You are on page 1of 27

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG FAKULTAS ILMU SOSIAL

PROPOSAL SKRIPSI (REVISI) Disusun untuk memenuhi tugas Seminar Proposal Skripsi Dosen Pengampu : Drs. Slamet Sumarto, M.Pd. Diajukan Oleh: Nama NIM Jurusan Prodi : : : : Rizal Akhmad Prasetyo 3301409100 Hukum dan Kewarganegaraan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

I.

JUDUL POLA ASUH ORANGTUA DALAM MENANAMKAN NILAI MORAL PADA ANAK RETARDASI MENTAL (STUDI KASUS DI KEC. KOTA KABUPATEN KUDUS)

II. LATAR BELAKANG Tidak semua individu dilahirkan dalam kondisi yang normal. Beberapa di antaranya memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun psikis, yang telah dialami sejak awal masa perkembangan. Keterbelakangan mental adalah salah satu bentuk gangguan yang dapat ditemui di berbagai tempat, dengan karakteristik penderitanya yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata (IQ di bawah 75), dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi maupun melakukan berbagai aktivitas sosial di lingkungan. Individu dengan keterbelakangan mental memiliki fungsi intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata, dan lebih lanjut kondisi tersebut akan berkaitan serta memberikan pengaruh terhadap terjadinya gangguan perilaku selama periode perkembangan (Hallahan & Kauffman, 1988). Prevalensi penderita keterbelakangan mental di Indonesia saat ini diperkirakan telah

mencapai satu sampai dengan tiga persen dari jumlah penduduk seluruhnya, dan jumlah tersebut dimungkinkan akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Terlepas dari bagaimanapun kondisi yang dialami, pada dasarnya setiap manusia memiliki hak yang sama untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Setiap orang berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif dan suportif, termasuk bagi mereka yang mengalami keterbelakangan mental. Akan tetapi realita yang terjadi tidaklah selalu demikian. Di banyak tempat, baik secara langsung maupun tidak, individu berkebutuhan khusus ini cenderung disisihkan dari lingkungannya. Penolakan terhadap mereka tidak hanya dilakukan oleh individu lain di sekitar tempat tinggalnya, namun beberapa bahkan tidak diterima dalam keluarganya sendiri. Beragam perlakuan pun dirasakan oleh mereka. Mulai dari penghindaran secara halus, penolakan secara langsung, sampai dengan sikap-sikap dan perlakuan yang cenderung kurang manusiawi. Padahal apa yang sebenarnya terjadi dalam diri mereka hanyalah hambatan pada perkembangan intelektualnya. Anak dan remaja yang mengalami keterbelakangan mental tetap memiliki kemampuan lain yang masih dapat dikembangkan dan dioptimalkan untuk membantunya beraktivitas seperti orang normal, dan memberikan peran tertentu di masyarakat meskipun terbatas. Anak yang memiliki

keterbelakangan mental atau down syndrome seharusnya diperlakukan sama dengan anak normal lainnya. Jika diberi kesempatan, mereka bisa percaya diri dan berprestasi. Individu yang mengalami keterbelakangan mental masih dapat mempelajari berbagai ketrampilan hidup apabila orang-orang di sekitarnya memberikan kesempatan dan dukungan yang dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ismed Yusuf dalam Majalah Psikiatri Jiwa (Sembiring, 2002) bahwa masih ada bagian intelektual anak dengan keterbelakangan mental yang dapat dikembangkan dengan suatu tindakan atau penanganan khusus. Penanganan khusus yang dimaksud ditujukan untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya agar dapat mencapai

kemampuan adaptasi yang juga optimal.

Banyak wilayah di Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, di mana sebagian besar penduduknya mungkin belum mengetahui banyak informasi mengenai Down Syndrome dan retardasi mental, para penderita gangguan ini mendapat perlakuan yang tidak selayaknya. Perlakuan yang tidak layak dalam konteks ini adalah mungkin dianggap gila oleh masyarakat atau tidak mendapat perawatan yang tepat. Hal ini lah yang menghambat proses pengoptimalisasian potensi yang dimiliki anak-anak dengan gangguan mental dan Down Syndrome. Keluarga dalam hal ini adalah lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan mereka. Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas berbagai program penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak dan remaja yang mengalami keterbelakangan mental akan sangat tergantung pada peran serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab pada dasarnya keberhasilan program tersebut bukan hanya merupakan tanggung jawab dari lembaga pendidikan yang terkait saja. Di samping itu, dukungan dan penerimaan dari setiap anggota keluarga terutama orang tua akan memberikan energi dan kepercayaan dalam diri anak dan remaja yang terbelakang mental untuk lebih berusaha meningkatkan setiap kemampuan yang dimiliki, sehingga hal ini akan membantunya untuk dapat hidup mandiri, lepas dari ketergantungan pada bantuan orang lain. Sebaliknya, penolakan yang diterima dari orangorang terdekat dalam keluarganya akan membuat mereka semakin rendah diri dan menarik diri dari lingkungan, selalu diliputi oleh ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya mereka benar-benar menjadi orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta tergantung pada orang lain, termasuk dalam merawat diri sendiri. Jamaris (2005) berpendapat bahwa karakter dan integritas

