You are on page 1of 10

Hilanglah Sudah Jati Diri Pulau Muna Kompas,6sept2002

DALAM tahun 2001, seorang wartawan di Kendari menerima telepon dari Raha, ibu kota Kabupaten Muna. Sang penelepon meminta wartawan tersebut melaporkan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (Sultra) tentang adanya pengapalan ribuan meter kubik kayu jati di Pelabuhan Raha atau di suatu tempat di Pulau Muna, dengan maksud agar pejabat itu menggagalkan pemuatan kayu ilegal tersebut. Sebab, aparat penegak hukum di daerah itu dianggap sudah terkontaminasi dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah sangat kronis dalam pengelolaan kayu jati Muna. Akan tetapi, Jaksa Tinggi Sultra saat itu tak berada di tempat. Kompas/Yamin Indas Maka, pengiriman kayu jati hasil tebangan liar tadi ke Surabaya berjalan mulus. Tindakan kriminal itu terus berulang. Dan, penadah kayu jati curian bukan hanya pengusaha asal Surabaya melainkan juga dari Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Boleh jadi tindakan penjarahan kayu jati di Muna terjadi sepanjang masa, sejak munculnya komoditas kayu mewah (fancy wood) itu di pulau tersebut ratusan tahun lalu. Besar kecilnya skala penjarahan tergantung kesempatan dan permintaan pasar. Dalam beberapa dekade terakhir, penjarahan terbesar terjadi pada tahun 1970-an dan awal tahun 2000-an ini. Penjarahan yang terjadi pada awal tahun 2000-an ini jauh lebih brutal. Jika pada tahun 1970-an para pelaku masih berlindung dengan izin tebang yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sultra, maka penjarahan belakangan ini bersifat membabi buta, meskipun masih tetap dengan cara sembunyisembunyi. Sasarannya bukan hanya kayu jati alam, tetapi kayu jati tanaman pun dijarah habis-habisan. Tidak heran jika daratan Pulau Muna, yang umumnya berbatu-batu bertambah gersang di musim kemarau saat ini. Sebab, hutan jati yang pernah menutup sebagian pulau itu, kini tak ada lagi. Hutan jati alam dan hutan jati tanaman, semuanya tinggal kenangan. Amat sangat disayangkan karena keadaan itu tampaknya tidak menimbulkan keprihatinan hampir semua pihak yang terkait dengan keberadaan hutan jati di Muna, baik pemerintah provinsi, kabupaten, maupun rakyat Muna sendiri. Buktinya, kegiatan penjarahan masih terjadi dan akan terus

berlangsung sampai pada tahap perebutan sisa-sisa ranting dan akar jati oleh semua pihak terkait tadi. Di tengah maraknya penjarahan kayu jati, pemerintah provinsi dan kabupaten saling mengklaim menyangkut kewenangan pengelolaan negeri kayu jati Muna. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muna yang dipimpin Bupati Ridwan mengklaim bahwa pengelolaan kayu jati itu mestinya ditangani kabupaten. Sementara Pemprov Sultra tetap tidak mau melepaskan kayu jati sebagai sumber penerimaan provinsi. Perlawanan kepada pemerintah provinsi tersebut tentu saja dipicu semangat otonomi daerah.

