You are on page 1of 27

STATUS HUKUM NIKAH SIRRI AKIBAT KETIDAK PASTIAN UU NO.

1 TAHUN 1974 DALAM MENGATUR HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

LATAR BELAKANG MASALAH Nikah merupakan suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Sedangkan dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang, laki-laki dan perempuan, untuk melangsungkan kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat Islam.1 Di dalam KHI tujuan dari pada pernikahan adalah bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.2 Selain itu ada beberapa motivasi yang mendorong seseorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dorongan seseorang perempuan waktu memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Salah satu dalam pemilihan pasangan adalah karena kecantikan seseorang wanita atau kegagahan seorang laki-laki, karena kekayaannya, karena keberagamaannya. Diantara alasan yang banyak itu, maka yang paling utama dijadikan motivasi adalah karena keberagamaannya.3 Bila diperhatikan secara mendalam, pernikahan bukan merupakan masalah sederhana yang mengikat antara seorang laki-laki dan seorang
1 H. Moh. Rifai. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang : PT. Karya Toha Putra. 1978, hlm, 453. 2 DEPAG RI. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bab II, Pasal 3. Jakarta :Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1997, hal, 14. 3 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh. Cet 2. Jakarta : Prenada Media. 2005, hal, 81-82

perempuan. Pernikahan merupakan kontrak atau akad yang menimbulkan berbagai akibat hukum lainnya, seperti kebolehan bagi laki-laki dan perempuan melakukan hubungan suami isteri, keharusan membina rumah tangga yang harmonis, memperoleh keturunan, memunculkan hak dan kewajiban antara suami dan isteri. Untuk menjaga akibat hukum tetap terjaga dengan baik, maka pernikahan tersebut harus pula dilakukan secara resmi. Bila dikaji secara seksama, nikah bukanlah semata-mata mengikat hubungan antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan, tetapi menimbulkan konsekuensi yang luas, tidak hanya bagi pasangan suami isteri tersebut, tetapi juga bagi anak-anak, keluarga luas, dan bagi masyarakat dan negara. Dengan demikian pernikahan tidak dapat dianggap selesai hanya dengan berlangsungnya akad nikah. Namun harus memperhitungkan akibat hukum yang luas, di antara akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan adalah adanya kewajiban bagi suami untuk menafkahi keluarganya, baik nafkah lahir maupun nafkah bathin. Isteri juga memiliki kewajiban untuk mengurus rumah tangganya dan membantu suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga, dan suami isteri harus bertanggung jawab penuh dalam pengasuhan anak-anaknya. Seperti yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dalam pasal 26 ayat 1 (point a sampai c) yaitu, orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuh

kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.4 4 www.google.co.id/ uu nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Selain itu kewajiban suami isteri adalah memberi pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Sebelum memberi pendidikan formal di sekolah bagi anakanak, kedua orang tua harus mendaftarkan anak-anak mereka di kantor kependudukan untuk memperoleh akta kelahiran, seperti yang telah disebutkan dalam UU Perlindungan Anak dalam pasal 27,5 identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya maksud identitas dalam ayat 1 ini adalah untuk dituangkan dalam akta kelahiran. Sehingga anak-anak mereka dianggap sebagai anak yang sah. Karena sekolah membutuhkan akta kelahiran anak ketika mendaftar pertama kali. Di antara syarat untuk mendapat akta kelahiran anak adalah ayah ibunya menikah secara sah yang dibuktikan dengan akta nikah. Dengan demikian ayah ibu yang tidak menikah secara sah, tidak dapat memperoleh akta kelahiran bagi anak-anak mereka. Sehingga salah satu hak anak untuk memperoleh pendidikan formal menjadi terkendala. 6 Selain itu, secara hukum isteri tidak di layani oleh pengadilan Agama kerena tidak mempunyai bukti atas tuntutan nafkah bila ditelantarkan, tidak berhak atas warisan bila meninggal suaminya dan tidak berhak atas nafkah dalam iddah bila terjadi perceraian. Anak-anak juga secara hukum menerima akibat/kerugian yang banyak, antara lain : tidak mempunyai bukti untuk menuntut hak mencantumkan nama ayah dibelakang namanya, ayahnya tidak dapat menjadi wali nikah, tidak dapat menuntut nafkah, bila ayahnya lalai, tidak dapat menerima warisan bila ayahnya
5 Ibid, UU Nomor 23/2002. 6 Analiansyah. Pernikahan Sirri. (www.acehinstitute.org). 2009.

