You are on page 1of 16

PEMBANGUNAN WILAYAH PERBATASAN DALAM RANGKA MENJAMIN KEDAULATAN NKRI

Oleh: Dr. Kausar AS, MSi

Pada acara Roundtable Discussion Kelompok Tugas II Tenaga Profesional Lemhannas Jumat, 11 Desember 2009

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PEMBANGUNAN WILAYAH PERBATASAN STRATEGI GUNA MENDUKUNG KEBERHASILAN OTONOMI DAERAH DALAM RANGKA MENJAMIN KEDAULATAN NKRI Oleh: Dr. Kausar AS, MSi*1 Pada Acara Roundtable Discussion Kelompok Tugas III Tenaga Profesional Lemhannas RI

I.

PENDAHULUAN
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, permasalahan

perbatasan antar negara baik di darat maupun di laut sangat komplek. Berbagai permasalahan seperti: delineasi, demarkasi, limitasi, kejahatan lintas batas dan aspek sosial-ekonomi-budaya-pertahanan dan keamanan menggambarkan sedemikian luas ruang lingkupnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika sehingga penanganan perbatasan antar negara memerlukan dukungan dari berbagai sektor pembangunan di pusat dan daerah. Pembangunan perbatasan sesungguhnya adalah upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di perbatasan, serta dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia merupakan Negara terbesar kelima di dunia yang batas negaranya berada di tiga matra, yaitu darat, laut dan udara. Berdasarkan Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara ditegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah darat berbatasan
1

* Penulis adalah Tenaga Profesional Lemhannas RI dan Dosen pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang. Sebelumnya telah beberapa kali menduduki jabatan eselon I yaitu Dirjen Pemerintahan Umum, Depdagri RI, Dirjen Otonomi Daerah Depdagri RI, Sekretaris Utama Lemhannas RI, Deputi Bidang Evaluasi dan Pengembangan Lemhannas RI, dan Deputi Manajemen Pemerintahan dan Pembangunan Meneg Otda. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana di FISIP UGM DIY, Pasca Sarjana Ilmu Sosial Universitas Padjajaran Bandung dan Program Doktoral pada Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran Bandung.

dengan 3 (tiga) negara yakni Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste; di laut berbatasan dengan 4 (empat) negara yakni Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste dan Singapura. Selanjutnya, wilayah yurisdiksi Indonesia di laut berbatasan dengan 9 (sembilan) negara yakni Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Republik Leste. Secara umum kondisi wilayah perbatasan di Indonesia, baik perbatasan darat maupun laut, berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya. Dalam konteks perbatasan RI-Malaysia, misalnya, kondisi obyektif sosial dan ekonomi masyarakat di kawasan Malaysia ternyata relatif lebih baik dari yang dialami masyarakat perbatasan di sisi Indonesia. Sedangkan dalam konteks perbatasan RI-PNG dan RI-Timor Leste, kondisi sosial ekonomi masyarakat perbatasan di sisi Indonesia bisa dikatakan relatif sama atau sedikit lebih baik dibandingkan kondisi di wilayah perbatasan Papua Nugini atau Timor Leste. Wilayah perbatasan antar negara di darat pada sisi Indonesia meliputi 4 (empat) Provinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, NTT, dan Papua; dan mencakup 16 kabupaten/kota. Sementara itu, wilayah perbatasan laut mencakup 11 Provinsi dan 25 kabupaten/kota. Wilayah perbatasan juga mencakup 92 pulau kecil terluar yang menjadi titik pangkal garis batas wilayah NKRI sebagaimana telah ditetapkan di dalam Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Dalam rangka kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan berdasarkan teori yang dikembangkan dari Theory of Boundary Making, Stephen B. Jones (1945): A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Palau, Vietnam, Thailand, dan Timor

Commissioners; dibagi ke dalam empat ruang manajamen yaitu alokasi,


delimitasi, demarkasi dan administrasi/manajemen pembangunan. Alokasi sendiri adalah inventarisasi dasar dari kepemilikan wilayah NKRI yang didasarkan pada prinsip hukum internasional, prinsip Uti Posideti

