You are on page 1of 14

APA ITU FILM DOKUMENTER

Dokumenter sering dianggap sebagai rekaman ‘aktualitas’—


potongan rekaman sewaktu kejadian sebenarnya berlangsung, saat
orang yang terlibat di dalamnya berbicara, kehidupan nyata seperti
apa adanya, spontan dan tanpa media perantara. Walaupun kadang
menjadi materi dalam pembuatan dokumenter, faktor ini jarang
menjadi bagian dari keseluruhan film dokumenter itu sendiri, karena
materi-materi tersebut harus diatur, diolah kembali, dan diatur
strukturnya. Terkadang bahkan dalam pengambilan gambar
sebelumnya, berbagai pilihan harus diambil oleh para pembuat film
dokumenter untuk menentukan sudut pandang, ukuran shot (type of
shot), pencahayaan dan lain-lain agar dapat mencapai hasil akhir
yang diinginkan.

John Grierson pertama-tama menemukan istilah dokumenter dalam


sebuah pembahasan film karya Robert Flaherty, Moana (1925), yang
mengacu pada kemampuan sebuah media untuk menghasilkan
dokumen visual suatu kejadian tertentu. Grierson sangat percaya
bahwa “Sinema bukanlah seni atau hiburan, melainkan suatu
bentuk publikasi dan dapat dipublikasikan dengan 100 cara berbeda
untuk 100 penonton yang berbeda pula.” Oleh karena itu
dokumenter pun termasuk didalamnya sebagai suatu metode
publikasi sinematik, yang dalam istilahnya disebut “creative
treatment of actuality” (perlakuan kreatif atas keaktualitasan).
Karena ada perlakuan kreatif, sama seperti dalam film fiksi lainnya,
dokumenter dibangun dan bisa dilihat bukan sebagai suatu rekaman
realitas, tetapi sebagai jenis representasi lain dari realitas itu
sendiri.

Kebanyakan penonton dokumenter di layar kaca sudah begitu


terbiasa dengan kode dan bentuk yang dominan sehingga mereka
tak lagi mempertanyakan lebih jauh tentang isi dari dokumenter
tersebut. Misalnya penonton sering menyaksikan dokumenter yang
dipandu oleh voiceover, wawancara dari para ahli, saksi dan
pendapat anggota masyarakat, set lokasi yang terlihat nyata,
potongan-potongan kejadian langsung dan materi yang berasal dari
arsip yang ditemukan. Semua elemen khas tersebut memiliki
sejarah dan tempat tertentu dalam perkembangan dan perluasan
dokumenter sebagai sebuah bentuk sinematik.

Ini penting ditekankan, karena dalam berbagai hal, bentuk


dokumenter sering diabaikan dan kurang dianggap di kalangan film
seni karena seakan-akan dokumenter cenderung menjadi bersifat
jurnalistik dalam dunia pertelevisian. Bukti-bukti menunjukkan
bahwa, bagaimanapun, dengan pesatnya perkembangan
dokumenter dalam bentuk pemberitaan, terdapat perubahan
kembali ke arah pendekatan yang lebih sinematik oleh para
pembuat film dokumenter akhir-akhir ini. Dan kini perdebatannya
berpindah pada segi estetik dokumenter karena ide kebenaran dan
keaslian suatu dokumenter mulai dipertanyakan, diputarbalikkan
dan diubah sehubungan dengan pendekatan segi estetik
dokumenter dan film-film non-fiksi lainnya.

Satu titik awal yang berguna adalah daftar kategori Richard Barsam
yang ia sebut sebagai “film non-fiksi” Daftar ini secara efektif
menunjukkan jenis-jenis film yang dipandang sebagai dokumenter
dan dengan jelas memiliki ide dan kode etik tentang dokumenter
yang sama. Kategori-kategori tersebut adalah:
• film faktual
• film etnografik
• film eksplorasi
• film propaganda
• cinéma-vérité
• direct cinema
• dokumenter

Pada dasarnya Barsam menempatkan dokumenter itu sendiri di luar


kategori lain karena ia mengatakan bahwa peran si pembuat film
dalam menentukan interpretasi materi dalam jenis-jenis film
tersebut jauh lebih spesifik.

Perkembangan dokumenter dan genre-nya saat ini sudah sangat


pesat dan beragam, tetapi ada beberapa unsur yang tetap dan
penggunaannya; yakni undur visual dan verbal yang biasa
digunakan dalam dokumenter.

Unsur Visual:
1. Observasionalisme reaktif: pembuatan film dokumenter
dengan bahan yang sebisa mungkin diambil langsung dari
subyek yang difilmkan. Hal ini berhubungan dnegan ketepatan
observasi oleh operator kamera/sutradara.

2. Observasionalisme proaktif: Pembuatan film dokumenter


dengan memilih materi film secara khusus sehubungan
dengan observasi terdahulu oleh operator kamera/sutradara.

3. Mode ilustratif: Pendekatan terhadap dokumenter yang


berusaha menggambarkan secara langsung tentang apa yang
dikatakan oleh narator/voice over.