perkembangan anak terbentuk pertama-tama di lingkungan keluarga. Di lingkungan kecil itulah individu mengenal dan belajar tentang berbagai tata nilai melalui pendidikan yang diberikan, tata nilai akan ditumbuhkembangkan agar yang bersangkutan siap memasuki dunia nyata di luar kehidupan keluarga. Wall (1993) berpendapat bahwa anak atau individu yang

mengalami retardasi mental memerlukan bantuan orang lain untuk menunjang hubungan dengan individu lain agar dapat berjalan lancar. Peran orang tua sangat dibutuhkan oleh anak yang mengalami retardasi mental. Anak-anak tersebut memerlukan bimbingan dan arahan yang bijaksana dari orang tua. Sebagai contohnya orang tua dapat menanamkan pengertian pada anak, bahwa setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Bisono (2003) seorang psikolog di Jakarta mengatakan bahwa orang tua yang mempunyai anak cacat fisik atau mental memerlukan kesabaran dalam membimbing anak tersebut, selain itu juga diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai pribadi anak. Dengan kesabaran dan pemahaman pribadi anak, orang tua dapat membantu anak memiliki kepercayaan diri sehingga anak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hurlock (1991) menambahkan bahwa sikap positif orang tua terhadap anak yang memiliki keterbelakangan mental akan membantu anak mampu memandang dirinya secara realistis serta menilai kekuatan dan kelemahannya secara objektif. Bantuan-bantuan yang dapat diberikan oleh orang tua menurut Hallahan dan Kauffman (Wall, 1993) adalah bimbingan dan dorongan agar anak yang mengalami retardasi mental dapat hidup mandiri. Oleh sebab itu, diperlukan penanganan khusus dan keterlibatan orang tua agar anak retardasi mental dapat berkembang secara optimal. Dayakisni dan Hudaniyah (2003) berpendapat bahwa sikap dan kebiasaan yang diterapkan oleh orang tua dalam keluarga menunjukkan adanya kecenderungan yang mengarah pada pola pengelolaan dan perawatan terhadap anak, sebagai usaha mencapai kebahagiaan keluarga. Berkaca dari keadaan para penderita baik gangguan mental maupun Down Syndrome di luar negeri, eksistensi mereka di Indonesia pun dapat dioptimalkan. Jika di luar di negeri kita sering mendengar mereka dapat bersekolah, bekerja, bahkan di Rusia ada yang berhasil menjadi aktor, di Indonesia pun tak ada kata tidak mungkin untuk melakukannya. Itu semua tidak terlepas dari hasil pendidikan yang menerapakan nilai-nilai moral yang didalamnya mencakup kedisiplinan, ketaatan, kejujuran kerja keras tanpa pamrih dan sebagainya, sehingga mampu menghasilkan karya yang tidak

kalah dengan manusia normal. Bahkan dalam hal tata pergaulan di dalam lingkungan masyarakat yang harus menerapkan aturan sopan santun, unggahungguh, tata krama sebagai cerminan nilai moral, anak-anak cacat menurut pangamatan sementara penulis tidak kalah kualitasnya dengan anak-anak normal lainnya. Permasalahan yang terjadi adalah anak-anak penderita retardasi mental tersebut tidak mendapat perlakuan yang baik dari masyarakat dikarenakan mereka dianggap anak yang tak punya moral, berkelakuan nakal, dan tak ada manfaatnya bagi masyarakat, hal seperti ini banyak terjadi di berbagai lingkungan masyarakat kota Kudus. Padahal mereka yaitu anak-anak penderita retardasi mental bukanlah tidak bermoral atau berkelakuan nakal, mereka hanya tidak bisa berpikir seperti anak-anak normal lainnya, mereka juga butuh pendidikan dan bimbingan yang lebih untuk nantinya bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peran orang tua disini sangat penting sekali karena merupakan orang terdekat bagi anak penderita retardasi mental tersebut untuk dapat membantu mereka mengerti dan memahami segala hal menyangkut kehidupan bermasyarakat serta nilainilai moral yang ada sehingga nantinya mampu berinteraksi secara baik dalam masyarakat. Atas dasar kenyataan itu penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana pola asuh orangtua dalam menanamkan nilai moral yang memiliki anak retardasi mental studi kasus di kabupaten kudus agar anak penderita retardasi mental tersebut mampu berkembang secara optimal dengan baik.

III. IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pola asuh orangtua dalam menanamkan nilai moral pada anak retardasi mental di Kec. Kota Kabupaten Kudus? 2. Kendala-kendala apa sajakah yang dihadapi orangtua dalam menanamkan nilai moral pada anak retardasi mental?

IV. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan judul dan rumusan masalah yang penulis kemukakan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui bagaimana pola asuh orangtua dalam menanamkan nilai moral pada anak retardasi mental di Kec. Kota Kabupaten Kudus. 2. Mengetahui kendala-kendala apa sajakah yang dihadapi orangtua dalam menanamkan nilai moral pada anak retardasi mental.

V.

