You are on page 1of 25

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya terutama pada penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia, dan merupakan masalah yang cukup besar bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan Indonesia berada dalam kondisi geografis dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan cacing ditunjang oleh proses daur hidup dan cara penularannya. Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di periksa adalah tinja atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan cara biopsi, kerokan kulit maupun imunologis (Kadarsan, 1983). Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya (Gandahusada.dkk, 2000). Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode natif, metode apung, metode harada mori, dan Metode kato. Metode ini digunakan untuk mengetahui jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan metode kato untuk menentukan jumlah cacing yang ada didalam usus. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui

adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan. Misalnya, infeksi yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides). Infeksi ini lebih bamyak ditemukan pada anak-anak yang sering bermain di tanah yang telah terkontaminasi, sehingga mereka lebih mudah terinfeksi oleh cacain-cacing tersebut. Biasanya hal ini terjadi pada daerah di mana penduduknya sering membuang tinja sembarangan sehingga lebih mudah terjadi penularan. Pengalaman dalam hal membedakan sifat berbagai spesies parasit , kista, telur, larva, dan juga pengetahuan tentang bentuk pseudoparasit dan artefak yang dikira parasit, sangat dibutuhkan dalam pengidentifikasian suatu parasit. B. Tujuan Ada pun tujuan dari percobaan ini adalah: Mengamati adanya parasit yang ada dalam sampel feses. C. Manfaat Adapun manfaat praktikum ini adalah kita dapat mengetahui bakteri atau parasit yang terdapat pada feses hewan maupun binatang. Penelitian ini juga dapat menjadi bekal untuk kita sebagai tenaga kesehatan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


1. PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS

Pemeriksaan makroskopik tinja meliputi pemeriksaan jumlah, warna, bau, darah, lendir dan parasit (Gandasoebrata R, 1970). A. Jumlah Dalam keadaan normal jumlah tinja berkisar antara 100-250gram per hari. Banyaknya tinja dipengaruhi jenis makanan bila banyak makan sayur jumlah tinja meningkat (Hepler OE, 1956). B. Konsistensi Tinja normal mempunyai konsistensi agak lunak dan bebentuk. Pada diare konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya tinja yang keras atau skibala didapatkan pada konstipasi. Peragian karbohidrat dalam usus menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas (Hepler OE, 1956). C. Warna Tinja normal kuning coklat dan warna ini dapat berubah mejadi lebih tua dengan terbentuknya urobilin lebih banyak. Selain urobilin warna tinja dipengaruhi oleh berbagai jenis makanan, kelainan dalam saluran pencernaan dan obat yang dimakan. Warna kuning dapat disebabkan karena susu,jagung, lemak dan obat santonin. Tinja yang berwarna hijau dapat disebabkan oleh sayuran yang mengandung khlorofil atau pada bayi yang baru lahir disebabkan oleh biliverdin dan porphyrin dalam mekonium. Kelabu mungkin disebabkan karena tidak ada urobilinogen dalam saluran pencernaan yang didapat pada ikterus obstruktif, tinja tersebut disebut akholis. Keadaan tersebut mungkin didapat pada defisiensi enzim pankreas seperti pada steatorrhoe yang menyebabkan makanan mengandung banyak lemak yang tidak dapat dicerna dan juga setelah pemberian garam barium setelah pemeriksaan radiologik. Tinja yang berwarna merah muda dapat disebabkan oleh perdarahan yang segar dibagian distal, mungkin pula oleh makanan seperti bit atau tomat. Warna coklat mungkin disebabkan adanya perdarahan dibagian proksimal saluran pencernaan atau karena makanan seperti coklat, kopi dan lain-lain. Warna coklat tua disebabkan urobilin yang berlebihan

