You are on page 1of 21

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA I PERCOBAAN IV KINETIKA REAKSI KIMIA

OLEH: NAMA STAMBUK KELOMPOK ASISTEN : : : : NURRAMADHANI.A.SIDA F1F1 11 114 5 HARDIN AGUSMAN, S.Si

LABORATORIUM FARMASI PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN UMUM UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI

2012

PERCOBAAN IV KINETIKA REAKSI KIMIA

A. TUJUAN Mempelajari kinetika suatu reaksi kimia, dan menentukan waktu kadaluwarsa obat.

B. LANDASAN TEORI Kinetika kimia merupakan bagian ilmu kimia fisika yang mempelajari laju reaksi kimia, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta penjelasan hubungannya terhadap mekanisme reaksi. Kinetika kimia disebut juga dinamika kimia, karena adanya gerakan molekul, elemen atau ion dalam mekanisme reaksi dan laju reaksi sebagai fungsi waktu. Mekanisme reaksi adalah serangkaian tahap reaksi yang terjadi secara berurutan selama proses perubahan reaktan menjadi produk. Mekanisme reaksi dapat diramalkan dengan bantuan pengamatan dan pengukuran besaran

termodinamika suatu reaksi, dengan mengamati arah jalannya reaktan maupun produk suatu system. Syarat untuk terjadinya suatu reaksi kimia bila terjadi penurunan energy bebas (t G < 0) (Crys, 2003). Ada beberapa reaksi yang laju reaksinya tidak bergantung pada konsentrasi pereaksinya, misalnya reaksi fotosintesis dan reaksi- reaksi permukaan. Reaksi semacam ini dikatakan berorde reaksi nol. Contoh reaksi yang berorde nol misalnya penguraian amoniak pada permukaan katalis wolfram (Endang, 2007).

Beberapa prinsip dan proses laju dalam bidang kefarmasian antara lain ; (1) kestabilan dan tak tercampurkan proses laju umumnya adalah sesuatu yang yang menyebabkan ketidakaktifan obat karena perubahan bentuk fisik dan kimia yang kurang diinginkan dari obat tersebut; (2) Disolusi, disini diperhatikan terutama kecepatan berubahnya obat dalam bentuk sediaan padat menjadi bentuk larutan molekular; (3) proses absorbsi, distribusi, eliminasi beberapa proses ini berkaitan dengan laju absorbsi obat kedalam tubuh, laju distribusi obat dalam tubuh dan laju pengeluaran obat setelah proses distribusi dengan berbagai factor, seperti metabolisme, penyimpanan dalam organ tubuh lemak, dan melalui jalur-jalur pelepasan; (4) kerja obat pada tingkat molecular obat dapat dibuat dalam bentuk yang tepat dengan menganggap timbulnya respons dari obat merupakan suatu proses laju (Martin, 1993). Para pembuat obat harus tahu waktu paruh obat. Waktu paruh suatu obat dapat memberikan gambaran stabilitas obat, yaitu gambaran kecepatan terurainya obat atau kecepatan degregasi kimiawinya. Panas, asam-asam, alkali-alkali, oksigen. Cahaya, dan faktor-faktor lain dapat menyebabkan rusaknya obat. Mekanisme degradasi dapat disebabkan oleh pecahnya suatu ikatan, pergantian spesies atau perpindahan atomatom dna ion-ion jika dua molekul bertabrakan dalam tabung reaksi. Keceptan dekomposisi obat ditujukan oleh kecepatan perubahan konsentrasi mula-mula satu atau lebih reakyan dan ini dinyatakan dengan tetapan kecepatan reaksi K, yang untuk oede satu dinyatakan sebagai harga resiprok dari detik, menit, atau jam. Dalam