MANFAAT PENELITIAN 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis yaitu : a. Menambah data tentang pola asuh orangtua dalam menanamkan nilai moral pada anak retardasi mental. b. Menambah wawasan tentang penanaman nilai moral. 2. Secara Praktis Hasil ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis yaitu sebagai salah satu sumber dan sebagai bahan perbandingan bagi keluarga dan orangtua dalam menanamkan nilai moral pada anak retardasi mental. 3. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat mengenai anak retardasi mental sehingga bersikap dan berperilaku baik pada anak-anak retardasi mental sebagaimana yang diinginkan oleh kita semua. 4. Bagi Pengembangan Ilmu Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam membantu memberikan pengetahuan dan mengembangkan pemahaman suatu pihak yang berkepentingan dengan penanaman nilai moral.

VI. PENEGASAN ISTILAH Penelitian ini mengambil judul POLA ASUH ORANGTUA DALAM MENANAMKAN NILAI MORAL PADA ANAK RETARDASI MENTAL (STUDI KASUS DI KEC. KOTA KABUPATEN KUDUS). Untuk menghindari adanya kesalah penafsiran terhadap judul proposal skripsi, membatasi ruang lingkup permasalahan yang diteliti, sehingga mudah dibaca, dipahami, dimengerti juga sebagai pedoman dalam pelaksanaan penelitian maka perlu penegasan sebagai berikut:

A. Pola Asuh Secara etimologi, pola berarti bentuk, tata cara. Sedangkan asuh berarti menjaga, merawat dan mendidik. Sehingga pola asuh berarti bentuk atau sistem dalam menjaga, merawat dan mendidik. B. OrangTua Orangtua adalah ayah dan ibu yang melahirkan manusia baru ( anak ) serta mempunyai kewajiban untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak tersebut guna menjadi generasi yang baik. C. Nilai Moral Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Purwodarminto dinyatakan bahwa nilai adalah harga, hal-hal yang berguna bagi manusia. Menurut Wayan Koyan (2000 :12), nilai adalah segala sesuatu yang berharga. Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun pengertian moral berasal dari bahasa latin mores, dari suku kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, watak, tabiat, akhlak (K.Prent, et al dalam Soenarjati 1989 : 25). Dalam perkembangannya moral diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, yang susila (Amin Suyitni, dalam Soenarjati 1989 : 25). Dari pengertian itu dikatakan bahwa moral adalah berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dapat dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral

yang ada. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidahkaidah yang ada, maka ia akan dikatakan jelek secara moral. Nilai moral adalah sesuatu yang dianggap baik dan digunakan sebagai pedoman yang konkrit untuk bersifat dan mengukur baik buruknya sikap perilaku seseorang. D. Retardasi Mental Retardasi mental (RM) adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki kemampuan mental yang tidak mencukupi (WHO). Retardasi mental adalah kelainan fungsi intelektual yang subnormal terjadi pada masa perkembangan dan berhubungan dengan satu atau lebih gangguan dari maturasi, proses belajar dan penyesuaian diri secara sosial. RM adalah suatu keadaan yang di tandai dengan fungsi intelektual berada di bawah normal, timbul pada masa perkembangan/dibawah usia 18 tahun, berakibat lemahnya proses belajar dan adaptasi sosial. Retardasi mental diartikan sebagai kelemahan/ketidakmampuan kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum usia 18 tahun) ditandai dengan fungsi kecerdasan di bawah normal (IQ 70 75 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua area berikut :berbicara dan berbahasa;ketrampilan merawat diri, ADL; ketrampilan sosial; penggunaan sarana masyarakat; kesehtan dan keamanan; akademik fungsional; bekerja dan rileks, dll.

VII.CARA PEMECAHAN MASALAH Penerapan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini merupakan salah satu solusi untuk memecahkan permasalahan pola asuh orang tua dalam hal menanamkan nilai moral yang memiliki anak retardasi mental. Cara pemecahan masalah melalui pendekatan kualitatif ditujukan untuk

mengetahui aktivitas serta mengumpulkan data berdasarkan pengamatan situasi yang wajar (alamiah) sebagaimana adanya tanpa dipengaruhi atau dimanipulasi. Instrument yang digunakan untuk mengambil data aktivitas siswa berupa lembar observasi.. Selain itu juga dilengkapi dengan data

sekunder yang berupa data keluarga, orang tua dan keterangan jenis retardasi mental yang dialami anak serta dokumentasi penelitian.

