You are on page 1of 40

PERANG TELUK

Keyakinan Berada di Balik Serangan AS ke Irak


TANGGAL 20 Maret 2002 pada pukul 05.35 waktu Baghdad, hanya sekitar 95 menit batas akhir ultimatum 48 jam yang ditetapkan oleh Amerika Serikat (AS) bagi Presiden Irak Saddam Hussein untuk mundur dari jabatannya, peluru kendali penjelajah Tomahawk menghantam sasaran-sasaran tertentu di Kota Irak. Perang dilancarkan AS dan Inggris terhadap dimulai. SEBAGIAN besar negara di dunia tidak habis pikir mengapa AS memaksa akan perang itu dilakukan, padahal sebagian besar anggota DK PBB (Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa) menentangnya. Bahkan, tiga dari lima negara anggota tetap DK PBB bersikeras menentang kehendak AS untuk berperang dengan Irak. Perancis, Rusia, dan Cina menganggap memerangi Irak untuk melucuti persenjataan pemusnah massalnya adalah suatu tindakan yang berlebihan. Karena peluang untuk melucuti persenjataan Irak bisa dilakukan lewat cara-cara damai. Satu-satunya anggota tetap DK PBB yang mendukung AS hanya Inggris. Bahkan, Jerman, yang selama ini dianggap sebagai sekutu dekat AS pun menentang perang terhadap Irak, dan bergabung bersama dengan Perancis, Rusia, Cina, dan beberapa anggota DK PBB menentang kehendak AS untuk memerangi Irak. Sama seperti Perancis, Rusia, dan Cina, Jerman pun menegaskan bahwa perang bukanlah jalan yang terbaik untuk melucuti persenjataan Irak. Semula memang Irak menunjukkan keengganannya untuk bekerja sama dengan Tim Pemeriksa Persenjataan PBB yang dikirim PBB untuk memeriksa apakah Irak masih memiliki persenjataan pemusnah massal. Setelah AS dan Inggris mengirimkan pasukan dalam jumlah besar ke kawasan Teluk, Irak menunjukkan kerja samanya dengan mengizinkan tim PBB bekerja dengan leluasa.
1

Namun, kemajuan yang diperoleh Tim Pemeriksa Persenjataan PBB dianggap AS tidak signifikan dan sudah sangat terlambat. Memang tim PBB tidak menemukan persenjataan pemusnah massal yang berhulu ledak kimia atau biologi di Irak, tetapi AS menganggapnya itu karena Irak pandai menyembunyikannya. Dan, anggapan AS itu seakan mendapatkan pembenaran, ketika Tim Pemeriksa Persenjataan PBB menemukan bahwa Irak masih punya rudal Al Samoud II yang daya jelajahnya melampaui batas yang ditetapkan oleh PBB, yakni di atas 150 kilometer. Pada awalnya AS masih berharap bahwa kehendaknya untuk menyerang Irak menda- patkan persetujuan dari ang- gota DK PBB. Sebab itu, AS berupaya menyusun resolusi kedua DK PBB yang isinya membuka peluang untuk mela- kukan perang terhadap Irak jika negara itu tidak mau bekerja sama secara penuh dengan Tim Pemeriksa Persenjataan PBB. Untuk itu, perlu diberikan batas waktu kepada Irak untuk memenuhi tuntutan perlucutan persenjataannya. Dan jika Irak melanggar batas waktu yang diberikan kepadanya maka perang terhadap Irak dapat dilakukan. Sayangnya, sebagian besar anggota DK PBB tidak memperlihatkan dukungan bagi resolusi kedua yang diupayakan AS. Mereka mengganggap Resolusi 1441 DK PBB yang berisi ancaman bahwa Irak akan menghadapi implikasi serius jika tidak mau bekerja sama dengan tim PBB, sudah cukup. Untuk bisa meloloskan resolusi tersebut, AS memerlukan dukungan sembilan dari 15 anggota DK PBB, karena itu sibuklah AS melakukan lobi. Namun, upaya AS itu tampaknya sulit dicapai, karena Perancis dan Rusia yang merupakan anggota tetap mengancam akan menggunakan hak vetonya. Dengan menggunakan hak veto itu, Perancis atau Rusia bisa membatalkan dikeluarkannya resolusi kedua yang diupayakan AS, walaupun sembilan anggota DK PBB mendukung resolusi tersebut.

Melihat tidak ada jalan lain, AS kemudian mengatakan akan langsung melakukan perang terhadap Irak tanpa resolusi kedua. Karena kata-kata akan menghadapi implikasi serius yang terdapat dalam Resolusi 1441 bisa diartikan akan menghadapi perang. Dalam pidato televisinya, Presiden Bush mengatakan, "Jika itu menyangkut keamanan kami, kami tidak perlu meminta izin kepada siapa pun." Bush mengatakan, "Saya percaya bahwa Saddam Hussein adalah ancaman bagi rakyat AS. Saya juga percaya ia merupakan ancaman bagi rakyat-rakyat tetangganya." Bukan itu saja, AS dan Inggris pun kemudian memboikot pertemuan DK PBB dengan mengatakan bahwa mereka akan menyerang Irak tanpa dukungan PBB. Dan, setelah AS mengadakan pertemuan puncak dengan Inggris dan Spanyol di Portugal, maka diputuskan untuk mengeluarkan ultimatum kepada Presiden Saddam Hussein untuk mundur dari jabatannya dan meninggalkan Irak dalam waktu 48 jam, atau menghadapi risiko perang. Sebagai alasan dari dikeluarkannya ultimatum itu adalah Saddam Hussein adalah seorang tiran yang ekspansif, yang jika dimungkinkan akan menyerang negara tetangganya. Serta tega membunuh rakyatnya sendiri dengan menembakkan senjata kimia. Belum lagi-untuk menarik simpati rakyatnya, Pemerintah AS menyebutkan, Irak memiliki persenjataan pemusnah massal, seperti persenjataan kimia dan biologi, yang jika jatuh ke tangan teroris bisa membahayakan nasib AS dan juga negaranegara lain. Dan, dengan menyebutkan kembali kengerian yang diakibatkan oleh teror 11 September 2001 yang dialami AS, Pemerintah AS berharap mendapatkan dukungan penuh dari rakyatnya. SEPERTI yang telah disinggung di awal tulisan, sebagian besar warga dunia tidak habis pikir mengapa AS memaksakan perang itu. Berbagai teori pun dikeluarkan untuk
3

menjelaskannya mulai dari teori AS ingin menguasai minyak Irak-yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar di duniaGeorge Bush yunior ingin menyelesaikan tugas ayahnya, George Bush senior, yang belum selesai, sampai persaingan antara mata uang dollar AS dan euro, yang membuat AS memaksakan perang tersebut. Kalau alasan-alasan itu yang berada di balik perang yang dilakukan AS terhadap Irak, mengapa Inggris mau mendukung AS sepenuhnya? Bukan itu saja, ada cukup banyak negara, termasuk negara-negara tetangga Irak yang mendukung serangan itu. Apakah mereka tidak melihat alasan-alasan yang digambarkan sebagai hanya menguntungkan AS saja? Majalah Newsweek edisi 24 Februari 2003 menyebutkan bahwa keyakinan, kepercayaan, atau iman (faith) mungkin berada di balik keputusan AS untuk memaksa Saddam Hussein. Dalam artikel yang berjudul A Nation Bound by Faith (Sebuah Bangsa yang Dikelilingi dengan Keyakinan), Newsweek menggambarkan betapa keyakinan, kepercayaan, iman kerap kali menentukan keputusan AS melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hal itu mungkin dapat menjelaskan mengapa AS seringkali melakukan hal-hal yang tidak masuk di akal. Keterlibatan AS dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II juga memunculkan pertanyaan, mengapa AS mau berkorban dalam perang yang sesungguhnya sama sekali tidak mengancam wilayah negaranya? Begitu juga keterlibatannya di dalam Perang Korea dan Perang Vietnam, yang dilakukannya semata-mata karena kebijakan negara yang anti-komunis. Satu-satunya perang yang diikutinya karena mengancam wilayah negaranya adalah Perang Pasifik melawan Jepang yang dipicu oleh serangan Jepang ke Pearl Harbor, Hawaii, yang merupakan salah satu negara bagiannya. Dan, Perang Pasifik itu pun dilakukannya tanpa mengurangi komitmennya pada perang membela Eropa yang berlangsung
4

bersamaan. Pada saat itu, AS berperang di dua matra, yakni di Eropa dan Asia-Pasifik. Itu pula yang dapat menjelaskan bahwa betapa saat ini, AS merasa dikhianati oleh Perancis dan Jerman. AS merasa bahwa mereka telah membebaskan Perancis dari pendudukan pasukan NAZI dalam Perang Dunia II, dan kini ketika AS membutuhkan Perancis untuk mendukungnya, mengapa Perancis dengan arogan malah menentangnya. Tidak heran jika The New York Post menerbitkan foto kuburan pasukan AS yang menjadi korban pada Perang Dunia II dan diletakkan pada halaman satu dengan tulisan, Sacrifice (Pengorbanan). Dan, tulisan utamanya berjudul They Died for France but France Had Forgotten (Mereka Mati untuk Perancis, tetapi Perancis Sudah Melupakannya.) Demikian juga dengan Jerman yang dibangun kembali dengan bantuan AS setelah kehancurannya akibat serangan pasukan Sekutu pada Perang Dunia II. Presiden AS George W Bush akhir-akhir ini memilih untuk tidak berbicara dengan Kanselir Jerman Gerhard Schroeder. Cara AS yang mengandalkan segala keputusannya itu kepada keyakinan sering membuat kesal banyak pihak. Misalnya AS dengan seenaknya saja memasuki Panama dan menangkap pimpinan negara itu, Jenderal Manuel Noriega, dan mengadilinya di Amerika Serikat. Atau, seperti yang diperlihatkan saat ini, yakni bersikap sangat keras terhadap Irak, tetapi di sisi lain sangat lunak dengan Korea Utara yang bolak-balik mengancam AS. Sikap AS yang seperti itu menjadikannya kerapkali dituduh menggunakan standar ganda, apalagi jika itu berkait- an dengan persoalan Israel. AS seolah-olah menutup mata terhadap ulah yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina. Dan, yang menjadi persoalan utama adalah AS dengan segala kebesaran, kekayaan, dan kekuatan militernya mampu untuk melaksanakan apa yang menjadi keyakinannya itu. Tak heran banyak orang Eropa yang berpendapat bahwa serangan yang
5

