You are on page 1of 58

Perjanjian Yang Dilarang Pertemuan 5-6

Pendahuluan
Kata persaingan menjadi kata kunci di era globalisasi Banyak negara menganut sistem ekonomi terbuka Hukum Persaingan usaha salah satu sarana untuk mendorong persaingan usaha yang sehat Indonesia memiliki UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Salah satu ketentuannya adalah di dalam BAB II mengatur Perjanjian Yang dilarang Apa yang dimaksud dengan Perjanjian Yang dilarang?

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Substansi Pokok terdiri atas: Perjanjian Yang Dilarang


Tidak menyebutkan secara jelas pengertian perjanjian yang dilarang. Disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Perjanjian yang dilarang berkaitan dengan:
Oligopoli. Penetapan harga
3

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Perjanjian yang dilarang berkaitan dengan:


Oligopoli. Penetapan harga. Pemboikotan. Kartel. Trust. Oligopsoni. Integrasi vertikal. Perjanjian tertutup. Perjanjian dengan pihak luar negeri.

Bentuk Perjanjian
Ada tiga bentuk perjanjian: Perjanjian secara horizontal, vertikal dan diagonal (konglomerat) Kartel adalah bentuk pembatasan persaingan yang tertua Alasan untuk memerangi kartel adalah tidak saja merugikan konsumen tetapi dalam tahap-tahap tertentu merugikan negara Ada tiga kartel, yaitu kartel harga (price fixing), penetapan jumlah produksi dan penetapan wilayah pemasaran Ketiga kartel ini yang disebut dengan kartel yang klasik (hard core cartels)

Bentuk Perjanjian
Kartel adalah suatu perilaku yang terus diperangi melalui hukum persaingan usaha Pada tahun 1970an pelaku usaha senang menggunakan istilah kerjasama untuk menghindari kesan negatif tersebut Dan sejak itu pelaku usaha lebih senang menggunakan istilah aliansi strategis Tetapi kadangkala pelaku usaha melakukan kartel dibalik nama aliansi strategis tersebut.

Perjanjian Yang Dilarang Menurut UU Antimonopoli


Diatur di dalam pasal 4 pasal 16 Perjanjian tersebut secara horizontal dan vertikal Apa yang dimaksud dengan perjanjian yang dilarang? Perjanjian yang dilarang adalah perjanjian yang mempunyai implikasi hambatan persaingan usaha baik secara horizontal (horizontal restraint of trade) maupun secara vertikal (vertical restraint of trade)

Perjanjian Yang Dilarang Menurut UU Antimonopoli


Di dalam perjanjian yang dilarang ada perjanjian horizontal (pasal 4, 5, 7, pasal 9 pasal 16) dan; perjanjian vertikal ( pasal 6, pasal 8, pasal 14 dan pasal 15)

Perjanjian Horizontal
Pasal 4: Oligopoli (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Perjanjian Horizontal
Penetapan Harga Pasal 5 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

Perjanjian Horizontal
Pasal 7: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pembagian Wilayah Pasal 9 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

PRICE FIXING
Yang dimaksud price fixing adalah kontrak/persetujuan/perjanjian mengenai penentuan harga. Ada yang menggunakan istilah penetapan. Mengacu Sherman Act, dilatar belakangi sistem ekonomi liberalkapitalis: peran pemerintah minimal dan konsep perdagangan bebas. Siapa yang menentukan harga ?. Tergantung demand - supply. Kebijakan price fixing adalah hal yang salah, karena melanggar prinsip perdagangan bebas

12

PRICE DISCRIMINATION DAN PRICE FIXING CONTRACT


JALUR DISTRIBUSI BARANG PRODUSEN Whole Saler(pedagang Besar) Distributor atau agen

Retailer (pedagang kecil KONSUMEN

13

YANG PERLU DIPERHATIKAN:


Wholesaler: membeli untuk menyalurkan kembali barang-barang konsumer (consumer goods) dalam jumlah besar. Terbagi atas : distributor: bertindak sendiri sedangkan agency: tidak bertindak sendiri melainkan bertindak untuk dan atas nama pemilik (principal) yaitu produsen atau manufacturer. Kontrak distributorship, yang menentukan harga adalah distributor sendiri, keuntungan atau kerugian berada ditangan distributor. Kontrak keagenan: tindakan bisnis yang diambil berupa kebijakan atau harus sepengetahuan prinsipal. Keuntungan: komisi atau fee Retailer : yang menyalurkan barang langsung ke konsumen. Dikategorikan retailer dapat dari supermarket sampai dengan kaki lima, karena menjual langsung ke konsumen (enduser).