***
KAYU jati bagi masyarakat Muna merupakan kebanggaan. Bahkan, kayu jati merupakan jati diri Kabupaten Muna. Potensi hutan jati menjadi kewenangan pangkal pemekaran Kawedanaan Muna menjadi kabupaten daerah tingkat IIpada tahun 1960. Dalam rangka pembentukan Provinsi Sultra tahun 1964, potensi hutan jati di Muna juga dijadikan salah satu sumber perekonomian yang diandalkan. Di zaman itu pasaran kayu jati belum meluas, hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan masyarakat golongan atas, baik di dalam maupun luar negeri. Masyarakat juga belum materialistik. Bagi masyarakat Muna, kayu jati paling digunakan untuk kebutuhan penting seperti bahan bangunan rumah, perabot rumah tangga, perahu, pagar halaman dan kebun, dan lain-lain. Kayu jati belum dipandang sebagai barang komersial yang dapat mendatangkan kekayaan. Oleh karena itu, hutan jati belum terusik. Seperti dituturkan Kepala Dinas Kehutanan Muna La Ode Aty Arif Malefu, pada tahun 1968 potensi hutan jati di Pulau Muna masih tercatat sekitar 45.000 hektar. Hamparan ini kemudian makin menyusut setelah dilakukan penebangan besarbesaran selama dekade tahun 1970-an. Pada tahun 1972, misalnya, Dinas Kehutanan Sultra mengeluarkan izin tebang dengan kuota 190.000 m3 kayu bulat. Namun, pelaksanaan izin tersebut tidak diawasi sebagaimana mestinya sehingga terjadi penyimpangan. Produksi kayu bulat sampai dengan tahun 1978 mencapai 304.500 m3. Jadi, terdapat kelebihan sebanyak 214.500 m3 yang dikategorikan sebagai hasil tebangan liar. Akibat penjarahan berlebihan itu, maka pengolahan kayu jati kemudian dilarang Pemprov Sultra. Semua izin tebang dicabut. Larangan penebangan kayu jati dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Sultra Nomor 569 Tahun 1978. SK tersebut sampai sekarang belum dicabut. Artinya, larangan menebang dan mengangkut kayu jati di Muna itu masih tetap berlaku. Akan tetapi, larangan tinggal larangan. Kegiatan penebangan liar dan pengangkutan kayu jati ilegal masih terus berlangsung sampai saat ini. Pemprov Sultra sebagai pengelola hutan jati di Muna tidak pernah mampu menghentikan kegiatan penebangan liar. Karena itu, areal hutan tersebut terus menyempit. Pada tahun 1980-an, areal itu tinggal sekitar 28.000 hektar, yang terdiri dari 22.000 hektar hutan jati alam dan 6.000 hektar jati tanaman (jati kultur). Areal jati kultur tersebut ditanam sejak tahun 1911 hingga tahun 1970. Dalam tahun 1980-an, Pemprov Sultra membentuk perusahaan daerah yang disebut badan otorita dan kemudian berganti baju dengan nama PD Perhutanda. BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) tersebut bertugas mengelola kayu jati Muna dan masih beroperasi sampai sekarang.

***

SESUNGGUHNYA, pembentukan BUMD tersebut sangat kontroversial. Sebab, kehadiran perusahaan itu justru memprovokasi kegiatan penebangan liar. Secara resmi Pemprov Sultra memang tidak mengeluarkan izin tebang karena SK No 569/1978 masih berlaku. Tetapi, melalui Perhutanda, pemprov berperan sebagai "penadah" kayu jati hasil tebangan liar (jarahan). Caranya pemprov membentuk tim-tim penertiban. Pembentukan tim dilakukan hampir setiap tahun. Tim tersebut mengumpulkan kayu hasil jarahan lalu diserahkan kepada Perhutanda untuk dipasarkan. Rebahan kayu jati yang dikumpulkan itu diberi status kayu sitaan dan kayu temuan. Bila petugas (tim) berhasil memergoki pelaku penebang liar, maka pelaku itu diproses hukum dan kayunya disita sebagai barang bukti. Sedangkan kayu temuan adalah rebahan jati yang ditinggal lari oleh penebangnya dan tidak akan pernah dapat disentuh petugas. Dalam kenyataannya, Pemprov Sultra lebih banyak mendapatkan kayu temuan. Kayu ini diangkut ke berbagai TPK (tempat penimbunan kayu) dan selanjutnya diserahkan kepada Perhutanda untuk dijual. Kayu temuan tersebut baik yang masih rebah di hutan maupun yang sudah diangkut ke TPK tidak diawasi sebagaimana mestinya, sehingga penebangnya atau pihak lain mendapat peluang untuk mencurinya. Begitulah, para penebang liar/pencuri kayu dan petugas saling berpacu dengan waktu untuk merebut dan menguasai kayu jati Muna. Para penjarah "bertugas" menebang, lantas disusul dengan kegiatan pengumpulan dan pengangkutan oleh petugas kehutanan. Tidak jarang para penjarah dan oknum petugas bekerja sama. Untuk itu, pengawasan dikendorkan agar penjarah memiliki peluang untuk menebang dan mengangkut kayu sampai ke tangan penadah. Lebih celaka lagi, PD Perhutanda juga sering ikut terlibat penjarahan kayu. BUMD tersebut menyediakan modal penebangan kepada para penjarah. Bila para penebang liar ini tertangkap oleh petugas, maka mereka menyebut Perhutanda sebagai dalang. Pengakuan tersebut tentu saja dibantah dengan sengit oleh pejabat Perhutanda. Maka, banyak pihak menyebutkan bahwa keberadaan Perhutanda sebetulnya merupakan bukti terjadinya mismanajemen kayu jati Muna. BUMD itu tidak lebih dari alat pemerintah provinsi untuk menjarah kayu jati, baik secara legal maupun ilegal. Hasil penjualan kayu jati jarahan itu juga tidak memberikan kontribusi yang signifikan kepada PAD (pendapatan asli daerah). Sebab, sebagian dana kayu jati tersebut dikuras untuk honor para pejabat yang menjadi anggota dewan komisaris, pengurus Perhutanda sendiri, dan biaya operasional perusahaan. Dengan demikian, kehadiran Perhutanda sudah sangat jelas tidak bermanfaat. Selain memprovokasi penjarahan kayu jati-kemudian menjadi penadah hasil penjarahan tersebut-BUMD tersebut juga menjadi pintu bocornya dana yang bersumber dari hasil penjualan kayu jati. Karena itu, demi efisiensi Perhutanda harus dibekukan, dan perannya diambil kembali Dinas Kehutanan Provinsi Sultra.

