You are on page 1of 9

Jamur Phanerochaete chrysosporium

TAKSONOMI Phanerochaete chrysosporium memiliki klasifikasi sebagai berikut : Divisio Sub divisio Kelas Famili Genus Spesies : Mycota : Eumycota : Bacidiomycetes : Hymenomycetaceae : Phanerochaete : Phanerochaete chrysosporium

Gambar 1. Jamur Phanerochaete chrysosporium (Herlina, 1998). MORFOLOGI Phanerochaete chrysosporium merupakan mikroorganisme bersel banyak, hidup secara aerobik, nonfotosintetik kemoheterotrof dan termasuk eukariotik. Mikroba ini menggunakan senyawa organik sebagai substrat dan bereproduksi secara aseksual dengan spora. Kebutuhan metabolisme mereka sama seperti bakteri, namun membutuhkan lebih sedikit nitrogen serta dapat tumbuh dan berkembang biak pada pH rendah. Ukuran jamur lebih besar dari bakteri tetapi karakteristik pengendapannya buruk. Oleh karena itu mikroba ini tidak disukai dalam proses activated sludge (Dyah dan Adi, 2010).

Jamur Phanerochaete chrysosporium memiliki keadaan fisik yang berserabut seperti kapas dan berwarna putih serta memiliki spora dan talus bercabang yang disebut hifa. Kumpulan dari hifa disebut miselium (Fardiaz, 1989). Miselium P. chrysosporium mempunyai tiga fase pertumbuhan, yaitu fase vegetatif, seksual dan aseksual. Fase vegetatif merupakan fase pertumbuhan dominan. Selama fase ini jamur paling banyak menghasilkan enzim ekstraselular. Tubuh buah jamur secara alami mulai terbentuk pada hari ke 18-20. Tubuh buah basah dan lembut, berwarna putih kekuningan (Cookson, 1995 dalam Satitiningrum, 1998). Filamen dari Phanerochaete chrysosporium lebih sering digunakan untuk penerapan dalam bidang bioteknologi daripada tahap sporanya (Wainwright, 1992 dalam Iriani 2003), setelah umur empat hari jamur ini akan mencapai fase ligninolitik dan segera memulai mendegradasi lignin. Tumbuh pada suhu 100 40 0C (Cookson, 1995 dalam Iriani, 2003) dengan suhu optimum 370 C (Wainwrigt, 1992 dalam Iriani, 2003), pH berkisar antara 4 4,5 dan memerlukan kandungan oksigen tinggi. Phanerochaete chrysosporium tidak dapat tumbuh pada substrat yang hanya mengandung lignin sebagai sumber karbon untuk menunjang perkembangbiakan sel, sehingga dibutuhkan sumber karbon lain seperti glukosa, sukrosa, dan lain-lain (Eaton et al., 1998 dalam Martina, 1998). Phanerochaete chrysosporium memiliki sifat tumbuh yang tidak begitu baik dibanding jamur lain yaitu waktu tumbuh jamur ini lambat, untuk hidup memerlukan media yang memiliki energi yang tinggi (Wraight, 1992). KEGUNAAN Penggunaan jamur Phanerochaete chrysosporium sebagai inokulum fermentasi sudah banyak dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah dan cepat, dan kadar asam nukleatnya rendah (Scherllart, 1975 dalam Iriani, 2003). Phanerochaete chrysosporium adalah jamur pelapuk putih yang dikenal kemampuannya dalam mendegradasi lignin. Phanerochaete chrysosporium adalah kapang pendegradasi lignin dari kelas basidiomycetes yang membentuk sekumpulan miselia dan berkembang biak secara aseksual melalui spora atau seksual dengan perlakuan tertentu. Phanerochaete chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan senyawa turunannya secara efektif dengan cara menghasilkan enzim peroksidase ekstraseluler yang berupa lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Sembiring, 2006). Metode ligninolitik dari Phanerochaete chrysosporium dilakukan sebagai kultur jamur yang memasuki metabolisme sekunder dan mengakibatkan pertumbuhannya terhenti karena pengurasan beberapa hara seperti keterbasan nitrogen, karbon atau sulfur, sehingga menyebabkan terjadinya proses degradasi lignin untuk mengatasi keterbatasan nitrogen. Degradasi lignin oleh jamur pelapuk putih merupakan kejadian dari metabolisme sekunder karena kandungan nitrogen yang sangat rendah dari kayu. Sehingga penambahan nitrogen pada beberapa jamur pelapuk putih pada aplikasi bioteknologi yang berbeda menggunakan komponen lignin atau yang berhubungan dengannya akan meningkatkan efisiensi jamur ini (Kirk dkk, 1984).