meninggal, karena ayahnya tidak diakui menurut hukum dan hubungan kekerabatan hanyalah ke pihak ibu, karena tidak ada bukti tertulis seperti akte nikah.7 Adapun Nikah sirri yang hanya memenuhi prosedur keagamaan, ada rukun dan lengkap syaratnya, tapi dirahasiakan,dengan tidak melaporkannya ke KUA. Biasanya nikah sirri dilaksanakan karena kedua belah pihak belum siap meresmikannya, namun di pihak lain untuk menjaga agar tidak terjadi kecelakaan atau terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama. Sah tidaknya nikah sirri secara agama, tergantung kepada sejauh mana syarat-syarat nikah terpenuhi, yaitu adanya wali, minimal dua saksi, adanya mahar dan ijab qabul. Secara hukum positif, nikah sirri tidak legal karena tidak tercatat dalam catatan resmi pemerintah. Ini karena siapapun setiap warga negara yang menikah harus mendaftarkan pernikahan itu ke KUA atau Kantor Catatan Sipil, untuk mendapatkan Surat/Akta Nikah. Jika terjadi persoalan-persoalan yang menyangkut hukum sipil, pelaku nikah sirri tidak berhak mendapatkan/menyelesaikan masalahnya melalui lembaga-lembaga hukum yang ada karena pernikahannya tidak terdaftar.8 Persoalan nikah sirri merupakan suatu problema yang terjadi pada sekarang ini, karena maraknya praktek nikah sirri di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ketidak adanya suatu peraturan yang mengatur tentang persoalan nikah sirri, disamping itu juga dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

7 MPU Aceh. Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 1 Tahun 2010 tentang Nikah Sirri. Banda Aceh. 2010, hlm 8. 8 Muslim Ibrahim (MPU Aceh). Nikah Sirri. Banda Aceh : Serambi Indonesia. Edisi 12 Maret 2010.

1974 tentang perkawinan juga tidak diatur mengenai perihal nikah sirri, ini merupakan suatu kelemahan bagi Undang-undang perkawinan sediri sehingga banyaknya terjadi praktek nikah sirri di Indonesia.

RUMUSAN MASALAH Berdasarkan penjelasan-penjelasan di latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan permasalahan dalam skripsi ini sebagai berikut ini : Bagaimana pengaturan hukum perkawinan didalam UU No. 1 Tahun 1974 ? Bagaimana status hukum nikah sirri dalam kaitannya dengan UU No. 1 Tahun 1974 ? Apa yang menjadi faktor meningkatnya praktek nikah sirri di Indonesia ?

TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari pada penelitian ini adalah sebagai berikut ini : Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum perkawinan didalam UU No. 1 Tahun 1974. Untuk mengetahui status hukum nikah sirri dalam kaitannya dengan UU No. 1 Tahun 1974 ? Untuk mengetahui faktor-faktor meningkatnya praktek nikah sirri di Indonesia. MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan/sumber informasi bagi peneliti yang melakukan penelitian lebih lanjut terhadap pengembangan ilmu hukum, terutama dalam ruang lingkup hukum perdata di Indonesia mengenai perkawinan. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah khazanah kepustakaan. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pedoman atau pengangan bagi akademisi dan masyarkat umumnya, khususnya bagi para praktisi hukum, sehingga dengan adanya penelitian ini peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, agar dapat disempurnakan dan memasukkan pengaturan tentang Nikah Sirri di Indonesia. KEASLIAN PENELITIAN Bardasarkan hasil pengamatan terhadap berbagai literatur dan penelitian yang berhubungan dengan judul tentang : Status Hukum Nikah Sirri Akibat Ketidak Pastian UU No. 1 Tahun 1974 dalam Mengatur Hukum Perkawinan di Indonesia, belum pernah diteliti oleh peneliti lainnya baik dari segi materi maupun objeknya, oleh karena itu penelitian ini asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademik. KERANGKA PIKIR