***
HUTAN jati di Muna adalah masa lalu. Kayu jati sebagai jati diri kabupaten itu, kini hilanglah sudah. Seperti dituturkan Bupati Ridwan, tegakan pohon jati di pulau itu saat ini tinggal kurang lebih 2.000 hektar. Perkiraan tersebut sudah mencakup tegakan pohon jati alam dan jati kultur. Luar biasa memprihatinkan! Dari 45.000 hektar pada tahun 1968 menjadi 2.000 hektar tahun 2002! Bencana apa gerangan yang telah melanda negeri ini? Anehnya, para pejabat terkait dan

masyarakat Muna sendiri nyaris tak mengekspresikan keprihatinan, apalagi rasa penyesalan atas kehancuran hutan jati di Pulau Muna. Buktinya, penjarahan sisa-sisa tegakan tadi masih terus bereskalasi. Kejahatan tersebut dilakukan pada siang dan malam hari. Dalam perjalanan dari Raha ke pelabuhan feri di Tampo, awal Agustus 2002, dari atas mobil Kompas melihat orang memegang kapak sedang melaju di atas boncengan sepeda motor. Di beberapa tempat di jalan ruas Raha-Tampo (30 km) itu juga terlihat kelompok bersenjatakan kapak dan parang di tangan. Apalagi sasaran mereka itu kalau bukan pohon jati di kawasan hutan sepanjang jalan tersebut. Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Napabalano (Muna) Drs Rahman Kasim menuturkan, hutan jati kultur yang berlokasi di kawasan cagar alam Napabalano sudah habis dibabat. Sekali tebang 15 pohon jati berdiameter 30 sampai 50 sentimeter, bertumbangan. Caranya, setiap pohon dipotong seperlunya. Giliran pohon terakhir dipotong habis sehingga mendorong pohonpohon lainnya bertumbangan semua. Batangan kayu jati tersebut sempat diselamatkan pegawai kecamatan dengan mengumpulkan sebagai kayu jati temuan. Sedangkan penebangnya sudah menghilang seperti ditelan bumi. "Pelakunya adalah orang-orang sekitar, hanya sulit diidentifikasi," ujar Rahman. Luas jati kultur di Tampo yang ditanam tahun 1930-an sebetulnya 900 hektar. Tetapi, tegakan jati yang tersisa saat ini pasti sudah kurang dari 100 hektar. Sisa tegakan itulah yang terus dipreteli penduduk sekitar hingga terjadi penumbangan 15 pohon tadi. Termasuk areal cagar alam Napabalano seluas 9,2 hektar, hutan jati kultur Tampo secara administratif merupakan sebuah resor pemangkuan kehutanan (RPH) yang dipimpin seorang KRPH (Kepala Resor Pemangkuan Hutan). Sekitar dua tahun lalu, personel polisi khusus kehutanan (jagawana) yang ditempatkan di RPH Tampo tercatat lebih dari 30 orang. Tetapi, sekarang di saat-saat sedang memuncak penjarahan kayu, RPH tersebut justru dikosongkan. "Sekarang hanya ada seorang petugas sehingga ia sangat kewalahan menghadapi penjarah," tutur Rahman. Pengosongan RPH tersebut merupakan petunjuk kuat keterlibatan aparat dalam penjarahan kayu jati di Muna. Dengan pengosongan itu para penjarah dapat lebih leluasa menjalankan aksinya. Bila demikian halnya, berarti, penjarahan besar-besaran kayu jati tersebut merupakan aksi dari sebuah konspirasi yang melibatkan semua pihak. Seperti dikatakan Rahman Kasim, penjarahan kayu jati di Muna belum diketahui siapa pelakunya. Ia berharap agar masyarakat tidak begitu saja langsung dijadikan sasaran tuduhan. Tindakan penjarahan tersebut harus diusut tuntas tanpa pandang bulu. (Yamin Indas)

