You are on page 1of 20

TINJAUAN PUSTAKA

I.

VISUM ET REPERTUM JENASAH Jenasah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat

identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan, yang diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertumnya harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah hanya pemeriksaan luar jenasah, ataukah pemeriksaan autopsi (bedah mayat). Bila pemeriksaan autopsi yang diinginkan, maka penyidik wajib memberitahu kepada keluarga korban dan menerangkan maksud dan tujuan pemeriksaan. Autopsi dilakukan setelah keluarga korban tidak keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga korban. Jenasah hanya boleh dibawa keluar institusi kesehatan dan diberi surat keterangan kematian bila seluruh pemeriksaan yang diminta oleh penyidik telah dilakukan. Apabila jenasah dibawa pulang paksa, maka baginya tidak ada surat keterangan kematian. Pemeriksaan forensik terhadap jenasah meliputi pemeriksaan luar jenasah, tanpa melakukan tindakan yang merusak keutuhan jaringan jenasah. Pemeriksaan dilakukan dengan teliti dan sistematik, serta kemudian dicatat secara rinci, mulai dari bungkus atau tutup jenasah, pakaian, benda-benda di sekitar jenasah, perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologik, gigi-geligi dan luka-luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan di seluruh bagian luar. Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka kesimpulan visum et repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab kematian tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan pemeriksaan bedah jenasah. Lamanya mati sebelum pemeriksaan (perkiraan saat kematian), apabila dapat diperkirakan, dapat dicantumkan dalam kesimpulan. Kemudian dilakukan pemeriksaan bedah jenasah menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut dan panggul. Kadang kala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologik, toksikologik, serologik, dan sebagainya. Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian korban, selain jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan saat kematian seperti tersebut di atas.

II.

TANATOLOGI Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari cara kematian korban dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Ada 3 manfaat tanatologi, yaitu: menetapkan hidup atau matinya korban, memperkirakan lama kematian korban, dan menentukan wajar atau tidak wajarnya kematian korban. Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu: Mati somatis terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, dan sistem pernapasan, yang menetap (ireversibel). Mati suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem kehidupan diatas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati seluler adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbedabeda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan. Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati otak adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.

A. Tanda kematian tidak pasti 1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, auskultasi). 2. 3. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan. 4. Tonus otot menghilang dan relaksasi.

5.

Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian. Segmen-segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan kemudian menetap.

6.

Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air.

B. Tanda pasti kematian 1. Lebam mayat (Livor mortis) Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat gaya tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang tertekan alas keras. Darah tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah. Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit pasca mati, makin lama intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat masih hilang pada penekanan dan dapat berpindah jika posisi mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih cepat dan sempurna apabila penekanan atau perubahan posisi tubuh dilakukan pada 6 jam pertama setelah mati klinis. Tetapi, walaupun setelah 24 jam, darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah masih dapat mengalir dan membentuk lebam mayat di tempat terendah yang baru. Kadang-kadang dijumpai bercak perdarahan berwarna biru kehitaman akibat pecahnya pembuluh darah. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh bertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut. Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian; memperkirakan sebab kematian, misalnya lebam berwarna merah terang pada keracunan CO atau CN. Keracunan sianida memiliki ciri khas tertentu, yaitu warna lebam mayat merah kebiruan yang disebabkan terjadi bendungan dan sianosis. Lebam mayat yang berwarna merah kecoklatan pada methemoglobinemia dan warna kecoklatan pada keracunan anilin, nitrit, nitrat, sulfonal.

Lebam mayat yang belum menetap atau masih hilang pada penekanan menunjukkan saat kematian kurang dari 8-12 jam sebelum saat pemeriksaan. Mengingat pada lebam mayat darah terdapat di dalam pembuluh darah, maka keadaan ini digunakan untuk membedakannya dengan resapan darah akibat trauma (ekstravasasi). Bila pada daerah tersebut dilakukan irisan dan kemudian disiram dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau pudar pada lebam mayat, sedangkan pada resapan darah tidak menghilang. 2. Kaku mayat (rigor mortis) Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke arah dalam (sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan terjadi pemendekan otot. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kaku mayat adalah: a. Pada orang kurus dan bayi, kaku mayat lebih cepat timbul dan cepat pula menghilang. b. Suhu tubuh dan suhu lingkungan yang meningkat mempercepat timbulnya kaku mayat. c. d. Pada orang dengan gizi buruk, kaku mayat cepat terjadi. Adanya aktivitas fisik sebelum mati mempercepat timbulnya kaku mayat.

