You are on page 1of 25

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diskursus tentang kebudayaan dan agama merupakan kajian yang menarik sepanjang masa. Banyak penelitian yang dihasilkan dari diskursus ini, mulai dari yang sederhana hingga kompleks. Dialektika antara agama dan budaya terjadi proses saling mempengaruhi. Pengaruh timbal balik antara ajaran agama dan budaya merupakan kenyataan yang tak terbantahkan, bahkan ikut andil dalam sebuah proses kehidupan. Dalam pandangan Clifford Geertz agama merupakan sebuah sistem simbolsimbol yang berlaku dalam masyarakat. Simbol-simbol ini mempunyai makna yang diwujudkan kedalam bentuk ekspresi realitas hidupnya.1 Oleh karena itu Geertz lebih menekankan pada budaya dari dimensi agama. Dalam hal ini agama dianggap sebagai bagian dari budaya. Sehingga dalam kenyataannya, seringkali simbol-simbol itu memiliki arti penting (urgen) dalam kehidupan masyarakat Islam Jawa, dan bahkan di sinilah letak nilai kepuasan seseorang dalam menjalankan ritual keagamaannya. Budaya dan agama kadang-kadang sulit dibedakan dalam pelaksanaan sehari-hari. Agama seringkali mempengaruhi pemeluknya dalam bersikap maupun bertingkah laku bahkan berpola pikir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang kadang-kadang kurang melihat budaya-budaya masyarakat yang sudah ada. Seperti pada fenomena ziarah kubur dikalangan umat Islam di Jawa menjadi suatu fenomena yang memang sudah tidak asing lagi. Bagi masyarakat Islam di Jawa, kegiatan ziarah kubur merupakan kebiasaan dan kebuTuhan, utamanya pada hari-hari tertentu dengan tujuan dan harapan yang berbeda-beda. Sebagai orang Islam Jawa pastinya mengakui adanya ziarah kubur. Namun, didalam Islam itu sendiri, ziarah kubur bukan merupakan amalan yang diwajibkan dalam aturan agama. Sehingga dalam makalah ini kami akan mengulas tentang fenomena ziarah kubur yang terjadi di kalangan masyarakat
1

Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 5.

Islam Jawa, dan perspektif mereka tentang ziarah kubur, juga pendapat ulama tentang ziarah kubur, serta tanggapan dan solusi dalam fenomena tradisi ziarah kubur di kalangan masyarakat Islam Jawa. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang disampaikan diatas, untuk mempermudah penjelasan dalam makalah ini, penyusun merumuskannya menjadi empat masalah, yaitu : 1. Bagaimana fenomena ziarah kubur di kalangan masyarakat Islam Jawa ? 2. Bagaimana prespektif masyarakat Islam Jawa tentang ziarah kubur ? 3. Bagaimana pendapat ulama tentang ziarah kubur ?
4. Bagaimana Tanggapan dan Solusi dalam Ziarah Kubur di Jawa?

C. Tujuan 1. Untuk mengetahui fenomena ziarah kubur di kalangan masyarakat Islam Jawa 2. Untuk mengetahui prespektif masyarakat Islam Jawa tentang ziarah kubur 3. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang ziarah kubur 4. Untuk mengetahui Tanggapan dan Solusi dalam Ziarah Kubur di Jawa

BAB II PEMBAHASAN A. Fenomena Ziarah Kubur di Kalangan Masyarakat Jawa Secara etimologi ziarah kubur terdiri dari dua kata yaitu ziarah artinya pergi dan kubur artinya makam, jadi ziarah kubur artinya adalah pergi kemakam. Dalam terminologi syari, ziarah kubur berarti: Bepergian ke kuburan dalam rangka mengambil pelajaran, mendoakan dan memintakan ampun bagi mayit sekaligus mengingatkan kepada akhirat dan berlaku zuhud di dunia. Ash Shanani rahimahullah berkata, Ziarah kubur dilaksanakan dalam rangka mendoakan mayit, berbuat baik kepada mereka, serta dapat mengingatkan peziarah terhadap kehidupan akhirat agar berlaku zuhud di dunia.2 Menurut Orang Jawa Ziarah kubur merupakan satu dari sekian tradisi yang ada di Jawa dan berkembang di masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa makam merupakan tempat yang dianggap suci dan keramat yang pantas dihormati terutama makam para tokoh-tokoh yang di anggap berjasa bagi masyarakat tersebut atau biasanya makam para waliyullah. Makam sebagai peristirahatan terakhir bagi nenek moyang,tokoh-tokoh terdahulu dan keluarga yang telah meninggal. Keberadaan makam dari tokoh tertentu dapat menimbulkan daya tarik bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas ziarah dengan berbagai motivasi maka bagi masyarakat Jawa ziarah kemakam sudah menjadi kebiasaan dan kebuTuhan untuk mendoakan makam yang di ziarahinya dan agar dapat memetik pelajaran dari perziarahnya maupun pelajaran dari seorang kehidupan dulunya seorang tokoh tertentu.3 Berbagai maksud dan tujuan maupun motivasi selalu menyertai aktivitas ziarah kubur. Ziarah kubur yang dilakukan oleh masyarakat Jawa ke kuburan dianggap keramat sebenarnya ini terpengaruh Jawa-Hindu. Ziarah kubur

Yusuf Afriadi, Ziarah Kubur, http://yusufafriadi.blogspot.com/2012/05/ziarah-kubur.html, diakses pada tanggal 1 juni 2012. 3 Aziz Abdul Ngashim, Nyekar Yang Berakar Telaah Arah dan Sejarah Ziarah, http://filsafat.kompasiana.com/2011/08/02/, diakses pada tanggal 1 Juni 2012.

sebenarnya adalah tradisi agama hindu yang pada masa lampau memuja terhadap roh leluhur. Kepercayaan masyarakat pada masa Jawa-Hindu masih terbawa sampai saat ini. Banyak orang beranggapan bahwa dengan ziarah kuburan leluhur atau tokoh magis tertentu dapat menimbulkan pengaruh tertentu. Kisah keunggulan atau keistimewaan tokoh yang dimakamkan merupakan daya tarik bagi masyarakat untuk mewujudkan keinginanya. Misalnya berziarah ke makan tokoh yang pangkatnya tinggi, maka akan mendapatkan berkah berupa pangkat yang tinggi pula. Bagi masyarakat Jawa, ziarah secara umum dilakukan pada pertengahan sampai akhir bulan ruwah menjelang ramadhan. Pada saat itu masyarakat secara bersama-sama satu dusun atau satu desa maupun perorangan dengan saudara terdekat melakukan tradisi ziarah kubur. Kegiatan ziarah kubur ini secara umum disebut nyadran. Kata nydran berarti selamatan (sesaji) ing papang kang kramat selamatan (memberi sesaji) di tempat yang angker maupun keramat.4 Agama Islam telah mengubah wajah dan kiblat orang Jawa. Namun, kuatnya tradisi Jawa membuat Islam mau tak mau harus berakulturasi. Hasil dari proses dialog antara Islam dengan budaya lokal Jawa, melahirkan perpaduan tata nilai Islam dan budaya Jawa dengan menampilkan dua model keagamaan yaitu Islam Jawa yang sinkretis dengan melahirkan perpaduan antara unsur Hindu-Budha dengan Islam.5 Sinkretisme sebetulnya mengandung semacam ironi, bahwa Islam tidak lagi tampil sebagai wujudnya yang asli, tetapi sudah tercampur dengan unsur-unsur yang eksternal sifatnya. Sebagaimana kita lihat dalam masyarakat Jawa, dengan demikian menggambarkan suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang murni di tempat asalnya di Timur Tengah. Ajaran Islam Jawa masih berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri. Bagi Islam Jawa agama merupakan manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan).6

