You are on page 1of 6

1

Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi tanpa


Merombak Kurikulum Berbasis Isi

Widyawati
widyawhd@cbn.net.id

Departemen Geografi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia

Abstrak

Kurikulum merupakan salah satu perangkat pendidikan yang digunakan untuk mengukur kualitas lulusan.
Departemen Pendidikan Nasional, pada tahun 2000 menetapkan sebuah model Kurikulum Berbasis
Kompetensi, menggantikan kurikulum lama, yang dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Isi. Perbedaan nyata
dari tuntutan ke dua kurikulum inia adalah pada kemampuan lulusannya untuk memasuki dunia kerja.
Pada Kurikulum Berbasis Isi, lulusan mempunyai kemampuan kuat dalam konteks keilmuannya. Sedangkan
pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, lulusan dituntut untuk dapat memenuhi kualifikasi bukan hanya
pada bidang keilmuannya saja tetapi juga pada “soft skills”nya. Dengan keterbatasan jumlah sks yang
telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, bukanlah hal mudah bagi Program Studi untuk
menambah sks guna memenuhi kualifikasi soft skills tersebut. Karena itu maka semua mata kuliah harus
memuat soft skills yang menjadi persyaratan kurikulum yang telah ditetapkan oleh Program Studi.

Pada setiap akhir tahun ajaran, mahasiswa harus mencapai kompetensi yang sesuai dengan kurikulum.
Karena kualifikasi pada setiap akhir tahun ajaran menuntut knowledge field yang mantap dengan soft
skills yang dapat diandalkan, maka semua mata kuliah harus memiliki benang merah yang sama. Untuk
bidang geografi, benang merah tersebut dapat berupa pemahaman dan kemampuan untuk melakukan
analisis keruangan. Analisis keruangan menjadi dasar dari knowledge field ilmu geografi sedangkan soft
skillsnya antara lain adalah kemampuan dalam melakukan komunikasi, melakukan negosiasi,
menggunakan berbagai perangkat metode dan teknologi guna memperkuat analisis, serta tentu saja sikap
dan sopan santun.

Susunan mata kuliah tetap dapat sama, materi utamanya juga dapat serupa. Yang berbeda adalah bentuk
tugasnya. Tugas yang sifatnya lintas mata kuliah menuntut kerja keras dosen untuk mempersiapkannya
dan menuntut mahasiswa bekerja keras dalam menyelesaikannya. Program studi harus siap dengan
berbagai sarana pendukung yang memadai guna mendukung upaya dosen dan mahasiswa memenuhi
kemampuan knowledge fieldnya dan meningkatkan soft skillsnya.

A. Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan, salah satu kunci untuk menentukan kualitas lulusan adalah kurikulum
pendidikannya. Karena pentingnya maka setiap kurun waktu tertentu kurikulum selalu dievaluasi untuk
kemudian disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar.
Pada aras nasional, Departemen Pendidikan Nasional juga secara teratur melakukan evaluasi
terhadap peraturan yang berkait dengan kurikulum. Pada tahun 1994, melalui Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan nomor 056/U/1994 ditetapkanlah Kurikulum Nasional Berbasis Isi. Setelah
berjalan beberapa tahun, perubahan yang terjadi baik di aras internasional maupun di aras nasional
menuntut pula diubahnya kurikulum yang ada. Pada saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang belum
terpenuhi oleh SK Mendikbud tersebut. Dengan adanya perubahan kebutuhan tersebut maka Menteri
Pendidikan Republik Indonesia melalui Surat Keputusan nomor 232/U/2000 menetapkan Kurikulum Inti
dan Institusional yang berbasis kompetensi.
Perubahan “model” kurikulum yang ditetapkan secara nasional harus diikuti oleh semua program
studi, dengan memperbaharui kurikulum yang selama ini telah diterapkan. Geografi, sebagai salah satu
program studi, tentu juga harus menerapkan kurikulum baru ini. Bagaimana mensiasati kurikulum lama
ke dalam kemasan baru, tanpa perlu membongkar seluruh kurikulum? Untuk mensiasati perubahan
kurikulum itulah maka makalah ini disusun.