suatu reaksi kecepatan terurainya suatu zat padat mengikuti reaksi orde nol, orde I ataupun orde II. Untuk menentukan kecepatan dekomposisi suatu zat/obat, digunakan metode elevated, yaitu terurainya zat/obat tersebut dipercepat dengan memanaskannya pada temperature yang lebih tinggi. Log K versus 1/T dinyatakan dalam grafik dengan menentukan persamaan garis regresi linear akan didapatkan harga k pada temperature kamar untuk menentukan waktu kadaluarsa obat. Metode ini dikenal sebgaai studi stabilitas dipercepat (Anonim, 2012). Prinsip yang mendasari semua ilmu kinetika adalah hukum aksi. Hukum ini menyatakan bahwa reaksi kimia yaitu kecepatan reaksi sebanding dengan masa aktif senyawa yang bereaksi. Dalam praktiknya, laju suatu reaksi kimia hanya bergantung pada beberapa konsentrasi dan jumlah perpangkatan konsentrasi ini diistilahkan dengan orde reaksi. Hal ini dikarenakan reaksi kimia terjadi dalam beberapa tahap dan laju keseluruhan reaksi sering ditentukan oleh laju tahap yang paling lambat (Donald, 2003). Orde reaksi dapat ditentukan dengan beberapa metode, yaitu : a. Metode Subtitusi. Data yang terkumpul dari hasil pengamatan jalannya suatu reaksi disubstitusikan ke dalam bentuk integral dari persamaan berbagai orde reaksi. Jika persamaan itu menghasilkan harga k yang tetap konstan dalam batas-batas variasi percobaan, maka reaksi dianggap berjalan sesuai dengan orde tesebut.

b. Metode Grafik. Plot data dalam bentuk grafik dapat digunakan untuk mengetahui orde reaksi tersebut. Jika konsentrasi diplot terhadap t dan didapatkan garis lurus, reaksi adalah reaksi nol. Reaksi dikatakan orde pertama bila log (a-x) terhadap t menghasilkan garis lurus. c. Metode waktu paruh. Dalam reaksi orde nol, waktu paruh sebanding dengan konsentrasi awal. Waktu paruh reaksi orde-pertama tidka bergantung pada konsentrasi awal, waktu paruh untuk reaksi orde kedua, dimana a=b=c, sebanding dengan 1/a2. Umumnya hubungan antara hasil di atas memperlihatkan bahwa waktu paruh suaut reaksi dengan konsentrasi seluruh reaktan sama (Martin, et all., 1993). Pengaruh Suhu Terhadap Harga k, semakin tinggi suhu maka semakin tinggi harga k yang diperoleh, hal ini sesuai dengan persamaan Arrchenius : k = A e(-Ea/RT) dimana : T = Suhu absolut ( C) R = Konstanta gas umum (cal/gmol K) E = Tenaga aktivasi (cal/gmol) A = Faktor tumbukan k = konstanta kinetika reaksi Dari persamaan diatas di dapat k ( konstanta kinetika reaksi ) berbanding lurus dengan suhu ( T ). Semakin lama waktu reaksi maka harga k semakin berkurang, hal ini menunjukkan reaksi dalam kondisi mendekati kesetimbangan. Pengaruh

Penambahan Katalis Terhadap Harga k Dari tabel diatas menunjukkan semakin banyak katalis yang digunakan maka harga k yang diperoleh semakin besar, hal ini menunjukkan bahwa jumlah katalis mempengaruhi terbentuknya metal ester. Sesuai dengan mekanisme reaksi esterifikasi dengan katalis asam. Semakin banyak H+ ( katalis ) semakin cepat reaksi dapat di arahkan ke produk (Sari, 2010). Dengan naiknya suhu pereaksi, maka suplai enenrgi untuk mengaktifkan pereaksi dan tumbukan antar pereaksi untuk menghasilkan reaksi juga akan bertambah, sehingga prosuk yang dihasillkan menjadi lebih banyak. Nilai konstanta kecepatan reaksi (K) naik dengan kenaikan suhu reaksi. Hal ini sesuai dengan teori Arrhenius dan pernyataan Westerterp (1984), bahwa kenaikan suhu akan menaikan nilai konstanta kecepatan reaksi (Khairat, 2003). Peningkatan suhu reaksi, mempercepat kenaikan konsentrasi ALB(CD), memperbesar penurunan konsentrasi A(CA), atau dengan kata lain menaikan konversi (XA). Hal ini disebabkan karena dengan naiknya suhu reaksi, maka suplai energi untuk mengaktifkan pereaksi dan tumbukan antar pereaksi untuk menghasilkan reaksi juga akan bertambah, sehingga produk yang dihasilkan menjadi lebih banyak. Nilai konstanta kecepatan reaksi (k) naik dengan kenaikan suhu reaksi (rata-rata kenaikannya 2 kali dari nilai awal), hal ini sesuai dengan teori Arrhenius dan pernyataan Westerterp (1984), bahwa kenaikan suhu akan menaikan nilai konstanta kecepatan reaksi, di mana kenaikan 10C suhu reaksi menaikan konstanta kecepatan reaksi sebanyak 2 kali dari nilai awal (Khairat, 2003).