4 5

Ibid. Ridwan, Suwito NS, dkk, Islam Kejawen Sistem Keyakinan dan Ritual Anak Cucu Ki Bonokeling, (Purwokwrto: STAIN Purwokerto Press, 2008), hal: 18. 6 Ibid, hal: 48-49.

Di era sekarang untuk sebagian kaum muslimin khususnya di Indonesia, fenomena melaksanakan ritual ziarah kubur telah menjadi sebuah tradisi yang sangat kuat dan berlangsung turun temurun, mereka menganggap bahwa ritual ziarah kubur adalah bagian dari ibadah ghaer makhdoh yang mesti dilaksanakan pada setiap tahun. Bisa kita liat dikuburan khususnya kuburan Waliyullah (9 wali), tak ada sehari pun kuburan-kuburan wali tersebut sepi dari para penziarah, mereka datang dari berbagai pelosok negeri dengan berbagai tujuan tertentu, ada yang bertujuan untuk mencari barokah dengan wasilahnya (perantara) kesholehan wali itu, ada yang mencari harta, kedudukan dan jodoh. Puncak kegiatan ziarah Kubur biasanya dilakukan pada bulan Robiul Awal atau bulan Mulud dalam penanggalan Jawa, dimana pada tanggal 10 bulan robiul awal tersebut bertepatan dengan Lahirnya Nabi Muhammad SAW. Pada bulan tersebut, makam-makam yang dianggap keramat dipadati oleh para penziarah dengan berlatar belakang status sosial, bukan hanya dari kalangan masyarakat mampu saja, namun kalangan lapisan bawah pun memaksakan diri untuk mengikuti kegiatan tahunan ziarah tersebut.7 Beberapa fenomena yang terjadi di beberapa daerah dipulau Jawa tentang tradisi ziarah kubur misalnya, Pada malam 1 sura misalnya, banyak dijumpai pada sejumlah masyarakat yang mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sakral, yaitu Punden, makam, laut dan tempat-tempat lain yang dianggap keramat. Di tempat itu pula mereka terkadang melakukan upacara ritual pembakaran kemenyan untuk mengadakan pemujaan dan pengkultusan terhadap benda-benda keramat secara berlebihan. Bagi muslim yang taat di tempat itu mereka mengadakan bacaan-bacaan yasin, tahlil, istighosah maupun bacaanbacaan doa lain yang dianggap sebagai bacaan penting menurut mereka. Pada momentum itu, tanpa terkecuali muslim dari kalangan abangan, santri ataupun priyayi mereka senantiayasa meminta kekayaan, banyak rizqi, laris dagangannya, cepat mendapatkan jodoh dan sukses dari semua kebuTuhan hidupnya.8
7

Kompas, Dibalik Ritual Ziarah Kubur ada Bisnis yang Terselubung, http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/06/ , diakses pada tanggal 1 Juni 2012. 8 Roibin, Mitos dalam Tradisi Keagamaan Masyarakat Islam Kejawen, Implementasinya terhadap Perkembangan dan Dinamika Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, http://syariah.uinmalang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/, diakses pada tanggal 1 Juni 2012.

Tradisi ziarah kubur di masyarakat Desa Pekuncen Kabupaten Banyumas misalnya, terdapat terdapat makam kyai Bonokeling yaitu sebuah makam dari seorang tokoh spiritual yang diyakini sebagai tempat keramat. Keberadaan Kyai Bonokeling pada awalnya adalah dalam rangka among tani, yaitu babad alas untuk kepentingan membuka lahan pertanian baru didaerah tersebut. Kehadiran kyai Bonokeling di Pekuncen disamping membuka lahan pertanian juga menyebarkan keyakinan agama Islam dengan mengakomodasi berbagai tata nilai budaya lokal. Salah satu karakteristik yang menonjol dari tradisi yang ia kembangkan adalah tradisi selametan untuk berbagai kepentingan.9 Makam ini secara khusus dimaksudkan sebagai tempat orang yang meminta sesuatu sesuai dengan hajatnya, seperti penglaris supaya laris dagangannya, mudah mendapatkan jodoh, agar naik pangkat atau jabatan, minta kekayaan dan sebagainya. Baru-baru ini di Desa Pekuncen terjadi perhelatan demokrasi ala desa, yaitu pemilihan kepala desa dan menurut penuturan Kyai Wiryatpada dua calon kades tersebut juga sowan kemakam untuk dzikir memohon restu agar memenangkan proses pemilihan kepala desa. Bahkan, menurut penuturan kepala desa kedungringin, desa tetengga Pekuncen, sudah ada beberapa bakal calon bupati kabupaten Banyumas yang ziarah ke makam ini.10 Lain lagi dengan upacara tradisi yang berkembang dalam masyarakat di Jawa Tengah yang berhubungan dengan makam tokoh, kecenderungan upacara tersebut berhubungan dengan ulang tahun kematian (haul) dari tokoh yang dimakamkan dan upacara penggantian kelambu makam dari tokoh tersebut. Hampir sebagaian besar pengunjung upacara tradisi tersebut mencari tuah dan berkah dari tokoh yang di makamkan. Implementasi tuah tersebut disimbolkan dalam bentuk potongan kelambu makam, makanan yang menjadi sesaji, air dari pensucian pusaka (jamasan), dan lain sebagainya. Upacara tradisi di makam tokoh di wilayah kabupaten Grobogan dilaksanakan di makam Ki Ageng Selo yang merupakan upacara haul kematian beliau yang jatuh setiap bulan Syaban pada makam Ki Ageng Selo.11

Ridwan, dkk, Op.Cit, hal: 82. Ibid, hal: 108. 11 Endah Sri Hartatik, Upacara-Upacara Tradisi yang masih Berkembang di Masyrakat Seputar Makam Tokoh di Jawa Tengah, (Laporan hasil Penelitian, Diknas jawa Tengah, 2009), hal: 3.
10

