You are on page 1of 18

MODUL III SUMBER AJARAN ISLAM

Artinya : Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul-Nya dan Ulil amri diantara kamu; lalu jika kamu berlainan pandapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia (sesuatu yang diperselisihkan itu) kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (AlHadits atau Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhirat; yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan uraian). sebaik-baik tawil (memberi interprestasi / tafsiran / Q.S. An-Nisa (4):59 1

H.R. Abu Dawud dan Turmudzi : berisi kesetujuan Rasulullah SAW dan jawaban-jawaban Muadz bin Jabbal RA (sahabat beliau ) ketika beliau mengutus Muadz ke Yaman untuk menjabat sebagai Hakim di sana : Rasulullah SAW, bertanya kepada Muadz: Dengan pedoman apa anda memutuskan suatu perkara ? Jawab Muadz Tanya Rasul Jawab Muadz Tanya Rasul Jawab Muadz Sabda Rasul : Dengan Kitabullah : Kalau tidak ada dalam Al-Quran ? : Dengan Sunnah Rasulullah. : Kalau dalam Sunnah Juga tidak ada ? : Saya beriitihad dengan pikiran saya. : Maha Suci Allah yang telah memberikan

bimbingan kepada Rasul-Nya.2

QS. An-Nisa (4): 59 merupakan dalil yang menunjukkan ada empat sumber yang harus ditaati yaitu dua di antaranya sebagai Sumber Pokok / Utama ialah al-Quran dan as-Sunnah, sebagaimana keterangan Hadits: Aku (Nabi SAW) tinggalkan dua perkara, agar kamu semua tidak tersesat jika terus berpedoman hidup kepada keduanya Kitabullah (al-Quran) dan Sunnah Rasul. Adapun dua merupakan sumber yang koordinatif dan bergantung Pokok tadi, ialah Ijma (konsensus Ulama / ahli ilmu ) yaitu berikutnya

kepada Sumber dan Ijtihad ( upaya

sungguh-sungguh untuk menetapkan hukum Islam). Ijma (konsensus Ulama / ilmuwan) dan Ijtihad merupakan sumber yang kordinatif dan bergantung, artinya masih harus mengacu kepada al-Quran dan Sunnah, dan tidak boleh bertentangan apalagi membatalkan (me-mansukh/menghapus) keduanya.3 Oleh karenanya Ijma dan ijtihad merupakan sumber hukum Islam alternatif (bukan utama) sebagaimana makna dari Hadits Muadz bin Jabbal RA. Demikian dalil yang bersifat umum dari Al-Quran. akan tetapi dalil kedua atau Hadits Taqriri ( hadits yang bersifat pengukuhan/kesetujuan dari Nabi SAW atas pendapat Muadz ) mempunyai konteks khusus yang relevan dengan proses Ijtihad yang menjadi kewajiban hakim untuk qadla penetapan / putusan hukum terhadap suatu perkara ( atau kasus di

Pengadilan). Jadi Hadits Muadz bin Jabbal RA tersebut lebih spesifik, sehingga hanya menyebutkan 3 (tiga) sumber saja untuk memutus perkara yaitu: yaitu Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad. Dengan demikian QS. An-Nisa (4): 59 memiliki lingkup yang lebih universal yakni untuk menetapkan tata nilai / hukum pada sasaran setiap individu di tengah masyarakat, di samping tata nilai yang harus dipatuhi para pencari keadilan. A. Al-Quran 1. Fungsi dan peranan Al-Quran Al-Quran adalah wahyu Allah berfungsi sebagai berikut : a. Sebagai mujizat: Al-Quran telah menjadi salah satu sebab penting bagi masuknya orang-orang Arab dijaman Rasulullah ke dalam agama Islam, dan menjadi sebab penting pula bagi masuknya orang-orang sekarang, dan (Insya Allah) pada masa yang akan datang. b. Sebagai Pedoman Hidup: Al-Quran banyak mengemukakan pokokpokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan

antara manusia dengan Tuhan dalam hubungan antara manusia dengan manusia dan mahkluk lainya. Didalamnya terdapat peraturanperaturan seperti beribadah langsung kepada Allah, dan aspek-aspek kehidupan lainnya oleh Allah dijamin dapat berlaku dan dapat sesuai pada setiap tempat dan setiap waktu.

