You are on page 1of 61

Irak Pasca-invasi AS

Di Ujung Ketidakpastian
AKANKAH rakyat Negeri 1.001 Malam itu hidup tenteram, aman, sejahtera pascainvasi AS ini? Jawabannya tidak mudah mengingat posisi rezim Partai Baath yang selama ini berkuasa masih belum jelas. Nasib Presiden Saddam Hussein bersama pasukan setianya, 60.000-100.000 personel Pengawal Republik, dan 15.000-25.000 personel pasukan khusus Pengawal Republik, masih misterius. Bagaimana pula posisi 20.000-25.000 perisai hidup Fediin, 15.000-25.000 polisi rahasia dan intelijen, serta pasukan sukarela Al-Quds yang jumlahnya belum diketahui. Kelompokkelompok ini tentunya tidak akan rela apabila tiba-tiba muncul pemerintahan baru yang kini tengah dirancang AS. Sebab, dari awal, mereka ditempa jadi pasukan berkemampuan lebih dengan loyalitas yang tinggi sehingga tidak mudah membangkang. Lalu, bagaimana posisi rakyat, terutama golongan bawah, yang selama ini mengagumi Saddam? Ingat, figur Saddam memang totaliter, tetapi dia sangat memperhatikan nasib rakyat kecil dan tidak korup. "Demokrasi memang dia buang, tapi untuk rakyat kecil, dia peduli betul, misalnya dengan sekolah gratis dan rumah sakit gratis untuk kelas miskin," ujar Ketua The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Riza Sihbudi. Ini seperti Presiden Hafez al-Assad di Suriah. Dia disebut totaliter dan diktator, tetapi ketika dia meninggal, jutaan rakyat melayat dan menangisinya. Mungkin saja AS menggandeng kelas menengah yang selama ini membenci Saddam. Akan tetapi, kelas menengah akan menuntut demokrasi, sesuatu yang mustahil diberikan AS. Ini merupakan kerumitan sendiri di dalam pemerintahan boneka pascainvasi yang kini tengah digodok di Pentagon maupun di kubu Colin Powell, Departemen Luar Negeri (Deplu) AS. Selain
1

itu, ulama Irak pendukung Saddam, atau setidaknya terpaksa mendukung, akan ikut mewarnai perjalanan sejarah Irak. Pemimpin agama masih punya posisi yang tinggi dalam kehidupan sosial, bahkan di dalam rezim Saddam Hussein. Sebagaimana diketahui, ada dua kelompok besar Islam di sana, Sunni dan Syiah. "Pascainvasi diyakini ulama tetap akan penting, berpengaruh, terutama secara keagamaan. Sebab, rakyat Irak, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah, adalah rakyat yang taat kepada pemimpin agamanya," ungkap Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin. Meskipun ada juga ulama yang terkesan beroposisi terhadap Saddam, mereka juga setuju dengan Saddam yang anti-Israel. Sebagaimana tampak pada minggu-minggu pertama perang, mereka sudah bersuara di masjid-masjid, yang isinya meminta rakyat Irak melawan invasi AS. Ini bukti dukungan kepada Saddam, termasuk Syiah yang menguasai Irak Selatan. Bahwa kemudian di dalam satu bagian umat Islam di sana ada yang anti-Saddam, itu sangat mungkin, bahkan mungkin pernah jadi korban pemerintahan Saddam. Mungkin juga mereka tidak kecewa secara politik, tetapi mereka adalah masyarakat yang marjinal secara ekonomi. Ketika lebih dari satu dasawarsa Irak di bawah embargo ekonomi, hidup mereka amat kesulitan. Sangat mungkin mereka ini benci kepada Saddam yang mereka anggap sebagai biang kerok dari kemiskinan mereka. "Saya membayangkan suatu konflik horizontal yang ada dimensi vertikal. Artinya, horizontal sekaligus vertikal pascakejatuhan Baghdad ini. Apalagi tiadanya penegakan hukum dan ada pembiaran dari pasukan pendudukan. Antara pro dan anti-Saddam lalu berimpitan dengan kelompokkelompok politik dari tokoh-tokoh yang ingin tampil. Ini bisa menggiring Irak ke ambang perang saudara," ujar Din. Maka, pada tingkat ini terjadilah kekacauan di Timur Tengah. Kondisi Irak yang dilumpuhkan juga akan membuka peluang
2

bagi Israel untuk lebih mencengkeramkan dominasinya di dunia Arab. Sebab, Irak adalah satu dari sedikit negara di Timur Tengah yang keras terhadap Israel, malah skala Irak lebih banyak dan lebih besar daripada Libya dan Suriah karena Irak punya tentara Mujahidin. Maka, dengan dilumpuhkannya Irak, juga bisa dipahami sebagai bagian dari pemenangan Israel. Kejatuhan Baghdad ini juga mencerminkan berjalannya skenario dominasi Israel di Timur Tengah. SECARA arogan, AS pascainvasi Irak berencana membentuk pemerintahan transisi yang sebenarnya adalah pemerintahan boneka. Salah satu calon kuat yang akan diajukan adalah Jenderal Nizar al-Khazraji, mantan Kepala Angkatan Darat Irak. Itu yang akan dijadikan Hamid Karzai (Presiden Afganistan) di Irak. Di atas itu ada seorang pensiunan militer AS yang akan menjadi gubernur jenderal. Menurut Reuters, Office of Humanitarian and Reconstruction (OHR) Pentagon, dikepalai oleh pensiunan Jenderal Jay Garner, akan beroperasi di Umm Qasr. Sebelumnya, media terkemuka Inggris, The Guardian, pekan lalu melaporkan, setiap Kamis pagi, lingkaran dalam pemerintahan Presiden George W Bush memang rapat di Ruang Oval, Gedung Putih. Penasihat Keamanan Nasional Condoleezza Rice, Menteri Luar Negeri AS Colin Powell, Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld, dan beberapa pejabat senior Badan Intelijen Pusat AS (CIA) membahas perkembangan di Irak. "Setelah Saddam disingkirkan, apa yang akan kita lakukan dengan Irak?" Akhirnya, rencana tiga langkah mengerucut di antara mereka. Pertama, Irak akan diatur oleh militer AS. Tahap kedua, masa transisi dengan gubernur militer AS akan berkuasa berdampingan dengan pemimpin sipil yang disepakati internasional. Tahap ketiga, pemerintahan akan diserahkan

kepada rezim yang disukai dan berada dalam pemeliharaan AS. Awalnya, bentuk pemerintahan Irak pascaperang akan serupa dengan rekonstruksi Jepang di bawah Jenderal Douglas MacArthur. Namun, Deplu AS menganggap bentuk ini terlalu bersifat kolonialisme dan akan menyinggung negara-negara Arab. Akhirnya, bentuk yang dipakai adalah de-nazi-fikasi di Jerman. Serupa dengan Nazi, Partai Baath di Irak mendominasi berbagai fungsi administrasi negara. Menyingkirkan mereka semua akan mengakibatkan kelumpuhan sistem. Pada tahap pertama ini, calon gubernur militer AS yang sudah disebut-sebut adalah Jenderal Tommy Franks, Komandan Pasukan AS di Teluk. Namun, sudah bukan rahasia lagi bahwa Rumsfeld kurang sreg dengan strategi Jenderal Franks yang dianggapnya konservatif. Tahap pertama ini diperkirakan akan berlangsung 6-18 bulan dan anggota pasukan gabungan lain seperti Inggris juga akan diberi peranan. Tahap kedua, diilhami oleh apa yang terjadi di Kosovo, pemerintahan akan dijalankan oleh kalangan sipil internasional dengan dukungan militer. Saat ini AS mengharapkan dukungan dari PBB, terutama dalam menciptakan kondisi damai di kawasan Irak. Tahap ini juga memiliki beberapa titik kritis, terutama siapa yang akan mewakili sipil internasional yang akan memerintah bersama dengan militer AS. Negara adikuasa ini menginginkan pemimpin sipil ini berasal dari AS. Nama George Mitchell, salah seorang juru damai di Irlandia dan Timur Tengah, disebutsebut sebagai calon kuat. Juga disebut-sebut nama Norman Schwarzkopf, pemimpin pasukan saat perang 1991 yang kini telah menjadi masyarakat sipil biasa. Schwarzkopf dianggap dekat dengan keluarga Bush. Pihak Dewan Keamanan sendiri lebih menyukai jika ditunjuk seseorang dari Uni Eropa untuk mengimbangi kekuasaan AS. Selain itu, salah satu kriteria penting dari sosok pemimpin sipil
4

ini adalah beragama Islam. Nama Lakhdar Brahimi, juru damai di Afganistan, disebut-sebut sebagai calon yang memenuhi kriteria ini. Tahap ketiga adalah tahap yang paling penuh kontroversi dan hingga saat ini belum ada rencana rinci mengenainya. Namun, dua tahun dari sekarang, diharapkan telah ada pemerintahan Irak yang pro-AS. Pemerintahan baru ini diharapkan sama sekali lepas dari pengaruh masa lalu dan akan memusnahkan senjata biologi pemusnah massal. Akan tetapi, rekonsiliasi antara Sunni yang kuat, Syiah yang miskin, dan Kurdi yang semimerdeka diakui sangat sulit. Apalagi, tugas yang utama adalah meyakinkan masyarakat Irak bahwa pemerintahan yang baru bukan pemerintahan boneka AS. WAKIL Presiden AS Dick Cheney dan Pentagon menginginkan peranan lebih dari Kongres Nasional Irak (INC), kelompok oposisi di bawah pimpinan Ahmed Chalabi. Namun, CIA dan Deplu AS tidak percaya kepada INC. Apalagi, INC dianggap tidak memiliki kredibilitas di mata rakyat Irak. Deplu AS mempertimbangkan beberapa figur dari Partai Baath sebagai pemimpin yang baru. Karena itu, mereka tengah mengupayakan amnesti dan rekonsiliasi dan berencana hanya akan menghukum segelintir pembesar partai pendukung Saddam itu. "Ini problem serius karena yang akan muncul pertama adalah legitimasi dari pemerintahan itu sendiri. Apakah pemerintah itu aspiratif, yaitu memperhatikan aspirasi masyarakat Irak yang heterogen," ujar Riza Sihbudi. Problem lain adalah perbedaan pandangan antara AS dan negara-negara Uni Eropa. Uni Eropa ingin melibatkan PBB, sementara AS tetap hanya memberikan peran terbatas nonpolitik. Karena itu, diperkirakan akan muncul resistensi rakyat Irak, terutama yang menganggap ini adalah pemerintahan yang mewakili kepentingan AS, bukan kepentingan rakyat Irak. Pascainvasi ini, tujuan utama AS adalah mengeksploitasi
5

minyak karena dibutuhkan untuk biaya rekonstruksi. Dari situ akan muncul beragam persoalan karena di Irak sudah ada perusahaan-perusahaan minyak asing lain seperti Perancis dan Jerman yang menolak invasi AS. Selain itu, kalau AS mengandalkan semacam pemilihan untuk menciptakan pemerintahan demokrasi, hal itu juga akan menciptakan problem. Sebab, komposisi masyarakat Irak terbesar adalah kelompok Syiah, hampir 58 persen, kelompok Sunni 17 persen, dan Kurdi 20 persen. Kalau orang Syiah yang tampil sebagai penguasa, pasti tidak disukai AS. Bagi AS, satu negara Syiah saja, yaitu Iran, sudah tidak pernah bersahabat dengan AS, apalagi jika muncul negara Syiah kedua, yaitu Irak. Demikian juga kalau Kurdi sebagai mayoritas kedua yang menang pemilu. Pemerintahan boneka AS ini diperkirakan akan ditolak negaranegara tetangga Irak, terutama dari negara-negara yang sejak awal menentang perang, yaitu Suriah dan Iran. Invasi AS ke Irak tetaplah dibenci oleh Iran. Iran yang beraliran Syiah, kendati anti-Saddam, belum tentu senang dengan kedatangan AS ke Irak. Perang delapan tahun Irak-Iran sesungguhnya juga karena dorongan AS di kawasan ini. AS yang tidak senang kepada Iran dan sejarah revolusinya berusaha mencarikan musuh bagi Iran. Jadi, ketika perang delapan tahun terjadi, Saddam adalah sekutu AS. Konflik Irak-Iran itu sendiri, yang berbentuk konflik perbatasan, sebenarnya juga merupakan warisan dari akhir periode kolonial Inggris di kawasan Teluk. Seandainya orang Kurdi diberi kekuasaan atau merdeka, juga bakal bermasalah. Di Turki banyak orang Kurdi dan Turki sangat khawatir, demikian juga Iran. Mereka khawatir penguasa dari suku Kurdi akan menimbulkan potensi konflik Irak-Iran-Turki. Kunjungan Menteri Luar Negeri Iran Kamal Kharazi beberapa waktu lalu ke Turki adalah untuk
6

menyatukan pendapat bahwa mereka tidak setuju akan kemungkinan dinaikkannya orang Kurdi sebagai penguasa di Irak atau terbentuknya sebuah negara Kurdi merdeka di Irak Utara. Karena itu, pascainvasi ini, Irak penuh dengan ketidakpastian karena problemnya akan jauh lebih kompleks. Di satu sisi, AS menambah jumlah sekutu di Timur Tengah, tetapi akan memunculkan konflik internal atau regional. Regional dalam hal ini Turki dan Iran akan menentang pemerintahan oleh Kurdi, sementara Iran dan Suriah akan menentang semua bentuk pemerintahan boneka AS di Irak. Bentuk penentangan ini bisa macam-macam karena, kalau hubungan sudah tegang, tinggal mencari pemicunya untuk meledak. Artinya, stabilitas kawasan ini akan rentan. JIKA pascainvasi pemerintah di Irak militeristik, itu sama artinya bagi rakyat keluar dari mulut buaya masuk ke mulut macan. Di mana-mana pemerintahan militer tidak akan menolerir oposisi. Sementara kalau sipil yang memimpin akan timbul masalah juga. Biasanya pemerintahan sipil sulit mengendalikan negara dalam masa transisi, terutama dalam komposisi yang heterogen. Namun, pemerintahan militer akan diberlakukan untuk meredam resistensi keras, baik dari kelompok mayoritas Syiah maupun Kurdi. Apalagi keduanya tidak akan mendapat porsi pemerintahan pascainvasi. Dulu mereka anti-Saddam, tetapi sekarang mereka agak goyah dan lihat-lihat dulu. Ingat tahun 1991, ketika orang Kurdi dibasmi Saddam, AS diam saja. Belum lagi kalau nanti negara-negara Eropa tak ke- bagian dan mulai saling mendukung. Mereka mendukung Kurdi, Syiah, atau Suriah untuk merongrong pemerintahan boneka AS yang berkuasa di Irak. Negara-negara Eropa sangat berkepentingan di Irak. Mereka menentang invasi bukan karena tidak setuju AS bertindak secara unilateral, tetapi karena proyek-proyek mereka terganggu.