VIII. LANDASAN TEORI A. Pola Asuh OrangTua 1. Pengertian Pola Asuh Orangtua Mussen berpendapat bahwa pola asuh orangtua adalah suatu cara yang digunakan orangtua dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak-anaknya mencapai tujuan yang diinginkan. Dimana tujuan tersebut antara pengetahuan, nilai moral, dan standar perilaku yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti (Mussen, 1994:395). Dari pendapat Mussen tentang pola asuh orangtua, mengatakan bahwa pola asuh merupakan cara orangtua yang diterapkan pada anak. Dalam hal ini menyangkut berbagai macam cara orangtua dalam mendidik anak menuju suatu tujuan tertentu. Wahyuni menjelaskan, bahwa pola asuh adalah model dan cara pemberian perlakuan seseorang kepada orang lain dalam suatu lingkungan sosial, atau dengan kata lain pola asuh adalah model dan cara dari orangtua memperlakukan anak dalam suatu lingkungan keluarganya sehari-hari, baik perlakuan yang berupa fisik maupun psikis (Gunarsa, 1976:144). Pola asuh orangtua menurut Wahyuni merupakan suatu pemberian model polaa asuh dalam lingkungan sehari-hari. Dimana pemberian model itu juga terdapat perlakuan. Perlakuan fisik dan psikis. Menurut Wahyuni, sikap orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak dipengaruhi oleh adanya beberapa faktor diantaranya pengalaman masa lalu yang berhubungan erat dengan pola asuh ataupun sikap orangtua mereka, nilai-nilai yang dianut oleh orangtua, tipe kepribadian dari orangtua, kehidupan perkawinan oranhgtua dan alasan orangtua mempunyai anak (Gunarsa, 1976:144). Dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pola asuh orangtua adalah pola interaksi antara orangtua dengan anak, yang mana pola asuh orangtua tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

pengalaman masa lalu yang berhubungan erat dengan pola asuh ataupun sikap orangtua mereka, nilai-nilai yang dianut oleh orang tua, tipe kepribadian dari orangtua, kehidupan perkawinan orangtua dan alasan orangtua mempunyai anak, dengan tujuan untuk mendidik dengan cara mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orangtua pada anak, agar anak dapat mandiri, tumbuh serta berkembang secara sehat dan optimal dalam lingkungannya. Dalam pola asuh orangtua tersebut terdapat pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh permisif. 2. Macam-macam Pola Asuh Orangtua Bolsom menyatakan bahwa pola asuh dapat digolongkan dalam tiga macam, yakni (Andri, Winarti dan Utami, 2001:71) : a. Pola Asuh Otoriter Orangtua berada pada posisi arsitek. Orangtua dengan cermat memutuskan bagaimana individu harus berperilaku, memberikan hadiah atau hukuman agar perintah orangtua ditaati. Tugas dan kewajiban orangtua tidak sulit, tinggal menentukan apa yang diinginkan dan harus dikerjakan atau yang tidak boleh dikerjakan oleh anak-anak mereka. Pada pola asuh otoriter ini anak hanya dianggap sebagi objek pelaksana saja dan orangtua yang berkuasa menentukan segala sesuatu untuk anak. Jika anak menentang atau membantah, maka orangtua tidak segan memberikan hukuman. Dalam hal ini kebebasan anak sangat dibatasi. Apa saja yang dilakukan anak harus sesuai dengan keinginan orangtua. Pada pola asuh ini akan terjadi komunikasi satu arah. Orangtua yang memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan keadaan dan keinginan anak. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orangtua. Karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya.

10

b. Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara orangtua dan anak (Gunarsa, 1995:84). Bisa dikatakan bahwa, pola asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan orangtua. Fromm berpendapat, bahwa anak yang dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana demokratis, perkembangannya lebih luwes dan dapat menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya anak yang dibesarkan dalam suasana otoriter, memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang harus ditakuti dan bersifat magi (rahasia). Hal tersebut mungkin menimbulkan sikap tunduk secara membuta kepada kekuasaan, atau justru sikap menentang kekuasaan (Ahmadi, 1991:180). Pola asuh demokratis ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orangtua dan anak. Orangtua dan anak membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya. Pada pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara orangtua dan anak. Orangtua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak. Orangtua memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak. Sehingga pada pola asuh demokratis ini dapat tercipta suasana komunikatif serta dapat tercipta keharmonisan antara orangtua, anak, dan sesame keluarga. Dengan pola asuh ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. c. Pola Asuh Permisif Pola asuh ini ditandai dengan orangtua yang tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Serta adanya kebebasan

11

pada anak tanpa batas untuk berperilaku sesuai dengan keinginan anak. Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan orangtua. Pada pola asuh ini anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Anak dipandang sebagai makhluk hidup yang berpribadi bebas. Kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orangtua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri apa yang diinginkannya. Orangtua yang seperti ini cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Pola asuh ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, lemah, tergantung dan bersifat kekanak-kanakan secara emosional. 3. Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua Menurut Wahyuni, dalam mengasuh dan mendidik anak, sikap orangtua dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pengalaman masa lalu yang berhubungan erat dengan pola asuh ataupun sikap orangtua mereka, tipe kepribadian orangtua, nilai-nilai yang dianut orangtua, kehidupan perkawinan orangtua dan alasan orangtua mempunyai anak (Gunarsa, 1976:144). Mindel menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi terbentuknya pola asuh orangtua, diantaranya : a. Budaya Setempat Lingkungan Masyarakat di sekitar tempat tinggal memiliki peran yang cukup besar dalam membentuk pola pengasuhan orangtua terhadap anak. Dalam hal ini mencakup segala aturan, norma, adat, dan budaya yang berkembang di dalamnya. b. Ideologi yang berkembang dalam diri orangtua Orangtua mempunyai keyakinan dan ideologi tertentu cenderung menurunkan pada ank-anaknya dengan harapan bahwa anantinya nilai dan ideologi tersebut dapat tertanam dan dikembvangkan oleh anak dikemudian hari.