14

PRICE DISCRIMINATION
Price discrimination atau pembedaan harga. Dapat terjadi dalam jalur produsen ke wholesaler atau wholesaler ke retailer. Contoh: Indofood mempunyai tiga distrubutor di Bandung, A, B dan C. Untuk A diberi harga Rp. 20.000,-, B sebesar Rp. 17.000,- dan C sebesar Rp. 25.000, Persyaratan dagang sama: pembayaran cash, domisili di Bandung, barang diambil sendiri (loco). Dengan perbedaan perlakuan B dapat menjual lebih murah dari A dan C. Merupakan price discrimination.

15

PRICE DISCRIMINATION
PRODUSEN

WS A 100

WS B 100

WS C 90

Secara faktual, distributor A dan B tidak terima, karena C diberikan harga lebih murah. Lihat berikutnya...

16

PRICE DISCRIMINATION
PRODUSEN I PRODUSEN II

1 100

2 100

3 90

4 90
2 sumber produsen I dan II

5 90

6 90

Ada price discrimination

Perbedaan harga diantara produsen adalah wajar Produsen II menekan marjin keuntungan
17

BAGAIMANA PERMASALAHANNYA ?
Supreme Court USA Tindakan produsen I membedakan harga boleh dilakukan (inforceable) berdasarkan doktrin rule of reason. Argumen: produsen I melakukan tindakan membedakan harga untuk dapat melakukan persaingan dengan produsen II, karena WS 3 mendapatkan sumber barang dari produsen II juga. Istilahnya adalah meet to competition, price discrimination jatuh dalam kelompok doktrin rule of reason, yaitu terdapat unsur pemaaf, dengan pembuktian yang dilakukan produsen I untuk menyaingi produsen II

18

MENGAPA PRICE FIXING DILARANG ?


Bila dilakukan, produsen akan memperbesar keuntungan dan konsumen akan dirugikan. Horizontal price fixing yang dilarang adalah penentuan harga diantara sesama produsen melalui suatu kontrak atau perjanjian. Misal di Indonesia hanya ada 2 pabrik semen dan sepakat menentukan harga Rp. 15.000,-/zak. Karena kebutuhan semen, harga tinggi pasti laku. Hal ini menjurus ke conspiracy= persekongkolan. Bila tidak ada price fixing mungkin harga jual Rp. 10.000,-, karena disepakati Rp. 15.000,-, ini merupakan unfair, disebut horizontal price fixing atau istilah yang lebih umum adalah cartel atau kartel.

19

HORIZONTAL PRICE FIXING (KARTEL) DALAM ASOSIASI


Kartel atau Horizontal price fixing dapat terjadi diantara produsen yang membentuk asosiasi (misalnya: asosiasi pabrik tekstil, asosiasi produksi semen dll). Asosiasi dapat sangat kuat menguasai pasar sehingga membentuk conspiracy untuk membuat kartel. USA dan negara-negara eropa pelaku kartel terjaring Sherman Act, article 1. Selain penentuan harga, dapat diikuti dengan penentuan jumlah produksi. Misal A memproduksi 100 ton/bulan, B memproduksi 90 ton/bulan. D.K.L.: melalui praktik kartel, produsen seolah-olah memegang monopoli atau memegang pasar.

20

BAGAIMANA DIVISION MARKET ?


Distributor dibagi masing-masing: Jawa barat , Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pembagian ini dapat diterima. Bagaimana sesama Produsen, misal kawasan barat (kecap indofood) dan kawasan timur ( kecap Bango). Ini tidak boleh karena membatasi konsumen (prinsip hukum kompetisi adalah kebebasan individu) Dikategorikan : Illegal perse (otomatis illegal).