Ini terbukti setelah Baghdad jatuh, Presiden Perancis Jacques Chirac dan Kanselir Jerman Gerhard Schroeder buru-buru menyatakan kegembiraannya atas jatuhnya diktator Saddam Hussein. Chirac mengharapkan suatu pertempuran yang cepat dan efektif. Ini bentuk kemunafikan Barat terhadap negaranegara Arab. Menarik diperhatikan, apakah pascainvasi ini AS akan memberikan porsi minyak kepada Inggris dan negara-negara yang mendukung. Atau AS memonopoli sepenuhnya potensi minyak Irak ditambah Israel yang merasa berjasa saat ini. Israel diam-diam mulai mengatur pipa minyaknya. Konstelasi politik Timur Tengah pascainvasi ini akan sangat menguntungkan Israel. Irak selama ini dianggap sebagai negara yang paling mengancam Israel, selain Iran. Walau sebetulnya, pasca-1991, Irak sudah jauh melemah. Namun, pascainvasi, kelihatannya Inggris pun akan dibuang karena yang sekarang lebih rajin membikin skenario macammacam adalah Israel. Israel rajin menyuplai data ke AS, memberi advis di bidang militer, misalnya bagaimana perang kota, bagaimana menghadapi bom bunuh diri karena mereka sudah berpengalaman. Jangan lupa, kelompok garis keras Pentagon sangat pro-Israel. Karena itu, yang akan mengambil hasil invasi ini adalah Israel, bukan Inggris. Stabilitas kawasan Teluk akan semakin kisruh kalau AS meneruskan ambisinya menyerang Iran. Kemungkinan itu sangat besar. Tandanya, Iran mulai diungkit dengan nuklir dalam negeri dan mendukung Irak. Perlu diingat, motif utama invasi militer AS ini adalah minyak sehingga logis kalau Irak bukan tujuan terakhir. Iran, Arab Saudi, dan Libya punya minyak cukup besar, dan kalau ia kuasai, paling tidak 60 persen minyak dunia ada di situ semua. Minyak punya beberapa aspek, selain sumber energi industri yang belum tergantikan, juga alat menjaga stabilitas ekonomi dunia. Kalau AS menguasai seluruh potensi minyak di Timur Tengah, ditambah minyaknya di Alaska, berarti AS sudah menguasai 80 persen cadangan minyak dunia. Organisasi Negara-negara
8

Pengekspor Minyak (OPEC) saat ini hanya menguasai 50-60 persen. Kalau sekarang AS sudah menguasai Irak, berarti dia menguasai Irak, Arab Saudi, dan Kuwait. Itu sudah cukup bagi AS untuk bisa mengatur harga dan suplai minyak ke Barat. Sementara itu, Presiden Bush berjanji, setelah masalah Irak beres, ia akan mendukung proklamasi Palestina. Kalau janji itu tidak ditepati, pasti akan timbul sikap anti-AS yang sangat keras karena akan muncul perlakuan yang tidak fair antara Irak dan Israel. Padahal, keduanya sama-sama rezim yang menindas. "Bush kecil kemungkinan menepati janjinya karena ia akan mendapat tekanan dari kelompok Yahudi. Padahal, dia butuh dukungan lobi-lobi dan dana untuk pemilihan Presiden AS 2004," ungkap Riza. Pergolakan yang lebih rumit di Irak dan kawasan Timur Tengah umumnya akan terus muncul. Berbagai konflik yang sudah ada seperti di Palestina akan lebih mengeras dan berkepanjangan. Inilah awal sekaligus ujung dari ketidakpastian masa depan kawasan itu. (EDN/ODY/DMU)

Masa Depan Etnis Kurdi PascaSaddam


NAMUN, pemimpin Turki Mustafa Kemal Ataturk (pascadiproklamirkan negara Turki modern tahun 1923) melukiskan Kesepakatan Sevres sangat merugikan dan melemahkan negara Turki. Kemal Ataturk berpandangan, perbatasan timur negara Turki memanjang hingga Sulaimaniyah, Arbil, Kirkuk, dan Mosul. Semua itu berada di utara wilayah Irak sekarang. Ataturk juga berpendapat, rakyat Turki dan Kurdi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan karena memiliki latar belakang sejarah dan agama yang sama.

Lepas dari itu, ternyata negara Kurdi yang dijanjikan Inggris itu memang tidak pernah terwujud. Bahkan, kolonialis Inggris itu, dalam Kesepakatan Lausanne pada 24 Juli 1923, tidak menyebutkan sama sekali soal negara atau otonomi Kurdi. Pada tahun 1961, Iran membentuk Provinsi Kurdistan yang semi-otonomi. Gagasan pemerintah otonomi dari Pemerintah Iran itu merupakan status politik tertinggi yang diraih rakyat Kurdi dalam sepanjang sejarahnya. Etnis Kurdi, saat ini jumlahnya diperkirakan mencapai 3 juta10 juta jiwa, tersebar di wilayah luas (ada yang memperkirakan seluas 640.000 kilometer persegi), dan tersebar di beberapa negara. Mereka berada pada wilayah, mulai dari barat laut Iran sampai timur laut Irak, Armenia, timur Turki, dan timur laut Suriah. Mereka juga merupakan suku semi-nomaden dan penganut Islam Sunni ortodoks. Kebanyakan dari mereka tinggal di pedesaan, dan pada umumnya bermata pencaharian dari hasil bertani atau melakukan peternakan domba. KURDISTAN adalah wilayah dari rakyat Kurdi yang terletak di barat daya Asia. Pada era sebelum abad ke-7, hampir seluruh Kurdistan dikuasai oleh bangsa Arab. Seiring dengan berjalannya waktu, kemudian Kurdistan menjadi bagian dari Imperium Dinasti Ottoman. Setelah runtuhnya Dinasti Ottoman, Kurdistan berada di bawah pengaruh kekuasaan Inggris. Isu kekayaan minyak di wilayah Kurdi merupakan faktor utama yang menyebabkan kolonialis Inggris mengurungkan niatnya membantu pembentukan negara Kurdi. Sesungguhnya, saat itu telah terjadi pertarungan segitiga, yakni antara Irak, Turki, dan Kurdi, untuk merebut wilayah Mosul dan Kota Kirkuk (kini bagian dari Irak) yang kaya akan sumber daya minyak itu. Dalam pertarungan itu, kolonialis Inggris ternyata memihak Irak. Inggris barangkali tidak bisa melupakan jasa para
10

pejuang nasionalis Arab yang turut meruntuhkan Dinasti Ottoman (Khilafah Usmaniyah) di Turki. Sebaliknya, Inggris masih menaruh curiga terhadap negara Turki modern yang diproklamirkan oleh Kemal Ataturk pada tahun 1923 itu. Inggris pun memberi lampu hijau, bahkan mendorong pemerintahan monarki Irak, yang pada saat itu mengklaim wilayah Mosul (bagian dari wilayah Kurdi di Irak sekarang) sebagai bagian dari negara kesatuan Irak. Namun, Inggris meminta monarki Irak itu menghormati bahasa, budaya, dan adat istiadat etnis Kurdi. Pada 8 Juli 1926 di Ankara, parlemen Turki menyetujui wilayah Mosul sebagai teritorial negara Irak dengan imbalan perusahaan minyak Turki mendapatkan jatah minyak Kirkuk selama 25 tahun. Selain itu, Turki meminta imbalan lain, yakni agar Inggris dan Perancis mengakui negara Turki modern. Dengan demikian, pemerintah negara Turki modern ikut mempunyai andil atas hilangnya wilayah Mosul dari pangkuan negara Turki. Namun, Turki tidak pernah kehilangan impiannya, yaitu wilayah Mosul agar suatu saat bisa masuk negara Turki. Tidak sedikit kaum intelektual dan mantan pejabat Turki yang sampai sekarang tetap saja mengklaim bahwa Mosul adalah wilayah Turki. Selain itu, Turki juga memiliki tujuan strategis, yakni jika bisa menganeksasi wilayah Mosul, maka lenyaplah peluang berdirinya negara Kurdi di Irak utara yang merupakan lampu merah bagi Ankara. Kini aktor pembuat peta di Timur Tengah bukan lagi Inggris, melainkan Amerika Serikat (AS). Seperti yang sering ditegaskan Menlu AS Colin Powell, pada pasca-invasi di Irak akan lahir peta baru di Timur Tengah. Sikap AS-sejak era Presiden Bill Clinton hingga Presiden George Walker Bush-terhadap etnis Kurdi di Irak Utara selalu mengundang pikiran curiga dari negara-negara tetangga Irak.
11

Menlu AS-pada era kepemimpinan Presiden Clinton- Madeleine Albright sudah memainkan kartu etnis Kurdi untuk melemahkan kekuasaan Saddam Hussein di Baghdad. Menlu Albright saat itu sering mengundang pemimpin Kurdi, seperti Pemimpin Partai Demokrasi Kurdistan Masoud Barzani dan Pemimpin Persatuan Nasional Kurdistan Jalal Talabani ke Washington. Presiden Bush juga melakukan kebijakan politik yang sama atas etnis Kurdi. Turki khususnya telah menghadapi aksi pemberontakan etnis Kurdi. Pemberontakan Kurdi di Turki itu digalang oleh Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang dipimpin Abdullah Ocalan. Ocalan kini sedang mendekap di penjara Turki. Sedangkan hubungan AS dengan Kurdi di Irak Utara kini sedang mencapai puncak kemesraannya, menyusul serangan AS dan Inggris ke Irak saat ini. Kurdi membantu pasukan AS untuk menumbangkan kekuasaan Saddam Hussein di Baghdad. Turki, Suriah, dan Iran tentu sangat berharap hubungan erat AS-Kurdi sekarang hanya sebatas dalam konteks kerja sama untuk mendongkel kekuasaan Saddam Hussein, bukan sebagai awal bagi berdirinya negara Kurdi di Irak utara. Mereka menginginkan hubungan AS-Kurdi saat ini paling jauh hanya membawa dampak terwujudnya pemerintahan otonomi Kurdi di Irak Utara. Bagi Turki, jika AS mendukung terwujudnya negara Kurdi dengan Kirkuk sebagai ibu kota, maka itu berarti AS menghancurkan kawasan tersebut. Negara Kurdi itu tidak hanya akan memicu nasionalisme Kurdi di Turki, Suriah, dan Iran, tetapi juga menimbulkan krisis politik di kancah domestik Kurdi sendiri. SEJAK dimulainya serangan AS dan Inggris ke Irak, etnis Kurdi memegang peran penting dalam upaya melemahkan kekuasaan Saddam Hussein di Irak Utara. Pemimpin Kurdi tidak ingin hanya menerima cek kosong dari AS.

12

Pemimpin Kurdi sekarang ini bisa mengatakan tidak memiliki niat untuk mendirikan negara merdeka di Irak Utara. Namun, rakyat Kurdi tidak akan pernah melupakan serangan masif pasukan Irak dengan menggunakan senjata kimia pada bulan Agustus 1988 yang menyebabkan ribuan rakyat Kurdi tewas secara mengerikan. Ribuan rakyat Kurdi lainnya (diperkirakan 100.000 hingga 150.000 jiwa) terpaksa mengungsi ke Turki dan Iran. Serangan pasukan Irak secara besar-besaran itu lebih bermotif balas dendam, karena rakyat Kurdi dituduh memihak Iran dalam perang Irak-Iran (1980-1988). Pada Maret dan April 1991, segera setelah berakhirnya Perang Teluk, Irak kembali mengerahkan kekuatan militernya untuk mematahkan upaya kaum Kurdi memerdekakan diri di Irak Utara. Pada saat itu, tak kurang dari sejuta orang Kurdi mengungsi ke Turki, Iran, serta kawasan perbukitan Irak. Sementara itu, sekitar 600.000 orang Kurdi masih tetap bertahan di kamp pengungsian Kurdi di Irak Utara, di bawah perlindungan PBB sejak tahun 1992. Maka, hubungan rakyat Kurdi dan pemerintahan Saddam Hussein di Baghdad selalu diwarnai pertumpahan darah. Tidak heran bila kaum pelarian Kurdi di Turki menampik pemberian amnesti dari Saddam Hussein pada mereka, karena rakyat Kurdi sudah tak percaya lagi dengan janji Saddam itu. Hanya sedikit kaum Kurdi yang kembali ke Irak. Sampai Agustus 1989, tercatat setidaknya 36.000 orang Kurdi pelarian Irak masih tetap bertahan di Turki, di tiga kamp terpisah di Turki timur. BAGAIMANA masa depan etnis Kurdi pasca-Saddam? Presiden Bush dan PM Inggris Tony Blair sudah memberikan pernyataan. Rakyat Irak sendiri akan memerintah dan menentukan bentuk pemerintahannya pasca-Saddam. Maka, rakyat Kurdi seharusnya ikut berperan dalam menentukan bentuk Pemerintah Irak mendatang.
13

Karena itu, koordinasi antara pemimpin Kurdi dan kelompok oposisi Irak lainnya serta kekuatan politik Irak di dalam negeri dirasakan amat mendesak untuk membahas masa depan Irak pasca-Saddam. Selama ini, oposisi Irak dikenal sangat lemah dan terpecah belah secara ideologis, etnis, geografis, dan mazhab agama yang sangat sulit dicarikan jalan komprominya, apalagi menyatukannya. Oposisi Irak terbelah antara yang berbasis pada ideologi nasionalis dan Islam. Secara etnik terpecah antara etnik Kurdi dan Arab. Secara mazhab agama terbagi antara mazhab Sunni dan Syiah. Secara geografis, etnik Kurdi mendiami wilayah Irak Utara, kelompok Arab Sunni di Irak Tengah, dan kelompok Syiah di Irak Selatan. Lebih dari itu, oposisi Irak tidak memiliki platform politik yang sama, kecuali hanya disatukan oleh satu keinginan, yaitu menggusur Presiden Saddam Hussein. Secara politis pun, kaum oposisi Irak tidak memiliki dukungan dari negara-negara tetangga Irak, kecuali Dewan Tinggi Revolusi Islam pimpinan Sayyid Bakir Hakim yang mendapat dukungan penuh dari Iran. Markas Dewan Tinggi Revolusi Islam yang beraliran Syiah itu selama ini berada di Teheran, Iran. Kaum oposisi Irak selama ini terbentur dengan tradisi pola hubungan antarnegara Arab yang sangat memegang teguh prinsip saling tidak ikut campur urusan dalam negeri negara Arab lain, alih-alih ada suatu negara Arab yang bersedia mempersenjatai kelompok oposisi Irak. Menurut harian berbahasa Arab Al Hayat edisi hari Selasa (8/4), kelompok oposisi Irak berencana menggelar konferensi di Irak Selatan yang telah dikuasai pasukan sekutu. Kota Basra, Nassiriyah, dan Umm Qasr disebut-sebut merupakan calon tempat konferensi itu. Ketua Kongres Nasional Irak Ahmad Chalabi bersama 700 pasukannya dikabarkan telah berada di Kota Nassiriyah. Chalabi dikenal mendapat dukungan Pentagon dan Kongres
14

AS. Ketua Majelis Tinggi Revolusi Islam di Irak, Muhamad Bakir Hakim, juga memutuskan akan kembali ke Irak setelah 23 tahun mengungsi ke Iran. Namun, soal kapan kepulangan Bakir Hakim-yang didukung Iran itu-belum ditentukan. Dalam konteks masa depan rakyat Kurdi, barangkali ada tiga opsi pilihan. Pertama, memproklamirkan negara merdeka. Kedua, mempertahankan status otonomi luas seperti sekarang dalam kerangka kesatuan negara Irak. Opsi kedua ini telah dinikmati rakyat Kurdi sejak tahun 1991. Ketiga, menuntut negara dengan sistem federal. Dari ketiga opsi tersebut, memang yang paling realistis dan akan mendapat dukungan luas baik dari rakyat Irak sendiri maupun negara-negara tetangga seperti Turki, Iran, dan Suriah adalah opsi kedua, yakni status otonomi luas. Rakyat Kurdi tentu akan menolak keras menerima status politik lebih rendah dari otonomi pada era pasca-Saddam nanti karena berarti merupakan kemunduran dari status yang telah diraih sekarang. Sebaliknya, rakyat Kurdi sangat sulit memperoleh status politik lebih tinggi dari otonomi karena pasti akan ditentang negaranegara tetangga Irak. Lebih dari itu, bisakah rakyat Irak dengan berbagai latar belakang ideologi, etnis, dan mazhab agama meniru keberhasilan rakyat Afganistan dalam konferensi di Bonn, Jerman, pada 5 Desember 2001 membentuk pemerintahan sementara dengan melakukan kompromi yang pahit satu sama lain? Itulah tantangan semua kekuatan politik di Irak, termasuk kekuatan politik Kurdi. (Musthafa Abd Rahman dari Kuwait City)

