You are on page 1of 8

“BERGURU BAHASA INGGERIS:

Dari Somba Opu ke Lamaddukkelleng” 1


A. Hafied A. Gany 2
gany@hafied.org

KUTIPAN KETERANGAN FOTO: Sebagai ungkapan terimakasih


saya pada lembaga perguruan Bahasa Inggeris yang telah
berperan banyak dalam mewarnai kehidupan saya, saya hanya
mampu mengungkapkannya dalam kanvas berukuran (60 x 80 cm)
sebuah lukisan “amatiran” berupa “burung hantu” bertengger di
latar depan dan Menara Jam Bigben (London) di latar belakang
berlangit parabola biru, yang saya beri judul “The Bigben and the
1
Tilisan ini khusus dibuat dan dimuat di situs “Panyingkul” Tulisan ini
dapat diakses di internet melalui link Situs “Panyingkul”:
http://panyingkul.com/view.php?id=403, sebagai ungkapan terima
kasih Penulis kepada Bapak Drs E.V. Surardjo, Direktur Utama Intensive
English Course (IEC), yang telah membuka peluang bagi penulis melalang
buana ke lima benua, yang tadinya dianggap suatu hal yang mustahil..
2
DR. (Eng) A. Hafied A. Gany, M.Sc., P.Eng. (64th) adalah alumni IEC di
Makassar (1962-1963); kini sebagai Widyaiswara Utama Departemen
Pekerjaan Umum, setelah menjabat berbagai posisi di Departemen P.U.,
dan telah berkesempatan mengunjungi ratusan negara di lima benua;
Sejak November 2007, Terpilih menjadi Vice President of International
Commission on Irrigation and Drainage (ICID), suatu organisasi ilmiah
profesional yang sangat bergensi di dunia (Selama 59 tahun organisasi
Internasional ini berdiri, Dr. Hafied Gany merupakan Putra Indonesia Kedua
yang menduduki posisi ini).
1
Owl”. Memaknai bahwa Kursus Bahasa Inggeris yang berlogo
burung hantu tersebut, telah mengantarkan saya dari Makassar ke
Inggeris (Bigben), kemudian ke seantero benua Planet Biru (The
Earth), di samping tinggalan nostalgia indah yang tak ternilai dan
tak terlupakan, “dari Somba Opu ke La Maddukkelleng”.
(Foto: Istimewa)

M
eskipun sejak kelas tiga Sekolah Rakyat (SR) saya sudah memendam
“obsesi” untuk menguasai Bahasa Inggeris, namun sampai saya tamat SMP
di Watan Soppeng (1960) saya tidak pernah berhasil mendongkrak nilai
Bahasa Inggeris saya di rapor melebihi angka lima. Malahan dalam ujian akhir SMP
saya hanya berhasil mendapatkan nilai kurang dari lima.
Menjelang ujian akhir SMP, kepala sekolah memberikan kesempatan kepada siswa
kelas tiga untuk praktek di rumahnya mendengarkan rekaman pelajaran Bahasa
Inggeris koleksi peribadinya, yang katanya diperoleh sebagai kenang-kenangan dari
adiknya yang belajar di Negeri Belanda. Masih jelas dalam ingatan saya bentuk mesin
perekam suara tersebut berupa kotak hitam, ukuran sebesar koper pakaian dengan
pita tipis selebar kuku jari tangan yang tergulung pada “roll” gulungan dengan
diameter sebesar piring makan, dan dengan berat sekitar 20 kg, karena saya yang
berumur sembilan tahun waktu itu tidak mampu mengangkatnya.
Meskipun kami hanya diberi kesempatan sekali itu saja praktek dengan mesin
perekam suara tersebut, kami semua sungguh terpesona mendengar untuk pertama
kalinya pelajaran Bahasa Inggeris yang dituturkan oleh orang Inggeris asli. Pada saat
itu, satu-satunya buku bahasa Inggeris yang kami kenal adalah buku pelajaran wajib
yang dikarang oleh “Van Delden” (itupun hanya warisan temurun dari paman dan
kakak saya). Tidak heran kalau pengalaman pertama mendengarkan bahasa Inggeris
tersebut sangat berkesan, dan tidak akan pernah terlupakan.
---------
Beberapa bulan sekitar awal tahun pertama setelah bersekolah di STM Negeri
Makassar, saya berkali-kali dihinggapi rasa frustrasi untuk melupakan saja pelajaran
bahasa Inggeris. Pasalnya bahwa dengan bekal nilai “lima” bahasa Inggeris dari SMP
di Soppeng, saya harus mengikuti pelajaran “Technical English” yang terus terang
sangat jauh dari kemampuan saya menyerapnya. Setiap akhir minggu, saya hanya
mampu menyelesaikan sekitar 30% dari pekerjaan rumah (PR) Bahasa Inggeris,
itupun sesekali mengintip “PR” teman.
Tanpa saya sadari, di balik bayangan putus asa, rupanya saya masih terus dibayang-
bayangi pertolongan oleh Sang Khalik, karena setiap rasa frustrasi datang
menghantui, setiap kali pula timbul dialog positif silih berganti dengan dialog negatif
dalam sanubari saya, seolah-olah saya sedang menjadi moderator dua pihak yang
berseberangan, dan pada gilirannya dialog positif-lah yang menjadi pemenang.
Sampai kuartal ke dua saya menikmati belajar di STM Negeri Makassar, aktivitas dan
prestasi belajar Bahasa Inggeris saya berjalan datar-datar saja, dan selalu dibayangi
rasa risau bahwa tanpa upaya-upaya tambahan, saya tidak akan pernah mampu
mewujudkan obsesi saya untuk menguasai Bahasa Inggeris. Sementara itu, alih-alih
mengikuti kursus Bahasa Inggeris (yang pada saat itu merupakan hal yang sangat
mewah), dana rutin kiriman orang tua saya saja, salah-salah bisa tekor.
---------