21

Perjanjian Horizontal
Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri Pasal 16 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Perjanjian Vertikal
Pasal 6: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama. Pasal 8: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Perjanjian Vertikal
Pasal 14: Integrasi Vertikal Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.

Perjanjian Vertikal
Perjanjian Tertutup Pasal 15 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

Perjanjian Vertikal
Perjanjian Tertutup Pasal 15 (3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Unsur-unsur Perjanjian
Yang pertama, ada minimal dua pelaku usaha yang saling bersaing (horizontal) dan dua pelaku usaha yang mempunyai keterkaitan usaha (vertikal) Yang kedua, ada akibat perjanjian tersebut yaitu terjadi praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat Akibat perjanjian tersebut ada yang bersifat per se illegal dan rule of reason Jadi kedua unsur tersebut harus ada di dalam perjanjian supaya ketentuan UU Antimonopoli dapat diterapkan Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian adalah perjanjian yang tertulis dan tidak tertulis (Pasal 1 Angka 7) Gentlemens agreement yang mengakibatkan antipersaingan dapat dikenakan UU Antimonopoli Ciri adanya gentlemens agreement adalah ada suatu tindakan atau perilaku yang paralel yang dilakukan terus menerus dalam waktu yang cukup lama yang mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat.

Hambatan Persaingan Usaha Secara Horizontal: Oligopoli


Definisi Oligopoli tidak ditetapkan di dalam UU Antimonopoli Pengertian dapat ditemukan di dalam pasal 4 ayat 2 Oligopoli adalah dimana terdapat dua atau lebih pelaku usaha melakukan kegiatan usaha pada pasar yang bersangkutan. Terdapat kekuatan pasar diantara pelaku usaha kurang lebih sebanding. Salah satu karakteristik pasar yang oligopolistik barang yang dijual adalah produk yang homogen, bensin, minyak mentah, bahan bangunan, pipa baja dll. Oleh karena itu di pasar yang homogen terjadi keterkaitan reaksi Jika satu pelaku usaha menaikkan harganya, maka pelaku usaha yang lain juga akan menaikkan harganya dan sebaliknya, jika satu pelaku usaha menurunkan harganya, maka yang lain juga ikut menurutnkan harga jualnya.

Oligopoli
Mengapa? Karena pada pasar yang homogen tidak ada persaingan kualitas Disinilah terjadi apa yang disebut dengan perilaku yang saling menyesuaikan diantara pelaku usaha Oleh karena itu pada pasar yang oligopolistik sebenarnya tidak dilakukan melalui suatu perjanjian Jadi berbeda dengan oligopoli yang diatur di dalam pasal 4 UU Antimonopoli Tetapi di pasar heterogenpun dapat timbul oligopoli paling tidak dari struktur murni -, namun tidak terjadi kesepakatan untuk saling menyesuaikan, justru berpeluang terjadi persaingan harga dan kualitas

Oligopoli
Pada prinsipnya pada barang yang homogen tidak terjadi suatu perjanjian melain melalui penyesuaian perilaku Ada kemungkinan melalui penyesuaian perilaku terjadi tindakan kartel Untuk membuktikannya butuh waktu yang lama Misalnya di Eropa terjadi kartel semen, butuh waktu lima tahun baru dapat dibuktikan di Eropa terjadi kartel semen.

Oligopoli Melalui Perjanjian


UU Antimonopoli menetapkan oligopoli melalui suatu perjanjian (pasal 4 ayat 1). Oligopoli terjadi melalui suatu perjanjian untuk menguasai produksi dan atau pemasaran barang atau jasa tertentu Ketentuan ayat 1 Pasal 4 tersebut dapat dikatakan kartel, yaitu kartel produksi dan kartel pembagian wilayah pemasaran Tetapi penguasaan produksi dan atau wilayah pemasaran baru suatu dugaan atau dianggap, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Oligopoli Melalui Perjanjian