Juris. Sedangkan delimitasi adalah Penetapan Garis Batas antara dua


negara yang sebagian wilayahnya overlaping. Lalu demarkasi adalah Penegasan Batas Antar Negara di lapangan setelah dilakukan Delimitasi selanjutnya Administrasi sendiri adalah pengelolaan administrasi di wiliyah yang berbatasan dengan negara tetangga seperti Pengelolaan penduduk dan sumberdaya, pembagian kewenangan Pusat dan daerah, pengelolaan CIQ dan lain sebagainya. II. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Dalam manajemen pengelolaan perbatasan antar negara,

permasalahan pada umumnya dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) aspek, sebagai berikut : 1. Permasalahan menyangkut aspek deliniasi dan demarkasi yang timbul akibat belum jelasnya titik-titik dan garis batas antar negara. Termasuk ke dalam aspek ini antara lain: a. Belum tuntasnya perundingan akibat perbedaan persepsi masing-masing negara mengenai beberapa segmen/titik perbatasan dan penarikan garis batas antar negara; b. Banyaknya patok-patok atau tugu batas yang hilang, rusak atau bergeser posisinya; c. Belum tersosialisasikannya titik dan garis batas serta peta batas antar negara kepada masyarakat luas. 2. Permasalahan yang menyangkut aspek keterbelakangan ekonomi dan sosial. Termasuk di dalamnya antara lain : a. Kurang b. Belum tersedianya infrastruktur pendukung di kawasan ekonomi perbatasan seperti jalan, listrik, air bersih. berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan

(growth center) di kawasan perbatasan.

c. Lemahnya kapasitas kelembagaan, SDM dan peran serta masyarakat dalam pengembangan kawasan perbatasan. d. Belum terpenuhinya sarana pelayanan dasar (basic services) seperti sarana pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di kawasan perbatasan. Selain itu masih ada permasalahan dengan negara tetangga terkait perbatasan antara lain sebagai berikut:

Garis Batas Antarnegara; Di beberapa kawasan perbatasan, baik darat maupun laut belum tercapai kesepakatan penentuan garis batas, termasuk antara RI dan Timor Leste yang baru saja menjadi negara baru. Di kawasan perbatasan kontinen Kalimantan beberapa titik tapal batas belum disepakati. Selain itu, penentuan beberapa batas maritim masih belum disepakati antara Indonesia dengan negara tetangga. Penanganan Nelayan Pelanggar Batas; Perbatasan maritim Indonesia dengan sepuluh negara tetangga memberi peluang adanya pelanggaran batas, baik oleh kapal-kapal asing maupun oleh nelayan dalam negeri yang belum mengetahui secara pasti batas maritim Indonesia. Belum jelas dan tegasnya batas maritim antara Indonesia dan beberapa negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan, menyebabkan terjadinya pelanggaran batas maritim oleh para nelayan Indonesia maupun nelayan asing. Lintas batas tradisional; Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku yang sama) di beberapa kawasan perbatasan seperti di Kalimantan (dayak dan Melayu) dan Papua, menyebabkan adanya kegiatan lintas batas tradisional yang ilegal dan sulit dicegah. Persamaan budaya dan adat masyarakat dari kegiatan lintas batas tradisional ini merupakan isu sekaligus maslaah perbatasan antarnegara yang telah ada sejak lama dan kini muncul kembali seiring dengan penanganan kawasan perbatasan kontinen di beberapa daerah seperti Papua dan Kalimantan serta NTT.

Permasalahan pengembangan kawasan; Kawasan perbatasan


kontinen (darat) di Indonesia meliputi areal yang sangat luas yang tersebar di beberapa kecamatan di 16 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia (delapan Kabupaten di Kalimantan, tiga Kabupaten di Nusa Tenggara Timur, dan lima Kabupaten/Kota di Papua). kewenangan Pemerintah hanya ada pada pintu-pintu perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan

(CIQS). Dengan demikian Pemerintah Daerah dapat mengembangkan kawasan perbatasan selain di pintu-pintu masuk tersebut, tanpa menunggu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat. Dan hal ini sesuai dengan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Problem lainnya adalah upaya pembangunan kawasan perbatasan Indonesia yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam implementasinya belum terlaksana secara terpadu. Sarana dan prasarana, seperti jalan, sarana kesehatan, pemukiman, sarana pendidikan dan sebagainya memang telah disediakan oleh pemerintah, terutama melalui program transmigrasi. Namun dalam pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilaksanakan belum dilakukan secara terpadu dan terkoordinasikan sehingga secara keseluruhan belum berkembang dengan baik. Di lain pihak, kawasan perbatasan masih menghadapi banyak permasalahan mendesak, sehingga upaya pembangunan kawasan perbatasan yang dilakukan pemerintah saat ini perlu difokuskan pada penyelesaian batas yuridis wilayah perbatasan baik batas teritorial, batas zona ekonomi eksklusif, maupun batas landas kontinen yang dilakukan melalui berbagai perundingan bilateral dengan negara tetangga maupun peraturan perundang-undangan. Hal ini penting untuk diperhatikan dalam pembangunan kawasan perbatasan karena berkaitan langsung dengan kedaulatan negara. Kaburnya batas-batas wilayah dapat menjadi faktor yang turut mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal, misalnya pasokan barang ilegal, pencurian kayu, lintas batas ilegal, pembabatan hutan melewati tapal batas, serta lalu lintas manusia (TKI) tanpa dokumen resmi, sejalan dengan upaya-upaya itu, pemerintah melakukan pembangunan dan perbaikan patok-patok batas di sepanjang garis batas serta pendirian beberapa Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) atau yang biasa dikenal sebagai Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) di kawasan perbatasan oleh