Kaku mayat dipergunakan untuk menunjukkan tanda pasti kematian dan memperkirakan saat kematian. Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai kaku mayat : Cadaveric spasm (instantaneuous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal. Cadaveric spasm ini jarang dijumpai, tetapi sering terjadi dalam masa perang. Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan yang menggenggam erat benda yang diraihnya pada kasus tenggelam, tangan yang menggenggam senjata pada kasus bunuh diri. Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati terbakar. Pada heat stiffening serabutserabut ototnya memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha, dan lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian. Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi. 3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis) Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu benda ke benda yang lebih dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi, dan konveksi. Kecepatan penurunan suhu dipengaruhi oleh suhu keliling, aliran dan kelembaban udara, bentuk tubuh, posisi tubuh, dan pakaian. Selain itu suhu saat mati perlu diketahui untuk perhitungan perkiraan saat kematian. Penurunan suhu tubuh akan lebih cepat pada suhu keliling yang rendah, lingkungan berangin dengan

kelembaban rendah, tubuh yang kurus, posisi terlentang, tidak berpakaian atau berpakaian tipis, dan pada umumnya orang tua serta anak kecil. 4. Pembusukan (decomposition, putrefaction) Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis dan kerja bakteri. Autolisis adalah pelunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim yang dilepaskan sel pasca mati dan hanya dapat dicegah dengan pembekuan jaringan. Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh segera masuk ke jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan yang terutama adalah Clostridium welchii. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana, H2S dan HCN, serta asam amino dan asam lemak. Pembusukan baru tampak kira-kira 24 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair dan penuh dengan bakteri serta terletak dekat dinding perut. Warna kehijauan ini disebabkan oleh terbentuknya sulfmethemoglobin. Secara bertahap warna kehijauan ini akan menyebar ke seluruh perut dan dada, dan bau busuk pun mulai tercium. Pembuluh darah bawah kulit akan tampak seperti melebar dan berwarna hijau kehitaman. Selanjutnya kulit ari akan terkelupas atau membentuk gelembung berisi cairan kemerahan berbau busuk. Pembentukan gas di dalam tubuh, dimulai di dalam lambung dan usus, akan mengakibatkan tegangnya perut dan keluarnya cairan kemerahan dari mulut dan hidung. Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan mengakibatkan terabanya derik (krepitasi). Gas ini menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, tetapi ketegangan terbesar terdapat di daerah dengan jaringan longgar, seperti skrotum dan payudara. Tubuh berada dalam sikap seperti petinju (pugilistic attittude), yaitu kedua lengan dan tungkai dalam sikap setengah fleksi akibat terkumpulnya gas pembusukan di dalam rongga sendi. Selanjutnya rambut menjadi mudah dicabut dan kuku mudah terlepas, wajah menggembung dan berwarna ungu kehijauan, kelopak mata membengkak, pipi tembem, bibir tebal, lidah membengkak, dan sering terjulur diantara gigi. Keadaan