2
Di sekitar pertengahan tahun 1960, pagi-pagi selagi saya sedang memompa ban
sepeda, dan berkemas-kemas berangkat ke sekolah, tante saya memberitahukan
bahwa malam sebelumnya, paman dari saudara misan bapak saya memesankan
agar sepulang dari sekolah saya mampir ke rumahnya di Jalan Elang – katanya, ada
“kejutan” berkaitan dengan kursusus Bahasa Inggeris.
Pada hari itu, saya benar-benar tidak tenang belajar, pikiran saya penuh teka-teki
mengenai kaitannya saya dipanggil ke rumah paman. Rasanya saya ingin bolos kelas
dan secepatnya ke rumah paman, kalau sekiranya saya tidak mengetahui bahwa
beliau baru akan pulang dari kantor di sore hari menjelang Magrib. Paman saya itu
bekerja sebagai pemegang buku pada suatu perusahaan swasta (P.T. Abung,
samaran) yang berkantor di gedung sisi kanan pintu masuk Pelabuhan Hatta.
Untuk memudahkan pegawainya berkumunikasi dengan klien perusahaan yang
bergerak di bidang ekpor-impor, P.T. Abung memfasilitasi paman saya (yang jebolan
SMP swasta di Soppeng) belajar Bahasa Inggeris di lembaga kursus Gaga Purana
(samaran), yang kebetulan letaknya di ujung utara Jalan Somba Opu sebelah barat
jalan, satu atau dua kapling dari pojok ke arah Pelabuhan Hatta.
Rupanya setelah dua bulan mengikuti kursus, paman saya ternyata mengalami
sindroma frustrasi mengikuti kursus. Sebagaimana yang dituturkan setelah saya
bertemu di rumahnya, pengetahuan Bahasa Inggeris beliau bukannya bertambah,
malahan menjadi semakin kacau. Beliau sempat memplesetkan nama lembaga
kursus Bahasa Inggeris tersebut dalam bahasa Bugis sebagai “Kursus Degaga
Purana” (mirip-mirip ucapan dari nama kursus Bahasa Inggeris tersebut – Gaga
Purana), yang artinya kursus yang tidak ada habis-habisnya. Setiap hari ada saja
peserta kursus yang masuk dan keluar, sehingga pelajaran terpaksa diulang-ulangi
terus. Akhirnya paman saya memutuskan berhenti di tengah jalan.
---------
Baru sekitar pukul tujuh malam itu saya tiba di rumah paman, yang kebetulan sedang
santap malam. Bunyi “keletak” waktu saya merantai sepeda tua saya di pintu pagar
menyadarkan paman atas kedatangan saya, dan langsung saja diajak bergabung
santap malam bersama. Saya dalam hati membatin, mudah-mudahan ini adalah
pertanda baik.
Benar saja firasat saya, kegembiraan spontan meluap tatkala beberapa saat setelah
selesai santap malam, paman saya langsung menawarkan saya kalau-kalau mau
menggantikannya mengikuti kursus, meneruskan paket beberapa bulan yang sudah
terlanjur dibayar perusahaan paman saya. Mendengar tawaran itu, perasaan saya jadi
bebunga-bunga, kalau bisa malam itu juga saya ingin langsung mengikuti kursus,
namun paman menjanjikan untuk mengantar dan memperkenalkan saya dengan guru
dan staf administrasi lembaga kursus tersebut keesokannya.
Saya baru benar-benar mendapatkan “kejutan” dengan kesempatan gratis untuk
belajar Bahasa Inggeris, meskipun saya harus bertekun setiap malam dari pukul
19:00 sampai dengan pukul 21:30 malam. Untuk praktisnya, saya mengatur waktu
sepulang dari sekolah pukul lima sore, saya langsung menuju tempat kursus di Jalan
Somba Opu tanpa pulang dulu ke rumah pondokan di Jalan Parang Layang. Jadi
setiap hari saya berangkat dari rumah pukul enam pagi, dan baru tiba kembali paling
cepat pukul sepuluh malam. Kalau ada sisa uang jajan, saya sempatkan mengganjal
perut dengan ubi goreng di warung sekolah, yang dilayani oleh anak gadis penjaga