Tradisi haul yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo erat berhubungan dengan tokoh kharismatik Ki Ageng Selo yang oleh masyarakat kabupaten Grobogan sebagai tokoh yang mampu menangkap petir. Keahlian beliau ini sampai sekarang masih diyakini kebenarannya. Masyarakat Grobogan sampai sekarang masih mengucapkan kalimat Cleret Putrane Ki Ageng Selo apabila ada petir pada waktu hujan deras. Dengan mengucap kalimat itu mereka percaya akan dilindungi dari ancaman sambaran petir ganas tersebut. Terlepas dari kebiasaan penduduk yang masih mempercayainya, ada tradisi yang masih berjalan sampai sekarang berhubungan dengan ulang tahun kematian beliau yang dilaksanakan setiap tanggal 15 malam 16 bulan Ruwah/ Syaban. Ulang tahun kematian beliau diperingati dengan jalan membaca Alquran dan tahlil secara bergantian di dalam masjid untuk mendoakan beliau. Pada masa sekarang puncak tradisi haul ini diakhiri dengan diadakan pengajian akbar dengan mengundang mubalig.12 Sejak dua tiga hari menjelang haul Ki Ageng Selo banyak masyarakat yang datang untuk berziarah ke makam untuk mendoakan beliau, biasanya orangorang dari luar kota. Mereka datang sambil menunggu puncak perayaan haul pada tanggal 15 dan 16 Syaban. Ziarah ini dipimpin oleh juru kunci makam dan biasanya dilanjutkan dengan melakukan tahlil di makam beliau dan lek-lekan bagi mereka yang ingin melakukannya. Pada saat inilah terjadi sinkretisme antara budaya Islam dan Hindu yaitu semedi dan membaca doa tahlil. Berdasarkan informasi dari juru kunci mereka yang melaksanakan ritual ini biasanya mempunyai keinginan sesuatu karena mereka percaya dengan berdoa di makam orang-orang suci doanya akan dikabulkan oleh Allah SWT. Sebagai bentuk kompensasi dari doa yang dikabulkan mereka akan dengan senang hati datang dan memberikan sumbangan pada waktu acara haul ini dilaksanakan. Tradisi ziarah kubur juga terjadi di Jawa Timur, seperti di daerah Gunung Kawi yang terletak di kabupaten Malang. Bagi sebagian penduduk kota Malang dan Jawa Timur, Gunung Kawi diyakini sebagai daerah tujuan wisata religius untuk mencari rezeki sekaligus kemakmuran. Gunung Kawi tak pernah sepi pengunjung. Di kaki gunung ini, tepatnya di tengah kota Kecamatan Wonosari,
12

Ibid, hal: 5.

Kabupaten Malang, terdapat pesarean (pemakaman) yang sangat terkenal, bahkan hingga ke mancanegara, yakni Pesarean Eyang Kyai Zakaria II atau Eyang Djoego dan Raden Mas Imam Soedjono atau Eyang Soedjo. Konon, keduanya adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro yang berhasil selamat dari peperangan melawan kompeni Belanda, dan kemudian menetap di Gunung Kawi hingga akhir hayatnya.13 Setiap hari makam ini tak pernah sepi pengunjung. Selain berziarah, para pengunjung umumnya mempunyai satu tujuan: ngalap berkah (mencari kemakmuran). Bahkan pada hari-hari tertentu jumlah pengunjung bisa berlipatlipat, mengikuti penanggalan Jawa dan China, seperti Jumat Legi, Hari Raya Imlek, dan perayaan Tahun Baru Jawa atau bulan Suro. Kebetulan di bulan yang diyakini sebagai bulan keramat, tepatnya tanggal 12 Suro, diperingati warga Wonosari sebagai haul (hari meninggalnya) Eyang Soedjo. Saat ngalap berkah, para peziarah biasanya menjalani ritual tertentu yang mereka yakini. Setelah itu mereka mencari tempat di sekitar kawasan Pesarean Gunung Kawi untuk menyepi. Yang paling menarik adalah berjibunnya pengunjung duduk di bawah pohon dewandaru. Konon, saat kepala kejaTuhan daun dewandaru, keinginan bisa terwujud. B. Ziarah Kubur Dalam Prespektif Islam Jawa Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Di antara tradisi dan budaya ini adalah keyakinan akan adanya roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib, keyakinan adanya dewa dewi yang berkedudukan seperti Tuhan, tradisi ziarah ke makam orang-orang tertentu, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk persembahan kepada Tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya permintaan tertentu. Untuk benar-benar mengetahui tujuan mereka yang tidak secara tekstual, namun secara nyata dilapangan, penyusun bertemu dengan SU (45), Ia terkenal dengan penganut islam yang mempunyai latar belakang islam abangan. Ia seorang
13

Fenomena Musyrik Pesugihan Gunung Kawi, http://www.fiqhIslam.com/index.php, diakses pada tanggal 1 Juni 2012.

yang sangat mengagumi sosok bung Karno. Dalam praktreknya, setiap jumat legi, ia selalu berusaha mengunjungi makam sosok yang dikaguminya tersebut. Ia mengaku, ketika berada di area makam adalah memang ngalap barokah dari yang ada didalam kubur. Menurutnya, dengan ia berkunjung ke makam tersebut, ia akan mendapat semangat baru untuk terus memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Dalam kunjungannya di makam bung karno, ia selalu membawa semacam sesajen, yang diakuinya sebagai bentuk seserahan kepada yang ada di dalam kubur. Namun, meskipun demikian, ia tetap yakin, bahwa yang membuat keputusan tetap Tuhan. Selain SU, penyusun juga bertemu dengan EN (53), ia menceritakan banyak hal tentang kepentingannya ketika berziarah kubur. Ia mengaku ketika berziarah kubur, ia hanya ngalap berkah dari tempat yang diakuinya sebagai tempat yang mustajab, untuk berdoa. Seperti ketika ia berdoa di depan makam Rosululloh di Madinah. Ia yakin, ketika ia berdoa ditempat tersebut, apa yang ia inginkan akan tercapai. Sehingga, ketika ia diberi kesempatan untuk berdoa ditempat tersebut, ia akan menyampaikan semua yang diharapkannya. Berbeda, ketika penyusun bertemu dengan Iks (34), ia memang termasuk orang yang masih percaya dengan adat jawa. Namun, dalam prakteknya, ketika ziarah kubur, ia lebih bertujuan pada keinginannya untuk mengingatkan kembali kepada kematian. Sehinga, ia mengaku ketika ziarah kubur tidak ada niatan untuk ngalap barokah atau berharap banyak supaya keinginannya tercapai. Dari fenomena diatas, penyusun menginterpretasikan bahwa mereka yang mengunjungi makam pada umumnya telah dilandasi dengan niat dan tujuan yang didorong oleh kemauan batin yang mantap. Masing-masing mempunyai motivasi yang belum tentu sama. Secara umum, motivasi ziarah ke makam tersebut sesungguhnya hampir sama, yaitu seputar untuk mendapat keselamatan, kesehatan, keberkahan, kesembuhan, ungkapan syukur, kemudahan rizki, jodoh, dan nasib baik. Meskipun demikian, masing-masing makam memiliki daya tarik sendiri, yang mana hal ini terkait juga dengan kecocokan para peziarah terhadap makam yang diyakini keramat tersebut. Tidak sedikit ditemukan bahwa motivasi para peziarah tidaklah tunggal, misalnya karena keinginan untuk sembuh saja, tetapi biasanya termasuk keinginan