4. Mode asosiatif: Pendekatan dalam dunia dokumenter yang


berusaha menggunakan potongan-potongan gambar dengan
berbagai cara. Dengan demikian, diharapkan arti metafora
dan simbolis yang ada pada informasi harafiah dalam film,
dapat terwakili.
Unsur Verbal:
1. Overheard exchange: Rekaman pembicaraan antaradua
sumber atau lebih yang terkesan direkam secara tidak
sengaja dan secara langsung.

2. Kesaksian: Rekaman observasi, opini atau informasi, yang


diungkapkan secara jujur oleh saksi mata, pakar dan sumber
lain yang berhubungan dengan subyek dokumenter. Hal ini
merupakan tujuan utama dari wawancara.

3. Eksposisi: Penggunaan voice over atau orang yang langsung


berhadapan dengan kamera, secara khusus mengarahkan
penonton yang menerima informasi dan argumen.

Perkembangan Dokumenter

A. Dari Travelog hingga Dokumenter Arahan

Sejarah film non-fiksi berawal dari perkembangan awal film.


Berlanjut dari still photography dan studi tentang gerakan seperti
yang dipotret oleh Edward Muybridge hingga meluasnya trend
dalam seni untuk merekam ‘realitas, dalam cara yang paling
akurat,’ ‘aktual’ atau ‘bersifat dokumenter’. Trend yang
dipopulerkan oleh Lumiere bersaudara pada tahun 1895 ini
merupakan sebagian dari film non-fiksi pertama. Beberapa dari film
itu adalah Workers Leaving the Lumière Factory dan Arrivèe d’un
train en gare à la Ciotat, dan hanya merupakan contoh kejadian
sehari-hari yang terekam oleh kamera statis. Penonton takjub
karena itulah pertama kalinya mereka menyaksikan peristiwa-
peristiwa nyata dalam bentuk film. Film-film pendek serupa dibuat
oleh Edison di Amerika dan fenomena itu dengan cepat menyebar
ke seluruh dunia, ditandai dengan bermunculannya karya-karya
serupa dari Spanyol, India dan Cina.

Mungkin, contoh-contoh utama yang mencirikan bentuk dokumenter


adalah film yang muncul setelah revolusi Rusia tahun 1917 dan
terutama karya Dziga Vertov – mengedit sebuah film berita berjudul
Kino-Pravda (secara harafiah berarti ‘Kebenaran-Film’) – dan
mengembangkan suatu pendekatan yang dipergunakan dalam
sebuah film berjudul Kinoki (‘mata-sinema’). Buatnya tugas seorang
pembuat film adalah mengungkapkan bahwa dalam hidup itu tidak
ada yang terjadi secara kebetulan, pembuat film diharapkan dapat
menangkap hubungan dialektis antara kejadian-kejadian yang
sangat berlawanan dalam realita; tugasnya adalah untuk
mengungkap konflik yang terkandung dalam kekuatan antagonistik
di kehidupan dan memaparkan dengan jelas ‘sebab dan akibat’ dari
fenomena kehidupan. Penggunaan media film oleh Vertov sangatlah
kreatif dan ia secara terus-menerus menekankan pentingnya seni
pembuatan film dan terpolitisirnya realita yang berhasil terekam.
Pertentangan antara menampilkan ‘aspek’ rekaman (yaitu
penggunaan kamera secara tidak lazim, editing yang kompleks,
dsb) dan ‘isi’ yang ditunjukkan membuat rancu konsep film sebagai
dokumentasi.

Hal ini terutama berhubungan dengan karya selanjutnya dan yang


paling terkenal, The Man with the Movie Camera (1929). Sutradara
cinéma-vérité, Richard Leacock, mengatakan bahwa film berita
Vertov bersifat persuasif, walaupun kelaparan dan bencana yang
terekam itu terkesan dangkal. Rasa estetika Vertovlah yang dalam
pikiran Leacock sangat menjauhkannya dari semangat murni bidang
dokumenter dalam menunjukkan kehidupan seperti apa adanya.

Formalisme serupa muncul pada apa yang kemudian dikenal


sebagai dokumenter City Symphony yang meliputi Rien que les
heures (1926), disutradarai oleh Alberto Cavalcanti, dan Berlin,
Symphony of a Great City (1927) karya Walter Ruttman. Kedua
karya tersebut diwarnai oleh tehnik-tehnik baru dan surealis. Pada
dasarnya, kedua film tersebut merupakan gambaran dari tiap-tiap
kota, dengan menggunakan potongan gambar dari berbagai lokasi
sesungguhnya untuk mengungkapkan kontradiksi antara kaya dan
miskin. Walaupun menghadapi tuntutan para formalis, kedua film
tersebut berhasil mencapai sukses dalam memancing pendapat
publik, dan berpengaruh dalam keberhasilan mereka menggunakan
gambaran kehidupan manusia sehari-hari, obyek dan lokasi untuk
efek politis dan simbolis.

Di Amerika, film non-fiksi pada mulanya berbentuk travelog (suatu


istilah yang ditemukan oleh Burton Holmes), yaitu potongan gambar
yang diambil di negara asing dan dipertontonkan dalam perkuliahan
dan pemutaran slide untuk memperkenalkan penonton pada budaya
yang berbeda-beda dan berbagai tempat eksotis.