3
sekolah (Siti Zahara), dengan senyumannya membuat pelanggan (sembalu’) anak-
anak STM betah duduk berlama-lama, kendatipun makanan sudah “ludes” semua.
Kalau kecepatan sampai ke tempat kursus, terkadang juga saya mampir duduk-duduk
di pinggir Pantai Losari, memandangi matahari terbenam, sambil menikmati kelezatan
aroma pisang epek, atau bau semerbak bakaran sate, yang tidak terjangkau dengan
kantong yang biasanya hanya berisikan uang pete’-pete’ yang pas-pasan, untuk
persediaan tambal ban sepeda.
Kalau masih menjelang senja, terkadang juga mangkal di dekat pintu pelabuhan Hatta
berburu “kelasi bule” untuk diajak praktek berbahasa Inggeris ala “tarzan bersepeda”.
Terkadang juga kami kecele, karena waktu itu kami beranggapan bahwa semua orang
bule, pasti bisa berbahasa Inggeris, tau-taunya orang yang kami sapa adalah orang
Rusia, atau orang Cheko yang banyak berkunjung ke Makassar pada waktu itu.
Kebiasaan ini akhirnya menjadi “acara wajib”, sampai saat-saat terakhir saya
meninggalkan Makassar.
Sampai sekarang saya sering senyum-senyum kecut, jika mengenang pengalaman
kami bersama teman-teman membuat kesal awak Kapal HOPE (Health Opportunity
for People Everywhere), rumah sakit terapung milik pemerintah Amerika Serikat, yang
bersandar di Pelabuhan Hatta mengemban misi kemanusiaan di Makassar, tahun
1962. Pasalnya, saking bersemangatnya ingin pamer kepada teman-teman sekolah
lain yang bersama meninjau Kapal HOPE, begitu ketemu orang Amerika di kapal,
tanpa “ba-bi-bu” lagi, kami hampir serentak menyapa bertubi-tubi dengan Bahasa
Inggeris “tarzan” – logat Bugis kental: “Hello Mister”; “What is your name”; “Where do
you come from”; “How long are you going to stay in Makassar”; How many time have
you visited Makassar?”; “Are you married”; “How many children do you have?”; Photo
me, ....... Sir!. Sesaat berselang, masih jelas dalam ingatan, bagaimana orang
Amerika tersebut memandang kami dengan sorotan mata tajam, penuh rasa kesal.
Entah apa yang diucapkannya menggumam pergi, meninggalkan kami yang hanya
bisa melongo berpandangan satu sama lain.
---------
Pada bulan-bulan selanjutnya, ternyata saya mendapati diri mulai kambuh kembali
dari sindroma “kebosanan”. Pasalnya, penyelenggaraan kursus mengalami kondisi
berulang yang persis sama seperti yang membuat paman saya angkat kaki. Merasa
sayang dengan biaya kursusus yang sudah lunas dibayar, saya masih melanjutkan
mengikuti kursus, dengan setengah hati, sambil mulai mencari tau alternatif lain untuk
berpindah kursus. Saat itu, di Makassar setahu saya hanya ada dua kursus yang
representatif yakni Institut Bahasa Inggeris yang berlokasi di Jalan Lombok (?), dan
yang satunya Kusus Bahasa Inggeris yang berlokasi di SMA Suzter, Jalan La
Maddukkelleng.
Tiga bulan kemudian, tanpa mendapatkan sertifikat, saya memutuskan berhenti
kursus di Jalan Somba Opu dan hijrah ke tempat kursus baru di Jalan La
Maddukkelleng (memulai dari tingkat dasar – elementary), dengan berbagai
pertimbangan memenuhi tuntutan atmosfir belajar bahasa Inggeris sebagai anak
muda menanjak remaja. Melihat tekadku yang bulat, pamanku saat itu bersedia
menanggung biaya kursus saya sampai tamat.
---------

