendekatan instrumental merupakan tahap menengah dari perkembangan atau pertumbuhan sosiologi hukum dan tahapan selanjutnya akan tercapai, bila ada otonomi dan kemandirian intelektual. Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahan ini seorang sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu social

dalam menciptakan masyarakat yang didasrkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law menurut Philip Seznick). Karakteristik Kajian Sosilogi Hukum, adalah fenomena hukum didalam masyarakat dalam mewujudkan : 1. deskripsi, 2. penjelasan, 3. Pengungkapan (revealing), dan 4 prediksi yaitu bahwa karekteristik kajian sosiologi hukum adalah sebagai berikut : 1. Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktek hukum dan dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan dalam pengadilan, maka mempelajari pula bagaimana parktek yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut. 2. Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu praktekpraktek hukum didalam kehiduipan social masyarakat itu terjadi, sebabsebabnya, factor-faktor apa yang mempengaruhi. Latar belakang dan sebagainya.Pendapat Max Weber yaitu Interpretative Understanding yaitu cara menjelaskan sebab, perkembangan serta efek dari tingkah laku social, dimana tingkah laku dimaksud mempunyai dua segi yaitu luar dan dalam atau internal dan ekternal. 3. Sosilogi hukum senantiasa menguji kesahian empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu. 4. Sosilogi hukum bersifat khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang tertera padsa peraturan itu ? dan harus menguji dengan data empiris. 5. Sosiologi Hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tingkah laku yang mentaati hukum, sama-sama merupakan obyek pengamatan yang setaraf, tidak ada segi obyektifitas dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata. Penguraian Metode Pendekatan Sosilogi Hukum, Perbandingan Yuridis Empiris dengan Yuridis Normatif, Hukum sebagai social Kontrol dan Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat.

Metode Pendekatan Sosiologi Hukum, Dalam pengkajian hukum positif masih mendominasi studi hukum pada Fakultas Hukum, yang cenderung untuk menjadi suatu lembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapkan peraturan-peraturan hukum. Hal ini dapat disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan yuridis normative. Dan selain pendekatan tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam kehidupan social kemasyarakatan, bukan kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam perundangundangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2.behavior,3. variable, 4 observer, 5.scientific dan 6.explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.

Perbandingan Yuridis Empiris dengan Yuridis Normatif, Untuk membanding hal tersebut diatas, maka pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat dengan pendekatan yuridis normative, maka perlu menguraikan lebih dahulu dimaksud pendekatan yuridis empiris atau ilmu kenyataan hukum dan penjelasannya sebagai berikut : 1. Sosilogi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis. Contoh : apakah seorang bermaksud lebih dari seorang isteri terdapat dalam PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 40. 2. Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan bagaimana penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan pada masyarakat modern. Contoh : pada masyarakat sederhana ada dewam masyarakat adat sedangkan pada masyarakat modern adalah Putusan Hakim. 3. Psikologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari perwujudan dari jiwa manusia. Contoh: diatatinya atau dilanggarnya hukum yang berlaku dalam masyarakat.

4. Sejarah Hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum positif pada masa lampau/Hindia Belanda sampai dengan sekarang. Contoh : Monumen ordinantie ( HIR/Rbg). 5. Perbandingan Hukum adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem hukum yang ada didalam suatu Negara atau antar Negara. Contoh Hukum adat Batak dengan hukum adat jawa atau hukum singapura dengan hukum Negara Indonesia. Pendekatan yuridis empiris atau pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat yang dilengkapi dengan contoh diatas, dapat dipahami bahwa berbeda dengan pendekatan yuridis normative/pendekatan doktrin hukum.

Hukum Sebagai Sosial Kontrol, Dimana setiap kelompok masyarakat selalu ada problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standard dan yang parktis. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat dicontohkan : pencurian, perzinahan hutang, membunuh dan lain-lain. Semua contoh ini adalah bentuk prilaku yang menyimpang yang menimbulkan persoalan didalam masyarakat, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang modern. Dalam situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan problem untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan eksistensinya. Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok masyarakat tersebut. Hukum yang berfungsi demikian adalah merupakan instrument pengendalian social.

Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, Hukum sebagai sosial control, juga hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social enginnering, Alat pengubah masyarakat adalah analogikan sebagai suatu proses mekanik. Terlkihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai-nilai baru. Peran

perubahan/pengubahan tersebut dipegang oleh hakim melalui interprestasi dalam mengadili kasus yang dihadapinya secara seimbang (balance) dan harus memperhatikan beberapa hal yaitu : 1. Studi tentang aspek social actual dari lembaga hukum. 2. Tujuan dari pembuatan peraturan hukum yang efektif. 3. Studi tentang sosiologi dalam mempersiapkan hukum. 4. Studi tentang metodologi hukum. 5. Sejarah hukum. 6. Arti penting tentang alasan-alasan dan solusi adari kasus-kasus individual yang pada angkatan terdahulu berisi tentang keadilan yang abstrak dari suatu hukum yang abstrak. Dari keenam langkah yang perlu diperhatikan oleh hakim atau praktisi hukum dalam melakukan interprestasi, maka perlu ditegaskan bahwa memperhatikan temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus dilindungi, yang semula hanya merupakan unsur-unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law).

Menganalisa Faktor Internal. Metode Pendekatan Sosiologi Hukum sangat dipengaruhi oleh factor internal yang hidup didalam masyarakat, seperti dalam pengkajian hukum positif terhadap studi hukum yang cenderung untuk melembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturanperaturan hukum. Hal ini dapat disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan yuridis normative, dan selain pendekatan tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam kehidupan sosial kemasyarakatan, bukan kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2. behavior, 3. variable, 4. observer, 5. specientific dan 6. explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap

perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.

Secara analisa factor internal bahwa metode pendekatan tersebut dipengaruhi kebijakan dasar yaitu Dewan Hukum Adat pada masyarakat sederhana, sedangkan pada masyarakat modern adalah putusan hakim. Juga dipengaruhi kebijakan pemberlakuan, akibat pengaruh kebijakan dasar tersebut dengan upaya untuk mematuhi keputusan kebijakan dasar dan apabila tidak melaksanakan maka akan terkena sanksi kebijakan pemberlakuan, pada masyarakat sederhana keputusan dewan kepala adat harus dilaksanakan dengan ketentuan musyarakat dewan adat, sedangkan pada masyarakat modern, keputusan Hakim adalah merupakan kebijakan dasar sedangkan kebijakan pemberlakukan adalah apabila tidak melaksanakan putusan tersebut akan mendapat sanksi yang ditentukan oleh undang-undang yang berlaku.

Menganilsa Faktor Eksternal Metode Pendekatan Sosiologi Hukum sangat dipengaruhi juga oleh faktor eksternal yang hidup diluar masyarakat, seperti dalam pengkajian hukum positif terhadap studi hukum yang cenderung untuk melembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-peraturan hukum. Hal ini dapat disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan yuridis normative, dan selain pendekatan tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam kehidupan sosial

kemasyarakatan, buka kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam perundangundangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat

sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2. .behavior, 3. variable, 4. observer, 5. specientific dan 6. explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap

perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.

Secara analisa faktor eksternal mempengaruhi metode pendekatan tersebut, terhadap kebijakan dasar eksternal yaitu peraturan nasional yang menaungi keamaan dan ketentraman masyarakat sederhana tersebut, seperti pemberlakuan hak penguasan tanah adat (Hak Ulayat), sedangkan pada masyarakat modern adalah peraturan perundangan-undangan pertanahan (Hukum Agraria) yang melindungi masyarakat modern didalam hal penguasaan tanah. Sangat jelas terlihat bahwa kebijakan pemberlakuan, sebagai akibat dipengaruh kebijakan dasar tersebut, dengan upaya untuk mematuhi keputusan kebijakan dasar yang berupa peraturan perundangundang dan apabila tidak melaksanakan ketentuan tersebut, maka akan hilang hak penguasaan tanah tersebut yaitu kebijakan pemberlakuan pada masyarakat modern.

Kesimpulan Pada pendekatan intrumental adalah merupakan disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat dan tidak terlepas dari pendekatan Hukum Alam. menciptakan masyarakat yang didas untukrkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law).

Pada karakteristik kajian sosiologi hukum adalah fenomena hukum didalam masyarakat dalam mewujudkan : 1. deskripsi, 2. penjelasan, 3. Pengungkapan (revealing), dan 4 prediksi yaitu bahwa karekteristik kajian sosiologi hukum adalah sebagai berikut yaitu Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktek hukum dan dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan dalam pengadilan, Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu praktek-praktek hukum didalam kehidupan social masyarakat itu terjadi, sebabsebabnya, factor-faktor apa yang mempengaruhi. Latar belakang, Sosilogi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu, Sosilogi hukum bersifat khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang tertera pada peraturan dan harus menguji dengan data empiris. Dengan dilakukan metode Pendekatan Sosiologi Hukum, adalah pengkajian hukum positif, yang cenderung untuk menjadi suatu lembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-peraturan hukum (pendekatan yuridis normative dan pendekatan pengkajian hukum pada kenyataa didalam kehidupan social

kemasyarakatan). Sedangkan Perbandingan Yuridis Empiris dengan Yuridis Normatif, adalah pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat dengan pendekatan yuridis normative, dengan menguraikan lebih dahulu pendekatan yuridis empiris atau ilmu kenyataan hukum dan penjelasannya yaitu : Sosilogi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejalagejala social lainnya secara empiris analistis, Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan bagaimana penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan pada masyarakat modern, Psikologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari perwujudan dari jiwa manusia, Sejarah Hukum sebagai iilmu yang mempelajari hukum positif pada masa lampau sampai dengan sekarang, dan Perbandingan Hukum adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem hukum yang ada didalam suatu Negara atau antar Negara.

