You are on page 1of 10

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL I.

UMUM Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia. Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat; penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsipprinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi; serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna. Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut: 1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; 2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; 3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; 4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan 5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI. Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi : 1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; 2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; 3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis; 4. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan; 5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan; 6. penyediaan sarana belajar yang mendidik; 7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan; 8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; 9. pelaksanaan wajib belajar; 10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; 11. pemberdayaan peran masyarakat; 12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan 13. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional. Dengan strategi tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Pembaruan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sehubungan dengan hal-hal di atas, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional perlu diperbaharui dan diganti. BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 67 (1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 68 (1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 69 (1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 70 Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 71 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Budaya Instan Generasi Manja


Rabu, 6 Januari 2010 | 15:40 WIB

KOMPAS.com - Menginginkan segala sesuatu serba cepat dan praktis, tanpa perlu bersusah payah, menjadi ciri kuat generasi sekarang. Padahal, kematangan kerja hanya bisa didapat melalui proses. Bagaimana membuat mereka paham? Ibu Dewi, saya bekerja di sebuah media penyiaran yang lumayan besar di Jakarta. Kurang lebih satu tahun ini saya diberi kepercayaan menduduki jabatan pimpinan di salah satu unit yang membawahi bidang produksi dan penyiaran. Pekerjaan ini sangat cocok untuk saya. Sebab, selama delapan tahun di perusahaan ini saya menikmati menekuni bidang tersebut. Pengalaman yang saya anggap baru dalam jabatan ini adalah bahwa saya harus bertanggung jawab dalam segala hal yang berkaitan dengan keberhasilan unit saya, membuat rencana, mengambil keputusan, termasuk menerima dan mendidik staf baru. Tanggung jawab yang sebelumnya tidak pernah saya lakukan. Banyak sekali yang masih perlu saya pelajari. Meski demikian, ada satu hal yang ingin saya tanyakan berkaitan dengan tanggung jawab menghadapi staf yang ada di unit saya. Sebagai contoh, ada staf yang mengklaim bahwa mereka seharusnya menduduki posisi yang lebih tinggi dari jabatannya saat ini. Ada lagi calon karyawan baru, masih dalam masa percobaan tetapi merasa kurang layak mengerjakan tugas yang diberikan. Ia akhirnya mengundurkan diri setelah dua minggu bekerja dengan alasan kecewa karena mendapat pekerjaan yang kurang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Padahal, semua orang yang bekerja untuk bidang itu harus menjalani hal yang sama dari bawah. Di mana letak kesalahan saya sebagai atasan? Salahkah kalau saya punya kesan bahwa mereka terlalu cepat ingin berhasil dan tidak mau belajar dari bawah? Untuk saya hal ini jadi masalah karena menjadi sulit mendapatkan orang baru yang diperlukan di unit saya. Waktu saya ceritakan hal ini kepada salah seorang rekan, ia juga punya pengalaman yang kurang lebih sama. Saya pernah mendengar ada teman yang menyebutkan ini sebagai budaya instan. Betulkah demikian? Apa maksud budaya instan di sini? Yang juga ingin saya tanyakan, bagaimana cara yang baik untuk meyakinkan karyawan di unit saya bahwa bekerja di tempat seperti yang mereka masuki itu tidak mudah? Terima kasih. Rano, Jakarta Budaya Instan Saudara Rano, paling tidak ada tiga pertanyaan yang Anda ajukan dalam surat. Yang pertama adalah apa itu budaya instan. Kedua, mengapa banyak sekali karyawan yang tidak mau bersusah payah dan sebaliknya ingin segera menduduki posisi tinggi. Yang ketiga, bagaimana cara menyakinkan karyawan bahwa keberhasilan itu bukan hal yang mudah. Ada baiknya saya menjawab pertanyaan itu satu demi satu. Yang pertama tentang budaya instan. Istilah ini Anda dengar dari teman, yang barangkali punya pengertian tersendiri dan tidak sepenuhnya sama dengan pemahaman saya. Tentu ada baiknya Anda tanyakan padanya. Sepanjang yang saya pahami, istilah budaya instan ini muncul untuk memberi nama gejala yang berkembang di masyarakat perkotaan yang menginginkan segala sesuatu secara cepat dan praktis, tanpa mau bersusah payah. Mau minum kopi atau makan mi, tidak mau repot-repot menghidupkan kompor, memasak air, dan seterusnya. Software komputer, kamera, ponsel, dan segala macam peralatan teknologi tinggi lainnya telah