pemerintah untuk lebih mempertegas eksistensi wilayah kedaulatan NKRI dan batas-batas wilayah negara. III. DIMENSI PENGELOLAAN PENGELOLAAN WILAYAH

PERBATASAN Untuk mengatasi berbagai permasalahan di wilayah perbatasan, maka dibutuhkan suatu pengelolaan terpadu dan pengelolaan wilayah perbatasan antar negara mencakup dimensi yang luas dan mencakup beberapa tahapan yang memiliki saling ketergantungan (interdependensi) satu sama lain. Dimensi-dimensi tersebut meliputi: a. batas; b. perbatasan; c. perbatasan; d. wilayah perbatasan; e. pengelola; f. g. points. Selanjutnya beberapa forum yang eksis saat ini digunakan sebagai saluran dalam kerjasama pengelolaan perbatasan antar negara antara lain adalah : 1. Hubungan luar negeri; Manajemen Pos Lintas Batas: exit-entry Pengembangan kapasitas kelembagaan Pengembangan ekonomi dan sosial Kerjasama pengelolaan wilayah Pertahanan dan keamanan wilayah Penetapan dan pemeliharaan garis

General Border Committee (GBC) RI-Malaysia diketuai oleh Menteri


Pertahanan;

2.

Joint Border Committee (JBC) RI-PNG diketuai oleh Menteri Dalam


Negeri;

3.

Joint Border Committee (JBC) RI-Timor Leste diketuai oleh Dirjen


Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri;

4.

Joint Commission Meeting RI-Malaysia (JCM) dikoordinasi oleh


Departemen Luar Negeri yang sifatnya kerjasama bilateral;

5.

Joint Commission Meeting RI-PNG (JCM) dikoordinasi oleh Departemen


Luar Negeri.

Dalam forum dimaksud kedua negara membuat kesepakatan-kesepakatan baik dalam kerjasama antara dua negara yang berbatasan maupun dalam rangka memperoleh kesepakatan-kesepakatan mengenai tapal batas yang menjadi permasalahan. PARADIGMA PENGELOLAAN PERBATASAN ANTAR NEGARA Dewasa ini kebijakan pembangunan wilayah/kawasan perbatasan secara umum diarahkan untuk merubah cara pandang terhadap wilayah perbatasan dari halaman belakang menjadi beranda depan NKRI. Perubahan paradigma kebijakan tersebut berimplikasi pada strategi yang ditempuh sebagaimana tergambar dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005-2024 yakni perubahan orientasi pembangunan perbatasan dari inward looking ke outward looking. Hal ini diperlukan agar mampu memberdayakan masyarakat perbatasan untuk dapat berinteraksi secara lebih positif dan produktif dengan masyarakat perbatasan di negara tetangga, termasuk dalam mengakses pasar yang potensial di kawasan negara tetangga. Perubahan kebijakan tersebut juga berimplikasi pada perubahan cara pandang kita terhadap wilayah dan kawasan perbatasan antar negara yang

IV.