Hukum Sebagai Sosial Kontrol, adalah setiap kelompok masyarakat selalu ada problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standar dan yang parktis yaitu penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat.adalah untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan eksistensinya.Begitu juga mengenai Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki. Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, adalah hukum sebagai sosial control, dan sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social enginnering, sebagai alat pengubah masyarakat adalah dianalogikan sebagai suatu proses mekanik. Terlihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai-nilai baru, dengan melakukan interprestasi, ditegaskan dengan temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus dilindungi, dan unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law).

2.

PARADIGMA METODOLOGI PENELITIAN HUKUM Tiga landasan ilmu pengetahuan atau yang sering disebut dengan tiga tiang

( Bagian Pertama ) peyangga ilmu pengetahuan dalam kajian filsafat ilmu yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi atau teleologis. Ketiga unsur ini merupakan tolok ukur dalam membangun The Body of Knowledge. Salah satu tiang penopang dalam bangunan ilmu pengetahuan adalah epistimologi. Epistimologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Epistimologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Epistimologi merupakan teori pengetahuan yang diperoleh melalui proses metode keilmuan dan sah disebut sebagai keilmuan.

Dengan epistimologi maka hakikat keilmuan akan ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan dengan sifat terbuka, dan menjunjung tinggi kebenaran di atas segala-galanya. Oleh sebab itu aliran yang berkembang dalam menopang konsep epistimologi menunjukkan koridor di atas seperti rasionalisme, empirisme, kritisme, positivisme, fenomenologi. Konsep epistimologi secara eksplisit dapat dikaji dari penerapan metode ilmiah. Makna metode ilmiah dalam penerapan metodologis merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan yang baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada. Langkah-langkah semakin bervariasi dalam ilmu pengetahuan tergantung pada bidang spesialisasinya. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan : a. kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; b. menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut dan ; c. melakukan verfikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataan secara faktual. Ketiga hal di atas secara akronim disebut dengan logico hypotetico verificative-deducto hypothetico verificative. Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Verfikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain, selain yang terkandung dalam hipotesis (mungkin fakta menolak hipotesis). Demikian juga verifikasi faktual membuka diri atas kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya berulang berdasarkan cara berfikir kritis. Dalam epistimologi terdapat asas moral yang secara implisit dan eksplisit masuk dalam logico hypotetico verificative-deducto hypothetico verificative yaitu

bahwa dalam proses kegiatan keilmuan, setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Dalam beberapa kajian filsafat ilmu, posisi epistimologi ini mempunyai standar pengujian yang kokoh karena didasari postulat value free. Konsep ini berbeda dengan ontologi dan aksiologi yang sangat rawan untuk disalahgunakan karena unsur subjektivitasnya sangat tinggi dalam dua bidang ini sehingga dilihat tidak bebas nilai. Upaya melakukan kajian epistimologi dalam metode penelitian adalah pengeksplorasian konsep dasar yang menjadi blue print bagi pola pengembangan pembelajaran matakuliah ini. Pengeksplorasian ini dilakukan dengan tujuan ke depan terdapat upaya-upaya pemaduan atau integrasi epistimologi antara metodologi penelitian hukum dan metodologi penelitian hukum Islam sampai pada pembentukan prototipe metodologinya. Selanjutnya akan dihasilkan sebuah perpaduan yang komprehensif integral bagi perumusan awal substansi pembelajaran metode penelitian hukum yang diajarkan di Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah. Upaya pengembangan matakuliah tersebut sesuai dengan salah satu konsep startegi pengembangan ilmu yaitu ilmu dan konteksnya saling meresapi dan saling mempengaruhi untuk memberi kemungkinan bagi timbulnya gagasan-gagasan baru yang aktual dan relevan bagi pemenuhan kebutuhan sesuai dengan waktu dan keadaan (science for the sake human progres). Metode penelitian hukum dan metode penelitian hukum Islam dalam proses aplikasi dan pengembangannya mengalami berbagai pengaruh baik itu faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal misalnya terjadinya perluasan objek studi akibat perkembangan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat secara kultural, terjadi keharmonisan pemikiran tentang objek kajian yang mengakibatkan terjadinya modifikasi substansi pembelajaran, hasil-hasil penelitian yang berpengaruh pada proses pembelajaran dan sebagainya. Secara eksternal hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang mengakibatkan terjadinya perubahan struktural dan sistem legislasi, tuntutan masyarakat akan kebutuhan prototipe sarjana hukum Islam, tuntutan para pengguna lulusan (stake holders) dan sebagainya.

Dalam perkembangan metodologi penelitian hukum dan metodologi penelitian hukum Islam mengalami pengaruh pula dari perkembangan metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial. Hal itu disadari sepenuhnya karena ranah penelitian dari metodologi penelitian hukum dan metodologi penelitian hukum Islam berinduk pada ranah makro dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Keterkaitan tersebut dapat ditelusuri dari paradigma epistimologi dalam metodologi seperti : positivisme logis (M.Schlick, 1882-1936) ; rasionalisme kritis (K.R.Popper 1906-1994) ; empirisme analitis (A.D.De Groot, 1975) ; hermeneutika (Wilhelm Dilthey 1833-1911 diteruskan oleh K.Opel dan J.Habermas) ; konstruktivisme kritis ( oleh JJJ.Wuisman). Masingmasing aliran ini mempunyai konsekuensi keilmiahan yang berbeda satu dengan yang lain. Dengan ini akan terlihat kecenderungan mana dari isme ini yang dianut oleh perkembangan metodologi penelitian hukum dan metodologi penelitian hukum Islam. Guba dan Egon mengkaji aspek epistimologi paradigma ilmu dari positivisme, postpositivisme, critical theory, dan konstruktivisme. Pemikiran dan penerapan metodologi penelitian hukum yang berkembang di Indonesia dapat dilihat dari konsep maupun aplikasi penelitian dalam struktur diskursus. Terlihat jelas, uraian metodologi sangat dipengaruhi oleh pandangan filsafat yang dianut. Pandangan filsafat ini dapat ditelusuri dari terdapatnya benang merah yang secara konsisten terlihat dalam uraian teknis operasional bentuk metodologi penelitian hukum yang dianut oleh peers group. Secara makro dapat hukum yaitu metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian yuridis sosiologis.dirumpunkan dalam dua kategori besar tentang cara pandang dalam metode penelitian. Penelitian hukum normatif adalah alur sejarah yang mengawali penelitian hukum dan tetap konsisten mempertahankan kenormatifannya sebagai aras dan tujuan penelitian hukum. Di luar ini bukan penelitian hukum. Sebagai bentuk klasik dari penelitian hukum, hal ini tercermin dari tokoh-tokoh yang menganutnya termasuk modifikasi-modifikasi yang dilakukan. Modifikasi yang dibangun dari kerangka dasar penelitian tetap berbentuk normatif, karena sama sekali melepaskan diri dari anasir eksternal dan bersifat esoterik. Sebutlah tokoh-tokoh besar seperti :

Hans Kalsen, H.L.Hart, John Austin maupun Rudolf von Jhering seperti yang terurai pada Bab terdahulu Penelitian yuridis sosiologis, merupakan bentuk penelitian hukum yang membuka diri atas perubahan-perubahan sosial khususnya perkembangan penelitian ilmu-ilmu sosial. Filsafat yang dibangun atas kontribusi perkembangan ilmu di luar hukum seperti sosiologi, antropologi, public policy dan sebagainya yang memberikan warna dinamis pada pola penjabaran penelitian. Tokoh yang berpengaruh pada aras penelitian ini, sebutlah F.Savigny, Donald Black, Eugen Erlich, Adam Podgorecki sampai Roberto Mangaibera Unger dengan The Critical Legal Studies Movement. Di Indonesia, pola pemahaman dan penerapan metodologi penelitian hukum berkembang atas kajian mendalam dan modifikasi yang dinamis para tokohnya. Setiap tokoh mempunyai bentuk pemaknaan terhadap pola-pola yang berkembang dalam menyusun metodologi penelitian hukum. Sebutlah tokoh-tokoh seperti : Soerjono Soekanto, Ronny Hanitijo Soemitro, Sunaryati Hartono, Maria SW Soemardjono sampai Soetandyo Wigjosoebroto. Pemikiran para tokoh ini berkembang dalam wacana literature dan pendidikan hukum di Indonesia. Perkembangan yang tidak dinafikan dalam koridor penelitian hukum adalah dilakukannya eksplorasi yang tiada henti oleh kaum ilmuwan hukum maupun kaum ilmuan sosial pemerhati metode penelitian hukum untuk melakukan berbagai penelaahan dan pelebaran wawasan metode penelitian hukum dengan mengakses perkembangan penelitian ilmu-ilmu sosial. Termasuk didalamnya paradigma penelitian ilmu-ilmu sosial dan teknis operasionalnya menjadi pemaduan yang menarik dalam kajian penelitian ilmu hukum. Perkembangan ini berjalan pesat terutama pada penelitian yuridis sosiologis. Sedemikian lajunya perjalanan metodologi penelitian ilmu hukum yang diwarnai oleh perkembangan metodologi penelitian secara interdisipliner dan multidisipliner tersebut mengakibatkan keprihatinan yang mendalam Ibu Sunaryati Hartono dengan menulis makalah di tahun 1984 dengan judul Kembali Ke Metode Penelitian Hukum. Alasan yang mendasar yang beliau sampaikan adalah peneliti hukum yang terlalu asyik dengan metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial pada