dibuat sedemikian user friendly. Konsumen sudah terbiasa dimanjakan. Kemanjaan ini lalu merembet dan menular ke berbagai bidang kehidupan lainnya, dalam pekerjaan rumah tangga dan lalu juga dalam dunia kerja. Generasi Manja Budaya instan yang intinya memanjakan manusia inilah yang barangkali ikut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya generasi manja. Generasi manja inilah yang saat sekarang ini mulai meninggalkan bangku sekolah dan memasuki dunia kerja. Mereka tidak terbiasa bekerja keras. Mereka tidak dibiasakan untuk memahami suatu proses. Selain itu, aspirasi dan harapan seseorang memang sangat mungkin dipengaruhi oleh orang-orang lain di lingkungannya. Baik itu dalam lingkungan nyata, maupun lingkungan fiktif seperti yang ada dalam film, buku, atau majalah. Sayangnya film dan cerita-cerita yang beredar di masyarakat justru menyajikan tokoh-tokoh yang mencapai keberhasilan secara ekstra cepat, senada dengan proses instan. Sedikit sekali film yang menunjukkan seorang pegawai yang harus bekerja sangat keras untuk menapaki jalur karirnya. Kebanyakan film menunjukkan orang yang baru masuk kerja langsung sudah punya kursi direktur, ruang kerja pribadi punya mobil lengkap dengan sopir. Banyaknya contoh dari berbagai macam jenis profesi dan tokoh berhasil dalam profesi itu, telah memancing hasrat kaum muda untuk bisa menjadi seperti mereka. Apalagi seiring dengan keberhasilan mereka telah ditunjukkan pula semua atribut sampingan yang membuat orang kagum atau tergiur. Jadi janganlah terlalu heran kalau karyawan baru yang merupakan anggota generasi manja, ingin cepatcepat menggantikan posisi Anda. Tidak Mudah Sekarang tentang pertanyaan ketiga, bagaimana menyakinkan mereka bahwa keberhasilan itu bukan hal yang mudah. Sebetulnya jawabannya sudah ada dalam pertanyaan Anda sendiri. Keberhasilan bukanlah hal yang mudah. Termasuk keberhasilan untuk menyakinkan karyawan Anda (yang telah diyakinkan sebaliknya oleh lingkungan hidup mereka). Walaupun tidak mudah, hal itu juga bukan mustahil, terutama bagi Anda yang bukan produk budaya instan. Anda sendiri baru berhasil menduduki posisi seperti sekarang setelah melalui perjalanan yang panjang. Langkah pertama yang bisa Anda lakukan adalah mengajak mereka mengenali proses yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah produk, apa pun produk itu. Bahkan kehadiran kopi atau mi instan adalah hasil dari sebuah proses yang panjang. Mula-mula ada gagasan untuk memproduksi mi instan. Sesudah itu ada proses menyakinkan berbagai pihak untuk ikut mendukung gagasan itu. Lalu ada serangkaian penelitian untuk menghasilkan produknya. Setelah itu masih ada proses pemasaran, distribusi, dan lain sebagainya. Anda harus mampu menunjukkan kepada mereka bahwa semua produk yang dihasilkan di kantor pun harus melalui serangkaian proses. Misalnya lahirnya sebuah berita dalam siaran. Mulanya harus ada perencanaan, ada pembagian tugas peliputan, ada proses peliputannya, ada proses penyuntingan, dan seterusnya. Bahkan setelah berita disiarkan pun masih ada proses pengarsipan dan sebagainya. Setelah menyadari bahwa segalanya perlu proses, mereka akan lebih mudah menyakini bahwa untuk mencapai posisi tertentu pun harus melalui sejumlah proses. Meskipun begitu, tidak semua orang perlu waktu sama panjang karena ada saja orang-orang yang mempunyai bakat lebih dari orang kebanyakan. Keberhasilan dalam menyakinkan mereka akan menjadi lebih mudah kalau Anda berhasil menunjukkan bahwa banyak hal yang tidak atau belum mereka kuasai dan harus dipelajari. @(Dewi Matindas/Psikolog)