Tahun 1904, pada Pameran St Louis, Tours and Scenes of the World
yang dibuat oleh George C. Hale cukup berhasil, tapi tidak mencapai
taraf yang sama dengan film perjalanan safari Presiden Teddy
Roosevelt ke Afrika atau pengalaman Robert Scott ke Kutub Selatan.
Film-film perjalanan (travelog) tersebut menarik minat publik
Amerika karena film tersebut menunjukkan jiwa petualangan dan
keberanian orang Amerika; mendukung adanya pandangan bahwa
kesadaran orang Amerika yang tinggi ini terlihat dari jiwa perintis
dan kemampuan bertahan dari ‘daerah perbatasan’.

Pandangan ini menopang tradisi aliran Romantis pembuatan film,


diawali dengan potongan gambar travelog para koboi dan orang
Indian dan mencapai perwujudannya yang sempurna dalam film
karya Robert Flaherty. Namun, perlu disebutkan secara khusus
mengenai Merian C. Cooper dan Ernest Schoedsack yang membuat
Grass (1925), sebuah film tentang suku nomadis Iran mencari
padang rumput yang masih segar, dan Chang (1927), yang
mengikuti pengalaman sebuah keluarga Thailand di dalam hutan, di
dalamnya terdapat juga adegan berbagai binatang predator yang
berusaha memangsa para wanita dan anak. Film ini sangat
mempengaruhi film Cooper dan Shoedsack yang paling terkenal,
King Kong (1933).

Namun, Robert Flaherty-lah yang paling memberikan wujud bagi


bentuk dokumenter sebagai suatu alat etnografis (studi ilmiah
tentang ras lain melalui observasi langsung dan antropologis).
Disponsori oleh perusahaan pakaian yang terbuat dari bulu hewan,
Revillon Freres, Flaherty membuat Nanook of the North (1922),
sebuah studi tentang suku Inuit Eskimo di sebelah utara Kanada,
yang dikenal sebagai salah satu film paling berpengaruh dalam
aliran tersebut.

Mungkin film itu memberikan semua petunjuk yang kita perlukan


untuk mendefinisikan baik dokumenter maupun batasan-
batasannya yang dapat diterima. Seperti diungkapkan oleh Barsam
dan Calder-Marshall di atas, film karya Flaherty adalah film-film
‘arahan’ dengan tujuan tertentu; suatu tujuan yang dapat kita sebut
tak hanya untuk merekam kehidupan orang Eskimo, tapi juga untuk
mengingat dan menampilkan kembali masa kehidupan orang
Eskimo yang lebih primitif, lebih ‘nyata’, di waktu lalu.
Tujuan nostalgia ini hanya dipakai untuk memitologikan kehidupan
orang Eskimo, dan pada taraf tertentu menggesernya dari konteks
‘sebenarnya’; hingga sekali lagi mempertanyakan beberapa prinsip
yang melekat, yang kita asumsikan sangat penting dalam
menentukan ‘kebenaran’ dokumenter.

Campur tangan Flaherty dalam materi film itulah yang paling


bermasalah ketika mengevaluasi Nanook sebagai film dokumenter
utama. Flaherty tak puas hanya dengan merekam kejadian-kejadian;
ia ingin ‘mendramatisir’ kenyataan dengan memfilmkan aspek-
aspek kebudayaan orang Eskimo yang ia ketahui dari perjalanan
terdahulunya ke Hudson Bay antara tahun 1910-1916. Misalnya, ia
ingin memfilmkan orang Eskimo berburu dan menangkap anjing laut
dengan seruit (seruit: sejenis tombak bermata satu yang digunakan
untuk menangkap jenis ikan besar, pada masa modern digunakan
secara ditembakkan) secara tradisional, ketimbang merekam
adegan berburu dengan menggunakan senapan, alat yang waktu itu
mereka gunakan sehari-hari. Flaherty juga membangun igloo untuk
menyesuaikan peralatan kamera, dan mengatur sebagian gaya
hidup orang Eskimo untuk dicocokkan dengan keperluan teknis
pengambilan gambar dalam kondisi tersebut. Dalam Moana,
Flaherty menampilkan upacara ritual pembuatan tato penduduk
pulau Samoa, mengetengahkan kembali suatu praktik yang sudah
bertahun-tahun tak pernah lagi dilakukan. Sementara dalam Man of
Aran (1935), para pemburu ikan hiu juga ditampilkan, padahal tidak
lagi mencirikan keberadaan penduduk Pulau Aran pada saat itu.

B. Dari Ulasan Sosial, Propaganda, hingga Aktualitas Puitis

Jika Flaherty membangun tradisi dokumenter yang muncul dari film


perjalanan dan ingin merayakan keberadaan umat manusia, maka
John Grierson (berkebangsaan Inggris) mengartikan dokumenter
dalam terminologi yang lebih dipolitisir. Terpikat oleh pandangan
bahwa dokumenter dapat membantu proses demokrasi dalam
mendidik masyarakat, Grierson dengan semangat mengejar
tujuannya.