10

banyak rizki, kesehatan, dan lain sebagainya. Bila dirinci secara detail, tujuan dan motivasi yang beragam tersebut selengkapnya adalah seperti tabel berikut14; Tabel 1: Tujuan dan Motivasi Ziarah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 TUJUAN DAN MOTIVASI Syukuran (secara umum) Sebagai bagian rutinitas keagamaan Bayar/memenuhi nazar Ngurisang (cukuran anak) Kelancaran rizki, usaha, panen Menambah semangat beribadah (taqarrub) Segera mendapatkan jodoh Ekspresi kecintaan/kebaktian pada tokoh Doa keselamatan dan kesehatan Sembuh dari sakit (minta kesembuhan) Doa menjelang keberangkatan haji Memperoleh barkah Mencari nasib baik Mencari pusaka/benda keramat, ilmu tertentu Mengingtkan pada kematian Ingin mendapatkan anak (laki-laki/perempuan) Supaya anaknya pintar dan tidak nakal Sekedar mampir (rasa ingin tahu)

Kunjungan masyarakat ke berbagai makam selalu disertai dengan tradisi dan ritual tertentu sesuai dengan kebiasaan masing-masing. Model ritual ini terkadang sangat mencolok berbeda antara satu orang dengan orang lain atau satu rombongan

14

Ahmad Amir Aziz, dkk, Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok), (Jurnal Penelitian Keislaman,Vol. 1. No. 1, Desember: 2004), hal: 13-14

11

dengan rombongan lainnya. Semuanya tergantung pada kebiasaan secara turun temurun atau keyakinan yang pada pada masing-masing pihak. Dalam ziarah kubur masyarakat melakukan berbagai ekspresi acara dan ritual yang berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain atau satu rombongan dengan rombongan lainnya. Banyak ritual yang disemangati oleh ajaran Ulama, namun tidak sedikit yang merupakan warisan leluhur adat yang terwarisi secara turun temurun. Bahkan, hingga taraf tertentu ada ritual yang tidak jelas asal usulnya dan kapan dimulainya, dan anehnya, masih dilangsungkan secara massif. Contohnya adalah membuat ikatan di pohon yang banyak terjadi di makam. Secara umum bentuk-bentuk ritual para peziarah dapat dilihat dari tabel berikut;15 Tabel 2: Bentuk Ritualisme Penziarah NO BENTUK RITUALISME 1 2 3 4 5 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Tabur kembang (nyekar) Menaruh sesaji Usap wajah/kepala dengan air Menaruh air di makam dan membawa pulang Membuat ikatan di pohon Membuat tulisan/buhul di kelambu Ngurisan/srakalan Dzikir dan tahlil Bertapa/menjalankan amalan Syukuran (makan-makan) Mengisi kotak amal Membawa pulang sejimpit tanah Minta doa juru kunci Mengikat uang di kelambu

Ramainya para pengunjung ke makam orang-orang shaleh menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai kepercayaan khusus. Kepercayaan itu biasanya berpangkal dari keyakinan tentang kekeramatan (karmah) dari pribadi yang
15

Ibid, hal:15

12

dimakamkan. Seperti kata Geertz, agama merupakan sebuah sistem kebudayaan, karena itu agama berpusat pada pikiran dan perasaan manusia yang selanjutnya dijadikan acuan melakukan tindakan, juga untuk menafsirkan realitas yang dihadapinya. Sedangkan untuk pola kepercayaan para peziarah, berdasarkan temuantemuan dalam tradisi para penziarah muslim jawa, dapat ditipologikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, tradisionalisme Islam. Dalam hubungan ini, mereka mengakui pentingnya intensitas hubungan dan kontak spiritual dari orang yang masih hidup kepada mereka yang sudah meninggal. Bagi kalangan peziarah dalam aliran ini, sistem kepercayaan yang diyakininya adalah bahwa yang dilakukan di makam ini adalah mendoakan kepada arwah yang dimakamkan di sini. Tokoh yang dimakamkan patut didatangi kubur/makamnya karena mereka adalah Ulama (bahkan wali) yang memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan mereka juga memiliki jasa besar dalam pengembangan Islam. Inilah argumentasi pokok dari keyakinan kepercayaan mereka. Sebagian lain menegaskan, kepercayaan yang mereka anut bahwa orang yang masih hidup perlu menunjukkan bukti kebaktian, penghormatan dan kecintaan kepada mereka yang sudah meninggal seperti halnya anak mendoakan orang tua yang meninggal atau embahnya dan lainnya. Pola kepercayaan peziarah yang kedua disebut sebagai model kepercayaan mistis. Ciri kepercayaan ini menekankan aspek kekayaan bathin dan kekuatan supranatural dengan tanpa didasari alur logika. Sebagai contoh, prilaku peziarah yang mengkultuskan makam dengan cara membuat tali/simpul/buhul sebagai jimat, meyajikan sejaji di depan makam yang diyakininya sebagai syarat terkabulnya permohonan sesungguhnya merupakan gambaran/potret kepercayaan yang berbau mistis. Ikatan yang dibuat dimaksudkan sebagai tanda bahwa seseorang talah hadir di makam dan menyatakan permohonannya. Model ini seperti halnya kepercayaan kuno dalam komunikasi antara manusia dengan dewa. Dalam perspektif teologi tradisional, model kepercayaan ini patut dipandang keluar dari ajaran islam atau mendekati ke arah syirik. Model kepercayaan ketiga, dapat disebut sebagai pola kepercayaan rasional. Model ini dianut oleh para peziarah yang memandang kekeramatan makam sebagai hal yang biasa, bukan luar biasa, yang mana kita cukup menghormatinya saja