15

Korban Perang Mikrofon 21 Hari


KEDUA pria berseragam tentara ini, menjelaskan dan melayani tanya jawab wartawan, masing-masing dengan gaya dan versinya. Sahaf yang berkacamata, beberapa jam sebelum "terjungkalnya" patung Saddam Hussein, menjelaskan tegas betapa Irak akan menang dan mengusir tentara gabungan. Sebaliknya Brooke dengan dingin, menegaskan kalau tentara AS dan Inggris juga pasti akan menang. Dua versi informasi yang berbeda juntrungannya, namun keduanya mirip ... samasama merasa menang! Di palagan bermesiu darah dan nyawa, dua orang mewakili "kepentingan" bangsa-bangsa dunia, berupaya tampil sehebat mungkin agar menarik puja dan puji pihaknya. Kata-kata kalimatnya, kalau perlu, menggunakan kata keras dan kalimat kasar, supaya pemirsa tayangannya melampiaskan kepuasanan sambil manggut-manggut, atau geleng-geleng kepala. APA yang tertayang gambarnya dan terlontar bunyi ucapannya, sungguh terbayang di mata dan terngiang di telinga. Gambar-gambar yang menusuk ke hati, kata-kata yang melekat di benak, semua itu bagian dari taktik dan strateginya propaganda. Baik kubu Irak maupun geng tentara AS cs. Materi propaganda itu, memang dibuat dan dirancang dengan kesadaran penuh, baik materi sajiannya maupun nada pengucapan dan ilustrasinya. Propaganda memang suatu upaya yang ditata sedemikian rupa, untuk mempengaruhi dan memanipulasi sesuatu keputusan, kegiatan, ataupun keyakinan dari sejumlah masyarakat agar terarah ke suatu tujuan khusus yang berupa isu dan opini. Baik Brooke dan terutama Sahaf, memang sengaja "dipasang" badannya agar menemui wartawan dan ber-acting, sambil mengeluarkan informasi penting perihal kedudukan dan keberadaan pihaknya, dalam pertikaian bersenjata bom maut dan peluru tajam. Seharusnya, kedua "informan" ini sudah
16

merencanakan dan mengatur persiapan, baik materi data dan informasinya, juga beberapa persiapan kalimat untuk menangkis pertanyaan maut wartawan perang. Layaknya sebuah propaganda, isi atau kandungan informasinya harus benar-benar "berbahasa" umum, serta dapat diterima masyarakat kebanyakan. Apabila propaganda itu menampilkan propagandisnya, sang "corong" ini betul-betul harus disetel dan dilatih, kalau perlu disutradarai agar penampilannya enak dilihat, infonya enak didengar, juga gampang dimengerti. Artinya propagandis itu, memang orang pilihan dengan syaraf kuat dan berani berkata benar, meski harus tabah meski berkata "bohong" juga. Yang penting, tukang propaganda itu benar-benar harus setel yakin, apa yang diucapkan dan dijelaskan itu, sebisa mungkin meyakinkan dan menyedot perhatian pendengarnya sehingga emosi dan perasaannya akan terpengaruh, meski bisa positif bisa pula negatif. Sebab dalam suatu propaganda, peranan "corongnya" itu mutlak penting. Hanya dengan kata-kata dan kalau perlu disertai bukti, si propagandis itu harus berupaya memanipulasi agar sekelompok publik, dapat dipengaruhi dan diyakinkan kalau ide, produk atau seseorang yang ditokohkannya itu, sesungguhnya akan memberikan sesuatu kebaikan atau kelebihan, dibanding dengan lawan isunya. Kalau membanding Sahaf dan Brooke, sebagai dua propagandis yang pernah ngetop, Sahaf yang tampil lebih matang dan selalu berbahasa Arab dan Inggris, sempat memukau dan amat menarik empati pemirsa, meski kosakatanya kadang terdengar kurang diplomatis. Sedangkan Brooke yang bergaya serdadu, serta bicaranya amat teknis meski sopan, namun kering tanpa tawa dan canda. Lepas dari siapa kalahkan siapa, kedua juru bicara ini seharusnya dipersiapkan dan mempersiapkan dirinya. Mengingat kedua pihak berseteru itu, masing menyebut

17

"musuh" terhadap lawan aksinya, tentunya pihak-pihak itu sudah tahu "siapa bagaimana apa" sang musuh itu. Irak dan AS, kebetulan pernah berseteru dalam Perang Teluk sekitar 12 tahun lalu (17 Januari-28 Februari 1991), masingmasing pasti sudah paham siapa itu si "Amerikiya" yang musuh, siapa pula sang "Iraqi" yang enemy itu. BAGAIMANA strategi dan perencanaan "perang propaganda" ini, tentunya bagi dua kubu militer itu amatlah "RHS" alias rahasia. Meski kedua pihak itu memiliki lembaga atau institusinya, namun sejauh ini belum pernah mengedarkan pers rilis, seraya memaparkan apa saja yang mereka ketahui perihal musuhnya. Di dunia telaah ilmu-ilmu sosial, ada buku klasik menarik yang mengungkapkan, betapa di saat Perang Dunia II yang mencabut puluhan ribu nyawa, semua pihak yang terlibat selain mempersiapkan "mata-mata" yang intelijen, juga memberdayakan "otak-otak" yang peneliti. Orang-orang akademi ini, dilibatkan penuh untuk menelaah dan memperhatikan penuh segala perilaku informasi, termasuk macam-macam propaganda yang ada. Salah satu contoh klasik dan legendaris, tentunya kasus Ruth Benedict. Sebagai ahli antropologi budaya yang tertarik pada sejarah, tradisi, dan karakter bangsa Jepang, Benedict pada bulan Juli 1944 ditugaskan pemerintah AS, untuk bekerja penuh di Kantor Penerangan Perang, menjadi "mata-mata" dari jarak jauh melalui telaah disiplin ilmunya. Antropolog perempuan itu, ditugaskan mempelajari bangsa Jepang yang musuh besarnya AS di Perang Dunia II (1939-1945). Jepang sebagai bangsa besar Asia, dianggap memiliki perbedaan kebiasaan dalam bertindak dan berpikir. Amerika yang sudah berperang habis-habisan itu, menemui kesulitan tidak enteng. Meski di saat itu, Jepang sudah membuka dirinya selama 75 tahun, bangsa luar lainnya tetap tidak bisa mengerti, apalagi mendalami watak bangsa kulit kuning itu. Di pertengahan
18

abad XX lalu, memang sudah banyak buku mengulas Jepang, namun sepertinya tetap ada kalimat tambahan dengan awal kata "tetapi juga". Misalnya tulisan perihal bertapa orang Jepang itu amatlah ramah-tamah, namun ada tambahan "tetapi juga ... kasar dan menekan". AS belajar dari pengalaman Rusia ketika berperang melawan Jepang pada tahun 1905. "Tsar memerangi suatu bangsa yang sepenuhnya dipersenjatai dan terlatih, akan tetapi tidak tergolong dalam tradisi Barat... Inilah yang membuat perang tersebut suatu masalah tentang watak musuh. Kita harus mengerti tingkah laku mereka untuk bisa memenangkannya," begitu kalimat pembuka Benedict dalam buku legendarisnya The Chrysanthemum and the Sword (cetakan ke-30, 1979). Di Amerika Serikat orang percaya perang melawan Jepang akan berlangsung tiga tahun, atau mungkin 10 tahun lagi. Sementara di Jepang, mereka siap berperang terus meski berlangsung seratus tahun lagi, begitu tulis Benedict. "Kemenangan Amerika di pulau-pulau Pasifik, itu masih sejauh ribuan mil dari Jepang... Rakyat Jepang senantiasa menganggap dirinya masih pemenang," tulis Benedict. SELAIN mewawancarai dan mengamati perilaku kaum nisei, kaum warga negara AS keturunan Jepang kelahiran Amerika, Kantor Penerangan Perang AS juga mempelajari kampanye propaganda Jepang di negerinya sendiri. Antara lain, propaganda Jepang menyebutkan hal paling berharga dari manusia, hanyalah jiwa. Materi hanyalah pelengkapnya. "Untuk menandingi baja AS, kita harus melawan dengan daging kita!" Benedict pun menjelaskan contoh sebuah buku. "Bacalah ini dan perang sudah dimenangkan!" Begitu kalimat cetak tebal buku sakti itu. Penerbang Jepang pun yang membaca indoktrinasi kitab perang itu, kontan rela dan berani menabrakkan pesawat kecilnya, langsung ke kapal perang AS yang besar-besar. Keberanian pilot dari satuan Kamikaze itu,

19

memang ampuh menghantam musuhnya macam "angin dewata" atau kamikaze. Sementara itu, radio Dai Nippon tetap mengumandangkan seruan, pengompor semangat, dan pendorong niat untuk bekerja, bersatu, dan bertekad mengalahkan musuhnya. Tiap pagi, bangsa Jepang ikut taisho alias senam pemanas badan. "Semakin kita kurang makanan, semakin kita harus meningkatkan kekuatan fisik kita dengan cara lain. Ayo kita senam!" Begitu kampanye propagandanya. Pemujaan rakyat Jepang terhadap Sang Kaisar pun, tidak kenal kata alpa. Bukan cuma tentara diwajibkan membungkuk tiga kali ke arah timur, sambil berseru "banzai". Tapi segala pemberian, anugerah ataupun sekadar persenan rokok dari atasan untuk tentaranya, sang komandan selalu bilang "ini dari Kaisar". Kesetiaan diri terhadap bangsa, negara, dan kaisar selalu dihubungkan dengan sikap bushido dan pandangan luhur terhadap keadilan, keberanian, kebaikan hati, kesopanan, kehormatan, kesetiaan, dan pengendalian diri. Bahkan sampai ketegasan membunuh diri ber-seppuku atau harakiri. "Bangsa Jepang berkadar amat ekstrem. Bersifat tidak agresif sekaligus amat agresif, militeristis dan estetis, kasar dan sopan, kaku dan mudah bergaul, setia dan berkhianat, pemberani dan pengecut, konservatif dan terbuka ... Apa yang akan dilakukan bangsa Jepang? Apakah penyerahan mungkin terjadi tanpa invasi? ... Haruskah mengebom Istana Kaisar?" Pendek cerita, Perang Dunia II pun usai dengan segala konsekuensinya. Kisah sekelumit kilas balik PD II tadi, cuma untuk mengingatkan kembali, betapa demi suatu "kemenangan", manusia mau berupaya apa saja. Termasuk meneliti apa saja kehebatan dan kelemahan sang lawan. Kembali ke soal "Perang 21 Hari" AS-Inggris vs Irak, tentunya kedua pihak sudah mempelajari kedigjayaan dan keloyoan lawannya. Juga kedua pihak itu, tahu betul cara berpropaganda dan berperang dengan mikrofon.
20

Negara berseteru itu, boleh dikata sudah sukses menarik perhatian hampir seluruh warga dunia. Malah mereka boleh dikata nyaris berhasil, memprovokasi sebagian besar manusia bumi untuk memihak ke sana dan ke sini. Jadi selama "Perang 21 Hari" lalu, nyaris pula berjatuhan banyak korban, gara-gara "perang mikrofon". (RUDY BADIL)

Pada Era Rekonstruksi Irak

Perusahaan AS Ambisius dan Tak Sabar


DENGAN memiliki cadangan minyak 112 miliar barrel, Irak merupakan pemilik 11 persen cadangan minyak dunia yang belum terjamah. Itu adalah angka yang diperkirakan oleh Centre for Global Energy Studies (CGES) yang bermarkas di London. Negeri 1001 Malam itu memiliki 2.000 ladang minyak yang memompa sekitar 2,5 juta barrel minyak per hari dari 15 deposit utama minyak di sebelah utara, selatan, dan timur Irak KAPASITAS sebenarnya ladang-ladang minyak itu ditaksir lebih tinggi lagi, yakni 2,8 juta barrel per hari. Itu sebuah jumlah yang sebenarnya cukup untuk memakmurkan 24 juta jiwa penduduk Irak, seandainya tidak didera perang. Irak juga mempunyai 12 pabrik penyulingan minyak dengan total kapasitas 677.000 barrel per hari, terbesar ada di Bassora di selatan dan di Baiji di Irak utara. Masing-masing kilang itu memiliki kapasitas 170.000 dan 150.000 barrel per hari. Sebelum Perang Teluk tahun 1991, Irak mengekspor minyak lewat empat pipa ke Turki, Suriah, Arab Saudi dan dua pelabuhan di Teluk antara lain di Min-Al-Bakr yang bisa melayani supertankers dan mengapalkan hingga 1,3 juta barrel per hari. Hampir semua ahli perminyakan menyatakan infrastruktur minyak Irak dalam keadaan rusak. Hal itu terjadi karena Perang Teluk, larinya ahli-ahli perminyakan, dan sanksi PBB
21

yang semakin memukul Irak tahun 1990 setelah menginvasi Kuwait. Sanksi juga mencegah Irak mengimpor peralatan yang diperlukan untuk perawatan dan pengembangan instalasi perminyakan. CGES mengatakan, akan diperlukan sekitar 5 miliar dollar AS (4,8 milyar euro) untuk memperbarui infrastruktur perminyakan Irak. Diperkirakan, dibutuhkan sekitar 20 miliar dollar AS investasi untuk menggandakan produksi minyak dengan mengeksploitasi ladang minyak di Majnoon dan West Qurna (di selatan) yang masih perawan alias tak tersentuh. Wewenang pengelolaan ladang perminyakan ada di perusahaan minyak negara Irak (National Oil Company) yang telah menandatangani kontrak produksi dengan Rusia, Suriah, Aljazair, Cina, dan juga TotalFinaElf dari Perancis. Akan tetapi, kontrak-kontrak itu tidak bisa diteruskan jika sanksi PBB tidak dicabut. Padahal, berbagai perusahaan dunia sudah mulai menancapkan kakinya pada bisnis minyak di Irak. (lihat tabel 1 dan 2) Tergusurnya Presiden Saddam Hussein dari kekuasaan, kemungkinan akan mengubah pula percaturan bisnis perminyakan di Irak. Sejauh ini, perusahaan-perusahaan AS benar-benar vakum dari bisnis minyak di Irak. Produksi minyak di Irak adalah termasuk terendah di dunia. Namun, hal itu juga sekaligus membuatnya sangat menarik bagi investor asing. Menurut US Energy Information Administration, hanya 15 dari 73 ladang minyak yang telah dikembangkan karena perang dan sanksi PBB. Di samping pengembangan ladang minyak, Irak juga telah mengundang investasi asing pada 9 blok eksplorasi di gurun pasir barat, terentang dari perbatasan dengan Kuwait dan Jordania. Undangan itu akan bisa mengeksploitasi hingga 100 miliar barrel dari 112 miliar barrel cadangan minyak Irak. Tiga
22