c. Sebagai Korektor: Al-Quran banyak mengungkapkan persoalanpersoalan yang dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil dan lain-lain yang dinilai Al-Quran sebagai tidak sesuai dengan ajaran Allah yang sebenarnya. Baik menyangkut segi sejarah orang-orang tertentu, hukum-hukum, prinsip-prinsip Ketuhanan dan lain sebagainya. Sebagai contoh koreksi-koreksi yang dikemukakan Al-Quran tersebut antara lain sebagai berikut : 1) Tentang ajaran Trinitas dalam Al-Quran: Q.S. Al-Maidah (5): 75, yang artinya : Al-Masih putra Mariam itu hanyalah seorang Rasul, yang sesungguhnya telah berlaku sebelumnya beberapa Rasul dan Ibunya seorang yang sangat besar. 4 2) Tentang Isa Almasih dalam Al-Quran : Q.S. Ali Imron (3): 59, yang artinya : Sesungguhnya misal (Penciptaan) Isa disisi Allah, adalah seperti (penciptaan Adam). Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya : Jadilah(Seorang manusia) maka jadilah dia 5 3) Tentang Penyaliban Isa Almasih dalam Al-Quran Q.S. An-Nisa (4):157, yang artinya : Dan karena ucapan mereka : Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa Putra Mariam, Rasulullah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka 6 2. Nama-nama dan Pembagian Isi Al-Quran. Al-Quran mempunyai beberapa nama lain yang relevan dengan kegunaannya bagi umat manusia yaitu: Al-Kitab (sumber bacaan untuk dipedomani), Al-Furqon (pembeda hak dan batil), Al-Burhan / Al-Huda

(petunjuk

kehidupan),

Adz-Dzikr

(pengingat),

Al-Hikmah

(falsafah/

Kebijakan-kebijakan / Penemu kebenaran / Landasan pemikiran dan pemahaman), As-Syifa (obat / penawar hati) dan lain-lain. Al-Quran terdiri dari 114 surat: 91 surat turun di Mekkah dan 23 surat turun di Madinnah, ada pula yang berpendapat, 86 surat turun di Mekkah dan 28 surat turun di Madinnah. Surat yang turun di Mekkah di namakan Makiyyah, pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlak, panggilannya ditujukan kepada segenap manusia (sasaran utama: kafir Quraisy) agar mereka beriman dan bermoral yang jauh dari kebiadaban. Adapun surat yang turun di Madinah dinamakan surat Madaniyah, khithab (sasaran panggilannya) tertuju kepada orang-orang mukmin, dan unsur perintahlarangan atau hukum hukum Islam yang terkandung di dalamnya. Diperkirakan 19/30 turun di Madinnah, 11/30 turun di Mekkah. Atas inisiatif para ulama maka kemudian Al-Quran dibagi-bagi menjadi 30 Juz. Dalam tiap Juz dibagi-bagi pula kepada setengah Juz, seperempat Juz, Maqra dan lain-lain. 3. Lima Garis Besar Isi Kandungan Al Quran Setengah ulama berpendapat bahwa secara garis besar ketujuh ayat surat Al Fatihah merupakan perasaan atau inti dari seluruh kandungan makna lahir batin, tersurat dan tersirat dari Al Quran. Sementara samudera hakikat Al Fatihah sendiri tersaripatikan dalam kalimat Basmalah.7 Dan semuanya itu terproyeksikan dalam lima prinsip garis besar berikut ini.

a.

Aqidah (keimanan), tauhid, dalam arti menyempurnakan keyakinan dan meluruskan Itikad yang merupakan doktrin kepercayaan kepada Allah SWT.

b.

Syariat yang terdiri dari atas ibadah murni yakni aturan-aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan muamalah, yaitu mencakup segala penetapan yang mengatur hubungan pergaulan hidup antar sesama manusia, antara manusia dengan makhluk hidup lain, serta antara manusia dengan alam.

c.

Akhlak, yaitu memugar, meluhurkan, mensucikan, budi pekerti seperti sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan.

d.

Sejarah, kisah-kisah masa lalu untuk diambil darinya pelajaran, peringatan, perbandingan, keteladanan dan perumpamaan yang bernilai tinggi, guna mengarifkan hidup, misalnya tentang sejarah kaum Tsamud, kaum Luth, kaum Musa, tentang Yusuf dan saudaranya, tentang Yahya, Isa, Ibrahim, Khidir dan sebagainya.

e.