13

dengan penghormatan yang wajar tanpa melibatkan emosi keagamaan yang berlebihan. Kelompok ini sama sekali tidak meyakini makam-makam dan berbagai instrumen kekeramatannya sebagai benar-benar manjur misalnya untuk penyembuhan penyakit dan sarana mempercepat terkabulnya keinginan, namun hanya sebagai symbol belaka yang mana fungsinya hanyalah sebatas sebagai sugesti. Bagi kalangan ini, yang membuat doa terkabul hanya Allah SWT semata yang disertai usaha yang dilakukan.16 C. Ziarah Kubur Dalam Pandangan Ulama 1. Pendapat Syekh Ibnu Taimiyah Syekh Ibnu Taimiyah mempunyai pendapat bahwa berpergian menuju kuburan Nabi Muhammad SAW. tanpa mengunjungi Masjid Nabawi, ia kembali mengatakan: Pertentangan ini, dan yang sepertinya, membuat mereka (sebagian kaum muslimin) beranggapan bahwa berkunjung atau berpergian menuju kuburan para nabi itu sebagai satu bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian ketika mereka melihat dan memahami apa yang disebut oleh para ulama mengenahi sunatnya ziarah ke kubur Nabi kita, mereka menduga semua kuburan lainnya pun berhak dikunjungi sebagaimana terhadap kuburan Nabi Muhammad SAW. Mereka tersesat, karena beberapa alas an berikut : pertama, bahwa safar ke makam Nabi Muhammad SAW adalah safar ke masjidnya (Masjid Nabawi). Hal itu dihukumi sunnat (mustahabb) menurut nash dan ijmak. Kedua, bahwa safar atau ziarah yang diperbolehkan adalah safar untuk (menuju) masjid ketika Rasulullah SAW masih hidup dan setelah beliau dikebumikan, serta sebelum masuk ke kamar di dalam masjid, juga setelah masuk kamar di dalam masjid. Jadi, safar tersebut adalah safar menuju masjid, baik didalam masjid itu ada kuburan Nabi maupun tidak ada. Oleh sebab itu, safar seperti ini tidak dapat diserupakan dengan safar ke kuburan belaka. Yang ketiga, safar (berkunjung) ke masjid Nabi-yang disebut safar atau berziarah menuju kuburannya-termasuk yang disepakati kaum muslimin setiap generasi; sedangkan berkunjung ke kuburan-kuburan
16

Ibid, hal:16-17

14

lainnya tidak dikenal dikenal dikalangan sahabat ataupun tabiin bahkan atba tabiin sekalipun17. Begitu juga Syekh Ibnu Taimiyah melarang untuk membiasakan berdoa di depan kuburan, ataupun kuburan untuk berdoa di depan atau di dekatnya dengan keyakinan doanya pasti dikabulkan jika dilakukan kesana. Atau, jika merasakan bahwa berdoa di dekat kuburan lebih mungkin (dan lebih cepat) dikabulkan daripada di tempat lain. Adapun jika seorang Muslim sedang berjalan dan kebetulan lewat kuburan lalu berdoa disana, atau ia menziarahi kuburan lalu mengucapkan salam kepada ahli kubur dan berdoa di tempat itu, maka ia tidak mesti harus menghadap kiblat. Dan ia tidak dianggap sebagai pelaku syirk atau bidah. Berikut ini teks perkataan Syekh Ibnu Taimiyah berkenaan dengan larangaan berdoa di depan kuburan, dalam kitab Iqtidha Al-shirath AlMustaqim halam 336, ia mengatakan: Di antara yang termasuk dalam kategori ini adalah menuju kuburan untuk berdoa disisinya atau padanya (inda al-qabri au li-al-qabr). Sesungguhnya berdoa di sisi (dekat) kuburan dan tempat-tempat lainnya itu terbagi atas dua macam. Pertama, boleh jadi berdoa disuatu tempat hanya karena kebetulan; bukan disengaja untuk berdoa disana. Misalnya, orang yang berdoa di perjalanan dan kebetulan ia sedang melewati kuburan; atau orang yang mengunjungi kuburan lalu ai mengucapkan salam kepada ahli kubur sambil memohon kesejahteraan kepada Allah baginya dan bagi yang telah mati.sebagaimana disebutkan dalam sunnah Nabi Muhammad SAW yang demikian ini tidak apa-apa. Kedua, banyak atau sering berdoa di dekat kuburan sehingga merasakan (menganggap) berdoa dekat kuburan itu lebih cepat dikabukan daripada di tempat lain. Pemahaman seperti ini jelas dilarang (manhi anh), baik dilarang karena haram (nahyu tahrim) maupun dilarang untuk penyucian hamba Allah (nahyu tanzih). Tampak indikasi untuk diharamkan lebih dekat karena perbedaan di antara keduanya amat jelas.
17

Muhammad Al-Maliki Al-hasani, Mafahim Yajib An Tushahhah (terjemahan; Tarmana Abdul Qasim, Meluruskan Kesalapahaman, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hal; 53-54

15

Seandainya seorang muslim membiasakan berdoa dekat berhala, atau dekat salib, atau (di dalam) gereja dengan harapan doanya dikabulkan di tempat-tempat tersebut, maka itu termasuk dosa besar (min al-izham), dan jika seseorang menuju suatu rumah atau suatu took di pasar atau di pojok-pojok jalan seraya berdoa di sana dengan harapan segera terkabul doanya, tentu perbuatan itu termasuk kemungkaran yang diharamkan. Sebab, berdoa di tempat-tempat seperti itu tidak mengandung kemuliaan atau keutamaan. Jadi, menuju kuburan untuk berdoa disana termasuk yang diharamkan; bahkan lebih dilarang daripada tempat lain. Sebab Nabi Muhammad SAW pun telah melarang pembuatan masjid dikuburan atau menjadikan kuburan sebagai masjid. Rasulullah SAW juga melarang berpesta di kuburan. Beliau juga tidak menyetujui melakukan salat di kuburan; berbeda dengan tempat-tempat lainnya.18 2. Pendapat Kaum Hanabilah Berziarah ke (makam) Nabi Muhammad SAW itu disyariatkan dalam Islam.hal ini telah dibahas oleh para ulama, khususnya para imam mujtahid dari kaum salaf.sedangkan penyebutkan kaum hanabilah, secara khusus, disini bertujuan untuk menolak kedustaan sebagian kaum muslimin yang menuduh kaum hanbaliah tidak mempunyai pendapat yang jelas berkenaan dengan masalah ziarah ke (makam) Nabi Muhammad SAW. Itulah yang mendorong saya untuk mengungkapkan pendapat mereka secara khusus, demi menolak anggapan negative dan dusta tersebut. Ketahui pula, sesungguhnya kitab-kitab fikih Islam-berdasarkan berbagai mazhab semuanya membahas masalah ini. 3. Pendapat Imam Malik Imam malik termasuk di antara kaum muslimin yang paling mencintai Nabi Muhammad SAW dan apa yang berkaitan denganya. Bahkan, ia tidak berani berjalan-jalan di kota madinah dengan memakai sandal (sepatu) apalagi
18