seperti pada anemia hemolitik. Sedangkan warna hitam dapat disebabkan obat yang yang mengandung besi, arang atau bismuth dan mungkin juga oleh melena (Hepler OE, 1956). D. Bau Indol, skatol dan asam butirat menyebabkan bau normal pada tinja. Bau busuk didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak dicerna dan dirombak oleh kuman. Reaksi tinja menjadi lindi oleh pembusukan semacam itu. Tinja yang berbau tengik atau asam disebabkan oleh peragian gula yang tidak dicerna seperti pada diare. Reaksi tinja pada keadaan itu menjadi asam (Hepler OE, 1956). E. Darah Adanya darah dalam tinja dapat berwarna merah muda,coklat atau hitam. Darah itu mungkin terdapat di bagian lua rtinja atau bercampur baur dengan tinja. Pada perdarahan proksimal saluran pencernaan darah akan bercampur dengan tinja dan warna menjadi hitam, ini disebut melena seperti pada tukak lambung atau varices dalam oesophagus. Sedangkan pada perdarahan di bagian distal saluran pencernaan darahterdapat di bagian luar tinja yang berwarna merah muda yang dijumpai pada hemoroid atau karsinoma rektum (Hepler OE, 1956). F. Lendir Dalam keadaan normal didapatkan sedikit sekali lendir dalam tinja. Terdapatnya lendir yang banyak berarti ada rangsangan atau radang pada dinding usus. Kalau lendir itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin terletak pada usus besar. Sedangkan bila lendir bercampur baur dengan tinja mungkin sekali iritasi terjadi pada usus halus. Pada disentri, intususepsi dan ileokolitis bisa didapatkan lendir saja tanpa tinja (Hepler OE, 1956). G. Parasit Diperiksa pula adanya cacing ascaris, anylostoma dan lain-lain yang mungkin didapatkan dalam tinja (Hepler OE, 1956).

2. PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS Pemeriksaan mikroskopik meliputi pemeriksaan protozoa, telur cacing, leukosit, eritosit, sel epitel, kristal dan sisa makanan. Dari semua pemeriksaan ini yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap protozoa dan telur cacing (Hyde TA, Mellor LD, Raphael SS, 1976). A. Protozoa Biasanya didapati dalam bentuk kista, bila konsistensi tinja cair baru didapatkan bentuk trofozoit (Hematest, Leaflet, 1956). B. Telur cacing Telur cacing yang mungkin didapat yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan sebagainya (Hematest, Leaflet, 1956). C. Leukosit Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam seluruh sediaan. Pada disentri basiler, kolitis ulserosa dan peradangan didapatkan peningkatan jumlah leukosit. Eosinofil mungkin ditemukan pada bagian tinja yang berlendir pada penderita dengan alergi saluran pencenaan (Hematest, Leaflet, 1956). D. Eritrosit Eritrosi thanya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus. Sedangkan bila lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya eritrosit dalam tinja selalu berarti abnormal (Hematest, Leaflet, 1956). E. Epitel Dalam keadaan normal dapat ditemukan beberapa sel epite lyaitu yang berasal dari dinding usus bagian distal. Sel epitelyang berasal dari bagian proksimal jarang terlihat karena sel inibiasanya telah rusak. Jumlah sel epitel bertambah banyak kalau ada perangsangan atau peradangan dinding usus bagian distal (Hematest, Leaflet, 1956). F. Kristal

Kristal dalam tinja tidak banyak artinya. Dalam tinja normal mungkin terlihat kristal tripel fosfat, kalsium oksalat dan asam lemak. Kristal tripel fosfat dan kalsium oksalat didapatkan setelah memakan bayam atau strawberi, sedangkan kristal asam lemak didapatkan setelah banyak makan lemak. Sebagai kelainan mungkin dijumpai kristal Charcoat Leyden Tinja LUGOL Butir-butir amilum dan kristal hematoidin. Kristal Charcoat Leyden didapat pada ulkus saluran pencernaan seperti yang disebabkan amubiasis. Pada perdarahan saluran pencernaan mungkin didapatkan kristal hematoidin (Hematest, Leaflet, 1956). G. Sisa makanan Hampir selalu dapat ditemukan juga pada keadaan normal, tetapi dalam keadaan tertentu jumlahnya meningkat dan hal ini dihubungkan dengan keadaan abnormal. Sisa makanan sebagian berasal dari makanan daun-daunan dan sebagian lagi berasal dari hewan seperti serat otot, serat elastisdan lain-lain. Untuk identifikasi lebih lanjut emulsi tinja dicampur dengan larutan lugol untuk menunjukkan adanya amilum yang tidak sempurna dicerna. Larutan jenuh Sudan IIIatau IV dipakai untuk menunjukkan adanya lemak netral seperti pada steatorrhoe. Sisa makanan ini akan meningkat jumlahnya pada sindroma malabsorpsi. (Hematest, Leaflet, 1956). D. PARASIT PADA CACING
A. Necator americanus & Ancylostoma duodenale