4
Begitu menyenangkannya belajar bahasa Inggeris di Lembaga kursus yang berlogo
burung hantu latar belakang biru malam, di Jalan La Maddukkeleng tersebut, tidak
terasa saya melewati tingkat Elementary, Intermediate dan menduduki tingkat
Advanced di tahun ketiga (1963). Sejak dari tingkat Elementary, saya benar-benar
menikmati masa-masa belajar ditengah-tengah kelas yang pesertanya sekitar 50-an
orang dengan mayoritas siswa-siswa remaja wanita dari SMA Suzter. Dapat
dibayangkan, bagaimana saya yang berakar dari sekolah desa di Soppeng, gagap
pergaulan (kuper), “tembak langsung” bersekolah di STM Negeri Makassar yang
semua siswanya laki-laki, dengan tiba-tiba menemukan suasana belajar yang sarat
dengan suasana pergaulan muda-mudi yang nostalgianya terlalu sayang untuk
dilupakan, walaupun hanya sejenak.
Kalau saya diminta berkata jujur – dan itu harus – bahwa faktor dominan yang
mendongkrak prestasi bahasa Inggeris saya adalah karena berada pada suasana
belajar yang sarat dengan suasana pergaulan muda-mudi (yang akrab dan santun),
dan termotivasi ingin berkompetisi (positif) dengan sesama muda-mudi remaja.
Sepanjang mengikuti kursus, saya benar-benar merasakan tertelan suasana gembira,
tidak pernah melewatkan waktu tanpa makna. Saya tidak pernah sekalipun absen
atau terlambat masuk kelas, bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa sekolah
saya di STM saat itu, seolah-olah menjadi “perioritas nomor dua”.
Banyak sekali nostalgia indah yang membekas sangat dalam di lubuk hati saya. Tidak
kurang kenangan indah kesunyian malam Kota Makassar, saat saya pulang kursus,
mengayuh sepeda tua dengan santai menelusuri Jalan Kajaolalliddo, Jalan La
Maddukkelleng, jalan Sultan Hasanuddin, Jalan Balaikota, menyeberang ke Jalan
Lombok, berbelok-belok sampai Jalan Sangir, Jalan Kalimantan, memotong Jalan
Andalas, sampai ke pemondokan saya di ujung timur Jalan Parang Layang (waktu itu
dijuluki teman-teman sebagi Makassar Pinggiran).
Sampai-sampai hembusan angin malam bercampur aroma air laut-pun, sesekali
diikuti dengan alunan lembut musik Tionghwa pengantar ke peraduan tatkala
melewati pemukiman remang di sekitar Jalan Sangir, semua terekam secara tajam di
sanubari saya. Saya sampai hafal sudut-sudut lokasi sepanjang route jalan yang saya
lalui setiap malam, di mana alunan lagu-lagu lembut silih berganti terdengar sayup-
sayup. Sampai saat ini, saya masih mengenang bagaimana Lagu Anging Mamiri,
Anakkukang, Sulawesi Parasanganta, sesekali berganti dengan lagu Kisah Cinta,
berkumandang mengendap di lubuk hati tatkala melewati lokasi-lokasi tertentu. Saya,
yang jebolan pesantren, banyak juga tersentuh dengan lagu-lagu barat nostalgia
waktu itu, misalnya La Paloma, Love Sory, Besame Mucho, dan musik-musik abadi
ciptaan Mozaar, Johan Strauss, Sebastian Bach, Chaikosvky (yang nama-nama lagu
dan komposer-nya saya baru tahu belasan tahun kemudian) tatkala melewati
kawasan Jalan Boto Lempangan, Sultan Hasanuddin dan sekitarnya.
Sampai hampir seperempat abad kemudian, saya tidak pernah menyadari bagaimana
nostalgia indah ini berkembang dalam pembentukan diri saya menjadi pencinta
musik-musik abadi, musik klasik dan musik nostalgia semacamnya. Saya mendapati
diri saya menjalang usia senja menemukan kebiasaan (hobby) baru merekam
nostalgia indah yang pernah saya alami ke dalam lukisan cat minyak di kanvas,
sambil mendengarkan alunan musik nostalgia indah sepanjang masa-masa berguru
Bahasa Inggeris dari Somba Opu ke La Maddukkelleng di Kota Makassar nan
tercinta.