1. Inward Looking - Outward Looking

tadinya dianggap sebagai wilayah tertutup, rawan keamanan, dan sarat kriminalitas ke sebuah image bahwa kawasan perbatasan antar negara merupakan sebuah wilayah yang terbuka, penuh potensi yang perlu digarap dan didayagunakan untuk kemakmuran masyarakat di perbatasan. 2. Security - Prosperity Politik pengelolaan kawasan perbatasan menekankan pentingnya keseimbangan antara aspek keamanan (security) disatu sisi dan aspek kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat (prosperity) disisi lain. Sejak tahun 2007, pendekatan ini telah bergeser dari penekanan pada keamanan (security) kepada kesejahteraan (prosperity). Pergeseran ini diperlukan mengingat potensi ancaman dari luar relatif terkendali dan kondisi keamanan di dalam negeri yang stabil dan kondusif; sementara persoalan kemiskinan dan keterbelakangan masih sangat terasa di wilayah perbatasan antar negara. 3. Mengefektifkan Peran Camat Dalam pengelolaan wilayah perbatasan perlu lebih mengefektifkan koordinasi dan kerjasama seluruh instansi vertikal dan

stakeholders

Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten di wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga. bagaimanapun fungsi pemerintahan di wilayah perbatasan tetap harus berjalan optimal, dimana pemerintahan mempunyai tiga fungsi hakiki, yaitu pelayanan (services), pemberdayaan (empowerment) dan pembangunan (development) (Rasyid, 1997;48). Selanjutnya dalam pengelolaan pembangunan di wilayah perbatasan dimaksud dan fungsi koordinasi lebih efektif upaya yang dilakukan adalah dengan mengoptimalkan fungsi Camat sesuai kewenangan yang diatur di dalam PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan.

Camat

sebagai

garda

terdepan

dalam

penyelenggaraan

pemerintahan sebagai PNS mempunyai dua kewenangan strategis yaitu kewenangan atributif yaitu melaksanakan tugas umum pemerintahan dan delegatif pelimpahan sebagaian wewenang Bupati/Walikota kepada Camat. Esensi yang paling menentukan bagi pelaksanaan Otonomi Daerah adalah percepatan pelayanan publik yang berorientasi sederhana, murah, tepat waktu dan terjangkau oleh berbagai pihak. Idealnya sosok Camat kedepan adalah Camat yang enerjik, inovatif dan mampu mendorong aparat Kecamatan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Dengan adanya pelayanan publik yang mudah di wilayah perbatasan diharapkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan dapat terlayani dengan cepat, tepat dan baik. Selain itu pembangunan di wilayah perbatasan dapat dengan cepat terbangun sebagaimana yang kita inginkan. PENANGANAN WILAYAH PERBATASAN SEBAGAI LANGKAH PENGUATAN NKRI 1. Dari uraian di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa pengelolaan kawasan perbatasan memiliki dimensi politik yang luas dan kompleks, sehingga memerlukan sinerjitas kebijakan dan program dalam penangannanya. Variabel yang berkontribusi terhadap kompleksitas tersebut antara lain karena dewasa ini (menurut data Bappenas), kebijakan dan program perbatasan tersebar di 37 Instansi Pusat (75 unit eselon I), 12 Provinsi dan 16 Kabupaten/Kota (darat), serta 25 Kabupaten/Kota (laut). Sementara itu, koordinasi antar institusi yang menangani masalah perbatasan belum berjalan optimal akibat kendala kelembagaan, SDM, mekanisme dan prosedur yang belum terstruktur dengan baik. Akibatnya banyak resources yang dicurahkan untuk pengembangan kawasan perbatasan belum mewujudkan hasil yang

V.

10

menggembirakan. Jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin mimpi untuk menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan NKRI sulit menjadi kenyataan dan kawasan perbatasan tetap akan termarjinalkan. Beberapa arah kebijakan ke depan yang strategis dan perlu digaris bawahi dalam pengelolaan wilayah/kawasan perbatasan antar negara yaitu: a. b. Menjamin Keutuhan Kedaulatan NKRI dan mempercepat Mempercepat pengembangan beberapa kawasan perbatasan penyelesaian garis batas antar negara. sebagai pusat pertumbuhan, yang dapat menangkap peluang kerjasama antar negara, regional dan internasional, secara selektif sesuai prioritas. c. Meningkatkan penegakan hukum dan kondisi keamanan yang kondusif bagi berbagai kegiatan ekososbud serta meningkatkan sistem pertahanan perbatasan kontinen dan laut. d. Menata dan membuka keterisolasian dan ketertinggalan kawasan perbatasan dengan meningkatkan prasarana dan sarana perbatasan yang memadai. e. Mengelola SDA darat dan laut secara seimbang dan berkelanjutan, bagi kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara. f. Mengembangkan sistem kerjasama pembangunan antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antar negara, maupun antar pelaku usaha. Dari arah kebijakan tersebut, beberapa fokus yang perlu memperoleh prioritas perhatian antara lain : a. Pengefektifan koordinasi percepatan penyelesaian penegasan batas antar negara, pengamanan dan IRM tugu-tugu batas.