C. ALAT DAN BAHAN

1. ALAT

Adapun alat yang digunakan : a. Gelas kimia 500 ml 2 buah b. Thermometer 1 buah c. Statis dan klem 1 buah d. Hotplate 1 buah e. Spektrofotometer 1 buah f. Kuvet 2 buah g. Tabung reaksi 6 buah h. Gegep i. stopwatch 2. BAHAN Adapun bahan yang digunakan yaitu : a. Larutan asetosal b. Air c. Es batu d. FeCl3

D. PROSEDUR KERJA

Asetosal

- Dimasukan

masing-masing

ml

kedalam tabung

Tabung I

Tabung II

Tabung III

Tabung IV

Tabung V

Dipanaskan dalam gelas kimia yang terlah dipanaskan pada suhu 40oC pada variasi 5, 10, 15, 20, 25 menit.

Didinginkan dalam es selama 1 menit

Ditambahkan FeCl3 2 tetes Diukur absorbansinya

A= 3,697

A= 3,702

A= 3,657

A= 3,655

A= 3, 567

Dihitung waktu kadaluarsanya.

Hasil ??

E. HASIL PENGAMATAN 1. Tabel Sampel Tabung I Tabung II Tabung III Tabung IV Tabung V Waktu (Menit) 5 10 15 20 25 Serapan (A) 3,697 3,702 3,657 3,655 3,567 K (menit-1) -4,09.10-3 -2,22.10-3 -6,678.10-4 -5,01.10-4 5,94.10-4 Log c (y) = log A 0,5678 0,5684 0,5631 0,5628 0,5523

Sampel tabung VI (Co) serapannya, A= 3, 622 2. Perhitungan. Menghitung nilai konstanta laju (K) masing-masing sampel : i. Tabung I

ii.

Tabung II

iii.

Tabung III

iv.

Tabung IV

v.

Tabung V

Menentukan waktu paruh dan kadaluarsa obat Dari kurva hubungan waktu (t) terhadap log C diperoleh persamaan : y = -0.000x + 0,573

Dari persamaan tersebut diperoleh :

Untuk waktu paruh :

Untuk waktu kadaluarsa,

3. Kurva

3.72 3.7 3.68 Absorbansi 3.66 3.64 3.62 3.6 3.58 3.56 0

Kurva hubungan absorbansi terhadap waktu

absorbansi

10

15 waktu (t)

20

25

30

KURVA HUBUNGAN WAKTU TERHADAP LOG C


0.575 0.57 Log C 0.565 0.56 0.555 0.55 0 5 10 15 Waktu (menit) 20 25 30 y = -0.0007x + 0.5739 R = 0.8037 Log C Linear (Log C)