Ruang Lingkup Hukum Perkawinan di Indonesia Di Indonesia sejak tahun 1974 telah di undangkan suatu undangundang tentang perkawinan yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Materi undang-undang tersebut

merupakan kumpulan tentang hukum munakahat yang terkandung didalam Al quran, Sunnah Rasulullah, dan kitab-kitab fiqih klasik kontemporer, yang telah berhasil diangkat oleh sistem hukum nasional Indonesia dari hukum normatif menjadi hukum tertulis dan hukum positif yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk umat muslim Indonesia.9 Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka dimensi hukum telah masuk keranah perkawinan. Undang-Undang ini merupakan sebuah bentuk aspirasi hukum dan sosial sebagai landasan berhukum untuk menuju Modren Society and Responsive Law. Berkaitan dengan itu, salah satu fungsi hukum adalah untuk kesejahteraan hidup manusia, disamping kepastian hukum. Sehingga hukum boleh dikatakan bahwa berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup.10 Menururt Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 1974 Tantang Perkawinan secara jelas menyebutkan bahwasanya Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
9 M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 10. 10Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosilogi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal. 5

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.11 Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa serta dapat melanjutkan generasi dan memperoleh keturunan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit perkawinan yang putus karena terjadinya perceraian. Pasangan suami isteri kadang harus menghadapi masalah di dalam kehidupan rumah tangga mereka, besar kecilnya persoalan yang dihadapi tergantung dari pandangan dan cara mereka menyelesaikan persoalan tersebut, tidak sedikit dari pasangan suami isteri merasa bahwa perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan kemudian mereka memutuskan untuk mengakhiri masalah rumah tangga mereka dengan jalan perceraian, tanpa melalui sidang pengadilan, maka secara hukum perceraian tersebut dianggap tidak sah. Maka oleh itu setiap perkawinan yang sah dan telah tercatat hanya dapat diakhiri dengan perceraian yang harus dilakukan didepan sidang pengadilan.12 Menurut Al-Hadad setidaknya ada sepuluh alasan pentingnya ikrar talak didepan pengadilan. Empat yang terpenting adalah13 : Kehadiran Pengadilan adalah untuk meluruskan segala tindakan yang melenceng untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam kasus talak seorang suami sebelum menjatuhkan talak harus berpikir mendalam tentang dampak yang ditimbulkan oleh keputusannya itu sehingga ia menjadi lebih hati-hati dan rasional. Melalui proses pengadilan diharapkan penggunanaan hak talak dilakukan secara benar dan diterapkan hanya dalam kondisi darurat.
11 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 12 Florence Vidya Widjaja, Penetapan Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Orang Tuanya Menurut UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,(Jakarta: Tesis Program Kenotariatan Universitas Indonesia, 2006), hlm. 43 13Al Haddad, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, terj. M. Adid Bisri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) hlm. 87