11

b. c. d. e.

Penguatan ketahanan nasional masyarakat perbatasan. Percepatan pembangunan zona pertumbuhan ekonomi di Pembangunan dan koordinasi kelembagaan yang terpadu

perbatasan

Capacity Building Wilayah Kecamatan di Perbatasan Antar

Negara Revitalisasi kelembagaan menjadi kunci penting dalam menciptakan sinerji kebijakan dan koordinasi pelaksanaan pengelolaan kawasan perbatasan yang efektif. Dalam rangka upaya menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan perbatasan antar negara, sekarang dan kedepan diperlukan sebuah langkah yang berani untuk membangun sebuah sistem yang terintegrasi. Kedepan, kelembagaan pengelolaan perbatasan antar negara harus direvitalisasikan dan diwadahkan dalam sebuah Lembaga. Hal ini telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang baru-baru ini disahkan DPR dan Pemerintah. Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang tentang Wilayah Negara menetapkan sebagai berikut :

2.

(1). Untuk mengelola Batas wilayah Negara dan mengelola kawasan perbatasan, pada tingkat pusat dan daerah, membentuk Badan Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Pengelola nasional dan Badan Pengelola Daerah. (2). Badan Pengelola Nasional bertanggungjawab kepada Presiden dan Badan Pengelola Daerah bertanggungjawab kepada Kepala Daerah.

12

3.

Penanganan wilayah perbatasan telah menjadi komitmen nasional, dimana GBHN 1999 mengamanatkan bahwa wilayah-wilayah khusus, terpencil, minus dan kritis, wilayah perbatasan dan daerah terbelakang lainnya untuk ditangani sesuai prioritas dan potensinya. Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2002 2004 juga telah memuat kerangka dasar pengembangan daerah perbatasa, Tujuannya adalah meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi sumber daya alam wilayah perbatasan dan memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan Negara lain. Sejumlah kegiatan pokok yang perlu dilakukan sesuai dengan arahan PROPENAS adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. Pengembangan pusat-pusat pemukiman potensial termasuk pemukiman transmigrasi di daeah perbatasan; Peningkatan pelayanan prasarana transportasi dan komunikasi untuk membuka keterisolasian daerah dan pemasaran produksi; Peningkatan pelayanan sosial dasar khususnya pendidikan dan kesehatan; Pengembangan partisipasi swasta dalam pemanfaatan potensdi wilayah khsususnya pertambangan dan kehutanan; Peningkatan kerjasama dan kesepakatan dengan negara tetangga di bidang ekonomi, keamanan, serta pengelolaan sumber daya alami dan lingkungan wilayah perbatasan. Kesimpulan terakhir, paradigma yang perlu dibangun di wilayah perbatasan terkait dengan perkembangan keadaan sesuai dengan tema Roundtable Discussion (RTD) kelompok III Tenaga Profesional Lemhannas ini adalah:

4.

13

a.

Perlu ada perubahan cara pandang terhadap wilayah perbatasan

dari halaman belakang menjadi beranda depan NKRI. Perubahan iuni akan berimplikasi pada strategi yang ditempuh untuk rencana pembangunan kedepan (RPJP) yaitu perubahan orientasi pembangunan perbatasan dari Inward Looking menjadi Outward Looking. b. Pengelolaan kawasan perbatasan pendekatan politiknya harus berubah dari semula keamanan (Security) menjadi kesejahteraan (prosperity). Pergeseran diperlukan mengingat ancaman dari luar relatif terkendali dan kondisi keamanan di dalam negeri yang stabil dan kondusif. c. Perlunya pemberdayaan kecamatan secara lebih optimal mengingat camat adalah garda terdepan dalam pengelolaan pemerintahan di wilayah perbatasan. _______________

REFERENSI Rasyid, M.R. 1997. Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Jakarta: Yasrif Watampone; Stephen B. Jones (1945); Theory of Boundary Making,: A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners;

14

Sidang General Border Committee (GBC) Malaysia-Indonesia, Jakarta Indonesia, 2008; Sidang High Level Comminntee (HLC) Malaysia Indonesia, Kuching, Malaysia, 2008; Sidang Kelompok Kerja Sosio Ekonomi Malaysia-Indonesia (KK Sosek Malindo), 2008; Sidang Joint Border Committee (JBC) RI-PNG, Port Moresby, 2008; Sidang Joint Border Commitee (JBC) RI-RDTL, Timor Leste, 2009; Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

15

You might also like