Gambar 2. Skema sistem degradasi lignin oleh Phanerochaete chrysosporium (Akhtar dkk, 1997)

Menurut Dey, S. (1984) Phanerochaete chrysosporium lebih efisien tiga kali atau lebih dibandingkan dengan Polyporus ostreiformis dalam mendegradasi lignin. Percobaan Dey ini dilakukan dengan menginkubasi jerami yang direndam dalam medium Tien dan Kirk (Kirk, 1984). Dilakukan penambahan glukosa untuk tambahan nutrisi bagi jamur. Inkubasi dilakukan selam tiga minggu pada suhu 38C pada kelembapan 90%.

Gambar 3. Jamur Phanerochaete chrysosporium pelapuk kayu putih (Supriyanto, 2009)

Teori Inkubasi
Inkubasi merupakan pengondisian mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak sesuai dengan media, suhu dan waktu yang diperlukan (SNI, 2011). Inkubasi merupakan suatu teknik perlakuan bagi mikroorganisme yang telah diinokulasikan pada media padat atau cair, kemudian disimpan pada suhu tertentu untuk dapat melihat pertumbuhannya. Bila suhu inkubasi tidak sesuai dengan yang diperlukan, biasanya mikroorganisme tidak dapat tumbuh dengan baik. Media inkubasi digolongkan menjadi 2 jenis : 1. Pada lemari biasa atau suhu kamar 2. Pada inkubator yang suhunya dapat ditentukan Proses ini bertujuan agar kita dapat melihat pertumbuhan atau perkembangbiakan pada mikroorganisme (renataemily.wordpress.com)

Filogenetik Jamur Phanerochaete chrysosporium


Para ahli biologi memperkirakan di seluruh dunia terdapat sekitar 1,5 juta spesies jamur. Diantaranya baru sekitar 100.000 spesies jamur yang telah diketahui. Secara filogenetik jamur digolongkan ke dalam 4 divisio, yaitu Chytridiomycota, Zygomycota, Ascomycota, dan Basidiomycota. 1. Chytridiomycota

Divisio Chytridiomycota sering dianggap sebagai bentuk peralihan antara divisio Protista dengan divisio Jamur. Akan tetapi, para ahli sistematika molekuler yang membandingkan urutan protein dan urutan asam nukleat divisio ini dengan jamur, telah menemukan bukti bahwa Chytridiomycota termasuk golongan jamur.

Gambar 4. Chrydiomycota Sebagian besar Chytridiomycota merupakan organisme akuatik, beberapa di antaranya bersifat saprofitik dan parasit pada invertebrata akuatik. Ciri utama divisio ini adalah nutrisi yang

absorbtif dan dinding selnya tersusun atas senyawa chitin, memiliki hifa senositik dan bereproduksi dengan membentuk zoospora berflagel, contohnya Chytridium (blog.uad.ac.id). 2. Zygomycota Sekitar 600 spesies jamur telah diidentifikasi masuk ke dalam divisio Zygomycota. Sebagian besar mereka merupakan organisme darat yang hidup di tanah atau pada tumbuhan dan hewan yang membusuk. Ada di antaranya yang membentuk mikorhiza, yaitu asosiasi saling menguntungkan antara jamur-jamur dari divisio ini dengan tumbuhan tinggi (blog.uad.ac.id). Tubuh Zygomycota tersusun atas hifa senositik. Septa hanya ditemukan pada hifa bagian tubuh yang membentuk alat reproduksi saja. Reproduksi seksualnya melalui peleburan gamet yang membentuk zigospora. Contoh yang paling mudah didapat dari anggota divisio ini adalah Rhizopus stoloniferus (Gambar 5). Jamur ini hidup sebagai pengurai sisa organik atau parasit pada tanaman ubi jalar. Ada pula yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan makanan seperti roti, nasi, wortel, jambu dan lain-lain. Meskipun demikian ada yang dapat dimanfaatkan dalam proses fermentasi bahan makanan (dalam pembuatan tempe) dan asam-asam organik yang berguna bagi kita (blog.uad.ac.id).