Disorientasi Pendidikan dan Budaya Instan

Oleh Dwi Rohmadi Mustofa (Alumnus Pascasarjana FKIP Universitas Lampung) Dewasa ini dapat diamati munculnya gejala disorientasi pendidikan. Pragmatisme menyelimuti hampir setiap aspek pendidikan. Idealisme masih ada, tetapi terkalahkan oleh sikap pragmatis. Terhadap pendidikan, sebagian besar masyarakat berorientasi pada hasil, bukan proses. GEJALA disorientasi pendidikan itu secara nyata dapat dilihat cara pandang pendidikan pada hasil semata-mata yang dicerminkan nilai angka. Sampai-sampai, mengabaikan bahwa hakikat pendidikan adalah proses panjang. Kelulusan bukan dilihat sebagai momentum untuk memacu prestasi lebih baik lagi. Diperlukan banyak persiapan dan waktu yang lama untuk meyakini dan menghayati bahwa pendidikan adalah suatu proses panjang. Mengubah cara pikir dan pandang terhadap pendidikan sebagai pembelajaran sepanjang hayat itu perlu keterlibatan banyak pihak. Budaya instan, semuanya asal cepat. Seperti makanan atau minuman instan, yang mementingkan cepat saji. Karena pemahaman, sikap, tindakan, kebiasaan, dan perilaku instan itu telah merasuk ke sendi-sendi kehidupan terkait dengan pendidikan, tak berlebihan jika lahir istilah budaya instan. Kini, pelajar kelas VI SD, IX SMP, dan XII SMA sedang serta akan mengikuti ujian nasional (UN). Seperti tahuntahun sebelumnya, para orang tua juga turut sibuk. Kekhawatiran menyeruak terhadap kemungkinan hasil UN anakanak mereka. Tidak lulus adalah momok yang amat menakutkan. Tidak lulus UN berarti menguras sumber daya setahun lagi. Belum lagi beban mental dan moral secara sosial, serta harapan bahwa jika anaknya lulus UN akan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya atau memasuki dunia kerja. Persoalan lulus atau tidak dalam suatu ujian, harusnya menjadi hal yang biasa. Karena memang, hanya ada dua kemungkinan hasil suatu ujian. Yaitu lulus dan tidak. Tidak ada hasil ujian yang menyebutkan, misalnya, setengah lulus, agak lulus, dan hampir lulus. Masalahnya, apakah ujian itu dilaksanakan secara profesional dan berkeadilan? Apakah ujian itu mencakup banyak aspek penilaian? Apakah setiap siswa mendapat layanan dan fasilitas belajar yang memadai? Jika semua pertanyaan itu terjawab sudah, menghadapi suatu ujian sebenarnya tidak terlampau menjadi masalah. Mengapa? Karena dalam diri siswa sudah tumbuh semangat kompetisi secara fair, kesadaran akan batas kemampuannya. Sebab, iklim yang ada sekarang tidak merangsang orang untuk menerima kenyataan suatu ujian. Proses penyelenggaraan ujian itu sendiri juga masih carut-marut. Hiruk-pikuk seputar UN bagi siswa di sekolah seakan-akan menjadi ritual tahunan. Perdebatan yang menguras energi, dan biaya yang tidak sedikit. Tapi belum ada satu formula ujian yang disepakati semua pihak. Untuk menentukan kelulusan siswa dari suatu jenjang sekolah tahun ini sudah lebih maju, karena melibatkan penilaian sejak semester awal. Dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sudah mematok slogan UN berlangsung jujur dan berprestasi. Evaluasi Fungsi sekolah adalah mendidik, membelajarkan siswa, dan mencapai tujuan pendidikan yang universal yaitu terwujudnya manusia yang bertakwa kepada Tuhan, cerdas, berbudi pekerti luhur, memiliki keterampilan, dan ketanggapan terhadap peluang masa depan. Fungsi sekolah bukan hanya meluluskan siswa. Kelulusan adalah suatu tahapan penanda selesainya siswa mengikuti jenjang pendidikan dan memenuhi segala kewajiban dan kriteria yang ditetapkan. Jadi, kelulusan itu bukan tujuan.