blok telah diberikan kepada ONGC tahun 2000, kepada Pertamina tahun 2002, dan kepada Stroitransgas awal tahun 2003. Jika kontrak-kontrak bisnis mereka benar-benar aman pascainvasi, maka mereka kemungkinan akan mendapatkan bisnis yang menggiurkan. Soalnya, Departemen Luar Negeri AS juga sudah memutuskan agar Irak tetap berada di dalam OPEC (kelompok negara pengekspor minyak). Juga sudah diputuskan agar Irak tidak dibatasi produksinya karena tidak memiliki kuota. Hal itu akan tidak menjadi masalah bagi OPEC hingga Irak mampu memproduksi minyak sebanyak 3,5 juta barrel per hari. NAMUN, semua kontrak- kontrak tersebut dilakukan atau dirancang ketika invasi AS belum dilakukan (untuk tidak mengatakan ketika Presiden Irak Saddam Hussein masih berkuasa). Kini, diduga kuat kekuasaan Saddam telah berakhir dengan kehadiran serdadu AS dibantu agresor lainnya, yakni Inggris dan Australia. Besar kemungkinan, kontrak-kontrak itu tidak akan dihormati lagi. Para pemegang kontrak-kontrak itu juga kini semakin khawatir, dan lebih khawatir lagi, kemungkinan besar perusahaan minyak dari AS akan bercokol dan menyingkirkan perusahaan-perusahaan status quo. Secara hukum-berdasarkan Konvensi Geneva-negara yang melakukan pendudukan dilarang mengadakan kontrakkontrak bisnis, apalagi kontrak-kontrak bisnis komersial di negara yang diduduki. Dalam konteks invasi sekarang, AS dibantu Inggris, adalah pihak yang menduduki secara paksa Irak. Robert Johansen adalah peneliti senior dari Kroc Institute for Peace Studies (University of Notre Dame). Mark Malloch Brown adalah Direktur UN Development Program. Keduanya,
23

sebagaimana diberitakan International Herald Tribune edisi 10 April, mengatakan, Konvensi Geneva melarang negara yang menduduki suatu negara untuk melakukan komitmen jangka panjang, khususnya komitmen komersial. Hal itu, kata mereka, sekaligus juga membatasi wewenang perusahaan-perusahaan AS. "Pemerintahan interim AS tidak hanya tidak memiliki otoritas berdasarkan hukum internasional, tetapi juga setiap komitmen yang diciptakan akan menjadi bahan perdebatan besar yang akan dilakukan berbagai perusahaan-perusahaan yang sudah ada di sana sebelumnya," kata Malloch Brown. Secara implisit, hal itu sekaligus memuluskan kelanggengan kontrak-kontrak bisnis minyak perusahaan asing-sebelum Saddam jatuh. Seiring dengan itu, pada pertemuan di London, 5 April lalu, para pengungsi Irak-musuh- musuh politik Saddam yang ada di luar negeri-juga sepa- kat bahwa perusahaan minyak internasional akan memi- liki peran dalam penghidupan kembali industri perminyakan Irak. Namun jangan lupa, pertemuan itu diorganisir oleh Departemen Luar Negeri AS. Ada ketakutan dari perusahaan Rusia, Perancis, Jerman, bahwa kontrak-kontrak bisnis yang sudah mereka genggam akan hilang begitu saja. Maka tidak heran, jika trio Perancis-Jerman-Rusia, kini adalah yang paling getol menyuarakan agar wewenang di Irak dikembalikan ke Irak. Namun ada keraguan besar AS akan merelakan kekuasaan di Irak kepada PBB. Kemarin, Jerman dan inggris lagi-lagi menyuarakan agar rekonstruksi pasca-invasi dilakukan di bawah naungan PBB. "Moskwa dan Berlin setuju agar wewenang PBB menjadi payung," ujar Presiden Rusia Vladimir Putin yang sebelumnya bertemu dengan Kanselir Jerman Gerhard Schroeder, Jumat
24

(11/4), di Moskwa. Putin, Jacques Chirac (dari Perancis), serta Schroeder sudah sejak dini menyuarakan itu. Namun pihak AS terkesan menepis usulan itu. Bukti-bukti untuk itu sudah ada. Berbagai perusahaan AS sudah menangani kontrak-kontrak bisnis untuk mengelola pelabuhan di Umm Qsar. Juga lima perusahaan AS telah memenangkan kontrak bisnis untuk memadamkan ladangladang minyak yang terbakar, serta mendapatkan kontrak untuk pembangunan sarana di Irak. Di dalam bisnis minyak, menurut kantor berita AFP, kemungkinan akan dimainkan oleh ExxonMobil (AS), BP (Inggris) dan Royal Dutch/Shell, ConocoPhilips (AS), ChevronTexaco (AS). Perusahaan yang bergerak di bidang jasa pendukung pertambangan minyak seperti Jasa Halliburton dan Schlumberger (dari AS dua- duanya) juga akan diuntungkan. Bahkan mantan pimpinan Shell Oil Co Philip J Carroll, juga sudah dipilih AS untuk menjalankan industri perminyakan Irak selanjutnya. Pemerintah Bush juga mendapatkan persetujuan Kongres AS untuk biaya awal rekonstruksi di Irak sebesar 2,45 miliar dollar AS. Anak perusahaan Halliburton (terkait dengan Wakil Presiden AS Dick Cheney) bernama Kellogg, Brown & Root (KBR), tanpa tender sudah memenangkan kontrak pemadaman api di ladang-ladang minyak Irak yang terbakar selama invasi. Perusahaan AS lainnya bernama Bechtel Group (terkait dengan pemerintahan Ronald Reagan dan mantan Menlu AS George Shultz serta Menhan AS Caspar Weinberger), Fluor Corp (di perusahaan ini Philip Carroll berperan sebagai Chief Executive Officer sekarang), Parsons Corp, Louis Berger Group, dan Washington Group International.

25

Semua perusahaan-yang pernah menyumbang dana kampanye politik Bush-Cheney sebesar 3,5 juta dollar AS-telah memenangkan sebagian kontrak bisnis di Irak. KOMISI Eropa hari Kamis (10/4) telah mengusut kontrakkontrak bisnis AS di Irak yang baru saja diumumkan itu. Mereka mengusut, apakah kontrak-kontrak itu sudah sesuai dengan aturan main World Trade Organization (WTO). "Kami sekarang mengevaluasi apakah kontrak-kontrak itu sudah sesuai dengan aturan WTO," kata Arancha Gonzalez, juru bicara Komisi Perdagangan UE. Alan Larson, Wakil Menlu AS untuk urusan ekonomi, bisnis, pertanian, memberikan jawaban bernada membela perusahaan AS. "Kontrak bisnis itu dilakukan untuk memastikan agar warga Irak bisa dilayani secepat mungkin, bukan untuk menggarap manfaat ekonomi semata pada era rekonstruksi." Namun, Eropa tidak yakin dengan jawaban itu. Karena itu, perusahaan-perusahaan Eropa kini mulai mengancam. "Ka- lau ada pihak yang ingin menyingkirkan Lukoil, kami akan menggugatnya melalui pengadilan arbitrase di Geneva, yang akan segera menyita ladang minyak itu," kata Wakil Presiden Lukoil (Rusia) Leonid Fedun. Entah apa yang akan terjadi dengan rekonstruksi, termasuk kontrak-kontrak bisnis Irak? Sangat menarik untuk menantikannya. Yang jelas, kini banyak pemimpin negara di dunia sibuk menjilat AS agar bisa dapat rezeki di atas derita rakyat Irak. Lebih jauh lagi, kontrak bisnis di Irak dalam 3 tahun ke depan menyangkut omzet sebesar 30 miliar dollar AS. Secara total, diperkirakan Irak membutuhkan 100 miliar dollar AS untuk memulihkan ekonomi. Itu bukan hanya untuk membangun industri minyak, tetapi juga sarana-sarana lainnya. Namun dari semua pemberitaan yang ada, perusahaan AS terkesan sangat ambisius dan terkesan rakus. (AFP/AP/REUTERS/MON)
26

Palestina, Irak, dan Strategi AS


MASIH ada lagi pisau yang mungkin menoreh. Pengumuman Road Map yang merupakan solusi perdamaian antara Palestina dan Israel dalam fase pertamanya, berakhir Mei 2003 ini, akan menjadi penentu. Apakah perdamaian atau bom-bom bunuh diri yang akan mewarnai kehidupan di Timur Tengah. Tidak heran, Michael Scott Doran, salah seorang asisten profesor di Studi Timur Dekat Princenton University, menekankan munculnya suara, "Its Palestine, stupid!", saat mendongkel Saddam Hussein menjadi agenda utama kebijakan luar negeri Presiden Bush. Dalam tulisannya di Jurnal Foreign Affairs Januari-Februari 2003, Michael menguraikan hubungan Irak-Palestina dan strategi AS. Ia menjelaskan, suara-suara mencela kesalahan diagnosa pemerintah Bush atas akar masalah di Timur Tengah muncul tidak saja dari negara-negara Arab, tetapi juga dari Eropa dan AS. Suara itu menyatakan, menyerang Irak sementara Israel tengah menduduki Palestina akan memperkuat tuduhan kepada AS bahwa negara itu tengah melancarkan perang terhadap Arab dan Muslim. Serangan balik malah akan melemahkan, bahkan merusak kepentingan AS di kawasan tersebut. Washington seharusnya memfokuskan diri pada pe- nyelesaian masalah PalestinaIsrael dengan negosiasi dan menunda perang tanding dengan Saddam. Rakyat Timur Tengah kini tengah menanti-nanti munculnya Road Map yang seharusnya muncul pekan ini yang tertunda karena perang. Tanggal 14 Maret lalu, Presiden Bush menyatakan akan melaksanakan Road Map begitu Perdana Menteri Palestina dan kabinetnya terbentuk. Program perdamaian untuk Tepi Barat dan Gaza yang harus tercapai tahun 2005 tersebut, dibuat oleh PBB, Uni Eropa, Rusia, dan dipimpin oleh AS. Palestina diwajibkan untuk menghentikan kekerasan kaum milisi.
27

Sementara Israel harus menghentikan pembangunan permukiman Yahudi di tanah yang mereka ambil, serta menarik tentaranya dari berbagai kota. Namun, berbagai keraguan akan itikad baik pemerintahan Bush semakin banyak. Menteri Senior Palestina mengatakan kepada Reuters, sudah enam kali Road Map ini ditunda karena tekanan Israel ke Washington. Pihak garis keras Israel memang masih menentang Road Map ini. Sementara, posisi Bush yang akan menghadapi pemilihan presiden menjelang akhir tahun 2004 akan membutuhkan lobi-lobi Yahudi. Michael Scott Doran memaparkan, dukungan tanpa syarat AS kepada Israel dipercaya sebagai sumber keretakan AS dengan negara-negara Arab yang merupakan pendukung Palestina. Oleh karena itu, jika AS ingin meningkatkan pengaruhnya di kawasan tersebut, Bush harus mulai lebih condong untuk memihak kepada rakyat Palestina. Masalahnya, opini ini terbentur pada dua pertanyaan: Seberapa besar keinginan AS untuk mengubah pendiriannya dan seberapa banyak kebijakan yang akan dihasilkan perubahan pendirian itu. Sayangnya, AS dan negara-negara Arab memiliki konsep yang jauh berbeda dalam penyelesaian damai Palestina-Israel. Sulit dibayangkan, AS akan mengambil kebijakan yang diterima dunia Arab. Di sisi lain, dengan dipenuhinya berbagai syarat yang diajukan, para pemimpin negara Arab mungkin dapat didesak untuk mengesahkan penyelesaian. Namun, mereka akan dicela oleh negara-negara Arab yang lain sebagai boneka AS dan Yahudi. Bom-bom bunuh diri diperkirakan akan terus terjadi. Sementara AS akan menemukan dirinya terjebak dalam konflik panas. Hambatan tentang Palestina akan tetap ada, mungkin lebih kecil atau lebih tidak berbahaya, namun tetap ada.

28

Bahkan, jika AS entah bagaimana dapat menjadi perantara terciptanya penyelesaian Palestina-Israel yang sesuai dengan keinginan dunia Arab, hal ini tidak secara otomatis akan membangun itikad baik. Palestina merupakan hambatan utama hubungan Arab-AS. Selama bertahun-tahun, wacana politik Arab berada seputar Palestina dan anggapan bahwa AS sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penderitaan rakyat Palestina. PALESTINA juga merupakan simbol politik negara-negara Arab. Bahkan, Palestina terkadang menjadi simbol untuk menyampaikan masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan aspirasi rakyat Palestina. Di Irlandia Utara tahun lalu, Tentara Republik Irlandia (IRA) mengibarkan bendera Palestina. Kenapa? Karena di sebagian belahan dunia, panji-panji ini mengekspresikan semangat antikolonial sebagai ungkapan protes dari mereka yang merasa hak-hak asli mereka diinjak-injak oleh sepatu para militer asing. (Sebagai catatan, pihak lawan IRA, kaum Unionist melawannya dengan mengibarkan bendera Israel). Pindahnya simbol Timur Tengah ke sebuah pojok Eropa yang sebagian besar beragama Kristen itu patut dicatat sebagai tanda yang juga terjadi di dunia Arab. Bendera Palestina lebih banyak dikibarkan sebagai ekspresi, yang tidak berhubungan dengan masalah Palestina itu sendiri, yang sebenarnya adalah lapangan kerja dan ketidakadilan. Makna seluas ini diperoleh Palestina karena wacana politik Arab salah memperlakukan isu Palestina. Isu ini kemudian memperbesar tudingan kepa- da pihak Barat dari rakyat Timur Tengah. Palestina adalah satu- satunya negara Arab yang berhasil dijajah dalam era modern ini. Fakta ini sangat menyakitkan warga Timur Tengah. Menurut salah satu versi sejarah, kekuatan Barat (terutama AS dan Inggris) menanam Israel di dunia Arab dan memeliharanya dengan tujuan, menjadikan Israel sebagai

29

basis imperialis. Yaitu suatu titik tolak dari tujuan mereka untuk menguasai wilayah tersebut. Bagi sebagian besar warga Arab, sejarah Palestina tidak semata perebutan tanah antara dua orang leluhur. Namun, mereka melihatnya lebih pada bukti dari tujuan jahat negara Barat terhadap Arab dan Islam secara umum. Sebagai tanda dari tuntutan anti-Barat, Palestina sebagai simbol membangkitkan semangat di seluruh Arab, bahkan hingga ke seluruh dunia Islam. Tepatnya, karena ia mewakili versi sejarah hubungan antara Timur Tengah sebagai sebuah kesatuan dengan Barat. Palestina adalah satu dari beberapa simbol bersama yang melewati batas-batas agama, etnis, dan bangsa. Bahkan, kelompok Syiah Iran, Kaum Sunni fundamentalis, dan Suriah Alawite yang tidak pernah akur pun bahkan bisa bersatu di bawah bendera Palestina. Simbol universal ini bekerja saat rakyat Timur Tengah ini berurusan dengan massa. Namun, tentu saja, mereka menyuarakan aspirasi Arab. Menuntut keadilan di Palestina sama artinya dengan mengutuk turunnya nilai Arab di masa modern, meminta otoritas politik di kawasan Timur Tengah dan meminta perubahan dari perimbangan kekuasaan antara Arab dan pihak Barat yang saat ini diwakili oleh AS. Ada banyak alasan kenapa Washington harus menjaga jarak dengan kebijakan Israel seperti pembangunan permukiman Yahudi di area Palestina yang diduduki. Mereka harus waspada agar solusi yang ditawarkan tidak malah akan membangkitkan amarah dan putus asa bagaimana Palestina yang menjadi simbol dilangkahi semena-mena. Apa yang pemerintahan Bush lebih mengerti dibandingkan para pengkritiknya adalah bahwa pengaruh AS dalam arena perebutan lahan antara Arab- Israel telah membesar. Kekuatan AS menjadi kekuatan utama yang tidak terbantahkan di Teluk Persia.
30