5
---------
Sering saya merenung di usia senja ini, memutar ulang rekaman kenangan indah
semasa berguru Bahasa Inggeris, di Makassar. Setiap kali, saya selalu merasa
bersyukur bahwa pada gilirannya saya berhasil menemukan lembaga kursus Bahasa
Inggeris yang bisa memotivasi saya, yang sebelumnya berkali-kali frustrasi. Ternyata
motto lembaga kursus yang sering saya dengar dari Direktur Perguruan saya tersebut
memegang peranan besar yakni: “The meaning of Mastering English is to Understand
and to be Understood, No Matter Your Grammer is” yang dipadukan dengan
pengayaan perbendaharaan kata (vocabulary encichment). Berbagai kelengkapan
tambahan praktek seni bermain peran, berdialog, berwisata alam, bermusik, ber-
drama, yang saya alami selama kursus, sangat memicu motivasi berbahasa Inggeris,
yang lama kelamaan dapat diperdalam dengan mudah untuk berkomunikasi formal
dalam bidang sosial politik maupun ilmu pengetahuan eksakta lainnya.
Menjelang akhir Tahun 1962, pada kesempatan penammatan kelas advanced di atas
saya, saya bersama rekan-rekan sekelas diminta untuk memerankan drama pendek
yang dicuplik dari kumpulan drama Inggeris klasik. Setelah membaca teks dan
skenarionya, kami bersepakat membagi peran dengan masing-masing berusaha
mengenal dan mendalami watak dan kharakter yang diperankan masing-masing,
menghafal teks baru kemudian mulai latihan peran.
Kami memerlukan waktu sekitar enam minggu, berlatih berpindah dari rumah-ke-
rumah teman di sekitar Jalan Lamaddukkelleng. Sedemikian akrabnya, sehingga kami
semua merasa seperti dalam satu keluarga besar tanpa batas ras, suku, agama,
maupun almamater. Kami memanggil nama satu sama lain dengan nama pelaku yang
kami perankan dalam skenario.
Pementasan drama yang kami lakukan, akhirnya meraih kesuksesan yang tidak
kurang diakui oleh kumpulan orang-orang asing yang berdomisili di Makassar, yang
khusus diundang ke aula Hotel Negara di Jalan Sungai Saddang untuk menyaksikan
drama Inggeris produk La Maddukkeleng tersebut. Keritikan kecil kebanyakan hanya
berkisar pada pakaian dan dekorasi yang kami pakai, katanya tidak mewakili mode’ di
era berlangsungnya ceritera. Paling tidak, saya merasa tidak berkecil hati, karena topi
dan jas yang saya pakai, adalah pinjaman dari bapak teman sekursus saya yang
terpaksa diganjal kepalanya, dan dengan lengan yang dilipat sepertiga ke dalam
dengan jahitan tangan sementara, untuk bisa sesuai dengan badan saya yang kecil.
---------
Meskipun kami tidak pernah ketemu lagi sejak berpisah di akhir tahun 1963 – kecuali
satu dua orang – saya masih ingat nama-nama mereka satu persatu, sebut saja
antara lain: Miss Ida, tinggal di Jalan Boto Lempangan, yang belakangan saya dengar
kawin dengan seorang asisten instruktur yang kemudian menjadi salah seorang
menteri di akhir Era Soeharto; Miss Lilian tinggal di Jalan Cenderawsih, yang
kabarnya pindah sekolah di Semarang; Miss Enny, di Jalan Somba Opu, mengelola
sebuah toko kerajinan; Miss Hamdani di ujung selatan Jalan Jenderal Sudirman; Mr.
Kho Brown di Jalan Sangir, yang belakangan saya dengar menjadi wira-usaha produk
pertanian di Jawa Tengah; Mr. Saeno, yang belakangan saya dengar menjadi aktivis
sebuah partai ternama; dan Mr. Herman, yang saya dengar sekarang ini menjalani
masa pensiun perwira tinggi ABRI di Jawa Timur. Saya sendiri, waktu itu dipanggil “Mr.
Bingley”, yang akhirnya lebih populer dari nama asli saya sendiri.