Menghadapi UN, perilaku jalan pintas mewujud dalam belajar secepat-cepatnya dalam rangka lulus UN. Tak pelak, penyedia jasa bimbingan belajar, les privat, dan sejenisnya laris manis. Semuanya terfokus pada bagaimana lulus, bukan bagaimana berprestasi. UN adalah sarana evaluasi. Evaluasi adalah upaya untuk mengetahui pencapaian suatu program atau kegiatan dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan. Kriteria itu dapat berupa target, tujuan, kemampuan, dan kondisi yang diharapkan. Sudah semestinya, UN difungsikan sebagai alat ukur untuk menilai sejauh mana pencapaian standar kompetensi lulusan peserta didik secara nasional. Mengukur hasil proses belajar siswa-siswi di selama bersekolah pada masingmasing tingkatannya. Tantangan dunia pendidikan dewasa ini adalah dalam hal pelaksanaan model pembelajaran instan, keengganan sebagian pendidik memperbarui materi dan kecemasan mengakses aneka sumber belajar, dan lainnya. Karakter siswa yang lemah, melahirkan disiplin rendah. Mata rantai budaya instan telah merajalela pada semua sendi kehidupan, tidak hanya di dunia pendidikan. Di lembaga pendidikan meski ada sebagian siswa yang menunjukkan prestasi gemilang, perilaku sebagian siswa menampar wajah sosial kita. Kecenderungan mau menang sendiri di jalan raya, tidak sabar dalam antrean, dan yang lain adalah sebagian contohnya. Harus diakui anak usia sekolah, terutama sekolah dasar, adalah masa emas (golden age) untuk membentuk sikap positif, menanamkan nilai-nilai, menghargai keragaman, mendorong motivasi berprestasi, dan disiplin belajar. Multifungsi Pendidikan harus dipandang secara multidimensi dan multidampak. Dampak pendidikan itu akan terlihat dalam jangka panjang. Mendidik harus dilakukan dengan cara yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, dukungan lingkungan, dan penciptaan iklim yang kondusif untuk belajar. Selalu dicari model-model pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Pembelajaran di sekolah hendaknya menjadi pemicu mengeksplorasi segenap potensi diri siswa. Salam hormat untuk para guru yang tetap bersikukuh membelajarkan siswanya dengan motivasi pengabdian dan dedikasi serta loyalitas penuh. Motivasi nilai ekonomis atas suatu profesi pendidikan diletakkan di peringkat berikutnya. Meskipun jarang, tetapi diyakini bahwa di setiap masa, senantiasa ada pribadi-pribadi yang mewakafkan hidupnya untuk pendidikan. Pengabdian yang tulus pada dunia pendidikan merupakan suatu kerja yang ikhlas, meski nada sumbang dan pandangan miring dialamatkan kepadanya. Kebahagiaan seorang pendidik adalah ketika melihat siswanya meraih prestasi dalam berbagai hal dan prestasi yang terbaik, dan bahkan melampaui pencapaian sang pendidik itu. Kebanggaan yang tulus, muncul dari kesadaran dan keikhlasan mendedikasikan diri serta kehidupan bagi pendidikan anak-anak bangsa. Seorang pendidik boleh berbesar hati saat melihat amal jariyah berupa ilmu yang bermanfaat. (*)

Budaya Instan yang Membawa Kehancuran


Ditulis Oleh MUKHAMMAD FATKHULLAH - Sab Jun 16, 10:09 pm

Aneh ya, masyarakat Indonesia terlalu mudah tergiur ketika melihat kesukesesan orang lain dan mendambakan kesuksesan tersebut secara instan. Bukan hanya kesuksesan, mulai dari produk makanan, fashion, dan banyak lagi selalu diwarnai dan dilihat secara instan oleh sebagian besar masyarakat.