seperti ini sangat berbeda dengan wajah asli korban, sehingga tidak dapat lagi dikenali oleh keluarga. Larva lalat akan dijumpai setelah pembentukan gas pembusukan nyata, yaitu kira-kira 3648 jam pasca mati. Kumpulan telur lalat telah dapat ditemukan beberapa jam pasca mati, di alis mata, sudut mata, lubang hidung, dan diantara bibir. Telur lalat tersebut kemudian akan menetas menjadi larva dalam waktu 24 jam. Dengan identifikasi spesies lalat dan mengukur panjang larva, maka dapat diketahui usia larva tersebut, yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat mati, dengan asumsi bahwa lalat biasa secepatnya meletakkan telur setelah seseorang meninggal. Alat dalam tubuh akan mengalami pembusukan dengan kecepatan yang berbeda. Perubahan warna terjadi pada lambung terutama di daerah fundus, usus menjadi ungu kecoklatan. Mukosa saluran napas menjadi kemerahan, endokardium dan intima pembuluh darah juga kemerahan akibat hemolisis darah. Difusi empedu dari kandung empedu mengakibatkan warna coklat kehijauan di jaringan sekitarnya. Otak melunak, hati menjadi berongga seperti spons, limpa melunak dan mudah robek. Kemudian alat dalam akan mengerut. Prostat dan uterus non gravid merupakan organ padat yang paling lama bertahan terhadap perubahan pembusukan. Pembusukan akan timbul lebih cepat bila suhu keliling optimal (26,5 oC suhu normal tubuh), kelembaban dan udara yang cukup, banyak bateri pembusuk, tubuh gemuk atau menderita penyakit infeksi dan sepsis. Media tempat mayat terdapat juga berperan. Mayat yang terdapat di udara akan lebih cepat membusuk dibandingkan dengan yang terdapat dalam air atau dalam tanah. Perbandingan kecepatan pembusukan mayat yang berada dalam tanah : air : udara adalah 8 : 2 : 1. Bayi baru lahir umumnya lebih lambat membusuk karena hanya memiliki sedikit bakteri dalam tubuhnya dan hilangnya panas tubuh yang cepat pada bayi akan menghambat pertumbuhan bakteri. 5. Adiposera (lilin mayat) Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca mati.

Dulu disebut sebagai saponifikasi, tetapi istilah adiposera lebih disukai karena menunjukkan sifat-sifat diantara lemak dan lilin. Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang terbentuk oleh hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam lemak jenuh pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat, jaringan saraf yang termumifikasi (Mant dan Furbank, 1957) dan kristal-kristal sferis dengan gambaran radial (Evans, 1962). Adiposera terapung di air, bila dipanaskan mencair dan terbakar dengan nyala kuning, larut di dalam alkohol panas dan eter. Faktor-faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah kelembaban dan lemak tubuh yang cukup, sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir yang membuang elektrolit. Udara yang dingin menghambat pembentukan, sedangkan suhu yang hangat akan mempercepat. Invasi bakteri endogen ke dalam jaringan pasca mati juga akan mempercepat pembentukannya. Pembusukan akan terhambat oleh adanya adiposera, karena derajat keasaman dan dehidrasi jaringan bertambah. Lemak segar hanya mengandung kira-kira 0,5 % asam lemak, tetapi dalam waktu 4 minggu pasca mati dapat naik menjadi 20 % dan setelah 12 minggu menjadi 70 % atau lebih. Pada saat ini adiposera menjadi jelas secara makroskopik sebagai bahan berwarna putih kelabu yang menggantikan atau menginfiltrasi bagian-bagian lunak tubuh. Pada stadium awal pembentukannya sebelum makroskopik jelas, adiposera paling baik dideteksi dengan analisis asam palmitat. 6. Mummifikasi Mummifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan. Jaringan berubah menjadi keras dan kering, berwarna gelap, berkeriput, dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat berkembang pada lingkungan yang kering.Mummifikasi terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi, dan waktu yang lama (12 14 minggu). Mummifikasi jarang dijumpai pada cuaca yang normal.

C. Perkiraan saat kematian Selain perubahan pada mayat tersebut di atas, beberapa perubahan lain dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati. 1. Perubahan pada mata. Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kirikanan kornea akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea (traches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi lapis demi lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak kira-kira 6 jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kornea menjadi keruh kira-kira 10 12 jam pasca mati dan dalam beberapa jam saja fundus tidak tampak jelas. Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi pupil pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan lamanya mati. Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian hingga 15 jam pasca mati. Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan makula dan mulai memucatnya diskus optikus. Kemudian hingga 1 jam pasca mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak tajam lagi. Selama 2 jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning. Warna kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi lebih gelap. Pada saat itu pola vaskular koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan latar belakang merah dengan pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam pasca mati menjadi kabur dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat. Pada kira-kira 6 jam pasca mati, batas diskus kabur dan hanya pembuluh-pembuluh besar yang mengalami segmentasi yang dapat dilihat dengan latar belakang kuning kelabu. Dalam waktu 7 10 jam pasca mati akan mencapai tepi retina dan batas diskus akan sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus hanya dapat dikenali dengan adanya konvergensi beberapa segmen pembuluh darah yang tersisa. Pada 15 jam pasca mati tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan diskus, hanya makula saja yang tampak berwarna coklat gelap.

