You are on page 1of 23

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaniirohim, Alhamdulillah , puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Alloh SWT , Dzat yang Maha Agung atas limpahan rahmat, karunia dan hidayahnya, sehingga penulis diberikan kesempatan dalam melalui salah satu proses kehidupan ini. Sebuah karya tulis study kasus yang termuat dalam tulisan yang serba memiliki kekurangan ini melambangkan semangat yang tinggi untuk selalu berkeinginan menciptakan sesuatu yang berguna bagi kehidupan, serta sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Pendidikan Agama Islam pada jurusan Manajemen Universitas Mercubuana. Medukung penulisan makalah ini penulis sadar bahwa tidak bisa menyelesaikan tanpa ada pihak yang memberikan dorongan dan bimbingan. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

Ibu Eva Maulina, selaku dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama Islam Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercubuana. Yang senantiasa memberikan pengarahan serta materi- materi yang berhubungan dengan makalah ini. Semua teman- teman semester 1 yang telah memberikan dorongan dan dukungan moral dalam menyusun makalah ini. Seluruh pihak yang telah membantu kami sehingga kami bisa menyelesaiakan karya tulis ini dalam penulisan agar menjadi makalah yang bermanfaat.

Sebagai penutup dan menjadi harapan bagi kami, semoga karya tulis kami ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkan. Dan dari saya pribadi selaku penulis makalah bahwa segala kesalahan di sepanjang tulisan ini apabila ada kesalahan minta maaf yang sebesar- besarnya.

Jakarta, 15 Pebruari 2012

Penulis

PENDAHULUAN

Latar Belakang Agama Islam yang berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja. Rasulullah SAW bersabda: Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok. Dalam ungkapan lain dikatakan juga, Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja. Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapanungkapan tadi. Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Quran dan as-Sunnah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiiin.

Pengertian Kerja Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. KH. Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia memanusiakan dirinya. Lebih lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.

BAB I HAKEKAT ETOS KERJA DALAM ISLAM Secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti tempat hidup. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah Ethikos yang berarti teori kehidupan, yang kemudian menjadi etika. Dalam bahasa Inggris Etos dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain starting point', 'to appear', 'disposition' hingga

disimpulkan sebagai 'character'. Dalam bahasa Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai sifat dasar, pemunculan atau disposisi/watak. Aristoteles menggambarkan etos sebagai salah satu dari tiga mode persuasi selain logos dan pathos dan mengartikannya sebagai kompetensi moral. Tetapi Aristoteles berusaha memperluas makna istilah ini hingga keahlian dan pengetahuan tercakup didalamnya. Ia menyatakan bahwa etos hanya dapat dicapai hanya dengan apa yang dikatakan seorang pembicara, tidak dengan apa yang dipikirkan orang tentang sifatnya sebelum ia mulai berbicara. Disini terlihat bahwa etos dikenali berdasarkan sifat-sifat yang dapat terdeteksi oleh indera. Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai; guiding beliefs of a person, group or institution; etos adalah keyakinan yang menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi. A. S. Hornby (1995) dalam The New Oxford Advances Learners Dictionary mendefinisikan etos sebagai; the characteristic spirit, moral values, ideas or beliefs of a group, community or culture; karakteristik rohani, nilai-nilai moral, ide atau keyakinan suatu kelompok, komunitas, atau budaya. Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of English Language, etos diartikan dalam dua pemaknaan; 1.the disposition, character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that distinguishes it from other peoples or group; fundamental values or spirit; mores; disposisi, karakter, atau sikap khusus orang, budaya atau kelompok yang membedakannya dari orang atau kelompok lain; nilai atau jiwa yang mendasari; adat-istiadat. Makna berikutnya yaitu 2.The governing or central principles in a movement, work of art, mode of expression, or the like; Prinsip utama atau pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau sejenisnya. Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya

serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. Dalam Al-Quran dikenal kata Itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22). Di dalam kaitan ini, Al-Quran banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat. AlQuran juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif, ayat tentang kerja keseluruhannya dalam Al-Quran berjumlah 602 kata, bentuknya: 1. Kita temukan 22 kata amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat alBaqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2. Kata amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya

surat Hud: 46, dan Al-Fathir: 10.


