You are on page 1of 24

Mata Kuliah Hukum Pidana Khusus Dosen Pengampu: Ahmad Bahiej

Usaha Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Masa Pemberantasan Korupsi (Berdasarkan Aturan Per-UU-an)


Masa Masa Masa Masa Masa

1945 1957 1960 1971 1999

1957 1960 1971 1999 sekarang

Masa 1945 - 1957

Korupsi belum dianggap sebagai ancaman negara yang membahayakan. Tahun 1956, kasus korupsi mulai menguat dengan diangkatnya kasus korupsi di media cetak oleh Muchtar Lubis dan Rosihan Anwar, namun keduanya malah dipenjara (1961). Dasar hukum yang digunakan adalah KUHP terkait dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pejabat/pegawai negeri (ambtenaar), yaitu pada Bab XXVIII Buku Kedua KUHP.

Masa 1957 - 1960

Korupsi dirasakan sudah mulai menguat dalam tubuh pemerintahan. Nasionalisasi perusahaan asing dianggap sebagai titik awal korupsi di Indonesia. Dasar hukum pemberantasan korupsi dengan menggunakan peraturan-peraturan militer, yaitu: Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 (tata kerja menerobos kemacetan memberantas korupsi)

Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/08/1957 (pemilikan harta benda) Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/11/1957 (penyitaan harta benda hasil korupsi, pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan perbuatan korupsi) Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf AD No. PRT/PEPERPU/031/1958 Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf AL No. PRT/z.1/I/7/1958 Pada masa Orde Lama ini, pernah dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh A.H. Nasution dibantu oleh Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Namun karena kuatnya reaksi dari pejabat korup, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Juanda.

Masa 1960 - 1971

Dasar hukumnya dengan UU Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Menambah perumusan tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP

Lembaga khusus untuk memberantas korupsi mulai dibentuk, yaitu: Operasi Budhi (Keppres No. 275/1963) Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan ketua Presiden Soekarno dibantu Soebandrio dan Ahmad Yani. Tim Pemberantas Korupsi (Keppres No. 228/1967) Tim Komisi Empat (Keppres No. 12/1970) Komite Anti Korupsi/KAK (1967)

Kegagalan UU No. 24 Prp Tahun 1960

Masih ada perbuatan yang merugikan keuangan negara tetapi tidak ada perumusannya dalam UU sehingga tidak dipidana. Pelaku korupsi hanya pegawai negeri Sistem pembuktian yang lama dan menyulitkan

Masa 1971 - 1999


UU No. 24 Prp Tahun 1960 diganti dengan UU No. 3 Tahun 1971 Perluasan perumusan tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP dan UU sebelumnya. Perumusan tindak pidana korupsi dengan delik formil Percobaan dan permufakatan jahat dianggap sebagai delik selesai Dibentuk Tim OPSTIB (Inpres No. 9/1977), Tim Pemberantas Korupsi diaktifkan kembali (1982), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara/KPKPN (Keppres 127/1999)

Masa 1999 - sekarang


Menggunakan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Menyempurnakan kembali perumusan tindak pidana korupsi dalam UU 3/1971 (korupsi aktif dan korupsi pasif) Penegasan perumusan tindak pidana korupsi dengan delik formil Memperluas pengertian pegawai negeri Dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi/TGTPK (PP 19/2000), KPK (UU 30/2002)

Tugas KPK

Koordinasi Supervisi Penyelidikan, penyidikan, penuntutan TP Korupsi Pencegahan korupsi Monitor penyelenggaraan negara

Pengambilalihan Kasus Korupsi ke KPK

Laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti Penanganan berlarut-larut Penanganan justru untuk melindungi pelaku korupsi Penanganan mengandung unsur korupsi Ada hambatan karena campur tangan eksekutif, yuikatif, legislatif Keadaan lain yang mengakibatkan penanganan menjadi sulit

Sasaran KPK

Melibatkan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara Mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat Merugikan negara minimal Rp. 1 Milyar

Kewenangan KPK terkait penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

Menyadap dan merekam Mencekal Meminta keterangan keadaan keuangan Memblokir rekening Memerintahkan kepada pimpinan tersangka untuk memberhentikan sementara Meminta data kekayaan dan perpajakan tersangka Menghentikan transaksi keuangan Minta bantuan Interpol Minta bantuan polisi atau lembaga lain

Ancaman Pemberantasan Korupsi Saat Ini

RUU Pengadilan Tipikor diperlemah (eksistensi dan perekrutan hakim ad hocnya) Upaya penghapusan KPK Upaya sistematis mengurangi kewenangan KPK (mis. penyadapan ditentangkan dengan HAM) Upaya judicial review UU KPK (7X)

What next ?