Ibid, hal; 85-87

16

berkendaraan; lebih-lebih buang air besar disana. Hal ini beliau lakukan demi menghargai, memuliakan, dan mengagungkan tanah kota Madinah yang pernah menjadi wilayah yang dilalui Nabi Muhammad SAW dengan berjalan kaki. Imam malik begitu mencintai dan mengagungkan kota Madinah. Ia bahkan tidak suka mendengar kata-kata: Kami berziarah (mengunjungi) kuburan Nabi Muhammad SAW. Ia seakan lebih suka jika orang berkata: Kami menziarahi Nabi Muhammad SAW; tanpa menyertakan kata-kata al-qabr (kuburan). Sebab kata-kata al-qabr sendiri termasuk yang mahjur terlarang-berkonotasi negative- sebagaimana disabdakannya: Lakukanlah salat di rumahmu, dan janganlah kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan. Jadi, Imam Malik ingin meluruskan penisbatan (idhafat) kata ziarah kepada kata kuburan dan menghindari penyerupaan atau peniruan terhadap kaum musyrikin. Hal ini dilakukan untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Walhasil,jika kalau yang dimaksud Imam Malik adalah ketidaksukaannya terhadap ziarah kubur, ia akan berkata, Aku tidak suka orang yang mengunjungi (berziarah) kuburan Nabi Muhammad SAW. Ternyata tidak, yang ia ucapkan adalah, Aku tidak suka seseorang mengatakan. Jadi jelas, beliau hanya tidak suka terhadap penggunaan kata-kata yang tidak etis saja19. 4. Syaikhul Islam Syekh Majduddin Muhammad bin Yaqub AlFairuzabadi Syekh Majduddin mengatakan, dalam kitabnya, Al-Shilat wa Albasyar, Ketahuilah, membaca shalawat dekat makam Nabi Muhammad SAW itu sangat bagus (akid). Maka disunatkan memperdayakan orang yang berpergian (melakukan safar) untuk mendapatkan keuntungan dengan kemulian yang agung dan kedudukan yang mulia ini. Al-Qadhi Ibnu Kaj (Al-Qadhi Yusuf bin Ahmad bin Kaj) mengatakan tentang apa yang
19

Ibid, hal; 58-59

17

dihikayatkan oleh Al-Rafii: Jika seorang bernazar untuk berziarah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Maka, menurutku, itu mesti dipenuhi- ini satu pendapat yang tidak ada pilihan lain.sedangkan jika seseorang bernazar untuk berziarah ke makam selain makam Nabi, menurutku, disitu ada dua kemungkinan pendapat. Tetapi, sebagaimana telah diketahui, tidak mesti (memenuhi) nazar kecuali jika berupa ibadah. Di antara yang menyatakan secara terang-terangan suka (mustahabb) berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW dan menjadikan sunnat di antara sahabat kami dari al-syafiiyah adalah Al-Rifii.Ia menegaskan hal itu di akhir bab Amal Al-Hajj dan Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, Al-Baghawi dalam Al-Tahdzib, Syekh Izzuddin bin Abdussalam dalam Manasik-nya; juga Abu Amr bin Shalah serta Abu Zakariyah Al-Nawawi. Adapun dari kaum Hanbaliah adalah Syekh Muwaffiquddin dan Imam Abu Al-Faraj Al-Bagdadi dan selain keduanya. Dari kaum Hanafiah adalah penulis Al-Ikhtiyar fi Syarh Al-Mukhtar Lah. Ia membuat satu fasal mengenai ziarah (ke makam Nabi Muhammad) seraya menganggapnya sebagai ibadah sunnat (mandub) yang paling utama. Sementara dari kaum Malikiah - menurut riwayat Al-Qadhi Iyadhtelah terjadi kesepakatan di antara mereka atas disunatkan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Bahkan dalam kitab Tahdzib Al-Thalib karya Abdul Haqq Al-Shaqli- dari Syekh Abu Imran Al-Maliki- disebutkan bahwa ziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW itu wajib. Abdul Haqq mengatakan; maksudnya, termasuk diantara sunnah yang wajib. Sedangkan dalam perkataan Al-Abdi Al-Maliki, sebagaimana disebutkan dalam syarah Al-Risalah: Berjalan menuju kota Madinah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW itu lebih utama daripada berjalan menuju kabah atau menuju Baitul Maqdis. Kebanyakan istilah atau ungkapan para fuqaha, tokoh mazhab,mengindikasikan perlunya safar atau berpergian untuk berziarah. Mereka menyukai bagi setiap yang melakukan ibadah haji untuk berziarah, yang diantara urgensi/kebuTuhannya adalah al-safar, berpergian.

18

Mengenai ziarah itu sendiri, dalil-dalinya sangat banyak; di antaranya firman Allah SWT.: Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya dating kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rosul memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. 4:64). Satu hal yang pasti, bahwa Nabi Muhammad SAW itu hidup, bahwa amal-perbuatan umatnya akan diperlihatkan (dilaporkan) kepadanya. Kemudian Syekh Mujduddin menyebutkan sejumlah hadits mengenai ziarah. Demikian dipaparkan Syekh Majduddin dalam Al-Shilat wa Al-Basyar fi Al-Shalat ala Khayr Al-Basyar halaman 147. D.Tanggapan dan Solusi Dalam Ziarah Kubur di Jawa Sebagaimana yang telah kami paparkan di atas bahwasanya masalah ziarah kubur adalah ikhtilaf diantara kalangan ulama, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarang. Adapun kalangan yang melarang dikarenakan kekhawatir kepada para muslimin meminta kepada ahli kubur dan menyakini doanya dikabulkan, sebagaimana pendapat Syekh Ibnu Taimiyah, tapi mayoritas ulama tidak melarang ziarah kubur atau berpergiaran ziarah ke makam-makam orang sholeh dengan niatan bukan meminta kepada ahli kubur tapi dengan maksud untuk mendoakan ahli kubur dan mengirim pahala atas bacaan ayat-ayat al-Quran dan kalimahkalimah thayyibah, seperti tahlil, tahmid, tasbih, shalawat dan lain-lain. Mereka berlandasan dengan hadis riwayat Ahmad, Muslim dan Ashhabussunna dari Abdullah bin Buraidah yang diterima dari bapak bahwa Nabi SAW bersabda:

) (
Dahulu saya melarang menziarahi kubur, adapun sekarang berziaralah ke sana, karena yang demikian itu akan mengingatkanmu akan hari akhirat. (HR. Ahmad, Muslim dan Ashhabussunna)20.

20

M. Afnan Chafidh,dkk, Tradisi Islami, Surabaya: Khalista, 2006, hal: 230 dan Muhyiddin abdul syomat, Al-hujjah Al-qothiyah fi shihah Al-muqtaqidat wa Al-amaliyat, Surabaya: Khalista, 2007, hal: 138

19

Diperkuat lagi, bahwa Nabi SAW memberi tauladan dengan melakukan ziarah ke makam syuhada, yang kemudian diikuti oleh Syayidina Abu Bakar RA, Syayidina Umar RA dan Syayidina Utsman RA. Dalam, kesempatan lain, yaitu saat peristiwa fath al-Makkah, beliau juga menziarahi kuburan ibunya. Begitu juga dengan Aisyah RA yang berziarah ke kuburan saudaranya, Abdurrahman bin Abu Bakar. Ibnu Umar berziarah ke makam ayahnya, Syayidina Umar bin Khathtab. Bahkan, disetiap hari jumat, Fatimah binti Muhammad SAW rutin berziarah ke makam pamanya, Hamzah.21 Salah satu tradisi yang identik dengan mayoritas Muslim Indonesia adalah ziarah kubur khususnya di jawa, para muslimin beramai-ramai mengunjungi makam-makam orang sholeh yang dikramatkan atau tokoh-tokoh sejarah yang telah berjasa dalam penyebaran Islam seperti wali sanga atau tokoh yang ada di tempat tinggal meraka. Adapun tujuan para peziarah mendatangi makam-makam tersebut sangat beragam, ada yang karena ingin kesembuhan dari suatu penyakit, keinginan segera menemukan jodoh, berharap mendapat rezeki melimpah, minta laris usaha perdagangan/bisnis, ingin terbebas dari mara bahaya, sebagai bagian rutinitas keagamaan,memenuhi nazar, ekspresi kecintaan/kebaktian pada tokoh, memperoleh barakah, mencari pusaka/benda keramat, ilmu tertentu dan lain sebagainya. Semua itu mereka lakukan karena keyakinannya akan kekeramatan makam-makam tersebut. Sehingga, bila kita cermati, secara teologis keyakinan keimanan para peziarah masih ambivalen, campur-aduk, dan tidak murni. Tentang ziarah kubur, satu sisi mereka menyatakan ketauhidannya secara mutlak akan tetapi di sisi lain mereka menyimpan kepercayaan-kepercayaan tertentu terhadap makam-makam yang dianggap keramat tersebut untuk keberhasilan maksud dan tujuan yang mereka inginkan. Sehingga apabila mereka melakukan ziarah ke makam-makam kuno yang diyakini masyarakat luas sebagai tempat-tempat keramat, maka niatan mereka bisa jadi tetap berada pada garis yang lurus (benar), atau mungkin juga telah terjadi penyimpangan sehingga dapat membahayakan kemurnian tauhid mereka karena dalam ritualnya terjadi tumpang tindih antara hal-hal yang berasal dari religi dan dari tradisi.

21

Forum Karya Ilmiah (FKI) Tahta pesantran Lirboyo, Kajian Pesantren Tradisi dan Adat Masyarakat Menjawab Vonis Bidah, (Kediri: Pustakan Gudang Lama, 2010), hal:67.

20

Banyak ritual yang disemangati oleh ajaran Ulama seperti membaca alQuran, dzikir dan tahlil kalimah-kalimah tayyibah dan lain-lainya, namun tidak sedikit yang merupakan warisan leluhur adat yang terwarisi secara turun temurun seperti, menaruh sesaji, membuat tulisan/buhul di kelambu, menaruh air di makam dan bawa pulang, dan lain-lainnya. Bahkan, hingga taraf tertentu ada ritual yang tidak jelas asal usulnya dan kapan dimulainya, dan aneh22. Dalam menanggapi fenomena-fenomena baru dalam masyarakat seperti halnya pertumbuhan budaya yang tidak didapati hukumnya didalam islam. Para pemuka dalam hal ini menggunakan dua jalan. Pertama, adanya jalan kemaslahatan semata, seperti ditempuh oleh imam al-tufi, yaitu asal pertumbuhan budaya itu memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, maka dapat diterima oleh islam. Kedua, dengan melihat persesuaian budaya dengan syariat islam, seperti ditempuh oleh Imam al-Syatibi, bahwasanya apabila pertumbuhan budaya itu berguna bagi moral, jiwa, akal, harta dan keturunan, maka budaya itu bisa diterima. Namun, apabila bertentangan dengan syariat maka harus ditolak.23 Oleh sebab itu, ketika ada sebuah budaya atau tradisi yang berkembang di tengah masyarakat khusus ritual-ritual pada ziarah kubur yang bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam, maka diperlukan filter yang jelas agar budaya dan agama dapat beriringan menuntun masyarakatnya kearah yang benar. Yaitu Filter Akidah dan Filter Amaliyah. Filter Akidah menjadi faktor utama karena merupakan dasar keimanan pelaku budaya dan Filter Amaliyah merupakan penjelas suatu budaya bisa menemukan legalitasnya atau tidak. Untuk mempratekkan filter akidah, kita harus memahami sebelum budaya atau tradisi dilegalitaskan dalam agama Islam, perlu dikenalkan lebih dahulu keyakinan
1.

para

pelaku-nya

atas

hokum

kausalitas

(sebab-akibat),

yang

diklasifikasikan menjadi 4 (empat) macam24: Pelaku yang menyakini sebuah sebab bisa menghasilkan akibat tanpa campur tangan Allah SWT bias membakar dan makanan dengan sendirinya tanpa campur tangan Allah SWT bisa mengenyangkan, maka ia secara ijma, telah dinilai keluar dari agama islam.
22
23

Ahmad Amir Aziz, dkk, Op.Cit, hal: 14 Abdul Karim, Islam Nusantara, (Yoyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007). Hal :177 24 Forum Karya Ilmiah (FKI) Tahta pesantran Lirboyo, Op.Cit, Hal : 309

21

2.

Pelaku yang menyakini sebuah sebab bisa menghasilkan akibat dengan kekuatan (rahasia) yang Allah ciptakan pada sebab tersebut. Seperti seseorang yang menyakini bahwa api bias membakar dengan kekuatan yang Allah ciptakan padanya dan makanan bisa mengenyangkan dengan kekuatan yang Allah ciptatakan padanya. Merujuk pendapat Ashah , ia tidak dihukumi kafir, namun termasuk orang fasiq dan ahli bidah.

3.

Pelaku yang menyakini bahwa relasi (hubungan) antara sebab dan akibat bersifat mutlak, tidak terbantahkan dan pasti tidak meleset (talazum aqli), namun meyakini pula bahwa semuanya terjadi atas tekdir Allah SWT. Seperti seseorang yang meyakini bahwa kebakaran atau rasa kenyang tergantung dengan api dan makanan, bila api dinyalakan dan didekatkan pada kertas misalnya, maka pasti akan membakarnya dan bila seseorang makan ia akan kenyang, namun ia masih meyakini bahwa semuanya tidak keluar dari takdir Allah SWT. Orang yang berkeyakinan semacam ini dikatagorikan sebagai orang yang bodoh dalam akidahnya.

4.

Pelaku yang menyakini bahwa relasi sebab akibat tidak bersifat mutlak, bisa terbantahkan dan bisa meleset (talazum adi). Semua kebaikan dan keburukan hanya tergantung pada takdir Allah SWT. Seperti seseorang yang menyakini bahwa memang pada umumnya api bisa membakar dan makan bisa mengenyangkan, namun tetap menyakini bahwa pada hakikatnya keduanya hanyalah sebuah sebab yang bisa saja meleset dari kebiasaannya, yang menentukan kebakaran dan rasa kenyang hanyalah Allah SWT, maka ia dinilai sebagai seorang mukmin yang lurus akidanya. Pentingnya pemahaman tentang hukum kausalitas di atas adalah untuk

menyikapi kenyakinan masyarakat atas budaya atau tradisi mereka yang cukup bervariasi. Semisalnya dalam ziarah kubur mereka masih banyak berkenyakinan bahwa dengan berdoa disana bisa terkabulkan atau dengan membawa air diletakkan dikuburan nanti bisa menyembuhkan penyakit atau menjadi sehat. Sedangkan maksud dari filter amaliyah adalah seleksi atau penilaian pada suatu budaya, apakah budaya tersebut bisa ditolelir atau tidak. Bila suatu budaya mau tidak mau (lazim) pasti mengandung larangan agama seperti pemyia-nyiaan harta, maka budaya tersebut tidak layak dilestarikan. Sementara bila larangan

22

agama tersebut masih bisa dihindari (tidak lazim), maka sebisa mungkin larangan agama itu dihindari, sehingga kebudayaan juga bisa dijadikan alat untuk menyebarkan agama islam25.

25

Ibid, Hal :315

23

BAB III KESIMPULAN Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwasanya ziarah kubur merupakan proses akulturasi budaya jawa dan agama islam. Kepercayaan masyarakat Jawa-Hindu masih terbawa hingga saat ini, meskipun sudah mayoritas agama di Indonesia adalah islam. Salah satu tradisi yang identik dengan mayoritas Muslim Indonesia adalah ziarah kubur khususnya di jawa, para muslimin beramairamai mengunjungi makam-makam orang sholeh yang dikramatkan atau tokohtokoh sejarah yang telah berjasa dalam penyebaran Islam seperti wali sanga atau tokoh yang ada di tempat tinggal meraka. Adapun tujuan para peziarah mendatangi makam-makam tersebut sangat beragam; sehingga memunculkan pola kepercayaan para penziarah muslim jawa terhadap kekeramatan makam tidaklah bersifat tunggal. Banyaknya ragam tujuan dan harapan dari ziarah kubur tersebut, menjadikan terbentuknya bebrapa kelompok. Yang pertama adalah kelompok tradisionalisme islam. Dalam hubungan ini, mereka mengakui pentingnya intensitas hubungan dan kontak spiritual dari orang yang masih hidup kepada mereka yang sudah meninggal. Selanjutnya, ada kelompok penganut kepercayaan mistis. Ciri kepercayaan ini menekankan aspek kekayaan bathin dan kekuatan supranatural dengan tanpa didasari alur logika. Yang terakhir adalah kelompok yang mengedepankan rasional, model ini dianut oleh para peziarah yang memandang kekeramatan makam sebagai hal yang biasa, bukan luar biasa, yang mana kita cukup menghormatinya saja dengan penghormatan yang wajar tanpa melibatkan emosi keagamaan yang berlebihan Masalah ziarah kubur adalah ikhtilaf diantara kalangan ulama, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarang. Adapun kalangan yang melarang dikarenakan kekhawatir kepada para muslimin meminta kepada ahli kubur dan menyakini doanya dikabulkan, sebagaimana pendapat Syekh Ibnu Taimiyah, tapi mayoritas ulama tidak melarang ziarah kubur atau berpergiaran ziarah ke makammakam orang sholeh dengan niatan bukan meminta kepada ahli kubur tapi dengan maksud untuk mendoakan ahli kubur dan mengirim pahala atas bacaan ayat-ayat

24

al-Quran dan kalimah-kalimah thayyibah, seperti tahlil, tahmid, tasbih, shalawat dan lain-lain. Banyak cara untuk menyeimbangkan antara adat istiadat dan ajaran islam, sehingga kita tidak terrjurus terhadap fanatisme salah satu diantranya. Salah satunya adalah dengan menggunkan filter akidah dan amaliyah. Filter Akidah menjadi faktor utama karena merupakan dasar keimanan pelaku budaya dan Filter Amaliyah merupakan penjelas suatu budaya bisa menemukan legalitasnya atau tidak.

25

Daftar Pustaka Afriadi, Yusuf . Ziarah Kubur. http://yusufafriadi.blogspot.com/2012/05/ziarahkubur.html, diakses pada tanggal 1 juni 2012. Al-hasani, Muhammad Al-Maliki. 2002. Mafahim Yajib An Tushahhah (terjemahan; Tarmana Abdul Qasim, Meluruskan Kesalapahaman. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Aziz, Ahmad Amir ,. Dkk. Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok), (Jurnal Penelitian Keislaman,Vol. 1. No. 1, Desember: 2004) Chafidh, M. Afnan ,. Dkk. 2006. Tradisi Islami, Surabaya: Khalista. Fenomena Musyrik Pesugihan Gunung Kawi, http://www.fiqhIslam.com/index.php, diakses pada tanggal 1 Juni 2012. Forum Karya Ilmiah (FKI) Tahta pesantran Lirboyo. 2010. Kajian Pesantren tradisi dan adat masyarakat, Menjawab Vonis Bidah. Kediri: Pustakan Gudang Lama. Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. Hartatik, Endah Sri. 2009. Upacara-Upacara Tradisi yang masih Berkembang di Masyrakat Seputar Makam Tokoh di Jawa Tengah. Laporan hasil Penelitian: Diknas jawa Tengah. Karim, Abdul. 2007. Islam Nusantara. Yoyakarta: Pustaka Book Publisher. Kompas. Dibalik Ritual Ziarah Kubur ada Bisnis yang Terselubung, http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/06/. diakses pada tanggal 1 Juni 2012. Ngashim, Aziz Abdul . Nyekar Yang Berakar Telaah Arah dan Sejarah Ziarah, http://filsafat.kompasiana.com/2011/08/02/. diakses pada tanggal 1 Juni 2012. Ridwan, Suwito NS, dkk,. 2008. Islam Kejawen Sistem Keyakinan dan Ritual Anak Cucu Ki Bonokeling. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press. Roibin. Mitos dalam Tradisi Keagamaan Masyarakat Islam Kejawen, Implementasinya terhadap Perkembangan dan Dinamika Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia. http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blogfakultas/, diakses pada tanggal 1 Juni 2012. Syomat, Muhyiddin Abdul. 2007. Al-hujjah Al-qothiyah fi shihah Al-muqtaqidat wa Al-amaliyat, Surabaya: Khalista.

You might also like