You are on page 1of 56

KEJAKSAAN NEGERI YOGAYAKARTA Jalan Sukonandi No. 6 Yogyakarta Telp.

(0274) 512521

PENUNTUTAN DAN PENEGAKAN HUKUM


(Disampaikan dalam acara DIKLATSARKUM XI PSKH
Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,10 Maret 2012 )

A. Sejarah Singkat Kejaksaan RI.


Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah lama ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan HinduJawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.

Pada masa pendudukan Belanda, badan

yang ada relevasinya dengan jaksa dan kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang memerintahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier Van Justitie di dalam siding Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten Residen

Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difingsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintahan zaman pendudukantentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No. 3/1942, No. 2/1944 dan No. 49/1944. Eksistensi Kejaksaan itu berada pada semua jenjang Pengadilan, yakni sejak Saikoo Hooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooin(Pengadilan Tinggi) dan Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri)

Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap

dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk badan-badan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku. Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945.

Undang Nomor 15 tahun 1961 Ketentuan-Ketentua

Pokok Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat Negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (Pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan Kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.

Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang

menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, tentang Kejaksaan Repunlik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1991 tertanggal 20 November 1991

Masa reformasi Undang-Undang tentang Kejaksaan

juga mengalami perubahan, yaknidengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa Kejaksaan R.I. dalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang .

Tugas dan Kewenangan Kejaksaan berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Pasal 30 :

(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan bersyarat;

d. Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana

tertentu berdasarkan Undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan penyidik.

(2) Di bidang perdata dan tata

usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam meupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum,

Kejaksaan turut menyelengarakan kegiatan : a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengamanan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara; e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.

Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004

menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak larena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri

Pasal 32 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tersebut

menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserhi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hokum dan keadilan serta badan egara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memeberikan pertimbagan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya

Penyidikan;
Pengertian Penyidikan berdasarkan pasal 1 Ayat (2)

KUHAP : Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Siapa yang berwenang sebagai

Penyidik; Berdasarkan pasal 1 angka 1 KUHAP : Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan.

Kewenangan penyidik Pasal 7 :


a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya

tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Apakah Jaksa sebagai Penyidik Tindak pidana Korupsi ?


Apabila mengacu pada pasal 1 angka (6) KUHAP maka

Jaksa adalah a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 284 KUHAP


(2) Dalam waktu dua tahun setelah undang undang ini

diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.

Periode

1941-1971, Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan (termasuk di dalamnya perkara tindak pidana korupsi atau sejenisnya). Berdasarkan HIR, Kejaksaan mempunyai wewenang penyidikan lanjutan dan sekaligus berwenang melakukan upaya paksa untuk kepentingan penyidikan, bahkan berfungsi sebagai koordinator penyidik.

Pasal 2 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1961 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan yang menyatakan Dalam melaksanakan ketentuanketentuan dalam pasal 1, Kejaksaan mempunyai tugas: mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara, maka Kejaksaan masih berfungsi sebagai koordinator penyidik

berdasarkan UU No. 24/prp/1960 tentang Pengusutan, Penunututan

dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan mempunyai wewenang melakukan penyidikan dan penuntutan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 UU No. 24/Prp/1960.

Bahwa UU 31/1999 tidak memberikan kewenangan

penyidikan tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan. Tidak ada pasal secara tegas menyatakan bahwa kejaksaan mempunyai kewenangan dalam melakukan penyidikan. Namun, ada setidaknya 3 Pasal dalam UU 31/1999 yang ditafsirkan bahwa Kejaksaan masih mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 39:

Pasal 26 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undangundang ini. Pasal 27 Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Pasal 39 Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan Penyelidikan, penyidikan, dan penuntut tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.

Beberapa

ketentuan UU 30/2002 yang mengganggap kejaksaan masih mempunyai kewenangan penyidikan antara lain terlihat dalam Pasal 44 ayat (4), (5) dan Pasal 50 ayat (1), (2), (3) dan (4), dan Penjelasan Umum.

Pasal 44 ayat (4) UU 30/2002: Dalam hal Komisi

Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan. Pasal 44 ayat (5) UU 30/2002 Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 50 ayat (1) UU 30/2002 Dalam hal suatu tindak

pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. Pasal 50 ayat (2) UU 30/2002 Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 50 ayat (3) UU 30/2002 Dalam hal Komisi

Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Pasal 50 ayat (4) UU 30/2002 : Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.

Pasal 30 ayat (1) huruf d UU 16/2004 yang

menyatakan Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: d) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, berdasarkan undang-undang. Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d menyatakan Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

YUDICIAL REVIEW
(Sekarang proses Yudicial Review yang diajukan oleh

M. ZAENAL ARIFIN dan Pemohon lain Iwan Budi Santoso dan Ardion Sitompul dalam perkara nomor 16/PUU-X/2012, dalam sidang pendahuluan Jumat (17/2) di ruang sidang MK. Selain Zainal, mereka berprofesi sebagai advokat. Dalam hal ini, para Pemohon menguji Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 39 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor, serta Pasal 44 ayat (4), (5), Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UU No. 30/2002 tentang KPK).

Surat Dakwaan
Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat

rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi Hakim dalam pemeriksaan perkara di muka sidang Pengadilan. Pemeriksaan sidang tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan.

Surat Dakwaan;
Pasal 140 KUHAP
(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa

dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan

Pasal 141 KUHAP


Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara

dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Pasal 143 KUHAP


(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. (2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a.nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b.uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan termpat tindak pidana itu dilakukan.