12

c. Letak geografis norma etis Dalam hal ini, letak suatu daerah serta norma etis yang berkembang dalam masyarakat memiliki nperan yang cukup besar dalam membentuk pola asuh yang nantinya diterapkan orangtua terhadap anak. Penduduk pada dataran tinggi memiliki perbedaan karakteristik dengan penduduk dataran rendah sesuai dengan tuntutan serta tradisi yang berkembang pada tiap-tiap daerah. d. Orientasi religius Orientasi religius dapat menjadi pemicu diterapkannya pola asuh dalam keluarga. Orangtua yang menganut agama dan keyakinan religius tertentu senantiasa berusaha agar anak nantinya juga mengikuti agama dan keyakinan religius tersebut. e. Status ekonomi Status ekonomi juga mempengaruhi pola asuh yang nantinya akan diterapkan oleh orangtua pada anaknya. Dengan perekonomian yang cukup, kesempatan dan fasilitas yang diberikan serta lingkungan material yang mendukung cenderung mengarahkan pola asuh orangtua menuju perlakuan tertentu yang dianggap sesuai oleh orangtua. f. Bakat dan kemampuan orangtua Orangtua yang mempunyai kemampuan dalam komunikasi dan berhubungan dengan tepat dengan anak, cenderung

mengembangkan pola asuh sesuai dengan diri anak tersebut. g. Gaya hidup Norma yang dianut faktor dalam kehidupan yang sehari-hari nantinya sangat akan

dipengaruhi

lingkungan

mengembangkan suatu gaya hidup. Gaya hidup masyarakat di desa dan di kota besar memiliki berbagai macam perbedaan dan cara yang berbeda pula dalam interaksi serta hubungan orangtua dan anak. Sehingga nantinya hal tersebut juga mempengaruhi pola asuh yang diterapkan orangtua terhadap anak (Walker, 1992:3).

13

B. Nilai Nilai merupakan ukuran atau pedoman perbuatan manusia, karena itu maka nilai diungkapkan dalam bentuk norma dan norma ini mengatur tingkah laku. Nilai itu sifatnya sama dengan ide, maka nilai itu abstrak, bahwa nilai itu tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, yang dapat dilihat adalah obyek yang mempunyai nilai atau tingkah laku yang mengandung nilai. Nilai mengandung harapan atau sesuatu yang diinginkan oleh manusia. Karena itu nilai tersebut bersifat normatif, merupakan keharusan (das sollen) untuk diwujudkan dalam tingkah laku kehidupan manusia. Menurut Wayan Koyan (2000 :12), nilai adalah segala sesuatu yang berharga. Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Kohlberg mengklasifikasikan nilai menjadi dua, yaitu nilai obyektif dan nilai subyektif. Nilai obyektif atau nilai universal yaitu nilai yang bersifat instrinsik, yakni nilai hakiki yang berlaku sepanjang masa secara universal. Termasuk dalam nilai universal ini antara lain hakikat kebenaran, keindahan dan keadilan. Adapaun nilai subyektif yaitu nilai yang sudah memiliki warna, isi dan corak tertentu sesuai dengan waktu, tempat dan budaya kelompok masyarakat tertentu. Menurut Zubaidi (2005 : 4) diantara nilai-nilai yang perlu ditanamkan adalah sopan santun, berdisiplin, berhati lembut, beriman dan bertaqwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang rasa, jujur mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, kasih sayang, mempunyai rasa malu, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat, kebersamaan, setia, sportif, taat, takut bersalah, tawakkal, tega, tekun, tepat janji, terbuka dan ulet.

14

C. Moral Adapun pengertian moral berasal dari bahasa latin mores, dari suku kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, watak, tabiat, akhlak (K.Prent, et al dalam Soenarjati 1989 : 25). Dalam perkembangannya moral diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, yang susila (Amin Suyitni, dalam Soenarjati 1989 : 25). Dari pengertian itu dikatakan bahwa moral adalah berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dapat dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang ada. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada, maka ia akan dikatakan jelek secara moral. Sedangkan Lickona dalam bukunya Educating for Character (dalam Paul Suparno, Dkk. 2002) menekankan pentingnya

memperhatikan juga unsur dalam menanamkan nilai moral, yaitu : 1. Pengertian atau pemahaman moral Yaitu kesadaran moral, rasionalitas moral atau alasan mengapa orang harus melakukan suatu pengambilan keputusan yang berdasarkan nilai-nilai moral. 2. Perasaan moral Perasaan moral, lebih pada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik perasaan mencintai kebaikan dan sikap empati terhadap orang lain merupakan ekspresi dari perasaan moral. Perasaan moral ini sangat mempengaruhi seseorang untuk berbuat baik. Oleh sebab itu, perasaan moral perlu diajarkan dan dikembangkan dengaqn memupuk perkembangan hati nurani dan sikap empati. 3. Tindakan moral Tindakan moral yaitu kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan moral kedalam perilaku-perilaku nyata. Dari Drs. D. A. Wila Huky B.A. mengatakan : kita dapat memahami moral dengan tiga cara :

15

1) Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya. 2) Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia didalam lingkungan tertentu. 3) Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu. Menurut Zubaidi (2005:10) proses penanaman nilai moral yang dianggap cocok diterapkan untuk anak-anak adalah model pembelajaran yang berdasarkan pada interaksi sosial (model interaksi) yang berdasarkan pada prinsip-prinsip : a) Dari mudah ke sukar b) Dari sederhana ke rumit c) Dari yang bersifat konkrit ke abstrak d) Menekankan pada lingkungan yang paling dekat dengan anak sampai pada lingkungan masyarakat yang lebih luas.