Pengadilan sebenarnya berfungsi sebagai hakam seperti yang dianjurkan oleh syariat Islam. Pengadilan diharapkan dapat berperan menjamin hak-hak masing-masing pihak sebagai akibat dari perceraian, misalnya jaminan ganti rugi dalam talak dan mutah. Menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam Undang-Undang Perkawinan adalah: Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-undang Perkawinan menampung didalamnya segala unsur-unsur ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari perkembangan zaman adalah terpenuhinya aspirasi wanita yang menuntut adanya emansipasi, disamping perkembangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan teknologi yang telah membawa implikasi mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal. Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga. Pertama, suami-isteri saling Bantu membantu serta saling lengkap melengkapi. Kedua, masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itu suami-isteri harus saling membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini merupakan crusial point yang hampir menenggelamkan undang-undang ini. Disamping itu perkawinan harus memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk pencatatan (akta nikah). Undang-undang perkawinan menganut azas monogami akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya. Hukum perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadipribadi yang telah matang jiwa dan raganya. Kedudukan suami isteri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.14 Alasan-alasan cerai yang disebutkan oleh UU Perkawinan yang pertama tentunya adalah apabila salah satu pihak berbuat yang tidak sesuai dengan syariat. Atau dalam UU dikatakan disitu, bahwa salah satu pihak
14 Op. Cit., hlm. 52

berbuat zina, mabuk, berjudi, terus kemudian salah satu pihak meninggalkann pihak yang lain selama dua tahun berturut-turut. Apabila suami sudah meminta izin untuk pergi, namun tetap tidak ada kabar dalam jangka waktu yang lama, maka istri tetap dapat mengajukan permohonan cerai melalui putusan verstek. Selain itu, alasan cerai lainnya adalah apabila salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya, misalnya karena frigid atau impoten. Alasan lain adalah apabila salah satu pihak (biasanya suami) melakukan kekejaman. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menambahkan satu alasan lagi, yaitu apabila salah satu pihak meninggalkan agama atau murtad. Dalam hal salah stau pihak murtad, maka perkawinan tersebut tidak langsung putus. Perceraian merupakan delik aduan. Sehingga apabila salah satu pasangan tidak keberatan apabila pasangannya murtad, maka perkawinan tersebut dapat terus berlanjut. Pengadilan Agama hanya dapat memproses perceraian apabila salah satu pihak mengajukan permohonan ataupun gugatan cerai. Perceraian dianggap telah terjadi, beserta segala akibat-akibat hukumnya sejak saat pendaftaran pada kantor pencatat perceraian di Pengadilan Negeri, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.15 Didasarkan Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
15 Martiman Prodjohamidjojo, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Indonesia Legal Publishing, 2003), hal. 54

11

pengadilan. Hal ini merupakan salah satu cara untuk mempersulit terjadinya perceraian sesuai dengan prinsip hukum Perkawinan Nasional. Hal ini dinyatakan pula oleh Hilman Hadikusuma yang berpendapat bahwa :16 Salah satu prinsip dalam hukum Perkawinan Nasional ialah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, akibat perbuatan manusia. Lain halnya dengan terjadinya putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan oleh manusia. Ditegaskan didalam Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah sebagai berikut: Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan-alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlansung. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
16 Hilman Kusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan Perkawinan, Perwarisan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 160

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga.17 Bahwa untuk meningkatkan kualitas perkawinan menurut ajaran Islam diperlukan bimbingan dan penasihatan perkawinan secara terusmenerus dan konsisten agar dapat mewujudkan rumah tangga/keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Sejak BP4 di dirikan pada tanggal 3 Januari 1960 dan dikukuhkan oleh KeputusanMenteri Agama Nomor 85 tahun 1961 diakui bahwa BP4 adalah satu-satunya Badan yang berusaha dibidang Penasihatan Perkawinan dan Pengurangan Perceraian. Fungsi dan Tugas BP4 tetap konsisten melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Perundang lainnya tentang Perkawinan, oleh karenanya fungsi dan peranan BP4 sangat diperlukan masyarakat dalam mewujudkan kualitas perkawinan.18 BP4 mempunyai upaya dan usaha sebagai berikut: Memberikan bimbingan, penasihatan dan penerangan mengenai nikah, talak, cerai, rujuk kepada masyarakat baik perorangan maupun kelompok; Memberikan bimbingan tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keluarga; Memberikan bantuan mediasi kepada para pihak yang berperkara di pengadilan agama. Memberikan bantuan advokasi dalam mengatasi masalah perkawinan,
17 Op. Cit., Prodjohamidjojo, hlm. 42 18 Muqaddimah Anggaran Dasar BP4 yang merupakan Hasil Munas BP4 ke XIV 2009