Mengingat invasi Saddam Hussein ke Kuwait pada tahun 1990 membawanya lebih dekat pada intifada di Palestina dan membuat semakin banyak negara Arab memusuhi AS. Kekalahan Saddam kemudian membuka jalan menuju Konferensi Madrid dan proses perdamaian di Oslo. Saat ini, mengalahkan Saddam akan membuka peluang bagi AS untuk menunjukkan kepada dunia Arab dan dunia Muslim bahwa aspirasi Arab dapat tercapai dengan bekerja sama dengan Washington. Jika upaya AS untuk mengatasi permasalahan di Palestina dapat diterima, maka hawa ini akan menular ke Baghdad.>< BAGI kalangan ilmuwan hubungan internasional, invasi AS ke Irak, yang dimulai 19 Maret 2003, mencerminkan menguatnya unilateralisme dan menurunnya "dimensi kemanusiaan dan sosial" dalam kebijakan luar negeri AS. Dalam kerangka politik internasional, serangan pasukan koalisi AS-Inggris tersebut mengukuhkan hegemoni AS pasca-Perang Dingin dan menjatuhkan wibawa PBB pada tingkat paling rendah sepanjang sejarahnya. Ini merupakan bagian dari politik luar negeri AS terhadap dunia internasional, termasuk sekutu-sekutunya yang berubah drastis setelah serangan 911, serangan teror 11 September 2001. Dalam teorinya "raise and fall of big powers", ilmuwan hubungan internasional Robert Gilpin mengakui, sistem internasional dapat saja dikuasai oleh negara adidaya. Namun, ia menyiratkan bahwa kejayaan hegemoni tidak akan abadi. Negara yang memegang hegemoni harus menanggung biaya dari keadidayaannya yang dapat berbentuk beban militer maupun ekonomi dalam rangka mempertahankan hegemoninya (titik equilibrium). "Ini adalah suatu masa yang rawan karena dinamika ekonomi politik internasional dan perkembangan teknologi akan menjadi tantangan bagi ke- kuatan hegemon," ujar staf

31

pengajar pada Departemen Hubungan Internasional, FISIP Universitas Indonesia, Evi Fitriani. Bila pada suatu masa ada negara lain yang berkalkulasi bahwa hasil yang akan didapat dari usaha menumbangkan negara hegemon yang sedang berkuasa akan lebih besar dari biayanya, maka negara tersebut akan merombak keseimbangan. Bila ia sukses ia akan menjadi hegemon baru. Inilah yang dilihat Gilpin terjadi dalam perjalanan sejarah dengan naik dan runtuhnya hegemoni Perancis (abad ke-18), Inggris (abad ke-19), dan AS (abad ke-20). Seberapa jauh teori tersebut memprediksi kejatuhan AS memang memerlukan penelitian lebih mendalam. Secara de facto, sampai hari ini AS masih merupakan negara terkuat di dunia baik dari segi militer maupun besaran sistem ekonomi. Hampir tidak ada negara yang tidak tergantung pada AS atau terbebas dari pengaruh kebijakan AS. Dalam Forum Diskusi di Universitas Paramadina, Selasa (8/4), Fitriani memprediksi, di masa mendatang Uni Eropa (EU) yang dimotori Perancis dan Jerman akan menjadi aktor internasional cukup penting walau masih perlu diamati kemandiriannya. Sikap keras Perancis dan Jerman untuk tidak mendukung resolusi PBB yang melegitimasi serangan AS ke Irak menciptakan balance of power baru di Eropa. Namun ketidakmampuan kedua negara itu membendung agresivitas AS dan memaksa AS memberhentikan invasinya atas Irak memperlihatkan bahwa kedua negara Uni Eropa ini belum cukup mampu mengubah keseimbangan kekuatan internasional. Negara lain yang juga patut dipertimbangkan dalam sistem internasional di masa yang akan datang adalah Cina. Potensi sumber alam dan sumber-sumber kekuatan nasional lain yang dimiliki Cina menjadikan negara ini potential superpower. Namun mengamati ketergantungan Cina yang cukup besar akan pasar AS dewasa ini, masih perlu dicermati perkembangannya di masa yang akan datang.
32

Karena kedua aktor potensial tersebut masih memiliki ketergantungan yang cukup signifikan terhadap AS, makapaling tidak-untuk jangka pendek hegemoni AS masih akan bertahan di Timur Tengah. Ini sangat memprihatinkan, sebab diperkirakan bakal memunculkan radikalisme agama. Bahkan sampai ke terorisme atas nama agama yang merupakan bentuk pembelaan diri, atau bagian dari self defense mechanism. Misalnya muncul dalam bentuk bom syahid. Atau dalam bentuk political disorder dan political chaos yang sangat mudah menyebar di kawasan Timur Tengah. (EDN/DMU)

AS dan Lumpuhnya PBB


TAK seperti yang dijanjikan sebelumnya, hingga hari ke-24 ini, Amerika Serikat (AS) belum berhasil menghentikan invasinya ke Irak. Lebih dari itu, AS bahkan sama sekali belum menampakkan kemampuannya menyelesaikan persoalan PERKEMBANGAN Irak pun semakin memilukan. Negeri 1001 Malam yang semula diam dan tenang, tiba-tiba menjadi kacau. Penjarahan di mana-mana. Kekerasan dan saling pukul yang dipicu oleh persoalan sepele pun meluas. Baghdad, ibu kota Irak, tak terkendali. Dan, AS pun hanya diam, seolah tak mampu berbuat lebih. Janji AS untuk mengadakan serangan singkat tidak terpenuhi. Juga, janji untuk segera menciptakan perdamaian dan "kemerdekaan" bagi rakyat Irak juga belum terwujud. Lebih dari itu, Irak kini justru dihadapkan persoalan lebih pelik. Misalnya, masalah rekonstruksi yang memerlukan biaya tidak sedikit dan ancaman konflik internal. Perebutan kekuasaan antarsuku saat ini mulai merebak. Suku Kurdi yang selama ini menikmati hak otonomi di tiga provinsi Irak Utara, mulai menunjukkan gerakan yang bisa memperbesar konflik. Bahkan mungkin bukan hanya internal, melainkan juga melibatkan Turki dan Iran. Dua negara yang berbatasan langsung dengan
33

Irak ini pun sama-sama memiliki masalah dengan suku Kurdi yang ingin merdeka. Hal seperti itu mungkin tidak akan pernah terjadi, jika AS mendapatkan legitimasi internasional ketika memutuskan invasi ke Irak. Seperti di Perang Teluk 1991, AS sukses besar dalam memimpin koalisi dan menghalau pasukan Irak dari Kuwait. Dan harus diakui, itu bukan melulu keberhasilan AS, melainkan juga atas dukungan internasional. Namun, dalam Perang Teluk jilid 2 ini, AS bertindak sendiri. Bahkan ia mengabaikan seruan keberatan internasional. AS juga tidak mengindahkan penolakan Perserikatan BangsaBangsa, satu-satunya lembaga internasional yang mestinya lebih memiliki kekuatan dalam mengatasi masalah yang berkenaan dengan keamanan dan perdamaian internasional. Sejarah lama yang kurang menyenangkan pun terulang. Mau tidak mau, tindakan AS itu mengingatkan seluruh bangsa di dunia pada pahitnya Perang Dunia II yang membawa dampak pada bubarnya Liga Bangsa-Bangsa. Suka tidak suka harus dikatakan, AS kembali mengulangi tindakan yang menyebabkan Liga Bangsa-Bangsa bubar tersebut. Bubarnya Liga Bangsa-Bangsa waktu itu juga disebabkan oleh tindakan AS yang tak mengindahkan keputusan lembaga tersebut. Persis seperti yang terjadi saat ini. Dalam skala tertentu, keputusan AS untuk menginvasi Irak, di luar kerangka PBB itu, kemudian bisa pula disebut sebagai agresi atau penjajahan. Bisa dipastikan tindakan itu tidak saja melanggar Konvensi Geneva, melainkan juga melanggar kewajiban AS sebagai anggota PBB. Perlu diingat, PBB dibentuk terutama untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu menciptakan dan memelihara perdamaian dunia. INVASI AS ke Irak kali ini memang tidak serta merta membubarkan PBB. Namun, satu-satunya lembaga dunia itu telah dibuat ompong dan tidak berdaya. Dunia pernah berharap, setidaknya PBB mampu mencegah AS untuk melancarkan serangannya ke Irak. Namun, harapan itu
34

musnah. PBB dan Sekjen Kofi Annan tak mampu berbuat apaapa. PBB sama sekali lumpuh. Tak hanya itu, AS telah menghancurkan sistem percaturan politik dunia yang semula multipolar menjadi unipolar. Sistem multilateralisme yang diharapkan menjadi sistem percaturan internasional yang lebih demokratis, telah ia tumbangkan. AS menggantinya dengan sistem unilateral yang mengabaikan seluruh keberatan dan pandangan internasional. Hal itu bisa dimengerti. Tak bisa dihindari, bahwa lumpuh dan ompongnya PBB disebabkan oleh mekanisme PBB sendiri yang sudah usang dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. PBB hingga saat ini menerapkan mekanisme dengan Sidang Majelis Umum (SMU) PBB yang bisa diikuti seluruh anggota, yaitu 191 negara, dan sidang Dewan Keamanan (DK) PBB yang hanya diikuti 15 negara. Dan sudah pasti, sistem ini tidak sempurna. Karena, meski diikuti oleh seluruh anggota PBB, namun keputusan SMU bersifat tidak mengikat (non-binding). Dalam arti, hanya memiliki bobot moral. Sementara, sidang DK yang hanya diikuti 15 negara, justru bersifat mengikat (binding). Karena itu, seluruh anggota PBB terikat oleh keputusan sidang DK. Porsi yang tidak seimbang itu masih ditambah dengan sistem keanggotaan DK. Dari 15 anggota, ada lima negara yang dinyatakan sebagai anggota tetap DK. Pasal V Piagam PBB secara jelas menyebutkan, anggota DK terdiri dari 15 negara. Namun, Cina, Perancis, Rusia, Inggris, dan AS disebut dengan jelas sebagai lima negara yang menjadi anggota tetap. Sedangkan 10 anggota lain dipilih secara bergantian untuk masa dua tahun. Lebih dari itu, kelima negara juga mempunyai hak veto yang secara mutlak bisa digunakan. Sedang 10 anggota lain hanya berhak mendukung. Karena itu, selaras dengan aturan main yang berlaku di DK, untuk meloloskan satu resolusi DK, harus didukungan sembilan suara dengan catatan tanpa ancaman veto dari anggota tetap.
35

Karena itu, dunia berharap invasi Irak tidak terjadi ketika Perancis yang didukung Rusia dengan tegas mengancam memveto jika AS melancarkan serangan ke Irak. Selain itu, kerangka resolusi AS dan Inggris yang memungkinkan menggunakan kekuatan senjata ke Irak, hanya mendapat dukungan enam suara. Tuntutan sembilan suara pun tak terpenuhi. Dengan kondisi itu, di atas kertas, AS memang sudah kalah. Ia seharusnya menghentikan keinginannya untuk menyerang Irak dan "tunduk" pada aturan main DK PBB yang sudah disepakati bersama. Namun, kenyataan berbicara lain. Kegagalan upaya diplomasi AS dan ancaman veto itu tidak membuatnya mundur. Sebaliknya, AS semakin beringas. Ia memilih tidak mengindahkan hasil sidang DK dan bertindak sendiri di luar kerangka DK. Selain itu, mantan Utusan Khusus Sekjen PBB di Somalia Omar Halim mengatakan, selain mekanisme PBB yang sudah tidak sesuai, bagaimanapun PBB akan selalu dimanfaatkan oleh negara-negara besar untuk kepentingannnya. Terutama dalam percaturan dunia saat ini yang menjadi unipolar. Dominasi AS yang begitu besar di dunia internasional mau tidak mau harus membuat PBB kadang tidak berdaya. Bukan hanya dalam mekanisme PBB, melainkan juga tekanan dan pengaruh AS yang ia berikan pada tiap anggota PBB secara unilateral. "Jadi, kepentingan hubungan tiap anggota PBB dengan AS itu juga mempengaruhi bobot PBB," kata Omar Halim. Hal itu ditambah dengan "kekuatan" AS secara ekonomi maupun politik di luar mekanisme PBB, misalnya melalui badan seperti International Monetary Fund (IMF). Bahkan setelah perang berlangsung, PBB tetap tidak berdaya untuk menghentikan. Berdasarkan mekanisme yang dimiliki, DK PBB seharusnya bisa bersidang untuk mengeluarkan resolusi yang bisa menghentikan serangan AS ke Irak. Namun, hal itu pun tidak mungkin. Dengan alasan, sebelum resolusi itu keluar, AS dan Inggris sudah lebih dulu memveto.
36

Karena itu, mekanisme yang tersisa adalah Sidang Majelis Umum (SMU) PBB. SMU PBB mengambil alih peran DK PBB dalam menjaga dan memelihara perdamaian. Seperti dikatakan Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda, mekanisme ini pernah digunakan untuk mengatasi Perang Korea. Namun, seolah semua terlambat. Di luar dugaan, Irak yang selama ini diharapkan melawan dengan gigih, justru seolah memberikan Baghdad begitu saja kepada AS. Perang untuk sementara "terhenti". Namun, posisi Saddam Hussein sama sekali tak diketahui. Karena itu, AS belum sepenuhnya berhak mengklaim kemenangan. Tak bisa dihindari ambisi AS menghancurkan Irak pada akhirnya membuat seluruh muka berpaling pada minyak Irak dan keuntungan yang akan didapat AS dengan melancarkan serangan ke Irak. Konon, ketika AS memimpin koalisi dalam Perang Teluk 1991, AS mendapat keuntungan lebih dari yang diperkirakan. Terutama, kompensasi yang diberikan oleh para syekh di Teluk yang selama ini merasa "diperdaya" Saddam Hussein, dan oleh dunia internasional karena kesediaan AS memimpin koalisi. Bisa jadi, dengan pengalaman itu, AS tidak ingin lagi menggunakan mekanisme seperti itu. Ia ingin langsung menguasai minyak Irak yang berjumlah sekitar 115 miliar barrel. Diperkirakan, penjualan minyak ini pula yang nantinya akan digunakan AS untuk menutup biaya perang sekaligus rekonstruksi. Lebih dari itu, AS memiliki kemampuan kendali langsung di negeri super kaya tersebut. BUKAN tidak mungkin jika kenyataan itu yang membuat AS kini harus terus berseteru dengan dunia internasional. Setelah PBB dibuat tidak berdaya dan ompong, AS melanjutkan "perselisihannya" dengan PBB ke masalah pengelolaan Irak pasca-invasi. Jika mengikuti mekanisme percaturan sesuai standar PBB, seharusnya AS menyerahkan pengelolaan Irak pasca-invasi
37

kepada PBB. Itu jika AS tidak ingin disebut sebagai penjajah di milenium ketiga ini. Karena, aturan main PBB mengatakan, pengelolaan suatu wilayah yang sudah tidak bertuan harus diserahkan kepada PBB. Dalam hal ini, seandainya Presiden Saddam Hussein sudah diketemukan, dan ia bersedia menyatakan menyerah, maka, Irak akan menjadi wilayah tak bertuan atau non-self governing territory. Karena itu, sudah selayaknya jika PBB yang berperan dalam mengelola Irak. Bahkan PBB harus tetap berada di wilayah itu, untuk membentuk pemerintahan transisi hingga terbentuk pemerintahan yang sesungguhnya. Namun, AS bersikeras tidak akan menyerahkan pengelolaan itu. AS tidak peduli, bahwa kali ini ia sendirian. Dua sekutu utamanya, yaitu Inggris dan Spanyol tidak sependapat. Kedua negara bergabung dengan mayoritas anggota lain yang menghendaki pengelolaan Irak harus diserahkan kepada PBB. Mantan Menlu Ali Alatas dan mantan Utusan Khusus Sekjen PBB di Somalia Omar Halim menggarisbawahi hal itu. Jika pengelolaan Irak pasca-invasi diserahkan ke AS, kedua tokoh itu mengingatkan, dunia internasional tidak bisa bergabung untuk membantu Irak. Dengan alasan, keprihatinan dan simpati dunia internasional kepada rakyat Irak itu, bisa diartikan sebagai tindakan mendukung invasi AS. "Padahal kita itu kan simpati kepada rakyat Irak, dan jelas kita menentang invasi AS, tetapi kalau bantuan yang kita berikan kepada rakyat Irak itu justru di bawah bendera AS, kan kita jadinya mendukung invasi AS," kata mantan Menlu Ali Alatas dalam pembicaraan dengan Kompas beberapa waktu lalu. Dan melihat ketidakberdayaan itu, orang pun lalu teringat kembali pada pentingnya seruan Gerakan Nonblok (GNB), agar PBB melakukan restrukturisasi dan revitalisasi. Dengan perkembangan yang ada sekarang ini, seruan GNB itu tak salah jika bisa segera dilaksanakan. (rie)