F. PEMBAHASAN Pada praktikum ini dilakukan pengukuran laju reaksi suatu bahan obat dengan menggunakan prinsip elevated. Prinsip elevated menjelaskan tentang pengaruh pemanasan terhadap kelarutan atau laju reaksi, dimana bila panas diberikan lebih, maka laju reaksi meningkat dan kelarutan juga bertambah, begitupun sebaliknya. Pada ilmu farmasi, laju reaksi sangatlah penting dalam menentukan waktu kadaluarsa dari suatu obat. Selain itu seorang calon apoteker dan apoteker harus mengetahui waktu paruh suatu obat, karena waktu paruh suatu obat dapat memberikan gambaran stabilitas obat yaitu terurainya obat. Saat farmasist mengetahui stabilitas obat, maka farmasist akan mengetahui waktu larut obat dalam tubuh. Dalam praktikum kali ini bahan obat yang digunakan yaitu asetosal yang merupakan ester dari asam karboksilat atau derivate dari asam salisilat. Percobaan diawali dengan memasukan 5 ml asetosal kedalam 5 tabung reaksi, yang selanjutnya tabung-tabung tersebut dimasukan secara bersama-sama kedalam gelas kimia 500 ml yang sebelumnya telah dipanaskan diatas hotplate dengan suhu 40oC. Ketika termometer telah menunjukan suhu 400C, tabung dimasukan dan hotplate dimatikan, tujuannya agar suhu tidak bertambah sehingga prosedur kerja sesuai dengan penuntun, dan diharapkan hasil yang diperoleh tidak jauh beda dari teori. Pemanasan yang diberikan untuk percobaan ini yaitu pada suhu yang tidak terlalu panas dan tidak dibawah suhu kamar pada saat itu yaitu dibawah 32oC. Panas yang diberikan hanya

untuk mempercepat laju reaksi sehingga solute lebih larut dalam solven. Tabung pertama dipanaskan selama 5 menit, lalu disimpan kedalam es dan begitu seterusnya hingga tabung ke V. Pembeda setiap tabung adalah waktu pemanasan, bila tabung pertama 5 menit, maka tabung kedua 10 menit, selisih setiap tabung adalah 5 menit, maka tabung ke V dipanaskan selama 25 menit. Waktu pemanasan ini

mempengaruhi dekomposisi atau terurainya obat, dimana semakin lama dipanaskan maka obat akan makin mengurai atau terdekomposisi, begitupun sebaliknya. Hal ini dikarenakan lama pemanasan meningkatkan laju reaksi larutan sehingga kecepatan terurai juga meningkat seperti yang terlihat pada hubungan konstanta kinetika reaksi dengan suhu pada persamaan arrchenius. Dimana hubungan konstanta kinetika reaksi berbanding lurus dengan waktu bila tenaga aktivasi, konstanta gas umum dianggap kosntan. Dengan kata lain, semakin lama dipanaskan, maka konstanta kinetika reaksi juga bertambah. Adapun tujuan dilakukan pemanasan ini adalah untuk mempercepat terurainya zat/obat pada temperatur yang lebih tinggi dari suhu kamar. Setelah dipanaskan, asetosal didinginkan dalam es, penurunan suhu yang drastis dari panas ke dingin membuat proses penguraian zat dalam obat terhenti atau proses kinetika reaksinya terhenti. Setelah larutan dingin, ditambahkan FeCl3 sebagai zat kompleks kedalam tabung reaksi, dan reaksi yang terjadi :

Ketika bereaksi, FeCl3 memutuskan ikatan gugus OH pada senyawa asetosal dan mengikat 3 senyawa asetosal yang memberikan perubahan warna ungu pada larutan. Lalu larutan secara bergantian dimasukan kedalam spektrofotometer untuk diketahui absorbansi masing-masing larutan. Hasil pengukuran absorbansi yang

diperoleh kurang akurat, hal ini disebabkan pemberian FeCl3 yang berlebih, sehingga larutan berwarna ungu pekat dan spektro tidak dapat membaca dengan jelas absorbansinya. Bila berpatokan pada rumus kinetika reaksi, maka yang diperlukan untuk mengetahui tetapan kecepatan reaksi yaitu konsentrasi mula-mula zat dan konsentrasi pada waktu t. Tetapi bila ditinjau pada hukum Lamber-beer, hubungan absorbansi dengan konsentrasi adalah berbanding lurus bila absorbtivitas dan panjang kuvet dianggap konstan. Berdasar pada teori ini, maka untuk konsentrasi awal dan akhir digunakan hasil pengukuran absorbansi pada variasi waktu, dan hasil pengukuran absorbansi larutan standar.