3. Kata waamiluu (mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73

kali, diantaranya surat Al-Ahqaf: 19 dan An-Nur: 55.


4. Kata Tamalun dan Yamalun seperti dalam surat Al-Ahqaf: 90, Hud:

92.
5. Kita

temukan sebanyak 330 kali kata amaaluhum, amaalun,

amaluka, amaluhu, amalikum, amalahum, aamul dan amullah.

Diantaranya dalam surat Hud: 15, Al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan At-Tur: 21. 6. Terdapat 27 kata yamal, amiluun, amilahu, tamal, amalu seperti dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31. Di samping itu, Al-Quran juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT berfirman dalam Surat Al- Kahfi ayat 110 :

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." Dalam surah Al-Jumuah ayat 10 Allah SWT menyatakan :

Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumuah: 10). Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut : 1. Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah

yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguhsungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus. (HR Hambali). 2. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah :172

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baikbaik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (Al-Baqarah: 172) 1. Dilarang memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
2. Islam tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakan kepada Allah

yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
3. Professionalisme yaitu kemampuan untuk memahami dan melakukan

pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. mengalami Tanpa professionalisme dan suatu pekerjaan akan kerusakan kebangkrutan juga menyebabkan

menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen serta kerusakan alat-alat produksi. Posisi Kerja Islam dalam Kitabullah Al-Quran menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al-Quran menyebutnya sebagai amalun, terdapat tidak kurang dari 260

musytaqqat (derivatnya), mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut filun dalam sekitar 99 derivatnya, dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut dengan kata shunun, tidak kurang dari 17 derivat, dengan penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik. Disebut juga dengan kata taqdimun, dalam 16 derivatnya, yang mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok. Pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang berkualitas. Untuk menjelaskannya, Al Quran mempergunakan empat istilah: Amal Shalih, tak kurang dari 77 kali; amal yang Ihsan, lebih dari 20 kali; amal yang Itqan, disebut 1 kali; dan al-Birr, disebut 6 kali. Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan bahasa anjuran. Pada sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang buruk dengan akibatnya yang buruk pula dalam beberapa istilah yang bervariasi. Sebagai contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan (al-Maidah: 90, Al-Qashash:15), perbuatan yang sia-sia (Ali Imran: 22, Al-Furqaan: 23), pekerjaan yang bercampur dengan keburukan (At-Taubah:102), pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk (An-Naml:4, Fusshilat: 25). Al-Quran sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih, memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Quran menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (Adz-Dzariat: 56). Maka, kerja dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat direalisasikan dengan kerja dalam segala manifestasinya (Al-Hajj: 77-78, Al-Baqarah:177). Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masingmasing. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin terealisasikannya

kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum. Syarat pokok agar setiap aktivitas sebagai berikut : kita bernilai ibadah ada dua, yaitu

Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan proyeksi atau tujuan akhir meraih mardhatillah (alBaqarah:207 dan 265). Kedua, Shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat (ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan AlQuran (Ali Imran: 31, Al-Hasyr:10). Ketika Islam kita memilih pekerjaan, setiap maka haruslah yang didasarkan baik, pada tanpa

pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. memuliakan pekerjaan mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap. Kualitas Etik Kerja dalam Islam Al-Quran menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan

memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal. Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan. 1. Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat) Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. (Al-Anam: 132) Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati. 2. Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness) Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (AnNaml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena keterampilan yang itu, melepas atau

sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (Al-Baqarah: 263). 3. Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi) Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.