38

Ambisi Neo-imperialisme AS
APA yang terjadi di Irak sepekan ini jauh dari perkiraan banyak pihak. Pasukan gabungan pimpinan Amerika Serikat "begitu mudah" masuk ke Baghdad, nyaris tanpa perlawanan. Dugaan banyak kalangan sebelumnya bahwa saat mereka masuk ke Baghdad akan terjadi pertempuran kota yang begitu sengit dan dahsyat juga tidak menjadi kenyataan. YANG terjadi justru sebaliknya, invasi pasukan gabungan pimpinan AS itu mencapai puncaknya dengan merobohkan patung Saddam Hussein setinggi 15 meter yang terbuat dari perunggu. Apa yang terjadi di Irak itu mengejutkan negaranegara di kawasan Teluk dan Timur Tengah. Tragedi di Irak itu membuat banyak negara cemas. Karena, bisa jadi apa yang terjadi di Irak itu akan mendorong Presiden George W Bush dengan mudah mengerahkan tentaranya untuk memenuhi ambisinya menyingkirkan apa yang dianggap sebagai ancaman bagi Washington. Bush bisa juga menegaskan bahwa AS harus menjadi kekuatan satu-satunya di dunia yang bertanggung jawab atas keamanan dunia. Itulah tekad AS yang lebih dari satu dasawarsa silam pernah diungkapkan oleh kolumnis politik Charles Krauthammer. Ia menyatakan akan munculnya apa yang ia sebut sebagai unipolar moment. Yakni, suatu periode di mana sebuah (negara) adikuasa, AS, berada paling depan dan berdiri di atas semua kekuatan dunia lainnya. Apa yang ditulis Charles Krauthmamer di Foreign Affairs ketika itu menjadi kenyataan ketika pada tanggal 17 September 2002, Gedung Putih mengeluarkan dokumen penting setebal 31 halaman. Dokumen itu berjudul The National Security Strategy of the United States of America. Isi utama dokumen itu adalah sebuah penegasan bahwa AS ingin menjadi polisi dunia dan penegasan AS akan bertindak
39

unilateral dalam menghadapi ancaman teroris serta senjata pemusnah massal bila negara- negara lain tidak bersedia diajak serta. Ditegaskan pula, AS akan menggunakan kekuatan militernya untuk mengatur tatanan global. Inilah grand strategy baru AS yang dicanangkan sejak berakhirnya Perang Dingin. Strategi baru itu memiliki tujuh elemen (Foreign Affairs, September/Oktober 2002). Lima dari tujuh elemen itu adalah, pertama, mempertahankan dunia unipolar, dalam hal ini AS merupakan kekuatan yang tiada tandingannya. Dengan runtuhnya Uni Soviet, AS harus mencegah munculnya kompetitor baru di Eropa dan Asia. Kedua, pengakuan bahwa terorisme merupakan ancaman baru. Ketiga, konsep pencegahan (deterrence) Perang Dingin sudah ketinggalan zaman. Saat ini, pencegahan, kedaulatan, dan perimbangan kekuatan harus berjalan bersama. Hal itu terjadi karena ancaman sekarang ini bukan negara adikuasa lain, tetapi jaringan teroris transnasional. Keempat, perlunya pemaknaan ulang arti kedaulatan. Karena, kelompok-kelompok teroris tidak dapat ditangkal, AS harus disiapkan untuk melakukan intervensi di mana-mana, kapan saja bertindak lebih dahulu menghancurkan ancaman. Kelima, AS perlu memainkan peran langsung dan leluasa untuk memusnahkan ancaman. Hal pertama dan utama yang mendorong lahirnya doktrin baru itu adalah serangan teroris pada 11 September 2001 ke Washington dan New York. Jawaban terhadap serangan teroris itu diberikan AS, yang telah memegang doktrin barunya dengan menggempur Afganistan, yang diyakini sebagai markas Al Qaeda. Adalah Al Qaeda dengan Osama bin Laden yang diyakini AS sebagai aktor di balik aksi teroris di AS. George W Bush sendiri sudah menyatakan bahwa serangan teror 11 September 2001 itu telah memaksa dia untuk mengeluarkan sebuah konsep keamanan nasional baru. Intinya, AS harus menggempur, menggebuk lebih dahulu, sebelum digempur atau digebuk.
40

INVASI pasukan gabungan pimpinan AS ke Irak merupakan implementasi dari strategi keamanan barunya itu. Meskipun dokumen strategi keamanan nasional baru tersebut sama sekali tidak menyebut-nyebut Irak. Pertama kali Irak disebut yakni seminggu sebelum George W Bush memaksa PBB untuk melucuti persenjataan Irak. Bila PBB tidak memberikan izin, AS akan jalan sendiri. Dan, itulah yang dilakukan AS. "Publikasi dari strategi baru itu mengisyaratkan bahwa Irak akan menjadi kelinci percobaan yang pertama, tetapi bukan yang terakhir," komentar seorang pejabat senior yang terlibat dalam penyusunan strategi keamanan nasional baru itu (International Herald Tribune, 11/4/2003). Pada akhirnya, Irak memang menjadi korban pertama strategi keamanan nasional baru AS. Strategi keamanan baru itu, memang, mencitrakan sebuah strategi keamanan yang arogan dan berbahaya. Karena, AS dapat bertindak dan menindak negara lain bila dipandang negara lain membahayakan kepentingannya. Hal itu terungkap dari pernyataan George W Bush dan para pembantunya. Mereka menyatakan bahwa perang terhadap Irak sebenarnya tidak sekadar terhadap Irak. Invasi ke Irak itu merupakan langkah pertama dalam strategi barunya, untuk memberikan "peringatan yang jelas" kepada negara-negara lain yang mendukung terorisme. Menurut mereka, strategi baru itu dapat diperluas untuk diberlakukan terhadap Suriah, Iran, Korea Utara, dan kelompok-kelompok teroris di seluruh dunia. Beberapa pembantu dekat Bush, seperti diungkapkan David E Sanger dan Steven R Weisman dalam tulisannya di International Herald Tribune (11/4/2003), menegaskan bahwa ada demonstration effect dari aksi militer pasukan gabungan pimpinan AS di Irak. Aksi militer itu akan dapat menekan negara-negara tetangga Irak. Pada akhirnya, perang mengubah peta politik dunia. Itu pula yang terjadi dengan invasi pasukan gabungan pimpinan AS ke
41

Irak. Bukan hanya itu, invasi militer AS ke Irak telah pula mengubah tatanan dunia. AS memberikan contoh pemaksaan kehendak. Aksi AS itu merupakan preseden bertindak secara sepihak, yang boleh jadi akan dicontoh negara-negara lain kalau tindakan unilateral itu menguntungkan. Misalnya, India menggempur Pakistan dengan dalih mendapat contoh dari aksi AS di Irak. SEBENARNYA, apa yang dilakukan AS (antara lain didukung Inggris) di Irak mempertegas praktik AS selama ini. Selama ini AS selalu berdalih, "bila kami tidak bertindak, maka keadaannya akan buruk." Itulah yang dilakukan oleh AS, misalnya, di Amerika Latin selama ini, yakni dengan menyingkirkan pemerintahan yang sah. Hanya bedanya, kali ini, tindakan seperti itu dinyatakan secara terus terang dibungkus dalam strategi keamanan nasional barunya. Ketika doktrin containment era Truman ambruk bersama ambruknya Tembok Berlin, maka Bush tampil dengan doktrin pre-emptive-nya manakala ada bukti adanya "ancaman besar". Dalam bahasa lain, kebijakan baru AS tersebut adalah bentuk lain dari imperialisme baru. Yang menjadi pertanyaan kini adalah apakah George W Bush benar-benar menekankan visi tatanan internasional pascaperang. Rasanya yang mendapat tekanan selama ini hanyalah bagaimana memerangi terorisme, tetapi kurang terlihat adanya agenda untuk memperkokoh tatanan internasional dan membuat tatanan internasional jauh lebih baik. Sebagai contoh, apakah akan lahir sebuah tatanan internasional yang lebih baik, lebih adil, lebih menjamin keamanan dari tragedi Irak ini? Banyak yang yakin bahwa invasi militer pasukan gabungan pimpinan AS ke Irak justru akan membuat dunia lebih berbahaya dan terpecah-pecah. Mengapa? Karena, dengan menginvasi Irak dengan alasan yang tidak jelas seperti sekarang ini, AS telah merendahkan serta melecehkan aturan main dan institusi masyarakat
42

internasional. Padahal, seharusnya, AS sebagai satu-satunya negara adikuasa, memperkokoh tata dunia, aturan main dunia, dan institusi masyarakat internasional. Tidak aneh karenanya bahwa masyarakat internasional berpendapat AS melahirkan neo imperialisme baru dan bukannya kepemimpinan baru yang memberikan perlindungan bagi negara-negara lemah. Hal itu sungguh berbeda dengan orientasi strategik lama AS-realisme perimbangan kekuatan dan multilateralisme liberal-mengesankan kematangan kekuatan dunia. AS dalam mengusahakan stabilitas dan mengejar kepentingannya tidak secara fundamental membahayakan posisi negara lain seperti sekarang ini setelah keluarnya strategi keamanan nasional baru. Kebijakan baru itu telah menegaskan AS bahwa tabiat "koboi" tidak melihat kebenaran, tetapi melihat berapa banyak senjata yang dimilikinya untuk menggempur pihak lain. (Trias Kuncahyono)

Bagaimanakah Saddam Menanggapi Kekalahan Irak?


AKANKAH Saddam menerima kekalahan itu dengan mengundurkan diri dari jabatannya yang telah digenggamnya selama 24 tahun dan menyerah kepada pasukan AS, atau ia akan memilih model penyelesaian bunuh diri dengan meminum racun seperti yang ditempuh Adolf Hitler pada Perang Dunia II?> Namun, melihat perjalanan hidup Saddam yang sangat keras, rasanya kecil kemungkinan bahwa Saddam Hussein akan mengambil pilihan yang pertama, yakni mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerah kepada pasukan AS. Saddam merasa terlalu besar untuk melakukan hal itu. Harga diri yang sangat tinggi itulah yang menjadikan ia tidak mau tunduk terhadap tekanan AS dan Inggris. Sebab, jika ia memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerah kepada pasukan AS, maka ia akan diperlakukan
43

sebagai penjahat perang dan diadili di Den Haag, Belanda, seperti yang dialami oleh mantan Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic. Pilihan yang kedua pun rasanya tidak akan diambil oleh Saddam. Selain tempaan perjalanan hidup yang sangat keras, larangan agama pun membuat Saddam tidak akan melakukan tindakan seperti seorang pengecut, yakni bunuh diri. Langkah itu dipilih Adolf Hitler, 30 April 1945, ketika ia menyadari bahwa ia tidak dapat lagi menghalangi gerak maju pasukan Sekutu ke dalam Kota Berlin, ibu kota Jerman. Melihat tidak adanya kemungkinan Saddam Hussein mengambil pilihan yang pertama dan yang kedua, maka satusatunya pilihan yang tersisa adalah menghilang seperti yang ditempuh musuh utama AS, Osama bin Laden. Akan tetapi, gerak maju pasukan AS ke dalam Kota Baghdad berlangsung sangat cepat. Semula diperkirakan pasukan AS akan menghadapi perlawanan sengit dari pasukan elite Irak, Pengawal Republik, sehingga penaklukan Kota Baghdad akan memakan waktu berbulan-bulan. Atau, bahkan, pasukan AS tidak akan dapat memasuki dan menaklukkan Baghdad. Masuknya pasukan AS secara cepat ke dalam Kota Baghdad membuat ruang gerak Saddam Hussein semakin sempit. Sebab, selain harus terus-menerus menghindari gelombang serangan udara dari peluru kendali penjelajah Tomahawk dan pesawat-pesawat tempur AS dan Inggris yang menggunakan bom-bom pintar, Saddam Hussein pun menghadapi kemungkinan digempur dari darat. SEJAK AS memulai invasinya ke Irak dengan menembakkan rudal penjelajah Tomahawk ke Kota Baghdad, tanggal 20 Maret lalu, keberadaan Saddam Hussein tidak pernah jelas. Sempat ada dugaan bahwa Saddam Hussein tewas pada awal serangan udara AS ke Baghdad, yang memang diarahkan ke tempat-tempat yang diduga sebagai kediamannya. Berhari-hari perdebatan berkisar di sekitar Saddam itu masih hidup atau tidak. Apalagi dalam laporan Badan Pusat Intelijen
44

AS (CIA) menyebutkan bahwa mereka mengintersepsi pembicaraan telepon yang menyebutkan bahwa Saddam meminta obat-obatan. Dengan demikian, muncul perkiraan setidaknya Saddam terluka dalam serangan udara pada hari pertama dimulainya invasi AS ke Irak. Beberapa kali Saddam memang sempat muncul di televisi Irak, tetapi karena siaran televisi itu bukan siaran langsung, melainkan direkam terlebih dahulu, maka perdebatan soal Saddam masih hidup atau tidak itu masih tetap berlanjut. Pada tanggal 4 April lalu, saat pasukan AS menguasai Bandara Saddam Internasional, Presiden Saddam Hussein muncul di televisi untuk menyerukan kepada warga Irak guna melawan tentara AS dan sekutunya. Walaupun siaran itu bukan siaran langsung, tetapi AS percaya bahwa Saddam masih hidup. Sebab, dalam pidatonya, Saddam menyebut-nyebut tentang prestasi petani Irak yang berhasil menjatuhkan helikopter tempur AS, Apache, di Irak tengah, pada tanggal 24 Maret, empat hari setelah dilakukannya serangan udara terhadap Kota Baghdad. "Munculnya Saddam itu menunjukkan bahwa ia masih hidup," kata seorang pejabat intelijen yang tidak mau disebutkan namanya. Bukan itu saja, pada tanggal 4 April itu, televisi Irak menyiarkan rekaman Saddam juga berjalan-jalan di salah satu bagian Kota Baghdad. Dalam kesempatan itu, Saddam dikerumuni dan dielu-elukan oleh para pendukungnya, yang sesekali memeluk dan mencium tangannya. Saddam yang berseragam militer berjalan-jalan dengan latar belakang gedung-gedung yang hancur dan dipenuhi oleh kepulan asap hitam pekat yang membubung ke angkasa. Ia juga sempat menggendong seorang anak kecil. Walaupun tidak disebutkan di bagian Kota Baghdad manakah Saddam berjalan-jalan, tetapi kemudian aparat intelijen AS mengetahui bahwa kawasan itu adalah kawasan elite alMansur di barat Kota Baghdad.