Gambar 5. Rhizopus stoloniferus Rhizopus stoloniferus dapat berkembang biak secara aseksual. Prosesnya dimulai dengan spora yang berkecambah tumbuh menjadi hifa senositik yang bercabang-cabang, lalu pada empat hifa tertentu akan tumbuh sporangium yang disangga oleh sporangiofor. Di dalam sporangium terbentuk spora aseksual dalam jumlah besar. Kumpulan sporangiofor ditunjang oleh rizoid yang menyerap makanan dan air dari substratnya. Hifa di antara dua kumpulan sporangiofor yang dinamakan stolon (Gambar 5). Dinding sporangium yang sangat rapuh luluh ketika spora menjadi matang. Setelah sporangium pecah, spora akan bertebaran dibawa angin. Di tempat yang sesuai, spora tersebut akan berkecambah (blog.uad.ac.id). Contoh lain Zygomycotina adalah Mucor mucedo. Ia hidup saprofit misalnya pada roti atau kotoran hewan. Jamur ini mempunyai keturunan diploid yang lebih singkat dari Rhizopus pylobolus yang sering ditemukan tumbuh pada kotoran kuda mempunyai sporangium yang dapat

menunjukkan gerak fototropi, yaitu gerak tumbuh membengkoknya sporangium ke arah datangnya cahaya (blog.uad.ac.id). 3. Ascomycota

Gambar 6. Ascomycota Lebih dari 600.000 spesies Ascomycota telah dideskripsikan. Tubuh jamur ini tersusun atas miselium dengan hifa bersepta. Pada umumnya jamur dari divisio ini hidup pada habitat air bersifat sebagai saproba atau patogen pada tumbuhan. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang hidup bersimbiosis dengan ganggang membentuk Lichenes (lumut kerak) (blog.uad.ac.id). Ciri khas Ascomycota adalah cara perkembangbiakan seksualnya dengan membentuk askospora. Sedangkan, reproduksi aseksual terjadi dengan membentuk konidium. Konidium ini dapat berupa kumpulan spora tunggal atau berantai. Konidium merupakan hifa khusus yang terdapat pada bagian ujung hifa penyokong yang disebut konidiofor (blog.uad.ac.id). Di antara Ascomycota ada yang bersel tunggal, bersel banyak membentuk miselium dan ada pula yang membentuk tubuh buah. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut : a. Bersel satu, Saccharomyces cerevisiae, dikenal sebagai ragi atau yeast b. Bersel banyak membentuk miselium 1) Aspergillus oryzae, untuk melunakkan adonan roti. 2) A. wentii, bermanfaat dalam pembuatan kecap. 3) Penicillium notatum, P.chrysogeum menghasilkan antibiotik penisilin. 4) Neurospora crassa, diperoleh dari oncom merah atau tongkol jagung rebus, digunakan untuk penelitian sitogenetika. c. Membentuk tubuh buah Xylaria dan Nectaria, tubuh buah besar, hidup saprofit pada kayu yang membusuk. Dari berbagai pengamatan secara teliti terhadap jamur tidak semua dapat diketahui cara reproduksi seksualnya.

Jamur-jamur yang seperti ini untuk sementara digolongkan ke dalam Deuteromycota (Fungi Imperfecti = Jamur tidak sempurna). Jika suatu saat diketahui fase seksualnya, maka jamur itu digolongkan sesuai dengan alat perkembangbiakan seksualnya. Contohnya jamur Monilia sithophila (jamur oncom), setelah diketahui fase seksualnya membentuk askospora, maka sigolongkan ke dalam Divisio Ascomycoya dan diberi nama Neurospora sithophila (blog.uad.ac.id). a. Genus Saccharomyces

Gambar 7. Saccharomyces cerevisiae membentuk koloni Jamur ini tidak memiliki hifa sebagai- mana jamur yang lain. Tubuhnya terdiri atas sel bulat atau oval. Spesies yang terkenal dari genus Saccharomyces ini adalah jenis Saccharomyces cerevisiae. Sel-sel Saccharomyces cerevisiae dapat bertunas sehingga membentuk rantai sel yang menyerupai hifa atau hifa semu. Saccharomyces cerevisiae dapat berkembang biak secara seksual dan aseksual. Perkembangbiakan aseksual diawali dengan menonjolnya dinding sel ke luar membentuk tunas kecil. Tonjolan membesar dan sitoplasma mengalir ke dalamnya, sehingga sel menyempit pada bagian dasarnya. Selanjutnya nukleus dalam sel induk membelah secara mitosis dan satu anak inti bergerak ke dalam tunas tadi. Sel anak kemudian memisahkan diri dari induknya atau membentuk tunas lagi hingga membentuk koloni. Dalam keadaan optimum satu sel dapat membentuk koloni dengan 20 kuncup (blog.uad.ac.id). b. Genus Neurospora Neurospora mudah ditemukan di bekas kayu terbakar pada musim penghujan, konidianya berwarna oranye. Jika dengan mikroskop, konidia jamur ini tampak berderet membentuk rangkaian spora yang tumbuh menurut arah jari-jari. Di Jawa Barat, jamur ini digunakan untuk pembuatan oncom, yaitu tempe dengan bahan dari ampas tahu atau bungkil kacang tanah. Jamur ini banyak digunakan para ahli sebagai bahan penelitian sitogenetika (blog.uad.ac.id).

Gambar 8. Neurospora Semula, sebelum diketahui fase perkembangbiakan seksualnya,jamur ini dimasukkan ke dalam golongan Jamur Tidak Sempurna atau Fungi Imperfecti dan diberi nama Monilia sithophila. Sejak penemuan fase seksualnya oleh B.O.Dodge pada tahun 1926, bahwa jamur ini menghasilkan askus maka jamur ini dimasukkan ke dalam golongan Ascomycota. Sedangkan fase aseksualnya sudah lama diketahui, yaitu sejak tahun 1843 (blog.uad.ac.id). c. Genus Aspergillus Fase perkembangbiakan aseksual Aspergillus menghasilkan konidium yang disangga konodiofor. Ujung konidiofornya berbentuk seperti bola dengan sejumlah cabang yang masingmasing menyangga ranting konidium. 4. Basidiomycotina

Divisi Basidiomycotina adalah takson dengan Kingdom Fungi yang termasuk spesies yang memproduksi spora dalam bentuk kubus yang disebut basidium. Secara esensial grup Ascomycota, mempunya 22,300 spesies. Basidiomycotina dibagi menjadi Homobasidimycotina (jamur yang sebenarnya); dan Heterobasidiomycetes. Basidimycotina dapat dibagi lagi menjadi 3 kelas, Hymenomycotina (Hymenomycetes), Ustilaginomycotina (Ustilaginomycetes), dan Teliomycotina (Urediniomycetes). Basidimycotina mempunyai bentuk uniseluler dan multiseluler dan dapat bereproduksi secara generatif dan vegetatif. Habitat mereka ada di terrestrial dan akuatik dan bisa dikarakteristikan dengan melihat basidia, mempunyai dikaryon.

Gambar 9. Basidium

Basidiomycetes mempunyai sistem reproduksi yang aneh. Kebanyakan merupakan heterotolik, tapi dengan bipolar atau tetrapolar sistem kawin. Biasanya, somatogami (hyphogami) dilakukan. Kebanyakan Basidiomycetes hidup sebagai dikariotik, miselium, dengan karyogami dan meiosis terjadi di basidium. Berikut contoh diploid daur hidup: genus Xerula kadang ditemukan memproduksi klon diploid sebagai spora, dan Armillaria, patogen hutan biasa, mempunyai miselium yang diploid, dimana karyogami mengikuti plasmogami. Spora vegetatif (konidia) juga ditemukan di basidiomycetes (blog.uad.ac.id). Basidiomycotina memiliki tubuh buah yang segera dapat kita kenal, karena kebanyakan jamur ini makroskopis, berukuran besar atau makroskopis. Basidiomycotina memiliki hifa yang bersekat yang mengandung inti sel haploid, dinding sel tersusun dari selulosa. Tubuh buah disebut basidiokarp yaitu tempat terbentuknya basudium yang mengandung banyak spora. Banyak tubuh buah basidiomycotina dapat dimakan seperti jamur merang, jamur kuping, jamur kayu, jamur tiram dll (blog.uad.ac.id). Reproduksi seksual dimulai dari pertumbuhan spora aseksual atau melalui fragmentasi hifa. Reproduksi seksual dimulai dari pertumbuhan spora basidium yang menjadi benang hifa yang berbeda muatan. Dua hifa yang berbeda ini + dan ujung-ujungnya bersentuhan dan dinding selnya larut. inti sel dari salah satu sel pindah ke sel lain, melebur menjadi satu inti yang diploid. Inti diploid mengalami pembelahan menjadi empat inti haploid. Inti haploid akan menjadi inti spora basidium yang terbentuk pada ujung basidium. Spora berinti haploid yang terbentuk di dalam basidium ini disebut basidiospora. Spora yang sudah matang akan terlepas dari basidium dan jika jatuh di tempat yang cocok, spora akan tumbuh menjadi hifa (blog.uad.ac.id).

You might also like