Ia dipengaruhi oleh pemikiran Water Lippmann (yang percaya


bahwa kompleksitas kehidupan modern mencegah orang awam
untuk berpartisipasi dalam masyarakat sebagaimana mestinya) dan
karya Sergei Eisenstein (”Battleship Potemkin”, 1925).
Grierson ingin agar film dokumenter secara sosiologis lebih peka
dan kurang estetis daripada hasil karya Vertov. Pemikiran inilah
yang kemudian mempengaruhi era tersebut, dimulai dengan
Drifters (1929), satu-satunya film yang benar-benar disutradarai
oleh Grierson, mengisahkan tentang para nelayan penangkap ikan
herring di North Sea.

Film-film penting lainnya menyusul, yaitu Granton Trawler (1934),


disutradarai oleh Edgar Anstey, mengenai dunia perikanan dan
nelayan. Song of Ceylon (1934), disutradarai oleh Basil Wright, yang
menampilkan usaha pertamanya untuk menggunakan nada
penggiring gambar dan bukannya musik atau dialog. Housing
Problems (1935), disutradarai bersama oleh Anstey dan Arthur
Elton, yang menggunakan gaya film berita jurnalistik dalam
mewawancarai orang-orang yang hidup di perumahan kumuh.
Nightmail (1936), disutradarai oleh Basil Wright dan Harry Watt,
yang menampilkan musik karya Benjamin Britten dan puisi karya
W.H. Auden mengenai kereta api malam pengangkut surat dalam
perjalanannya dari London ke Glasgow. North Sea (1938), diproduksi
oleh Alberto Cavalcanti, dan disutradarai oleh Harry Watt, berkisah
tentang hubungan radio dari kapal ke pantai yang direkonstruksikan
secara dramatis.

Film-film seperti Squadron 992 (1939), Dover Front Line (1940), dan
Target for Tonight (1941) menjadikan Harry Watt sebagai salah satu
pembuat film yang paling penting pada periode tersebut, tapi karya
Humphrey Jennings-lah yang menunjukkan beberapa aspek yang
paling indah dan paling berpengaruh dalam pembuatan film
dokumenter Inggris.

Ketika perang pecah, Jennings membuat dua film; The First Days
(1939) dan Spring Offensive (1939). Namun karya terbesarnya
adalah London Can Take It yang dibuat bersama Harry Watt. Film
tersebut menceritakan tentang bagaimana orang Inggris selamat
dalam menghadapi serangan udara mendadak, dan juga
menunjukkan semangat, kegigihan dan ketahanan mereka. Film itu
sengaja dibuat untuk menarik minat pasar di Inggris sendiri dan
juga di Amerika. Film berikutnya adalah Heart of Britain (1940).
Namun, film Words for Battle (1941) lah yang mengukuhkan posisi
Jenning sebagai seorang pembuat film yang tak takut untuk
mengembangkan berbagai aspek yang ia garap. Termasuk
pendekatan yang lebih puitis dan ekspresif dari realisme emosionil.
Words for Battle terdiri dari tujuh bagian. Tiap bagian berisi
komentar Laurence Olivier. Bagian-bagian tersebut menampilkan
gambaran pendekatan dengan cuplikan-cuplikan puisi atau orasi
publik – termasuk potongan puisi William Blake yang berjudul
‘Jerusalem’, ‘The Beginnings’ karya Rudyard Kipling, pidato Winston
Churchill pada 4 Juni 1940 serta Pidato Abraham Lincoln di
Gettysburg (19 November 1863).

Jennings dapat menjadikan ‘aktualitas’ puitis secara efektif dan


pada saat yang bersamaan, membangun kembali monumen dan
bangunan bersejarah di masyarakat serta mengangkat nilai
kemanusiaan rakyat biasa sewaktu menjalani kerasnya hidup
selama peperangan dengan tabah. Hal ini menjadikan dokumenter
sebagai jenis film yang tidak semata-mata merekam peristiwa,
tetapi juga menjadikan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai ilustrasi
yang sesuai untuk hal-hal puitis.

Pendekatan tersebut diteruskan pada karya-karya Jennings


berikutnya; Listen to Britain (1941) dan Fires Were Started (1942).
Tujuan dari pendekatan tersebut adalah untuk mengungkapkan
secara emosionil dan mengangkat praktik kerja umum yang selama
itu terabaikan hingga dianggap penting dan nilainya diakui selama
perang. A Diary for Timothy (1946) melengkapi siklus perjuangan
Jennings dan mungkin merupakan prestasi terbesarnya. Film
tersebut mengisahkan pertumbuhan bayi Timothy sesudah perang,
dengan naskah yang digarap oleh E.M. Forster dan dibawakan oleh
Michael Redgrave, film tersebut memiliki nuansa sendu dan tak jelas
karena optimisme emosionil Jennings yang normal menjadi kabur.
Dokumenter yang seharusnya ‘aktual’; kini lebih dipengaruhi oleh
‘perasaan’ yang tidak konsisten daripada ‘fakta’ yang konsisten.