Publikasi/laporan umum tentang hasil pengembalian kerugian negara (KPKDepkeu) Upaya pencegahan (sosial-strukturalkeagamaan)

Per-UU-an lain yang terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia

TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) Instruksi Presiden No. 30 Tahun 1998 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaa Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi;

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Keputusan Presiden No. 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi Keputusan Presiden No. 45 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi Administrasi dan Finansial Sekretariat Jendral Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara Ke Komisi Pemberantasan Korupsi Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan tindak Pidana Korupsi Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi) Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Undangundang Mutual Legal Assistence (UU MLA)

Karakteristik UU TPK 31/99


(Romli Atmasasmita)

Merumuskan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, bukan delik materiel, sehingga pengembalian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan terhadap terdakwa, melainkan hanya merupakan faktor yang meringankan pidana; Mencantumkan korporasi, di samping perorangan sebagai subyek hukum; Mencantumkan sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang (balanced burden of proof); Mencantumkan yurisdiksi ke luar batas teritorial atau extrateritorial jurisdiction; Undang-undang ini mencantumkan ancaman pidana minimum di samping ancaman pidana maksimum;

Mencantumkan ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan dalam hal-hal tertentu seperti negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam nasional, tindak pidana korupsi dilakukan sebagai pengulangan tindak pidana atau negara dalam keadaan krisis ekonomi Mengatur tentang pembekuan rekening tersangka/terdakwa (freezing) yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan (seizure); Mencantumkan tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, dipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan atas saksi pelapor lebih optimal; Mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai lembaga yang independen, terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.

Aspek Pidana dalam UU 31/99 jo. UU 20/2001

Jenis pidana yang diancamkan mati, penjara seumur hidup, penjara waktu tertentu (1 20 th), denda (50 juta 1 M). Pidana mati dapat dijatuhkan (Pasal 2) jika korupsi dilakukan dalam hal tertentu, yaitu pada waktu negara dalam keadaan bahaya, bencana alam, krismon, atau pengulangan korupsi. Ketentuan pidana telah mengenal pidana minimal khusus dan maksimal khusus, sebagai batasan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku. Ketentuan ini baru karena dalam KUHP hanya mengenal pidana maksimal umum dan minimal umum. Pidana bagi percobaan, permufakatan jahat, pembantuan tidak ada pengurangan 1/3 sebagaimana dalam KUHP, akan tetapi dipidana sama seperti pelakunya (Pasal 15 dan 16).

Pidana tambahan (Pasal 18) : perampasan barang, pembayaran uang pengganti, penutupan usaha, pencabutan hak. Adanya pidana penyitaan harta benda pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan. Dikenal adanya pidana penjara pengganti jika terdakwa tidak mampu membayarkan pidana pembayaran uang pengganti dengan maksimum tidak melebihi pidana pokoknya. Pidana denda bagi pelaku korporasi diperberat dengan ditambah 1/3 dari pidana denda pokok untuk pelaku orang/manusia (Pasal 20).

Pasal
2 3 5*

Pidana Mati
Mati -

Pidana Penjara
SH atau 4-20 th SH atau 1-20 th 1-5 th

Pidana Denda
200 jt-1 M 50 jt-1 M 50-250 jt

Pengancaman Pidana Penjara dan Denda


Kumulatif alternatif-kumulatif alternatif-kumulatif

6*
7*

3-15 th
2-7 th

150-750 jt
100-350 jt

Kumulatif
alternatif-kumulatif

8*
9*

3-15 th
1-5 th

150-750 jt
50-250 jt

Kumulatif
Kumulatif

10*
11*

2-7 th
1-5 th

100-350 jt
50-250 jt

Kumulatif
alternatif-kumulatif

12*
12B* 13 21 22 23

SH atau 4-20 th
SH atau 4-20 th 3 th 3-12 th 3-12 th 1-6 th

200 jt-1 M
200 jt-1 M 150 jt 150-600 jt 150-600 jt 50-300 jt

Kumulatif
Kumulatif alternatif-kumulatif alternatif-kumulatif alternatif-kumulatif alternatif-kumulatif

* tambahan/perubahan dengan UU No. 20 Tahun 2001

You might also like