Jati, Bukan Tumpuan Rakyat Muna


SEPERTI dikatakan Bupati Muna Ridwan (43), hutan jati bukanlah tumpuan atau landasan pijak perekonomian daerah dan rakyat setempat. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan dari kayu jati hanya ditempatkan pada kolom Penerimaan Lain-lain. "Sebab selama ini pendapatan dari kayu jati sangat kecil dan sulit diukur. Tergantung kebijakan provinsi," kata bupati yang jarang menghadiri acara-acara di provinsi itu. Sektor yang diandalkan pemerintah kabupaten (pemkab) justru pemberdayaan ekonomi rakyat yang berbasis pertanian. Daratan Pulau Muna yang umumnya mengandung batuan gamping kompas/yamin indas (bertanah kapur) bisa ditumbuhi hampir semua tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Kesulitan petani yang mendesak ditangani melalui program berkesinambungan adalah penyediaan bibit murah, perbaikan serta pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan. Masalah kelangkaan bibit dan faktor etos kerja yang sangat rendah menyebabkan pertanian rakyat belum berkembang sebagai usaha komersial. Hampir semua jenis tanaman terdapat di pekarangan atau ladang petani, tetapi populasinya sangat sedikit sehingga produksinya tidak bisa diandalkan sebagai sumber penghasilan. Tanaman perkebunan seperti kelapa dan buah-buahan sebangsa pisang sangat langka di daratan Pulau Muna. Padahal, beberapa pohon tanaman yang ada buahnya besar dan lebatlebat. Pisang yang di daerah lain dijual eceran per sisir, di sana dijual berbiji. Tanaman hortikultura yang kini mulai berkembang adalah jeruk manis. Pasarannya baik yang dilakukan secara antarpulau. Musim panen yang berlangsung sejak bulan Mei lalu telah meningkatkan kegiatan perdagangan antarpulau. Jeruk tersebut dikirim ke Surabaya melalui hubungan darat dan kapal feri. Rutenya adalah Tampo (Muna)-Torobulu (Kendari)-Kolaka-Bajoe (Sulsel)-Makassar-Surabaya. Seorang pedagang antarpulau asal Surabaya mengungkapkan bahwa ia menggunakan armada truk untuk mengangkut jeruk Muna ke Surabaya melalui mata rantai perhubungan darat tersebut. Biaya yang dikeluarkan setiap truk Muna-Surabaya sekitar Rp 13 juta. Luas areal panen jeruk manis tahun ini di Muna baru sekitar 700 hektar di Kabangka dan Kambara dengan produksi yang telah tercatat 1.000 ton. Harga pembelian pedagang di tingkat petani Rp 1.000 per kg. Dengan demikian, uang beredar di kalangan petani jeruk sekitar Rp 1 milyar. Prospek yang menjanjikan peningkatan penghasilan petani itu mendorong Pemkab Muna untuk membantu perluasan tanaman tersebut. "Tetapi, kita tidak menyediakan cuma-cuma. Petani disediakan kredit untuk pengolahan lahan dan pertanaman. Penjamin kredit tersebut adalah kami sendiri sebagai bupati," tutur Ridwan tanpa menjelaskan jumlah kredit yang telah disalurkan ke petani.