Pertemuan Ilmiah Tahunan IGI


Universitas Indonesia, 2006
2

B. Kurikulum Berbasis Isi/Substansi

Kurikulum berbasis isi/substansi adalah kurikulum yang menekankan pada isi dari setiap mata
kuliah yang mengerucut untuk memenuhi tujuan pendidikan pada Program Studi bersangkutan. Secara
umum kualifikasi luaran Perguruan Tinggi yang menggunakan Kurikulum Berbasis Isi adalah kemampuan
minimal penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai sasaran kurikulum Program Studinya
(Sahilah, 2006). Sebagai contoh, Program Studi Strata 1 Geografi, menetapkan lulusannya mampu untuk:
1. Menerapkan analisis regional guna mengkaji serta menjelaskan gejala dan dinamika wilayah
berdasarkan keterkaitan antara unsur fisik dan sosial permukaan bumi.
2. Menyampaikan gagasan untuk memecahkan permasalahan dengan pendekatan keruangan yang
tepat berdasarkan wawasan yang luas sesuai dengan lingkup dan jenjang keilmuannya.
3. Mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan Geografi serta mengembangkan dan mengabdikan
ilmu tersebut bagi masyarakat

Untuk mencapai kualifikasi sesuai dengan tujuan pendidikan, maka mata kuliah dikelompokkan
dalam mata kuliah wajib yang terdiri dari Mata Kuliah Umum, Mata Kuliah Dasar Keahlian dan Mata Kuliah
Keahlian, serta Mata Kuliah Pilihan.
Kualifikasi kelulusan dicapai melalui susunan mata kuliah yang harus diikuti mahasiswa dan lulus
hingga mencapai 144 sks. Keterkaitan antara satu mata kuliah dengan mata kuliah lain dapat dicermati
melalui muatan yang ada dalam setiap mata kuliah, yang diwujudkan dalam satuan ancangan perkuliahan.
Muara dari seluruh mata kuliah adalah pada penyusunan tugas akhir yang merupakan puncak pemahaman
mahasiswa terhadap materi yang selama ini diterimanya di bangku kuliah. Tugas akhir ini merupakan
sintesis dari seluruh mata kuliah yang dipelajari mahasiswa.
Keterkaitan mata kuliah yang satu dengan yang lain pada Kurikulum Berbasis Isi adalah pada
materi kuliahnya, yang menitik beratkan pada ilmu pengetahuan (knowledge field). Semakin banyak
materi yang disampaikan kepada mahasiswa, dan mahasiswa mampu menguasainya, yang dicerminkan dari
hasil ujian, semakin tinggilah kemampuan mahasiswa tersebut.
Seringkali, dosen terjebak pada banyaknya materi yang harus disampaikan namun lalai untuk
melakukan umpan balik guna mengetahui kemampuan mahasiswa untuk mengembangkan materi yang
disampaikan.
Kelalaian melakukan evaluasi terhadap kemampuan mahasiswa seringkali diperkuat pula oleh ego
bidang ilmu. Adakalanya dosen menganggap bahwa materi kuliah yang diberikannya telah mencukupi,
tanpa melihat keterkaitan dengan bidang ilmu lain. Selain itu, karena saratnya materi yang harus
disampaikan, dosen tidak memberi kesempatan mahasiswa untuk melatih kemampuannya menyampaikan
gagasan dan tanggapan terhadap materi kuliah yang diterimanya.
Sebagai lulusan dari Kurikulum Berbasis Isi, sebagian besar lulusan memiliki knowledge field yang
diharapkan memadai. Evaluasi keberhasilan pendidikan yang telah dilaksanakan dilakukan oleh Perguruan
Tinggi itu sendiri. Namun ketika mereka terjun ke masyarakat, dalam dunia kerja ternyata begitu banyak
hal yang tidak mereka butuhkan tetapi mereka pelajari di bangku kuliah. Dan ternyata juga, begitu
banyak pengetahuan dan keterampilan yang seharusnya mereka miliki, namun tidak sempat mereka
kembangkan selama di bangku kuliah.
Menilik kesenjangan antara bangku kuliah dan dunia kerja, maka dikembangkanlah Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Kurikulum ini dikembangkan dengan maksud agar lulusan mampu mengembangkan
dirinya di dunia kerja, sekaligus menerapkan ilmunya sesuai dengan yang diminati dan dipelajarinya.

C. Kurikulum Berbasis Kompetensi

Kurikulum berbasis kompetensi dikembangkan berdasarkan empat pilar pendidikan yang berasal
dari konsep Unesco. Konsep Unesco yang berbasis kebudayaan ini terdiri dari empat pilar, yakni learning
to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.