Berita-berita soal masa depan dan pasca masa depan, ramalanramalan yang prospektif serta rupa-rupa ilmu pengetahuan modern. Umpamanya soal kejadian langit dan bumi, matahari, bulan, bintang dan planet lain, proses kejadian manusia dan sebagainya.

4. Sejarah Kodifikasi Al-Quran dan Perkembangannya Allah akan menjamin kemurnian dan kesucian Al-Quran akan selamat dari dan usaha-usaha penulisan pemalsuan, dapat penambahan menjamin atau pengurangansecara pengurangan. Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan proses kedifikasi Al-Quran kesuciannya menyakinkan Al-Quran ditulis sejak nabi masih hidup. Sebagaimana firman Allah SWT. Q.S. Al-Hijr (15): 9, yang artinya : Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.
8

Begitu wahyu turun kepada Nabi, Nabi langsung memerintahkan para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati. Begitu mereka tulis kemudian mereka hafalkan sekaligus mereka amalkan. Pada awalnya pemerintahan Khalifah yang pertama dan Khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar As Shiddiq, Al-Quran telah dikumpulkan dalam mashaf-mashaf tersendiri. Pada zaman Khalifah yang ketiga Utsman Bin Affan, Al-Quran telah sempat diperbanyak. Alhamdulillah Al-Quran yang asli itu sampai saat ini masih ada.

5.

Ilmu ilmu Yang Membahas Hal-hal yang Berhubungan Dengan AlQuran Antara lain 9: a. b. Ilmu Mawathin Nuzul, yaitu Ilmu yang membahas tentang tempattempat turunya ayat Al-Quran. Ilmu Asbabun Nuzul, yaitu Ilmu yang membahas sebab-sebab turunnya Al-Quran.

c. d. e.

Ilmu Tajwid, yaitu Ilmu yang membahas tentang teknik membaca AlQuran. Ilmu Gharibil, yaitu Ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat yang asing artinya dalam Al-Quran. Ilmu Wajuh, Yaitu Ilmu yang membahas tentang kalimat yang mempunyai banyak arti dan makna apa yang dikehendaki oleh sesuatu ayat dalam Al-Quran.

f.
g.

Ilmu Amtsalil Al-Quran., Yaitu ilmu yang membahas tentang perumpamaan-perumpaan dalam Al-Quran. Ilmu aqsamil Al-Quran, yaitu ilmu yang mempelajari tentang maksudmaksud sumpah Tuhan dalam Al-Quran.dan lain-lain.

B. As-Sunnah / Al Hadist 1. Pengertian Secara etimologis Al Hadist berart antara lain: Baru, Khobar. Secara terminology Al - Hadist berarti : segala perbuatan, perkataan dan ketetapan/persetujuan Nabi Muhammad S.A.W. (Afal, Aqwal da taqrir). Pengertian Hadist sebagaimana yang tersebut di atas adalah identik dengan Sunnah. 2. As-Sunnah / Al Hadist sebagai Sumber Ajaran Islam. As Sunnah/ Al - Hadist adalah sumber ajaran Islam (pedoman hidup kaum muslimin) yang kedua setelah Al-Quran. Bagi mereka yang telah beriman kepada Al-Quran sebagai sumber ajaran, maka secara otomatis harus percaya bahwa sunnah sebagai sumber ajaran Islam juga. Ayat-ayat Al-Quran cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini seperti : Setiap Mukmin taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Firman Allah dalam Al-Quran : Q.S. Ali Imron (3) : 32 yang artinya : Katakanlah : Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang kafir. 10 Q.S. Ali Imron (3): 31, yang artinya : Katakanlah : Jika kamu (benar-benar) mencitai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun-Lagi-Maha Penyayang.11

Q.s. An-Anfal (8): 13, yang artinya : (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya barang siapa menentang Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya.12 Apabila As Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hal : cara Sholat, kadar dan ketentuan zakat, cara Haji dan lain sebagainya. Sebab Ayatayat Al-Quran dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapat kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, mujmal dan sebagainya, tetap memerlukan Sunnah untuk penjelasannya. Apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan ratio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang subyektif dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. 3. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Quran Dalam hubungan dengan Al-Quran maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan AlQuran itu adalah sebagai berikut : a. Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal. Seperti Hadist Riwayat Bukhari : Rasullullah SAW bersabda : ( Sholatlah kamu sebagaimana melihatku sholat)13 ialah merupakan tafsiran daripada Al-Quran yang umum: ( Aqimush-shalah = dirikanlah shalat ). Hadist lain : ( Khudzuanni manasikakum = Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Quran Waatimmul-hajja (dan sempurna-kanlah hajimu). b. Bayan Taqrir, yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pertanyaan-pertanyaan Al-Quran. Seperti Hadist yang berbunyi : ( Shumu Liru yatihi Wa-afthiru Liruyatihi = Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Quran, Q.S. AlBaqarah (2): 185, yang artinya :

Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan bulan yang didalamnya diturunkan (Permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia.14. c. Bayan Taudlih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Quran. Seperti pernyataan Nabi SAW: Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati, adalah Taudlih (penjelasan) terhadap ayat Al-Quran : Q.S. At-Taubah (9): 34, yang artinya : ..dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih15 4. Perbedaan Antara Al-Quran dan Al-Hadist Sebagai Sumber Hukum Sekalipun Al-Quran dan As-Sunnah / Al-Hadist sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun di antara keduanya terdapat perbedaanperbedaan yang cukup prinsipil, perbedaan-perbedaan tersebut antara lain ialah : a. Al-Quran nilai kebenarannya adalah qathi (pasti atau absolut) sedangkan Al-Hadist adalah dzanni / nisbi (mengandung dugaan kecuali hadist mutawatir ); b. Seluruh ayat Al-Quran mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Tetapi tidak semua hadist mesti di jadikan sebagai pedoman hidup. Disamping ada hadist yang shahih ada pula hadist yang dhaif dan seterusnya; c. Al-Quran sudah tentu autentik lafadz dan makanannya, sedangkan hadist tidak semuanya autentik. Apabila Al-Quran berbicara tentang masalah-masalah Aqidah atau halhal yang ghaib maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi tidak harus demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadist. 5. Sejarah Singkat Perkembangan Al-Hadist Para ulama membagi perkembangan hadist itu kepada 7 periode yaitu : Masa wahyu dan pembentukan hukum (pada zaman Rasul: 13 SH-11 SH);

40 H);

Masa pembatasan riwayat (masa khulafaur-rasyidin : 12Masa pencarian hadist (pada masa generasi tabiin dan Masa pembukuan hadist (permulaan abad II H); Masa penyeringan dan seleksi ketat (awal abad III H Masa penyusunan kitab-kitab koleksi (awal abad IV H Masa pembuatan kitab Syarah Hadist, kitab-kitab koleksi

sahabat-sahabat muda : 41 H-akhir abad I H);

sampai selesai); sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656H); yang lebih umum (656 H dan seterusnya). Pada zaman Rasulullah tidak ada aktivitas pencatatan hadits terkecuali secara rahasia oleh para sahabat Nabi yang khusus memperhatikan kepentingan hadits. Beberapa sebab dilarang keras melakukan pencatatan hadits adalah sebagai berikut: a. Nabi sendiri melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu diizinkan beliau sebagai catatan pribadi. b. Rasulullah berada ditengah-tengah umat Islam sehingga dirasa tidak perlu untuk dituliskan pada waktu itu. c. Kemampuan tulis baca dikalangan sahabat sangat terbatas d. Umat Islam sedang di konsentrasikan kepada Al-Quran e. Kesibukan-kesibukan umat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan dakwah yang sangat penting. Pada zaman-zaman berikutnya pun ternyata Al-Hadits belum sempat dibukukan karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman Umar Bin Abdul Azis Khalifah ke-8 dari dinasti. Bani Ummayah (99-101 H) timbul inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan Hadits itu. Sebelumnya Hadits-Hadits itu hanya disampaikan melalui hafalan-hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada saat generasi tabiin mencari Hadits-Hadits itu. Di antara sahabat-sahabat itu ialah seperti : a. b. c. Abu Hurairah meriwayatkan hadits sekitar 5374 Hadist: Abdullah Bin Umar Bin Khattab, meriwayatkan sekitar Anas Bin Malik, meriwayatkan sebanyak 2286 Hadits;

2630 Hadits;

10

d. Hadits : e. Hadits; f. g.

Abdullah Bin Abbas, meriwayatkan sebanyak 1160 Aisyah Ummu Muminin, meriwayatkan sebanyak 2210 Jabbir Bin Abdillah, meriwayatkan sebanyak 1540 Abu Said, meriwayatkan sebanyak 1170 Hadits.