dilakukan AS terhadap Irak itu bukan karena AS harus melakukannya, tetapi karena AS mampu melakukannya. ULTIMATUM 48 jam yang ditetapkan AS dan Inggris bagi Saddam Hussein untuk mundur dari jabatannya tidak digubris, meskipun ancamannya adalah perang terhadap bangsanya. Saddam yang bangga akan kebesaran Mesopotamia dan Babylonia di masa lalu, niscaya akan tunduk terhadap tekanan AS dan Inggris. Akan tetapi, sayangnya Saddam tidak mau kekuasaannya berakhir di tangan musuh, seperti Raja Hamurabi (1792 SM) dan Nebudchadnezzar II (605-562 SM), yang harus menerima keadaan bahwa mungkin nasibnya tidak akan berbeda dengan kedua orang itu, mengingat kini ia tengah diserang oleh musuh yang kekuatannya jauh lebih besar. Sikap Saddam yang tidak mau memenuhi ultimatum yang ditetapkan oleh AS dan Inggris itu langsung dijawab dengan serangan militer. Memasuki hari ketiga, pasukan AS telah memasuki wilayah Irak sejauh 160 kilometer. Irak masih terus dihujani bom dari pesawat udara atau dihantam rudal yang dilepaskan dari darat dan laut. Rentang waktu selama 12 tahun membuat perbedaan yang sangat jauh. Jenderal Norman Schwarzkopf, yang memimpin Operasi Badai Gurun dalam Perang Teluk tahun 1991, pun mengatakan, perang yang dilakukan saat ini sudah jauh berbeda dengan ketika ia memimpin Perang Teluk dulu. Kemajuan teknologi mengubah segala-galanya. Di samping melakukan serangan militer, AS juga mengganggu sistem telekomunikasi untuk memutus rantai komando antara para petinggi Irak dan tingkatan-tingkatan di bawahnya. Dalam arti, handie talkie tidak dapat digunakan. Namun, listrik sengaja tidak dipadamkan karena baik AS maupun Irak membutuhkan radio maupun televisi untuk mempengaruhi dan menggalang opini publik. AS memerlukan radio dan televisi untuk mengajak tentara dan rakyat Irak meninggalkan Saddam dan menyerahkan diri, sedangkan
6

Saddam memerlukan radio dan televisi untuk menjaga agar rakyat tetap setia kepadanya dan mau berjuang untuk dia. Penayangan gambar personel tentara Irak yang menyerah dengan mengibarkan bendera putih, atau yang sedang berbaris dengan tangan di belakang kepala secara berulang kali, diharapkan akan mendorong personel tentara Irak lainnya mengikuti jejak mereka. Di samping menggunakan radio dan televisi, AS juga membujuk tentara dan rakyat Irak dengan menyebarkan pamflet, mengirimkan melalui e-mail dan pengeras suara. Perbedaan lain yang juga sangat menonjol dengan sewaktu Perang Teluk 1991, adalah kali ini wartawan diizinkan untuk mengikuti jalannya perang. Bukan itu saja, wartawan pun diajak untuk langsung ikut dalam penyerangan sehingga bisa meliput jalannya perang dengan lengkap. Suasana ini tentunya berbeda dengan di saat Perang Teluk dulu ketika wartawan hanya menunggu penjelasan dari tentara-tentara AS. Pada tahun 1991, wartawan sangat rentan oleh tuduhan hanya menyiarkan propaganda AS atau propaganda Irak, mengingat kedua pihak saling klaim akan keberhasilan atau kemajuan yang dicapai. Kali ini, keadaannya sungguh berbeda karena wartawan menyaksikan secara langsung apa yang terjadi. Itu pula sebabnya melalui saluran televisi CNN (Cable News Network) hari Jumat, bisa kita dengar laporan wartawan CNN Walter Rodgers langsung dari lapangan, "Kami baru saja meninggalkan wilayah Kuwait dan kini memasuki wilayah padang pasir Irak. Rata-rata kecepatan kami 40-50 kilometer per jam." Di Baghdad pun wartawan asing dibebaskan untuk memberikan laporan apa saja tanpa hambatan. Perang kali ini adalah perang yang terbuka bagi wartawan. Tentunya peliputan itu taruhannya nyawa karena dalam keadaan seperti itu tidak ada yang dapat menjamin nasib orang per orang.

PERANG sudah dimulai. Pertanyaannya adalah apakah dunia hanya menanti sampai perang itu berakhir? Tentunya sikap seperti itu tidak dapat dibenarkan oleh siapa pun. Itu pula sebabnya banyak negara berharap PBB bisa memainkan peranan yang lebih aktif dalam berupaya mencegah berlanjutnya perang, antara lain dengan mengundang kembali AS ke meja perundingan. Namun, banyak pihak yang menyangsikan bahwa PBB bisa memainkan peranan yang penting saat ini, mengingat mencegah terjadinya perang itu saja PBB tidak bisa, apalagi menghentikannya. Itu mungkin yang menjelaskan mengapa Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan hanya bisa menyatakan menyesal atas dilakukan serangan AS terhadap Irak. Dan, ia malah memusatkan perhatian pada pembangunan kembali Irak setelah perang itu selesai. Namun, orang tidak boleh berputus asa. Harus terus diupayakan untuk menghentikan perang yang kini berlangsung di Irak, mengingat perang selalu membuka peluang terbunuhnya orang-orang yang tidak berdosa. (James Luhulima)

Partai Baath, antara Ciri Sekular dan Nasionalisme Arab


PERAN Partai Baath sebagai mesin kekuasaan, ditambah dengan fantasi tinggi tentang keperkasaan kepemimpinan masa lalu Irak, membuat pemerintahan Presiden Saddam Hussein tidak tergoyahkan dari dalam. Mitos tentang kejayaan Mesopotamia dan Babylonia dihidupkan kembali antara lain melalui festival sejak tahun 1988. Indonesia pernahberpartisipasi tahun 1989. PRESIDEN Sadam membangun citra kekuasaan dengan mengidentifikasi diri dengan penguasa yang sangat berpengaruh di masa silam, seperti Raja Hamurabi (1792-1750 SM) yang terkenal dengan sistem hukumnya, dan Nebuchadnezzar II (605-562 SM), yang pernah merepresi kaum Israel.
8

Sikap keras Nebuchadnezzar II, yang berlangsung sekitar 2.500 tahun lalu itu, ingin dihidupkan Saddam sebagai pemimpin Irak modern. Akan tetapi, Saddam tidak mau menyamakan diri begitu saja dengan Hamurabi atau Nebudchadnezzar II, yang sejarah kekuasaan mereka berakhir di tangan musuh. Saddam berusaha menempatkan dirinya lebih tinggi dari para penguasa masa lalu, yang secara visual diperlihatkan pada pembangunan bukit buatan di sebelah barat reruntuhan Kota Babylon (Gerbang Tuhan) dengan nama Bukit Saddam. Letak bukit lebih tinggi dari reruntuhan Kota Babylon, dan di atas bukit dibangun sebuah istana megah. Nama Saddam pun dipakai di mana-mana, mulai dari bandara sampai dengan universitas, bukit dan rumah sakit. Bahkan, muncul sebutan "Arab Saddam" untuk Irak, yang sering dianggap sebagai tandingan sebutan "Arab Saudi" yang diambil dari nama Dinasti Saud, meski Saddam sendiri membenci penamaan negara berdasarkan orang atau dinasti yang berkuasa. Maka, dalam menyebut Arab Saudi, Saddam lebih suka menyebutnya sebagai Hijaz-Jazair. Jutaan gambar Saddam dalam berbagai ukuran dan ekspresi terdapat di mana-mana, seperti di pinggir jalan, lorong, gedung, rumah, restoran, dan hotel. Seakan barang sedetik pun orang tidak bisa melepaskan diri dari pemandangan gambar Saddam. Patung-patung besar Saddam berdiri kokoh di mana-mana di bawah sorotan lampu. Dalam diri Saddam sendiri tampaknya bertemu dua kesadaran yang bertentangan. Saddam bangga sekaligus pedih atas sejarah bangsanya. Selama 6.000 tahun sejarah peradabannya, bangsa Irak memang tidak pernah tenang, selalu dimasuki orang-orang asing yang menginjak martabatnya. Mesopotamia (nama kuno Irak) misalnya, pernah diduduki Kekaisaran Romawi Kuno, Persia, Mongol, dan Ottoman Turki. Namun, bangsa Irak sendiri pernah tampil perkasa di bawah era Kerajaan Samaria, Akkadia, Babylonia, dan Assiria.
9

Jika dalam era modern ini Irak melawan Persia (Iran) melalui perang delapan tahun (1980-1988), dan kini berani menantang AS serta sekutunya, itu sebenarnya ekspresi pergolakan batin sebuah bangsa yang sering tertekan oleh bangsa lain sepanjang sejarah. Banyak bangsa tergerak masuk ke Irak karena terpana atas pesona keindahan dan kesuburan Negeri 1001 Malam itu. Sungai termasuk aspek fisik utama Irak. Bahkan, nama kuno Irak adalah Mesopotamia, yang berarti wilayah antara sungai. Terutama antara dua sungai, Eufrat dan Tigris, yang sudah melegenda. Lembah-lembah di antara kedua sungai itu sangat subur dan menawan. Mesopotamia (kini Irak) merupakan negara paling subur dan berlimpah air di Timur Tengah. Negara-negara lain di kawasan itu didominasi gurun, dan sulit mendapatkan sumber air. Bahkan, diyakini kisah Taman Firdaus mengambil latar wilayah antara sungai Eufrat dan Tigris. Presiden Saddam berusaha menghadirkan kembali kebesaran masa lalu bangsanya. Lantas caranya bagaimana? Saddam memperlihatkan keperkasaan dengan meriskir perang dengan Iran, dan kemudian menginvasi Kuwait. Namun, ternyata kedua manuver ini ternyata hanya membahayakan bangsanya. Meski mendapat tantangan berat dari mana-mana, termasuk gerakan oposisi, tapi daya tahan kekuasaannya termasuk luar biasa. Saddam telah menggunakan Partai Baath (Kebangkitan) sebagai mesin kekuasaan yang sangat efektif. PARTAI Baath sengaja mengeksploitasi sentimen nasionalisme, sosialisme Arab dan agama. Semula ada kecurigaan, lebihlebih pada era Perang Dingin, Partai Baath sealiran dengan partai-partai sosialis, bahkan Marxis, di negara-negara Eropa Timur. Kecurigaan itu didasarkan pada kenyataan, orientasi pergaulan dan perdagangan Irak di bawah Partai Baath lebih ke negaranegara sosialis. Bahkan, Irak menjalin hubungan persahabatan dan kerja sama dengan Uni Soviet.
10