Ada beberapa penyebab yang mendorong disusunnya konsep ini. Menurut Sahilah (2006)
penyebab tersebut dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kondisi global, yang meliputi persaingan dalam mendapatkan pekerjaan, persyaratan umum di
tempat kerja, perubahan orientasi dunia kerja.
2. Perubahan paradigma pendidikan.

Penyebab tersebut menghasilkan perubahan terhadap kompetensi lulusan. Seorang lulusan perguruan
tinggi tidak cukup hanya memiliki bekal ilmu pengetahuan bidang studinya saja tetapi juga berbagai

Pertemuan Ilmiah Tahunan IGI


Universitas Indonesia, 2006
3

keterampilan yang berguna dalam pekerjaannya (soft skills). Untuk memenuhi kompetensi tersebut,
maka kurikulum pendidikannya harus diubah, termasuk proses belajar mengajarnya.
Dari dua penyebab utama yang mendorong perubahan kurikulum, saya menitikberatkan pada
kondisi global, khususnya persyaratan umum di tempat kerja. Pada hasil tracer study yang dilakukan oleh
Departemen Geografi pada tahun 2005, sebagian lulusan memulai pekerjaan pertamanya pada jenis
pekerjaan keterampilan, yakni sebagai surveyor atau editor untuk berbagai produk pemetaan maupun
berbagai laporan tertulis. Pengetahuan akan ilmunya sendiri belum menjadi tuntutan utama
Variasi bidang pekerjaan pertama yang sangat tinggi juga menunjukkan bahwa bidang ilmu
geografi tidak secara signifikan menentukan diterima tidaknya para lulusan untuk bekerja. Sebagian
besar lulusan justru bekerja di bidang yang tidak mempunyai, atau sangat kecil hubungannya dengan ilmu
geografi.
Pendapat ini kemudian diperkuat oleh hasil survey pada para pengguna jasa lulusan. Pengguna
jasa alumni merupakan salah satu pemangku kepentingan yang memberikan penilaian terhadap kinerja
lembaga pendidikan seperti Program Studi. Hasil survey ke para pengguna jasa alumni, dapat dibagi
dalam dua kelompok, yakni:
1. Kelompok pengguna jasa alumni yang bidang pekerjaannya berkait dengan ilmu geografi;
2. Kelompok pengguna jasa alumni yang bidang pekerjaannya tidak berkait dengan ilmu
geografi.
Para pengguna jasa yang berkait dengan ilmu geografi menilai bahwa wawasan dan pengetahuan lulusan
Departemen Geografi baik, tetapi kemampuan analisisnya belum baik. Sementara pengguna jasa yang
tidak berkait dengan ilmu geografi menitikberatkan penilaian pada kemampuan mengambil inisiatif dan
keterampilan dalam bekerja. Mereka menilai bahwa lulusan dari Departemen Geografi baik dalam
mengambil inisiatif dan terampil dalam menyelesaikan pekerjaannya. Secara umum para pengguna jasa
menilai baik pada para lulusan dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya.
Saran yang disampaikan oleh para pengguna jasa alumni umumnya adalah untuk meningkatkan
kemampuan manajerial dan komunikasi para lulusan. Berdasarkan masukan para pengguna jasa
tersebutlah maka kurikulum berbasis kompetensi sudah harus dilaksanakan.
Kebutuhan para pengguna jasa lulusan sesungguhnya sejalan dengan apa yang sudah disampaikan
oleh para ahli di bidang pendidikan, terutama geografi (Hardwick & Holtgrieve, 1990).

D. Kebutuhan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Kurikulum berbasis kompetensi menuntut kompetensi yang terukur pada para peserta didik pada
setiap akhir tahun ajaran, bukan hanya pada akhir masa studi. Untuk itu Program Studi S1 Geografi
menetapkan kompetensi pada setiap akhir tahun ajaran adalah sebagai berikut:
A. Kompetensi pada akhir tahun pertama:
1. Menjelaskan prinsip dasar ilmu geografi
2. Menjelaskan fenomena fisik dan sosial dalam menciptakan karakter permukaan bumi
3. Menerapkan prinsip-prinsip dasar pemetaan

