You are on page 1of 8

Hak Reproduksi Analisis Kasus

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Gender dan Kesehatan Reproduksi Pengampu : Endri Astuti, S.SiT

DISUSUN OLEH : DEVY KURNIA RAMADHANI P.174.24.411.010

PROGRAM STUDI DIV BIDAN PENDIDIK POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG TAHUN 2012

Jumlah Anggota DPR Perempuan Masih Minim


Kamis, 10/11/2011 - 05:48 BANDUNG, (PRLM).-Jumlah anggota DPR RI dari kalangan perempuan saat ini ada 108 orang. Angka itu hanyalah 18 persen dari total anggota DPR RI yang mencapai 560 orang. Jumlah itu masih jauh dari kuota anggota legislatif perempuan yang minimal mencapai 30 persen. Meski keterwakilan perempuan di parlemen itu sudah ada, tapi belum tentu para anggota legislatif itu memahami isu-isu tentang perempuan. "Itu yang menjadi pertanyaannya. Mereka belum tentu semuanya paham soal isu-isu perempuan ataupun paham soal politik," kata anggota Komisi II DPR RI Nurul Arifin dalam "Diskusi Publik Pendidikan Politik Bagi Perempuan" di Gedung ICMI Jabar, Jln. Cikutra, Kota Bandung, Rabu (9/11). Untuk itulah, perlu lebih banyak perempuan yang terjun ke dunia politik. Untuk masuk ke politik, satu-satunya cara ialah bergabung dalam sebuah partai politik. "Tidak haram kok masuk parpol. Apalagi jika ingin menjadi anggota dewan, ya satu-satunya cara ialah aktif di parpol," ujarnya. Selain dihadiri Nurul Arifin, acara tersebut juga menghadirkan sejumlah pembicara. Mereka antara lain Ny. Netty Prasetyani Heryawan, Antiq Bintari (dari Puslit Wanita Unpad), dan Evie Ariadne Shinta Dewi (dari Divisi Peranan Perempuan ICMI Orwil Jabar). Sementara itu, Ny. Netty Prasetyani Heryawan yang juga sebagai narasumber mengemukakan, perempuan yang cerdas politik akan membawa demokrasi Indonesia yang berkualitas. "Jika perempuan terdidik politik, dampaknya sangat luar biasa. Konsep demokrasi yang menganut trias politika, akan berjalan dengan baik," katanya. (A-128/A-89)*** Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/node/165103

GENDER ANALYSIS PATHWAY (GAP)

A. ALUR KERJA ANALISIS (GAP) GAP dibuat dengan menggunakan metodologi sederhana dengan 8 (delapan) langkah yang harus dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu: Tahap I Analisis Kebijakan Responsif Gender; tahap ini diperlukan karena secara umum kebijakan, program, proyek dan kegiatan pembangunan selama ini masih netral gender (didasarkan pada asumsi bahwa pembangunan memberikan manfaat dan berdampak sama kepada perempuan dan laki-laki) Tahap II Formulasi Kebijakan yang responsif Gender; Tahap III Rencana Aksi yang Responsif Gender Langkah-langkah dalam Model GAP dalam Program Keluarga Berencana adalah sebagai berikut: Langkah-langkah pada tahap pertama : 1. Mengidentifikasi tujuan dan sasaran kebijakan/program/proyek/kegiatan

pembangunan keluarga berencana yang ada dari masing-masing unit sesuai tugas pokok dan fungsi. Apakah kebijakan/program/proyek/ kegiatan pembangunan telah dirumuskan dan ditetapkan untuk mewujudkan kesetaraan gender. 2. Menyajikan data kuantitatif dan atau kualitatif yang terpilah menurut jenis kelamin sebagai data pembuka wawasan. Apakah data yang ada mengungkapkan kesenjangan atau perbedaan yang cukup berarti antara perempuan dan laki-laki. 3. Menganalisis sumber dan atau faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender (gender gap); (a). akses yang sama terhadap sumber-sumber daya