Pertama, ihsan berarti yang terbaik dari yang dapat dilakukan. Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan itqan. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi SAW Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin. 4. Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal) Dalam banyak ayatnya, Al-Quran meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan alAnkabut: 69). Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133). 5. Tanafus dan Taawun (Berkompetisi dan Tolong-menolong) Al-Quran dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qurani yang bersifat amar atau perintah. Ada perintah fastabiqul khairat (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (AlBaqarah: 108). Begitu pula perintah Wasariu ilaa magfirain min Rabbikum wajannah `Bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` . Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan tanafus untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (Al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (AlHujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.

Secara teoritis, Kaum Muslimin mempunyai etos kerja yang demikian kuat dan mendasar, karena ia bermuara pada iman, berhubungan langsung dengan kekuatan Allah, dan merupakan persoalanm hidup dan mati. Akan tetapi, tidak diingkari kalau kenyataannya masih jauh panggang dari pada api. Sebaliknya, Kaum Muslimin belum tahu kalau mereka itu mempunyai kekuatan etos kerja yang sangat dahsyat, dan ketika mereka melihat prestasi suatu bangsa atau umat lain, sebagian orang Islam salut dan terpana dengan etos kerja mereka, dan kadang sambil bertanya dengan agak sinis: Adakah etos kerja dalam Islam? Maka, di sinilah Kaum Muslimin harus kembali kepada Islam secara benar dan mengambil semangat atau apinya. Karena, sebagaimana sabda Rasulullah saw, Islam adalah pangkal segala urusan hidup, tiang pancangnya shalat, dan ujung tombaknya adalah jihad. (H.R.Thabrani). Dengan ruhul jihad, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan penuh kegairahan, kemudian secara pasti akan mengembalikan izzah atau harga dirinya, sehingga disegani oleh umat lain. Sebab, kemuliaan dan gensi itu adalah milik Allah, rasul-Nya, serta orang-orang beriman (AlMunafiqun: 8 ). Tanpa semangat jihad, mereka takkan lebih dari sekedar umat ritual yang nampak sholeh, tetapi tanpa gengsi, bahkan boleh jadi inferior terhadap umat atau bangsa lain. Profil seorang muslim adalah insan yang ramah, tetapi bukan lemah; serius, tetapi familiar dan tidak kaku; perhitungan, tetapi bukan pelit; penyantun, tetapi mengajak bertanggung jawab; disipilin, tetapi pengertian, mendidik, dan mengayomi; kreatif dan enerjik, tetapi hanya untuk kebaikan; selalu memikirkan prestasi, tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Kesenangannya adalah meminta maaf dan memberi bantuan dan kepandaiannya adalah dalam rangka mengakui karunia Allah dan menghargai jasa atau prestasi orang lain. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad SAW., Keluarga, Sahabat, serta para Mujahidin di segala bidang sepanjang zaman. Berkat prestasi kerja mereka itulah, peta kejayaan

ummat dapat diukurkan. Semoga kita mampu bergabung dalam barisan mereka. Amiiin.

Kesimpulan Etos kerja seorang muslim ialah semangat menapaki jalan lurus,

mengharapkan ridha Allah SWT. Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah : 1. Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
2. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. 3. Tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam

bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar.


4. Tidak

melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada

kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah. 5. Professionalisme dalam setiap pekerjaan.