Cacing tambang parasit adalah cacing parasit (nematoda) yang hidup pada usus kecil inangnya, manusia. Ada dua spesies cacing tambang yang biasa menyerang manusia, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Necator americanus banyak ditemukan di Amerika, Sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara, Tiongkok, and Indonesia, sementara A. duodenale lebih banyak di Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan Eropa bagian selatan. Sekitar seperempat penduduk dunia terinfeksi oleh cacing tambang. Infeksi paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan lembab, dengan tingkat kebersihan yang buruk. bentuk infektif dari cacing tersebut adalah bentuk

filariform. Setelah cacing tersebut menetas dari telurnya, muncullah larva rhabditiform yang kemudian akan berkembang menjadi larva filarifor. Vampir haus minuman ini begitu banyak menghisap darah merah mengakibatkan adanya risiko serius anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi. Ruam, mual dan diare adalah salah satu gejala yang terinfeksi oleh cacing tambang (Soedarto, 1991). B. Ascaris Sepupu yang lebih besar dari cacing tambang (hookworm), Ascaris adalah cacing buladberukuran raksasa yang dapat mencapai sepanjang 40 cm, sedikit lebih besar 1cm. faktanya, 25% persen dari penduduk dunia terinfeksi tentu saja tidak membuatnya lebih diterima di perut kita. Sakit, demam, dan berat infestasi dengan membunuh penyumbatan usus parah hingga 20.000 orang per tahun. Larva ascaris sangat lah kecl dan dapat menembus kulit, namun biasanya ascaris ini masuk kedalam tubuh lewad makanan yang kotor.(makanya jangan makan makanan yang kotor. ascaris dapat bertelur sebnyak 100 ribu perhari (Lynne S. Garcia, 1996).
C. Guinea Worm (cacing guinea)

Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini adalah Dracunculiasis. Bentuk cacing ini panjang seperti spagethi bila sudah besar bahkan dapat mencapai 1 meter. biasanya cacing ini masuk kedalam tubuh manusia dari air yang terkontaminasi oleh telur-telur cacing Guinea yang telah di makan oleh Kutu air. penyakit ini kebanyakan terdapat di bgian afrika dengan keadaan kotor dan miskin serta pendidikan akan kebersihan yang minim (Lynne S. Garcia, 1996).
D. Cacing Pita (Tapeworm/Taenia)

Cacing pita ini sebenarnya memiliki 3 jenis berdasarkan tempat hidupnya yaitu: pada sapi, pada babi dan pada ikan(anak biology tahu nih pasti. Besarnya sekitar 10cm panjangat dewasa, parasit cacing pipih dapat tumbuh hingga lebih dari 12cm di beberapa situasi. Bersenjata dengan pengisap kuat dan gigi. caing ini hidup di saluran pencernaan manusia, ternak atau binatang lain dan terdapat dalam daging" serta mengeliat dalam tubuh (Illahude H.D, 1992).

E. Cacing Filaria Wuchereria bancrofti itulah nama latinnya. Cacing filaria mempunyai inang perantara hewan Arthropoda, misalnya nyamuk, dan inang tetap yaitu manusia pada bagian pembuluh getah bening. Pada siang hari, larva berada di paru-paru atau di pembuluh darah besar. Pada malam hari, cacing pindah ke pembuluh arteri atas dan vena perifer di dekat kulit. Apabila cacing yang mati menyumbat pembuluh getah bening, maka menyebabkan pembengkakkan atau terjadinya penyakit kaki gajah (elephantiasis). Mikrofilaria dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Culex (Syariffudin P.K, 1992).

