You are on page 1of 3

Perkembangan Tasawuf di Indonesia

Perkembangn Tasawuf sebelum masa kemerdekaan Dalam konteks sejarah Islam di Indonesia, tasawuf bukanlah fenomena baru dan asing. Sejak awal perkembangan Islam pada abad ke-13 15 M, komunitaskomunitas Islam yang sejak awal telah mengenal tasawuf sebagai bangunan spiritualitas Islam yang dapat menuntun para penuntut ilmu suluk menuju pemahaman yang mendalam tentang tauhid. Sedangkan ahlinya yang dikenal sebagai sufi atau lebih dikenal lagi sebagai seorang wali, guru kerohanian, pemimpin organisasi tariqat, pendakwah dan darwish atau faqir yang suka mengembara sambil berniaga untuk menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok negeri. Para sufi menemui para bangsawan, saudagar, kaum terpelajar, pengrajin, orang-orang di pinggiran kota dan pedesaan untuk menyerukan kebenaran di jalan Islam. Tidak sedikit pula di antara mereka dikenal sebagai ahli falsafah, cendikiawan, sastrawan, dan pemimpin gerakan sosial keagamaan yang populis. Ahli-ahli sejarah Islam dulu maupun sekarang juga telah menemukan bukti bahwa tidak sedikit organisasi-organisasi perdagangan Islam (ta`ifa) pada abad-abad tersebut memiliki afiliasi dengan tariqat-tariqat sufi tertentu. Dengan memanfaatkan jaringan-jaringan pendidikan, intelektual, dan keagamaan yang tersebar di seantero dunia Islam seperti Istanbul, Damaskus, Baghdad, Mekkah, Yaman, Samarkand, Bukhara, Nisyapur, Herat, Delhi, Gujarat, Bengala, Samudra Pasai, Malaka, dan lain sebagainya mereka tidak memperoleh kesukaran dalam menyebarkan agama Islam. Seperti halnya perkembangan Islam di Indonesia yang dimulai di kota, begitu juga dengan tasawuf yang perkembangannya dimulai di kota. Setelah itu baru menyebar ke kawasan pinggiran kota, lalu kemudian ke wilayah pedalaman dan pedesaan. Sufi-sufi awal seperti Hasan Basri dan Rabiah al-Adawiyah memulai kegiatannya di Basra, kota yang terletak di sebelah selatan Iraq yang pada abad ke8-10 M merupakan pusat kebudayaan. Makruf al-Karqi, Junaid al-Baghdadi, dan Mansur al-Hallaj mengajarkan tasawuf di Baghdad yang merupakan pusat kekhalifatan Abbasiyah dan kota metropolitan pada abad ke-8 13 M. `Attar lahir dan besar di Nisyapur, yang pada abad ke-10 15 M merupakan pusat keagamaan, intelektual dan perdagangan terkemuka di Iran. Rumi hidup dan mendirikan Tariqat Maulawiyah di Konya, kota penting di Anatolia pada abad ke-11 - 17 M. Begitu juga halnya dengan di nusantara. Hamzah Fansuri lahir dan besar di Barus, kota dagang di pantai barat Sumatra yang merupakan pelabuhan regional pada abad ke-13-17 M. Sunan Bonang, seorang dari wali sangat terkemuka, mengajarkan ilmu suluk di Tuban yang pada abad ke-14 17 M merupakan kota dagang besar di Jawa Timur. Syamsudin Pasai adalah penganjur tasawuf wujudiah dan pendiri madzab Martabat Tujuh yang terkenal. Dia seorang sufi dan juga perdana menteri pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) di kesultanan Aceh Darussalam. Dari contoh diatas kita dapat melihat bahwa perkembangan tasawuf di Indonesia, selalu diawali dengan perkembangannya di kota besar. Dari kota besar, baru berkembang ke daerah pinggiran / pedesaan.

