You are on page 1of 17

Simbolisasi Hiperrealitas pada Tayangan Reality Show Trans TV

Disusun Oleh :
1. Ade Kurnia P. 2. Agatha Christie 3. Marcelina R.

( 08330041 ) ( 08330044 ) ( 08330055 ) ( 08331003 )

4. Geovani Jonggi Wijaya

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Merdeka Malang

2011 BAB I PENDAHULUAN

1.1

Fakta dan Realita Berbicara tentang realitas memang terus menjadi perdebatan dari waktu ke waktu. Apakah realitas yang kita sebut adalah segala sesuatu yang ditangkap indra semata. Hingga sesuatu yang tak mampu ditangkap adalah nonreal. Lalu bagaimana dengan realitas yang hadir dalam televisi. Realita yang ditampilkan televisi adalah realita media. Realita yang telah mengalami hasil seleksi, yang disebut realita tangan kedua (second hand reality). Inilah yang harusnya dipahami lebih lanjut bahwa terdapat perbedaan signifikan antara realita media dan realita dunia. Jika tak dapat memisahkan dengan jelas kedua realita ini maka akan semakin kaburlah perbedaan diantara keduanya. Akan tumpang tindih antara realita dan citra. Pada perkembangan berikutnya, citra ini bisa menjadi lebih nyata dari realita itu sendiri. Kondisi inilah yang disebut hiperealitas media. Keadaan dimana kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Berkaitan dengan kehadiran realitas media ini, menurut Baudrillard, ada empat fase dalam pertimbangan citra atau image, yaitu: Pertama, citra adalah cerminan atau refleksi dari realitas. Kedua, citra membelokkan realitas. Ketiga, citra menutupi realitas dan yang Keempat, citra sama sekali tidak berkaitan dengan realitas; citra merupakan simulakra murni. Sinetron, iklan, reality show, hingga pemberitaan televisi adalah fenomena hiperealitas yang hadir di televisi kita.

1.1.1

Tayangan Reality Show Realigi Fakta Kehidupan manusia tidak terlepas dari mitos dan hal hal yang berhubungan dengan mistis Simbolisasi pada tayangan tersebut digambarkan dengan : a. Mitos ( kepercayaan masyarakat yang ada sejak dulu )
b. Mistis ( kepercayaan masyarakat terhadap hal hal ghaib )

Jargon yang ditawarkan adalah mencoba untuk mengulik empati masyarakat dengan menyentuh sisi sisi spiritual individu

Contoh tayangan : a. Mitos : - Anak yang durhaka pada orangtua gara gara pergaulan bebas - Penyimpangan seksual b. Mistis : - Mendapatkan kekayaan melalui pesugihan - Menggunakan susuk untuk meningkatkan aura kecantikan

1.1.2

Tayangan Reality Show Termehek Mehek Fakta Komunikasi antar personal kuat dimunculkan Penyampaian permasalahan pribadi terlalu gamblang untuk

dikonsumsi publik Konflik yang dimunculkan terlalu didramatisir

Jargon yang ditawarkan hanya menemui kasus perpisahan atau pengkhianatan yang berujung pada tangis tangisan

Contoh tayangan
-

Pencarian seorang gadis akan pacarnya yang telah menghilang, yang ditemui ditempatnya bekerja ternyata tidak mengakui bahwa dirinya adalah orang yang dicari. Setelah bertemu orangtuanya, ternyata diketahui dia mempunyai saudara kembar yang telah dipisahkan oleh perceraian kedua orang tuanya. Ceritanya berujung pada kebahagiaan yang mengharukan. Tim Termehek-mehek berinisiatif untuk memfasilitasi sebuah reuni keluarga yang sudah lama terpisah. Akhirnya kedua saudara kembar itu pun menemukan belahan jiwanya yang telah lama terpisahkan, dan si client turut merasakan kebahagiaan tersebut karena telah menjadi seorang pahlawan dan juga mendapatkan cintanya yang hilang.

1.2

Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana bentuk simbolisasi dalam hiperrealitas tayangan

reality show Trans TV?