Namun, secara ideologis, segera terlihat perbedaan antara Partai Baath dengan partai-partai sosialisme-komunisme. Partai Baath berwatak sekular, tapi menolak sekularisme. Secara filosofis, sekularisme berbeda sama sekali dengan pengertian sekular. Sekularisme menolak dan tidak mengakui keberadaan agama sama sekali karena yang diakui hanyalah dunia (caelum). Sebaliknya pengertian sekular menekankan pembangunan dunia (caelum) dengan tetap mengakui keberadaan agama. Dunia harus dibangun dan dikembangkan, tanpa harus meninggalkan agama. Bahkan, kemandirian agama harus dijaga dengan menjaga jarak terhadap pemerintahan, negara, dan kekuasaan. Dalam sistem pemerintahan Partai Baath, kekuasaan tertinggi berada di tangan Dewan Komando Revolusi pimpinan Presiden Saddam, yang merangkap Sekjen Partai dan Panglima Tertinggi. Proyeksi semangat revolusioner diperlihatkan Saddam dengan menggunakan aksesori, seperti seragam jenderal, pistol di pinggang, dan tanda pangkat marsekal, meski dirinya bukan tentara. Buat urusan kekuasaan, Partai Baath selalu bersekutu dengan militer. Bahkan, dalam menjalankan kekuasaan, peran militer jauh dominan ketimbang partai, meski anggota partai telah menyusup ke dalam angkatan bersenjata. Pada prinsipnya institusi pemerintahan menjalankan ideologi Partai Baath yang menekankan sosialisme khas Arab dan panArabisme. Konsep dasar Partai Baath ialah konsolidasi antara sosialisme, nasionalisme, dan agama (Islam). Dalam pertarungan perebutan kekuasaan, Partai Baath bertentangan dan berseteru dengan Partai Komunis Irak, yang kemudian dikalahkan dan dihancurkan. Para pemimpin dan pendukung Partai Komunis dikejar-kejar, ditangkap, dihukum, dan dibunuh. Setelah Saddam berkuasa Juli 1979, Partai Komunis dinyatakan sebagai partai terlarang. Bahkan, Saddam melangkah lebih jauh dengan menghapus sistem multipartai.
11

PADA puncak perjuangannya, Partai Baath mencita-citakan sebuah Arab bersatu yang merdeka di bawah sistem sosialisme yang bernapaskan ke-Islaman. Cita-cita itu harus dikejar dengan mengobarkan Revolusi Arab. Dilihat dari sejarahnya, Partai Baath dibentuk untuk menampung aspirasi kolektif masyarakat Arab. Dalam penilaian para pendiri Partai Baath seperti Michel Aflag, masyarakat Arab di mana pun di Timur Tengah terkesan lebih merasa diri sebagai Arab dan Islam ketimbang merasa sebagai bangsa Irak, Kuwait, atau Yordania misalnya. Masyarakat Arab mengecam peta negara-negara Timur Tengah sekarang ini, yang dianggap sebagai hasil politik memecah belah, divide et impera, yang dilakukan Barat terutama Inggris pada era kolonial. Namun ironinya pula, Arab sendiri juga sulit dipersatukan dalam menghadapi tantangan bersama. Akar Partai Baath Irak sebenarnya terletak di Suriah. Gagasan pembentukan Partai Baath pertama lahir di Suriah ketika muncul kesadaran tentang kemerdekaan bangsa-bangsa Arab pada tahun 1940-an dari cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Barat. Michel Aflag membentuk Partai Baath yang berhaluan sosialis khas Arab untuk memperjuangkan kemerdekaan. Namun, faham nasionalisme dan kesatuan Arab ditentang oleh dua partai yang sudah ada di Suriah, yaitu Partai Komunis dan Partai Nasional Suriah. Meski demikian, gerakan Partai Baath segera mendapat angin. Bahkan, antara tahun 1943 dan 1945 muncul keinginan untuk mengubah gerakan sosialisme khas Arab menjadi partai resmi, yang bisa diandalkan sebagai ujung tombak perlawanan terhadap penjajahan Perancis di Suriah dan Lebanon. Namun, seperti diungkapkan dalam buku, Saddam Hussein, A Biography, 1990, Partai Baath terdaftar sebagai partai resmi bulan April 1947 dengan ketua Michel Aflag. Akan tetapi,
12

perpecahan langsung terjadi di tubuh partai, bahkan Aflag tersingkir dan terpaksa melarikan diri ke Irak. Gerakan Aflag dilanjutkan di Irak. Semula dilakukan secara diam-diam untuk menghindari benturan langsung dengan Partai Komunis Irak yang sudah kokoh. Partai Baath Irak mulai muncul ke permukaan ketika mengambil peran dalam kerusuhan tahun 1952. Pengaruh Partai Baath kemudian dengan cepat meluas. Saddam Hussein bergabung tahun 1957 dalam usia 20 tahun. Partai Baath sempat dilarang tahun 1958 bersama partaipartai lainnya dalam kemelut politik ketika sistem monarki Irak ditumbangkan. Namun, Partai Baath terus bergerak di bawah tanah sampai akhirnya merebut kekuasaan tahun 1963. Sejak itu Irak menjadi negara satu partai, Partai Baath. Sistem multipartai dihidupkan kembali tahun 1970, tapi sistem kembali berbalik menjadi satu partai sejak Saddam Hussein mulai berkuasa Juli 1979. Seluruh kekuasaan terpusat pada tangan Presiden Saddam. (Rikard Bagun)

AS, Bush, dan Saddam


KAMIS (20/3) pagi. Matahari belum beranjak dari peraduannya. Bahkan, ketika sebagian besar dunia masih terlelap dan jantung kehidupan pun belum mulai berdetak, kembali dunia dihadapkan pada kenyataan yang sama sekali tidak menyenangkan. Pagi itu, Amerika Serikat(AS) membombardir Irak. SEOLAH tak mempedulikan keberatan seluruh warga dunia, Presiden AS George W Bush dengan mantap mengatakan, "Atas perintah saya...", dan serangan pun dilancarkan. Untuk kesekiankalinya, negeri 1001 malam itu kembali dihajar "seribu" serangan. Sebelum sempat bangkit, berbagai rudal jelajah telah menghajar negeri Raja Harun Al-Rasheed tersebut. Ada rasa marah, kesal, dan kepedihan mendalam bercampur aduk. Harus diakui, di kepala awam, keputusan AS itu sulit
13

diterima. Terutama, karena negeri itu belum sembuh dari luka lama akibat serangkaian perang itu. Bisa dipastikan, AS pasti memahami penderitaan rakyat Irak yang berkepanjangan ini. Namun, kondisi memilukan ini tetap tidak membuat AS menghentikan niatnya menyerang Irak. AS pun mengerti, seluruh dunia menentang rencananya. Dalam perbincangan dengan wartawan di Jakarta, Rabu (19/3), Duta Besar (Dubes) AS Ralph "Skip" Boyce pun mengakui adanya kekhawatiran bahwa AS akan terkucil dari percaturan politik dunia. Terutama mengingat, dari 191 anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB), hanya tiga negara yang mendukung. Namun, ia menekankan, keputusan AS itu dilakukan secara terpaksa. "Sebenarnya, kami pun lebih menyukai jika keputusan ini mempunyai mandat dari PBB. Sayangnya, kami menghadapi ancaman veto dan kami menghadapi kenyataan kerangka resolusi II yang kami ajukan bersama Inggris, tidak mendapat dukungan dari mayoritas anggota DK PBB," katanya. Boyce pun berkali-kali menegaskan, keputusan itu tidak diambil secara unilateral, melainkan trilateral, karena mendapat dukungan dari Inggris dan Spanyol. Selain itu, AS mengklaim mendapat dukungan setidaknya dari 28 negara, yaitu Afganistan, Albania, dan Australia. Selain itu, Azerbaijan, Kolombia, Ceko, Denmark, El Savador, Eritrea, Estonia, Ethiopia, Georgia, Hongaria, Islandia, Italia, Jepang, Korea, Latvia, Lituania, Macedonia, Belanda, Nikaragua, Filipina, Polandia, Romania, Slovakia, Turki, dan Uzbekistan. Selain itu, AS menyatakan masih ada 15 negara lain yang siap bekerja sama. KENYATAANNYA, seluruh keberatan itu sama sekali tidak menyurutkan AS. Sebaliknya, AS semakin beringas dalam meyakinkan dunia tentang keputusannya.

14

Bahkan, AS pun akhirnya mengambil keputusan bertindak tanpa mengindahkan satu-satunya lembaga dunia, PBB. AS pun menempuh risiko "terkucilkan" dari percaturan dunia. Pertanyaan yang timbul, apa sebenarnya yang mendorong AS? Dubes Boyce mengatakan, motivasi utama AS menyerang Irak adalah kenyataan Irak tidak bersedia melucuti senjatanya. Untuk mendukung pernyataannya, Boyce mengacu pada serangkaian resolusi yang telah dikeluarkan DK PBB, sejak persetujuan gencatan senjata untuk mengakhiri Perang Teluk tahun 1991. "Ada 17 resolusi yang telah dikeluarkan untuk melucuti senjata Irak, tetapi Irak tetap tidak bersedia melaksanakan pelucutan itu," katanya. "Jadi, kami memutuskan melucuti senjata Irak karena Irak menolak melucuti sendiri senjatanya," jelas Boyce. Dengan alasan, Irak telah mengingkari resolusi PBB, AS tidak bisa membiarkan rezim Saddam Hussein terus berkuasa. AS sangat khawatir, Saddam Hussein terus mengembangkan senjata pemusnah massal kimia, nuklir, dan biologi. Seperti dikatakan Boyce, dalam hal ini, AS begitu risau karena seluruh ancaman Irak itu hanya ditujukan kepada AS, bukan negara lain. "Karena itu Saddam harus dilucuti," ujar Boyce. Menurut Boyce, AS tidak sekaligus "menghabisi" Saddam dan keluarga di tahun 1991 karena "terikat" pada persetujuan dalam gencatan senjata pada waktu itu. "Jadi, sebenarnya, Perang Teluk waktu itu tidak berhenti, melainkan gencatan senjata. Dan di situ ada persetujuan, Irak akan melucuti senjatanya sendiri. Kami menghormati persetujuan itu," jelasnya. Hal itu diperkuat pengkajian American Academy tentang Kebijakan Keamanan Nasional AS, yang tertuang dalam pengkajian War with Iraq, Cost, Consequences, and Alternative. Amerika terutama mendasarkan Strategi Keamanan Nasionalnya pada kepentingan internasional AS yang mengedepankan persatuan antara nilai dan kepentingan.