6
Sejak Tahun 1968, Lembaga kursus Bahasa Inggeris tersebut hijrah ke Jakarta dan
kini berkembang dengan jumlah 70 cabang tersebar di seluruh Nusantara. Saya
masih sesekali ketemu Pak Suko Rahardjo (samaran – suhu besar perguruan saya,
yang saat ini menjelang umur 80-an tahun, tapi masih sehat dan aktif membina
perguruannya) yang sangat senang mendengarkan nostalgia tentang Makassar di
Tahun 60-an.
Sebagai ungkapan terimakasih saya pada lembaga perguruan Bahasa Inggeris yang
telah berperan banyak dalam mewarnai kehidupan saya, saya hanya mampu
mengungkapkannya dalam kanvas berukuran (60 x 80 cm) sebuah lukisan “amatiran”
berupa “burung hantu” bertengger di latar depan dan Menara Jam Bigben (London) di
latar belakang berlangit parabola biru, yang saya beri judul “The Bigben and the Owl”.
Memaknai bahwa Kursus Bahasa Inggeris yang berlogo burung hantu tersebut, telah
mengantarkan saya dari Makassar ke Inggeris (Bigben), kemudian ke seantero benua
Planet Biru (The Earth), di samping tinggalan nostalgia indah yang tak ternilai dan tak
terlupakan, “dari Somba Opu ke La Maddukkelleng”.
Sembari menunggu kesempatan baik untuk mempersembahkan lukisan nostalgia
tersebut kepada “Suhu Besar perguruan saya”, saya akan sangat berbahagia
seandainya ada seorang atau beberapa orang teman seperguruan saya membaca
naskah ini., siapa tahu kita masih bisa bernostalgia bersama pada saat-saat sebelum
kembali ke pangkuan Sang Khalik di Alam Sana. Harapanku: “Never die before we
see each other again! Who Knows”.

Tulisan ini dapat diakses di internet melalui link situs di bawah ini:

http://panyingkul.com/view.php?id=403
<gany@hafied.org>
A. Hafied A. Gany, Ph.D., P.Eng.
Jalan Perkutut No. 4-6
Podok Gede, 17413, BEKASI

STOP PRESS: Pada tanggal 2 Januari 2009, akhirnya saya sangat lega,
berhasil mengabulkan obsesi untuk mempersembahkan lukisan yang sudah
lama saya persiapkan kepada Suhu perguruan Bahasa Inggeris saya (Bapak
Drs. EV Soerardjo), diantarkan dengan penjelasan seperlunya oleh
kemanakan saya (Fitriana) yang saya khusus minta untuk mempraktekkan
ilmu komunikasinya – kebetulan sedang menyelesaikan tahap akhir
studinya di Jurusan Komunikasi, UNPAD. Saya sangat kagum dengan Suhu
besar saya, karena pada umur mendekati 80 tahun, masih sangat fit,
memimpin perguruan, setelah 47 tahun sejak membimbing saya di
Makassar tahun 1962. (Lihat Foto dan surat pengantar di bawah).

7
8

You might also like