13

keluarga dan perselisihan rumah tangga di peradilan agama; Menurunkan terjadinya perselisihan serta perceraian, poligami yang tidak bertanggung jawab, pernikahan di bawah umur dan pernikahan tidak tercatat; Bekerjasama dengan instansi, lembaga dan organisasi yang memiliki kesamaan tujuan baik di dalam maupun di luar negeri; Menerbitkan dan menyebarluaskan majalah perkawinan dan keluarga, buku, brosur dan media elektronik yang dianggap perlu; Menyelenggarakan kursus calon/pengantin, penataran/pelatihan, diskusi, seminar dan kegiatan-kegiatan sejenis-yang berkaitan dengan

perkawinan dan keluarga; Menyelenggarakan pendidikan keluarga untuk peningkatkan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlaqul karimah dalam rangka membina keluarga sakinah; Berperan aktif dalam kegiatan lintas sektoral yang bertujuan membina keluarga sakinah; Meningkatkan upaya pemberdayaan ekonomi keluarga; Upaya dan usaha lain yang dipandang bermanfaat untuk kepentingan organisasi serta bagi kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga.19 Prinsip Perkawinan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa seluruh Warga Negara Indonesia kedudukannya sama dalam hukum, termasuk di
19 Pasal 6 Anggaran Dasar BP4 Tahun 2009

dalamnya hak asasi manusia untuk menikah dengan siapapun baik, baik sesama warga negara maupun dengan Warga Negara Asing sekalipun berbeda agama. Masalah perkawinan tidak hanya dibahas dalam hukumhukum agama Islam saja numun juga dalam agama lain. Menurut filsuf yunani, Aristoteles bahwa manusia adalah zoom politikom yaitu selalu mencari manusia lainya untuk hidup bersama dan berorganisasi.20 Disni jelas bahwa masalah pernikahan tidak hanya masalah satu agama saja namun masalah general(umum) sehingga perlu adanya peran serta pemerintah dalam mengatasinya. Dalam undang-yndang nomor 1 tahun 1974 termuat beberapa asas dan prinsip penting yang berkenaain dengan perkawinan.Asas-asas dan prinsip-prinsip tersebut adalah: Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan melengkkaapi agar masing-masimng dapat mengembangkan

kepribadianyamembantu dan mecapai kesejahteranan sepiritual. Dalam undang-undang inidinytakan bahwa perkawqinana apabila dilakukan menurut hokum masngamsing adalah sah agamanya

dankepercayaanya itu dan, disamping itu ,tiap tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku . pencatatan tiap tiap perkawinan sama dengan pencatatan peristiwa peristiwa penting dalam kehidupan seseorang . kematiian yang di nyatakan dalam surat surat keterangan , suatu fakta resmi juga dimuat
20Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan Malaysia, Bandung : Remaja Rosdariya, 1991, hlm. 1