6.

Pengkodipikasian Al-Hadits. Pengkodipikasian Hadits itu justru dilatar-belakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat dan menyebar luaskan Hadits-Hadits palus, baik yang dibuat oleh umat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Sampai saat ini ternyata masih banyak Hadits-Hadits palsu itu bertebaran dalam literatur kaum muslimin. Disamping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang berkembangan dikalangan masyarakat Islam, berupa : anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai sebagai Hadits, Sabda Rasulullah Walaupn ditinjau dari segi isi materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran islam, tetapi kita tidak boleh mengatakan bahwa kita sabda Rasul. Sebab Rasulullah memperingatkan dalam sabda : Barang siapa berdusta atas namaku maka siap-siap saja tempatnya dineraka. Menurut sebagaian besar para Ulama Hadits bahwa di antara kitab-kitab Hadits ada tujuh Kitab Hadits yang dinilai terbaik yaitu : a. Ash-Shahih Bukhari b. Ash-Shahih Muslim c. As-Sunnan Abu Dawud d. As-Sunnan Nasai e. As-Sunnan Tirmidzi f. As-Sunnan Ibdu Majah Al-Musnad Iman Ahmad C. IJMA ULAMA 1. Pengertian Ijma Secara bahasa Ijma berarti berkumpul. Secara istilah atau definisi Ijma ialah konsensus atau kesepakatan Ulama-ulama Islam dalam

11

menentukan suatu masalah hukum atas suatu realita sosial yang dinamis sehingga masyarakat betul-betul menunggu (butuh) jawaban dari ulamaulama tersebut. Hasil ijma ini umumnya yang menjadi fatwa dimana suatu publik kalangan muslim menunggu fatwa tersebut. 2. Ijma dan kata Ulil Amri Ketika Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya suatu masalah yang tidak dibicarakan oleh AlQuran dan As-Sunnah, maka Ruasulullah menyatakan : Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah16. Konteks ulil amri dalam QS an-Nisa (4): 59 di atas banyak yang mengartikan ijma ulama, meskipun bila ditelaah secara seksama kata ulil-amri mempunyai kandungan makna yang luas dan termasuk di dalamnya memaknakan ijma ulama. Dalam kehidupan modern makna taat pada ulil amri bisa relevan dengan ketaatan pada hasil pembuktian dokter forensik, mematuhi petunjuk konsultan dan lain sebagainya. Dalam makna spesifik ke arah istimbath (penetapan hukum syari Islam), kata ulil amri lebih populer diartikan sebagai konsensus para ulama mujtahidin untuk memberikan fatwa hukum Islam. Bukti pentingnya ijma ulama untuk istimbath hukum Islam ialah adanya popularitas Jumhur Ulama(mayoritas ulama fuqaha/mufassirin). Hukum-hukum Islam Ulama, antara lain: Contoh: 1. Nikah berbeda agama, terutama wanita muslimah dengan pria non muslim, sepakat sebagian besar ulama (jumhur ulama) mengharamkan yang dihasilkan oleh Ijma

2. Ulama di Indonesia sepakat bahwa nikah berbeda agama


dilarang (haram), dan hal ini sudah menjadi hukum negara sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan atau Perkawinan 3. Daya Argumentatif Ijma Secara rasional kekuatan Ijma dalam memberikan argumentasi hukum fiqh Islam (syari kontekstual) adalah otoritas ketiga setelah alQuran dan as-Sunnah, sebab ijma didasarkan pada kata ulil amri dalam teks QS an-Nisa (4): 59. Disamping kekuatan lainnya ijma sebagai