akhirnya meninggalkan aspek normatif dari metodologi penelitian hukum. Padahal disadari metodologi penelitian hukum tidak boleh meninggalkan aspek normatif, karena hal itu merupakan ciri dari metodologi penelitian hukum. Keprihatinan tersebut membawa kesadaran bahwa sejauh apapun penggunaan metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial sebagai alat atau pisau analisis pada hakekatnya membantu peneliti untuk mengungkapkan fenomena sosial dari tineliti agar bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dideskripsikan secara utuh mendekati realitas sosial yang terjadi. Keberanian untuk mengungkapkan penemuan dalam upaya pemaduan konsep dasar metodologi penelitian hukum dengan metodologi penelitian sosial yang diposisikan sebagai pelengkap oleh peneliti hukum dituntun oleh dasar-dasar argumentasi yang rasional empirik sehingga tingkat kepercayaan peers group dapat memahami. Salah satu cara untuk mengetahui perkembangan metodologi penelitian hukum adalah dengan menelusuri alur pemikiran metodologi penelitian hukum dapat dibagi dalam dua hal yang mendasar yaitu : a. Jurisprudential Model yang mengedepankan aspek-aspek : rules, logic, universal, participant, practical, and decesion. b. Sociological Model yang mengedepankan aspek-aspek : social structure, behaviour, variable, observer, scientific and explanation. Kedua model di atas yang merupakan pola pengembangan dari two models of law dari Donald Black (1989), yang melihat persoalan pengembangan dan pembagian model hukum dengan menitiberatkan pada : focus, process, scope, perspective, purpose dan goal.

3.

HUKUM DAN MASYARAKAT Perubahan orientasi dari pemerintah yang terbetuk dalam rasional formal

Rematerialisasi Hukum dan Masyarakat menuju pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyarakat (substantive Rationality) memang disadari harus dilakukan melalui rematerialisasi hukum (rematerialization of law) sebagai sebuah alternatif jalan keluar yang banyak

dilakukan dalam mengatasi keadaan yang dikenal dengan Krisis Hukum. Namun bagaimana sebenarnya rematerialisasi hukum itu oleh Gunther Tuebner dikatakan: The rematerialization of formal law is the corollary development within the legal sphere. law develops a substantive rationality characterized by particularism, result-orientation, an instrumentalist sosial policy approach, and the increasng legalization of formerly autonomus sosial processes. Sehingga dengan kata lain secara ringkas dapat dikatakan bahwa rematerialisasi hukum adalah kecenderungan di bidang hukum dari rasionalitas formal ke rasionalitas substantif, atau pemisahan dari formalitas hukum sebagai konsekuensi logis paham negara kesejahteraan (welfare state) maupun negara pengatur (regulatory state). Namun demikian, rematerialisasi hukum ini harus diawasi sebab suatu remateriliasasi hukum dapat berdampak pada munculnya ancaman terhadap nilai-nilai sosial ini, sebab dengan rematerilisasi hukum, nilai-nilai yang kehidupan sosial akan tidak mendapat perhatian sehingga akan tidak terakomodasi dalam pengaturan hukum. Disamping itu, secara langsung

rematerialisasi hukum ini akan mengganggu individualitas, sebab hukum akan senantiasa mengacuh pada keinginan rasionalitas yang mengarah pada sasaran formal dan tentunya dengan sendirinya akan melupakan persoalan individu. Sebagai konsekuensi logis dari gambaran ini tentunya perlindungan hukum terhadap individu dan masyarakat tentu akan berkurang.

Evolusioner dalam Hukum dan Sosial Dalam memahami hubungan antara perubahan dalam hukum dan perubahan dalam masyarakat, diperlukan sebuah teori yang bersifat evolusioner, meskipun teori perkembangan ini tidak selamanya dapat menjelaskan bagaimana sebuah hukum tertentu dapat bekerjasama dengan gambaran-gambaran sosial, ekonomi dan organisasi politik dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, maka teori evolusioner ini seharusnya mampu untuk mempertimbangkan hubungan antara struktur-struktur hukum dan sosial serta membantu kita untuk memahami bagaimana transformasitransformasi itu dapat terjadi. Dalam sebuah model yang dikembangkan oleh Nonet dan Selznick, Nonet dan Selznick menganalisis sebuah model mengenai proses

perubahan hukum yang membebankan aturan yang berpusat pada dinamika internal sistem hukum. Dengan model ini maka aturan- aturan hukum hanya berada pada penguatan-penguatan yang mengatur di dalam lingkungan hukum itu sendiri saja. Hal ini berarti bahwa rematerialisasi hukum ini hanya memperbaiki kondisi hukum itu saja, terlepas dari apakah hukum itu mempunyai dampak yang langsung atau tidak kepada berbagai masalah lain seperti ekonomi, masyarakat, dan budaya. Penguatan yang berpusat pada hukum ini akan memperkuat bentuk hukum yang ada pada sisi pembuat hukum itu sendiri sehingga kecenderungan yang akan muncul adalah hukum akan sulit diterima secara menyeluruh oleh masyarakat sebab orientasi yang dimuat dalam model ini hanya akan menjadikan hukum sebagai poduk otonomi. Dari gambaran model ini, maka kemungkinan hasil yang dapat dilihat sebagai hasilnya adalah bahwa hukum akan memperkuat otoritas pemerintahan dan akan cenderung mengarahkan pada hukum reperessif atau hukum akan cenderung menguat dengan sendirinya sehingga tidak ada yang dapt mengganggu keadaan hukum ini sehingga menjadi hukum yang otonom (autonomous law). Kemungkinan lain yang akan muncul adalah aturan hukum ini akan berjalan sendiri tanpa adanya unsur sosial didalamnya sehingga akan menimbulkan istilah yang dikenal dengan hukum tanpa masyarakat (law without society). Meskipun demikian, model dari Nonet dan Selznick ini bagaimanapun tidak seluruhnya hanya melihat pada aturan kekuatan sosial eksternal. Model ini secara eksplisit juga mengenal adanya faktor-faktor seperti sosial, ekonomi atau budaya yang berperan dalam perkembangan hukum, meskipun hanya sedikit. Tuebner mengatakan bahwa Lingkungan eksternal dari model ini nampaknya tidak banyak membawa perubahan pada hukum, karena pada prinsipnya menghambat atau memfasilitasi realisasi pembangunan yang dipicu oleh dinamika internal hukum. Struktur-struktur sosial yang lebih luas menstimulasi atau memperkuat pengaktualisasian dari potensi hukum, menentukan stabilitas dari suatu tahapan evolusioner dan kemungkinan adanya kemajuan dan kemunduran. Oleh sebab itu oleh Tuebner ia mengkombinasikan model dari Nonet dan Selznik ini dengan model yang diberikan oleh Habermas-Luhman yang lebih mengarahkan masyarakat sebagai

organisasi yang teratur secara bertingkat dalam memberikan model sehingga pada akhirnya akan terbentuk sebuah model hukum-sosial (social-legal model). Pada hakekatnya, Luhmann dan Habermas mendasarkan analisisnya pada teori-teori yang menyangkut evolusi struktur-struktur sosial dan proses-proses hukum dan ko-variasi sosial. Luhmann menggunakan skema evolusioner atau tiga tahapan perkembangan masyarakat yaitu: 1) Masyarakat tersegmentasi (segmented society) yang hidup secara

berkelompok atau terpencar yang dihubungkan oleh kekerabatan yang kuat, meski tidak memiliki struktur kenegaraan; 2) Masyarakat yang terstrata (strartified society) secara bertingkat serta; 3) Masyarakat yang terdiferensiasi (differentiated society) secara fungsional. Pada intinya Luhmann mengatakan masyarakat moderen berhadapan dengan meningkatnya kompleksitas lingkungannya melalui proses diferensiasi, segmentasi, stratifikasi masyarakat yang merupakan gabungan antara segmentasi dan stratifikasi, serta fungsionalitas masyarakat. Sementara itu, Habermas mengidentifikasi tahapantahapan evolusioner dalam masyarakat dan menganalisis hubungan antara tahapantahapan ini melalui perkembangan moral hukum dengan mengemukakan tahapantahapan perkembangan hukum dan masyarakat, yakni: Prekonvensional,

Konvensional, Pascakonvensional. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan hukum yang ditawarkan oleh Nonet dan Selznick bersandar pada variabel-variabel internal sistem hokum, sementara Habermas dan Luhmann menekankan pada inter-relasi eksternal antara hukum dan struktur sosial.

Hukum dalam Sistem Sosial Bentuk konkret dari model hukum sosial dapat terlihat dimana aturan-aturan hukum yang ada tersebut harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem-sistem dalam masyarakat. Namun demikian, bagaimana sistem itu dapat terbentuk dalam masyarakat, perlu terlebih dahulu di pahami bahwa dalam kehidupan bermasyarakat penggunaan istilah sistem biasa disalahpahami. Istilah sistem sering dipakai dan digunakan dalam berbagai perbincangan akademik seperti dalam perspektif sosiologi (misalnya istilah sistem sosial), dalam perspektif empirik

dengan istilah sistem politik, antropologi dengan sistem nilai budaya, perspektif komunikasi seperti sistem komunikasi, maupun dalam perspektif administrasi dengan penggunaan sistem administarsi negara dan lain sebagainya. Dalam tradisi ilmu-ilmu sosial, istilah sistem tersebut sebenarnya sering digunakan untuk menjelaskan sebuah sistem organik, atau sebuah sistem yang komponen-komponennya terdiri dari benda yang berjiwa (animate). Sementara itu, dalam tradisi ilmu alam, istilah sistem lebih sering digunakan untuk menjelaskan sistem anorganik, yaitu sebuah sistem yang komponenkomponennya terdiri dari benda-benda yang tidak berjiwa (in-animate). Penggunaan dan pembedaan ini sebenarnya tidak esensial karena secara umum dapat dikatakan bahwa dari kedua bentuk diatas, suatu sistem sebanrnya adalah sebuah himpunan yang terdiri dari bagaian-bagian yang saling berhubungan satu sarna lain secara teratur dan membentuk suatu keseluruhan. Untuk lebih jelasnya secara konkret, dapat dicontohkan pada sebuah sistem mekanik pada kendaraan dimana jika komponen-komponen tersebut dihubungkan secara teratur dan kemudian membentuk suatu kelengkapan, maka ia akan dapat berfungsi sebagai satu sistem yang dapat disebut sebagai kendaraan. Talcott Parsons mengartikan sistem sebagai sebuah pengertian yang menunjuk pada adanya interdependensi antara bagianbagian, komponen-komponen, dan proses-proses yang mengatur hubunganhubungan tersebut. Secara spesifik pengertian ini lebih menekankan pada interdependensi antar komponennya. Dengan demikian, maka pengertian sistem sosial dapat diartikan sebagai sebuah keseluruhan komponen-komponen dalam masyarakat dimana seluruh komponen dalam masyarakat ini berhubungan antara satu dengan lainnya sehingga membentuk satu kesatuan yang saling berkaitan. Secara rinci, karakteristik sebuah sistem dapat dilihat sebagai: 1. Terdiri dari beberapa komponen. 2. Saling berhubungan satu sama lain dalam suatu pola saling ketergantungan. 3. Keseluruhannya lebih dari sekadar penjumlahan dari komponenkomponennya dimana yang terpenting bukanlah kuantitas komponen, melainkan kualitas komponen secara keseluruhan.

Selain itu, sebagai sebuah konsep sosial, Talcott Parsons, menyatakan bahwa masyarakat itu adalah suatu sistem sosial yang swasembada (self-subsistent) melebihi masa individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi penerusnya. Sementara Mariam Leve mensyaratkan empat kritera agar sebuah kelompok bisa disebut sebagai masyarakat yakni: 1. kemampuan bertahan melebihi masa hidup individu; 2. rekruitmen sebuah atau sebagian anggota melalui reproduksi; 3. kesetian pada suatu sistem tindakan utama bersama; 4. adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada. Konsep yang demikian bila dihubungkan dengan hukum, akan memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus. Hal ini dapat terjadi karena hukum baik sebagai the tool of social engineering akan terus mengendalikan suatu masyarakat dalam perkembangannya. Secara umum, hukum sebagai aturan yang mengandung perintah dan larangan yang bila dikaitkan dengan proses modernisasi masyarakat ternyata sangat berpengaruh terhadap hukum itu sendiri. Satjipto Raharjo menyatakan bahwa apakah yang seyogianya atau yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi kenyataan dalam masyarakat, dikenal dengan nama disiplin presriptif. Ruang lingkup disiplin presriptif adalah: Pertama, ilmu hukum. Ilmu hukum di sini yang dilihat adalah: (1) ilmu tentang kaidah yang menelaah hukum sebagai kaedah atau sistem kaedah-kaedah dengan dogmatic dan sistematik hukum; (2) ilmu pengertian, tentang pengertian-pengertian dari dasar dari sistemhukum menakup subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek hukum; (3) ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai perangkat sikap, tindak dan perilaku yang terdiri dari sosiologi hukum (hubungan timbal balik antara hukum dan gejolak sosial), antropologi hukum (pola-pola sengketa da penyelesaiannya), psikologi hukm (hukum sebagai suatu perwujudan daripada jiwa manusia), perbandingan hukum (membadingkan sistemhukum antar beberapa masyarakat, dan sejarah hukum (perkembangan dan asal usul daripada sistem hukum). Kedua, politik hukum yang mencakup kegiatan

memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nila yang dipilih itu. Ketiga, filsafat hukum yang mencakup perenungan nilai-nilai, perumusan nilai-nilai, dan keserasian nilainilai yang berpasangan dan kadangkala bersitegang atau berbenturan.

4.

HUKUM DAN STRATIFIKASI DALAM KENYATAAN SOSIAL Stratifikasi sosial di sini diartikan sebagai perbedaan penduduk atau

A. Stratifikasi Sosial masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau secara hierarkis. Oleh karena itu, para ahli sosiologi hukum biasanya mengemukakan suatu hipotesis bahwa semakin kompleks stratifikasi sosial dalam suatu masyarakat, semakin banyak hukum yang mengaturnya. Stratifikasi sosial yang kompleks dimaksud, diartikan sebagai suatu keadaan yang mempunyai tolok ukur yang banyak atau ukuran-ukuran yang dipergunakan sebagai indikator untuk mendudukkan seseorang di dalam posisi sosial tertentu. Seseorang yuris legis, biasanya lebih suka menelaah hukum sebagai suatu gejala yang berdiri sendiri; sedangkan yuris yang orientasinya empiris lebih senang menghubungkan antara hukum dengan gejata-gejala sosial lainnya. Sayang sekali bahwa kedua pendekatan yang sebenarnya saling melengkapi itu, sering kali dipertentangkan, sehingga tidak dapat dimanfaatkan hasilnya yang mungkin positif. Dalam setiap masyarakat pasti ada sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dimaksud akan melahirkan suatu sistem sosial yang berlapis-lapis atau stratifikasi sosial pada masyarakat dimaksud. Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk secara bertingkat-tingkat berdasarkan hierarkinya. Suatu contoh: Masyarakat Bali mempunyai beberapa kasta. Kasta-kasta dimaksud, antara satu dengan lainnya tidak akan pernah sederajat. Selain itu, dapat juga diungkapkan bahwa dalam naasyarakat cij Sulawesi Tengah tampak adanya masyarakat yang kaya, miskin, dan masyarakat menengah. Stratifikasi sosial yang dicontohkan di atas merupakan aspek vertikal dari kehidupan sosial berdasarkan pendistribusian yang tidak seimbang seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal. Pengelompokan dari adanya stratifikasi sosial, biasanya didasari oleh kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan mungkin juga pengetahuan.

Pada keadaan masyarakat mempunyai banyak lapisan sosial; adakalanya dijumpai pula stratifikasi sosial yang banyak lapisannya. Hipotesis di atas mempunyai akibat bahwa semakin rendah status sosial seseorang dalam masyarakat, semakin banyak perangkat hukum yang meugatumya. Oleh karena itu, semakin banyak kekuasaan, kekayaan dan kehormatan, semakin sedikit perangkat hukum yang mengaturnya. Masalahnya adalah keadaan seperti itu sangat bertentangan dengan tujuan hukum yang tidak membedakan semua golongan, status, dan sebagainya (persamaan di hadapan hukum). Dalam tulisan ini dikemukakan contoh praktik hukum yang merupakan refleksi menindak seseorang pejabat tinggi yang terlibat dalam pungutan liar, daripada menindak unsur-unsur rendahan dari suatu sistem virokrasi. Dengan demikian, ada suatu kecenderungan, bahwa semakin ke atas seseorang dalam-stratifikasi sosial, semakin berkurang hukumnya, akan tetapi bagi ahli sosiologi hukum yang penting penerapannya secara nyata. Selain hal di atas, juga dikemukakan masalah penegakan hukum yang berorientasi kepada status sosial. Tulisan ini mengutip suatu artikel yang berasai dari Prof. Sudarto dalam Seminar Kriminologi ke-IV di Semarang; la mengernukakan bahwa saat ini peraturan perundang-undangan yang menyangkut penanggulangan kejahatan potitik bertitik tolak pada instansi(instansi sentris) sehingga

menimbulkan fragmentasi. Dasar yuridis formal yang fragmentaris, secara asumtif tnengakibatkan pada keadaan-keadaan yang lebih parah, terutama dari segi penegaknya yang apabila berbuat negatif disebut oknum. Tulisan ini meninjau masalah oknum, dalam judulnya dipergunakan orientasi pada status.: Dikatakan, secara asumtif orientasi pada status merypakan suatu akibat negatif dari gejala instaosi sentris: Selanjutnya dijelaskan pengertian status atau kedudukan dan peran. Suatu status merupakan posisi dalam suatu sistem (sosial); sedangkan peranan adalah pola perilaku yang terkait pada status tersebut. Kenyataannya banyak contoh yang menunjukkan adanya kecenderungan bahwa orientasi diarahkan pada status. Akibatnya adalah yang dipentingkan posisinya dan bukan peranan atau fungsi. Masalah yang dihadapi adalah pertentangan antara status atau kedudukan dengan peranan atau fungsi: Istilah sehariharinya disebut dengan istilah prestise dan prestasi. Orang yang berorientasi pada

status akan lebih mementingkan prestasi. Keadaan demikian sangat ber,pengaruh terhadap kelancaran proses penegakan hukum, yang sedikit banyaknya tergantung pada sikap tindak penegaknya.

B. Hukum Dan Gejala Sosial Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa rule of law berarti persamaan di hadapan hukum, yaitu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum. Demikian pengertian yang dapat dipahami dari suatu negara hukum. Namun demikian, terdapat kecenderungan keterkaitan antara hukum dengan gejalagejala sosial, dalam hal ini stratifikasi sosial yang terdapat pada setiap masyarakat. Tujuan kajiannya tidak lain hanya untuk mengidentifikasi fakta, yang mungkin ada manfaatnya di dalam pelaksanaan penegakan hukum yang saat ini banyak dipersoalkan oleh masyarakat di Indonesia, terutama masyarakat yang mendiami wilayah perkotaan. Kasus-kasus semacam ini dapat diungkapkan, misalnya peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti dan Universitas Tadulako oleh oknum aparat keamanan ketika melakukan aksi demonstrasi atas protes terhadap situasi kondisi perekonomian negara, Dwifungsi ABRI dan semacamnya, baik di Jakarta, Makassar, maupun Palu. Terhadap kasus penembakan tersebut, muncul pertanyaan mengapa oknum aparat POLRI dan/atau TNI melakukan penembakan terhadap mahasiswa? Mungkin akan dapat diungkapkan latar belakang sosialnya, sehingga kita semua akan lebih mengerti mengapa peristiwa-peristiwa tersebut terjadi di negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Selama ini memang terjadi banyak peristiwa yang agaknya mengejutkan, datangnya sedemikian bertubi-tubi, sehingga kelihatan bahwa mekanisme hukum memang kurang efektif; seolah-olah telah terjadi anarki di dalam kesibukan penegakan hukum: Untuk praktisnya, di dalam tulisan ini hukum diartikan sebagai peraturan yang ditetapkan oleh penguasa. Peraturan-peraturan tadi dapat bersifat umum dan dapat juga bersifat khusus dari sudut ruang lingkup norma-normanya. Hal itu kemudian dihubungkan dengan stratifikasi sosial, oleh karena masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Jadi, hukum di sini diartikan sebagai suatu jenis social control yang diterapkan oleh penguasa.

C. Hukum Sebagai Variabel Kuantitatif Suatu variabel adalah karakteristik dari suatu gejala yang berubah-ubah, tergantung dari situasi atau kondisi di mana keadaan tersebut berada atau terjadi. Ada suatu pendapat dalam sosiologi yang melihat hukum sebagai suatu variabel kuantitatif, oleh karena menurut situasi dan kondisi, hukum dapat bertambah atau bahkan berkurang di dalam perwujudannya. Suatu pengaduar, di kantor polisi misalnya, adalah peristiwa hukum apabila dibandingkan dengan suatu kantor polisi yang sama sekali tidak ada pengaduan semacam itu. Secara kuantitatif terjadi lebih banyak proses hukum apabila frekuensi gugatan pada suatu pengadilan negeri adalah tinggi, bila dibandingkan dengan keadaan suatu pengadilan yang sama sekali kurang terjadi gugatan-gugatan. Kalau penguasa pada suatu masa mengeluarkan lebih banyak peraturan tertulis daripada masa lain, maka terdapat lebih banyak hukum. Suatu contoh konkret adalah peraturan-peraturan tertulis mengenai peruntukkan tanah yang dikeluarkan oleh GubernurlKepala Daerah Khusus ibukota Jakarta, selama periode antara tahun 1966 sampai dengan tahun 1970. Pada tahun 1968 dikeluarkan tiga peraturan, pada tahun 1969 tujuh peraturan, pada tahun 1970, 1971, dan 1972 tidak ada peraturan yang dikeluarkan; sedangkan pada tahun 1973 dan 1974, masing-masing satu peraturan (Pemerintah DKI Jakarta, Himpunan Peraturan Pertanahan DKI Jakarta 1976). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa terdapat huktam pada tahun 1969, apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan tahun-tahun sesudahnya. Hal di atas ditemukan meialui pendekatan sosiologis sebagai salah satu dasar perikelakuan yang nyata ataupun fakta yang terlihat. Hal ini mungkin berarti pada suatu ketika jenis jenis social control lainnya lebili menonjol perannya daripada hukum. Sebab, integrasi dan keteraturan dalatn masyarakat tidak hanya disebabkan oleh adanya hukum, akan tetapi justru mungkin karena adanya jenis jenis social control lain, seperti kaidah-kaidah kesusilaan, sopan saritun, dan seterusnya. Maka adakalanya para sasiolog bertitik tolak pada hipotesis, bahwa bertambahnya hukum adalah sesuai dengan berkurangnya jenis-jenis social control lainnya; atau berkurangnya hukum adalah sejalan dengan bertambahnya jenis jenis kontroi sosial selain hukum.?[2]

D. menyoal anarki dan penegakan hukum di indonesia Jauh-jauh hari Prafesor Donald Black (dalam The Behavior of Law, 1976) merumuskan hahwa ketika pengendalian sosial oleh pemerintah yang sering dinamakan hukum tidak jalan, maka bentuk lain dari pengendalian sosial sccara otomatis akan muncul. Suka atau tidak suka, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu dan kelompok yang dari optik yuridis dapat digolongkan sebagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichtirzg), pada hakikatnya merupakan wujud

pengendalian sosial yang dilakukan oleh rakyat. Berbagai tindakan anarki, baik dalam wujud tindakan main hakim sendiri tnaupun tawuran, pertikaian suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dan jenis lainnya, menjadi fenomena yang kini tampak di berbagai tempat di tanah air. Terakhir yang paling mengerikan, pembakaran lima sosok tersangka penodong oieh warga tnasyarakat setempat. Berbagai tindakan anarkis dan main hakim sendiri itu, celakanva hanya ditanggapi dengan penanganan sangat parsial dan sempit oleh penguasa dan aparat penegak hukum, serta mengabaikan akar masalahnya sendiri. Padahal mestinya disadari, perilaku anarkis itu lahir dalam suatu lingkungan yang kondusif, baik secara struktural maupun situasional. Setiap kasus yang demikian merupakan suatu struktur kompleks posisiposisi dan hubungan-hubungan sosial: Para petinggi hukum hanya bicara tentang keberadaan rambu-rambu hukum yang memang ada, tetapi di dalam ketiyataannya justru tidak berdaya (atau mungkin sengaja tidak diberdayakan oleh sosoksosok petinggi atau penegak hukum tertentu). Kaum realis sering mengemukakan, generally speaking, legal doctrine alone cannot adequately predict or explain how cases are handled (secara umum, doktrin hukum semata tidak dapat secara memadai meramalkan atau menjelaskan bagaimana kasus-kasus ditangani). Memang di satu pihak penanganan situasional dibutuhkan, misalnya diharapkan suatu tindakan yang tegas dan profesional oleh aparat penegak hukum terhadap para pelaku anarkis, namun di pihak lain, penanganan secara mendasar pada akar masalahnya juga harus ditangani secara nasional.

Seyogianya disadari bahwa berbagai tindakan anarkis yang terjadi belakangan ini, merupakan perwujudan dari apa yang diistilahkan oleh Smelser sebagai a hostile outburst (ledakan kemarahan) atau a hostile frustration (ledakan tumpukan kekecewaan). Tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap pranata formal, termasuk terhadap law enforcement, sudah teramat buruk. Dan sudah menjadi adagium yang universal, ketika tingkat kepercayaan warga terhadap penegakan hukum itu memburuk, otomatis tingkat tindakan main hakim sendiri akan meningkat, demikian sebaliknya. Untuk itu sangat beralasan dikemukakan bahwa Indonesia membutuhkan suatu strategi raksasa dalam upaya penanggulangan tindakan anarki tersebut. Apa yang dimaksudkan sebagai strategi raksasa ialah pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan penegakan hukum. Bagaimana mungkin masyarakat akan pulih kepercayaannya jika yang mereka saksikan dalam proses penegakan hukum, terutama yang berkaitan dengan kasus-kasus KKN kelas kakap, masih seperti yang dialunkan oleh syair aku masih seperti yang dulu. Berbagai sikap diskriminatif, dilakonkan para penegak hukum negeri ini. Tampak benar oleh mata hati masyarakat bahwa asas equal justice under law masih merupakan lips service. Hanya bahan retorika belaka para petinggi hukum. Lebih-lebih lagi ketika muncul kasus suap pada proses hukurn Probosuteja terhadap aparat Mahkamah Agung termasuk ketua Mahkamah Agung. Pengembalian kepercayaan itu tentu saja barns dimulai dengan pelengseran para petinggi hukurn dan penegak hukurn yang tergolong sosak-sosok sapat kotor. Dari sekitar 80-an calon hakim agung yang kini (2002) akan dipilih oleh DPR, seyogianya 20 orang bakal tersisa, yang notabene benar-benar orang barn dan dengan paradigma baru, yang tidak pernah bersentuhan dengan sistetn pernerincahan di masa lalu. Dan memiliki catatan prestasi yang baik, khususnya yang mempunyai komitmen tinggi terhadap upaya menjadikan hukurn sebagai panglima di republik ini. Kejaksaan Agung pun tak terkecuali, harits dibersihkan. Ada baiknya, dari level Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung hingga ke lapisan petinggi hukurn di tingkat daerah, ditempati sosok-sosok nonpartisan, sehingga kebijakannya tidak bias oleh kepentingan partai politiknya, sebab secara

teouetis dikatakan intimacy breeds partisanship, Secara ilmiah, faktor stratifikasi dan morfologi, sangat kental mempengaruhi penegak hukum, bahkan menurut Donald: Even the smallest degree of intimacy, such as, eye contact with jurors, strengthens a case (bahkan kadar keintiman yang paling kecil, seperti kontak mata dengan para anggota dewan juri akan memperkuat suattt kasus). Kondisi keterpurukan hukurn di Indonesia saat ini hanya mungkin diatasi jika para penegak hukurn lebih banyak bertanya kepada hati nuraninya daripada perutnya, sehingga apa yang disebut benar dan adil oleh masyarakat mampu

diimple.mentasikan oleh para penegak hukurn melalui putusan-putusan hukurn di pengadilan.