45

Pada tanggal 8 April siang, yang merupakan hari kedua kehadiran pasukan AS di Kota Baghdad, sebuah sumber intelijen yang sangat dipercaya menyebutkan bahwa Saddam bersama kedua putranya, Uday dan Cusay, tengah mengadakan pertemuan dengan sekitar 30 pembantunya sambil makan siang di belakang atau di bagian bawah restoran al-Saa di kawasan al-Mansur. Mendengar informasi itu, Komando Pusat AS di Doha, Qatar, segera memerintahkan pesawat pengebom AS B-1B untuk menjatuhkan empat bom pintar, yang masing-masing berbobot 907 kilogram, ke arah restoran al-Saa. Pesawat pengebom B- 1B itu pun segera berangkat dan menjatuhkan empat bom berkekuatan dahsyat itu ke arah restoran, yang diduga menjadi tempat pertemuan Saddam dengan para pembantunya. Akibat yang ditimbulkan oleh ledakan bom penghancur bungker itu sangat luar biasa. Selain menciptakan sebuah kawah sedalam 18 meter, keempat bom itu juga menghancurleburkan empat bangunan bertingkat di tempat itu. Bahkan, tiang-tiang beton dari bangunan-bangunan itu terlempar sejauh 100 meter. Jika pada waktu itu Saddam dan para pembantunya benarbenar berada di restoran al-Saa itu, disangsikan mereka bisa keluar dari tempat itu hidup-hidup. Namun, persoalan yang paling utama adalah apa benar Saddam Hussein berada di restoran al-Saa itu. Sejak hari itu, Saddam Hussein dan kedua putranya memang tidak pernah muncul di depan umum. Demikian juga Menteri Penerangan Irak Mohamed Saeed al-Sahaf yang pada tanggal 8 April siang, sebelum bom penghancur bungker itu dijatuhkan di restoran al-Saa, masih sempat menemui para wartawan asing di Hotel Palestine, untuk meyakinkan para wartawan asing bahwa Baghdad masih di bawah kendali pasukanpasukan Irak.

46

SEANDAINYA Saddam Hussein dan kedua putranya tidak berada di restoran al-Saa siang itu, di manakah sekarang mereka berada? Ini tentunya pertanyaan paling sulit dijawab. Berbagai spekulasi berkembang mengenai di mana Saddam Hussein berada saat ini. Ada yang menyatakan, Saddam masih bersembunyi di Baghdad. Ada yang mengatakan, Saddam Hussein telah menyingkir ke kota kelahirannya di Tikrit, di mana ia akan mendapatkan perlindungan dari pasukan elite Irak, Pengawal Republik, yang sangat loyal kepadanya. Ada pula yang menyatakan, ia telah menyingkir ke Suriah. Berbagai teori bisa dikemukakan untuk berspekulasi tentang ke mana Saddam menghilang. Jika keterangan yang diberikan masuk akal, maka pastilah ada yang mempercayainya. Soal benar atau tidaknya, itu soal lain. Keadaan yang sama juga berlaku bagi Osama bin Laden, yang sampai kini juga belum diketahui keberadaannya. Namun, ada satu hal yang pasti. Jika Saddam masih hidup, ia harus menerima bahwa rakyat Irak sudah tidak lagi menerima kehadirannya. Dengan dijatuhkannya patung raksasa Saddam Hussein di Bundaran Andalus di jantung Kota Baghdad tanggal 9 April lalu, berakhir pula secara umum pemerintahannya. Duta Besar Irak untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Mohamed al-Douri kepada wartawan di New York, AS, pada hari yang sama, mengatakan, "Game is over (Permainan sudah selesai)." Saddam Hussein pasti tidak bertindak seperti orang bebas lagi. AS tidak akan pernah berhenti mencarinya. Dalam benak AS, Saddam Hussein sudah diberikan kesempatan untuk menyingkir dari Irak, sebelum AS menginvasi negara itu. Namun, kesempatan itu telah disia-siakan oleh Saddam. Sebab itu, juru bicara Gedung Putih Ari Fleischer pada tanggal 10 April lalu mengatakan, "Saddam telah kehilangan kesempatan untuk mengasingkan dirinya. Kita tidak tahu nasibnya." Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, jika Saddam yang hidup di pengasingan itu pada suatu hari tertangkap, apakah
47

ia masih mempunyai pilihan? Atau, malahan Tuhan berkehendak lain, dan memanggilnya lebih dahulu sebelum AS menemukannya? Kita hanya bisa menunggu. (James Luhulima)

Irak Baru Menyatukan Oposisi, Membuang Ambisi


SIAPA yang akan memegang kekuasaan di Irak? Pertanyaan itulah yang pertama muncul setelah pasukan gabungan pimpinan Amerika Serikat menduduki Baghdad dan memaksa para elite politik Irak menyingkir, entah ke mana. Tetapi, sebelum pertanyaan itu dijawab, sudah disusul pertanyaan lain: Apakah kelompok-kelompok oposisi-disebut oposisi karena mereka beroposisi terhadap pemerintahan Presiden Saddam Hussein-bisa bersatu. PERTANYAAN pertama, yang mengawali tulisan ini, tidak bisa serta-merta dijawab kalau pertanyaan kedua tidak dijawab lebih dahulu. Jawaban pertanyaan kedua bisa jadi merupakan kunci masa depan Irak setelah rezim Saddam Hussein jatuh. Tentu saja, dengan catatan, kalau jawaban pertanyaan itu positif. Artinya, kelompok-kelompok oposisi bisa bersatu membentuk pemerintahan baru. Irak, secara umum, dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok Sunni yang di zaman Saddam Hussein sebagai kelompok yang memerintah (menurut sensus Juli 2002, berjumlah 32-37 persen dari 24.001.816 jiwa). Kedua, kelompok mayoritas Syiah (60-65 persen). Ketiga, kelompok minoritas, yakni Kristen dan lain-lain (tiga persen). Bila, etnis Kurdi Sunni bisa dimasukkan dalam kategori ini, maka mereka merupakan kelompok keempat. Empat kelompok besar itu masih terbagi menjadi tujuh kelompok lagi. Pertama, kelompok sekular nasional. Kedua, kelompok Islam nasional. Ketiga, kelompok perwira nasional. Keempat, kelompok Kurdi. Kelima, kelompok-kelompok berdasarkan
48

identitas etnik. Keenam, kelompok hak-hak sipil dan minoritas. Ketujuh, oposisi individu atau individu yang punya hubungan dengan salah satu organisasi. Masing-masing masih terbagi beberapa kelompok lebih kecil lagi. Yang masuk dalam kelompok sekular nasional adalah, pertama, Kongres Nasional Irak (INC) yang dibentuk pada bulan Juni 1992, didanai AS dan dipimpin oleh Ahmad Chalabi. Kedua, Kesepakatan Nasional Irak (INA) dibentuk akhir tahun 1990 atas inisiatif Pangeran Turki ibn Faysal dari Arab dengan dukungan agen- agen CIA, Yordania, dan Inggris. Ketiga, Partai Komunis Irak (ICP) berdiri tahun 1934. Keempat, Gerakan Monarki Konstitusional dipimpin Sharif Ali bin al-Husayn (Hussein) dan berafiliasi dengan dengan INC. Kelima, Kelompok Tengah Demokratik (DCT) pimpinan Adnan Pachachi (Adnan Bajaji) mantan Menlu Irak sampai tahun 1968 dan mantan Dubes Irak untuk PBB. Keenam, Dewan Irak Merdeka didirikan pada bulan Februari 1991, oleh Sad Salih Jabr, putra perdana menteri Syiah pertama Irak yakni Salih Jabr (Maret 1947-Januari 1948) atas inisiatif Arab Saudi. Ketujuh, Partai Baath Sosialis IrakKomando Irak yang prosayap Baath Suriah. Kedelapan, Partai Buruh Revolusioner (RWP), didirikan tahun 1965 oleh Hani alFekaiki (anggota Dewan Komando Revolusioner pimpinan Saddam Hussein), Yasin al-Hafid, dan HamdiAbd al-Majid. Kesembilan, Partai Komunis-Buruh Irak (IWCP) dibentuk tahun 1993. Kesepuluh, Partai Tanah Air Irak, didirikan di Yordania tahun 1995 dan kini dipimpin Mishan al-Jaburi. Kesebelas, Aliansi Nasional Irak, didirikan di Swedia Juni 1992 dan dipimpin Abd al-Jabbar al-Qubaysi, mantan pemimpin Partai Bath pro-Suriah. Yang masuk dalam kelompok Islam nasional adalah, pertama, al-Dawa al-Islamiyya, didirikan awal tahun 1958. Kedua, Dewan Tertinggi untuk Revolusi Islam di Irak (SCIRI), yang merupakan partai oposisi Syiah terkuat dengan wilayah pengaruhnya di Irak Selatan dan berpusat di Teheran.
49

Kelompok ini didirikan tanggal 17 November 1982 dengan dukungan Iran dan dipimpin Muhammad Baqr al-Hakim. Ketiga, Organisasi Gugus Tugas Islam yang dibentuk oleh para ulama di Karbala pada tahun 1961. Keempat, Jund al-Imam yang didirikan tahun 1969 dan kini dipimpin Sad Jawad. Kelima, Uni Kekuatan Islam Irak yang merupakan sempalan dari SCIRI (2002) dengan tokohnya antara lain Abu-Haydar alAsadi. Sementara yang masuk kelompok perwira nasional adalah, pertama, Gerakan Perwira Merdeka yang didirikan pada tahun 1996 dan dipimpin oleh Brigjen Najib al-Salihi. Kedua, Dewan Tertinggi bagi Penyelamatan Nasional (HCNS). HCNS bermarkas di Denmark dan didirikan pada 1 Agustus 2002 oleh Mayjen Wafiq Hamud al-Samarrai, mantan Kepala Intelijen Militer Irak. Ketiga, Gerakan Nasional Irak (INM). Kelompok yang merupakan pecahan dari INC ini didirikan tahun 2001 dan salah satu tokohnya adalah Mayjen Hasan al-Naqib, mantan deputi kepala staf yang membelot tahun 1978. Keempat, Koalisi Nasional Irak. Koalisi ini didirikan pada bulan Maret 2000 oleh Tawfiq al-Yasiri, mantan kepala akademi militer dan seorang perwira angkatan laut. Kelima, Gerakan Perwira Irak yang didirikan dan dipimpin oleh Jenderal Fawzi al-Shamari yang berpusat di Washington. SUKU Kurdi yang mendiami wilayah Irak bagian utara pun terbagi paling kurang dalam 13 kelompok. Pertama, Partai Demokratik Kurdistan (KDP), yang secara historis merupakan partai Kurdi utama di Irak Utara. Partai ini didirikan oleh Mullah Mustafa Barzani di Teheran, Desember 1945, dan kini dipimpin Masud (Massaoud) Barzani. Tujuan utama partai ini adalah mendirikan negara merdeka Kurdistan. Kedua, Uni Patriotik Kurdistan (PUK) dibentuk pada bulan Maret 1975 sebagai kelompok oposisi Leninis terhadap kelompok Barzani dan kini dipimpin oleh Jalal Talabani. Ketiga, Partai Demokratik Sosialis Kurdistan (KSDP) yang merupakan
50

pecahan KDP. Partai yang didirikan bulan November 1994 ini dipimpin Muhammad Haji Mahmud. Keempat, Gerakan Islam untuk Kurdistan Irak (IMIK) didirikan tahun 1986 (1987) oleh Shaykh Uthman Abd al-Aziz dan sejumlah ulama Sunni. Kelima, Partai Revolusioner Kurdistan (KRP) yang dibentuk tahun 1972 dan merupakan pecahan KDP. Keenam, Hizbullah Revolusioner Kurdi (KRH), yang didirikan tahun 1988, merupakan pecahan Hizbullah Kurdi. Kelompok ini kini dipimpin Adham Barzani, sepupu Masud Barzani. Ketujuh, Partai Konservatif Kurdi (CPK) yang dibentuk akhir tahun 1991/awal tahun 1992. Kedelapan, Uni Islam Kurdistan (KIU). Kelompok ini merupakan bagian dari Persaudaraan Muslim dan kini dipimpin Salah al-Din Muhammad Bahaal-Din. Kesembilan, Uni Demokratik Nasional Kurdistan (YNDK), yang dibentuk pada bulan Maret 1997 di Provinsi Irbil. Kesepuluh, Partai Pekerja Kurdistan (KTP). Partai ini didirikan tanggal 12 Desember 1985 oleh Khalid Zangana dan kini dipimpin oleh Qadir Aziz. Kesebelas, Partai Aksi untuk Kemerdekaan Kurdistan (PKSK) yang dipimpin Yusif Hanna Yusif alias Abu Hikmat. Keduabelas, Jund al-Islam yang semula bagian dari IMIK, tetapi awal tahun 1998 memisahkan diri dan kini dipimpin Najm al-Din Faraj Ahmad (Najmuddin Faraj) yang lebih dikenal dengan nama Mullah Krekar tinggal di Norwegia. Ketigabelas, Kelompok Islam Kurdistan, yang juga merupakan sempalan dari IMIK dan dipimpin Mullah Ali Bapir. MELIHAT bagitu "terpecahnya" Irak saat ini-paling tidak karena begitu banyaknya kelompok oposisi-pertanyaannya adalah, seperti apa Irak nantinya? Siapa yang akan berkuasa? Apakah Irak nantinya akan menjadi sebuah negara federal dengan memberikan otonomi lebih luas lagi pada etnik Kurdi
51

di Irak bagian utara? Apakah Irak nantinya akan meniru model Lebanon, yakni pos-pos tinggi dibagi di antara tiga komunitas terbesar-Syiah, Sunni, dan Kurdi-dengan sebuah parlemen berdasarkan sistem kuota? Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Tambahan lagi, Irak memiliki sejarah yang penuh konflik dan benturan kepentingan antarkelompok, antaretnik, dan juga antarkelompok agama. Perbedaan kepentingan di antara mereka itu menjadi hambatan penyatuan mereka. Tokoh yang saat ini dijagokan AS adalah Ahmad Chalabi. Apakah tokoh INC yang sudah lebih dari empat dasawarsa meninggalkan Irak bisa diterima semua pihak? Bagaimana peran Muhammad Baqr al-Hakim (SCIRI) ulama Syiah yang begitu berpengaruh? Bagaimana pula peran, misalnya, Jenderal Najib Salhi (dari Perwira Bebas Irak) yang mengklaim punya pengaruh di kalangan tentara atau jenderal-jenderal lainnya yang membelot dari Saddam dan membentuk kelompok-kelompok oposisi? Pada akhirnya, masa depan Irak akan ditentukan oleh kesediaan kelompok-kelompok oposisi itu untuk menyatukan sikap dan kehendak, bukannya mengutamakan kepentingan sendiri atau kelompok. Pemaksaan kehendak oleh AS, misalnya, tidak akan melahirkan Irak baru yang kuat dan bersatu. (Trias Kuncahyono)

Dilema dan Ambivalensi Kaum Syiah Irak


Azyumardi Azra AKAN tetapi, di pihak lain, kekuatan militer yang datang untuk mengakhiri kekuasaan Presiden Saddam Hussein adalah dari Amerika, Inggris, dan Australia. Dan Amerika dalam collective memory orang Syiah umumnya, tidak hanya di Irak, tetapi juga di tempat-tempat lain, khususnya di Iran, adalah "the great satan", yang bersekutu dengan penguasa Iran, Shah Riza Pahlevi, sepanjang 1970-an menindas kaum ulama Syiah
52

di Iran. Namun, revolusi Islam Iran di bawah pimpinan ulama karismatik Ayatullah Khomeini pada tahun 1979 tidak hanya menggusur Shah Iran dari kekuasaannya, tetapi juga mengusir Amerika dari negeri mereka. Lebih jauh lagi, sejak Perang Teluk I (1990-1991), kaum Syiah Irak menentang kehadiran pasukan Amerika dan Barat umumnya untuk menghabisi Presiden Saddam Hussein. Para pemimpin Syiah Irak menentang invasi militer Saddam Hussein ke Kuwait karena "bangsa Kuwait adalah saudara-saudara seiman dan seislam". Dan, karena itu, secara diam- diam mereka menyetujui aksi militer gabungan pimpinan Amerika membebaskan Kuwait. Namun, mereka menolak jika pasukan gabungan melangkah lebih jauh dengan menyerbu Irak untuk menjatuhkan Saddam Hussein. Selain berkaitan dengan collective memory mengenai pertarungan Ayatullah Khomeini dengan Amerika, keberatan terhadap masuknya pasukan gabungan Barat ke Irak juga berkaitan dengan beberapa hal lain. Pertama, bagi banyak pemimpin Syiah Irak, serangan militer ke negara mereka hanya akan memecah belah negara- bangsa Irak ke dalam tiga pengelompokan besar, Sunni, Syiah, dan Kurdi. Kedua, perang hanya akan menghancurkan tentara Irak yang sebenarnya merupakan kekayaan rakyat Irak. Ketiga, Amerika dan pasukan gabungan yang membebaskan Kuwait gagal membantu kaum Syiah Irak dalam pemberontakan bersenjata mereka melawan penindasan Presiden Saddam Hussein seusai pembebasan Kuwait. Mulai 2 Maret 1991, kaum Syiah melancarkan pemberontakan bersenjata di sejumlah kota di wilayah Irak Selatan, seperti Basrah, Najaf, Nassiriyah, Di- waniyah, Karbala, Samawa, Suq al-Syuyukh, Zubayr, dan Kut. Pemberontakan kaum Syiah Irak ini didasari dua asumsi. Pertama, angkatan bersenjata Irak, khususnya Pengawal Republik, telah sangat lemah setelah usainya Perang Kuwait.
53