15

dalam daftar percatatan . Undang-undang itu menganut asas monogami . Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan krena hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkanya , seorang suamudapat beristri lebih dari seorang . Namun perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isrti , meskipun itu dikehendaki oleh pihak pihak bersangkutan , hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi sebagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan . Undang-undang ini mengganut prinsip bahwa calon suami-istri itu harus telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsunngkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berahir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat . untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara suami- isrti yang masih dibawah umur . Disamping itu ,perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kepedudukan .Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah seorang wanita kawin mengakibatkan laju kelahirn lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih inggi. Berhubung dengan itu, undang-undang ini menemukan batas untuk kawin, baik bagi pria maupun wanita ,yaitu sembilan belas tahun bagi pria dan enam belas tahun bagi wanita . karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia , kekal , dan sejahtera , maka undang undang inimenganut prinsip untuk menper sukar terjadinya perceraian . untuk memungkinkan perceraian

harus ada alasan-alasan tertentu dilakukan di depan siding pengadilan . Hak dan kedudukan isrti seimbang dengn hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tngga maupun dalam kehidupan

masyarakat,sehingga dengan demikian segala sesuatu didlalm keluarga dapat dirundingkan da diputuska bersama oleh suami istri. Sejalan dengan asas dan prinsip perkawinan tersebut diatas,Undangundang Perkawinan meletakan syarat-syarat yang ketat bagi pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan.Bab II pasal 6 hingga 12 memuat syarat-syarat perkawinan itu sebagai berikut: Persetujuan kedua belah pihak Izin orang tua wali Batas umur untuk kawintidak terdapat larangan kawin Tidak terikat oleh suatu perkawianan yang lain Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami istri yang sama yang akan dikawini Bagi janda te;lah lewat masa tunggu (tenggang idah) Memenuhi tata cara perkawinan21 Dalam agama Islam perkawinan sangatlah diperintahkan,perkawian memiliki tujuan yang mulia bukan hanya untuk menyalurkan hasrat birahi manusia saja,namun dalam pandangan islam perkawinan memilki banyak.

Hak dan Kewajiban Suami Isteri Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Perkawinan
21 Ibid.,.hlm. 72-73

17

Hak adalah apa-apa yang diterima oleh seorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami isteri dalam rumah tangga suami mempunyai hak dan begitu pula isteri mempunyai hak.22 Suatu perkawinan akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara suami isteri, namun jika perkawinan tersebut dilakukan secara sirri maka akan mengakibatkan terabaikannya hak dan kewajiban, seorang suami yang melakukan poligami mengabaikan hak dan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap isteri pertamanya, karena dalam perkawinan sirri seorang suami dapat melakukan dengan bebas praktek poligami. Hal ini disebabkan karena perkawinan sirri tidak mempunyai kekuatan hukum yang tertulis dan mengikat. Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia (Undangundang Perkawinan), suatu perkawinan sah secara hukum apabila dicatatkan. Karena kawin sirri tidak dicatat, maka dinyatakan tidak sah menurut hukum negara. Hal itu akan berdampak negatif terhadap status hukum isteri sirri dan anak-anak yang lahir dalam suatu perkawinan sirri. Seorang isteri sirri tidak memiliki hubungan perdata dengan suaminya, sehingga tidak akan menjadi ahli waris dari suaminya, tidak memiliki hak atas harta gono-gini. Bahkan, karena tidak memiliki surat nikah, maka di Kartu Keluarga pun tidak dapat mencantumkan nama
22 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006, hlm, 159.

suaminya. Suami dapat menceraikan isteri begitu saja dengan semenamena tanpa perlu memberikan bagian isteri atas harta gono-gini. Bahkan, tidak memiliki pula hak untuk menuntut biaya hidup dan biaya pendidikan. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri dianggap sebagai anak di luar nikah. Status anak di luar nikah (anak haram atau anak tidak sah) tentu saja akan mempengaruhi fase perjalanan hidup si anak selanjutnya. Pertama-tama dalam hal pembuatan akta kelahiran. Karena tidak ada surat nikah, maka pada akta kelahirannya hanya akan dicantumkan nama ibu kandung. Seandainya si anak tidak memiliki akta kelahiran (karena ibunya malu tanpa pencantuman nama ayah), maka kelak anak akan menemui kesulitan ketika pendaftaran sekolah, karena syarat pendaftaran sekolah antara lain harus melampirkan akta kelahiran. Selain itu, dalam mencari pekerjaan maupun dalam proses pernikahan pun disyaratkan lampiran akta tersebut. Selain itu anak tersebut hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini selaras dengan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan, yang menyatakan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Otomatis, karena tidak memiliki hubungan perdata dan nasab dengan ayahnya maupun pihak keluarga ayah, maka anak tidak memiliki hak waris dan tidak

19

berhak memakai nama atau marga ayahnya. Anak bukan ahli waris ayahnya yang berarti tidak berhak menerima warisan, kecuali mendapatkan hibah yang mungkin akan diberikan ayahnya ketika masih hidup, kalau terjadi, itupun berapa besarannya adalah sesuka hati si ayah. Perkawinan sirri memang tidak menguntungkan bagi kaum perempuan dan anak-anak yang dilahirkan di dalamnya. Memang, suatu perkawinan harus tercatat agar kaum perempuan dan anak-anak mendapat kepastian hukum dan perlindungan di masa depan. Hal itu sebenarnya sudah sejalan dengan Undang-Undang Sistem Administrasi Kependudukan (Sisminduk) yang mengamanatkan empat hal untuk dicatat, yaitu kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian. Hak dan Kewajiban Suami Isteri setelah Perceraian. Setelah terjadinya perceraian suami isteri mempunyai hak dan kewajiban untuk sama-sama memelihara anak. Pemeliharaan anak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah Hadhanah. Para ulama fiqh mendefinisikan hadhanah adalah melakukan pemiliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.23
23 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Cet 2. Jakarta : Kencana, 2006, hlm. 175.

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam

kehidupannya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih saying, kesabaran, dean mempunyai keinginan agar anak itu baik (saleh) di kemudian hari. Di samping itu, harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. Dan yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah perempuan. Seorang ayah wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah, juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapannya jika si ibu tidak memiliki rumah sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya. Ia juga wajib membayar gaji pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu tersebut jika si ibu membutuhkannya.24 Namun dalam pernikahan sirri, hak dan kewajiban suami isteri bisa saja di abaikan, karena ikatan pernikahannya tidak mempunyai kekuatan hukum secara hukum Negara. Akan tetapi beda halnya jika pernikahan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam hukum Islam, maka sumi isteri setelah pernikahan mempunyai hak dan kewajiban diantara keduanya. Jika dalam pernikahan sirri yang dilakukan hanya memenuhi syarat dan rukun yang telah diatur dalam hukum Islam, tetapi tidak memenuhi salah satu syarat yang telah diatur dalam hukum positif, maka isteri tidak dapat menuntut haknya kepada suaminya seandainya ia mengabaikan hak dan kewajibannya sebagai
24 Ibid, hlm. 187-188

21

seorang suami secara hukum positif. Dengan demikian seorang suami dapat memenuhi kewajibannya sebagai kepala keluarga sesuka hatinya.

METODE PENELITIAN Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu method yang berarti cara atau jalan. Dan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode adalah menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.25 Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, di mana penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dipandang dari sisi normatifnya.26 Untuk menunjang diperolehnya data yang aktual dan akurat, penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu penelitian yang hanya menggambarkan fakta-fakta tentang objek penelitian baik dalam kerangka sistematisasi maupun sinkronisasi berdasarkan aspek yurisidis, dengan tujuan menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian.27 Metode Pendekatan Penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam penelitian ini
25 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1977, hlm. 16. 26Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayu Media Publishing, 2005, hlm. 46. 27Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 116-117.

menggunakan pendekatan yuridis normatif, yakni dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum yang mengacu pada norma-norma atau kaidah-kaidah hukum positif yang berlaku. Penelitian hukum pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.28 Bahan atau materi yang dipakai dalam tesis ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Dari hasil penelitian kepustakaan diperoleh data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam konteks ini, data sekunder mempunyai peranan, yakni melalui data sekunder tersebut akan tergambar ketidakpastian undangundang perkawinan dalam mengatur hukum perkawinan secara sirri hingga meningkatnya praktek nikah sirri. Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada data sekunder atau data kepustakaan yang terdiri dari: Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan berupa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Bahan hukum skunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri dari buku-buku dan tulisantulisan ilmiah hasil penelitian para ahli. Bahan hukum taisier berupa bahan yang dapat mendukung bahan hukum
28 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 83.

23

primer, terdiri dari kamus hukum, kamus Inggris-Indonesia dan kamus besar Bahasa Indonesia.
Tekhnik Pengumpulan Data

Mengingat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif yang memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data utama ditempuh dengan melakukan penelitian

kepustakaan dan studi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian.


Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Bahan hukum yang telah terkumpul dari studi dokumen

dikelompokkan sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Bahan hukum tersebut kemudian ditafsirkan dan dianalisis guna mendapatkan kejelasan (pemecahan dari masalah yang akan dibahas). Teknik analisis dilakukan secara interpretasi, yaitu bahan hukum diinterpretasikan dan dijabarkan dengan mendasarkan pada suatu normanorma dan teori-teori ilmu hukum yang berlaku, sehingga pengambilan keputusan yang menyimpang seminimal mungkin dapat dihindari. Dengan menarik kesimpulan dengan mempergunakan metode penalaran secara induktif yaitu suatu pemikiran secara sistematis dari khusus ke umum, dan deduktif ialah suatu pemikiran secara sistematis dari umum ke khusus.

SISTEMATIKA PENULISAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Keaslian Penelitian Kerangka Pikir Metode Penelitian Sistimatika Penulisan TINJAUAN HUKUM PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 194 Ruang Lingkup Perkawinan di Indonesia Pengertian Perkawinan Dasar Hukum Perkawinan Tujuan Perkawinan Prinsip Perkawinan di Indonesia Hak dan Kewajiban Suami Isteri Hak dan Kewajiban Suami Isteri Setelah Perkawinan Hak dan Kewajiban Suami Isteri Setelah Perceraian

BAB II

BAB III STATUS HUKUM NIKAH SIRRI AKIBAT KETIDAK PASTIAN UU NO. 1 TAHUN 1974 Pengaturan Hukum Perkawinan Didalam UU No. 1 Tahun 1974 Status Hukum Nikah Sirri Dalam Kaitannya Dengan UU No. 1 Tahun 1974 Faktor Meningkatnya Praktek Nikah Sirri Di Indonesia

BAB IV PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

25

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku : Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Cet 2. Jakarta : Kencana, 2006. Al-Haddad, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, (terj) M. Adid Bisri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh. Cet 2. Jakarta : Prenada Media. 2005. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006. . Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. DEPAG RI. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bab II, Pasal 3. Jakarta :Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1997. Florence Vidya Widjaja, Penetapan Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Orang Tuanya Menurut UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jakarta: Tesis Program Kenotariatan Universitas Indonesia, 2006. Hilman Kusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan Perkawinan, Perwarisan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayu Media Publishing, 2005. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1977. Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan Malaysia, Bandung : Remaja Rosdariya, 1991. M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010. Martiman Prodjohamidjojo, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Indonesia Legal Publishing, 2003. Moh. Rifai. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang : PT. Karya Toha Putra. 1978. MPU Aceh. Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 1 Tahun 2010 tentang Nikah Sirri. Banda Aceh. 2010. Muqaddimah Anggaran Dasar BP4 yang merupakan Hasil Munas BP4 ke XIV 2009. Muslim Ibrahim (MPU Aceh). Nikah Sirri. Banda Aceh : Serambi Indonesia. Edisi 12 Maret 2010.

27

Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosilogi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009. Undang-Undang : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Sumber Lain : www.google.co.id/ UU Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Analiansyah. Pernikahan Sirri. (www.acehinstitute.org). 2009.

You might also like