pembangunan sektor keluarga berencana; (b). kontrol terhadap sumber-sumber daya pembangunan keluarga berencana; (c). partisipasi perempuan dan laki-laki dalam berbagai tahapan pembangunan keluarga berencana termasuk dalam proses pengambilan keputusan; (d). manfaat yang sama dari hasil pembangunan keluarga berencana atau sumber daya pembangunan keluarga berencana yang ada. 4. Mengidentifikasi masalah-masalah gender (gender issues) berdasarkan keempat faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender dengan menjawab 5 W dan 1 H. Apa masalah-masalah gender yang diungkapkan oleh faktor-faktor kesenjangan

gender; dimana terjadinya kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat publik; mengapa terjadi kesenjangan tersebut; apakah

kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan sektor keluarga berencana yang ada justru memperlebar kesenjangan, mempersempit kesenjangan atau tetap, dan apakah akar permasalahan. Langkah-langkah pada tahap kedua : 5. Merumuskan kembali kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan keluarga berencana yang reponsif gender. Dengan mempertimbangkan hasil proses

analisis gender yang dilakukan pada langkah 1 sampai 4 tahap pertama, sehingga menghasilkan kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan yang

responsif gender. 6. Mengidentifikasi indikator gender (gender indicator) dari setiap

kebijakan/program/proyek/ kegiatan pembangunan sektor keluarga berencana dari langkah 5. Langkah-langkah pada tahap ketiga : 7. Menyusun Rencana Aksi; yang didasarkan pada kebijakan/program/ proyek/kegiatan pembangunan keluarga berencana yang responsif gender dengan tujuan untuk mengurangi/menghilangkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Seluruh rencana aksi yang disusun sesuai dengan tujuan kebijakan yang telah responsif gender yang telah diidentifikasi dalam langkah 5. 8. Mengidentifikasi sasaran secara (kuantitatif dan atau kualitatif) bagi setiap rencana aksi butir ketujuh. Hasil identifikasi memastikan bahwa dengan rencana aksi

tersebut mengurangi dan atau menghapus kesenjangan gender.

B. ANALISIS KASUS 1. Kesenjangan gender : Jumlah anggota DPR perempuan masih minim karena politik dianggap bukan dunia perempuan. a. Faktor Ekonomi : masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk bekerja

dan berusaha serta rendahnya akses mereka terhadap sumber daya ekonomi, informasi, teknologi, pasar kredit dan modal kerja terlebih-lebih dalam pengambilan

keputusan kebijakan publik yang ditetapkan dilembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif termasuk TNI dan Polri. b. Faktor Sosial dan Budaya : jumlah perempuan yang menggunakan hak pilihnya cukup besar namun tidak yakin mereka akan memilih calon wakil perempuan mengingat budaya patriarkhat begitu kental dalam masyarakat Indonesia, disamping karena adanya anggapan dikalangan wanita bahwa politik iti penuh kekerasan sehingga dipandang sebagai dunianya laki-laki. c. Faktor Agama : adanya perbedaan pendapat dari TOMA apakah perempuan diperbolehkan berpolitik atau tidak. d. Faktor Individu : Banyak wanita tidak senang berorganisasi. Wanita kurang memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya bahkan wanita sendiri yang kadang-kadang menenggelamkan dirinya dalam dunia domestik sibuk dalam tugas-tugas rumah tangga. Wanita sering kurang percaya diri, sehingga tidak siap mental dan psikologis untuk memasuki dan melaksanakan fungsi-fungsi jabatan-jabatan sebagai perumus kebijakan maupun pengambil keputusan. 2. Diskusi a. Kebijakan pemerintah : UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa : Komposisi keanggotaan

KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus). b. Data yang menunjukkan kesenjangan : Pada periode 19921997, proporsi perempuan di DPR adalah 12 persen. Pada periode keanggotaan 1999-2004, dari seluruh anggota DPR yang berjumlah 500 orang, hanya 45 orang di antaranya atau 9,9 persen yang perempuan.