BAB II ETOS KERJA DAN BUDAYA KERJA BANGSA JEPANG

Jepang selama ini kita kenal sebagai salah satu negara didunia yang memiliki etos kerja yang hebat. Etos kerja yang baik ini menimbulkan suatu dampat kemajuan teknologi dan penguasaan teknologi,serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara jepang itu sendiri. Etos kerja orang jepang terkenal dari dulu selama Perang Dunia ke-II, Jepang yang merupakan negara kecil dapat menguasai sebagian besar wilayah Asia dan Amerika sekutu. Semangat dan pantang menyerah merupakan ciri orang Jepang, dari semboyan Samurai yang menyatakan Lebih baik mati dari pada berkalang malu, ada juga istilah MAKOTO yang artinya bekerja dengan giat semangat,jujur serta ketulusan.belum lagi semangat dan semboyan serta falsafah yang lain yang dapat memacu kerja dan membentuk etos kerja para pekerja diluar negara Jepang. Sedangkan bila dilihat dari segi kebudayaannya, kepemimpinan Jepang dikenal memiliki etos kerja yang sangat baik dalam memajukan negara atau organisasi yang berada di dalamnya. Dahulu Jepang bukanlah negara maju yang patut diperhitungkan dan ditakuti di dunia. Tapi siapa yang menyangka bahwa setelah mengalami kehancuran yang dahsyat pada Perang Dunia II dengan dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang mampu bertahan dan bahkan bangkit dengan kekuatan yang sangat luar biasa menjadi suatu negara maju di kawasan Asia Timur, dan mampu menempatkan negara dalam posisinya dalam jajaran negara-negara dengan perekonomian terkuat di dunia. Hal ini dibuktikan pada pertengahan era 1990-an, Product National Bruto (PNB) Jepang mencapai US$ 37,5 miliar atau 337,5 triliun rupiah, yang sekaligus menempatkan Jepang pada posisi ke-2 setelah Swiss yang memiliki PNB tertinggi di dunia. Selain itu Jepang merupakan negara yang tidak memiliki utang luar negeri. Jepang dikenal sebagai negara yang mempunyai banyak kekurangan antara lain dari segi fisik orang Jepang rata-rata berpostur kecil, wilayah Serikat sempat diluluhlantahkan (peard hamboard) hingga akhirnya bertekuk lutut setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom atom oleh

teritorial yang sempit, dari segi tata letak geografis negara Jepang terletak di jalur lempeng pergeseran kerak bumi yang berpotensi rawan gempa bumi, sumber daya alam yang terbatas, dan masih banyak kekurangan yang lain. Tapi mengapa negara dengan banyak kekurangan ini mampu bertahan dan bangkit menjadi negara maju didunia? Jepang adalah Negara yang tidak memiliki hasil dan sumber daya alamnya sendiri. Oleh karena itu, Jepang bergantung pada sumber-sumber dari negara lain. Negara tersebut tidak hanya mengimpor minyak bumi, biji besi, batu arang, kayu, dan sebagainya. Bahkan, hampir delapan puluh lima persen sumber tenaganya berasal dari negara lain. Hasil pertanian Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Selain itu, Jepang juga mengimpor tiga puluh persen bahan makanan dari negara lain untuk memenuhi konsumsi makanan penduduknya. Namun, di Jepang pertanian masih menjadi sektor utama meskipun telah dikenal sebagai negara industri yang maju. Dengan kondisi tersebut bagaimana atau apa yang menjadi rahasia sehingga Jepang bisa menjadi penguasa ekonomi nomor satu didunia? Pada dasarnya, etos dan budaya kerja orang Jepang tidak jauh beda dengan bangsa Asia lainnya. Jika mereka disebut pekerja keras, maka bangsa Cina, Korea dan bangsa Asia lainnya juga pekerja keras. Namun, mengapa bangsa Jepang yang lebih berhasil dan maju dibandingkan dengan bangsa Asia lainnya. Dalam sistem pengelolaan organisasi bisa dibilang organisasi Jepang berbeda dengan sistem pengelolaan organisasi yang dianut oleh bangsa maju lainnya seperti Amerika. Perbedaan inilah yang membuat organisasi Jepang menjadi unik tapi banyak dicontoh oleh negara-negara berkembang di dunia. Dalam organisasi Jepang pengelola berawal dari posisi bawahan, oleh karena itu pengelola organisasi Jepang lebih akrab dan memahami bawahannya. Sikap terus terang mengurangi konflik antara pihak pengelola dan bawahan. Tim kerja merupakan pondasi dasar dalam organisasi Jepang untuk membentuk interaksi antara anggota tim dan bawahan. Fakta-fakta menarik yang yang dapat kita amati dari sistem pengelolaan organisasi Jepang antara lain : bangsa Jepang lebih suka mengaitkan diri mereka sebagai anggota organisasi dan perkumpulan