2.

Perubahan dalam lambung. Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak dapat digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan saat mati. Namun keadaan lambung dan isinya mungkin membantu dalam membuat keputusan. Ditemukannya makanan tertentu dalam isi lambung dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah makan makanan tersebut.

3.

Perubahan rambut. Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0,4 mm/hari, panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian. Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia mencukur.

4.

Pertumbuhan kuku. Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat kematian bila dapat diketahui saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku.

5.

Perubahan dalam cairan serebrospinal. Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg% menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10 mg% masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30 jam.

6.

Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup akurat untuk memperkirakan saat kematian antara 24 100 jam pasca mati.

7.

Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis darah pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati. Selain itu gangguan fungsi tubuh selama proses kematian dapat menimbulkan perubahan dalam darah bahkan sebelum kematian itu terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan perubahan dalam darah yang dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati dengan lebih tepat.

8.

Reaksi supravital, yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa uji dapat dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misalnya rangsang listrik masih dapat

menimbulkan kontraksi otot mayat hingga 90 120 menit pasca mati dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai 60 90 menit pasca mati, sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit sampai 1 jam pasca mati. III. PERLUKAAN AKIBAT KEKERASAN TUMPUL Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan yang bersifat mekanik, fisika dan kimia. Kekerasan akibat benda tumpul berdasarkan sifatnya termasuk kedalam kekerasan yang bersifat mekanik. Luka yang terjadi akibat kekerasan benda tumpul dapat berupa luka memar (kontusio, hematom), luka lecet (ekskoriasi, abrasi), dan luka terbuka atau luka robek (vulnus laseratum). a. Luka Memar Luka memar adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam jaringan bawah kulit (kutis) karena pecahnya pembuluh darah kapiler dan vena akibat kekerasan benda tumpul sewaktu seseorang masih hidup. Apabila kekerasan benda tumpul terjadi pada jaringan ikat longgar, seperti pada daerah leher, daerah mata atau pada orang yang sudah lanjut usia, maka luka memar yang terjadi kadang seringkali tidak sebanding dengan kekerasan yang terjadi, dalam arti seringkali lebih luas; adanya jaringan ikat longgar tersebut memungkinkan berpindahnya memar ke daerah yang lebih rendah, berdasarkan gravitasi. Umur luka memar secara kasar dapat diperkirakan melalui perubahan warnanya. Pada saat timbul, memar berwarna merah kemudian berubah menjadi ungu atau hitam, setelah empat sampai lima hari akan berwarna hijau yang kemudian akan berubah menjadi kuning dalam waktu tujuh sampai sepuluh hari, dan akhirnya menghilang dalam empat belas sampai lima belas hari. Perubahan warna tersebut berlangsung mulai dari tepi dan waktunya dapat bervariasi tergantung derajat dan berbagai faktor yang mempengaruhinya. b. Luka Lecet Luka lecet adalah luka yang superfisial, luka ini terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing. Luka lecet memiliki ciri-ciri bentuk luka tidak teratur, tepi luka tidak rata, kadang-kadang ditemui sedikit perdarahan, permukaan tertutup oleh krusta, warna kecoklatan merah,

pada pemeriksaan mikroskopik terlihat adanya beberapa bagian yang masih ditutupi oleh epitel dan reaksi jaringan (inflamasi). Sesuai mekanisme terjadinya, luka lecet dibedakan dalam 3 jenis: Luka lecet gores (scratch)

Luka ini terjadi akibat oleh benda runcing yang menggeser lapisan permukaan kulit. Dari gambaran kedalaman luka pada kedua ujungnya dapat ditentukan arah kekerasan datang. Luka lecet serut (graze) / geser (friction abrasion)

Luka lecet serut merupakan variasi dari luka lecet gores yang daerah persentuhannya dengan permukaan kulit lebih lebar. Arah kekerasan ditentukan dengan melihat letak tumpukan epitel. Sedangkan luka lecet geser merupakan luka lecet yang disebabkan karena tekanan linear pada kulit disertai gerakan bergeser, misalnya pada kasus gantung atau jerat serta pada korban pecut. Luka lecet tekan (impression, impact abrasion)