Kadang berkhayal dan melakukan visualisasi terhadap apa yang kita inginkanitu penting, tapi akan berbahaya ketika tidak diimbangi dengan usaha yang realistis, ibarat orang berdoa tanpa usaha. Jadinya, muncullah sikap untuk mendapatkan apa yang sangat didambakan secara instan karena waktu yang kita miliki telah banyak terbuang untuk berkhayal dan berangan-angan tentang kesuksesan yang bahkan tak pernah kita usahakan. Budaya Instan yang merasuki mental bangsa ini, agaknya sudah harus diberantas sedini mungkin. Bukannya bekerja dengan keras, malah menempuh jalan pintas yang tidak jelas, bukannya bekerja dengan cerdas, malah mengambil jalan sesat dan hidup dalam ketidak pastian. Memang budaya dan pemikiran yang serba instan ini kadang didapat seseorang dengan tanpa disadarinya, banyak sekali kisah-kisah atau dongeng-dongeng yang mengajarkan kita bagaimana seseorang bisa mendapatkan sesuatu secara instan. Kisah Loro Jongrang dengan seribu candinya yang dibangun dalam sekejap, kisah sangkuriang beserta tangkuban perahunya, aladin dengan segala kekayaan dan kekuasaannya, serta banyak lagi kisah-kisah yang secara tidak langsung memberikan iming-iming dan contoh bagaimana kita bisa mendapatkan suatu hal dengan cara yang instan. Akibatnya?, banyak pejabat yang ketahuan memiliki ijazah palsu, industri musik yang matang secara instan karena asupan budaya asing yang bahkan belum matang. Boy Band, Girl Band, bukankah mereka mendapatkan ketenaran secara instan?, suara pun tak mendukung, hanya karena tampang dantrend KPop yang sedang hangat saja mereka mempunyai nilai yang bagus di mata publik. Tepat pada hari ini, ada sebuah berita yang saya dengar dari media televisi tepat pada pukul 12 siang hari. Dalam berita tersebut, diinformasikan bahwa terjadi sebuah penipuan dengan nominal milyaran rupiah, jumlah yang cukup besar untuk penipuan bermodus investasi. Ya, investasi bodong. Tak jarang kita mendengar kasus-kasus sedemikian rupa hadir dan mewarnai gejolak pembangunan dunia usaha di Indonesia. Ketika kita mulai menganalisis mengenai kasus diatas, akan kita temukan sebuah realitas bahwa keinginan dan harapan serta iming-iming yang menghasilkan sikap mental yang ingin serba instan akan berujung pada kehancuran. Masyarakat Indonesia terlalu mudah diiming-imingi dengan seonggok uang dan kesuksesan semu, yang akan mereka dapatkan dengan cara yang mudah dan mulus, tapi mereka tak melihat bahwasanya hal tersebut merupakan iming-iming belaka. Dengan mudah mereka mengikuti apa yang memang dikehendaki oleh orang lein yang mempunyai maksud dan tujuan yang jahat. Kalau sejak kita memasuki dunia investasi, sejak saat itu pula hidup kita berada dalam zona ketidak pastian. Kenapa saya sebut dengan ketidak pastian?, karena pada kenyataannya semua jenis investasi berujung pada ketidak pastian. Dunia ini berubah, begitu pula nasib suatu perusahaan dimana kita menjadi seorang investor yang mengharap banyak atas apa yang akan kita dapatkan. Banyak keuntungan yang dijanjikan, banyak juga tenaga dan pemikiran yang harus kita sisihkan untuk memikirkan resiko yang mengikutinya. Belum lagi resiko penipuan dan isu bahwa layanan investasi yang ditawarkan kepada kita merupakan investasi bodong yang hanya berujung pada kerugian dan penyesalan. Untuk itulah, bukannya membawa kebahagiaan dan keuntungan, pikiran yang serba instan akan mengantarkan kita kepada kehancuran. Tak ada di dunia ini yang terwujud secara instan. Kalaupun itu terjadi hanya karena keberuntungan atau kuasa Tuhan yang maha besar

Pendidikan Bermutu di tengah Pentas Budaya Instan


Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik. Zaman sudah berubah. Semua orang maunya serba cepat. Jadinya, cenderung mengabaikan proses tapi ingin segera mendapat hasil. Apalagi di negara dengan etos kerja rendah seperti Indonesia. Akibatnya, budaya instan

mulai masuk ke setiap kehidupan kita. Hidup di zaman modern seperti sekarang ini segala sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah, praktis dan cepat. Kemajuan teknologi telah memanjakan kita. Mau ngobrol dengan rekan atau saudara yang bermukim di belahan dunia lain, tinggal angkat telepon atau buka internet. Ingin belanja atau makan di restoran tapi malas keluar, tinggal pesan lewat telepon atau beli lewat situs. Mau transaksi transfer uang, bayar listrik, kartu kredit, beli pulsa tidak perlu susah-susah ke bank atau ATM. Semua bisa dilakukan lewat handphone. Bagi cewek-cewek yang ingin rambut panjang tidak perlu harus menunggu sampai berbulan-bulan. Cukup tunggu jam saja dengan teknik hair extension, rambut bisa panjang sesuai keinginan. Maklum, orang makin sibuk. Malas direpotkan dengan hal-hal ribet. Maunya serba instan. Salahkah itu?, selama masih mengikuti hukum alam, serba instan itu sah-sah saja. Hidup yang baik dan sukses adalah hidup yang sesuai dengan proses alam. Sampai level tertentu teknologi bisa kita pakai untuk mempercepat hal-hal yang bisa dipercepat sesuai hukum alam. Kemajuan teknologi dan tuntutan zaman, memungkinkan kita mendapatkan sesuatu serba cepat. Tetapi tidak asal cepat. Kualitas harus tetap terjaga. Padi 100 hari baru panen itu bagus. Tapi ingat itu ada yang bisa dipercepat. Mestinya, hasilnya harus lebih baik. Jadi, cepat, baik dan bermutu harus berlangsung bersama. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Mendapatkan sesuatu dengan mudah membuat orang enggan bersusah payah. Tak mau melewati proses. Alias malas. Yang penting cepat !. Bermutu atau tidak, itu urusan nanti. Berorientasi hanya pada hasil. Proses tidak penting. Parahnya, virus itu sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan. Ingin sukses dengan cara instan. Jadilah, banyak orang korupsi, punya gelar palsu, beli skripsi, ijazah aspal, asal lulus, cepat kaya lewat penggandaan uang dan lain sebagainya. Kalau memang berat, membosankan dan ketinggalan zaman mengapa kita harus bermutu? Kalau ada cara cepat yang memberi hasil, mengapa tidak dicoba?. Lebih lanjut, sekarang ini sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Orang makin individualis dan cenderung melecehkan hak orang lain. Untuk mengejar kesuksesannya, orang tak ragu-ragu mengorbankan orang lain.