15

Dengan strategi itu, AS bermaksud membantu menciptakan dunia yang tidak saja lebih aman, tetapi juga lebih baik. Seluruh langkah itu semata-mata untuk mencapai kebebasan ekonomi dan politik, serta membangun hubungan dengan negara lain yang didasarkan pada penghormatan pada martabat dan kemanusiaan. Untuk mencapai tujuan itu, AS menggunakan berbagai langkah. Antara lain, memperkuat persekutuan untuk mengalahkan terorisme global. Ke dalam, AS meningkatkan upaya mencegah segala ancaman yang mengancam keamanan nasional atau sekutu AS. Selain itu, AS akan berupaya keras untuk sama sekali tidak memberi peluang pihak lawan menggunakan senjata pemusnah massal untuk mengancam AS dan sekutunya. Kebijakan itu diambil seiring dengan kesadaran AS akan jaringan terorisme internasional yang tumbuh dan berkembang dengan subur. Dalam kacamata AS, jaringan itu tidak lagi enggan untuk menggunakan kekerasan dan senjata yang menghancurkan dalam skala sangat besar. Umumnya, jaringan terorisme semacam ini berada, bahkan "melekat" pada satu negara yang "kebetulan" memiliki agenda politik yang tumpang tindih dengan agenda teroris. Selain itu, terorisme tumbuh di satu negara yang tidak mampu mencegah teroris menggunakan wilayahnya sebagai basis, sekadar "panggung pementasan", atau tempat berlindung. Dan dengan teori itu, sangat bisa dimengerti jika kemudian AS memasukkan Irak sebagai kasus utama. AS dengan tegas menganggap Irak, khususnya Saddam Hussein adalah ancaman paling berbahaya di dunia. Lebih dari itu, AS menganggap Saddam Hussein adalah teroris internasional yang setiap saat siap menggunakan senjata pemusnah massalnya. DAN harus diakui, faktor Saddam Hussein memang menjadi aktor utama dalam kebijakan Presiden AS George W Bush. Bush yang menjadi Presiden AS sekarang ini, tak lain adalah
16

putra Bush Senior yang juga menjadi Presiden AS ketika AS memimpin koalisi menghalau Irak dari Kuwait dalam Perang Teluk tahun 1991. Sejak itu, Bush tua dan Saddam Hussein menjadi musuh bebuyutan. Kedua pihak pun tak lepas dari perseteruan dan saling menyebarkan kebencian. Puncak kebencian Saddam yang di kalangan dekatnya pun dikenal "gila", dituangkan dalam sebuah mozaik wajah Bush tua dengan tulisan first criminal di lantai pintu utama Hotel ArRasheed, Baghdad. Posisi mozaik wajah Bush tua itu menggantikan keset yang biasanya bertuliskan "selamat datang" di pintu utama sebuah hotel. Akibatnya, wajah Bush tua akan selalu terinjak oleh setiap tamu yang memasuki hotel tersebut. Konon, kelakuan Saddam ini untuk membalas tindakan Bush yang dikatakan pernah membuat tisu gulung kamar mandi dengan gambar wajah Saddam Hussein. Ketika Bush yunior sekian tahun kemudian menduduki kursi yang sama, mozaik gambar wajah sang ayah itu masih tetap di tempatnya. Masih tetap menjadi "keset" dan diinjak-injak oleh setiap tamu hotel terbesar di Irak tersebut. Tidak mengherankan, jika Bush yunior pun ingin membalaskan sakit hati ayahnya. Kebencian Bush yunior pada Saddam pun semakin menjadi. "Dia harus digulingkan. Saddam adalah orang yang pernah mencoba membunuh ayahku," kata Bush yunior suatu saat. Pernyataan Bush muda itu mau tak mau membuat dunia pun akhirnya mengartikan, sikap "ngotot" AS untuk menyerang Irak, lebih karena kasus pribadi antara Bush tua dan muda pada Saddam Hussein. Sudah pasti, Bush menolak hal itu. Untuk itu, Bush kemudian membungkus kecurigaan itu dengan membuat definisi persoalan tentang Irak dan Saddam Hussein yang diakui sulit dibantah.

17

Dan Bush muda berhasil menggambarkan karakter tentang Saddam Hussein secara tepat dan akurat. Di mata Bush, Saddam Hussein adalah pemimpin paling brutal di sepanjang sejarah dan tirani yang tercela. Saddam bertanggung jawab pada berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia. Saddam berulang kali mengancam akan menyerang negara tetangga, selalu melanggar hukum internasional, menolak tuntutan resolusi PBB, mendukung gerakan terorisme internasional. Dari seluruh gambaran itu, hal terpenting, bahkan selaras dengan kebijakan keamanan nasional AS adalah gambaran Bush bahwa Saddam Hussein terus mengembangkan senjata pemusnah massal. "Di masa lalu, ia (Saddam) telah menggunakan berbagai senjata pemusnah massal kimia, baik dalam perang dengan Iran maupun terhadap warganya sendiri," kata Bush. "Tanpa perlu dipertanyakan lagi, Saddam adalah pemimpin dunia terburuk," tegasnya. Lebih lanjut dikatakan, "Saddam adalah ancaman masa depan, terutama mengingat potensi Saddam dalam mengembangkan senjata pemusnah massal. Dan itulah jantung utama alasan melaksanakan perang sekarang." Dan dengan seluruh definisi itu, AS pun akhirnya memahami esensi logika Bush tentang pentingnya pre-emptive war. "Better now than never (Lebih baik sekarang daripada tidak sama sekali!)", begitu prinsip AS. "Kita tidak bisa menunggu sampai Hans Blix dan Mohammed ElBaradei selesai dengan tugasnya. Karena selama itu, Irak mungkin telah mampu mengembangkan senjata pemusnah massalnya dan menyerang kami," kata Dubes Ralph Boyce. Dan memang, dalam sekejap, ...terjadilah serangan itu! (rie)

Perang Teluk dan "Revolusi" Media "Kami baru saja meninggalkan Kuwait dan kini memasuki wilayah padang pasir Irak.... Rata-rata kecepatan kami 40 hingga 50 km per jam ...," begitu antara lain laporan
18

wartawan CNN (Cable News Network) Walter Rodgers, Jumat (21 3).
KETIKA suara Walter Rodgers tertangkap telinga para penonton televisi, saat itu pula mata para penonton melihat kepulan debu padang pasir warna coklat. Sayup-sayup terdengar raungan mesin tank M 1A1 Abrams yang segera hilang menyebar ke segala penjuru padang pasir di Irak selatan. Malam hari sebelumnya, suara Rym Brahimi menyusup ke telinga para penonton siaran CNN. Di antara suara ledakan, suara Rym Brahimi menyergap telinga para penonton televisi yang tengah mengikuti perkembangan Irak. Wartawati CNN itu melaporkan serangan Amerika Serikat (AS) yang mengenai beberapa bangunan dan menimbulkan kobaran api. Walter Rodgers dan Rym Brahimi hanyalah dua dari sejumlah wartawan yang ikut langsung terjun di medan Perang Teluk kali ini. Walter Rodgers, misalnya, tergabung dalam Skuadron Ke-3 Resimen Kavaleri Ke-7 AS yang memimpin Divisi Infanteri Ke-3 AS yang bergerak masuk ke wilayah Irak dari Kuwait. Oleh karena itu, ia bisa secara rinci menceritakan apa yang tengah terjadi di gurun wilayah Irak selatan itu. "Kavaleri terus maju, makin ke dalam masuk ke gurun pasir Irak selatan bergerak menuju Baghdad..." lapor Walter Rodgers, Jumat malam pukul 21.40. Sementara di layar televisi terlihat tank M 1A1 Abrams bergerak, menyusuri gurun, melonjak-lonjak meninggalkan debu. Demikian pula Rym Brahimi melaporkan apa yang terjadi serta situasi di Baghdad saat serangan terjadi pada hari pertama. Penonton pun, di rumah mereka, di kantor, atau di mana pun seakan dibawa oleh para wartawan ke medan laga untuk melihat dari dekat kegilaan tentara AS. Walter Rodgers, Rym Brahimi, Diana Murial, Christiane Amanpour, Andrian Croft, dan masih banyak lagi wartawan yang melaporkan langsung di medan perang. Mereka ada di
19

tengah-tengah pasukan, bergabung, berbaur dengan pasukan baik yang di darat maupun di laut. Kantor berita Associated Press (AP), misalnya, melaporkan, para wartawan asing (luar Irak) bisa dengan bebas melaporkan setiap kejadian di Baghdad. Mereka menantang maut dan menembus batas-batas larangan. Beberapa jaringan televisi, menurut Christa Robinson dari CNN, menanam staf mereka di Baghdad dan memasang kamera di atap Gedung Kementerian Penerangan Irak. Selain jaringan-jaringan televisi Amerika yakni ABC, CBS, NBC, dan CNN, masih ada jaringan televisi lain seperti BBC, Sky News, Associated Press Television News, dan Reuters. Ada sekitar selusin kamera televisi yang dipasang di atap kementerian itu. Meskipun sudah banyak wartawan asing meninggalkan Baghdad, mereka tetap memperoleh gambar dan laporan tentang Baghdad karena banyaknya jaringan berita Arab yang independen. Selain Al-Jazeera, masih ada lagi yakni Al-Arabiya di Dubai, dan Lebanese Broadcasting Co. Jaringan televisi Barat memperoleh gambar dan berita dari mereka selain dari CNN dan jaringan televisi Arab. Tetapi, pada akhirnya, hari Sabtu dini hari, empat wartawan CNN diusir dari Baghdad dan kantornya di kota itu ditutup. Barangkali-kalau tidak berlebihan-inilah revolusi di dunia media massa. Dulu, ketika pecah Perang Teluk I (1991), memang, Peter Arnett, Bernard Shaw, dan John Holliman dari CNN membuat banyak orang berdecak kagum. Mereka itu melaporkan secara langsung saat pecah perang. Mereka melaporkan detik-detik terakhir pecahnya perang, namun tidak serinci, setahap demi setahap, seperti sekarang ini. "Kami baru saja mendengar sebuah ledakan udara yang begitu hebat," lapor Holliman saat itu, lalu melukiskan betapa dahsyatnya awal perang itu. "Seperti di neraka," sambung Shaw ketika ia melihat api membubung tinggi ke udara seakan ingin menggapai dan menjilati langit. Sementara itu, Arnett
20