B. Kompetensi pada akhir tahun ke dua:


1. Mendeskripsikan permukaan bumi berdasarkan ciri-ciri fisik dan sosial
2. Melakukan analisis keruangan
3. Menerapkan metode kuantitatif
4. Mampu menyajikan informasi keruangan

C. Kompetensi pada akhir tahun ke tiga:


1. Mampu melakukan analisis keterkaitan (spatial relationship) antara unsur fisik dan sosial
2. Mampu merumuskan gagasan ilmiah ke dalam rancangan penelitian

D. Kompetensi pada akhir tahun ke empat:


1. Mampu menerapkan spatial perspective dalam suatu topik penelitian tertentu
2. Mampu menuliskan dan menyajikan hasil penelitian secara sistematis, logis, dan konsisten

Kompetensi pada setiap akhir tahun ajaran, bermuara pada kompetensi yang bersangkutan sebagai lulusan
Departemen Geografi UI. Kompetensi akhir inilah yang kemudian diterapkan dalam dunia kerja dan yang
dimanfaatkan serta diasah oleh pengguna jasa lulusan. Adapun kompetensi lulusan pada akhir
pendidikannya di Departemen Geografi adalah mampu menerapkan pendekatan regional (intergrative/
regional approach) dalam menjelaskan dinamika spasial hubungan antara unsur fisik dan sosial),
termasuk dalam hal penguasaan teknologi penyajian informasi keruangan.

Pertemuan Ilmiah Tahunan IGI


Universitas Indonesia, 2006
4

Pengubahan kurikulum dari berbasis isi menjadi kurikulum berbasis kompetensi menuntut juga
pengubahan proses belajar mengajar. Untuk mencapai hasil maksimal, kurikulum berbasis kompetensi
menerapkan metode pembelajaran student centered learning (SCL), artinya peserta ajar menjadi pusat
proses pembelajaran tersebut. Dosen atau guru berfungsi sebagai fasilitator, mediator, sekaligus sebagai
motivator. Inti dari SCL adalah mempraktekkannya. Jika belajar berhitung, maka yang dilakukan adalah
menghitung, bila belajar administrasi maka yang dilakukan adalah mengelola perkantoran, misalnya.
Maka jika belajar geografi tentu dengan melakukan praktek sebagai geograf.
Materi mata kuliah tidak cukup disampaikan melalui tatap muka dan diskusi tetapi dengan
praktek langsung. Mahasiswa harus mampu mencari, ‘menata’ dan ‘membentuk’ pengetahuan yang
didapatkan, dan secara aktif menyampaikan gagasannya.
Karena kompetensi yang ditetapkan maupun tuntutan pengguna jasa lulusan, mensyaratkan soft
skills, maka Departemen harus menyediakan sarana memadai untuk menunjangnya. Departemen harus
secara berkala memperbaharui (up grade) perangkat lunak agar lulusan memiliki kualifikasi yang memadai
dalam penggunaan komputer. Untuk menjadi penyaji (presenter) yang handal, mahasiswa dibekali
dengan kemampuan mengolah informasi dalam berbagai bentuk sajian menarik sesuai dengan kemajuan
teknologi.
Untuk memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan maupun harapan pengguna jasa
alumni, Departemen memenuhi kebutuhan tersebut melalui berbagai sarana. Sedangkan para dosen
meningkatkan kemampuannya sehingga dapat memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. Untuk
mencapai kompetensi agar mampu melakukan analisis terhadap dinamika spasial hubungan antara unsur
fisik dan sosial, departemen harus ‘mengolah’ kurikulumnya sehingga memenuhi standar tersebut.

E. Kurikulum Paralel

Kurikulum berbasis isi menyusun mata kuliahnya berdasarkan peta keilmuan. Di Departemen Geografi
UI hal tersebut diwujudkan dengan mendahulukan mata kuliah bersifat fisik pada awal perkuliahan dan
mata kuliah sosial disampaikan setelah mahasiswa memiliki cukup pengetahuan tentang geografi fisik.
Sedangkan materi yang berkait dengan keterampilan, seperti kartografi, penginderaan jauh ataupun
sistem informasi geografi, diberikan secara berurutan, sesuai dengan semesternya. Geografi regional,
yang memungkinkan mahasiswa melakukan analisis spasial dan mengembangkan hubungan antara unsur
fisik dan sosial diberikan pada semester-semester pertengahan hingga akhir, yakni semester lima hingga
tujuh.