12

mufakat dari banyak ulama yang mempunyai kapasitas kemampuan berijtihad. Oleh karenanya hukum Islam hasil mupakat Jumhur Ulama merupakan kesekutuan pandangan fiqih mungkin keempat imam mazhab bersatu didalamnya, mungkin mayoritas Imam Mazhab bersatu, atau separuh Imam Mazhab bersatu. Yang termasuk Imam Mazhab yang termashur ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii, dan Imam Hambali Karamallahu anhum. Jadi pada dasarnya Ijma Ulama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Ijtihad. Sebab dalam ijma berbicara kuantitas royu dimana jaminan kesahihannya lebih akurat sebagaimana analogi pada kemutawatiran hadits ( hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak punya kesahihan lebih kuat karena lebih korektif terhadap kecacatan). D. IJTIHAD 1. Pengertian Dan Fungsi Ijtihad Secara Bahasa, Ijtihad berarti : Pecurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Adapun secara Terminologi/ Istilah, Ijtihad ialah Penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Rasulullah S.A.W. pernah bersabda kepada Abdullah Bin Masud sebagai berikut: Berhukumlah Engkau dengan Al-Quran dan As-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu Engkau temukan pada dua sumber. Tapi apabila Engkau tidak menemukan ada dua sumber itu, maka berIjtihadlah. Kepada Ali bin Abi Thalib r.a. beliau pernah menyatakan : Apabila Engkau ber-ijtihadmu betul, maka Engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihadmu salah maka Engkau hanya mendapatkan satu pahala. Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai The Principle Of Movement. Mahmud Syaltut berpendapat bahwa ijtihad atau yang biasa Arroyu mencakup dua pengertian :

1. Penggunaan pikiran untuk menentukan suatu hukum yang tidak di


tentukan secara eksplisit oleh Al-Quran dan As-Sunnah;

13

2. Penggunaan pikiran dalam meng-artikan, menafsirkan dan mengambil


kesimpulan dari sesuatu ayat atau Hadits. Adapun dasar dari pada keharusan berijtihad ialah mereka lain terdapat pada Al-Quran surat An-Nisa ayat 59. 2. Kedudukan Ijtihad Berbeda dengan Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma, maka ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktivitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan dari suatu ijtihad adalah relatif ; b. Sesuatu yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang atau sekelompok orang tapi tidak berlaku bagi orang lain. c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah Mahdlah. Sebab urusan ibadah Mahdlah hanya di atur oleh Allah dan RasulNya d. Keputusan Ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan AsSunnah. e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi, akibat kemashalatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa dari pada ajaran Islam. 3. Cara Berijtihad Dalam melekasanakan Ijtihad, para ulama telah membuat metodemetode antara lain sebagai berikut :

a.

Qiyas : Reasoning by Analogy. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap suatu hal yang belum diterangkan oleh Al-Quran dan AsSunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah ditengrangkan hukumnya oleh Al-Quran dan As-Sunnah, karena sebab yang sama. Metode Qiyas dalam istimbath hukum (penetapan hukum Islam) dianut oleh keempat Imam Mazhab: Hanafi, Maliki, SyafiI dan Hambali Karamallahu anhum.

14

Contoh 1 : menurut Al-Quran surat Al-Jumah 9; Seseorang dilarang jual-beli pada saat mendengar adzan Jumat. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain (selain jual-beli) pada saat mendengarkan adzan Jumat. Dalam Al-Quran maupun Al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu kalau jual-beli karena dapat menggangu Shalat Jumat maka demikian hal perbuatan-perbuatan lain, yang dapat menggangu Shalat Jumat dilarang. Contoh 2: menurut Q.S. Al-Isra (17) 23; seseorang tidak boleh berkata uf (cis) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum kata cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah SAW pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar qiyas tersebut. Yaitu ketika Umar bin Khatab berkata kepada Rasulullah Tanya Rasul Jawab Umar Sabda Rasull : Hari ini saya mencium istri, padahal saya dalam keadaan berpuasa : Bagaimana jika kamu berkumur pada saat puasa ? : Tidak apa-apa : Kalau begitu teruskanlah puasamu

b.

Istihsan = Preference. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasari prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para Ulama Istihsan disebut juga qiyas-khofi (analogi samar-samar) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas yang jelas (qiyas jali) kepada hukum yang diperoleh dengan Qiyas yang samar-samar atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan kepada keharusan memilih salah satu diantara dua kejelekan (39) : 18. Metode Istihsan dalam penetapan hukum Islam ini digunakan oleh Mazhab (Imam) Hanafi, karamallahu anhu maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekkannya. Dasar Istihsan antara lain tercantum Q.S. Az-Zumar