Dari hasil yang diperoleh, hubungan absorbansi dengan lama pemanasan bahan obat berbanding terbalik, dimana semakin lama dipanaskan maka absorbansinya semakin kecil, Secara teori hal ini benar. Lamanya pemanasan

membuat penguraian zat aktif dan zat pelengkap dalam obat semakin besar sehingga absorbansi yang dihasilkan kecil. Hal ini dikarenakan molekul-molekul obat yang semula berupa granul berubah menjadi molekul-molekul yang lebih kecil lagi sehingga cahaya lebih mudah diserap oleh larutan ketimbangan larutan dengan bentuk molekul yang lebih besar. Bila absorbansi kecil maka kinetika reaksi atau

laju reaksinya juga kecil, dimana absorbansi berbanding lurus dengan laju reaksi. Dengan kata lain lama pemanasan mempengaruhi absorbansi dan laju reaksi obat dan berbanding terbalik dengan lama pemanasan itu sendiri. Bila dilihat pada kurva hubungan Log C terhadap lama pemanasan, hubungan keduanya adalah berbanding terbalik. Log C merupakan logaritma dari nilai absorbansi dan absorbansi berbanding lurus dengan laju reaksi. Dari kurva hubungan log C dengan lama pemanasan, diperoleh persamaan garis lurus yang digunakan untuk menentukan nilai koefisien reaksi yang nantinya juga ikut dalam penentuan waktu paruh dan waktu kadaluarsa obat. Namun, persamaan reaksi yang dihasilkan pada percobaan ini bila dimasukan kedalam rumus penentuan waktu paruh dan waktu kadaluarsa, maka hasil akhirnya adalah nol. Berdasarkan hasil yang diperoleh, menunjukan bahwa obat yang digunakan tidak layak uji, karena obat tersebut telah mencapai masa kadaluarsanya sebelum dilakukan

percobaan terhadap waktu paruh dan waktu kadaluarsanya. Namun, nilai hasil perhitungan waktu paruh dan waktu kadaluarsa yang diperoleh tidak akurat karena dampak pemberian FeCl3 berlebih yang mempengaruhi hasil pembacaan

spektrofotometer sehingga menghasilkan nilai absorbansi yang tidak akurat dan secara otomatis nilai Log C juga tidak akurat, sehingga persamaan yang diperoleh juga salah.

G. KESIMPULAN Adapun kesimpulan dari praktikum ini yaitu : Kinetika reaksi berhubungan dengan laju reaksi, dimana laju reaksi berhubungan dengan waktu paruh obat yang penting untuk mengetahui waktu larut obat dalam tubuh. Untuk menguji laju reaksi digunakan prinsip alevated. Waktu paruh dan waktu kadaluarsa obat yang diperoleh yaitu 0 menit.

DAFTAR PUSTAKA Anonym. 2012. Penuntun Praktikum Kimia Farmasi Fisika. Unhalu, Kendari Crys Fajar P, Heru P, dkk, 2003, Kimia dasar 2, Yogyakarta : IMSTEP UNY Endang.2007. Kinetika Kimia. Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA UNY Khairat, 2003. Kinetika Reaksi Hidrolisis Minyak Sawit dengan Katalisator Asam Klorida. FT, Universitas Riau. Pekanbaru Martin, Alfred, et all. 1993. Dasar-dasar kimia fisik dlm ilmu farmasetiik fisik. UI Press. Jakarta Sari, Annas Puspita. 2010. Kinetika Reaksi Esterifikasi Pada Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Dedak Padi. Jurusan Teknik Kimia. Diponegoro

You might also like