***
5

KOMODITAS pertanian lain yang telah berkembang sejak tahun 1970-an di Muna adalah jambu mete. Hamparan tanaman rakyat mencapai sekitar 39.000 hektar. Tetapi, karena tanaman makin tua, produksinya makin merosot. Lagi pula tanaman jambu mete sangat peka terhadap perubahan iklim sehingga mengganggu produktivitas. Bunganya gugur bila kebanyakan hujan, atau hangus bila kebanyakan panas. Faktor umur tanaman dan iklim menyebabkan produksi jambu mete tahun 2000 hanya mencapai 3.365 ton. Padahal, tahun sebelumnya tercatat 8.785 ton. Karena itu, Pemkab Muna merencanakan program peremajaan tanaman rakyat tersebut secara swadaya. Untuk tanaman pangan, jagung merupakan tanaman tradisional. Jagung masih menjadi bahan makanan pokok penduduk. Produksi jagung rakyat tahun 2000 tercatat 31.627 ton. Tanaman rakyat tersebut sebetulnya memiliki peluang besar untuk dikembangkan dengan menggunakan jagung hibrida dalam rangka pemasokan industri pakan ternak di dalam negeri. Tetapi, sejauh ini belum ada investor yang berminat memanfaatkan peluang tersebut. Areal panen jagung di Muna setiap tahun mencapai sekitar 20.000 hektar. Jika 20 persen saja dari total areal itu diisi dengan hibrida yang menghasilkan minimal 6 ton per hektar, berarti Muna bisa memasok bahan pakan ternak sekitar 24.000 ton setahun. Potensi lain yang dikemukakan bupati adalah lahan persawahan di Buton Utara yang merupakan wilayah administratif Kabupaten Muna. Di sana terdapat lahan seluas 8.000 hektar yang potensial untuk dijadikan areal persawahan. Sehubungan dengan itu Muna membutuhkan bantuan pemerintah pusat untuk pembangunan sistem irigasi. Selama ini Muna hanya memproduksi padi kurang dari 10.000 ton, baik padi sawah maupun padi ladang. Namun demikian, kabupaten ini sejak lama telah mencapai tahap swasembada pangan, dengan bahan makanan pokok seperti jagung dan umbi-umbian.

***
KABUPATEN Muna yang berpenduduk 273.931 jiwa (2000) pada tahun 2001 mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,6 persen yang didominasi sektor pertanian sebagai kontributor terbesar. Sedangkan pendapatan per kapita tahun ini tercatat Rp 3,2 juta, atau meningkat Rp 500.000 dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp 2,7 juta. Indikator makro tersebut pasti tidak mencerminkan keadaan sebenarnya, kecuali hanya sebagai acuan umum. Gejala kemiskinan masih terlihat di desa-desa terpencil. Di Desa Liang Kabori, misalnya, 15 km dari Kota Raha, banyak anak putus sekolah dasar. Mereka membantu orangtua mencari nafkah untuk keluarga. Hasil pertanian desa itu sebenarnya merupakan komoditas bernilai tinggi di pasar lokal. Penduduk setempat adalah petani tomat. Menurut Lahasili (40), setiap musim ia biasanya memperoleh sekitar Rp 1,5 juta dari hasil penjualan tomat sebanyak 50 keranjang. Bila tak diserang hama babi, produksi bisa sampai 200 keranjang. Masalah hama tersebut menjadi kendala utama. Akibat gangguan hama babi, penduduk sulit memperluas kebunnya. Karena itu, pendapatan hanya pas-pasan sehingga tidak mampu menyekolahkan anak. Empat dari tujuh anak Lahasili terpaksa putus sekolah dasar (SD) karena tenaganya dibutuhkan untuk membantu keluarga. (yas)

Kayu Jati Muna, Siapa Punya?