Luka lecet yang disebabkan oleh penekanan benda tumpul secara tegak lurus terhadap permukaan kulit. Karena kulit adalah jaringan yang lentur, maka bentuk luka lecet tekan belum tentu sama dengan bentuk permukaan benda tumpul tersebut, namun terkadang dapat sama dengan bentuk permukaan benda tumpul tersebut. Kulit pada luka lecet tekan tampak berupa daerah kulit yang kaku dengan warna yang lebih gelap dari sekitarnya. c. Luka Terbuka atau Luka Robek Luka terbuka adalah luka yang disebabkan karena adanya persentuhan dengan benda tumpul dengan kekuatan yang mampu merobek seluruh lapisan kulit dan jaringan dibawahnya. Ciri-ciri dari luka terbuka adalah bentuk luka tidak beraturan, tepi atau dinding luka tidak rata, tebing luka tidak rata, bila ditautkan tidak merapat karena terdapat jembatan-jembatan jaringan yang menghubungkan kedua tepi luka, akar rambut tampak hancur atau tercabut, disekitar luka robek sering tampak adanya luka lecet atau luka memar. IV. KECELAKAAN LALU LINTAS Kecelakaan lalu-lintas adalah kejadian di mana sebuah kendaraan bermotor tabrakan dengan benda lain dan menyebabkan kerusakan. Kadang kecelakaan ini dapat mengakibatkan

luka-luka atau kematian manusia atau binatang. Menurut WHO kecelakaan lalu-lintas menelan korban jiwa sekitar 1,2 juta manusia setiap tahunnya. Faktor yang mempengaruhi kecelakaan Faktor manusia

Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan. Hampir semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu lalu lintas. Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku ataupun tidak melihat ketentuan yang diberlakukan atau pula pura-pura tidak tahu. Faktor kendaraan

Faktor kendaraan yang paling sering terjadi adalah ban pecah, rem tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, kelelahan logam yang mengakibatkan bagian kendaraan patah, peralatan yang sudah aus tidak diganti dan berbagai penyebab lainnya. Keseluruhan faktor kendaraan sangat terkait dengan technologi yang digunakan, perawatan yang dilakukan terhadap kendaraan. Faktor jalan

Faktor jalan terkait dengan kecepatan rencana jalan, geometrik jalan, pagar pengaman didaerah pegunungan, ada tidaknya median jalan, jarak pandang dan kondisi permukaan jalan. Jalan yang rusak/berlobang sangat membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai sepeda motor. Faktor lingkungan

Hari hujan juga mempengaruhi unjuk kerja kendaraan seperti jarak pengereman menjadi lebih jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga terpengaruh karena penghapus kaca tidak bisa bekerja secara sempurna atau lebatnya hujan mengakibatkan jarak pandang menjadi lebih pendek. Asap dan kabut juga bisa mengganggu jarak pandang, terutama didaerah pegunungan.

Trauma pada Kecelakaan Lalu-Lintas Menurut data kepolisian Republik Indonesia Tahun 2003, jumlah kecelakaan di jalan mencapai 13.399 kejadian, dengan kematian mencapai 9.865 orang, 6.142 orang mengalami luka berat, dan 8.694 mengalami luka ringan. Dengan data itu, rata-rata setiap hari, terjadi 40 kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan 30 orang meninggal dunia. Macam-macam Trauma Trauma yang terjadi kecelakaan lalu-lintas memiliki banyak bentuk, tergantung dari organ apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim, disebut sebagai trauma benda tumpul. Ada tiga trauma yang paling sering terjadi dalam peristiwa ini, yaitu trauma kepala, fraktur (patah tulang), dan trauma dada. Trauma kepala, terutama jenis berat, merupakan trauma yang memiliki prognosis (harapan hidup) yang buruk. Hal ini disebabkan oleh karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Di dalam kepala terdapat otak yang mengatur seluruh aktivitas manusia, mulai dari kesadaran, bernapas, bergerak, melihat, mendengar, mencium bau, dan banyak lagi fungsinya. Jika otak terganggu, maka sebagian atau seluruh fungsi tersebut akan terganggu. Gangguan utama yang paling sering terlihat adalah fungsi kesadaran. Itulah sebabnya, trauma kepala sering diklasifikasikan berdasarkan derajat kesadaran, yaitu trauma kepala ringan, sedang, dan berat. Makin rendah kesadaran seseorang makin berat derajat trauma kepalanya. Gangguan otak bisa terjadi disertai dengan adanya penurunan kesadaran, fraktur tengkorak, atau bengkak pada kulit kepala. Akan tetapi, tidak jarang, bisa juga terjadi tanpa kelainan fisik yang tampak dari luar. Ada tidaknya kelainan otak ini harus dipastikan. Trauma kedua yang paling sering terjadi dalam sebuah kecelakaan adalah fraktur (patah tulang). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka, yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar, dan fraktur tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar.