Dilihat dari arti kata diduga dan dianggap Diduga adalah sesuatu yang masih dapat dibantah (rebuttable), sedangkan dianggap adalah sesuatu yang hampir tidak dapat dibantah lagi. Untuk menghindari interpretasi yang berbeda-beda, penerapan kedua kata tersebut dapat digunakan arti yang sama, yaitu dapat dibantah, karena didahului dengan kata patut yaitu menjadi mempunyai sifat rule of reason. Jadi para meter dua atau tiga pelaku usaha yang menguasai lebih dari 75% pangsa pasar suatu barang atau jasa tertentu tidaklah menjadi angka absolut yang mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Penguasaan pangsa pasar lebih dari 75% oleh dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha tidak otomatis dilarang Harus dibuktikan terlebih dahulu, bahwa melalui penguasaan pangsa pasar lebih dari 75% terjadi persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan. Kalau tidak terbukti, maka dua atau tiga pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar lebih dari 75% tersebut tidak dikenakan ketentuan UU Antimonopoli.

Penetapan Harga (Price Fixing)


Hambatan persaingan secara horizontal adalah penetapan harga (pasal 5 ayat 1) Ketentuan pasal 5 ayat 1 adalah suatu larangan yang bersifat per se. Mengapa dilarang per se? Biasanya pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar Menutup persaingan diantara pelaku usaha yang saling bersaing Merugikan konsumen, konsumen tidak mempunyai alternatif, untuk membeli produk yang sama dengan harga yang berbeda (yang lebih murah). Harga yang dibayar oleh konsumen bukan lagi harga akibat persaingan melalui proses antara permintaan dan penawaran, melainkan ditetapkan oleh pelaku usaha yang membuat perjanjian.

Penetapan Harga (Price Fixing)


Oleh karena itu Adam Smith sangat concern dalam memerangi kartel harga Dia mengatakan people of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices Jadi para pelaku usaha bertemu dimana saja cenderung melakukan konspirasi untuk merugikan masyarakat atau untuk menaikkan harga suatu barang tertentu.

Diskriminasi Harga
Ketentuan pasal 6 melarang pembuatan perjanjian antara pelaku usaha yang menetapkan harga yang berbeda-beda kepada pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama Ketentuan pasal 6 tidak menjelaskan dengan siapa pelaku usaha membuat perjanjian sehingga pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda-beda dari yang harus dibayar oleh pembeli yang lain. Secara horizontal tidaklah masuk akal pelaku usaha yang saling bersaing membuat perjanjian untuk menetapkan harga jual yang berbeda-beda kepada pembeli yang berbeda-beda untuk barang atau jasa yang sama. Pasal 6 tersebut hanya dimungkinkan oleh satu pelaku usaha menetapkan harga yang berbeda-beda kepada pembeli yang berbeda-beda untuk barang atau jasa yang sama. Jadi adanya hubungan vertikal antara produsen dengan pembelinya. Larangan ini agak berbeda dengan UU Negara lain, yang memungkinkan penjualan suatu barang atau jasa dengan harga yang berbeda-beda, khususnya terhadap pembeli dalam jumlah yang berbeda-beda (bukan konsumen akhir)

Penetapan Harga dibawah Harga Pasar (maintained minimum resale prices)


Ketentuan pasal 7 menetapkan larangan membuat perjanjian (secara horizontal) untuk menetapkan harga di bawah harga pasar yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (bersifat rule of reason). Ketentuan Pasal 7 baru dapat diterapkan kepada para pelaku usaha, jika harga yang disepakati di bawah harga pasar, tetapi jika harga yang disepakati diatas harga pasar akan dikenakan Pasal 5 Ayat 1. Harga pasar adalah informasi umum bagi setiap pelaku usaha. Harga pasar berubah-ubah berdasarkan mekanisme pasar. Untuk itu KPPU harus dapat menetapkan harga pasar pada waktu tertentu dan pada waktu tertentu tersebut para pelaku usaha mengadakan perjanjian untuk menjual barang atau jasa di bawah harga pasar tersebut, yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan. Biasanya para pelaku usaha melakukan perjanjian penetapan harga dibawah harga pasar untuk menyingkirkan pesaingnya.