PADA zaman pemerintahan swapraja, potensi hutan jati di Pulau Muna dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemerintahan swapraja Muna yang dipimpin seorang raja. Setelah Muna menjadi daerah otonom tingkat II pada tahun 1960, aset itu pun tetap menjadi hak pemerintah kabupaten (pemkab) untuk dikelola sebagai sumber penerimaan daerah. Akan tetapi, setelah terbentuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) pada tahun 1964, hutan jati Muna juga dijadikan salah satu sumber kekayaan yang akan menopang provinsi baru tersebut. Menurut Drs dok kompas/yamin indas H La Ode Kaimoeddin, Gubernur Sultra periode tahun 1992-1997 dan tahun 1997-2002, penyerahan kekayaan tersebut dilakukan berdasarkan suatu keputusan DPRD Kabupaten Muna. Kewenangan pemprov mengelola kayu jati tersebut kemudian makin diperkuat keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penarikan Urusan Kehutanan dan Daerah Kehutanan Kabupaten se-Provinsi di Wilayah Indonesia Timur. Pasal 2 PP itu menyebutkan, menyerahkan wewenang dalam bidang kehutanan untuk wilayah bekas Negara Indonesia Bagian Timur pada Daerah Provinsi. Dalam penjabaran kewenangan tersebut Pemprov Sultra juga berpedoman kepada surat Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian Nomor 1708/DJ/I/74 tanggal 29 April 1974 kepada Gubernur Sultra tentang penggunaan hasil penjualan kayu jati Muna. Dalam surat yang ditandatangani Dirjen Kehutanan Soedjarwo itu disebutkan, eksploitasi kayu (penebangan, pengumpulan, dan sebagainya) dapat dilakukan oleh dinas sendiri atau oleh pihak ketiga. Dalam hal dilaksanakan oleh dinas sendiri, semua hasil penjualan dimasukkan dalam penghasilan Dinas Kehutanan dan disetor ke kas daerah sebagai penghasilan daerah dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam hal eksploitasi dilakukan pihak ketiga, lanjut Dirjen Kehutanan, yang bersangkutan harus memiliki hak tertentu dan yang bersangkutan harus melaksanakan kewajiban tertentu pula (misalnya Licence Fee, Royalty, dan sebagainya). Demikianlah yang terjadi. Sesuai kewenangan itu kayu jati Muna dimonopoli pemanfaatannya oleh pemerintah provinsi. Hutan jati ditebang dan dijual untuk mengisi kas provinsi. Sedangkan pungutan iuran hasil hutan (IHH) dari hasil penjualan kayu jati disetor ke pemerintah pusat. Pemkab Muna sendiri sebelum tahun 2001 nyaris tidak kebagian apa-apa dari hasil penjualan kayu jati, kecuali perimbangan dana IHH dari pemerintah pusat melalui alokasi yang ditetapkan pemprov pula. Setelah didesak Pemkab Muna dengan memanfaatkan momentum reformasi dan otonomi daerah, Gubernur Sultra pada tahun 2001 itu mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang Penetapan Bagi Hasil Penjualan Kayu Jati/Pinus Provinsi Sultra.