D. Retardasi Mental Retardasi mental menurut Diagnostic and Statical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TRTM, 2000, h.41) ) Retadarsi mental merupakan gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang secara signifikan dibawah rata-rata ( IQ kira-kira 70 atau lebih rendah ) yang bermula sebelum usia 18 tahun disertai penurunan fungsi adaptif. Fungsi adaptif ialah kemampuan individu tersebut untuk secara efektif menghadapi kebutuhan untuk mandiri yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Klasifikasi retardasi mental berdasarkan hasil pertemuan

American Psychiatric Accociation (APA) di Washinghton 1994 (Lumbantobing, 2001, h. 5-7) yaitu: 1) Retardasi mental ringan (IQ antara 50-55 sampai 70 skala Weschler)

16

Penderita retardasi mental ringan merupakan kelompok dari penderita retardasi mental yang dapat di didik (educable). 2) Retardasi mental sedang (IQ antara 35-40 atau 50-55 skala Weschsler) Penderita retardasi mental sedang setara dengan kelompok biasa disebut dapat dilatih (trainable). Kelompok ini terdiri dari sekitar 10% dari jumlah keseluruhan kelompok retardasi mental. 3) Retardasi Mental berat (IQ antara 20-25 atau 35-40 skala Weschler) Kelompok retardasi mental ini berjumlah sekitar 3-4 % dari jumlah keseluruhan kelompok retardasi mental. Kemampuan berkomunikasi mereka dengan bahasa sangat sedikit. 4) Retardasi mental sangat berat (IQ kurang dari 20-25 skala Weschler) Kelompok retardasi mental sangat berat berjumlah sekitar 12% dari jumlah keseluruhan kelompok retardasi mental. Penderita menunjukkan gangguan yang berat dalam bidang sensori motor. Perkembangan motorik dan mengurus diri serta kemampuan komunikasi dapat dengan latihan-latihan yang kuat. Aspek penyesuaian sosial meliputi perilaku nyata yang

ditampilkan, penyesuaian sosial terhadap berbagai kelompok, sikap sosial dan kepuasan pribadi. Hal ini penting bagi individu usia dewasa awal untuk berinteraksi dengan keadaan rumah, sekolah dan masyarakat. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial, yaitu pola asuh orang tua, teman, penerimaan diri, pendidikan anak, determinan psikologi, kondisi lingkungan, wawasan sosial, dan budaya setempat. American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (AAID) pada tahun 2007, mengategorikan penyesuaian diri yang adaptif pada penyandang retardasi mental yaitu: 1. Aktivitas Sosial a. Sosialisasi di dalam keluarga. b. Dapat berekreasi dan mampu menjalani aktivitas untuk

kesenangan. c. Pembuatan keputusan seksual yang sesuai.

17

d. Dapat bersosialisasi di luar keluarga. e. Mencari dan memelihara pertemanan. f. Dapat memberi tahu tentang kebutuhan pribadinya. g. Dapat bekerja yang ringan dan mengisyaratkan hubungan dengan lawan jenis. h. Menawarkan bantuan dan membantu orang lain. 2. Aktivitas Tingkah laku a. Mempelajari perilaku atau ketrampilan spesifik. b. Mempelajari pembuatan keputusan yang sesuai dengan situasi. c. Mendapat Akses dan memperoleh perawatan kesehatan mental. d. Menentukan pilihan pribadinya (mandiri) ke dalam aktivitas harian. e. Perilaku yang sesuai dengan norma atau aturan di dalam masyarakat. f. Dapat mengendalikan kemarahan dan aggresi. 3. Aktivitas Keluarga a. Dapat menggunakan toilet sendiri. b. Dapat mencuci pakaian secara sendiri. c. Dapat menyiapkan dan makan makanan secara mandiri. d. Dapat menjalani pekerjaan rumah tangga seperti, membersihkan membersihkan rumah. e. Mandi dan menjaga kesehatan pribadi dan mengurus kebutuhan. f. Dapat mengoperasikan peralatan rumah dan teknologi. g. Ambil bagian dalam aktivitas kesenangan di dalam rumah.