C. Propaganda sebagai Dokumenter Mitos

Diperlukan satu pembahasan panjang mengenai tradisi pembuatan


film dokumenter a la Eropa. Namun demikian, tokoh seperti Joris
Ivens (Belanda) dan Henri Storck (Belgia) berperan besar
menyumbangkan pengertian tentang masa pra-perang di Eropa
melalui film-film mereka. Ironisnya, Leni Riefenstahl, salah satu
sutradara Eropa terbesar dan paling kontroversial menciptakan apa
yang kemudian dikenal sebagai salah satu film terbaik, baik
dokumenter ataupun jenis lainnya, sepanjang masa. Pada tahun
1935, Reifenstahl membuat Triumph of the Will, sebuah catatan
tentang rapat akbar partai di Nuremberg yang mengundang
perdebatan sengit. Haruskah film yang mengagung-agungkan cita-
cita Nazi semacam itu, dipisahkan dari konteks propagandanya
untuk kemudian diangkat menjadi film ‘seni’ dan dianggap sebagai
salah satu contoh dokumenter terbaik?

Reifenstahl membuat Triumph of the Will setelah ia menyelesaikan


Victory of Faith (1933) untuk merayakan Kongress Nasional Partai
Sosialis Hitler yang pertama, dan Day of Freedom: Our Army (1934)
sebuah bentuk penghormatan betapa efisiensnya resimen tentara
Jerman. Triumph of the Will secara mendasar menggabungkan
kedua tema tersebut dan mengembangkannya menjadi ide
propaganda dokumenter sebagai mitos. Tampaknya, dengan
dukungan penuh dari Hitler, Goebbels, dan pemerintah, serta
sokongan dana dari berbagai agen pemerintah, Riefenstahl
mempekerjakan sekitar 120 kru film dan lebih dari 30 kamera
selama pengambilan dan pembuatan filmnya. Kru sebanyak itu
sengaja diadakan untuk menunjang film tersebut dan sengaja
membuat sebuah panggung artifisial yang megah. Hal ini langsung
mematahkan pernyataan Riefenstahl yang mengatakan bahwa
Triumph of the Will adalah cinéma vérité, karena seperti yang
ditunjukkan oleh Susan Sontag bahwa ‘dokumen (gambaran) dalam
Triumph of the Will, bukan semata-mata rekaman realitas,
melainkan ‘realitas’ yang dibangun untuk melengkapi sebuah
gambaran yang diinginkan.

Pembangunan ‘mitos’ dokumenter ini berkaitan dengan segi estetik


fasis yang ditekankan Sontag dalam evaluasinya tentang
Riefenstahl. Sontag mengatakan bahwa rapat akbar ‘ritual’
Nuremberg digambarkan dengan ‘dominasi’ dan ‘perbudakan’, dan
hal ini secara simbolis tercermin dalam kumpulan segerombolan
orang secara besar-besaran; perubahan orang menjadi sesuatu;
pelipatgandaan sesuatu dan semuanya mengelilingi tokoh
pemimpin atau pasukan yang sangat kuat dan berpengaruh.
Dramaturgi fasis berpusat pada pertukaran eforia antara kekuatan
besar dengan boneka-bonekanya. Koreografinya berubah silih
berganti antara gerak tiada henti dan pose beku, statis dan kaku.
Seni fasis memuja penyerahan, memuliakan kebodohan;
mengagungkan kematian.

D. DARI BIAS DOKUMENTER HINGGA DIRECT-CINEMA DAN


CINEMA-VERITE

Tahun 1936-37, Pare Lorentz satu lagi tokoh dalam pembuatan film
non-fiksi Amerika, membuat dua film penting,The Plow that Broke
the Plains (1936) dan The River (1937). Kedua-duanya disponsori
oleh pemerintah dan berusaha mendukung ‘impian Amerika’.
The River adalah dokumenter berdurasi 30 menit yang dibuat
dengan film 16 mm, berisi pengalaman sebuah keluarga yang
dilanda kemiskinan. Dalam film itu, diberi kesan bahwa mereka
‘berpakaian tidak layak’, ‘tinggal di tempat yang tidak layak’, ‘tidak
cukup makan’ dan ‘menggantungkan diri pada hasil panen’. Film itu
berusaha membuktikan bahwa campur tangan pemerintah telah
memperbaiki daerah tersebut, melalui Kebijakan “New Deal-nya“
Roosevelt (Proyek The Tennesse Valley Authority dan The Farm
Security Administration pada tahun 1933). Tujuannya adalah agar
mendapat dukungan penonton kelas menengah Barat dalam
meneruskan pendanaan reformasi negara di Mississippi Valley.

Patut diperhatikan bahwa keluarga yang difokuskan dalam film


tersebut berkulit putih, padahal kemungkinan besarnya yang
bekerja di daerah tersebut adalah keluarga berkulit hitam. Disini
jelas bahwa Lorentz menggunakan filmnya untuk menarik elit
kekuasaan, pembuat undang-undang dan pemilih berkulit putih
untuk menjamin perubahan. Singkatnya, film tersebut bukan untuk
penonton berkulit hitam, walaupun, dalam kenyataan situasi
tersebut lebih berdampak pada banyak keluarga berkulit hitam.

Film dokumenter di sini digunakan sebagai alat spesifik dalam


proses komunikasi antara pemerintah dan penduduknya. Dalam
tradisi dokumenter Amerika, dasar pemikiran inilah yang lebih dari
30 tahun kemudian ingin diubah oleh para pembuat film Amerika.
Pembuat film sayap kiri baru ingin ikut serta dalam proses
komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya dengan
mengungkapkan bagaimana pemerintah membangun institusi yang
menekan dan seenaknya mengatasnamakan rakyat atas nama
demokrasi.