***
DENGAN dasar kewenangan yang sangat jelas, maka Pemprov Sultra sangat keberatan jika dikatakan bahwa penjualan kayu jati hasil tebangan liar merupakan suatu pelanggaran hukum. Keberatan itu berkaitan dengan pengajuan beberapa pejabat kehutanan ke pengadilan oleh polisi/jaksa dengan tuduhan bahwa mereka telah melakukan tindak pidana korupsi dengan menjual kayu jati dan hasilnya disetor ke kas daerah. Padahal, menurut versi polisi/jaksa, kayu jati hasil tebangan liar harus dilelang dan hasilnya disetor ke kas negara. Pendapat tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sedangkan ketentuan yang menjadi acuan Pemprov Sultra dikatakan sebagai peraturan yang seharusnya sudah dikubur. Dalam praktiknya selama ini, Pemprov Sultra setiap tahun mengumpulkan kayu jati hasil tebangan liar yang belum sempat diangkut dan dijual para penjarah. Kayu hasil tebangan liar itu diberi dua kategori, yaitu kayu sitaan dan kayu temuan. Kayu sitaan adalah kayu jati hasil tebangan liar dan penebangnya diketahui identitasnya. Pelaku tersebut lalu diproses hukum untuk diajukan ke pengadilan dan kayu tebangan liar disita sebagai barang bukti. Kayu sitaan tersebut akan dilelang di bawah pengawasan pengadilan dan hasilnya disetor ke Kas Negara. Adapun kayu temuan merupakan kayu tebangan liar yang tidak ketahui siapa penebangnya karena sudah kabur dan menghilangkan jejak. Kayu ini kemudian diangkut oleh Pemprov Sultra ke tempat-tempat pengumpulan kayu (TPK) dan selanjutnya dijual oleh Perhutanda. Cara penjualan, ada yang dilelang dan ada yang dijual di bawah tangan. Cara yang terakhir itu merupakan penjualan langsung kepada kilang-kilang dan industri kayu jati yang beroperasi di Sultra. Baik hasil lelang maupun penjualan di bawah tangan oleh Perhutanda disetor ke Kas Daerah Sultra. Mengapa kayu temuan diambil begitu saja tanpa melalui proses hukum, para pejabat Pemprov Sultra mengatakan, kayu tersebut adalah milik pemprov. Ibarat pensil yang hilang, ketika ditemukan pensil itu harus dikembalikan kepada pemiliknya. Demikian analogi yang mereka kemukakan.

***
KENDATI saat ini sudah dalam keadaan sekarat, hutan jati di Muna masih menjadi rebutan. Pemkab Muna yang dipimpin Bupati Ridwan sangat berhasrat untuk menguasai pengelolaan kayu tersebut. Sudah banyak taktik yang digunakan untuk menekan Gubernur Sultra La Ode Kaimoeddin agar mau menyerahkan hutan jati tersebut. Alasan bupati untuk mengambil alih pengelolaan tersebut tentu banyak dan masuk akal. Secara hukum antara lain Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2000. Tujuan penyerahan ke kabupaten adalah untuk menertibkan penjarahan dan melestarikan kayu jati Muna. Hutan yang masih tersisa sekarang, kata Bupati, akan ditata dan diinventarisasi tentang jumlah tegakan dan potensinya. Sedangkan sistem pengawasan akan diperbaiki yang dibarengi dengan penyediaan dana pengawasan yang memadai. "Pelarangan menebang membutuhkan biaya besar," katanya.

Banyak taktik yang telah dilakukan bupati untuk menekan Gubernur Kaimoeddin agar menyerahkan kayu jati tersebut. Antara lain menggunakan DPRD Provinsi Sultra melalui mekanisme rapat dengar pendapat kedua belah pihak, bupati, dan gubernur. Selain itu, Bupati Muna juga membawa keinginan tersebut kepada Menteri Kehutanan, baik ketika menteri itu masih dijabat Nurmahmudi Ismail, Marzuki Usman, maupun sekarang ini M Prakosa. "Semua menteri tersebut memberikan respons yang positif. Tetapi, anehnya, setelah itu tidak ada tindak lanjutnya," keluh bupati yang pencalonannya dulu tidak direstui Gubernur Kaimoeddin. Meskipun mendapat tekanan dari DPRD, Gubernur Kaimoeddin tidak mau menyerahkan aset tersebut kepada Kabupaten Muna. Alasannya bukan hanya karena ketentuan yang mengatur kewenangan provinsi secara eksplisit tidak dicabut berkaitan dengan UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah. Tetapi, alasan yang lebih substansial adalah menyangkut nasib kayu jati setelah dikuasai kabupaten. Pertanyaannya menurut jalan pikiran provinsi, adalah siapa yang akan mengontrol Pemkab Muna dalam pengelolaan potensi hutan jati tersebut. Di era otonomi daerah yang serba kebablasan sekarang ini, pemprov dan juga pusat tidak berdaya menghadapi pemerintah kabupaten. Masalahnya, pemerintah kabupaten sesuai UU No 22/1999 tidak memiliki hubungan hierarkis dengan pemprov. Seperti halnya pemprov, pemerintah pusat juga tampaknya tidak mau mengambil risiko. Bahkan, posisi pemerintah pusat terhadap status kayu jati Muna sebetulnya lebih kuat. Seluruh kayu jati kultur (tanaman) adalah milik pemerintah pusat. Sebab, penanaman kayu jati tersebut dibiayai dengan dana pusat. Pemprov malah tidak memiliki andil terhadap keberadaan hutan jati di Muna. Dia hanya tahu menguras karena diberi kewenangan mengelola, tetapi tidak berusaha melestarikan sumber daya ekonomi tersebut, misalnya, dengan penanaman kembali. Memelihara tanaman yang ada juga tidak. Rapor pemprov dalam pengelolaan hutan jati di Muna, memang harus dinilai jelek! Merah!