Kurikulum berbasis kompetensi menyusun persebaran mata kuliahnya sesuai dengan kompetensi yang
dipersyaratkan. Ciri-ciri kurikulum berbasis kompetensi adalah:
1. Menyatakan secara jelas rincian kompetensi peserta didik sebagai luaran proses pembelajaran
2. Materi ajar dan proses pembelajaran didesain dengan orientasi pada pencapaian kompetensi dan
berfokus pada minat peserta didik
3. Lebih mensinergikan dan mengintegrasikan penguasaan ranah koqnitif, psikomotorik dan afektif.
4. Proses penilaian hasil belajar lebih ditekankan pada kemampuan untuk berkreasi secara
prosedural atas dasar pemahaman penerapan, analisis, dan evaluasi yang benar pula
5. Disusun oleh penyelenggara pendidikan tinggi dan pihak-pihak berkepentingan terhadap lulusan
pendidikan tinggi (masyarakat profesi dan pengguna lulusan)

Untuk mencapai kompetensi pada akhir tahun pertama sesuai dengan standar yang ditetapkan maka
pada semester satu dan dua sudah ada mata kuliah dengan titik berat unsur fisik dan unsur sosial, serta
mata kuliah yang bersifat teknis. Untuk itu maka pembekalan mata kuliah dengan unsur fisik dan unsur
sosial sudah seharusnya dilakukan. Prinsip-prisnip dasar geografi, baik fisik maupun sosial harus dipahami
oleh mahasiswa melalui penjelasan, penerapan dan argumentasi beberapa istilah kunci seperti lokasi
absolut, lokasi relatif, garis kontur, mental map, sense of place dan lain-lain. Penjelasan dan penerapan
berbagai istilah dasar dapat ‘dibentuk’ oleh mahasiswa dengan baik apabila unsur fisik dan sosial
disampaikan dalam satu ‘paket’, tidak dipisah-pisahkan. Bentuk pemahaman mahasiswa diwujudkan
dalam berbagai alat peraga, termasuk peta. Sebagai sarana komunikasi, peta menjadi alat yang efektif
untuk menyampaikan gagasan (Woods, 1992; Vincent & Whyte, 2004). Karena itu pada tahun pertama
kartografi adalah sarana penyatu mata kuliah yang disampaikan.
Kompetensi pada akhir tahun ke dua dan ke tiga secara jelas diukur melalui kemampuan melakukan
analisis keruangan dan melakukan analisis keterkaitan antara unsur fisik dan unsur sosial. Untuk itu
penggabungan tugas mata kuliah fisik dan sosial menjadi keharusan. Semua itu dapat dilakukan jika mata
kuliah disusun dengan metode paralel. Penyusunan mata kuliah yang menuntut metode analisis dan

Pertemuan Ilmiah Tahunan IGI


Universitas Indonesia, 2006
5

pengkajian yang sama akan sangat memperkuat mahasiswa dalam memahami gejala-gejala yang terjadi di
permukaan bumi.
Penyusunan mata kuliah dengan metode paralel tetap mengenal mata kuliah topical atau sistematik.
Setiap dosen mengajar mata kuliah topical secara mandiri. Namun demikian bentuk tugas yang diberikan
kepada mahasiswa harus saling berkait antar mata kuliah. Tugas yang diberikan bersifat ‘regional’.
Beberapa mata kuliah (tergantung pada kesiapan dosen) bersama-sama memberikan tugas yang sifatnya
‘lintas tugas mata kuliah’. Tugas tersebut memuat materi yang berkait dengan unsur fisik, sosial dan
berbagai teknik penyajian dan analisis. Tidak perlu semua tugas diberikan dalam bentuk paralel
mengingat juga bahwa sistem belajar SCL mensyaratkan kemandirian mahasiswa.
Para dosen yang tergabung dalam mata kuliah bersangkutan harus memberkan tugas yang mampu
mendorong mahasiswa mencari sendiri ‘isi’ kuliahnya dengan mengembangkan ‘pemicu’ yang telah
disampaikan oleh dosen. Pemicu tersebut harus mendorong mahasiswa mampu mencari bahan bacaan,
mengembangkannya, menyusunnya kembali sesuai dengan hasil penelaahannya, dan menyampaikan dalam
bentuk paparan yang menarik sehingga mengundang orang lain untuk melakukan diskusi sekaligus
melakukan penelusuran literatur yang lebih mendalam.
Gambar 1 di bawah ini menunjukkan perbedaan nyata susunan mata kuliah yang menggunakan
Kurikulum Berbasis Isi (KBI)dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pada KBI setiap mata kuliah berdiri
sendiri. Kemampuan analisis mahasiswa diuji hanya pada mata kuliah yang bersangkutan saja. Sedangkan
pada KBK mata kuliah-mata kuliah saling bersinggungan. Bila belum dapat mengubah KBI ke KBK secara
penuh, maka singungan diarahkan pada pemberian tugas. Itupun tidak perlu untuk seluruh tugas, hanya
beberapa tugas yang diarahkan memiliki sifat ‘regional’ yang kental.