dengan tenang terus melaporkan bola-bola api menari- nari di udara. "REVOLUSI"-sekali lagi, kalau istilah itu tidak berlebihanbermula dari tawaran Pentagon, Oktober tahun lalu. Kementerian Pertahanan AS itu menawarkan diri untuk melatih para wartawan dasar-dasar pertempuran militer sebagai bagian dari rencana kontinjensi bagi media untuk kemungkinan meliput perang Irak. Selama latihan para wartawan mempelajari kebiasaan militer, amunisi, memberikan bantuan pertama dasar, dan bagaimana melindungi diri sendiri manakala terjadi serangan senjata nuklir, biologi, dan kimia. Mereka juga mempelajari aturan pertempuran, struktur komando, dan kebiasaan militer AS. Dan ketika pecah perang, mereka kemudian "ditanam" di berbagai kesatuan tempur AS. Hasilnya? Para penonton televisi dapat mengikuti apa yang terjadi di lapangan secara rinci dari waktu ke waktu secara lebih lengkap. Para penonton televisi juga bisa memperoleh informasi dari dua arah. Misalnya, bisa mengikuti perkembangan peperangan menurut versi Irak dan AS, serta pernyataan-pernyataan langsung dari Irak sekaligus dari pihak AS dan Inggris. Mengapa tentara AS memberi "tempat istimewa" pada wartawan? Dari sudut pandang taktik dan strategi militer (terutama AS), "penanaman" wartawan pada kesatuan tempur menguntungkan. Jaringan televisi CNN hingga kini masih diizinkan siaran di Irak. Karena itu, mereka berharap bahwa gambar dan berita tentang gerakan pasukan serta kekuatan mesin perangnya diharapkan akan menjadi semacam kekuatan teror yang pada gilirannya akan menjatuhkan moril tentara. Bukan tanpa tujuan, misalnya, kalau penyerahan diri tentara Irak terus-menerus disiarkan. Bukan tanpa tujuan pula, kalau gerakan pasukan AS dan sekutunya terus ditayangkan. Tujuannya adalah menciptakan kekuatan teror! Sebaliknya, masyarakat dunia juga akan melihat serta menilai apakah tentara AS dan koalisinya melanggar hukum
21

internasional atau tidak saat menggempur Irak. Hal itu hanya akan terlaksana kalau berita-berita yang ada men- cerminkan peran juru bicara derita kemanusiaan. Peran itu semestinya bisa dilakukan karena media memperoleh akses yang lengkap. Kewajiban me- dia dalam situasi konflik adalah sebagai saksi. Lebih dari itu, media dituntut memihak korban. Dengan demikian, reputasi media menjadi taruhannya. Media yang berbohong atau berpihak pada satu pihak akan hancur. Terlebih lagi, masyarakat sekarang ini adalah masyarakat komunikasi. Tidak ada kekuasaan, baik politik, ekonomi, agama, atau pendidikan, yang bisa lepas dari strategi komunikasi. Bisa kita lihat kasus Afganistan. Ketika itu, radio, televisi, koran tidak menyadari apa yang telah mereka lakukan. Mereka beranggapan seakan- akan telah meliput perang Afganistan, seakan-akan mereka telah memberi informasi. Padahal, yang mereka berikan bukan informasi, tetapi komunikasi, artinya mereka telah menyampaikan informasiinformasi yang diizinkan untuk dikeluarkan pihak militer, terutama militer AS. Korban-korban sipil yang tewas akibat salah sasaran tidak pernah mendapat pembelaan. Ini merupakan ilustrasi ancaman serius terhadap informasi. Kini, saat Perang Teluk II berlangsung, hal tersebut tidak boleh terjadi lagi. Karena, para wartawan terjun langsung, ada di mana-mana bersama tentara. Dan dengan mengikutsertakan wartawan pun, militer tidak bisa lagi melarang-melarang para wartawan untuk memberitakan apa yang mereka lihat. Masyarakat penonton bisa memilih laporan dari media mana yang akan mereka lihat dan ikuti karena kejujurannya. Pada akhirnya benar apa yang dituliskan pada batu nisan Marshall McLuhan, pencetus istilah the medium is the message dan global village, bahwa The Truth Shall Make You Free. Kebenaran kini milik media, yakni media yang menjunjung ting- gi nilai-nilai kejujuran dan prinsip keadilan. Artinya, semua diperlakukan sama, ketidaksamaan perlakuan bisa
22

ditolerir sejauh menguntungkan bagi yang paling tidak beruntung. Apakah Irak akan diperlakukan seperti itu? Itu yang ditunggu masyarakat internasional juga masyarakat AS. Mengapa? Masyarakat AS adalah masyarakat yang taat bayar pajak. Mereka tahu bahwa uang pajak mereka juga digunakan untuk dana perang. Karena itu, kalau tentara AS bertindak di luar batas, misalnya, menembak anak-anak, orang-orang sipil secara membabi-buta, mereka akan memprotes dan menuntut. Mereka akan menuntut pertanggungjawaban. Media yang mempraktikkan diskriminasi dan menafikan yang lain, jelas melawan prinsip keadilan dan kejujuran. Pada akhirnya, itu berarti mengkhianati roh dan prinsip dasar media. (IAS)

Alasan Perang dari Perspektif Ekonomi


PERS Barat bertanya, Apa alasan untuk melancarkan Perang Teluk? James Baker saat menjabat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) tahun 1990-an menjawab, Alasannya adalah pekerjaan, pekerjaan (jobs, jobs, jobs). BAKER didaulat lagi untuk memberikan keterangan lebih konkret, apa arti dari jawabannya itu. Faktanya adalah penciptaan kesempatan kerja atau pekerjaan yang ada akan anjlok atau hilang. Itu jika (Presiden Irak) Saddam Hussein bisa mengontrol aliran minyak dari Teluk, atau bertindak sesuai keinginan diri sendiri untuk mempengaruhi harga minyak, apalagi kalau Saddam berhasil mengontrol minyak Irak dan Kuwait," kata Baker. Jadi barangkali, Baker ingin mengatakan bahwa alasan Perang Teluk tahun 1991 adalah, "Minyak, minyak, minyak (oil, oil, oil)." Demikian antara lain petikan-petikan kalimat dari artikel William D Nordhaus berjudul, The Economic Consequences of a War with Iraq.
23

Nordhaus adalah Profesor Sterling untuk Ilmu Ekonomi dari Yale University. Pada tahun 1977-1979, dia anggota Dewan Penasihat Ekonomi Presiden AS (saat itu dijabat Jimmy Carter). Artikel itu adalah salah satu hasil diskusi di Committee on International Security Studies (CISS), berlangsung pada 11 Oktober 2002. CISS adalah unit dari American Academy of Arts and Sciences (A3S). Para peserta diskusi terdiri dari orang-orang yang berkaliber di bidangnya, antara lain James Carroll (dari harian Boston Globe), Richard Garwin (Council on Foreign Relations), Janice Gross-Stein (University of Toronto), Harry Harding (George Washington University), Carl Kaysen (Massachusetts Institute of Technology), Neal Lane (Rice University), Robert Legvold (Columbia University), Jane Holl Lute (United Nations Foundation), Martin Malin (A3S), Everett Mendelsohn (Harvard University), Robert Pastor (American University), Janne Nolan (Georgetown University), Steven Miller (Harvard University), Bruce Russett (Yale University), dan John Steinbruner (University of Maryland). Mereka mendiskusikan kebijakan AS soal Irak, dengan maksud memberikan pandangan soal potensi biaya, konsekuensi dalam jangka panjang dari serangan atas Irak. Tulisan ini khusus mengkaji alasan perang dari perspektif ekonomi. Perspektif ekonomi dari pihak siapa? Logikanya karena perang Irak "dipaksakan AS", perspektif ekonomi itu jelas adalah milik AS. Kebetulan perspektif ekonomi tersebut juga tersirat di dalam strategi keamanan nasional AS. Tanggal 17 September 2002, Gedung Putih, dengan titipan pesan dari Presiden AS George Walker Bush, meluncurkan dokumen 30 halaman berjudul The National Security Strategy of The United States. Gambaran umum dari dokumen itu adalah:
24

Strategi kebijakan nasional AS didasarkan pada keunikan internasionalisasi Amerika yang merefleksikan kesatuan nilainilai dan kepentingan nasional kita. Tujuan dari strategi itu adalah membentuk dunia yang tidak saja lebih aman, tetapi juga lebih baik. Tujuan kita adalah: kebebasan ekonomi dan politik, hubungan serasi dengan negara-negara lain, dan penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan. ... Untuk mencapai tujuan itu, AS akan: * meningkatkan aspirasi soal nilai-nilai kemanusiaan; * memperkuat aliansi untuk membasmi terorisme dan bekerja untuk menghindari serangan pada kita dan teman-teman kita; * bekerja dengan pihak lain untuk menghindari konflik regional; * mencegah ancaman musuh terhadap kita, kelompok kita, teman-teman kita, dengan senjata pemusnah massal; * menciptakan era baru untuk pertumbuhan ekonomi global lewat pasar bebas dan perdagangan bebas; * meningkatkan siklus pembangunan dengan membuka komunitas dan membangun sarana demokrasi; * menciptakan agenda untuk aksi kerja sama dengan pusatpusat kekuatan global; dan * mentransformasikan lembaga keamanan nasional Amerika untuk menghadapi tantangan dan kesempatan-kesempatan Abad 21. Tujuan dari kebijakan AS itu mencengangkan. Namun, banyak di antaranya sudah mewarnai kebijakan AS lebih dari setengah abad lalu. Apa implikasi kebijakan AS itu terhadap pasokan minyak pada umumnya, dan khususnya pada pasokan minyak dari Irak.