***
AGAR pemprov dapat melaksanakan fungsinya sebagai alat dekonsentrasi untuk pengawasan pemerintahan umum di daerah, maka kewenangan pengelolaan jati banyak yang berpendapat sebaiknya tetap di tangan pemerintah pusat yang selanjutnya menyerahkan urusan itu kepada pemprov dalam rangka dekonsentrasi. Kebijakan pemprov menyangkut pembagian hasil penjualan kayu jati, juga dinilai sudah menguntungkan kabupaten penghasil. Hanya saja porsi pembagian itu masih harus diubah sehingga penerimaan Kabupaten Muna lebih besar lagi. Sehubungan dengan itu Perhutanda mestinya mendapatkan pembagian dari porsi pemprov sebesar 40 persen. Dengan demikian, kabupaten penghasil memperoleh porsi 60 persen secara utuh dari total hasil penjualan kayu jati. Bila demikian halnya, maka Bupati Muna tidak perlu lagi terlalu ngotot untuk menguasai sepenuhnya sisa potensi hutan jati di sana. Sebab, dengan pola pembagian hasil seperti itu, kemampuan pemkab sudah cukup memadai untuk melaksanakan pengawasan terhadap pemanfaatan kayu jati Muna dengan prinsip lestari dan berkelanjutan.

Pemerintah dan rakyat Muna memang diharapkan memiliki komitmen terhadap kelangsungan hutan jati di daerahnya. Komitmen itu harus diwujudkan dengan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat sendiri. Barang yang bukan haknya jangan diambil, karena itu pelanggaran hukum. Pemerintah Kabupaten Muna sebagai organisasi atau lembaga yang secara formal melaksanakan pengawasan harus memahami filosofi pengawasan, bahwa untuk dapat melaksanakan pengawasan yang efektif, maka pengawas harus bersih dan jujur. Di lain pihak, pemerintah provinsi harus mau mengevaluasi kebijakannya menyangkut pengelolaan kayu jati selama ini. Kebijakan pembentukan perusahaan daerah misalnya, dinilai banyak pihak justru telah menjadi biang keladi kekisruhan manajemen kayu jati. Perhutanda malah dianggap sebagai sarang KKN. Memuncaknya kembali penjarahan kayu jati belakangan ini diprovokasi antara lain oleh keberadaan Perhutanda. Sebab, menurut Kepala Dinas Kehutanan Muna La Ode Aty Arif Malefu, BUMD Sultra itu sering terlibat penyediaan dana untuk kegiatan penebangan liar. Tuduhan ini tentu saja berdasarkan pengakuan beberapa pelaku penebang liar. Akan tetapi, maraknya kembali penjarahan hutan jati akhir-akhir ini tidak adil juga bila hanya kebijakan pemerintah provinsi yang dijadikan kambing hitam. Banyak kalangan di Muna mengatakan, kebijakan Bupati Ridwan mengeluarkan rekomendasi pengangkutan kayu jati sebetulnya juga banyak menimbulkan distorsi. Maksud bupati mengeluarkan rekomendasi persetujuan pengangkutan kayu kepada pengusaha adalah untuk mengontrol penjualan kayu jati oleh provinsi agar kabupaten tidak dirugikan. Namun, rekomendasi tersebut sering disalahgunakan oknum tertentu, antara lain dengan menyuruh orang menebang (menjarah) agar ada kayu yang diangkut dan selanjutnya hasil tebangan itu dijual kepada penadah. (yas)

10

You might also like