15

Contoh Istihsan : Seorang ibu hamil mempunyai masalah dengan kandungannya, berdasarkan pemeriksaan dokter kandungan bahwa bayinya bermasalah dan bisa mengakibatkan kematian bagi ibu yang hamil. Maka dalam hal ini diambil keputusan, bayi yang harus dikalahkan, agar ibunya tetap hidup. Sedangkan aborsi (pengguguran kandungan) tanpa alasan medis seperti diatas tetap diharamkan. c. Mashalihul Mursalah, adalah salah satu dari tiga jenis mashlahat yaitu mashlahat mutabarah, mashlahatul mulgiyah, dan mashlahatul-mursalah. Secara umum Mashlahat berarti kebaikan

total sebagaimana mashlahat tersebut merupakan maqashid syariyah ialah tujuan hukum Islam. Adapun yang dimaksud dengan mashlahatul mutabarah ialah kebaikan total yang termaktub dalam teks dan konteks Kitab Suci al-Quran atau Hadits. Sedangkan mashlahatul-mulgiyah ialah mashlahat atau kebaikan yang divonis batal oleh al-Quran dan atau Hadits, sebab mashlahat ini terlalu mengikuti pikiran yang relatif subjektif terhadap kepentingan pribadi/golongan bahkan mengikuti kehendak nafsu. Adapun yang dimaksud dengan mashlahatul-mursalah ialah kebaikan yang ditemukan akal dan dapat dibuktikan secara emphiris dan kebaikan tersebut tidak terungkap langsung dalam alQuran dan Hadits, baik pembenaran maupun pembatalan oleh keduanya. Jadi terputus atau irtsal dan oleh karenanya disebut mashlahatul mursalah. Yang menjadi pertimbangan umum bagi mashlatul-mursalah ialah mendatangkan manfaat dan mencegah bahaya (jalbul-mashalih wadaful-mafasid). Secara sederhana ada yang mengatakan sama artinya dengan Utilitty. Yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan Ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syariat. Mashlahatul-mursalah digunakan dan dipertahankan oleh Imam mazhab Maliki dan Nidzamuddin Thufi (tokoh dari mazhab Hambali), dan Nidzamuddin memberi sebutan lain Istishlah. Perbedaan antara istihsah dengan Mashalihul-Mursalah ialah istihsan mempertimbangkan dasar kemashalata (Kebaikkan) itu

16

dengan disertai dalil Al-Quran atau Al-hadits yang umum,sedangkan Mashalihul-Mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis secara eksplisit dalam Al-Quran/Al-Hadits. Contoh : Memiliki buku nikah dari KUA itu sangat berguna bagi pasangan suami istri dan juga keturunannya. Pasangan suami istri yang menikah siri atau nikah dibawah tangan sah menurut agama Islam meskipun tidak memiliki buku nikah. Untuk menghindari fitnah, buku nikah sangat berguna.

Soal-soal Latihan (Evaluasi) 1. dan jelaskan. 2. 3. 4. istilah! 5. 6. 7. Sebutkan dan jelaskan 4 (empat) cara / metode Ijtihad! Jelaskan fungsi As Sunnah / AlHadits dalam Benarkah Jelaskan Al-Quran pengertian dijamin Al-Quran kemurnian dan Al-Hadits dan (As kesuciannya ? Jelaskan disertai dalil. Sunnah) menurut etimologi dan terminologi! Jelaskan perngertian IJTIHAD menurut bahasa dan Ada 3 (tiga) Fungsi dan Peranan Al-Quran. Sebutkan

hubungannya dengan Al-Quran! Berikan contoh dari : Ijma; Qiyas; Istihsan, dan Mashalihul Mursalah!

17

DAFTAR KUTIPAN
1

Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Al-Quran wa Tarjamatu

maaniyatu ila Lughati al-Indunisiya, ( Medinah Munawwarah: khadim alHaramain asy-Syarifain, Tahun 1411 H ), h. 128
2

Abdul Wahab Khallaf, Mashadirut-Tasyriil-Islami, terjemah oleh Ibid, h. 3 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit. h. 173 Ibid, h. 85 Ibid, h. 149 Arsyad M.Natsir, Seputar Al Quran, Hadist dan Ilmu ( Bandung: Al Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit., h. 391 Arsyad M. Natsir, Op. Cit hlm. 33-35 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit, h. 80 Ibid. Ibid., h. 262 Sulaeman Rasjid, Figh Islam , (Bandung: Sinar Baru, 1989), hlm 94 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit, h.45 Ibid., h. 283

Bahrun AbuBakar, (Bandung: Risalah, 1984 ), Cet. Ke-1, h. 2


3 4 5 6 7

Bayan, 1992), hlm 38-39


8 9 10 11 12 13 14 15 16

Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam di

PerguruanTinggi, (Jakarta, 2002) h 87

3 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1 1 1 1 1 1

You might also like