25

MENURUT Nordhaus, Pemerintah AS sekarang ini tidak bicara soal pertumbuhan (di dalamnya termasuk kesempatan kerja) atau pasokan minyak secara eksplisit, di dalam strategi itu. Juga tidak disinggung secara konkret, apa tujuan serangan ke Irak dari segi perspektif ekonomi, atau perspektif ekonomi minyak. Pentagon sebenarnya sudah membuat ramalan internal soal kaitan perang dengan pasokan minyak (termasuk di dalamnya biaya perang). Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih juga sudah mengirimkan studi dampak ekonomi dari Perang Irak ke Presiden Bush. Namun, tidak ada satu pun dari laporan itu yang dipublikasikan. Nordhaus mengatakan, pemikiran soal keamanan pasokan minyak, dan kontrol atas minyak Irak setelah perang, mungkin disembunyikan pada classified analysis (analisa ekonomi minyak yang diklasifikasikan sebagai rahasia yang tidak terbuka untuk umum). Namun demikian, apa pun peran pasokan minyak pada kalkulus pemerintahan Bush, banyak negara lain menduga, pengontrolan pasokan minyak Irak untuk kepentingan perusahaan-perusahaan AS dan perusahaan otomotif AS, ditempatkan pada urutan teratas dalam daftar prioritas AS. Ada latar belakang informasi yang berguna sebagai bahan diskusi soal itu. Konsumsi minyak dunia tahun 2000 dan 2001 rata-rata sekitar 68 juta barrel per hari. Dari jumlah itu, OPEC menyumbang 42 persen atau mendekati 29 juta barrel per hari. Dari total pasokan OPEC itu, sebanyak 22 juta barrel per hari atau 32 persen bersumber dari negara-negara Arab ditambah Irak. Kelebihan kapasitas produksi produksi OPEC di tahun 2001, hanya sekitar 4 juta barrel per hari. Di luar OPEC, hanya ada sedikit kelebihan kapasitas produksi. Tingkat kelebihan kapasitas produksi itu adalah yang terendah dalam sejarah.
26

Itu dianggap berbahaya, untuk menjamin keamanan pasokan minyak. Pada periode sebelumnya, ketika kelebihan kapasitas jatuh ke atau di bawah 4 juta barrel per hari-sebagaimana terjadi pada tahun 1973-1974, 1978- 1979, dan 1991-harga minyak naik tajam. Pada diskusi di CISS itu diungkapkan, pemikiran soal minyak dalam konteks perang di Timur Tengah bukanlah omong kosong. Setiap resesi pada tiga dekade lalu, dikaitkan secara langsung atau tidak langsung dengan kejutan di pasar minyak, terorisme, dan perang. Informasi lain adalah, para ahli perminyakan yakin, Irak memiliki cadangan minyak kedua terbesar di dunia di belakang Arab Saudi. Irak memiliki 220 milyar barrel cadangan minyak. Cadangan Irak bisa lebih tinggi dari angka itu, karena eksplorasi sumber daya minyak-terutama di kawasan Gurun Pasir Barat (Western Desert) Irak, kemungkinan masih bisa menghasilkan sumber daya minyak tambahan, namun belum dieksploitasi. Sumber daya minyak Irak itu bisa memenuhi kebutuhan impor minyak AS selama hampir satu abad. Kesimpulannya, posisi Timur Tengah dan Irak, masih cukup signifikan di dalam pasokan minyak dunia. Masalahnya, minyak mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia jika harga minyak tidak stabil, terutama jika harga minyak melejit. Hal itu menyebabkan nilai impor minyak meningkat, biaya produksi meningkat, yang akhirnya akan menurunkan produktivitas. Produktivitas ekonomi yang anjlok, akan memerosotkan perekonomian, dan menghambat pertumbuhan kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomi bukan saja penting bagi AS, tetapi juga dunia, yang ditandai dengan masih banyaknya penduduk miskin.

27

Menurut PBB, jika status sosial ekonomi penduduk miskin dunia hendak diangkat, maka pertumbuhan ekonomi harus meningkat pula. Jadi, ketidakstabilan pasokan dan harga minyak dunia, akan memberi dampak negatif pada masyarakat dunia, di mana pun mereka berada, dan agama apa pun yang mereka anut. POSISI Timur Tengah, memang strategis, dari perspektif minyak. Namun demikian, banyak faktor yang membuat AS khawatir akan kestabilan harga dan pasokan minyak dunia. Misalnya, ada kekhawatiran akan penghancuran fasilitas minyak di Irak, dan kemungkinan Kuwait, Iran dan Arab Saudi. Pada Perang Teluk I tahun 1991, Irak menghancurkan infrastruktur perminyakan Kuwait. Kekhawatiran lain adalah, adanya potensi pengurangan produksi minyak di Teluk. Itu pernah terjadi lewat aksi boikot terhadap AS dan negara Barat lainnya, seperti terjadi tahun 1973 menyusul Perang Arab-Israel. Arab melakukan embargo atas ekspor minyak, yang membuat harga minyak dunia melejit, dan dampaknya adalah resesi ekonomi dunia. Intinya AS sangat khawatir, jika kontrol produksi minyak jatuh ke tangan pihak yang anti-Barat. Itu mengkhawatirkan karena ketergantungan negara-negara industri, khususnya AS, pada minyak impor. Lalu mengapa sasarannya adalah Saddam Hussein. Bagi AS, sama seperti Afganistan, Irak terpecah oleh konflik ideologi, agama dan etnis. Naiknya Saddam ke pemerintahan tahun 1979 lalu, langsung diikuti kejatuhan ekonomi dan juga kejatuhan pada beberapa aspek kehidupan Irak. Sejak itu, demikian Nordhaus, Irak mengalami bencana ekonomi dalam sejarah modern. Ketika perang dan sanksi PBB belum mendera, produksi minyak Irak mencapai puncak sekitar 3 juta barrel per hari, atau 1 milyar barrel per tahun.
28

Minyak menyumbang sekitar 50 persen pada produksi domestik bruto (PDB) Irak. PDB per kapita Irak mencapai puncaknya sekitar 9.000 dollar AS (berdasarkan harga tahun 2000) pada tahun 1979. Tahun 2001, kisaran pendapatan per kapita Irak hanya sekitar 1.000-1.200 barrel per hari tahun 2001. Tampaknya, selama 23 tahun pemerintahan Saddam, standar hidup anjlok 90 persen. AS menilai hal itu sebagai rawan terhadap kebangkitan terorisme. Kehancuran ekonomi Irak, terutama terjadi selama perang Iran-Irak (1980-1988), dan kemudian pada Perang Teluk dan diikuti sanksi PBB. Kejadian itu juga menghancurkan capital stock (akumulasi modal) Irak, menurunkan produksi dan ekspor minyak, dan merusak aset-aset di luar negeri, serta cadangan devisa internasional. Bagi AS, tampaknya posisi Irak yang demikian itu, telah cukup dijadikan alasan untuk bertindak. Nordhaus mengutip wawancara ekonom AS Larry Lindsey dengan Wall Street Journal yang diberitakan tanggal 15 September 2002 berjudul "Saddams Oil". Wawancara itu dinilai, sedikit membuka tabir, mengapa AS perlu menyerang Irak. Lindsey mengatakan, "Penggusuran Saddam akan menghentikan permasalahan minyak dunia dengan peningkatan pasokan. Produksi Irak telah terganggu karena terbatasnya investasi dan faktor politik di Irak." "Jika ada perubahan rezim di Irak, akan ada tambahan pasokan minyak dunia 3-5 juta barrel per hari," demikian kata Lindsey. Juru Bicara Gedung Putih Scott McClellan menghindar dan tak mau mengomentari Lindsey. Namun, Direktur OMB Mitch Daniels mengatakan, "Perkiraan Lindsey itu sangat, sangat tinggi."
29

Namun, apakah tindakan AS sekarang ini mendapatkan legitimasi? Apakah sikap AS yang main kayu, bisa benar-benar mengamankan pasokan minyak dunia? AS telah melukai perasaan, bukan saja perasaan warga Irak, tetapi juga banyak negara di dunia yang merasa telah diinjak oleh pemegang super power itu.(Simon Saragih)

Ujian bagi Teknologi Canggih Ada di Baghdad?


SETELAH pengeboman hari pertama dan kedua, baik dengan rudal jelajah Tomahawk maupun jet siluman F-117A, yang selain difokuskan terhadap pusat kepemimpinan politik pemerintahan Saddam Hussein juga terhadap komando militer, dan sistem pertahanan udara Irak, maka kini udara di atas Baghdad memang praktis sudah aman. Pesawat-pesawat tempur AS dan Inggris sudah dapat dengan leluasa melancarkan serangan pengeboman tanpa balasan. Dengan perkembangan yang ada sejauh ini, perlawanan tentara Irak terhadap invasi Sekutu pimpinan AS bisa dikatakan minimal. Di darat tank- tank T-72 Irak dengan mudah dihancurkan oleh senjata AS. Kalaupun ada tembakan sporadis dengan rudal Scud, baterai sistem antirudal Patriot telah menetralisasikannya. Atas dasar itu, AS menduga operasi serangan darat ke Irak ini akan berlangsung lebih cepat. Hal ini antara lain disampaikan oleh Komandan Birgade Pertama Divisi Infanteri Ke-3 Kolonel William F Grimsley seperti dikutip Steven Lee Myers dari harian New York Times yang menyertai Divisi Infanteri ini. Dimulainya gerakan pasukan darat hanya dua hari setelah serangan rudal jelajah dan pengeboman jet siluman membuat Perang Teluk II ini berbeda dengan Perang Teluk I. Dulu pasukan darat digerakkan untuk menyerbu Irak dan membebaskan Kuwait setelah serangan udara dilakukan selama 39 hari. Selain hal itu, kini dilakukan hanya dua hari setelah serangan udara di Baghdad, deru jet tempur sendiri jauh lebih sedikit. Tentara Sekutu yang memasuki Irak dari Kuwait menyebut suara jet hanya terdengar sekali-sekali saja.
30

RENTANG waktu 12 tahun wajar melahirkan perubahan. Namun, perubahan menyangkut perimbangan militer, secara kuantitas maupun kualitas, melahirkan jurang yang semakin menganga antara Irak dan AS. Bila sebelum Perang Teluk I tahun 1991 militer Irak dikenal sebagai salah satu kekuatan paling besar di Timur Tengah, setelah Perang Teluk I banyak dari kekuatan itu yang susut menjadi sepertiganya, seperti jumlah tentara reguler maupun jumlah tank. Embargo yang menyusul penyerbuan ke Kuwait yang diberlakukan hingga sekarang, juga membuat Irak tak mampu mengganti peralatan pertahanan yang hancur digempur AS dan Sekutunya dalam Perang Teluk I. Padahal yang masih tersisa pun, di tengah kelangkaan dana dan suku cadang untuk perawatannya, juga merosot kinerjanya dengan waktu. Dalam hal kekuatan udara, misalnya, Irak hanya punya 120 pesawat yang bisa dipergunakan, tetapi itu berteknologi tahun 1980-an, dan menurut catatan pengamat militer Paul Beaver (Reuters/JP, 21/3), tidak didukung oleh komando dan kontrol, serta kemampuan pengisian bahan bakar di udara, dan tentu saja bukan tandingan jet Amerika yang berteknologi abad ke21. Jadi dengan situasi seperti itulah Irak menghadapi Perang Teluk II kali ini. Sebaliknya dengan AS. Selain dana terus tersedia, kemampuan teknologi pun terus meningkat. Itu sebabnya, meski sebagian alat utama masih menyerupai Perang Teluk I, tetapi kandungan teknologi dalam sistem senjata seperti Tomahawk maupun jet F-117A yang dipakai dalam serangan pembuka sudah jauh meningkat. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan AS meningkatkan akurasi dalam penetapan sasaran maupun navigasi. Dukungan senjata berteknologi lebih canggih ini membuat AS berani memulai Perang Teluk II dengan jumlah pasukan lebih

31

sedikit, kurang dari separuh dibandingkan Perang Teluk I yang mengerahkan hampir 700.000 pasukan. Seperti telah disinggung dalam tulisan di Kompas, Rabu (19/3) lalu, bila dalam Perang Teluk I jumlah bom pintar dibanding bom bodoh adalah 10 persen banding 90 persen, kini hal itu sudah sebaliknya. Sistem pengarah dalam senjata Perang 1991 adalah berkas laser infra-merah yang diarahkan oleh pesawat atau penyorot khusus di darat untuk "menerangi" sasaran. Berkas laser ini ditangkap oleh sensor di hidung bom, dan data yang diperoleh ini digunakan untuk mengendalikan sirip ekor untuk menuju ke sasaran. Hanya saja orang mengetahui, sistem ini membutuhkan udara cerah tanpa awan atau badai pasir untuk bisa efektif. Khawatir bom salah sasaran, apalagi kalau hal ini terjadi di saat kecaman internasional amat luas seperti sekarang ini, AS sejak Perang Teluk I itu pun telah mengeluarkan banyak dana untuk pengembangan bom "pintar" yang mampu dioperasikan dalam segala cuaca dan bekerja dengan bantuan sinyal radio yang dipancarkan dari satelit GPS (Global Positioning System) untuk menuntun ke sasarannya. GPS, merupakan sistem terdiri dari 24 satelit yang mengelilingi bumi dalam orbit rendah yang berfungsi membantu penetapan lokasi di bumi hingga ketelitian beberapa meter. Salah satu senjata pintar menggunakan GPS yang banyak digunakan dalam Perang Teluk II, seperti dilaporkan kantor berita AFP (JP, 21/3) adalah JDAM (Joint Direct Attack Munition), bom seharga 20.000 dollar AS, yang dilengkapi dengan penerima GPS dan sejumlah sirip. Seiring dengan pemutakhiran pesawat, rudal, dan bom yang ada, AS pun disebut-sebut sudah mengembangkan senjata baru seperti Bom-E dan bom MOAB (Lihat Kompas 19/3). Senjata ini, bila dipergunakan, atau bom-bom lain yang dijatuhkan dalam dua hari pertama serangan selain
32

dimaksudkan untuk melumpuhkan Saddam Hussein juga dimaksudkan untuk menimbulkan "kejutan dan ketakutan". Jadi dalam hal teknologi militer, jumlah maupun kualitas, jurang yang ada amatlah lebar. Analogi sedikit saja antara Perang tahun 1991 dan 2003. TETAPI kemungkinan rencana tak berjalan dengan mulus juga ada. Kalaupun di udara Sekutu bisa terbang tanpa hambatan, mereka harus mengangkut pasukan. Di sini diperlukan helikopter, yang umumnya harus terbang rendah. Yang dikhawatirkan dalam operasi ini adalah apa yang oleh analis militer Tim Ripley dari Universitas Lancaster sebagai "Skenario Somalia" -di mana helikopter yang terbang rendah jadi sasaran tembakan senapan mesin. Lalu kalau Baghdad merupakan sasaran puncak, maka selain perkiraan hal itu bisa dicapai dalam tempo dua pekan, yang muncul juga tantangan yang mungkin tidak ringan. Kemungkinan pecahnya perang kota masih besar, mengingat selama ini begitulah yang diancamkan Saddam Hussein terhadap para penyerbu. Sejauh ini, praktis memang tidak ada perlawanan signifikan dari Irak karena pasukan Pengawal Republik sepenuhnya dikonsentrasikan untuk mempertahankan Baghdad. Jenis perang jalanan ini sebenarnya sangat tidak dikehendaki oleh AS, karena risikonya memang besar. Di satu pihak korban sipil harus dihindari semaksimal mungkin, di lain pihak bisa saja musuh menyamar sebagai sipil non- kombatan yang berlindung di balik penduduk sipil. Menghadapi perang kota yang bisa menimbulkan "kerusakan kolateral" besar ini, konsekuensinya memang besar. Selain keunggulan teknologi menjadi kurang berarti, salah tembak bisa menimbulkan kehancuran politis. Tahap final operasi penggantian rezim diakui memang paling mengandung risiko tak terduga.
33

MEMPERTIMBANGKAN perkembangan pertempuran yang ada, maka tampak bahwa seiring dengan gerak maju pertempuran, salah satu langkah yang dilakukan AS bahkan sejak sebelum dimulainya perang adalah menawarkan agar tentara Irak menyerah saja. Dalam langkah legal yang tidak dilakukan sejak Perang Dunia II ini AS menyebarkan pamflet, mengirimkan e-mail, dan bahkan berbicara secara privat kepada perwira-perwira Irak, dan mendesak mereka untuk menyerah saja. Melalui Artikel Kapitulasi ini diharapkan tentara Sekutu bisa mulus menuju Baghdad dan meninggalkan tentara Irak. Para komandan juga diberi jaminan bahwa mereka dan tentara yang menyerah akan diperlakukan dengan baik. Apa yang disebut "persetujuan menyerah" tersebut memang dimaksudkan untuk menghindari "kematian dan kehancuran" sepanjang rute ke Baghdad. Pada pokoknya, seperti dilaporkan Bernard Weinraub dari The New York Times (IHT, 21/3), pasukan Irak telah diberi tahu, bahwa mereka bukan musuh. Kalau tidak melawan, maka pelabuhan dan bandara di Irak selatan tidak akan hancur, sehingga tidak perlu membangunnya kembali seusai perang. Artikel kapitulasi dulu pernah dilakukan oleh komandan Italia yang mendukung Mussolini dalam Perang Dunia II dan juga oleh Robert E Lee ketika ia menyerah pada Ulysses Grant di Appomatox, dan kini gencar ditawarkan kepada tentara Irak. Tentu tergesa-gesa untuk mengatakan bahwa hal ini akan diterima oleh tentara yang bertugas di zona militer selatan, lebih-lebih oleh Pengawal Republik. Oleh sebab itu, selain melalui bujukan, AS juga mengatakan akan menggunakan bom bersuara dahsyat untuk mendapatkan kapitulasi luas dan cepat ini. Selain dengan itu ia tidak perlu bertempur dalam perang kota, ongkos rekonstruksi Irak pascaperang bisa diminimalkan. Kebutuhan penghematan ini semakin ia rasakan setelah ia

34

tidak menerima sumbangan dari negara yang dulu mendukungnya dalam Perang Teluk I. Uraian di atas memperlihatkan, bahwa selain siap menggunakan bom sedahsyat-dahsyatnya, AS juga menerapkan strategi lain dalam perang yang ia maksudkan untuk menggulingkan rezim Saddam Hussein dan melucuti Irak dari senjata pemusnah massal kali ini. Perang yang dikecam oleh mayoritas masyarakat dunia ini masih menyimpan banyak misteri tentang motif sebenarnya mengapa AS demikian ngotot menjalankan invasi meski dimusuhi seluruh dunia. (Ninok Leksono)

Isu Demokrasi Pascaperang Irak-AS


PADA tahun 1918, Perdana Menteri (PM) Inggris Lord George mengumumkan tekad Inggris bersama Perancis membuat peta baru dunia Arab pasca terbebasnya dari otoritas dinasti Ottoman. Kini Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush juga menegaskan akan membuat peta baru di Timur Tengah setelah bebasnya Irak dari kungkungan kekuasaan Saddam Hussein. Sejumlah pengamat Timur Tengah menyamakan ambisi AS saat ini dengan ambisi Inggris pada abad lalu. Sebuah ambisi mengusung hegemoni dan pemaksaan nilainilai terhadap rakyat kawasan tertentu. Setelah berakhirnya perang Dunia I tahun 1918, Inggris memang berhasil menguasai Mesir setelah meredam revolusi Mesir tahun 1919 dan mengasingkan pemimpinnya Saad Zaglul.Lalu membentuk pemerintah protektorat di Palestina, dan mendirikan negara republik Irak pasca berakhirnya revolusi Irak tahun 1920. Sementara Perancis berhasil menguasai Suriah dan Lebanon setelah mengusir Emir Faisal Bin Hussein dan pemimpin revolusi Suriah lainnya. Kekuasaan Inggris dan Perancis di dunia Arab saat itu jelas merupakan bentuk kolonialisme yang sama sekali tidak memberi peluang bagi lahirnya kekuatan kemerdekaan atau revolusi rakyat. Presiden AS George W Bush kini kembali menyatakan, ingin membantu rakyat
35

kawasan Arab menciptakan sistem sosial dan politik baru yang mengarah pada tegaknya demokrasi. Namun, niat Presiden Bush itu mengundang skeptis dari banyak pihak, dan sebaliknya mereka menuduh AS sebenarnya hanya semata ingin menguasai sumber minyak dan air di kawasan Timur Tengah serta memperkuat keamanan Israel melalui sistem hegemoni AS-Israel kelak. Karena itu, diyakini oleh sejumlah pengamat di Timur Tengah, hegemoni AS-Israel di kawasan itu hanya memperburuk keadaan, bukan malah menciptakan demokrasi seperti yang diimpikan Presiden Bush. Prediksi pesimistik tersebut berdasarkan pada realita politik di Timur Tengah selama setengah abad terakhir ini, yaitu pertama berdirinya negara Israel pada tahun 1948, telah memicu terjadinya kudeta militer di banyak negara Arab dan pada gilirannya muncul pemerintah-pemerintah diktator militer Arab yang bisa bertahan berkat dalih menghadapi Israel. Kedua, munculnya Israel sebagai kekuatan adidaya regional akan menyebabkan ambruknya sistem Arab yang efektif dan dinamis, serta akan menguatnya aliran konservatifisme di dunia Arab yang kontra perubahan dan pembaruan. Ketiga, Israel sejak berdirinya tahun 1948, telah membangun kekuatan militer, ekonomi, dan intelijen yang beraliansi dengan kekuatan kolonial (beraliansi dengan Inggris dan Perancis pada perang Suez tahun 1956) dan beraliansi dengan AS pascaperang Arab-Israel tahun 1967. Hal itu menyebabkan Israel terus dipandang sebagai bagian dari kolonial dan sulit diterima kehadiranya di Timur Tengah. Keempat, Israel menolak terus-menerus menyelesaikan problem Palestina secara adil dan terus melaksanakan proyek pembangunan permukiman Yahudi di tanah Palestina, serta mengandalkan pada kekuatan militer, perang dan hegemoni untuk mewujudkan keamanannya yang menyebabkan terjadinya krisis di dunia Arab.

36

DALAM konteks serangan AS ke Irak, apakah mungkin ada perubahan di dunia Arab pascaserangan itu? Ada dua skenario menyangkut pola perubahan di dunia Arab pasca serangan AS tersebut. Pertama, Irak kalah total. Kekalahan Irak itu akan mengantarkan AS menguasai Irak dan menduduki ladangladang minyak dan sumber air di negeri itu, serta membubarkan sistem pemerintahan Irak sekarang. AS kemungkinan akan mengepung dan menekan negaranegara kontra AS di Timur Tengah yang pada akhirnya mereka menyerah pada hegemoni AS dan Israel. Kedua, berakhirnya intifada dan berdirinya negara Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang berada dibawah pengaruh Israel secara politik, ekonomi, dan militer. Skenario kedua adalah gagalnya serangan AS ke Irak untuk menumbangkan kekuasaan Saddam Hussein dan terus berkobarnya intifadah Palestina. Dampak dari gagalnya serangan militer AS adalah gagal berdirinya negara Palestina yang sesuai dengan skenario AS dan Israel, serta gagal pula proyek AS menanamkan nilai-nilai kehidupan yang sesuai dengan kepentingan barat. Seorang pakar dari kajian politik dan strategis Al Ahram Mesir, Dr Muhammad Qodri Said mengatakan, secara strategis serangan AS ke Irak bukan hanya melucuti senjata pemusnah massal, tetapi ingin menancapkan sistem dan nilai serta rancangan peta yang sesuai dengan kepentingan yang diinginkan di masa mendatang di Timur Tengah. Seorang pengamat senior Timur Tengah asal Inggris Patrick Seal juga mengatakan, tujuan serangan AS ke Irak buka hanya semata mendongkel Saddam Hussein tetapi jauh lebih besar dari itu, yakni terkait dengan kerangka strategi baru AS di dikawasan Timur Tengah. Menurut dia, Washington kini ingin memaksakan nilai-nilai AS untuk diterapkan di dunia Arab, seperti halnya dilakukan Inggris pada abad lalu dengan menguasai kawasan Arab Teluk dan menduduki Mesir pada tahun 1882 serta kemudian menguasai Irak, Yordania, dan Palestina.
37

Akan tetapi, proyek AS dengan menciptakan peta baru di Timur Tengah yang ditandai oleh bersemainya nilai-nilai demokrasi, masih diragukan bisa diterima di kawasan itu. Faktor Israel yang akan membonceng di belakang proyek AS tersebut, bisa menjadi kendala bergulirnya proyek AS itu. ANALIS politik Arab, Ahmad Abbas Saleh menegaskan, serangan AS ke Irak bisa saja akan mengembuskan perubahan di dunia Arab yang lebih sesuai dengan kepentingan AS. Menurut Saleh, secara umum kepentingan AS sesungguhnya tidak mengalami banyak pertentangan dengan kepentingan negara-negara Arab, kecuali sejumlah negara Arab, seperti Suriah, Libya, dan Irak. AS memiliki hubungan tradisional sangat erat dengan negara-negara Arab Teluk kaya minyak (Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Oman, Uni Emirat Arab, dan Bahrain). Mesir sebagai salah satu negara Arab terpenting telah masuk siklus politik AS setelah kesepakatan damai Camp David dengan Israel tahun 1979. Sedang nilai-nilai kehidupan AS itu sendiri secara umum cukup mempesona bangsa Arab, khususnya setelah ambruknya imperium Uni Soviet dan kubu komunisme pada awal tahun 1990-an. Namun, Saleh juga mengakui, hanya faktor Israel yang masih menjadi kendala hubungan AS dan dunia Arab selama ini. Titik lemah rezim-rezim Arab adalah tiadanya tradisi demokrasi dalam tatanan politiknya yang menjadi pijakan legitimasi mereka. Akan tetapi, seorang cendekiawan Arab terkemuka, Hasyim Saleh menegaskan, jika harus ada perubahan di dunia Arab harus datang dari dalam sendiri, bukan pesanan sponsor dari kekuatan asing. Menu- rut dia, apa yang dicapai dunia barat tentang kebangkitan dan kejayaan selama 200 tahun, tidak mungkin dicapai dunia Arab hanya dalam beberapa tahun, tetapi butuh proses panjang. "Biarkan rakyat kawasan ini menentukan sendiri sistem kehidupannya, dan hendaknya kita mengikuti nasihat Perancis dan Jerman agar masalah Irak diselesaikan secara damai. Rakyat Arab sendiri yang pada akhirnya harus menciptakan
38

demokrasi bukan pasukan AS," ungkapnya. Ia lalu memperingatkan Presiden Bush yang mengumandangkan perang untuk pembebasan rakyat Irak, bahwa kebebasan tidak dapat dipilah-pilah, di mana tidak mungkin kebebasan hanya dituntut di Irak tetapi tidak ada di Palestina. "Isu Palestina pada akhirnya akan menentukan berhasil atau tidak strategi AS di Timur Tengah," katanya lagi. Isu demokrasi juga menjadi persoalan pelik di kawasan negara Arab Teluk kaya minyak. Dalam konteks ini, negara-negara Arab Teluk akan menghadapi situasi dilematis, bukan hanya lantaran sifat konservatif yang melekat pada masyarakat Arab Teluk, tetapi jugadisebabkan besarnya kepentingan asing khususnya AS, di negara-negara Arab Teluk itu. Kekuatan asing/barat di satu pihak sebenarnya ingin status quo di negara-negara Arab Teluk yang telah menjamin kepentingan mereka selama ini. Sedang elite masyarakat Teluk menginginkan perubahan ke arah yang lebih demokratis di pihak lain. AS kemungkinan besar akan mensosialisasikan pola pemerintahan baru di Baghdad ke negara Arab lain. Kredibilitas AS di sini dipertaruhkan, apakah Washington akan bermuka dua yakni tidak tahu menahu realita politik di negaranegara Arab Teluk karena sudah menjamin terjaganya kepentingan AS dan para penguasa negara Arab Teluk itu sudah masuk payung politik AS. Sementara Washington terus menekan belahan dunia Arab lainnya agar bersedia mengadopsi program AS di Timur Tengah. Negara-negara Arab Teluk tersebut kini tinggal melakukan sinkronisasi proses demokrasi yang telah dicapai dengan realita politik baru pascaperang AS-Irak nanti, sehingga bisa terlepas dari tali dilematis baik yang dialami Pemerintah AS maupun negara Arab Teluk itu. Investasi demokrasi itu sudah dimiliki negara-negara Arab Teluk selama ini. Misalnya, sebelum Almarhum Emir Bahrain Sheikh Isa Bin Salman Al Khalifah membentuk Dewan Syura pada tahun
39

1992, sejumlah cendekiawan Bahrain telah meminta Emir Bahrain itu agar mengembalikan sistem parlemen yang dibubarkan pada tahun 1975 dan undang-undang yang dibekukan pada tahun 1973. Kesedian Emir Bahrain Sheikh Isa membentuk Dewan Syura itu tak lebih merupakan langkah awal bagi pengembalian kehidupan parlemen dan perundangundangan tersebut. Kehidupan demokrasi lebih hakiki kemudian baru berembus di Bahrain setelah Sheikh Hamd Bin Isa Bin Salman Al Khalifah memegang kekuasaan pada tahun 1999 menggantikan ayahnya yang wafat pada tahun itu. Konteks yang sama juga terjadi di Qatar, ketika tuntutan demokrasi diajukan oleh kaum cendekiawan negeri itu pada mantan Emir Qatar Sheikh Khalifah Al Thani. Namun, Sheikh Khalifah malah menangkap sebagian cendekiawan yang menuntut demokrasi tersebut, dan sebagian lagi dicekal bepergian keluar negeri. Angin demokrasi mulai berembus di Qatar setelah Putra Mahkota Emir Hamd Bin Khalifah Al Thani memegang kekuasaan dengan menggantikan ayahnya pada tahun 1995 melalui aksi kudeta putih. Emir Qatar yang baru, Sheikh Hamd Bin Khalifah membuat undang-undang baru pada bulan Juli tahun 2002 sebagai pengganti dari undang-undang lama yang dikeluarkan pada tahun 1970, yakni sebelum Qatar meraih kemerdekaan dari Inggris. Undang-undang Qatar itu kemudian diamandemen pada tahun 1972, yakni setahun setelah merdeka pada tahun 1971. Pada awal tahun 1990-an, Arab Saudi juga mulai membuka kran demokrasi ketika Raja Fahd Bin Abdul Aziz membentuk dewan syura. Dengan kata lain, negara-negara Arab Teluk kini memasuki era baru yang ditandai oleh semakin kuatnya tuntutan akan terjadinya proses reformasi politik yang lebih hakiki terutama pascaperang Irak-AS nanti. (Musthafa Abd Rahman, dari Kuwait City)

40

You might also like