5.

KEBERADAAN HUKUM DALAM MASYARAKAT DALAM KONTEKS PENEGAKAN HUKUM

A. Efektivitas Hukum Dalam Masyarakat Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untilk taat terhadap hukum. efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis; berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karetta itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1) kaidah hukum/ peraturan itu sendiri; (2) petugas/penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat. Hal itu akan diui-aikan secara berurut sebagai berikut.

1. Kaidah Hukum Di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai berikut: 1) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.

2)

Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah fersebut efektif. Artinya, kaidah dimaksud dapat dipaksakan be-rlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.

3)

Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu- sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah

hukum harus memenuhi ketiga macam unsur di atas, sebab: (1) bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kernungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan,maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; (3) apabila hanya bertaku secara filosofis, kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (itas cotastituendum). Berdasarkan penjelasan di atas, tatnpak betapa rumitnya persoalan efektivitas hukum di Indonesia. Oleh karena itu, agar suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benarbenar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada empat faktor yang telah disebutkan.

2. Penegak Hukum Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas, menengah, dan bawah. Artinya, di dalam tnelaksanakan tugas-tugas penerapatr hukum, petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman, di antaranya pet-atut-an tertulis tertentu yang meneakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Di dalatn hal penegakan hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegak hukutn menghadapi halhal sebagai berikut. 1) 2) 3) Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada? Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan? Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat?

4)

Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya?

Masalah-masalah umum yang diungkapkan di atas, masih dapat bertambah; untuk sementara ini hanya disebutkan contoh-contoh sebagai berikut. 1. Di berbagai ibukota provinsi di Indonesia, misalnya Palu, jarang sekali tetlilat diambilnya tindakan terhadap pejalan kaki yang seenaknya menyeberang jalan. Kalau terjadi kecelakaan lalu lintas, ada kecenderungan yang sangat kuat, bahwa yang mengemudikan kendaraan bermotor yang ditindak. Padahal ada peraturanperaturan yang dikenakan terhadap para pejalan kaki, yaitu dalam Pasal 9 dan 10 PP Nomor 38 Tahun 1951. Di dalam Pasal 108 dari PP tersebut, ada ancaman hukuman terhadap peianggar Pasat 9 dan 10 ayat (2), yang oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 diklasifikasi sebagai peristiwa (tindak) pidana pelanggaran. Entah mengapa petugas lalu lintas di wilayah ini hampir-hampir tidak pernah menerapkan ketentuanketentuan tersebut, akan tetapi 3ebih cenderung untuk menerapkan Pasal 359 dan 360 KUHP terhadap pengemudi kendaraan bermotor apabila terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan tubrukan antara kendaraan bertnotor dengan pejalan kaki. 2. Ada perkembangan baru soal peradilan yang menyimpang di Sulawesi Tengah, pada persidangan 22 kasus di Parigi pada tanggal 15 Maret 2003. Sidang dimaksud, hanya dilaksanakan oleh majelis hakim sekitar setengah hari sebagaimana yang dianalisis oleh Pain Justice Watch (PJW). Hasil temuan itu ditindaklanjuti lagi oleh wartawan Radar Sulteng, Tempo, dan dikutip oleh beberapa wartawan, baik lokal maupun nasional. Dari husil temuan dimaksud, penulis berkesimpulan bahwa kemungkinan besar terjadi penyimpangan dalam hukum acara pidana, oleh karena adanya pengakuan dalam bentuk keluhan dari salah seorang hakim mengenai banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam wilayah hukum Pengdilan Negeri Palu. Demikian juga pengakuan atas kekeliruan wau kekhilafan Jaksa Penuntut Umum.

Berdasarkan keterangan singkat dari dua kasus di atas, faktor petugas memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik. tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masaiah. Demikian pula sebaliknya, apabila peraturannya buruk, sedangkan kualitas petugasnya baik, mungkin pula timbul masalah-masalah.

3. Sarana/Fasilitas Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang cukup baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat bekeija dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralatan dimaksud sudah ada, faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering tei jadi bahwa suatu peraturan sudah difungsikan, padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya, ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: 1) apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; 2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; 3) apa yang kurang, perlu dilengkapi; 4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti; 5) apa yang macet, dilancarkan; 6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.

4.

Warga Masyarakat Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga

masyarakat. Yang dimaksud di sini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu

peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai berikut. 1) Apabila derajat kepatuhan terhadap peraturan rambu-rambu lain lintas adalah tinggi maka peraturan lalu lintas dimaksud, pasti akan berfungsi, yaitu mengatur waktu penyeberangan pada persimpangan jalan. Oleh karena itu, bila rambu-rambu lalu lintas warna kuning menyaIa, para pengemudi diharapkan memperlambat laju kendaraannya. Namun bila terjadi sebaliknya; kendaraan yang dikemudikan makin dipercepat lajunya atau tancap gas; besar kemungkinan akan terjadi tabrakan. 2) Bagi orang Islam Indonesia termasuk warga masyarakat Islam yang mendiami kota Palu, tahu dan paham tentang Undang-Undang ltlomou 3$ Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Undang-undang dimaksud; lahir dari adanya ajaran Islam yang mewajibkan berzakat bagi setiap muslim yang mempunyai penghasilan, baik penghasilan dari pekerjaan profesi sebagai pegawai negeri, pejabat strukturai, maupun pejabat fungsional. Namun demikian, masih ditemukan pegawai negeri sipil dirnaksud; mengeluarkan zakatnya tanpa melembaga. Artinya orang Islam dimaksud, memberikan zakat kepada orang yang dianggap bei-hak menerimanya. Padahal baik peraturan perundang-undangan maupun ajaran Islam (Aiquran Surah At-Taubah: 60) menghendaki agar zakat ctikeluarkan melalui letrtbaga amil zakat. Sebab, salah satu fungsi sosial zakat adalah pemenuhan hak bagi delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Berdasarkan dua contoh di atas, persoalannya adalah (1) apabila peraturan baik, sedangkan warga masyarakat tidak mematuhinya, faktor apakah yang menyebabkannya? (2) apabila peraturan itu baik serta petugas cukup berwibawa, fasilitas cukup, mengapa masih ada yang tidak mematuhi peraturan perundangundangan?

Selain masalah-masalah di atas, masih ada persoalan lain, yaitu adanya suatu asumsi yang menyatakan bahwa semakin besar peran sarana pengendalian sosial selain hukum (agama dan adat istiadat), semakin kecil perao hukum. Oleh karena itu, hukum tidak dapat dipaksakan keberlakuannya di dalam segala hal; selama masih ada sarana lain yang ampuh: Hukum hendaknya dipergunakan pada tingkat yang terakhir bila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Namun, untuk mengakhiri pembahasan ini, perlu diungkapkan hal-hat yang berkaitan dengan kesadaran masyarakat terhadap hukum, yaitu: (1) (2) penyuluhan hukum yang teratur; pemberian teladan yang baik dari petugas di dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum; (3) pelembagaan yang terencana dan terarah.

B. Usaha-Usaha Meningkatkan Kesadaran Hukum Pada umumnya orang berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat terhadap hukurn yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya,apabila

kesadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga rendah. Pernyataan yang demikian berkaitan dengan fungsi hukurn dalam masyarakat atau efektivitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam masyarakat. Pernyataan yang lain adalah kesadaran masyarakatterhadap hukurn mempunyai beberapa masalah di antaranya: apakah ketentuan hukum tertentu benarbenar berfungsi atau tidak di dalam masyarakat. Misalnya, pada umumnya, masyarakat yang mendiami kota Palu pada tahun 80-an membangun rumah tanpa IMB (Izin Mendirikan Bangunan) sehingga sebagian jalan yang ada ditemukan rnengikuti rumah. Akibatnya jalan-jalan itu sebagian tidak lurus. Contoh dimaksud, menunjukkan rendahnya kesadaran warga masyarakat terhadap izin mendirikan bangunan (IMB) di kota Palu. Masalahnya adalah apakah kesadaran masyarakat tentang hukum sesederhana itu, sebagaimana yang diungkapkan di atas? Kiranya tidaklah demikian. Sebab, fungsi hukurn amat tergantung pada efektivitas menanamkan hukum tadi, reaksi

masyarakat dan jangka waktu untuk menanamkan hukum dimaksed. Misalnya, apabila ada peraturan perundang-undangan yang baru metogenai perpajakan maka pertama-tama yang perlu dilakukan adalah pengumuman melalui macam-macam alat mass media. Kemudian, perlu diambil jangka waktu tertentu untuk menelaah reaksi dari masyarakat. Apabila jangka waktu tersebut telah lampau, barulah diambil tindakan yang tegas terhadap para pelanggarnya. Bila cara tersebut ditempuh, warga masyarakat akan lebih menaruh respons terhadap hukurn termasuk penegak dan pelaksanaannya. Dengan demikian, masalah kesadaran hukurn warga masyarakat sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dipahami, ditaati, dan dihargai? Apabila warga masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah dari mereka yang memahaminya, dan seterusnya. Hal itulah yang disebut legal corzscioacsness atau knowledge and opinion about law. Hal-hat yang berkaitan dengan kesadaran hukum akan diuraikan sebagai berikut.

1.