Geo grafi Re gional Indone sia


Geo grafi Re gional Indone sia

Geomorfologi
Geomorfologi

Geografi Ekonom i

Transportasi
Geografi

Hidrologi

Meteorologi dan
Klim atologi

Klim atologi Regional


Indonesia

BERDASAR LOGIKA BERDASAR STRATEGI


KEILMUAN PEMBELAJ ARAN

Gambar 1. Perbandingan struktur kurikulum KBI & KBK


Sumber: Sahilah, 2006

Sedangkan Gambar 2 adalah bagaimana beberapa mata kuliah dapat saling bersinggungan dalam
pemberian tugasnya agar mahasiswa dapat memperkaya kompetensinya (Gambar tersebut hanya sebuah
contoh)

Pertemuan Ilmiah Tahunan IGI


Universitas Indonesia, 2006
6

Pembangunan wilayah
Geografi Perkotaan
Geografi penduduk

Geografi Regional
Klimatologi Regional
Geomorfologi

Indonesia
Indonesia
Gambar 2: Pemberian tugas bersama antar mata kuliah

Dengan penyusunan tugas mata kuliah paralel, ada beberapa hal yang selama ini menjadi
masalah di Departemen Geografi, mudah-mudahan dapat teratasi, antara lain adalah:
1. Kelulusan mahasiswa yang tepat waktu dapat ditingkatkan karena mahasiswa sejak awal sudah
belajar mencari dan membentuk pengetahuannya sendiri;
2. Kelulusan tepat waktu juga dipermudah karena mahasiswa terbiasa berpikir secara regional,
melihat hubungan spasial unsur fisik dan social dan dapat menjawab ‘mengapa’;
3. Metode SCL mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk mencari berbagai pengetahuan sesuai
dengan kapasitas yang dimiliki dan dapat dicapainya. Hal tersebut akan memperkaya knowledge
field yang bersangkutan tanpa harus tergantung pada ketersediaan sumber informasi di
‘lembaganya’ maupun kemampuan dosen dalam ‘memberikan’ ilmunya.
4. Metode SCL mengasah kemampuan mahasiswa untuk terbiasa menyampaikan gagasan secara
sistematis, menggunakan berbagai sarana secara efektif, dan bersikap santun. Hal tersebut
menjadi soft skills yang akan sangat menunjang kompetensi lulusan di dunia kerja;
5. Metode SCL juga mengasah kemampuan mahasiswa untuk bekerja secara efisien dalam mencari
sumber informasi, melakukan kategorisasi, klasifikasi dan penyimpanan berbagai informasi
dengan baik. Hal ini juga mengasah kemampuan mahasiswa dalam pengelolaan kegiatannya.

Dengan KBK yang menggunakan SCL serta pemberian tugas antar mata kuliah, diharapkan kompetensi
lulusan Departemen Geografi UI dapat memenuhi kebutuhan dan harapan, baik lulusan itu sendiri
maupun para pengguna jasa lulusan.

Daftar Pustaka

Hardwick, S.W. & D.G. Holtgrieve. 1996. Geography for Educators, Standards, Themes, and Concepts.
Prentice Hall. New Jersey.

Sahilah, I. 2006. Materi Ceramah Kurikulum Berbasis Kompetensi. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Vincent, P. & I. Whyte, 2004. Exploration, Discovery and The Cartographic Tradition, dalam J.A.
Matthews & D.T. Herbert (ed), Unifying Geography, Common Heritage, Shared Future, Routledge, New
York, halaman 33-45.

Wood, D. 1992. The Power of Maps. The Guilford Press. New York

Pertemuan Ilmiah Tahunan IGI


Universitas Indonesia, 2006

You might also like