BAB III METODOLOGI


A. Waktu & Tempat Praktikum ini dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal : Rabu, 2 Mei 2012 Jam Tempat 1. Alat: 1. Mikropipet 2. Mikroskop 3. Pipet tetes 4. Kaca objek 5. Deck glass 6. Gelas kimia
2. Bahan:

: 13.00 Wita : Laboratorium Biodiversity FMIPA Universitas Tadulako

B. Alat dan Bahan

1. Sampel feses kucing, feses anjing, feses sapi, feses manusia (dewasa), dan feses manusia (anak-anak). 2. Giemza 3. Eosin 2% 4. Aquadest 5. Methylen blue 0,5 % 6. NaCl fisiologis 7. Lidi

C. Langkah Kerja 1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan 2. Memasukkan sampel ke dalam gelas kimia kemudian menambahkan aquades sesuai banyaknya sampel

3. Mengaduk hingga tercampur rata 4. Mengambil bagian padatnya dan meletakkan pada objek glass pada bundaran yang telah dibuat, ratakan pada semua lingkaran
5. Menambahkan eosin sebagai pewarna ke dalam glemza secukupnya kemudian

campurkan dengan rata 6. Menutup dengan deck glass 7. Mengamati dibawah mikroskop

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Pengamatan

No 1

Sampel feses Feses kucing

Gambar Sampel

Literatur

Nama spesies Toxocarra (telur) cati

Feses anjing

Gnathostoma spinigerum (telur)

Dracunculus medinensis (larva) Metagonimus sp. (telur) Echinostoma (telur) sp.

Feses sapi

Vasicula hepatica (telur) Dracunculus medinensis (telur)

Feses manusia (dewasa)

Vesciola hepatica (telur)

Feses manusia (anakanak)

Strongyloides sterocalis (telur) Gnathostoma spinigerum (telur)

B. Pembahasan Pada penelitian pemeriksaan feses ini kami meneliti feses pada kucing, anjing, sapi, manusia (dewasa), manusia (anak-anak). Pada feses-feses itu kami menemukan berbagai macam spesies yang berada dipermukaan feses itu. Pada feses kucing kami menemukan spesies Toxocarra cati (telur). Toxocarra cati adalah adalah penyakit parasit internal yang disebabkan oleh cacing ascarida dari genus Toxocara pada

kucing. Penyakit ini diketahui mempunyai kecenderungan zoonosis sangat tinggi, karena itu sangat perlu diwaspadai. Pada feses anjing kami menemukan Gnathostoma spinigerum (telur), Dracunculus medinensis (larva), Metagonimus sp. (telur), dan Echinostoma sp. (telur). Gnathostoma spinigerum adalah Telur dikeluarkan oleh cacing dewasa dari tempat lesi tersebut yang kemudian keluar bersamafaeces masuk kedalam air. Didalam air telur berkembang embryonated yang kemudianmenetas keluar larva stadium I. Dracunculus medinensis adalah parasit pada manusia dan mamalia di Asia dan Afrika. Larvanya terdapat pada tubuh Cyclops sp. diperairan tawar. Pada feses sapi kami menemukan spesies Vasicula hepatica (telur) dan Dracunculus medinensis (telur). Dracunculus medinensis adalah parasit pada manusia dan mamalia di Asia dan Afrika. Larvanya terdapat pada tubuh Cyclops sp. diperairan tawar. Pada feses manusia (dewasa) kami menemukan spesies Vesciola hepatica. Yang terakhir adalah kami melakukan pemeriksaan pada Strongyloides sterocalis (telur) dan Gnathostoma spinigerum (telur). Strongyloides Sterocalis adalah adalah sejenis cacing yang halus yang dapat menyerang dinding alat-alat pencernaan. Gnathostoma spinigerum adalah cacing dewasa tinggal pada tumor dinding usus dari kucing atau anjing. Dalam penelitian ini pula kami menggunakan berbagai macam alat untuk menunjang keberhasilan penelitian kami. Alat-alat itu adalah: Mikropipet, Mikroskop, Pipet tetes, Kaca objek, Deck glass, dan Gelas kimia. Alat-alat itu mempunyai fungsi. Berikut adalah fungsi-fungsinya: Mikropipet berfungsi untuk untuk memindahkan cairan yg bervolume cukup kecil, biasanya kurang dari 1000 , Mikroskop berguna untuk melihat benda-benda yang tak bisa terlihat dengan telanjang mata, Pipet Tetes berguna untuk memindahkan larutan dengan volume yang diketahui, Kaca Objek berguna untuk meletakkan benda yang akan diamati, dan Gelas Kimia berfungsi untuk menyimpan larutan atau zat. Dalam penelitian ini pula kami menggunakan berbagai macam bahan untuk menunjang keberhasilan penelitian kami. Bahan-bahan itu adalah: Sampel feses kucing, feses anjing, feses sapi, feses manusia (dewasa), dan feses manusia (anak-anak),