Robert Drew adalah salah seorang pionirnya, bersama dengan para


sutradara utama direct-cinema, Richard Leacock, Donn Pennebaker,
serta Albert dan David Maysles merintis sebuah perlawanan
terhadap model-model dokumenter pesanan dan sangat
dikonstruksi itu. Primary (1960), film yang mengabadikan Hubert
Humphrey dan John F. Kennedy dalam urutan kampanye partai
demokrat pada pemilihan awal di Winsconsin, dan mencoba untuk
melihat prosesnya melalui mata para kandidat.

Dengan menggunakan kamera jinjing, film tersebut mengangkat


pengalaman para kandidat dan terbukti sangat terbuka dalam
fokusnya mengenai kemeriahan acara tersebut. Direct-cinema
sepertinya merekam ‘keaktualitasan’ dengan cara yang dapat
mencapai kebenaran dan ketepatan sejarah.

Saat meninggalkan Drew Associates, Pennebaker mengejar


ketertarikannya pada kebudayaan populer pada masa itu. Ia
membuat Don’t Look Back (1966), sebuah film mengenai tur Bob
Dylan di Inggris pada tahun 1965, dan Monterey Pop, menyajikan
penampilan The Who, Simon & Garfunkel, dan Jimi Hendrix.
Pennebaker, seperti rekannya Leacock, tampaknya memiliki
ketertarikan terhadap musik sebagai barometer tingkah laku
populer dan energi komunal. Pennebaker memadang filmnya kurang
politis dibandingkan rekan-rekan direct-cinema-nya. Menurutnya:
‘Film-film saya bukan film dokumenter. Film tersebut tidak
dimaksudkan untuk menjadi film dokumenter, tapi merupakan
rekaman kejadian tertentu saja. Sedangkan dokumenter
menurutnya film untuk tujuan eksplorasi, investigasi dan analisa.

Kemudian lahir Woodstock (1970) karya Mike Wadleigh dan Gimme


Shelter (1970), yang dibuat oleh Maysles bersaudara. Bila
Woodstock, rekaman mengenai festival musik rock paling terkenal
sepanjang waktu, merupakan perayaan nilai spiritual dari
perdamaian, cinta, komunitas dan penggunaan narkotika sebagai
pemicu kreatifitas, lalu Gimme Shelter, rekaman mengenai tur
keliling Amerikanya the Rolling Stones, menyajikan pembunuhan
yang terjadi pada konser band tersebut di Altamont, ditertibkan oleh
Hell’s Angels, memberi kesan bahwa era tersebut telah berakhir.

Maysles bersaudara banyak membuat dokumenter mengenai tokoh-


tokoh budaya populer, contohnya, The Beatles dalam What’s
Happening! The Beatles in the USA (1964), Marlon Brando dalam
Meet Marlon Brando (1965), Mohammed Ali dan Larry Holmes dalam
Mohammed and Larry (1980) dan Christo, seniman dengan visi,
yang membungkus kawasan terkenal seperti pulau, lembah dan
jembatan dengan kain sutera, dalam Christo’s Valley Curtain (1974),
Running Fence (1976) dan Islands (1986).

Walaupun demikian, salah satu film yang paling penting adalah


Salesman (1969), yang mengabadikan empat anggota perusahaan
kitab Injil kelas menengah Amerika dalam usaha mereka untuk
menjual kitab Injil. Kitab Injil, tentunya, adalah lebih dari sekedar
‘buku suci’, lebih dari sekedar ‘sebuah komoditas’, maka yang
akhirnya terjadi adalah ketegangan antara nilai-nilai komersial dan
spiritual. Untuk membeli atau menjual kitab Injil penting bagi kita
untuk menunjukkan ‘kepercayaan’ kita, dan Paul Brennan, sang
tokoh antagonis dijadikan fokus dari film tersebut, dengan jelas
memperlihatkan sebuah krisis diri dalam mengerjakan
pekerjaannya.

Relativitas sebuah film dokumenter sekali lagi dipertanyakan –


sebuah relativitas yang tidak pernah disangkal oleh salah satu
pendukungnya dari Amerika yang hebat, Frederick Wiseman. Saya
rasa obyektifitas/subyektifitas adalah omong kosong. Saya tidak
mengerti bagaimana sebuah film bisa tidak subyektif. Wiseman
menghindari gaya pendekatan dokumenter yang mengutamakan
tokoh atau kejadian dalam budaya populer. Ia lebih tertarik dengan
gaya pembuatan film tertentu yang mengikutsertakan penonton
dengan kehidupan sehari-hari institusi Amerika yang familiar.

Wiseman ingin mengetengahkan institusi ini karena institusi


tersebut berfungsi sebagai bagian dari struktur dasar masyarakat
demokratis, namun begitu menyatunya institusi itu di dalam
masyarakat sehingga aktifitas mereka luput dari perhatian dan tidak
pernah dipertanyakan.