Pesatnya perkembangan tasawuf di Indonesia pada masa lalu, banyak dipaparkan oleh sumber-sumber sejarah lokal seperti Hikayat Aceh, Sejarah Melayu, Hikayat Maulana Hasanuddin, Babad Tanah Jawa, Suluk Wujil, Hikayat Sultan Maulana, Hikayat Banjar, dan lain-lain. Beritanya juga ditemui dalam catatan pengembara dan sejarawan asing dari Turki, Cina, Arab, Persia, India dan Portugis. Misalnya dalam laporan Zainuddin al-Ma`bari, sejarawan Muslim dari Iran pada abad ke-15 yang tinggal di Malabar, India. Dalam bukunya Minhaj al-Mujahidin, Zainuddin al-Ma`bari mencatat bahwa para sufi giat berdakwah di India dan Indonesia menggunakan sarana budaya lokal dan juga melalui pembacaan Qasidah Burdah. Dalam Suma Oriental, petualang Portugis abad ke-16 M Tome Pires malah mencatat bahwa para sufi itu tidak hanya aktif mendirikan madrasah dan mengajar tasawuf kepada penduduk, tetapi juga giat mengajarkan keterampilan termasuk seni kriya atau kerajinan tangan seperti membatik, mengukir, membuat kapal dan perabot rumah tangga. Perkembangan Tasawuf setelah masa kemerdekaan Tasawuf kembali berkembang pada akhir 1970an dan awal 1980an yang ditandai dengan kembali bergairahnya minat terhadap tasawuf. Pertama, mulai penerbitan buku tentang tasawuf dan relevansinya. Buku-buku ini sebagian besar merupakan terjemahan karangan para sarjana modern seperti Sayed Hossein Nasr, A. J. Arberry, Reynold Nicholson, Frithjof Schuon, Martin Lings, Sayed M. Naquib alAttas, Roger Garaudy, Annemarie Schimmel, Idries Shah dan lain-lain. Sebagian lagi terjemahan karya sufi klasik seperti Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi, Fariduddin al`Attar, Jalaluddin Rumi, Ali Utsman al-Hujwiri, Muhammad Iqbal, dan lain-lain. Penerbit-penerbit awal yang berjasa ialah Pustaka Salman dan Mizan di Bandung, Pustaka Firdaus, Panji Masyarakat dan Bulan Bintang di Jakarta. Penerjemahnya adalah sarjana-sarjana yang baru kembali dari Amerika. Seperti yang diketaui pada awal 1970an minat mempelajari bentuk-bentuk spiritualisme Timur sangat marak di Barat. Ledakan penerbitan buku-buku kearifan Timur termasuk tasawuf menyertai bangkitnya gairah tersebut. Survey yang dibuat IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) kalau tak salah pada tahun 1989 menyebutkan bahwa di antara buku yang paling laris ketika itu ialah buku-buku tasawuf. Buku Sastra Sufi: Sebuah Antologi yang saya karang dan diterbitkan pada tahun 1985 mengalami cetak ulang sampai 7 kali. Kedua, maraknya kegiatan pembacaan puisi sufi oleh para sastrawan di Taman Ismail Marzuki dan tempat-tempat lain. Sebelumnya, pada awal 1970an, telah bangkit gerakan sufistik dalam penulisan sastra yang dipelopori oleh pengarang dan penyair seperti Danarto, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Abdul Hadi W. M., Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain. Di antara acara penting yang diselenggarakan dalam lingkait ini ialah pembacaan puisi yang disebut Malam Rumi (1982), Malam Hamzah Fansuri (1984, Malam Iqbal (1987) dan lain-lain. Sajak-sajak sufi dibacakan dalam acara pembacaan puisi yang tidak dikhususkan memperkenalkan sastra sufi seperti Malam Palestina (1982), Malam Afghanistan (1984), dan lain-lain.

Mengikuti fenomena ini perbincangan tentang tasawuf dan sastra sufistik semakin ramai pada tahun 1980an. Puncaknya ialah pada waktu Festival Istiqlal diselenggrakan pada tahun 1991 dan 1995. Dalam festival kebudayaan Islam terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia ini, berbagai bentuk ekspresi seni yang lahir dari tradisi tasawuf dipergelarkan, termasuk pameran akbar seni rupa. Di antara ekspresi seni daerah yang berasal dari kreativitas para sufi ialah Tari Saman dan Seudati dari Aceh, Rebana Biang dan Rafa`i dari Banten, Tari Zapin Melayu, Pantil dan Sintung dari Madura, dan lain sebagainya. Lembaran-lembaran budaya atau sastra di surat kabar ibu kota seperti Harian Berita Buana dan Pelita berada di garis depan dalam upaya mereka memperkenalkan relevasi tasawuf dan kesusastraan sufi. Nomor-nomor awal majalah dan jurnal kebudayaan Islam terkemuka seperti Ulumul Quran juga menampilkan perbincangan tentang tasawuf dan relevansinya. Pada akhir tahun 1980an, pengajian-pengajian tasawuf mulai marak dilakukan di kota besar seperti Jakarta. Misalnya seperti yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina. Ini tidak mengherankan oleh karena orang-orang yang berperan dalam pengajian tersebut sebagiannya adalah para redaktur atau editor Ulumul Quran. Kelompok-kelompok uzlah mahasiswa juga memainkan peranan penting dalam memperkenalkan relevansi tasawuf. Terutama kelompok uzlah yang muncul di masjid-masjid kampus seperti Salman ITB, Salahuddin UGM, dan Giffari IPB (Institut Pertanian Bogor). Training-training organisasi mahasiswa pada akhir 1980an juga tidak jarang diisi dengan bahan yang berkaitan dengan ajaran sufi. Di luar itu juga marak pengajian-pengajian seperti Pengajian Taqwa yang diselenggarakan di sudutsudut pinggiran ibu kota. Tariqat-tariqat sufi seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dan lain-lain yang dahulunya tersembunyi di kawasan-kawasan pinggiran kemudian merengsek keluar dan menampakkan kegiatannya di pusat kota. Secara umum bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di kalangan terpelajar pada tahun 1980an sangat terkait dengan kehampaan spiritual yang mulai dirasakan di tengah pesatnya pembangunan ekonomi. Masyarakat kota , yang sebagian besar adalah orang-orang yang hijrah dari daerah, mulai merasakan dirinya berada di tengah budaya baru yang asing, terutama sistem nilai, pola hidup dan pergaulannya. Di tengah pesatnya peradaban materialistik tumbuh di sekitarnya, mereka merasakan hilangnya dimensi kerohanian yang teramat penting dalam memelihara hidupnya.

You might also like