Tidak Menjual Barang atau Jasa Lebih Rendah dari yang Disepakati (Pasal 8)
Larangan Pasal 8 adalah terhadap perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, yang menetapkan persyaratan bahwa penerima barang atau jasa atau memasok kembali barang atau jasa yang diterimanya, dengan harga lebih rendah dengan harga yang diperjanjikan (resale price maintenance) sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, pelaku usaha lain di dalam UU Antimonopoli tidak ditetapkan secara tegas, apakah dengan pesaingnya (secara horizontal) atau dengan distributor atau agen (secara vertikal). Kalau pelaku usaha lain dimaksudkan pesaingnya, maka ketentuan Pasal 8 tersebut tidak mempunyai arti alias mubajir. Jika pelaku usaha lain dimaksudkan secara vertikal (distributor, agen, retailer), maka Pasal 8 dapat diterapkan kepada pelaku usaha yang melakukan perjanjian tersebut, itupun jika mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.

Pembagian Wilayah Pemasaran (Pasal 9)


Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang atau jasa sehingga mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Syarat larangan Pasal 9 para pelaku usaha bergerak dibidang usaha yang sama dan melalui perjanjian tersebut persaingan diantara mereka menjadi tertutup. Akibatnya masing-masing pelaku usaha menjadi terbatas wilayah pemasarannya. Konsumen tidak mempunyai alternatif untuk membeli produk yang lain. Akhirnya masing-masing pelaku usaha dapat menentukan sendiri jumlah produk, kualitas dan harga yang harus dibayar oleh jkonsumen Pelaku usaha tidak berupaya lagi melakukan efisiensi, dan tidak mengupayakan peningkatkan kualitas produk dan pelayanan yang baik bagi konsumen.

Pemboikotan
Biasanya boikot dilakukan jika suatu pelaku usaha menghentikan memasok barang atau jasa kepada pelaku usaha ketiga atas permintaan pelaku usaha yang lain. Dalam boikot terdapat tiga pihak, pihak yang memboikot/pemboikot, pihak yang meminta supaya dilakukan boikot (party inducing boycott) dan pihak yang diboikot (addressee) Ketiga pelaku usaha tersebut adalah masingmasing berdiri sendiri baik secara hukum maupun kegiatan usahanya.

Pemboikotan
Pihak Yang meminta Dilakukan Boikot

Pemboikot

Pihak Yang diboikot

Pemboikotan
Boikot dapat diterima (dilakukan) jika pihak yang diboikot kesiapannya untuk diboikot sudah diberitahukan sebelumnya. Larangan terhadap boikot memerlukan syarat subyektif yaitu untuk merugikan pihak yang diboikot.

Pemboikotan (Pasal 10)


Boikot Ayat 1 Pasal 10 mensyaratkan perjanjian antara pelaku usaha yang bergerak dibidang usaha Akibat perjanjian tersebut dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan. Tujuannya adalah untuk mencegah pelaku usaha baru masuk ke pasar yang bersangkutan. Hal ini agak sulit dilakukan di dalam praktek oleh para pelaku usaha secara horizontal, biasanya yang dilakukan secara vertikal.

Pemboikotan (Pasal 10)


Pelaku Usaha A (Kegiatan Usahanya Sama dengan B) Pelaku Usaha B (Kegiatan Usahanya Sama dengan A)

Pelaku Usaha C Diboikot Tidak bisa Melakukan Kegiatan Usaha yang sama Dengan A dan B

Pemboikotan (Pasal 10)


Boikot Ayat 2 Pasal 10 adalah perjanjian yang dilakukan antara pelaku usaha dengan pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang atau jasa dari pelaku usaha lain, akibatnya: Merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain; atau Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang atau jasa dari pasar yang bersangkutan. Jadi boikot dimaksudkan di dalam Ayat 2 tersebut adalah penjualan atau pembelian barang atau jasa secara vertikal.

Pemboikotan (Pasal 10)


Pelaku usaha yang saling bersaing menolak setiap barang atau jasa dari pelaku usaha lain untuk menghambat persaingan pada pasar yang bersangkutan, yang mengakibatkan pelaku usaha lain tersebut mengalami kerugian. Pelaku usaha yang saling bersaing menghambat pelaku usaha lain untuk mendapatkan atau memasarkan barang atau jasa tertentu.