1.2.2 Mengapa tayangan reality show Trans TV cenderung

menggunakan simbolisasi (semiotika) secara berlebihan dalam merekonstruksi realita untuk membentuk opini publik? 1.2.3 Bagaimana upaya masyarakat dalam meminimalisir

hiperrealita pada tayangan reality show Trans TV?

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN DAN SOLUSI

2.1

Fokus Kajian
1. Kemanfaatan

ilmu

komunikasi

untuk

menentukan

bentuk

simbolisasi dalam hiperalitas tayangan reality show Trans TV melalui Analisis Semiotika
2. Kemanfaatan ilmu komunikasi untuk menjelaskan kecenderungan

penggunaan simbolisasi ( semiotika ) secara berlebihan dalam merekonstruksi realita untuk membentuk opini publik melalui Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa dan Analisis Framing.
3. Kemanfaatan ilmu komunikasi dalam meminimalisir hiperrealita

pada tayangan reality show Trans TV melalui Uses and Gratification Theory

2.2 2.2.1

Landasan Teori Teori Komunikasi 1. Analisis Semiotika Menilik sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, sehingga kendati keduanya sering disebut mempunyai kemiripan gagasan, penerapan konsep-konsep dari masing-masing keduanya seringkali mempunyai perbedaan penting. Barangkali karena keduanya berangkat dari disiplin yang berbeda; Peirce adalah seorang guru besar filsafat dan logika, sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik. Istilah semiotika sendiri diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure menamai pemikirannya dengan istilah semiologi. Dalam praktik analisis kedua istilah itu seringkali dipertukarkan tanpa membedakan artinya. Paling jauh, penggunaannya hanya untuk menunjuk salah satu mahzab yang dianut, meski untuk era sekarang

barangkali sudah tidak jelas lagi model mana yang dijadikan model utama karena kadangkala konsep-konsep dari kedua tokoh itu terlanjur dipakai bersama. Pusat perhatian semiotika pada kajian komunikasi adalah menggali apa yang tersembunyi di balik bahasa. Terobosan penting dalam semiotika adalah digunakannya linguistik (mungkin ini lebih terasa beraroma Saussurean) sebagai model untuk diterapkan pada fenomena lain di luar bahasa. Saussure mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Tanda merupakan istilah yang sangat penting, yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan sebagaimana layaknya dua bidang pada sekeping mata uang. Kesatuan antara penanda dan petanda itulah yang disebut sebagai tanda. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa. Tanda dan hubungan kemudian menjadi kata-kata kunci dalam analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan cara mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang penggunaaan bahasa itu. Usaha-usaha menggali makna teks harus dihubungkan dengan aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau sering juga disebut sebagai konteks. Teks dan konteks menjadi dua kata yang tak terpisahkan, keduanya berkelindan membentuk makna. Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang keberadaannnya dapat dipilah menjadi dua, yakni intratekstualitas dan intertekstulaitas. Intratekstualitas menunjuk pada tanda-tanda lain dalam teks, sehingga produki makna bergantung pada bagaimana hubungan antartanda dalam sebuah teks. Sementara intertekstualitas menunjuk pada hubungan antarteks alias teks yang satu dengan teks yang lain. Makna seringkali

tidak dapat dipahami kecuali dengan menghubungkan teks yang satu dengan teks yang lain. Konsep Hiperrealitas; sebagaimana yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard, adalah sebuah konsep dalam dunia posmodernisme dimana ukuran-ukuran realitas yang ada tidak dapat dipegang lagi. Sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan bebas tanda-tanda yang melampaui (Hypersign). Dunia hiperrealitas, dengan demikian, dapat dipandang sebagai sebuah dunia perekayasaan realitas lewat permainan tanda-tanda. Permainan tersebut sedemikian rupa sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya. Hiperrealitas menciptakan satu kondisi, yang didalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur dengan masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran (Baudrillard; 1983). Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi bagi penikmatnya, sebuah simulacrum. Simulasi atas dasar tanda-tanda realitas (sign of reality) melalui semiotika(simbolisasi).
2. Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa

Teori yang dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L.De Fleur memfokuskan perhatiannya pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini pada dasarnya merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu masyarakat modern (masyarakat massa), dimana media massa dapat dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peran penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tatanan masyarakat, kelompok atau individu dalam aktivitas sosial. Pemikiran terpenting dari teori ini adalah bahwa dalam masyarakat modern, publik menjadi tergantung pada media massa sebagai sumber informasi bagi

pengetahuan tentang, dan orientasi kepada, apa yang terjadi dalam masyarakatnya. Jenis dan tingkat ketergantungan akan dipengaruhi oleh jumlah kondisi struktural, meskipun kondisi terpenting terutama berkaitan dengan tingkat perubahan, konflik atau tidak stabilnya masyarakat tersebut, dan berkaitan dengan apa yang dilakukan media yang pada dasarnya melayani berbagai fungsi informasi. Menurut pembahasan lebih lanjut mengenai teori ini ditujukan pada jenis-jenis efek yang dapat dipelajari melalui teroi ini. Secara ringkas, kajian terhadap efek tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Kognitif,

menciptakan

atau

menghilangkan

ambiguitas,

pembentukan sikap, agenda setting, perluasan sistem keyakinan masyarakat, penegasan/penjelasan nilai-nilai. b. Afektif, menciptakan ketakutan atau kecemasan, dan meningkatkan atau menurunkan dukungan moral. c. Behavioral, mengaktifkan atau menggerakkan atau meredakan, pembentukan isu tertentu atau penyelesaiannya, menjangkau atau menyediakan strategi untuk suatu aktivitas serta menyebabkan suatu perilaku. Dengan demikian, teori ini menjelaskan saling hubungan antara tiga perangkat variabel utama dan menentukan jenis, efek tertentu sebagai hasil interaksi antara ketiga variabel tersebut. Ketiga komponen yaitu : publik, sistem media, dan sistem sosial, saling berhubungan satu dengan lainnya, meskipun sifat hubungan ini berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya. Setiap komponen dapat pula memiliki cara yang beragam yang secara langsung berkaitan dengan perbedaan efek yang terjadi. Seperti misalnya sistem sosial akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat stabilitasnya. Adakalanya sistem sosial yang stabil akan mengalami masa-masa krisis. Sistem sosial yang telah mapan dapat mengalami tantangan legitimasi dan ketahanannya secara mendasar. Dalam kondisi semacam ini, akan muncul

kecenderungan untuk mendefinisikan hal-hal baru, penyesuaian sikap, menegaskan kembali nilai-nilai yang berlaku atau mempromosikan nilai-nilai baru, yang kesemuanya menstimulasi proses pertukaran informasi. Publik akan memiliki hubungan yang beragam dengan sistem sosial dan perubahan-perubahan yang terjadi. Sejumlah kelompok mungkin mampu bertahan, sementara lainnya akan lenyap. Demikian pula dengan keragaman ketergantungan pada media massa sebagi informasi dan panduan. Pada umumnya kelompok elit pada masyarakat akan memiliki lebih banyak kendala terhadap media, lebih banyak akses kedalamnya, dan tidak terlalu bergantung pada media, jika dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Sementara kelompok elit cenderung untuk memiliki akses kepada sumber informasi lain yang lebih cakap dan kompeten, non-elit terpaksa bergantung pada media massa atau sumber informasi perorangan yang biasanya kurang memadai. Media massa beragam dalam hal kualitas, persebaran, realibilitas, dan otoritas. Untuk kondisi tertentu atau dalam masyarakat tertentu media massa akan lebih berperan dalam memberikan informasi sosial-politik dibandingkan dalam kondisi atau masyarakat lainnya. Selanjutnya, terdapat pula keragaman fungsi dari media massa untuk memenuhi berbagai kepentingan, selera, kebutuhan, dan sebagainya. 3. Analisis Framing Menurut Stuart Hall, bahwa ketika membuat berita, wartawan bukan hanya menentukan apakah peristiwa tertentu layak diberitakan atau tidak, tetapi juga memperhitungkan bagaimana peristiwa tersebut ditulis dan ditampilkan sehingga publik mengerti dan dapat mengambil posisi dari peristiwa yang diberitakan. Sebuah peristiwa hanya akan berarti jika ia ditempatkan dalam identifikasi kultural dimana berita tersebut hadir. Tetapi, yang kemudian menjadi persoalan dalam proses produksi makna ini adalah siapa yang memegang kendali dalam memberikan