Giemz, Eosin 2%, Aquadest, Methylen blue 0,5 %, NaCl fisiologi, dan Lidi. Bahanbahan itu mempunyai fungsi. Berikut adalah fungsi-fungsinya: Sampel feses berguna sebagai sample yang diteliti, Giemz berguna untuk mempelajari pematuhan bakteria patogen pada sel manusia, Eosin berfungsi untuk mengetahui seberapa cepat oksigen berkurang dalam tabung yang berisi NaOH dan serangga, Methylen Blue berguna untuk menentukan harga CEC, NaCl fisiolofi berguna untuk pengeceran spesies, dan lidi berguna untuk mengaduk zat zat yang digunakan untuk penelitian dan sebagai mengaduk spesies yang akan diteliti. Hubungan pemeriksan feses dengan kesehatan masyarakat adalah kita dapat mengetahui bakteri atau parasit yang terdapat pada feses hewan maupun binatang. Penelitian ini juga dapat menjadi bekal untuk kita sebagai tenaga kesehatan masyarakat. Berikut ini adalah keterangan dari parasit-parasit yang ditemukan pada feses kucing, anjing, sapi, manusia (dewasa), dan manusia (anak-anak):
B.1 Toxocarra cati (Feses Kucing)

1. Klasifikasi: Phylum : Nemathelminthes Class Subclass Ordo Super famili Genus Species 2. Morfologi: Toxocara canis jantan mempunyai ukuran panjang bervariasi antara 3.6 8.5 cm. Sedangkan yang betina antara 5.7 10 cm. Toxocara cati jantan antara 2.5 7.8 cm, yang betina antara 2.5 14 cm. bentuknya menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati bentuk sayap lebih lebar, sehingga : Nematoda : Secernemtea : Ascoridida : Ascoridciidea : Toxocara : Toxocara canis /cati

kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk kedua ekor spesies hamper sama, yang jantan ekornya lurus dan meruncing (digitiform), yang betina bulat meruncing. 3. Daur Hidup: Telur -> ditelan manusia -> menetas -> larva mengembara. 4. Penyebab Pencegahan: Prevalensi Toxokariasis pada anjing dan kucing pernah dilaporkan di Jakarta masing-masing mencapai 38.3 % dan 26.0 %. Pencegahan dapat dihindarkan dengan cara melarang anak untuk tidak bermain dengan anjing maupun kucing dan tidak dibiasakan bermain di tanah. 5. Penyebab Yang Disebabkan: Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara di alat-alat dalam ususnya di hati.penyakit yang disebabkan larva yang mengembara disebut visceral larva migrans dengan gejala eosinofilia, demam dan heaptomegali. Penyakit tersebut dapat juga disebabkan oleh larva Nematoda lain. B.2 Gnathostoma spinigerum (Feses Anjing & Feses Manusia (anak-anak)) 1. