You are on page 1of 27

Suku Boti

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. Wilayah Boti terletak sekitar 40 km dari kota kabupaten Timor Tengah Selatan, Soe. Secara administratif kini menjadi desa Boti kecamatan Kie. Karena letaknya yang sulit dicapai di tengah pegunungan, desa Boti seakan tertutup dari peradaban modern dan perkembangan zaman. Suku ini memiliki bahasa Dawan sebagai bahasa daerahnya.

[sunting] Agama
Suku Boti dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka yang disebut Halaika. Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah sebagai mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Sedangkan Uis Neno sebagai papa atau bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia.

[sunting] Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari ada pembagian tugas yang jelas antara kaum lelaki dan perempuan. Para lelaki bertugas mengurusi permasalahan di luar rumah, seperti berkebun, dan berburu. Sementara urusan rumah tangga, diserahkan kepada kaum perempuan. Meskipun pembagian peran ini biasa dijumpai dalam sistem kekerabatan, ada satu hal yang membuat warga Boti agak berbeda, mereka menganut monogami atau hanya beristri satu. Seorang lelaki Boti yang sudah menikah, dilarang memotong rambutnya. Sehingga bila rambut mereka semakin panjang, mereka akan menggelungnya seperti konde. Bila kepercayaan dan aturan adat Boti dilanggar, maka akan dikenakan sanksi, tidak akan diakui sebagai penganut kepercayaan Halaika, berarti harus keluar dari komunitas suku Boti, sebagaimana yang terjadi pada putra sulung Laka Benu, kakak dari Raja Usif Nama Benu. Laka Benu yang seharusnya menjadi putra mahkota, memeluk agama Kristen sehingga ia harus meninggalkan komunitas Boti.
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Boti

Misteri kehidupan Suku Boti


Monday, 07 November 2011 13:02 bp-a1 Hits: 585

Nun jauh dibalik pegunungan di Pulau Timor, Indonesia, hiduplah komunitas Suku Boti yang tidak beragama sebagai warisan leluhur. Populasi suku kuno itu kini semakin menurun.

Lopo (rumah adat Timor) Umekebubu. Disinilah sang ibu dan bayi orang Boti dibaringkan ditempat dekat tungku api yang baranya selalu menyala. (foto: rri jakarta) RRI Jakarta Boti, Adalah nama salah satu desa di Kecamatan Kie Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Di desa ini bermukim sebuah suku asli yang hingga kini tetap mempertahankan tradisi nenek moyangnya. Suku tersebut bernama Suku Boti. Tidak mudah menemui mereka. Dari Kupang, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur kita menempuh jarak 110 KM ke kota Soe, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Dari kota Soe ke perkampungan orang Boti masih 70 KM lagi dengan perjalanan yang penuh tantangan. Naik turun bukit, kadang melewati tanah longsor, jalan berlumpur tatkala hujan, melintasi sungai berbatu dan hanya bisa dengan kendaraan roda empat sejenis untuk offroad. Suku Boti, adalah suku kuno di pedalaman Pulau Timor. Mereka tinggal di dua wilayah, yakni Boti Dalam dan Boti Luar. Jumlah orang Boti Dalam 70 Kepala Keluarga (KK) terdiri dari 316 jiwa. Sedangkan orang Boti Luar lebih kurang 2.500 jiwa. Menurut Kepala Bidang Promosi dan Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten TTS, Dominggus da Costa, S.Sos,M.Par,

suku kuno ini masih mewarisi dan mempraktekkan semua tradisi local yang masih unik dengan agama asli yang disebut Uis Neno Ma Uis Pah. Mereka punya tempat persembahyangan di sebuah hutan besar. Disana ada dua musbah persembahyangan. Ada satu altar pesembahyangan mereka lakukan untuk berdoa menyembah Uis Pah (Dewa Langit, red), setelah itu mereka menaiki dan menapaki 99 anak tangga untuk ke musbah yang lebih tinggi yang mereka namakan musbah untuk Uis Neno (Dewa Bumi, red), kata Dominggus yang kemudian menjadi penerjemah kami. Dewa Langit UIS PAH disembah karena Dialah yang menjaga dan mengawasi dan melindungi hidup manusia beserta seluruh isinya yang ada di alam dunia. Sedangkan Dewa Bumi UIS NENO disembah karena perananNya yang menentukan apakah manusia masuk surge atau neraka. Meski sama-sama tinggal di Desa Boti, orang Boti Dalam tinggal di areal tersendiri berpagar kayu. Adapun orang Boti Luar menyebar di berbagai lokasi di desa tersebut. Kepala Suku Boti Dalam yang ditemui akhir Maret 2011 lalu mengutarakan, suku ini tidak bisa menghindar dari kehidupan modern. Pertemuan dengan masyarakat dari luar Boti yang sudah berlangsung lama membuat mereka mau tidak mau harus mengikuti perkembangan zaman. Mereka yang memutuskan keluar dari komunitas ini akan diadili dan dinasehati untuk mengurungkan niatnya. Jika tidak mau, dia akan dikucilkan, diusir dari perkampungan dan tatkala dia mau kembali tidak akan diterima, ujar Raja Namah Benu seperti diterjemahkan Dominggus da Costa.

Laki-Laki Boti. (Foto: RRI Jakarta) Seorang lelaki Boti yang sudah menikah, dilarang memotong rambutnya. Bila rambut mereka semakin panjang, mereka akan menggelungnya seperti konde. Bila kepercayaan dan aturan adat Boti dilanggar, sanksi adat siap diterapkan, seperti dikucilkan dan tidak diakui sebagai penganut Halaika. Kalau sudah begitu, tidak ada kompromi, harus keluar dari komunitas suku Boti Dalam, sebagaimana yang telah terjadi pada putra sulung Laka Benu, kakak dari Usif (raja) Namah Benu. Laka Benu lah yang seharusnya menjadi putra mahkota memeluk agama Kristen sehingga ia harus meninggalkan komunitas Boti. Beda dengan Boti Luar, hampir semua anggota suku Boti Dalam sudah bisa berbahasa Indonesia. Meski belum sempurna, namun mereka bisa memahami lawan bicaranya dan menjawab setiap pertanyaan secara baik. Ketika berkunjung ke rumah raja Namah Benu, RRI Jakarta melihat dua buku tamu yang sudah penuh catatan tamu, termasuk sejumlah turis asing. Setidaknya tercatat 5.000-an tamu sejak tahun 2004. Saat berkunjung, kami disuguhi makanan singkong rebus dan pisang rebus yang dilengkapi dengan kopi atau the manis. Menurut pemandu kami, siapapun tamu yang datang harus mencicipi makanan khas Boti tadi sebelum pulang. Seperti juga pakaian yang merupakan hasil tenunan perempuan Boti, makanan yang mereka makan semuanya dari hasil kebun atau binatang ternak mereka sendiri.

Dalam tata cara adat Boti, mereka harus mendahulukan tamu saat makan. Apabila tamu belum makan, maka tuan rumah tidak diperkenankan makan terlebih dulu. Ini merupakan sebuah penghormatan yang sangat tinggi. Jika para tamu memiliki waktu luang untuk bermalam di Boti, maka Raja Boti juga sudah siapkan rumah berdinding dan beratap daun lontar tanpa penerangan listrik. Keaslian Boti nampaknya tidak akan punah setelah kematian Kepala Suku Besar Nune Benu pada tahun 2005 yang silam. Sebelum meninggal dunia pada usia 110 tahun, Nune Benu telah mewariskan kepemimpinannya kepada anak laki-laki yang bungsu yakni Namah Benu. Meski belum menikah diusia ke 45 tahun, raja muda Namah Benu memastikan ia akan menikah dan menghasilkan keturunan untuk mewarisi kepemimpinan pada kerajaan Boti. Tidak hanya itu, ia juga bersumpah tidak akan pernah mengikuti ajaran dari luar sampai melupakan semua warisan leluhur yang ada termasuk tidak menggunakan celana panjang atau rok pendek seperti masyarakat modern. Soal pernikahan, hanya soal waktu saja, ujar raja Namah Benu dengan sorot mata yang menerawang ke atas. Keyakinan Raja Boti Namah Benu diperkuat oleh adik perempuannya yang bernama Molo Benu bahwa / laki-laki Boti akan menikah jika mereka sudah yakin bisa mandiri tidak tergantung orang tua. Kalau kecil-kecil sudah kawin, tahunya cuma mencetak anak tanpa tahu kerja dan tidak mampu menafkahi akan mudah terjadi kekerasan dalam rumah tangga, ujar Molo Benu dengan nada emosi. Kehidupan Sosial

gerbang kampung boti (Foto: RRI jakarta) Kepercayaan Halaika yang dianut orang Boti Dalam mengajarkan penganutnya untuk selalu memelihara keseimbangan dan kelestarian alam. Tak heran, demi keseimbangan alam ini, mereka bahkan dilarang keras membunuh binatang liar di tanah Boti. Suku Boti patuh pada aturan adat. Dengan aturan adat ini bisa menciptakan pagar untuk tidak melakukan pelanggaran. Sebagai kearifan local pada masyarakat Boti adalah sanksi yang dijatuhkan terhadap norma adat, semisal kasus tindak pidana pencurian sanksinya bukan dengan hukuman fisik. Justru pelakunya sangat diuntungkan, dimana pelaku malah diberikan harta berlipat ganda oleh tua-tua adat sesuai dengan jenis barang atau harta yang dicuri pelaku. Kalau yang dicuri kelapa, maka penduduk kampung akan dikumpulkan oleh tetua adat untuk membawa kelapa masing-masing satu untuk diberikan kepada pencuri tadi. Begitu juga kalau ada kasus penebangan pohon, maka penduduk kampong akan memberikan benih atau bibit pohon itu kepada pencurinya dan dinasehati agar bibit pohon itu ditanam di pekarangan rumah dia, ujar Raja Namah Benu. (bp-a1/al/bngr)
http://rrijakarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=178:misterikehidupan-suku-boti&catid=6:beritabudaya&Itemid=27

Suku Boti: Benteng Akhir Budaya di Pulau Timor


13 Jan 2011 6 Comments by agusaguslah in ACIDetikCom Tags: NTT, Suku Boti, Timor Hari Ketujuh dalam perjalanan ACI DetikCom, saya dan rekan saya mengunjungi Perkampungan Suku Boti, Salah satu Suku di Pulau Timor yang masih mempertahankan adat istiadat serta kehidupan tradisional mereka.

Saya dan rekan saya bersama Raja Boti

Pintu Gerbang Perkampungan Suku Boti Siang itu dari Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan kami berjalan kearah selatan menuju pegunungan dimana perkampungan Suku Boti berada. Dari berbagai informasi yang kami dengar dari pemandu lokal tentang keberadaan dan adat istiadat Suku Boti, membuat rasa ketertarikan dan ketidaksabaran untuk segera tiba menganggu perasaan ini. Dalam perjalanan kami mampir kesalah satu pasar yang ada di pinggir jalan yang dilalui. Tujuan kami adalah membeli sirih dan pinang. Sirih dan Pinang adalah perangkat upacara yang biasa digunakan disini, dan kita nantinya akan pamitan secara adat ke Raja Suku Boti, demikian informasi dari Bapak Messakh Toy, pemandu lokal kami. Kamipun segera diajarkan bagaimana ucapan-ucapan yang akan disampaikan nanti, semuanya dalam bahasa daerah. Senja dengan matahari yang mulai terbenam menghiasi perjalanan kami menuju perkampungan suku Boti, sekitar 2,5 jam perjalanan dengan cuaca yang sangat sejuk, mengingat perkampungannya berada di atas gunung. Sekitar pukul 17.30 kami tiba di perkampungan Suku Boti, keramahan telah nampak begitu kami akan memasuki pintu gerbang, sambutan keramahan dari penduduk telah menanti kami. Mata ini langsung tertuju pada tulisan yang terpampang di pintu gerbang perkampungan Koenok Tem Ahoit Teu Pah Boti artinya Selamat Datang di Kampung Boti, Kampung Suku yang menjunjung tinggi budaya Timor. Kami disambut oleh dua orang warga Boti, Pemandu Lokal kami segera menyapa dengan bahasa daerah dan kami mengikuti untuk memberi salam. Mereka membantu kami membawakan barang bawaan dan berjalan memasuki perkampungan. Walaupun hari mulai gelap namun kami dapat menyaksikan perkampungan yang bersih dan tertata dengan rapi. Kami menuju ke rumah Raja terlebih dahulu untuk melaporkan kedatangan kami dengan upacara adat sederhana yang telah disiapkan. Rumah Raja yang sederhana namun rapi, berbagai foto-foto terpampang di dinding Rumah Raja, baik didalam maupun diluar. Hal ini menandakan banyak pengunjung yang datang ke perkampungan ini. Sekitar 20 menit kami menunggu, Raja Boti yang biasa dipanggil Lunu Tuan akhirnya tiba juga. Seketika pemandu lokal mempersilahkan kami duduk disamping dia tepat di hadapan Raja.

Pemandu Lokal menyampaikan Pantun kepada Raja

Raja Boti menerima kami dengan Adat Komunikasi berupa pantun adat diucapkan oleh pemandu lokal yang menjelaskan maksud kedatangan kami dan bermohon kesediaan Raja untuk menerima. Prosesi diawali dengan

meletakan tempat sirih yang berisi pinang dua buah serta sirih dua buah di meja tepat di depan Raja Namah Benu, setelah terjadi pembicaraan maka Raja segera membalas ucapan dari pemandu lokal kami dan mengambil sirih, pinang serta uang yang berada di dalam tempat sirih didepannya. Hal ini menandakan bahwa kedatangan kami diterima oleh Raja dan masyarakat Suku Boti. Setelah itu kami bersalaman dengan Raja dan beberapa masyarakat yang hadir di rumah Raja. Setelah prosesi penyambutan, kami disuguhi minuman dan kue dan selanjutnya dipersilahkan menuju homestay yang telah disediakan.

Homestay kami

Saya dalam Kamar di Homestay Saat itu malam telah menyelimuti perkampungan suku Boti, hanya cahaya bulan yang menyinari perjalanan kami menuju homestay yang berjarak 150 meter dari Rumah Raja. Homestaynya sederhana dengan 3 buah kamar dan satu ruang tamu dengan satu set kursi tamu. Selanjutnya kami akan diundang untuk makan malam, tepat pukul 20.00 seorang Haef atau utusan mendatangi kediaman kami untuk mengundang kami makan malam di Rumah Raja. Keunikan yang kami jumpai adalah alat makan yaitu, piring, gelas dan sendok semuanya terbuat dari tempurung kelapa. Hal ini menambah sensasi tersendiri saat kami menikmati hidangan santap malam yang telah disediakan. Dan sebagai penghormatan bagi tamu, Raja dan orang-orang yang ada ditempat itu mempersilahkan kami makan terlebih dahulu sedangkan mereka akan makan setelah kami makan.

Teh dan Pisang Goreng

Sajian Makan Malam kami

Wadah makan kami Kesederhanaan serta penghormatan yang nampak saat kami makan, remaja putri yang melayani kami makan duduk bersila dibawah meja makan, hal ini sebagai penanda bahwa mereka menghormati tamu yang sedang makan. Setelah menikmati makan malam, kami lanjutkan berbincang-bincang dengan Raja serta beberapa masyarakat yang berada di Rumah Raja. Tepat pukul 21.00, kami pamit untuk beristirahat dan kembali ke Homestay kami. Bangun pagi kami menjumpai Haef sudah berada di ruang tamu homestay kami, ternyata pagi itu dia mengundang kami untuk menikmati sarapan pagi di Rumah Raja. Bergegas kami mempersiapkan diri menuju rumah raja. Setelah sarapan pagi kami bersiap untuk aktifitas kami di perkampungan suku Boti. Hari itu kami melihat secara langsung pekerjaan anak-anak dan ibu-ibu Suku Boti dalam menggolah kapas menjadi benang dan selanjutnya menenun menjadi kain untuk dijual dan digunakan sehari-hari. Kegiatan ini sudah merupakan kegiatan harian dari anak-anak dan ibu-ibu Suku Boti. Segala yang dari alam digunakan untuk proses pembuatan kain tradisional. Kapas yang dipintal biasanya dikerjakan oleh anak-anak berupa Beninis yaitu tahapan pemisahan biji kapas dari kapas, selanjutnya proses penghalusan kapas dilanjutkan dengan pembuatan rol-rol kapas. Proses selanjutnya adalah pengulungan menjadi benang, dan dilanjutkan dengan pemberian warna alami pada masing-masing benang, seperti warna merah dari buah mengkudu, kuning dari kunyit dan lain-lain.

Anak-anak Suku Boti sedang mengolah kapas menjadi Benang

Menenun Selepas makan siang, kami mencoba mengitari perkampungan suku Boti. Hanya pemandangan rumah-rumah sederhana yang kami jumpai, penduduk jarang kami jumpai karena dari pagi hingga sore biasanya penduduk Boti berada di kebun, hanya beberapa anak yang kelihatan. Namun kamu tertarik dengan aktifitas mereka mengambil air yang dimasukan dalam bambu yang diletakkan ditas kepala. Kami mengikuti mereka untuk mengambil air, keadaan ini membuat kami merasakan keseharian mereka dalam mengambil air langsung dari disumber mata air. Kami menuruni beberapa bukit hingga tiba di Sumber mata air. Karena hal ini sudah merupakan kebiasaan mereka, maka tidaklah nampak kesulitan dari anak-anak ini naik turun bukit dengan beban yang meraka

bawa. Hanya saja saya dan rekan saya agak berhati-hati karena bukit yang kami turuni bahkan daki begitu tinggi dan curam.

Mengambil Air

Mengambil Air

Mencoba untuk membawa tempat air (Foto: Tuti W) Selepas makan malam kami direncanakan akan menyaksikan penampilan atraksi kesenian dari Suku Boti. Tepat Pukul 20.30 malam itu kami telah berada di bagian belakang rumah raja. Di Lopo samping rumah sudah duduk berjejer para Ibu dan Remaja Putri Suku Boti siap memainkan Tufu atau Gendang, Laban Ote atau Gamelan untuk mengiringi tarian. Dipingiran halaman duduk beberapa masyarakat dan Papa Raja yang duduk di dekat Lopo. Sebelum kami menyaksikan tarian dan persembahan Suku Boti, kami dikalungkan kain tenun khas oleh putri suku Boti.

Tari Swo Ma Eka

Penari Cilik Atraksi tarian pertama malam itu adalah Tari Swo Ma Eka, yaitu Tari Perang Suku Boti yang memberikan semangat kepada pemuda Boti yang akan maju berperang. Tarian diawali dengan teriakan oleh salah seorang pemuda yang berlari ketengah lapangan dengan pedang ditangannya serta kaki yang dibalut dengan hiasan bulu ekor kuda. Hentakan kaki serta gerakan dinamis dipadukan dengan bunyi Gendang dan Gamelan yang ditabuh. Kemudian masuk ke arena lapangan Gadis-Gadis Boti sambil memberi hormat terlebih dahulu pada kami dan memberikan kami Tais yang dikalungkan sebagai simbol kami dipersilahkan untuk menonton pertunjukan mereka malam itu.

Beberapa penari baik Orang tua dan anak-anak ikut menari dengan menyamakan gerakan mereka seiring dengan pukulan Gendang dan gamelan. Para penari perempuan dengan ciri khas gerakan yang memainkan Tais yang mereka kenakan, sedangkan para penari pria dengan kain destar di kepala mereka memainkan pedang dan sarungnya sambil ikut melompat serta meneriakan yel-yel pemberi semangat.

Tari Burung Nuri Setelah hampir 30 menit atraksi tarian, Gong, Gendang dan Gamelan berhenti ditabuh, itu tandanya tarian pertama malam itu selesai. Selanjutnya Papa Raja menunjukan atraksinya malam itu dengan memainkan gambus Boti sambil mengiringi Ibu-Ibu menyanyikan lagu mengiringi tari kedua yaitu Tari Kol Kita atau tarian Burung Nuri. Gerakan tarian Kol Kita mirip dengan tarian yang pertama, hanya yang membedakan pada tari ini dinyanyikan syair-syair berupa pesan-pesan agar kita mencintai alam sebagai pesan bagi masyarakat Boti khususnya dan kita yang mendengarkan umumnya. Menariknya dari persembahan tarian dan atraksi malam itu adalah hampir semua masyarakat yang hadir dapat menari baik tua maupun muda selama mereka mengunakan tais atau pedang untuk mengiringi tarian serta gerakan yang mereka lakukan. Pukul 23.00 semua persembahan atraksi kesenian oleh Suku Boti berakhir, dan kami pamit untuk istrahat malam itu. Pukul 07.00 pagi kami telah bersiap untuk pamit kepada Raja dan masyarakat Suku Boti, karena hari itu kami akan meneruskan perjalanan kami selanjutnya. Seperti biasa prosesi adat untuk

pamitan telah dipersiapkan oleh pemandu lokal kami. Rumah Raja pagi itu sudah dipenuhi oleh beberapa masyarakat dan mereka mempersilahkan kami untuk menikmati sajian teh pagi itu.

Dikalungkan Tais sebagai penghormatan

Foto dengan Raja dan masyarakat Boti Seperti biasa pemandu lokal menyampaikan pantun dalam bahasa lokal yang berisi ucapan terimakasih. Suasana haru nampak dalam kata-kata yang diucapkan, dan kami melihat pemandu kami sempat menitikan airmata saat membacakan pantun pamitan kepada Raja. Kami yang hadir disitu nampak terbawa dengan suasana, beragam pengalaman yang kami alami selama dua hari diperkampungan ini begitu membekas, apalagi penyambutan mereka kepada kami sangat baik. Hal ini yang membuat kami juga merasakan kesedihan saat perpisahan ini. Setelah prosesi pamitan, kami dihampiri oleh putri Boti dan dikalungkan Tais (kain tenun) sebagai ucapan terimakasih dan menurut informasi hal ini pertanda kami diterima keberadaan selama berada 2 hari dengan mereka. Pengalaman hidup dengan mereka benar-benar berkesan. Suku Boti yang dikenal juga dengan Atoni Pah Meto atau Orang yang suka bekerja di tanah kering ini adalah berladang dan beternak. Suku Boti yang tetap menjunjung tinggi adat istiadat serta petuah leluhur mereka ini selalu terbuka untuk menerima siapa saja yang datang berkunjung.

Selamat Jalan Terimakasih atas keramahan yang telah dibagi, Suku Boti, benteng akhir budaya di Pulau Timor. Dan kami pun meninggalkan perkampungan suku Boti yang penuh dengan keramahan dan kesederhanaan, sambil menyaksikan lambaian serta senyum khas mereka dan tulisan yang terpampang di pintu keluar Koenom amfain ahoit teu Hot Sonaf artinya Selamat Jalan menuju tempat tinggal anda. Selamat.
http://siaguslah.wordpress.com/2011/01/13/suku-boti-benteng-akhir-budaya-di-pulautimor/

Silkus Kehidupan Suku Boti


Diposkan oleh JURNALIS NTT di 6:28 PM

Foto Muklis Alwi LUKISAN BOTI--Pria Boti menunjukkan lukisan tentang benda-benda milik orang Boti pada bupati TTS, Daniel Banunaek. Sumber Buku Laporan Hasil Kajian Upacara Siklus Kehidupan Masyarakat Suku Boti- Kabupaten TTS. Diterbitkan oleh UPTD Arkeologi, Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
MESKI jumlah penduduk Boti Dalam makin berkurang, namun mereka masih survive tetap melaksanakan upacara-upacara peninggalan nenek moyang mereka. Setelah beberapa tahap yakni upacara kelahiran atau lais mahont, masa persalinan (mahonit), upacara pengenalan anak dengan dunia luar (Napoitan Liana). Selanjutnya, masyarakat Boti juga masih menggelar upacara-upacara yang merupakan kelanjutan dari upacara-upacara tersebut. Upacara yang dilakukan lebih lanjut pada sang anak adalah: Upacara pemberian nama (nakanab) Masyarakat Boti biasanya memberi nama anak mereka saat bayi usia empat bulan. Upacara pemberian nama ini disebut Na kanab li ana dilakukan oleh tua adat. Di rumah orangtua bayi dibentangkan selembar tikar yang di atasnya tersedia dua tempurung yang telah diisi air yang sudah diolah dengan ramuan tradisional dan telah didoakan secara adat. Di hadapan undangan air ramuan dipercikan kepada bayi oleh tua adat yang diikuti dengan pemberian nama kepada bayi. Proses ini dilakukan hingga bayi tersebut menangis. Saat bayi menangis, para undangan secara bergiliran mengucapkan namanama yang ada hubungannya dengan silsilah keturunan warga Boti Dalam. Namanama yang disebutkan antara lain Mollo, Nune, Bota, Tosi, Heke, Boi Sau, Muke dan lain-lain. Bila bayi berhenti menangis saat sebuah nama disebutkan, maka nama

itulah yang akan diberikan kepada sang bayi. Bagi masyarakat Boti, sang bayi menangis berarti meminta nama dan berhenti menangis berarti menyetujui nama tersebut. Upacara mencukur rambut (Eu Nakfunu) Mencukur rambut pada anak-anak suku Boti dilakukan sekali dalam seumur hidup. Bila telah melakukan upacara cukur, selanjutnya rambut dibiarkan panjang dan dibiarkan untuk dikonde seperti halnya perempuan. Upacara mencukur rambut dimaksudkan untuk memberikan jalan untuk kehidupan selanjutnya. Ini diketahui pada kebiasaan yang ada, di mana setiap anak yang dicukur rambutnya bertanda bahwa sang ibu dari anak tersebut sudah mengandung lagi. Upacara ini dilakukan oleh Atoin Amaf (saudara laki-laki dari ibu) yang didahului dengan doa-doa adat oleh salah seorang dukun atau tua adat. Ada pengecualian dalam upacara ini, yakni jika seorang ibu yang sudah dekat saatnya untuk melahirkan maka tidak diperkenankan melaksanakan upacara ini. Kepercayaan ini dipegang tegu dan apabila dilanggar maka akan menghadirkan celaka, misalnya kematian terhadap ibu atau bayi yang akan dilahirkan. Sebaiknya upacara mencukur rambut dilakukan sebelum ibu mengandung anak berikutnya. Upacara mencukur rambut bermaksud membantu pertumbuhan dan kesuburan badan anak tersebut, karena diyakini rambut yang dibawa dari kandungan ibu mengandung unsur panas. Bila tidak dicukur, anak akan sakit-sakitan. Perkawinan (Mafet Mamamonet). Dalam masyarakat Boti bila ada pria dari Boti Luar (masyarakat Boti yang sudah menganut agama Kristen) yang jatuh cinta pada gadis Boti Dalam dan kemudian berencana mengambilnya menjadi istri, maka sang pria harus membuat pernyataan secara adat untuk mengikuti tata cara adat Boti Dalam. Demikian pula sebaliknya, jika ada gadis Boti Dalam yang menjalin asmara dengan pria Boti Luar, maka ia hanya diperkenankan menetap di Kampung Boti Dalam, bila laki-lakinya ikhlas mengikuti adat istiadat yang berlaku di Boti Dalam dan tinggal di lingkungan mereka. Syarat pengecualian ini diberlakukan semata-mata untuk tetap mempertahankan kemurnian dan keberlanjutan adat kebiasaan yang semakin terkikis oleh pengaruh budaya luar yang semakin menggeser kebudayaan yang diwariskan oleh para leluhur suku Boti. Tata cara perkawinan dalam adat istiadat suku Boti terdiri dari beberapa tahap yang membutuhkan waktu hingga tahunan lamanya. Mulai dari proses perminangan, hidup berkeluarga (rumah tangga) sampai dengan peresmian secara adat. Peminangan (Toif Bife). Awal dari sebuah proses perkawinan pada masyarakat Dawan, yakni Toit Bi Fe

(meminang gadis) dan memberikan tanda ikatan. Bagi masyarakat Boti, peminangan dilakukan oleh perantara yang merupakan utusan pihak laki-laki. Perantara ini disebut Nete Lanam, yakni seorang tetua adat mendatangi orangtua gadis. Saat bertemu akan terjadi tegur sapa, dan perantara ini membuka isi hati menurut tutur adat dengan maksud untuk mencari tahu apakah anak gadis yang dimaksud sudah mempunyai calon suami atau belum. Jika jawaban yang diberikan orangtua sang gadis adalah si gadis sudah dilamar pria lain, maka pembicaraan akan dihentikan. Tapi, bila jawaban belum ada pria lain yang melamar, maka perantara atau Nete Lanan dari keluarga laki-laki akan menyampaikan maksud kedatangannya yakni untuk melamar anak gadis. Seterusnya pendekatan yang dilakukan oleh perantara Nete Lanan akan mendapat jawaban setuju atau menerima lamaran dari keluarga laki-laki. Dari jawaban tersebut, juga akan terjadi kesempatan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya dengan menetapkan waktu pelaksanaannya. Ikatan Perkawinan (Maftus Neo Mafet Mamonet) Tahapan ikatan perkawinan merupakan kelanjutan dari kesepakatan yang sudah ditentukan pada tahap peminangan. Ikatan adat ini disebut Ma Fut Nekaf yang merupakan tahap penyerahan syarat dalam ikatan adat berupa sopi (minuman tradisional beralkohol) satu botol (waktu lalu), kini telah diganti dengan gula air satu botol dan satu kepingan uang logam (golden Belanda) bernilai 25 sen atau 50 sen. Dalam masyarakat Dawan, hal ini disebut dengan istilah Tua Boit Mese, Noin Sol Mese. Arti harafiahnya adalah penyerahan sebotol sopi dan sesen uang, sebagai ikatan awal dari sebuah proses perkawinan Suku Bangsa Dawan. Pada Masyarakat Boti Dalam setelah penyerahan syarat ikatan adat berupa Tua Boit Mese, Noin Sol Mese, maka orangtua gadis dengan rela hati menyerahkan anak gadis kepada keluarga laki-laki dan tinggal serumah dengan laki-laki yang melamarnya sebagai suami istri. Namun sebelum keluarga laki-laki membawa gadis tersebut untuk menjalani kehidupan sebagai suami-istri, pasangan ini akan diberi petuah dan nasihat oleh orangtua dari kedua pihak. Nasihat biasanya berisikan agar kedua orang itu bekerja sama untuk menjalani kehidupan, saling setia dan tetap patuh dan hormat pada nilainilai dan norma-norma yang diwariskan oleh leluhur mereka, selalu berbuat baik pada sesama, tidak merusak hutan dan mejaga lingkungan alam sekitar serta tidak membunuh segala jenis hewan yang ada di hutan, hemat dalam hidup dan menabung untuk menghadapi kesulitan dalam hidup. Hidup Berumah Tangga (Monit Mafet Ma Monet) Menurut masyarakat Boti, bila tahap ini belum dilaksanakan, maka belum sah secara penuh dalam satu proses perkawinan. Tahap ini merupakan awal untuk menjalankan

suatu tanggung jawab secara mandiri dalam rangka mempersiapkan segala kebutuhan untuk pemenuhan kebutuhan dalam rumah tangga sebagai suami dan istri. Pada tahap ini, seorang laki-laki akan menunjukkan karyanya kepada istri dan orangtuanya sebagai jawaban atas amanat yang ia terima pada saat pembicaraan dalam upacara Napoitana Li Ana, yakni kami datang membawa auni ma suni (pedang dan tombak). Kedua jenis perangkat ini adalah peralatan hidup bagi seorang laki-laki Suku Dawan untuk mengelola alam yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup beserta keluarga. Sementara sang istri akan menunjukkan kepiawaian sebagai penyulam dan penenun yang mahir. Dari dua perangkat alat kerja yakni Ike Ma Suti yaitu alat pemintal benang bagi perempuan Dawan untuk memperindah tubuhnya dan suami serta anakanak. Bakti Kepada Orangtua (Maka Upa Ncu Mnasi) Pada masyarakat Dawan umumnya, tahap ini lebih populer dengan nama "pembayaran belis" (mas kawin) atau istilah adatnya disebut pua mnasi-manumnasi atau oemaputu Ai Malala. Bagi masyarakat Boti, tahap ini merupakan tanggung jawab yang semata-mata dibebankan kepada pasangan suami istri yang tidak menjadi beban dari orangtua pihak laki-laki maupun kerabat yang pada akhirnya akan menjadi beban moril (hutang) bagi laki-laki yang akan kawin bahkan juga melibatkan istrinya di kemudian hari. Pada tahap ini keluarga meminta pasangan suami istri dapat menunjukkan sikap berbakti yang telah diberikan selama tiga tahun berumah tangga. Bakti kepada orangtua adalah hasil yang telah diperoleh selama tiga tahun antara lain hasil dari kebun berupa padi dan jagung, hasil dari menyulam dan menenun berupa sarung dan dan selimut, hewan peliharaan berupa ayam, babi, kambing, sapi dan kerbau serta hasil lainnya. Bahan-bahan tersebut dikumpulkan oleh pasangan suami istri. Keduanya kemudian mengumpulkan semua sanak keluarga dari pihak suami dan istri untuk mengadakan pesta syukuran adat sebagai tahap akhir dari suatu proses perkawinan di kampung adat Boti. Berakhirnya pesta bakti ini maka resmi sudah suatu perkawinan di kalangan masyarakat Boti yang membutuhkan waktu tiga tahun. (*/alf)

Pos Kupang Edisi Minggu 29 Juni 2008, halaman 11

http://jurnalis-ntt.blogspot.com/2008/07/silkus-kehidupan-suku-boti.html

You might also like