Pendidikan Cenderung Dibisniskan


Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat. Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Bahkan ada beberapa PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.

Tantangan Lulusan Sarjana di Era Informasi 9

Ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa kerja untuk menawarkan ilmu dan ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru juga nyaris memenuhi halaman-halaman surat kabar. Dua fenomena tersebut ironis. Promosi Perguruan Tinggi untuk menjaring calon mahasiswa sama "gencarnya" dengan peningkatan pengangguran lulusan. Di sisi lain, perlu diajukan pertanyaan, kualifikasi apakah sebenarnya yang disyaratkan oleh para pencari tenaga kerja lulusan sarjana Perguruan Tinggi ini ? Jawaban yang diperoleh para peneliti umumnya adalah campuran kualitas personal dan prestasi akademik. Tetapi pencari tenaga kerja tidak pernah mengonkretkan, misalnya, seberapa besar spesialisasi mereka mengharapkan suatu program studi di Perguruan Tinggi. Kualifikasi seperti memiliki kemampuan numerik, problem-solving dan komunikatif sering merupakan prediksi para pengelola Perguruan Tinggi daripada pernyataan eksplisit para pencari tenaga kerja. Hasil survei menunjukkan perubahan keinginan para pencari tenaga kerja tersebut adalah dalam hal kualifikasi lulusan Perguruan Tinggi yang mereka syaratkan. Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan kerja sama penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dalam prakteknya, kualifikasi yang dinyatakan sebagai "paling dicari" oleh para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi kualifikasi yang "paling menentukan" diterima atau tidaknya seorang lulusan sarjana dalam suatu pekerjaan. Yang menarik, tiga kualifikasi kategori kompetensi personal, yaitu kejujuran, tanggung jawab, dan inisiatif, menjadi kualifikasi yang paling penting, paling dicari, dan paling menentukan dalam proses rekrutmen. Kompetensi interpersonal, seperti mampu bekerja sama dan fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan. Namun, meskipun sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks prestasi kumulatif (IPK) sebagai salah satu indikator keunggulan akademik tidak termasuk yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan. Di sisi lain, reputasi institusi Pendidikan Tinggi yang antara lain diukur dengan status akreditasi program studi sama sekali tidak termasuk dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan proses rekrutmen lulusan sarjana oleh para pencari tenaga kerja. Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja "mengabaikan" bidang studi lulusan sarjana Dalam sebuah wawancara, seorang kepala HRD sebuah bank di Cirebon menegaskan, kesesuaian kualitas personal dengan sifatsifat suatu bidang pekerjaan lebih menentukan diterima atau tidaknya seorang lulusan Perguruan Tinggi. Misalnya, posisi sebagai kasir bank menuntut kecepatan, kecekatan, dan ketepatan. Maka, lulusan sarnaja dengan kualitas ini punya peluang besar untuk diterima meskipun latar belakang bidang pendidikannya tidak sesuai. Kepala HRD itu mengatakan, "Saya pernah menerima Sarjana Pertanian dari Bogor sebagai kasir di bank kami dan menolak Sarjana Ekonomi manajemen dari Bandung yang IPK-nya sangat bagus." Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja tersebut penting diperhatikan oleh pengelola Perguruan Tinggi untuk mengatasi tidak nyambung-nya antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja dan pengangguran lulusan. Jika pembenahan sistem seleksi mahasiswa baru dimaksudkan untuk menyaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya, perhatian pada kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan proses pengolahan kompetensi dasar tersebut. Untuk itu semua, kerja sama Perguruan Tinggi dan dunia kerja adalah perlu.

10

You might also like