E. Kendala Dalam Penanaman Nilai Moral Permasalahan penyandang cacat menurut Pola Dasar

Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial adalah adanya gangguan fisik dan mobilitas dalam melakukan kegiatan seharihari, gangguan keterampilan kerja yang produktif, rawan kondisi sosial ekonomi, gangguan mental psikologis, seperti rendah diri, terisolasi dan kurang percaya diri, hambatan melaksanakan fungsi sosial, seperti tidak

18

mampu

bergaul, dan

berkomunikasi lebih banyak

secara

wajar,

tidak

mampu lain

berpartisipasi

tergantung

pada

orang

(Mangunsong, 1998, h.111). Era globalisasi telah membuat kehidupan mengalami perubahan yang signifikan, bahkan terjadi degradasi moral dan sosial budaya yang cenderung kepada pola-pola perilaku menyimpang. Hal ini sebagai dampak pengadopsian budaya luar secara berlebihan dan tak terkendali oleh sebagian remaja kita. Persepsi budaya luar ditelan mentah-mentah tanpa mengenal lebih jauh nilai-nilai budaya luar secara arif dan bertanggung jawab. (Sulis Styawan, 2007) Melihat kondisi banyaknya penyimpangan moral di kalangan anak-anak keterbelakangan mental ini, menjadikan tugas dan kewajiban orang tua sebagai orang yang paling berpengaruh dalam keluarga dalam menanamkan nilai moral menjadi sangat rumit. Kesadaran dalam berperilaku atau bersikap moral dalam kehidupan sehari-hari sudah jarang kita temui, itulah beberapa kendala atau dampak yang tengah dialami oleh para orang tua dalam menanamkan nilai moral pada anak-anaknya. Maka untuk itu perlu untuk menentukan strategi menenamkan nilai moral yang optimal dan mengetahui karakteristik anak.

IX. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Studi kasus merupakan metode penelitian kualitatif yang timbul dari keinginan untuk dapat memahami beberapa fenomena yang bersifat kompleks, dalam konteks yang sebenarnya (Hendriani, 2006). Metode studi kasus adalah dengan mengamati secara mendalam pada subjek penelitian, digunakan untuk keperluan psikologi klinis karena individu memiliki aspek unik dari dirinya yang tidak dapat ditiru (individual differences).

19

Data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif bukan data-data yang berupa angka-angka melainkan kata-kata yang bersifat kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, peneliti mengumpulkan data berdasarkan pengamatan situasi yang wajar (alamiah) sebagaimana adanya tanpa dipengaruhi atau dimanipulasi. (Kaelan, 2005 : 18). Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data deskriptif dan bukan menggunakan angka-angka sebagai alat metode utamanya, datadata yang dikumpulkan berupa teks, kata-kata, simbol gambar, walaupun demikian juga dapat dimungkinkan terkumpulnya data-data yang bersifat kuantitatif (Kaelan, 2005 : 20).

B. Subjek Penelitian dan Informan Peneliti mencari subjek penelitian dengan menggunakan teknik sampling purposif. Teknik sampling ini dapat langsung mengarahkan peneliti pada karakteristik subjek penelitian secara lebih pasti, sehingga informasi yang dikumpulkan benar-benar relevan dengan tujuan awal penelitian. Subjek pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu : subjek kasus dan subjek informan. Adapun karakteristik subjek kasus dalam penelitian ini adalah : 1. Subjek berumur 7-12 tahun untuk perempuan maupun untuk laki-laki. Dengan pertimbangan bahwa individu dengan usia yang sudah bisa dikatakan mampu berinteraksi dengan masyarakat luar. 2. Subjek adalah seorang penyandang retardasi mental ringan dan sedang, yang memenuhi ketentuan-ketentuan diagnosis penyandang retardasi mental ringan atau sedang, tidak memiliki gangguan psikopatologis lainnya seperti autis. Setelah mendapatkan subjek kasus, langkah berikutnya adalah mencari beberapa subjek informan yang akan dijadikan sebagai sumber informasi yang bersifat utama di dalam penelitian ini. Subjek penelitian dengan syarat sebagai berikut:

20

1. Orangtua subjek, yaitu baik orangtua kandung maupun orangtua angkat anak retardasi mental yang masih mengasuh secara langsung anak tersebut 2. Mengenal subjek dalam kehidupan kesehariannya minimal selama dua tahun. Yaitu saudara dan tetangga subjek kasus

C. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah tempat dimana seorang peneliti melakukan penelitian atau tempat dimana penelitian tersebut dilakukan. Lokasi yang digunakan untuk penelitian ini adalah di daerah Kabupaten Kudus.

D. Fokus penelitian Fokus penelitian ini adalah bagaimana cara-cara yang dilakukan di sebagian keluarga di daerah kabupaten kudus dalam menanamkan nilai moral pada anaknya yang mengalami retardasi mental. Fokus berarti penentuan keliasan (scope) permasalahan dan batas penelitian. Dalam pemikiran fokus terliput didalamnya perumusan latar belakang studi dan permasalahan (Maman Rahman : 1999). Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah : 1. Pola asuh yang diterapkan orang tua dalam menanamkan nilai moral pada anaknya penderita retardasi mental. 2. Kendala yang menghambat dalam penanaman nilai moral yang diterapkan orangtua tersebut.