Pengetahuan Hukum Bila suatu peraturan perundang-undangan telah diimdangkan dan diterbitkan

menurut prosedur yang sah dan resmi, maka secara yuridis peraturan perundangundangan itu berlaku. Kemudian timbul asumsi bahwa setiap warga masyarakat dianggap mengetahui adanya undang-undang tersebut, misalnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat: Namun, asumsi tersebut tidaklah demikian kenyataannya. Pengetahuan hukum masyarakat akan dapat diketaltui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pengetahuan hukum tertevtu. Pei-tanyaan dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu sudah mempunyai pengetahuan hukum yang benar. Sebaliknya, bila pertanyaan-pertanyaan dimaksud tidak dijawab dengan benar, dapat dikatakan masyarakat itu belum atau kurang mempunyai pengetahuan hukum.

2. Pemahaman Hukum Apabila pengetahuan hukum saja yang dimiliki oleh masyarakat, hal itu belumlah memadai, masih diperlukan pemahaman atas hukum yang berlaku. Melalui pemahaman hukum, masyarakat diharapkan memahami tujtaan peraturan perundangundangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan perundang-undangan dimaksud. Kalau ditelaah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, tidak semua kaidah yang tercantum di dalamnya dapat dimengeiti, apalagi oleh masyarakat luas. Misalnya, ketentuan Pasal i l ayat (2), harta yang dikenai zakat adalah: 1. emas, perak, dan uang; 2. perdagangan dan perusahaan; 3. hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan; 4. hasil pertambangan; 5. hasil peternakan; 6. hasil pendapatan dan jasa; 7. rikaz. Sebagian besar warga masyarakat belum mengetahui sepenuhnya muatan Pasal 11 ayat (2) tersebut sehingga amat sulit menentukan kesadarannya untuk rnembayar zakat harta. Selain itu, lembaga amil zakat kurang transparan dalam hal penerimaan dan pemanfaatan zakat. Pemahaman hukum masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pemahaman hukum tertentn. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu sudah mempunyai pemahaman hukum yang benar. Sebaliknya, bila pertanyaan-pertanyaan dimaksud tidak dijawab dengan benar, dapat dikatakan bahwa masyarakat itu belum memahami hukum.

3.

Penaatan Hukum Seorang warga masyarakat menaati hukum karena pelbagai sebab. Sebab-

sebab dimaksud, dapat dicontohkan sebagai berikut.

1) Takut karena sanksi negatif, apabila hukum dilanggar. 2) Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa. 3) Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya. 4) Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. 5) Kepentingannya terjamin.

Secara teoretis, faktor keempat merupakan hal yang paling baik. Hal itu disebabkan pada faktor pertama, kedua, dan ketiga, penerapan hukum senantiasa harus diawasi oleh petugas-petugas tertentu, agar hukum itu benar-benar ditaati di dalam kenyataannya. Dalam hal ini, seyogianya ada suatu penelitian yang mendalam mengenai derajat ketaatan terhadap Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999.

4.

Pengharapan terhadap Hukum Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah

mengetahui, memahami, dan menaatinya. Artinya, dia benar-benar dapat merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketenteraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriah dari tnanusia, akan tetapi juga dari segi batiniah. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat berkaitan dengan rukun Islam yang dapat menenteramkan batin bagi yang melaksanakannya dan dapat mernbantu memenuhi kebutuhan mendesak bagi yang menerimanya, Oleh karena itu, perlu diungkapkan bahwa status hukum zakat merupakan ibadah wajib yang termasuk rukun Islam yang ketiga. Perintah zakat yang terdapat dalamAlquran sebanyak 30 ayat atau tempat dan 28 kali iaerintah itu bergandengan dengan perintah salat. Zakat sebagai ibadah wajib kepadaAllah, mencerminkan hubungan manusia sebagai hamba, dengan Tuhan sebagai Pencipta yang menetapkan kewajiban zakat terhadap orang-yang memiliki harta kekayaan. Lembaga zakat mencerminkan nilainilai keislaman dan ketakwaan bagi orang yang memiliki kewajiban untuk menunaikannya. Zakat merupakan salah satu tolok ukur dalam mengetahui tingkat ketakwaan seseorang di samping memilih fungsi kemasyarakatan.

Menurut H. Muhammad Daud Ali, fungsi kemasyarakatan yang terdapat dalam zakat, ialah (1) mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya dari kesulitan hidup serta penderitaan; (2) membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh para gharinain, ibntl sabid, dan mustahik lainnya; (3) membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam datt manusia pada umumnya; (4) menghilangkan sifat kikir dan sifat loba bagi pemitik harta; (5) membersihkan diri dari sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dalam arti orang-orang miskin; (6) menjembatani jurartg pemisah antara si kaya dengan si miskin dalam suatu masyarakat; (7) mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama pada mereka yang memiliki harta kekayaan; (8) mendidik manusia untuk disiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya; (9) sarana pemerataan pendapatan (rezeki) untuk mewujudkan keadilan sosial.[4] Berdasaakan fungsi zakat yang telah diuraikan di atas, baik fungsinya sebagai ibadah wajib kepada Tuhan maupun fungsinya da(am masyat-akat, dapat diketahui bahwa ditetapkannya zakat sebagai rukun Islam, mengandung hikmah: hikmah bagi pemberi, hikmah bagi penerima, hikmah bagi pemberi dan penerima, dan hikmah bagi harta itu sendiri.

5. Peningkatan Kesadaran Hukum Peningkatan kesadaran hukum seyogianya dilakukan melalui penecangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan agar warga masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum tertentu, misalnya peraturan perundang-undangan tertentu mengenai zakat, pajak, dan seterusnya. Peraturan dimaksud, dijelaskan melalui penerangan dan penyuluhan hukum, mungkin hanya perlu dijelaskan pasal-pasal tertentu dari suatu peraturan perundang-undangan, agar masyarakat merasakan manfaatnya. Penerangan dan penyuluhan hukum harus disesuaikan dengan masalah-masalah hukum yang ada dalam masyarakat pada suatu waktu yang menjadi sasaran penyuluhan hukum.[5] Penyuluhan hukum merupakan tahap selanjutnya dari penerangan hukum. Tujuan utama dari penerangan dan penyuluhan hukum adalah agar warga m-asyarakat memahami hukum-hukum tertentu, sesuai masalah-masalah hukum yang sedang

dihadapi pada suatu saat. Penyuluhan hukum harus berisikan hak dan kewajiban di bidang-bidang tertentu, serta manfaatnya biia hukum dimaksud ditaati. Peoerangan dan penyuluhan hukum menjadi tugas dari kalangan hukum pada umumnya, dan khususnya mereka yang mungkin secara langsung berhubungan dengan warga masyarakat, yaitu petugas hukum. Yang disebutkan terakhir ini harus diberikan pendidikan khusus, supaya mampu memberikan peneiangan dan penyuluhan hukum. Jangan sampai terjadi petugas-petugas itulah yang justru memanfaatkan hukum untuk kepentingan pribadi, dengan jalan menakut-nakuti warga masyarakat yang awam terhadap hukum.

6.

Paradigma Moral Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan ADA keyakinan pada diri penulis, tanah tidak dapat langsung menyajikan

kemakmuran, yang menyajikan kemakmuran adalah "pembangunan" di atas tanah tersebut. Pengertian kata "pembangunan" pada dasarnya merupakan istilah yang dapat dipakai dalam macam-macam konteks, dan seringkali digunakan dalam konotasi politik dan idiologi tertentu. Hal tersebut sangat tergantung pada konteks menggunakan dan untuk kepeningan apa. Pembangunan dapat dimaknai sebagai perubahan sosial, pertumbuhan, progres, dan modernisasi. Dari pengertian pembangunan di atas, arti yang paling makna positif adalah perubahan sosial. Dalam melaksanakan pembangunan, yang merupakan bagian dari perubahan sosial tidak jarang, terjadi ekses-ekses kebijakan oleh Pemerintah baik itu yang bersifat positif maupun negatif bagi seseorang, kelompok tertentu (masyarakat hukum adat misalnya) atau masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembangunan mungkin akan terjadi suatu kondisi di mana seseorang, kelompok/golongan tertentu, atau masyarakat akan merasa diuntungkan, sebaliknya terjadi pula dimana seseorang, kelompok/golongan dirugikan. Atau dengan kata lain akan muncul seseorang maupun kolektif jadi korban yang menderita kerugian akibat perbuatan (penerbitan keputusan) atau bahkan sama sekali tidak melakukan perbuatan pada hal itu menjadi kewajibannya, yaitu tidak menerbitkan Keutusan Tata Usaha Negara (Pasal 3 ayat (1) UU No 5 Tahun 1986 Jo UU No 9 Tahun 2004).

Dalam kaitan tersebut, jelas bahwa dalam pelaksanaan pembangunan akan timbul korban baik perorangan maupun kelompok tertentu, korporasi, badan hukum swasta, yang kalau tidak ditangani secara serius dan hati-hati akan menjadi konflik, sengketa dan akhirnya kalau tidak dapat dikelola dengan baik akan bermuara ke pengadilan. Secara riil di lapangan yang langsung menjadi objek atau korban adalah para oknum atau anggota kelompok itu sendiri.

Pembaruan Agraria Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, ditegaskan bahwa dalam Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA harus dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal yang lebih penting lagi, bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu perlu dikelola secara Nasional dengan tetap menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam tataran empiris, kebijakan yang bersifat nasional tersebut tidak pula meninggalkan norma yang tumbuh dan berkembang dalam komunitas tertentu seperti masyarakat hukum adat yang eksistensinya masih ada di beberapa daerah tertentu seperti Sumatera Barat, Propinsi Papua dan beberapa daerah lain di luar Pulau Jawa.