Dengan cara tidak memfokuskan pada cerita individu, Wiseman


meciptakan berbagai kejadian ‘mosaic’, interaksi dan proses
bekerja, mengungkapkan bentuk-bentuk tingkah laku, yang pada
akhirnya merefleksikan moral institusi tersebut dan nilai-nilai sosial
masyarakat. Agar penonton dapat mengenal dan mengartikan
materi yang ditayangkan, penting bahwa mereka tidak ‘pasif’ tapi
secara aktif terikat dalam merasakan dunia yang mereka sedang
hadapi. Akibatnya, Wiseman tidak menggunakan dubbing atau
musik untuk memandu agar penonton mengerti film itu.
Walaupun Wiseman ingin penonton membuat keputusan sendiri, ia
juga ingin mereka membuat lompatan imajinatif untuk mengerti
bahwa institusi apa pun adalah model dari masyarakat, dan
aktifitasnya merupakan simbol dan metafora untuk tema-tema yang
lebih besar mengenai kekuatan dan kekuasaan.

Wiseman sudah membuat banyak film. Beberapa karyanya yang


paling penting termasuk Titicut Follies (1967), High School (1968),
Basic Training (1971), Model (1980), dan Central Park (1989). Titicut
Follies, yang merupakan film pertama Wiseman, mungkin tetap
merupakan karyanya yang paling kontroversial. Film ini
menceritakan tentang orang-orang gila yang bertindak kriminal di
Rumah Sakit Bridgewater di Massachusetts.

Judul film ini berasal dari sandiwara tahunan yang ditampilkan oleh
para pegawai dan pasien, yang menceritakan perilaku tidak
berperikemanusiaan, langkah-langkah yang diambil pihak berwajib,
dan kurangnya perawatan yang baik bagi pasien-pasien dengan
gangguan serius. Hal ini merupakan contoh pertama dari salah satu
tema utama Wiseman, yaitu usaha oleh individual manapun untuk
mempertahankan sisi kemanusiaan mereka, sementara hal
tersebut jelas-jelas bertentangan dengan peraturan-peraturan
kelembagaan yang mempunyai akibat-akibat tidak manusiawi.

High School adalah film mengenai SMU NorthEast di Philadelphia,


dan menceritakan tema yang sama dalam bentuk berbeda dengan
menunjukkan bagaimana murid-murid di sekolah tersebut dipaksa
untuk menuruti peraturan sekolah yang keras. Bagi pihak sekolah,
kepatuhan mutlak tanpa alasan adalah kemestian. Sebuah cermin
dari kepatuhan mutlak yang juga berlaku dalam masyarakat secara
keseluruhan. Film ini berakhir dengan adegan ketika Dr. Haller, sang
kepala sekolah, membaca surat dari mantan murid sekolah itu, Bob
Walter, yang meminta agar uang asuransi GI-nya diberikan kepada
sekolah tersebut apabila ia terbunuh di Vietnam. Dalam surat itu, ia
berkata ‘Saya cuma tubuh yang melakukan pekerjaan’.

Dari Dokumenter Radikal ke Televisi, Perbedaan dan Bentuk


Popular
Sekolah direct-cinema di Amerika sebenarnya ditentang oleh
pembuat film bernama Emile de Antonio, yang merasa bahwa
ambisi dari pembuatan film semacam itu – naïf dan tidak bisa
dicapai. Film De Antonio diilhami oleh politik Marxis dan kritik
intelektual yang pedas dari kemunafikan lembaga Amerika. Artinya,
ia diawasi oleh J. Edgar Hoover, FBI dan CIA sepanjang karirnya.

Film-filmnya sebagian besar dikumpulkan dari potongan gambar


yang ditemukan dan diambil dari banyak sumber, terutama dari
banyak film yang tidak digunakan di jaringan liputan berita. Ia
dengan sengaja membuat film yang menciptakan pandangan
alternatif mengenai budaya Amerika seperti telah diketengahkan
melalui televisi dan agen-agen pemerintah. Film-film tersebut
termasuk Point of Order (1963), yang menunjukkan kejatuhan
Senator McCarthy di acara dengar pendapat Senat Militer pada
tahun 1954; Rush to Judgement (1967), yang merupakan
dokumenter besar pertama untuk menantang penemuan Komisi
Warren mengenai pembunuhan John F. Kennedy pada tahun 1963;
In the Year of the Pig (1969), pandangan keras Amerika yang terjadi
di Perang Vietnam; dan Milhouse: A Whitehouse Comedy (1972),
gambaran satiris dari Richard Nixon.

De Antonio merasa bahwa karyanya sangat berlawanan dengan


laporan berita yang biasa-biasa saja dan banyak disensor yang
ditampilkan di jaringan televisi utama. Dalam pandangannya, berita-
berita tersebut telah menyensor kenyataan. Ia juga mengutuk
komersialisasi dari program berita Amerika sebagai mengecilkan
arti kengerian perang dan menuntun penonton menjadi kurang
sensitif terhadap rasa sakit dan duka cita. De Antonio pada
dasarnya percaya bahwa televisi sebagai media sudah
disalahgunakan, membosankan dan secara ideologi tidak lagi
efektif.