Cermat :
Surat dakwaan harus didasarkan kepada undangundang yang berlaku bagi terdakwa, serta tidak terdapat kekurangan dan kelebihan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau tidak dapat dibuktikan, seperti : -waktu dan tempat tidak sinkron; -salah penulisan unsur pasal;

Jelas :
Uraian secara kronologis dengan bahasa yang mudah

dimengerti dan menggunakan kalimat pendek dan sederhana, sehingga terdakwa akan mengerti siapa yang melakukan tindak pidana, tempat dan waktu kejadian, bagaimana kejadiannya, perbuatan yang dilakukan dan apa akibat perbuatan tersebut.

Lengkap :
Surat dakwaan harus mencakup senua unsur-unsur

pasal yang didakwakan sesuai undang-undang secara lengkap, sehingga rumusan unsur pasal dirumuskan lengkap dan diuraikan juga fakta perbuatan materiil secara tegas dalam dakwaan.

(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. (4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan. dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.

Pasal 144 KUHAP


(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. (2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dirnulai. (3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.

Bentuk-bentuk Surat Dakwaan


1. Tunggal;
2. komulatif; 3. alternatif;

4. subsidiair;
5. Kombisasi;

Penuntutan
Pengertian Penuntutan berdasarkan pasal 1 ayat (7)

KUHAP : Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Pasal 14 KUHAP
Penuntut umum mempunyai wewenang: a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan

dari penyidik atau penyidik pembantu; b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa

tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j. melaksanakan penetapan hakim.

Strategi Penegakan Hukum di Indonesia


Tema HBA 22 Juli 2011 adalah MELALUI HARI

BHAKTI ADHYAKSA TAHUN 2011 KITA TINGKATKAN INTEGRITAS MORAL DALAM PELAKSANAAN TUGAS GUNA MEWUJUDKAN APARAT KEJAKSAAN YANG JUJUR DAN BERWIBAWA DALAM RANGKA MERAIH KEMBALI KEPERCAYAAN MASYARAKAT

VISI DAN MISI KEJAKSAAN RI


Visi Kejaksaan R.I :
Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang

bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel, untuk dapat memberikan pelayanan prima dalam mewujudkan supremasi hukum secara profesional, proporsional dan bermartabat yang berlandaskan keadilan, kebenaran, serta nilai nilai kepautan.

Misi Kejaksaan R.I


1. Mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Kejaksaan dalam pelaksanaa tugas dan wewenang, baik dalam segi kualitas maupun kuantitas penanganan perkara seluruh tindak pidana, penanganan perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, serta pengoptimalan kegiatan Intelijen Kejaksaan, secara profesional, proposional dan bermartabat melalui penerapan Standard Operating Procedure (SOP) yang tepat, cermat, terarah, efektif, dan efisien.

2. Mengoptimalkan peranan bidang Pembinaan dan Pengawasan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas bidang-bidang lainnya, terutama terkait dengan upaya penegakan hukum. 3. Mengoptimalkan tugas pelayanan publik di bidang hukum dengan penuh tanggung jawab, taat azas, efektif dan efisien, serta penghargaan terhadap hakhak publik;

4. Melaksanakan pembenahan dan penataan kembali struktur organisasi Kejaksaan, pembenahan sistem informasi manajemen terutama pengimplementasian program quickwins agar dapat segera diakses oleh masyarakat, penyusunan cetak biru (blue print) pembangunan sumber daya manusia Kejaksaan jangka menengah dan jangka panjangtahun 2025, menerbitkan dan menata kembali manajemen administrasi keuangan, peningkatan sarana dan prasarana, serta peningkatan kesejahteraan pegawai melalui tunjangan kinerja atau remunerasi, agar kinerja Kejaksaan dapat berjalan lebih efektif, efisien, transparan, akuntabel dan optimal.

5. Membentuk aparat Kejaksaan yang handal, tangguh, profesional, bermoral dan beretika guna menunjang kelancaran pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan wewenang, terutama dalam upaya penegakan hukum yang berkeadilan serta tugas-tugas lainnya yang terkait. (Sumber: Peraturan Jaksa Agung No: 011/A/JA/01/2010 tentang Rencana Strategis Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2010-2014 tanggal 28 Januari 2010)

Upaya meningkatkan peran jaksa dalam penegakan hukum


a. Mulai dari diri sendiri terus mengembangkan sikap kejujuran, untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap berbagai peraturan. b. Sadar melaksanakan tugas dan fungsinya secara professional dengan berlatih dan terus belajar menambah wawasan diiringi semangat juang tinggi serta tangguh dalam memberikan yang terbaik kepada Negara. c. Meningkatkan anggaran operasi yustisi guna/dalam kegiatan penanganan kasus korupsi.

d. Menyadari banyak serta bertubi-tubinya godaan, maka aspek kesejahteraan perlu serius disesuaikan dengan kebutuhan hidup. e. Integreted Criminal Justice System (ICJS) menjadi bukti keharusan komitmen serta kerjasama institusional secara harmonis tanpa superioritas, karenanya pelaksanaan fungsi masing-masing justru semakin menunjukkan independensinya.

Contoh : adanya Perma N0. 2 tahun 2012 :

Pencurian sampai dengan Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) tidak perlu dilakukan penahanan, dianggap sebagai pencurian ringan. Apa dampaknya ?

Sumber bacaan :
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.

UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana; UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan; UU No. 5 Tahun 1991 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan; UU No. 16 Tahn 2004 tentang Kejaksaan RI; UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU. 31 tahn 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;

1.

Mencegah batalnya surat dakwaan; Selamat Purba, Sumber Ilmu, jakarta 2002.

SEKIAN TERIMA KASIH

You might also like