Secara umum, fraktur terbuka bisa diketahui dengan melihat adanya tulang yang menusuk kulit dari dalam, biasanya disertai perdarahan. Adapun fraktur tertutup, bisa diketahui dengan melihat bagian yang dicurigai mengalami pembengkakan, terdapat kelainan bentuk berupa sudut yang bisa mengarah ke samping, depan, atau belakang. Selain itu, ditemukan nyeri gerak, nyeri tekan, dan perpendekan tulang. Dalam kenyataan sehari-hari, fraktur yang sering terjadi adalah fraktur ekstremitas dan fraktur vertebra. Fraktur ekstremitas mencakup fraktur pada tulang lengan atas, lengan bawah, tangan, tungkai atas, tungkai bawah, dan kaki. Dari semua jenis fraktur, fraktur tungkai atas atau lazimnya disebut fraktur femur (tulang paha) memiliki insiden yang cukup tinggi. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3 tengah. Adapun fraktur vertebra, yaitu fraktur pada daerah tulang belakang. Fraktur ini cukup riskan karena di daerah tulang belakang terdapat kumpulan saraf medulla spinalis yang merupakan lanjutan dari otak. Gangguan pada medulla spinalis bisa menyebabkan kelumpuhan, baik lumpuh kaki, lumpuh tangan maupun kedua-duanya. Trauma yang ketiga, yang sering terjadi pada kecelakaan adalah trauma dada atau toraks. Tercatat, seperempat kematian akibat trauma disebabkan oleh trauma toraks. V. UNDANG-UNDANG BERKENDARAAN Selama mengemudikan kendaraan di jalan, setiap pengemudi kendaraan bermotor memiliki kewajiban seperti dalam pasal 23 ayat (1) UU No.14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berikut: (1) Pengemudi kendaraan bermotor pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di jalan, wajib : a. Mampu mengemudikan kendaraannya dengan wajar; b. Mengutamakan keselamatan pejalan kaki; c. Menunjukkan surat tanda bukti pendaftaran kendaraan bermotor, atau surat tanda coba kendaraan bermotor, surat izin mengemudi, dan tanda bukti lulus uji; d. Mematuhi ketentuan tentang kelas jalan, rambu-rambu dan marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, waktu kerja dan waktu istirahat pengemudi, gerakan lalu lintas,

berhenti dan parkir, persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, pengguna kendaraan bermotor, peringatan dengan bunyi dan sinar, kecepatan maksimum dan atau minimum. Menurut pasal 27 ayat (1) bila terjadi peristiwa kecelakaan lalu lintas maka pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas,wajib: a. menghentikan kendaraan; b. menolong orang yang menjadi korban kecelakaan; c. melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat. Sanksi pada pelanggaran pasal 27 ayat (1) terdapat pada pasal 63: Barangsiapa terlibat peristiwa kecelakaan lalu lintas pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan tidak menghentikan kendaraannya, tidak menolong orang yang menjadi korban kecelakaan dan tidak melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat, sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah) Bila jatuh korban pada kecelakaan lalu lintas maka hal tersebut diatur dalam pasal 31 sebagai berikut : (1) Apabila korban meninggal, pengemudi dan/atau pemilik dan/atau pengusaha angkutan umum wajib memberi bantuan kepada ahli waris dari korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman. (2) Apabila terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban, bantuan yang diberikan kepada korban berupa biaya pengobatan.