pemaknaan. Siapa yang memegang kendali sebagi agen pemroduksi makna, dan siapa atau kelompok mana yang hanya berperan sebagai konsumen saja dari pemaknaan tersebut. Sehubungan dengan media, tentulah pemilik modal yang memiliki akses yang lebih besar dalam menentukan kemana media tersebut akan diarahkan. Hal tersebut didasari oleh fungsi kedalam dari sebuah media, yang mau tidak mau memaksa media untuk melakukan politik pemaknaan tersebut demi survive-nya media itu sendiri. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta kedalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi publik sesuai dengan perpektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita, untuk menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut. Analisis Framing memiliki dua dimensi besar, yaitu : seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Penonjolan merupakan proses membuat informasi agar menjadi lebih bermakna, dengan menyeleksi isu tertentu dan mangabaikan isu yang lain, atau dengan penempatan yang mencolok. Analisis Framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut melalui proses konstruksi dimana realitas sosial dimaknai dan orang tertentu.
4. Uses and Gratification Theory

dikonstruksi

dengan

makna tertentu.

Hasilnya,

pemberitaan media pada sisi tertentu atau wawancara dengan orang-

Penggunaan (uses) isi media untuk mendapatkan pemenuhan (gratification) atas kebutuhan seseorang digunakan untuk menjelaskan berbagai kebutuhan (needs) dan kepentingan (interest) publik sebagai suatu fenomena mengenai proses penerimaan (pesan media). Pendekatan uses and gratification ditujukan untuk menggambarkan proses penerimaan dalam komunikasi massa dan menjelaskan penggunaan media oleh individu atau agregasi individu. Pendekatan ini memberikan alternatif untuk memandang pada hubungan antara isi media dan publik, dan pengkategorian isi media menurut fungsinya. Logika yang mendasari pendekatan ini, yaitu : (1) Kondisi sosial psikologis seseorang akan menyebabkan adanya (2) kebutuhan, yang menciptakan (3) harapan-harapan terhadap (4) media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa kepada (5) perbedaan pola penggunaan media atau keterlibatan dalam aktivitas lainnya yang akhirnya akan menghasilkan (6) pemenuhan kebutuhan dan (7) konsekuensi lainnya, termasuk yang tidak diharapkan sebelumnya. Sebagai tambahan, pendekatan ini sering memasukkan unsur motif untuk memuaskan kebutuhan dan alternatif-alternatif fungsional untuk memenuhi kebutuhan. Teori Uses and Gratification menegaskan bahwa orang-orang adalah pengguna aktif dari media dan mereka akan menyeleksi pemanfaatannya. Orang-orang akan memanfaatkan media untuk tujuan sebagai berikut : a. Sebagai media hiburan

b. Untuk memeriksa keadaan lingkungan jika ada sesuatu yang penting

bagi mereka secara pribadi c. d. e. Sebagai pengalihan dari rutinitas Sebagai pengganti hungan personal Sebagai cek dari identitas dan nilai personal