Dalam banyak hal, kenyataan ini telah mempengaruhi dan


menganggu para pembuat dokumenter untuk mensahkan kembali
bentuk dokumenter. Hal ini telah menuntun beberapa dokumentaris
untuk menggunakan media televisi dengan cerita narasi yang lebih
radikal, atau untuk dengan membuat pendekatan-pendekatan
mereka lebih berbeda dan eksperimental.
Selain itu, telah terjadi perkembangan ke bentuk yang lebih populis,
yakni dengan bentuk hibrida antara dokumenter dengan opera
sabun, drama fiksi dan rekonstruksi berita. Lebih lanjut, dengan
mulai adanya teknologi camcoder yang terjangkau, kaum amatir
telah menggunakannya dalam film Video Diaries dan untuk tujuan
hiburan, seperti acara yang dibuat sebagai variasi Candid Camera.

Televisilah yang memainkan peranan penting dalam menyerap


bentuk dokumenter di tahun 1970-an dan 1980-an.
Keanekaragaman bentuk membuat pembuat-pembuat film dari
kelompok-kelompok yang pada awalnya minoritas telah mengambil
kesempatan untuk tampil lebih istimewa, dengan suara-suara
khusus dan tujuan-tujuan tertentu. Hal ini penting bagi keberadaan
dokumenter sebagai alat sosial yang penting untuk kelanjutan
prinsip-prinsip demokratis.

Film-film non-fiksi penting mengenai feminisme telah muncul


sehingga langsung menantang dominasi laki-laki dalam
dokumenter. Film-film dengan tema tersebut antara lain Three Lives
(1971) karya Kate Millet, Woman to Woman (1975) karya Donna
Deitch, The Life and Times of Rosie the Riveter (1980) karya Connie
Field, dan Daughter Rite (1978) karya Michelle Citron. Film-film ini
menginginkan kembalinya ‘bahasa film’ dan menunjukkan sejarah
dari problem-problem perempuan dalam masyarakat.

Serupa dengan itu, para pembuat film lesbian dan gay menemukan
alat bicara di dalam dokumenter, contohnya dalam Before
Stonewall: The Making of a Gay and Lesbian Community (1984) oleh
Greta Schiller, John Scagliotti dan Robert Rosenberg, dan yang
paling menyentuh adalah The Times of Harvey Milk (1984) karya
Robert Epstein, mengenai pembunuhan Harvey Milk, seorang
pejabat dan aktivis hak-hak kaum gay dan lesbian di San Fransisco.

Lebih lanjut, pembuat film dari kalangan orang kulit hitam telah
menggunakan dokumenter untuk mengambil kembali sejarah dan
identitas, khususnya mungkin ada di film Eyes on the Prize (1989)
karya Henry Hampton, dan dalam konteks Inggris, Handsworth
Songs (1986) karya John Akomfrah. Kelompok-kelompok yang
ditekan atau tidak terwakilkan telah dapat membicarakan
‘kebenaran’ mereka, menunjukkan ‘fakta’ mereka dan
menggambarkan ‘keaslian’ mereka, dan dalam hal ini fleksibilitas
dokumenter telah membantu mereka dengan baik.

Di era 1990-an, lebih banyak lagi bentuk dokumenter yang dibuat


agak murah dengan teknilogi digital baru, memenuhi jadwal televisi,
dan berbicara kepada dengan penonton di seluruh dunia untuk
mengambil aspek lain dari diri mereka sendiri dan dunia tempat
mereka tinggal.
Proyek besar dari Era Informasi dalam memperbaiki komunikasi dan
menyediakan lebih banyak waktu, tetapi belum berhasil membuat
manusia dapat berkomunikasi lebih efektifl. Oleh sebab itu
dokumeter sangat berharga dalam usahanya untuk mengevaluasi
secara kritis kemajuan masyarakat yang seharusnya terjadi, dan
implikasi nyata dari sejarah kebudayaan.

Contoh karya-karya penting lainnya adalah Shoah (1986) karya


Claude Lanzmann, epic 9 jam mengenai wawancara dengan orang-
orang yang selamat dari bencana; The Thin Blue Line (1988) karya
Errol Morris, sebuah studi mengenai kasus pembunuhan pinggir
jalan, dan Randall Adams, orang yang dipenjara karena diduga
melakukan kejahatan tersebut, terbukti tidak bersalah; dan Roger
and Me (1990) karya Michael Moore, sebuah perspektif dari warga
yang prihatin mengenai pengkhianatan ekonomi dan sosial oleh
General Motors. Semua berhasil secara internasional dan
merupakan sebuah petunjuk bahwa bentuk dokumenter tetap kuat
di era kontemporer. Belum lagi nama-nama seperti seperti Nick
Broomfield, Molly Dineed, Clive Gordon, Robert Gardner dan Trinh T.
Minh-ha yang cukup berhasil dengan film-filmnya.

Daftar Pustaka

Bill Nichols, Introduction to Documentary, Indiana University Press,


2001
________, Representing Reality, Indiana University Press, 1991
Alan Rosenthal, Writing, Directing and Producing Documentary Films
and Video, Southern Illinois University Press, 1990
Michael Rabiger, Directing The Documentary, Focal Press, 1992
Sharon R. Sherman, Documenting Ourselves, The University Press Of
Kentucky, 1998

You might also like