BPN-RI dengan Mandat Baru Dalam Negara Kesatuan RI satu-satunya lembaga atau institusi yang sampai saat ini diberikan kewenangan (kepercayaan) untuk mengemban amanah dalam mengelola bidang pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI). Pasal 2 Peraturan Presiden (Perpres) No 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional menyebutkan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Oleh karena itu, maka BPN-RI dengan mandat baru tersebut, ke depan harus mampu memegang kendali perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan , kebijakan teknis, perencanaan dan program, penyelenggaraan pelayanan administrasi pertanahan dalam rangka menjamin kepastian hukum hak atas tanah,

penatagunaan tanah, reformasi agraria, penguasaan dan pemilikan hak atas tanah, termasuk pemberdayaan masyarakat. Bahkan Institusi/lembaga ini salah satu misi nya adalah melakukan pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan. Sebagai wujud keinginan dan kepedulian Pemerintah untuk menangani konflik dan sengketa pertanahan yang mempunyai implikasi langsung terhadap 'korban" di bidang pertanahan, maka dalam pembentukan BPN-RI dengan visi dan misi yang baru, di BPN Pusat telah dibentuk Deputi IV Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Pasal 343 Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2006). Yang selanjutnya di tingkat Propinsi yaitu pada Kantor Wilayah BPN dibentuk Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan , sedangkan di tingkat Kabupaten/ Kota, yaitu pada setiap Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota dibentuk Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara (Pasal 4 dan 27, 32, dan 53 Peraturan Kepala BPN No 4 Tahun 2006). Sementara untuk mewujudkan visi dan misi BPN-RI yang baru tersebut, Kepala BPN-RI Joyo Winoto, telah menetapkan sebelas agenda kegiatan, yaitu: 1) Membangun kepercayaan masyarakat pada BPN; 2) Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah, serta sertifikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia; 3) Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah; 4) Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh tanah air; 5) Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis; 6) Membangun Sistem Infomasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan Sistem keamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia; 7) Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; 8) Membangun database penguasaan dan pemilikan tanah skala besar; 9) Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang telah ditetapkan; 10) Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional; dan 11) Mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum, dan kebijakan pertanahan. Dalam konteks kebijakan pertanahan nasional, sebelas agenda di atas tidak menegasikan wacana kedaerahan (regional) untuk menggali kearifan lokal dalam

penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia, dalam bingkai Negara Kesatuan RI. Sebagai contoh, telah dituangkannya substansi pengaturan bidang pertanahan pada Pasal 213 UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Paradigma Moral Berdasarkan hasil pengamatan penulis, penyelesaian konflik dan sengketa serta perkara pertanahan pada masa lalu masih dilakukan melalui pendekatan paradigma hukum normatif (tertulis) semata. Penyelesaian kasus-kasus pertanahan di beberapa daerah di Propinsi Papua, kasus beberapa PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di Sumatera Utara, pendekatan hukum normatif masih sangat mendominasi. Pada hal ternyata pendekatan tersebut, dalam tataran empiris kurang berhasil. Akar permasalahannya adalah pendekatan paradigma hukum normatif (hukum tertulis) alias hukum modern semata yang bersifat legal positivistic, akan mengakibatkan hancurnya substansi norma hukum yang diyakini dan dipatuhi oleh masyarakat hukum adat setempat. Satjipto Rahardjo dalam menggambarkan perseteruan antara kedua sistem hukum tersebut mengibaratkan bagaikan seseorang memasukkan seekor kambing dalam kandang harimau, dengan demikian tentunya kambingnya akan dilahap. Oleh karena itu, dalam penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan harus dibangun dengan paradigma "moral". Pihak yang mempunyai posisi tawar yang kuat harus mengamalkan kejujuran, pengendalian diri, dan mengurangi sifat keakuan (selfishness). Sedangkan paradigma moral yang dimaksudkan adalah akhlak yang baik/mulia (akhlaq al-karimah). Atau menurut Sudjito (2005:1) disebut istilah "moral religius", yang menyentuh semua sendi-sendi kehidupan bagi siapapun, di manapun, dan kapanpun. Moral religius ini dari sisi sifatnya yang realistik mengandung kebebasan, kelebihan maupun kelemahan yang melekat pada diri setiap manusia. Oleh karena itu, dalam setiap penyelesaian konflik, sengketa dan perkara pertanahan diharapkan paradigma moral lebih dikedepankan, ketimbang paradigma hukum. Sifat merasa dirinya paling benar, paling baik, merasa bisa "sok rumangsa bisa" harus ditinggalkan. Dengan demikian, dalam penyelesaian konflik, sengketa

dan perkara pertanahan tidak akan lagi jatuh korban-korban kebijakan, yang belum jelas dari perlindungan hukumnya. q g

7.

Keberadaan Hukum Dalam Masyarakat Dalam Konteks Hak Asasi Manusia Atau Ham

A.

Pengertian hak asasi manusia atau ham Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan

Yang Maha Pencipta, hak-hak yang bersifat kodrati. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti manusia dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan mengotori hak asasi orang lain, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada hakikatnya HAM terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang lain atau tampa hak dasar kedua ini hak asasi manusia lainnya sulit untuk ditegakkan. Hak asasi manusia yang dimaksudkan di Indonesia diatur melalui Undangundang Dasar. Baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuhnya. Namun, hak asasi manusia/HAM secara khusus diatur dalam UUD nomor Tahun . oleh

karena itu, perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat Negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang melanggar hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok yang dijamin oleh UUD. Pelanggaran hak asasi manusia yang demikian, disebut hak asasi manusia yang ringan. Lain halnya pelanggaran hak asasi yang berat, yaitu pembunuhan missal, pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.

B.

Ruang lingkup hak asasi manusia Hak asasi manusia mempunyai ruang lingkup yang luas dan mencakup

berbagai aspek kehidupan. Hal ini diungkapkan sebagai berikut :

1.

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga dan kehormatan, martabat, dan hak miliknya.

2.

Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hokum sebagai manusia pribadi dimana saja ia berada.

3.

Setiap orang berhak atas rasa aman da tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

4.

Setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi didalam tempat kediamannya.

5.

Setiap orang berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui sareana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasan lain yang sesuai dengan UUD.

6.

Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan membunuh.

7.

Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara swenang-wenang.

8.

Setiap oranfg berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tenteram, dan menghormati, dan melindungi.

C.

Latar belakang hak asasi manusia Hak asasi manusia lahir bersama dengan manusia. Artinya, hak asasi manusia

timbul sejak adanya manusia. Perjanjian lama Genesis menceritakan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia pertama ket5ika anak Nabi Adam as. Yang bernama Qabil yang membunuh Adiknya Habil, karena rasa kecemburuan terhadap adiknya. Kalau diperhatikan dari sejarah dunia, yaitu bangsa eropa yang perna menjajah Negara benua Asia, Afrika, Australia. Hal ini juga termasuk salah satu pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, para pejuang kemerdekaan bangsa termasuk bangsa Indonesia. Memikirkan perlu adanya HAM. Namun demikian, ide mengenai munculnya hak asasi manusia secara hokum ketatanegaran diperkirakan pada abad tujuh belas dan delapan belas masehi. Hal ini terjadi sebagai reaksi terhadap arogansi dan kediktatoran raja-raja dan kaum feodal terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang di pekerjakan di zaman itu.

Dalam agama tauhid terkandung ide persamaan dan persaudaraan dalam seluruh manusia. Bahkan bukan hanya itu saja, melaikan mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa., tumbu-tumbuhan. Tegasnya dalam agama tauhid terdapat pula ide prikemakhlukan, disajmping ide prikemanusian. Dalam ajaran agama islam ide prikemakhlukan itu mendorong manusia untuk tidak bersikap sewenang-wenang, baik terhadap manusia atau terhadap makhluk lain yang diciptakan oleh Allah SWT. Oleh karena itu manusia dilarang menyakiti binatang. Seperti hadits Nabi Muhammad SAW. Mengungkapkan bahwa wanita yang mengikat kucing, tidak memberinya makan dan tidak melepaskannya mencari makan ia akan masuk neraka.

D.

Perbedaan hak asasi manusia menurut hukum islam dan peraturan Hak asasi manusia dalam versi peraturan perundang-undangan No. Tahun

perundang-undangan dan versi PBB amat beda dengan versi yang terdapat dalam hukum islam. Sebab, memiliki karateristik yang tidak dimiliki hak asasi manusia menurut peratura perundang-undangan dan versi PBB.selain itu, khusus pasal yang tertuyang dalam

piagam PBB amat bertentangan dengan berbagai aspek hokum di Indonesia, baik dalam konteks hokum adat maupun dalam konteks hokum islam. Demikian juga dalam konteks hokum Negara Indonesia. Sebab sama sekali tidak menghiraukan ajaran agama. Karateristik hokum islam sebagai berikut : 1) 2) Bidimensional, sifat bidimensional mengandung makna baik maupun Illahiah. Adil, dalam konteks ini sifat itu melekat sejak kaidah dalam syariah yang ditetapkan. 3) Individualistic dan kemasyarakatan, sifat tersebut diikat oleh nilai-nilai transedental atau wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad SA

TUGAS

MATERI TENTANG
SOSIOLOGI HUKUM

OLEH : KELOMPOK

I KADEK AGUS HERMANTA I WAYAN ANDIWAN WIJAYA ANAK AGUNG PUTU RAI DUANA I WAYAN URIP RIASA I GUSTI NGURAH PUTU SUDARMANA

D 101 09 616 D 101 09 624 D 101 09 606 D 101 09 618 D 101 09 615

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TADULAKO 2011

You might also like