Kedua, AS dan pasukan gabungan tidak akan membiarkan Saddam Hussein menggunakan senjata-senjata penghancur terhadap kaum Syiah yang memberontak. Kedua asumsi itu ternyata keliru; Pengawal Republik ternyata masih sangat kuat. Lebih celaka lagi, AS dan pasukan gabungan tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan pasukan Saddam Hussein yang menggunakan helikopter tempur dan persenjataan maut lainnya karena khawatir bantuan itu hanya memberikan momentum kepada gerakan Syiah Irak yang mereka yakini sangat pro-Iran. Hasilnya, pemberontakan kaum Syiah dengan mudah dapat dipadamkan Saddam Hussein yang diikuti dengan represi lebih drastis terhadap mereka. Dengan memandang berbagai konteks historis tersebut, bisa dipahami tidak ada tepuk tangan meriah dan kegembiraan dari kaum Syiah umumnya atas kedatangan pasukan AS dan sekutunya dalam perang sekarang ini. Padahal, jelas, sebenarnya mereka ingin Saddam Hussein tumbang dari tampuk kekuasaannya. Bahkan, dalam perkembangan lebih lanjut, ketika "Perang Teluk II" semakin bergejolak- yang juga menjadikan Karbala dan Najaf, dua kota suci Syiah di Irak, sebagai sasaran serangan membabi buta-kemarahan kaum Syiah Irak kepada Amerika kembali menguat. Sebab itu, para perancang dan pelaksana perang Amerika dan Inggris boleh saja menganggap bahwa mereka "berjasa besar" dalam membebaskan kaum Syiah dari penindasan Saddam Hussein. Akan tetapi, aksi-aksi militer AS dan sekutunya terhadap Karbala dan Najaf telah melukai perasaan keagamaan terdalam kaum Syiah tidak hanya di Irak, tetapi juga di tempat-tempat lain. JADI, pada dasarnya terdapat dilema yang memunculkan ambivalensi kaum Syiah Irak dalam menyikapi operasi militer AS di Irak. Sikap kaum Syiah Irak tersebut berbeda tajam dengan sikap sebagian masyarakat Kurdi Irak yang akhirnya bersekutu dengan AS dan Inggris untuk mengganyang Saddam Hussein.
54

Kaum Syiah Irak-antara lain karena alasan di atas-tidak mau bergabung dengan kekuatan militer AS dan sekutunya. Sebaliknya, bahkan terdapat bukti-bukti kuat bahwa mereka ikut dalam perlawanan menghadapi invasi Amerika dan kaki tangannya, khususnya ketika tempat-tempat suci dan lingkungan permukiman mereka menjadi sasaran rudal dan senjata-senjata penghancur lainnya. Karena itu, hampir bisa dipastikan kaum Syiah Irak umumnya tidak antusias menyambut pemerintahan boneka pascaSaddam Hussein yang dibentuk Amerika. Pemerin- tahan Irak bentukan AS yang pada dasarnya merupakan semacam "pemerintahan transisi" bisa diduga akan kembali didominasi para pemimpin oposisi Saddam Hussein yang umumnya juga adalah dari kalangan Sunni. Memang terdapat juga pemimpin oposisi dari kalangan Syiah. Akan tetapi, dalam berbagai pertemuan para pemimpin oposisi baik yang diselenggarakan di London maupun di tempattempat lain, pemimpin oposisi dari kalangan Syiah tidak menduduki posisi penting. Hal ini tidak terlalu sulit dipahami. Pertemuan-pertemuan para pemimpin oposisi itu, apakah secara terbuka atau tertutup, dilakukan atas dasar sponsor atau dorongan Amerika yang karena pengalaman traumatiknya menghadapi kaum Syiah Iran masih sangat curiga kepada kaum Syiah Irak. Dengan demikian, secara cukup sistemik dan terencana, Amerika menyisihkan kaum Syiah dalam pemerintahan Irak pasca-Saddam Husein. Lagi pula, dalam perspektif Amerika, memberikan peluang kepada kaum Syiah Irak berarti memberikan momentum kepada mereka, cepat atau lambat, untuk menguasai pemerintah, yang pada gilirannya dapat mengancam status quo dominasi AS tidak hanya di negeri seribu satu malam, tetapi juga bahkan di kawasan Teluk secara keseluruhan. Lebih jauh dalam pandangan Washington, keadaan ini bisa menjadi lebih gawat lagi jika kaum Syiah Irak
55

mengembangkan jaringan militan dan radikal dengan kaum Syiah Iran yang, seperti dikemukakan di atas, membuat Amerika bertekuk lutut. DENGAN tidak atau kurang mengakomodasi kaum Syiah Irak, Amerika mengabaikan begitu saja realitas demografis-religius Irak, dan karena itu telah meletakkan bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu di masa depan. Penting dikemukakan, dalam komposisi demografiskeagamaan Irak tahun 2002, kaum Syiah mencapai 63 persen dari total penduduk sekitar 24 juta. Kemudian, kaum Sunni 34 persen dan penganut Kristen dan Yahudi 3 persen. Adapun secara etnis, antara 75 hingga 80 persen penduduk Irak adalah Arab, 15-10 persen adalah suku Kurdi, dan sekitar lima persen merupakan suku bangsa Turkoman, Persia, Mandean, dan Yazid. Komposisi etnis ini mengindikasikan bahwa meski mayoritas penduduk Irak adalah kaum Syiah, mereka ini adalah "Syiah Arab", bukan "Syiah Persia" (atau Syiah Iran). Karena itulah, sebenarnya kekhawatiran AS dan sekutunya terhadap "jaringan" Syiah Irak dengan Syiah Iran merupakan hal yang berlebihan. Sebab, bagi kaum Syiah Irak, identitas pertama-tama bagi mereka adalah "kearaban" (arabness); kesyiahan baru datang kemudian. Singkatnya, mereka sebenarnya lebih Arab daripada Syiah. Dan, karena itu pulalah dalam invasi AS ke Irak sekarang ini, kaum Syiah lebih memilih untuk membela tanah air dan bangsa Arab daripada mendahulukan kepentingan dan sentimen kesyiahan mereka sendiri yang, seperti dikemukakan di atas, agaknya terpuaskan dengan tumbangnya Saddam Hussein. Perbedaan-perbedaan "fundamental" antara Syiah Irak dan Syiah Iran seperti itu sering diabaikan banyak orang, khususnya Amerika. Perbedaan- perbedaan itu, seperti diungkapkan Yitzahak Nakash dalam bukunya, The Shi`is of
56

Iraq (1996), berkaitan dengan kenyataan bahwa kaum Syiah Irak relatif belum lama menjadi Syiah. Proses berpindahnya orang- orang Arab Irak baru terjadi secara signifikan pada akhir abad ke-19, ketika kabilah-kabilah Arab yang nomadik mulai menetap dan mengusahakan pertanian. Kenyataan tersebut berbeda dengan Muslim Persia (Iran) yang secara massif berpindah dari Sunni menjadi Syiah pada masa Dinasti Safawi sejak abad ke-16, yang kemudian mewariskan negara Iran modern yang secara resmi menganut mazhab Syiah hingga sekarang ini. Sebaliknya, kaum Syiah Irak yang mengalami pembentukan identitas baru pada akhir abad ke-19 gagal mewujudkan citacita dan konsep "negara Syiah". Gagasan tentang pembentukan sebuah "negara Syiah" pernah mencuat di kalangan kaum Syiah Irak pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Akan tetapi, gagasan dan upaya realisasinya gagal total berikutan dengan pendudukan Inggris pada 1917 dan pembentukan monarki Irak dengan Raja Faisal pada 1921. Pembentukan monarki di bawah mandat Inggris ini merupakan titik awal dominasi kaum Sunni dalam pemerintahan Irak pada masa modern-kontemporer. Pemerintahan Irak silih berganti, yang didominasi para penguasa dan politikus Sunni, secara sistematis berhasil melucuti pengaruh ulama-ulama Syiah, dalam bidang politik, sosial, dan bahkan ekonomi. Struktur-struktur keagamaan, organisasi-organisasi, dan lembaga-lembaga Syiah ditempatkan di bawah kontrol pemerintah Sunni dan dibuat tergantung secara ekonomi pada anggaran negara. Hasil akhirnya adalah terbentuknya sepanjang abad ke-20 suatu corak Syiah Irak yang relatif berbeda dengan Syiah Iran. MEMPERTIMBANGKAN perjalanan historis kaum Syiah Irak dan ketakutan Amerika dan sekutunya terhadap segala sesuatu yang berbau Syiah, bisa dipastikan bahwa kaum Syiah Irak akan tetap menempati posisi marjinal dalam pemerintahan
57

pasca-Saddam Hussein. Hal ini tentu saja ironis dengan kenyataan bahwa kaum Syiah merupakan penduduk mayoritas di Irak. Dan jika demokrasi adalah majority political processes, maka apa yang terjadi di Irak pasca-Saddam Hussein mencerminkan kontradiksi yang pahit. Karena itu, menjadi tanda tanya besar apakah Amerika cukup berani melakukan democratic opening di Irak untuk menggantikan "pemerintahan transisi" yang dikendalikan AS. Banyak kalangan Amerika dan Barat memiliki kecenderungan untuk memegang konsep yang mereka sebut sebagai democracy trap, jebakan demokrasi, bahwa jika demokrasi diberikan, maka sangat mungkin pihak yang tidak dikehendaki- dalam konteks Irak adalah kaum Syiah-akan berkuasa. Democratic opening yang memunculkan democracy trap pernah terjadi dalam pengalaman FIS yang menang dalam pemilu di Aljazair beberapa tahun lalu, tetapi kemudian dibatalkan melalui berbagai rekayasa. Memang masih terlalu dini untuk memprediksi perkembangan "demokrasi" macam apa yang diterapkan di Irak pasca-Saddam Hussein. Kita harus menunggu perkembangan-perkembangan lebih lanjut. Wallahualam bissawab. Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah Sosial- Intelektual Islam

dan Rektor UIN Jakarta.

Menhan AS: Pemerintah Baru Irak Sebaiknya Tidak Teokratik


Washington, Selasa - Walaupun Amerika Serikat menyatakan akan memberikan kesempatan kepada rakyat Irak untuk menentukan pemerintahnya sendiri, AS mengharapkan agar pemerintah baru Irak itu demokratis, di mana hak-hak kelompok minoritas dijamin. "Sebaiknya Irak tidak mencontoh Iran yang menganut pemerintahan teokratik yang dijalankan oleh para ulama," kata Menteri Pertahanan AS Donald H
58

Rumsfeld dalam jumpa persnya di Pentagon, Washington DC, Selasa (22/4). Rumsfeld mengemukakan, Pemerintah Irak mendatang sebaiknya demokratis dan menjamin kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan beragama. "Berbagai kelompok etnik dan kelompok agama di Irak harus mempunyai suara (terwakili-Red) dalam pemerintah baru Irak," ujarnya. Beberapa demonstran di Iran, terutama dari kelompok mayoritas Islam Syiah, baru-baru ini menyerukan agar Irak dijadikan sebuah republik Islam, seperti di Iran, di mana ulama tertinggi Syiah-yang dikenal dengan nama ayatullahyang mempunyai kata akhir. Rumsfeld mengatakan, pemerintah seperti itu tidaklah demokratis. Dalam kesempatan itu, Rumsfeld dengan berang membantah pemberitaan surat kabar New York Times. Dalam media itu disebutkan, Washington berencana mengadakan hubungan militer jangka panjang dengan pemerintah baru Irak, yang akan memberikan akses kepada AS untuk menggunakan pangkalan-pangkalan di negara tersebut. Menurut Rumsfeld, berita itu bisa memberikan kesan bahwa AS berniat menduduki negara tersebut dan berencana menggunakan pangkalan-pangkalan Irak untuk waktu yang lama. Padahal, berita itu sama sekali tidak benar. "Kami (pemerintahan George Bush-Red) sama sekali tidak pernah mendiskusikan tentang penggunaan empat pangkalan udara Irak untuk jangka waktu yang lama," kata Rumsfeld. Ia menegaskan, kecil kemungkinan AS mempertahankan militernya di Irak untuk jangka waktu yang lama. Pembentukan pemerintah baru yang bersahabat di Baghdad dapat menjadi alasan untuk mengurangi jumlah pasukan AS di Irak. Sejak Perang Teluk 1991, AS mempertahankan kehadiran pasukan secara konstan di wilayah itu. Ada sekitar 23.000
59

tentara AS di kawasan tersebut, antara lain untuk menjaga ladang-ladang minyak besar di Arab Saudi dan Kuwait. Disambut hangat Sementara itu, Jenderal (Purnawirawan) Jay Garner yang ditugaskan memimpin pemerintah sipil Irak sampai pemerintah baru Irak terbentuk, kemarin, mengadakan pertemuan dengan dua pemimpin utama suku Kurdi. Garner yang disambut hangat oleh masyarakat dan mahasiswa di kawasan otonomi di bagian utara Irak itu bertemu dengan Jalal Talabani dari Persatuan Patriotik Kurdi dan Massoud Barzani dari Partai Demokratik Kurdi (KDP). Kedua pemimpin itu menguasai bagian utara Irak sejak tahun 1991. Pensiunan jenderal yang berusia 65 tahun itu memang bukan orang baru bagi suku Kurdi. Tahun 1991 ia membantu suku Kurdi setelah mereka diserang oleh pasukan Saddam Hussein. Tak heran jika Garner menyebut kunjungannya itu seperti kembali ke rumah sendiri. Hal yang sama disebut oleh Talabani. Keadaan yang berbeda dialami Garner sehari sebelumnya ketika ia tiba di Baghdad. Ia disambut dengan kritikan tajam. Banyak kalangan di Irak dan di negara-negara Arab yang mencurigai bahwa Garner akan menjadi alat bagi AS untuk menduduki Irak. Dalam pertemuan dengan Garner, Hosyari Zebari, Direktur Hubungan Internasional KDP, mengatakan, "Kami pikir kami akan mendapatkan lebih jika tetap bergabung dengan Irak, dan kepentingan kami terwakili, daripada kami membentuk negara sendiri. Sebab itu, saya melihat federalisme adalah kunci bagi Kurdi di dalam suatu Irak yang baru." Sampai saat ini belum diketahui pemerintahan seperti apa yang akan dibentuk di Irak. Para pemimpin politik dan pemimpin agama Irak, bersama dengan para pejabat AS dan
60

Inggris, akan bertemu kembali dalam pertemuan kedua untuk membahas masa depan Irak. (AP/AFP/Reuters/jl)

61

You might also like