Penetapan Jumlah Produksi (Pasal 11)


Ketentuan Pasal 11 melarang penetapan jumlah produksi dan penetapan atau pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang bermaksud untuk mempengaruhi harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat Unsur-unsur ketentuan Pasal 11 adalah adanya perjanjian diantara pelaku usaha yang saling bersaing, mengatur jumlah produksi, mengatur pemasaran suatu barang atau jasa, bermaksud untuk mempengaruhi harga dan dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan Pasal 11 tersebut bersifat rule of reason.

Trust (Pasal 12)


Ketentuan Pasal 12 melarang pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain membuat perjanjian untuk membentuk gabungan perusahaan atau perusahaan yang lebih besar dengan tetap mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan untuk mengontrol produksi atau pemasaran barang atau jasa sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Gabungan perusahaan tersebut memproduksi barang atau jasa yang sama dengan barang atau jasa yang diproduksi oleh pendiri gabungan perusahaan tersebut. Ketentuan Pasal 12 bersifat rule of reason.

Trust (Pasal 12)


Pelaku Usaha A (Tetap Eksis) Pelaku Usaha B (Tetap Eksis)

Usaha Patungan

Oligopsoni (Pasal 13)


Ketentuan Pasal 13 mengdung prinsip yang sama dengan ketentuan Pasal 4. Perbedaannya Pasal 4 mengatur monopoli penjual dan Pasal 13 mengatur monopoli pembelian. Dominasi (penguasaan) pangsa pasar yang diatur oleh Pasal 13 sama dengan yang diatur oleh Pasal 4, yaitu sesuatu yang rebuttable. Oleh karena itu, pendekatan rule of reason berlaku juga terhadap ketentuan Pasal 13.

Integrasi Vertikal (Pasal 14)


Pasal 14 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain tentang kegiatan proses produksi dari hulu sampai ke hilir yaitu kegiatan usaha yang terintegrasi mulai dari pengolahan bahan baku sampai pada pengolahan produksi barang sampai barang tersebut sampai ditangan konsumen. Integrasi vertikal dapat terjadi pada pengolahan bahan bakunya, atau dari pengolahan produk sampai produk tersebut selesai diproduksi, dan sampai kepada tangan konsumen akhir. Pada prinsipnya integrasi vertikal tidak dilarang. Dilarang, jika mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.

Variasi Integrasi Vertikal (Pasal 14)

P. Bahan Baku

Produsen

Distributor/Agen

Bahan Baku

Distributor

Retailer

Produsen

Agen

Konsumen Akhir

Perjanjian Tertutup (Pasal 15)


Ayat 1 Pasal 15 melarang perjanjian eksklusif, yaitu pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang atau jasa tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu. Ayat 2 Pasal 15 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan, bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok.

Perjanjian Tertutup (Ayat 2 Pasal 15)


Pihak lain (Yang menerima Barang)

Pelaku usaha A

Pelaku Usaha Pemasok

Pihak yang menerima barang

Perjanjian di tingkat kedua


Ayat 3 Pasal 15 melarang pelaku usaha membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang atau jasa tertentu yang memuat persyaratan, bahwa pelaku usaha yang menerima barang atau jasa dari pelaku usaha pemasok: Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Perjanjian di tingkat kedua


Ketentuan Pasal 15 ayat 3 mengatur suatu perjanjian mengenai persyaratan tertentu, yang mengikat pembeli supaya dia dapat memasok barang atau jasa dari produsen dengan pemberian harga atau potongan harga, yaitu melalui suatu perjanjian eksklusif. Perjanjian penetapan harga ditingkat kedua? Produsen melalui distributor/agen menetapkan harga jual kepada konsumen akhir.

Perjanjian dengan pihak luar negeri


Pasal 16 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat di Indonesia. Perjanjian dilakukan antara pelaku usaha Indonesia dengan pihak asing di luar negeri.

Penutup
Perjanjian yang dilarang diatur di dalam Pasal 4 Pasal 16 yang memuat perjanjian horizontal dan perjanjian vertikal. Perjanjian yang dilarang secara horizontal adalah Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9 Pasal 13 dan Pasal 16. Perjanjian yang dilarang secara vertikal adalah Pasal 6, Pasal 8, Pasal 14 dan Pasal 15.

Terima kasih atas perhatiannya

You might also like