E. Sumber data penelitian Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto 1998 : 114). Yang menjadi sumber data penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Data Primer Yaitu data-data yang bersumber dari hasil wawancara dengan informen. Informen yaitu orang yang dimanfaatkan informasi tentang

21

situasi dan kondisi latar penelitian. (Moleong, 2004 : 157). Sedangkan menurut Kaelan (2005 : 148) sumber data primer adalah buku-buku yang secara langsung berkaitan dengan objek material. Informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah : a. Anak penderita retardasi mental b. Orang tua c. Saudara, Tetangga atau Masyarakat sekitar keluarga anak penderita retardasi mental 2. Data Sekunder Dilihat dari segi sumber data, sumber tertulis dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi (Moleong, 2006 : 159). Sumber data sekunder adalh catatan-catatan yang jaraknya telah jauh dari sumber orisinil (Kaelan, 2005 : 6). Data-data yang merupakan sumber data sekunder yang

mendukung dalam penelitian ini yaitu : a. Dokumentasi meliputi : sumber buku kepustakaan b. Pengamatan observasi c. Foto

F. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Observasi Yaitu suatu usaha dasar untuk mengumpulkan data yang dilakukan secara sistematis, dengan prosedur yang terstandar (Moleong, 2004 : 197). Metode observasi ini menggunakan pengamatan atau penginderaan secara langsung terhadap suatu benda, kondisi, situasi atau perilaku obyek yang diteliti. Peneliti melakukan observasi partisipasi dengan maksud untuk memperoleh data yang lengkap dan rinci mengenai bagaimana upaya yang dilakukan

22

keluarga anak penderita retardasi mental dalam menanamkan nilai moral pada anaknya.

2. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,

percakapan ini dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertannyaan dan yang di wawancarai yang memberikan jawaban atas pertannyaan itu (Moleong, 2004 : 186 :135). Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah : a. Penanaman nilai moral yang diterapkan keluarga pada anaknya penyandang retardasi mental. b. Kendala yang dihadapi keluarga dalam menanamkan nilai moral pada anaknya penyandang retardasi mental.

3. Dokumentasi Menurut Suharsimi Arikunto (2002 : 206) yang dimaksud metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabelvariabel yang berupa catatan-catatan, transkip, buku surat kabar, dan sebagainya. Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sumber data, karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan. (Moleong, 2004 : 217) Dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data tambahan sehingga diperoleh diskripsi yang komprehensif. Dalam penelitian ini metode dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data tertulis yang ada dalam keluarga kaitannya dengan penelitian ini, serta literatur-literatur yang lain yang mendukung penelitian ini.

4. Metode Diskriptif Metode diskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu objek, baik berupa nilai-nilai budaya manusia, sistem pemikiran filsafat, nilai-nilai etika, nilai-nilai karya seni sekelompok manusia,

23

peristiwa atau objek budaya lainnya (Kaelan, 2005 : 58). Menurut Whitney dalam bukunya Kaelan (2995 : 58) metode diskriptif adalah pencairan fakta dengan interpretasi yang tepat dan sistematis. Tujuan dari penelitian dengan menggunakan metode diskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sisitematis dan obyektif mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri, serta hubungan diantara unsur-unsur yang ada atau fenomena tertentu. (Kaelan, 2005 : 58). Menurut Maman Rahman (1999 : 25) penelitian diskriptif mempunyai tujuan untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.

G. Uji Validitas Data Untuk memeriksa validitas data yang diperoleh dalam penelitian ini menggunakan tehnik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin (dalam Moleong, 2004) membedakan empat macam triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber. Menurut Patton dalam Moleong (2006 : 178) trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan sesuatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berada dalam metode kualitatif. Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka ditempuh langkah sebagai berikut : 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang secara umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

24

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. 4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas. 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

H. Metode Analisis Data Metode analisis data menurut paton dalam Moleong (2006 ; 103) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Pekerjaan analisis data dalam hal ini adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan mengkategorikannya. Analisis data yang baik dan urut

memungkinkan data hasil penelitian mudah dipahami oleh orang lain. Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif. Menurut Milles Huberman (1992 : 20) tahapan analisis data adalah sebagai berikut : 1. Pengumpulan data Peneliti mencatat semua data secara objektif dan apa adanya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan. 2. Reduksi data Yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Dimana reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi. Data-data yang telah direduksi memberikan

gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu-waktu diperlukan. 3. Penyajian data Merupakan sekumpulan informasi yang telah tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Penyajian data merupakan analisis dalam

25

bentuk matriks, networks, chart, atau grtafis. Sehingga peneliti dapat menguasai data. 4. Penarikan kesimpulan atau verifikasi Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang diperoleh. Untuk itu, peneliti berusaha mencari pola, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Verifikasi dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan cara mengumpulkan data baru. Dalam mengambil keputusan, didasarkan pada reduksi data dan penyajian data yang merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Verifikasi adalah berupa penarikan kembali yang melintas dalam pikiran penganalisis selama penyimpulan, suatu tinjuan ulang pada catatancatatan lapangan, dan meminta responden yang telah dijaring datanya untuk membaca kesimpulan yang telah disimpulkan oleh peneliti. Maka makna-makna yang muncul sebagai kesimpulan data teruji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya.

26

X.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta : Jakarta. Lawrence, Kohlberg. 1995. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Kanisius : Yogyakarta. Lexy Moelong. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT remaja Rosdakarya Bandung Milles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. UI PRESS. Jakarta. Rahman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-langkah Penelitian Kualitatif. Semarang : IKIP PRESS Semarang.

27

You might also like