Ketentuan Pidana KUHP Ketentuan pidana pada kasus yang menyebabkan mati atau luka karena kealpaan dalam KUHP terdapat dalam pasal 359: Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain meninggal, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

PEMBAHASAN

Korban diterima di Instalasi Forensik Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto pada hari Sabtu tanggal 16 Juni 2012 pukul 18.45 WIB, dengan Surat Permintaan Visum dari Kepolisian Negara Republik Indonesia Resor Bogor Sektor Sukaraja dengan nomor surat VER / 18 / VI / 2012 / Sektor tertanggal 16 Juni 2012. Adanya SPV berarti syarat untuk pembuatan Visum et Repertum (VER) telah terpenuhi dan mewajibkan dokter untuk memberikan bantuan kepada pihak penyidik sesuai dengan pasal 179 ayat 1 KUHAP yang berbunyi: Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Istilah Visum et Repertum sendiri tidak pernah tercantum dalam KUHAP, namun dasar hukum pengadaannya sesuai dengan pasal 133 KUHAP ayat 1 yang berbunyi Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. dan ayat 2 yang berbunyi Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Pernyataan ini sesuai dengan definisi Visum et Repertum, yaitu surat keterangan ahli yang dibuat oleh dokter atas permintaan tertulis penyidik yang berwenang, mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia baik hidup ataupun mati, bagian tubuh manusia, atau yang diduga bagian tubuh manusia, yang dibuat berdasarkan keilmuannya, di bawah sumpah, demi kepentingan peradilan. Pada tanggal 16 Juni 2012 korban ditemukan oleh polisi sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Menurut penyidik, jenazah ditemukan tergeletak di samping rel kereta api dengan penjelasan bahwa mayat tersebut diduga meninggal dunia akibat tertabrak gerbong kereta api. Korban kemudian dibawa polisi ke Instalasi Forensik Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto. Pada korban hanya dilakukan pemeriksaan luar saja sehingga sebab kematian tidak dapat diketahui, hanya diketahui dari pemeriksaan luar bahwa korban telah mengalami kekerasan tumpul.

Pada pemeriksaan seorang mayat perempuan berusia tiga puluh hingga tiga puluh lima tahun, pada pemeriksaan luar terdapa. Terdapat luka lecet pada dada kiri, perut atas kiri, punggung atas kanan, tungkai atas kanan, tungkai bawah kanan, punggung tangan kiri Terdapat luka memar di dahi kiri, tungkai atas kanan, lengan bawah kanan, punggung ibu jari kiri dan lengan atas kiri, Melihat pola dan sifat luka, maka hal ini sesuai dengan kekerasan tumpul. Permintaan surat keterangan pemeriksaan jenazah dilakukan atas dasar adanya laporan pada pihak kepolisian setempat dimana hal ini sesuai dengan UU No. 14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan pasal 27 ayat (1) huruf c: Bila terjadi peristiwa kecelakaan lalu lintas maka pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas, wajib melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat. Ketentuan hukum yang berlaku pada kasus kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal ini menurut UU No. 14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, terdapat pada pasal 31 ayat (1), yaitu: Apabila korban meninggal, pengemudi dan/atau pemilik dan/atau pengusaha angkutan umum wajib memberi bantuan kepada ahli waris dari korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman. Sedangkan menurut KUHP, ketentuan pidana tentang hal yang menyebabkan mati atau luka akibat kealpaan terdapat dalam pasal 359: Barangsiapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain meninggal, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

KESIMPULAN

Pada pemeriksaan terhadap mayat seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun sampai tiga puluh lima tahun ini, pada pemeriksaan luar ditemukan luka lecet pada dada, punggung, lengan, tangan dan tungkai. Luka memar pada dahi, tangan, punggung, lengan dan tungkai dan patah tulang iga kanan akibat kekerasan tumpul. Sebab kematian orang ini belum dapat dipastikan karena belum dilakukan pemeriksaan dalam

DAFTAR PUSTAKA

1.

Budianto A., dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. ed I. cet II. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI, 1997

2.

Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. cet II. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FKUI, 1994

3.

Dahlan Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2000

4.

Perundang-Undangan & Aturan Republik Indonesia Terkait Kegiatan Kedokteran Forensik & Medikolegal. cet I. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Dan Medikolegal Rumkit Puspol RS Sukanto, 2010

You might also like