Berikut ini table perbandingan jumlah anggota DPR laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin Perempuan Laki-Laki 12 % 80 % 9,0% 91,0% 11,8% 88.2% 18,% 82,% 1992-1997 1999 - 2004 2004 2009 2009 - 2014

c. Faktor kesenjangan 1) Akses : akses untuk menjadi anggota DPR terbatas, yaitu dengan cara mengharuskan perempuan ikut serta dalam partai politik. 2) Peran : keikutsertaan perempuan di DPR hanya dianggap sebagai syarat yang diatur dalam UU, belum memberikan peran yang signifikan. 3) Kontrol : Pemerintah melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30% belum tercapai. 4) Manfaat : Perempuan belum dapat memberikan aspirasi politik yang berkaitan dengan kesejahteraan perempuan dan dapat mengubah paradigma masyarakat bahwa perempuan dapat memberikan kontribusi bagi bangsa dan Negara melalui keanggotaannya di DPR. 5) Isu gender tentang KB di masyarakat : Masyarakat menganggap bahwa politik bukanlah dunia perempuan karena politik bersifat keras dan bertentangan dengan sifat perempuan yang keibuan. 3. Tahap III a. Formulasi kebijakan gender yang baru 1) Menekankan pada program dan kegiatan yang responsive gender 2) Memfokuskan penggunaan dana yang memberi manfaat secara adil bagi perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek pembangunan. 3) Adanya partisipasi yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan. b. Indikator gender dalam keanggotaan perempuan di DPR

1) Memperhatikan perempuan

perbandingan

pemakai

kontrasepsi

antara

laki-laki

dan

2) Memperhatikan data perkembangan dari tahun ke tahun jumlah anggota DPR perempuan

4. Kegiatan : a. Kegiatan operasional gender 1) Meningkatan pendidikan, pengetahuan, peningkatan wawasan dan kemampuan diri untuk dapat melahirkan kepercayaan diri yang besar sehingga siap dan mampu menghadapi segala tantangan. 2) Meningkatkan kesadaran berorganisasi dan meningkatkan pendidikan politik agar mampu menghadapi masalah negara dan bangsa b. Sasaran : perempuan 5. Program aksi
a. Intervensi :

Merancang program dan kegiatan yang memperhatikan keseimbangan perempuan dan laki-laki dalam keterwakilannya di DPR berpespektif gender dan berkelanjutan di dalam proses politik antara lain dengan : 1) Memberikan kesempatan perempuan menjadi kader partai politik 2) Memberikan penyuluhan tentang peningkatan pendidikan, pengetahuan,

peningkatan wawasan dan kemampuan diri untuk dapat melahirkan kepercayaan diri yang besar sehingga siap dan mampu menghadapi segala tantangan. 3) Meningkatkan kesadaran berorganisasi dan meningkatkan pendidikan politik agar mampu menghadapi masalah negara dan bangsa melalui organisasi PKK, Dharma Wanita, Bhayangkari, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2011. Jumlah Anggota DPR Perempuan Masih Minim. Bandung : http://www.pikiranrakyat.com/node/165103 BKKBN. 2002. Analisis Gender. Jakarta: BKKBN Pusat Murfitriati, dkk. 2006. Bahan Bacaan 2, Gender dalam Kesehatan Reproduksi: Isu Global Gender. Jakarta: Puslat Gender dan PKP, BKKBN Pusat. Sasongko, Sri Sundari. 2007. Modul 2 :Konsep dan Teori Gender. Jakarta : Puslat Gender dan PKP , BKKBN Pusat. Suyatno. 2010. Modul Gender Analysis Pathway (GAP) dan Alur Kerja Analisis Gender (AKAG). Semarang : FKM Undip

You might also like