2.2.2

Konsep Public Relations 1. Riset PR : Pemahaman Opini Publik Kebanyakan tujuan dan sasaran organisasi terkait dengan PR dalam batas tertentu bergantung pada konsep opini publik. Praktisi PR bergantung pada polling opini publik dalam mendapatkan pemahaman tentang karakteristik atau opini dari publiknya. Kebanyakan polling opini publik tidak begitu bermanfaat dari sudut pandang PR karena biasanya PR mengukur opini massa bukan opini publik. Oleh karena itu, riset PR sering digunakan untuk mencoba dana megetahui opini publik. Sebelum menggunakan survei, praktisi PR harus menyadari perbedaan antara opini massa dengan opini publik. Opini massa mempresentasikan rata-rata pendapat yang diambil dari sebuah kelompok dengan banyak opini yang berbeda. Tetapi rata-rata ini cenderung mengaburkan kekuatan beberapa sikap. Ketika beberapa opini yang berbede secara substansial di rata-rata, maka hasilnya akan sangat berbeda dengan kenyataan aslinya. Kebanyakan polling opini massa sedikit berguna dalam memprediksi pemilihan umum, tetapi tidak begitu banyak menjelaskan kompleksitas opini publik dari yang seharusnya menjadi perhatian program PR yang efektif. Namun, jika hasil polling opini massa dianalisis dengan karakteristik demografis berbeda, maka hasilnya akan mendekati polling opini publik. Polling opini publik melibatkan populasi yang ditarget secara hatihati. Profesional PR harus memecah publik menjadi sub-kelompok yang bermakna dan merancang strategi komunikasi bagi setiap segmen. Sampling opini publik tidak akan bermanfaat, kecuali jika merefleksikan secara akurat perasaan dari setiap kelompok publik dan memberi beberapa perhatian tentang mengapa mereka beropini seperti itu. Langkah-langkah dalam mengukur opini publik, yaitu : (a)mengidentifikasi publik, (b)pemantauan lingkungan, (c)audit PR,

(d)survei gambaran organisasi, (e)audit komunikasi, (f)riset tentang kegunaan, dan (g)audit sosial. 2. Media Relations Media Relations dan kerja publisitas yang canggih menjadi tulang punggung bagi praktisi PR. Dalam banyak hal, membangun dan mempertahankan hubungan yang baik dengan media, tetap menjadi ciri khas praktisi PR. Pijakan dasar dari kerja PR berawal dengan memahami hubungan antara jurnalis dan praktisi PR. Para jurnalis yang mengumpulkan dan mengorganisasi informasi untuk media cenderung menganggap sangat serius tanggung jawab mereka terhadap masyarakat. Mereka memahami diri mereka sebagai mata dan telinga publik, menjadi pengawas bagi kebenaran institusi publik, meletakkannya pada perspektif, dan mempublikasikannya sehingga orang dapat melakukan urusan mereka dengan pengetahuan yang cukup.Para jurnalis terkadang mengalami kesulitan memperoleh informasi yang mereka butuhkan. Mereka beranggapan bahwa sumber berita yang sulit didapat umumnya memiliki sekat, kerahasiaan, dan sensitivitas yang berlebihan, meraka seakan tidak mengenal hak publik untuk mengetahui informasi dan tidak menghargai nilai peran media dalam mengekspose praktik yang layak dipertanyakan. Dalam hal ini, praktisi PR mampu dan dapat membantu mereka menyediakan latar informasi yang mereka perlukan. Dari perspektif praktisi PR, para jurnalis adalah salah satu publik mereka, sebuah medium dimana praktisi dapat menjangkau publik yang lebih luas serta seorang penjaga pintu yang mewakili dan merespons kebutuhan publik akan informasi. Hubungan antara praktisi PR dan jurnalis saling tergantung satu sama lain. Praktisi PR sebagai boundary spanner, sering berada dalam posisi tengah diantara jurnalistik dan lembaga lainnya yang berusaha menerangkan posisi masing-masing pada lainnya.

Dengan pemahaman dasar tentang hubungan yang kompleks antara praktisi PR dengan wartawan, ada beberapa prinsip umum dalam bekerja dengan media, yaitu : (a)Bersiap bertemu dengan media, (b)Strategi persiapan, serta (c)Riset dan perencanaan dalam media relations. Metode yang digunakan untuk mengkomunikasikan sebuah peristiwa dapat mempengaruhi dampaknya. Tiga cara atau metode untuk menjangkau media cetak adalah melalui : release, diskusi, atau konferensi berita. Media elektronik dapat dijangkau melalui : video release berita, wawancara satelit, atau tur ke media satelit. 2.3 Rasionalisasi Pemikiran Teori baru perpaduan dari keempat landasan teori di atas adalah Effectiveness Uses of Media Theory ( Teori Keefektifan Penggunaan Media ). Gagasan awal teori ini adalah untuk menolak Agenda-Setting Theory dan Agenda-Media Theory yang digunakan sebagai landasan teori dalam tayangan-tayangan reality show Trans TV. Penggunaan kedua teori tersebut kurang tepat apabila diterapkan pada tayangan televisi negara Indonesia yang belum merata tingkat pendidikan, ekonomi, dan sosialnya. Masyarakat Indonesia seharusnya membutuhkan tayangan-tayangan televisi, khususnya reality show, yang mendidik dan memajukan bangsa Indonesia. Tetapi pada kenyataannya, tayangan-tayangan yang ada bukannya malah mendidik, melainkan semakin membuat masyarakat mundur. Mereka terbuai akan mimpi-mimpi konglomerasi, dan cenderung berkutat dengan mitos-mitos dan hal-hal yang berbau mistis dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dan melalui tayangan-tayangan reality show tersebut, media mensukseskan kejayaannya dalam hal rating dan politik-ekonomi media, dengan menampilkan hipersemiotika dalam hiperrealitas yang bertubi-tubi kepada masyarakat.

Dengan adanya kenyataan tersebut, sangatlah sulit untuk mengekang atau mengontrol penggunaan simbolisasi yang berlebihan dalam tayangantayangan yg disajikan oleh media. Maka, sebagai solusinya, masyarakatlah yang saatnya mengontrol efek terpaan media yang mereka terima. Dengan cara meminimalisir penggunaan media secara efektif, yaitu disesuaikan dengan porsi kebutuhan akan informasi serta kemampuan dalam menerima informasi yang mereka miliki, melalui pengawasandian ( intepretasi ) simbolisasi yang disajikan dalam tayangan, khususnya tayangan reality show yang disajikan oleh media. Oleh karena itu, terbentuklah Teori Keefektifan Penggunaan Media. Dengan adanya teori ini, seorang praktisi PR dapat mengaplikasikan kemampuannya dalam menjembatani hubungan publik dengan media melalui sosialisasi tentang keefektifan masyarakat akan penggunaan media. Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan seminar komunikasi kepada masyarakat tentang pengintepretasian simbolisasi tayangan televisi, dengan berbagai bentuk seminar dengan disertai contoh-contoh realita dalam masyarakat yang benar-benar terjadi dan seharusnya diangkat secara riil dalam tayangan reality show. Dengan adanya solusi ini, diharapkan masyarakat dapat meminimalisir serbuan terpaan media, tanpa menghilangkan tujuan mendidik dan memajukan bangsa. Selain itu, praktisi PR dapat pula menjembatani hubungan antara pemerintah dengan media dan masyarakat. Pemerintah dapat berperan serta dalam mengontrol dan mendukung hubungan media dan masyarakat melalui aktivitas PR yang diterapkan. Pemerintah dapat pula merangkul organisasi atau perusahaan untuk mendukung suksesnya program PR ini, yang nantinya akan berimbas pada perekonomian bangsa yang makmur. Dengan adanya teori ini diharapkan publik, dengan segala stakeholder yang ada di dalamnya tanpa terkecuali, semakin terdidik dan maju dalam mengembangkan negara Indonesia bersama-sama, baik saat ini hingga generasi mendatang.

You can fool some of the people all of the time, and all of the people some of the time, but you can not fool all of the people all of the time (Abraham Lincoln).

2.4

Daftar Pustaka / Referensi

Eco, Umberto. 1987. Tamasya Dalam Hyperrealitas. Yogyakarta : Jala Sutra. Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta : Jala Sutra. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hiper Semiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung : Jala Sutra. Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi. Jakarta : Kencana. Lattimore, Dan. 2010. Public Relations : Profesi dan Praktik. Jakarta : Salemba Humanika. http://www.google.com/hiperrealitas/

You might also like