tertentu

jika

memperkenalkan

diri

daripada

memperkenalkan

diri

berdasarkan asal negara dan keturunannya. Mereka bangga jika dikaitkan dengan organisasi besar dan berprestasi, tempat mereka bekerja. Kemauan bangsa Jepang menjadi hamba organisasinya merupakan faktor kesuksesan negara itu menjadi penguasa besar dalam bidang ekonomi dan industri. Sikap ini ditunjukkan dengan cara mengorbankan pendapat pribadi, masa istirahat, gaji dan sebagainya untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan organisasinya. Sikap ini berbeda dengan bangsa barat yang memberikan ruang sebesar-besarnya kepada anggota organisasi untuk berpendapat dn mengemukakan pandangan. Dalam sistem pengelolaan Jepang ini individu tidak penting jika dibandingkan dengan perkumpulan dan organisasi. Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Pada tahun 1960, ratarata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja (hlm.70). Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif. Bahkan istri-istri orang Jepang lebih bangga bila suami mereka gila kerja bukan kerja gila. Sebab hal itu juga menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi.

Keberhasilan Jepang mempertahankan statusnya sebagai Bapak Naga Asia banyak dibantu oleh budaya kerja dan perdagangan rakyatnya. Agar produk mereka mampu bersaing di dunia Internasional, Jepang tidak hanya memperbaiki dan meningkatkan kualitas produknya, melainkan juga menciptakan berbagai barang lain yang diperlukan konsumen baik ditingkat mikro maupun makro. Sehingga perusahaan Jepang bersedia menghabiskan jutaan rupiah (sekitar 45 persen dari anggaran belanjanya) untuk membiayai penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan inovasi dan mutu produk. Selain itu mereka juga meletakkan kepercayaan dan jaminan kualitas sebagai aset terpenting pemasaran dan perdagangan. Tidak salah beberapa produknya menduduki posisi pertama dan menjadi pilihan konsumen karena lebih ekonomis, bermutu, mudah digunakan merupakan dan memiliki berbagai fungsi. Seperti Matsushita yang contoh terbaik perusahaan yang berhasil memecahkan

dominasi dan monopoli perusahaan Barat. Sikap patriotisme bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang membantu keberhasilan ekonomi negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negeri sendiri. Mereka juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia dari makanan, teknologi sampai tradisi dan budaya. Dimana saja mereka berada bangsa Jepang selalu mempertahankan identitas dan jatidiri mereka. Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka merendahkan diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari. Mereka menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan produk Barat demi memenuhi kepentingan pasar dan konsumen. Bangsa Jepang memang pintar meniru tetapi mereka memiliki daya inovasi yang tinggi. Pihak Barat memakai proses logika, rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi. Namun bangsa Jepang melibatkan aspek emosi dan intuisi untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera pasar. Untuk melancarkan urusan pekerjaanya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan

tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai saat ini. Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta Zatoichi, Jepang harus memastikan cepat luka segala-galanya, menghadapi dan mati bangsa termasuk perubahan gagal yang rakyatnya, akan hanya runtuh dalam senantiasa seperti bergerak Zatoichi statis. yang

disekelilingnya. Jika semuanya berhenti bergerak, maka ekonomi Jepang karena Jepang mempertahankan diri dari serangan musuh. Karena ia tidak bergerak dan keadaan Budaya kerja diperkenalkan melalui azas ini antara lain pencatatan waktu, senam pagi sebelum bekerja, bekerja dalam tim, dan penjelasan singkat rnempelajari cara kerja sebelum memulai kerja. Kaidah dan etika kerja tersebut merupakan ciri-ciri dan budaya kerja di Jepang. Namun sebelumnya, ada beberapa etos kerja dan budaya kerja bangsa Jepang yang bisa kita ketahui ; Masyarakat Jepang: masyarakat yang tidak peduli pada agama Jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia, perbedaan yang paling besar antara masyarakat Jepang dengan Indonesia adalah masyarakat Jepang tidak peduli pada agama. Dalam Undang-Undang Dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Dilarang keras memakai anggaran negara untuk hal-hal agama. Dalam pasal 20 tertulis bahwa semua lembaga agama tidak boleh diberi hak istimewa dari negara dan tidak boleh melaksanakan kekuatan politik, negara dan instansinya tidak boleh melakukan kegiatan agama dan pendidikan agama tertentu. Dan dalam pasal 89 tertulis bahwa uang negara tidak boleh dipakai untuk lembaga agama. Maka di Jepang tidak ada ruangan untuk sembahyang seperti mushala di instansi negara (termasuk sekolah), tidak ada Departmen Agama, tidak ada sekolah agama. Menurut beberapa penelitian, sekitar 70% orang Jepang menjawab tidak memeluk agama. Terutama, pemuda Jepang sangat tidak peduli agama. Pada tahun 1996, mahasiswa Jepang yang mempercayai agama tertentu

hanya 7.6%. Orang Jepang tidak peduli orang lain agamanya apa, dan kalau dia mempercayai agama tertentu, biasanya dia tidak suka memamerkan agamanya sendiri. Orang Jepang tidak ikut campur urusan pribadi orang lain, dan masalah agama dianggap sebagai urusan pribadi. Etika orang Jepang tidak berdasar atas agama Robert N Bellah, menerbitkan buku berjudul Tokugawa Religion: The Cultural Roots of Modern Japan (1957) menganalisis kemajuan Jepang berdasar teori Max Weber yaitu Die Protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus (1905), menjelaskan peranan nilai agama pramodern itu dalam proses modernisasi. Bellah mengatakan ajaran Sekimon shingaku (Ilmu moral oleh ISHIDA Baigan) itu memerankan sebagai etos untuk modernisasi ekonomi. Selain itu, ada yang menilai ajaran salah satu sekte Buddha Jepang Jodo Shinshu sebagai etos seperti Protestan. Tentu saja ajaran-ajaran itu mementingkan kerja keras, mirip dengan ajaran Puritanisme (memang Islam juga). Di Jepang modernisasi di dalam bidang ekonomi dilakukan oleh pemerintah Meiji. Ideologi pemerintah Jepang adalah Shinto versi negara. Jadi, teori Max Weber tidak bisa diterapkan kepada Jepang. Di Jepang tidak ada agama yang mendorong proses kapitalisme. Jepang dipenuhi dengan porno, dilimpah dengan tempat judi, orang Jepang suka sekali minum minuman keras. Tetapi pada umumnya orang Jepang masih berdisiplin, bekerja keras, masyarakat Jepang sedikit korupsi, lebih makmur, tertib, efisien, bersih dan aman (setidak-tidaknya tidak terjadi konflik antar agama) daripada Indonesia. Bagi orang Jepang, porno, judi, minuman keras, semua hanya sarana hiburan saja untuk menghilangkan stres. Kebanyakan orang Jepang tidak sampai adiksi/ kecanduan. Kalau begitu, etika orang Jepang berdasar atas segala sesuatu yang dianggap menguntungkan. Semua hal pasti di kerjakan, biarpun itu berbau porno asalkan senang dan mendatangkan keuntungan Etika orang Jepang : Etika demi komunitas

Etika orang Jepang itu, tujuan utamanya membentuk hubungan baik di dalam komunitas. Kebesaran komunitas bergantung pada situasi dan zaman. Negara, desa, keluarga, perusahaan, pabrik, kantor, sekolah, partai, kelompok agama, tim sepak bola dll, bentuknya apapun, orang Jepang mementingkan komunitas termasuk diri sendiri. Sesudah Restorasi Meiji, pemerintah Meiji sangat menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah Perang Dunia ke-II, objek kesetiaan orang Jepang beralih pada perusahaan. Tindakan pribadi dinilai oleh mendorong atau merusak rukun komunitas. Maka misalnya minum minuman keras juga tidak dimasalahkan, bahkan minum bersama diwajibkan untuk mendorong rukun komunitas. Ajaran agama juga digunakan untuk memperkuat etika komunitas ini. Sedangkan Semitic monoteisme (agama Yahudi, Kristen dan Islam) mengutamakan Allah daripada komunitas, dan memisahkan seorang sebagai diri sendiri dari komunitas. Jadi Pemerintahan Tokugawa melarang Kristen. Tentu saja agama Budha juga mengutamakan Kebenaran Dharma daripada komunitas, tetapi ajaran sisi seperti itu ditindas. Sementara Konfusianisme sangat cocok dengan etika demi komunitas ini. Tetapi, orang Jepang tidak mengorbankan sendiri tanpa syarat demi komunitas. Hal ini jelas terutama di dalam etos kerja orang Jepang. Etos kerja seperti itulah yang membuat kepemimpinan perusahaan Jepang yang besar membentuk 3 sistem : 1. Sistem ketenagakerjaan sepanjang hidup, yakni perusahaan

biasanya tidak putus hubungan kerja. 2. Sistem kenaikan gaji sejajar umur, yakni perusahaan menaikan

gaji pekerjanya tergantung umur mereka. 3. Serikat pekerja yang diorganisasi menurut perusahaan, yakni,

berbeda dengan pekerja yang diorganisasi menurut jenis kerja, semua pekerja sebuah perusahaan, jenis kerja apapun, diorganisasi satu serikat pekerja. Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah,

1. Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja. Tentu saja orang Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan, orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya Seandainya anda menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda berhenti bekerja ?, kebanyakan orang Jepang menjawab, Saya tidak berhenti, terus bekerja. Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan yang bermain bersama dengan kawan yang akrab.
2. Mendewakan langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja

orang Jepang mendewakan client/ langganan sebagai Tuhan. Okyaku sama ha kamisama desu. (Langganan adalah Tuhan.) Kata itu dikenal semua orang Jepang. Kata ini sudah motto bisnis Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan sedapat mungkin, dan berusaha berkembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan. 3. Bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang yang melawan dengan perusahaan lain. Orang Jepang suka membaca buku ajaran Sun Tzu, The Art of War untuk belajar strategis bisnis. Sun Tzu adalah sebuah buku ilmu militer Tiongkok kuno, pada abad 4 sebelum masehi. Sun Tzu itu suka dibaca oleh baik samurai dulu maupun orang bisnis sekarang. Supaya menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat. Semua orang Jepang tahu pribahasa Hara ga hette ha ikusa ha dekinu. (Kalau lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan pernah menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus makan dan mempersiapkan kondisi lengkap. Tentu saja di medang perang. Kedisiplinan paling penting. Dalam buku Sun Tzu untuk mengajar kedisiplinan dilakukan cara yang sangat kejam. Tetapi sekarang disiplin diajarkan di sekolah dasar. Pendidikan di sekolah sangat penting. Masuk sekolah setiap hari tidak terlambat, ikut pelajaran secara rajin, hal-hal itu dasar disiplin untuk kerja di dunia bisinis. Pada setelah Restorasi Meiji,

pendidikan disiplin di sekolah dasar lebih berguna untuk berkembang kapitalisme daripada ajaran agama apapun.

TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PERBANDINGAN ETOS KERJA ISLAM DENGAN JEPANG
DOSEN : EVA MAULINA

Disusun oleh : ADE ARIAWAN ( 43111110095 ) FAKULTAS EKONOMI & BISNIS- MANAJEMEN UNIVERSITAS MERCUBUANA 2012

You might also like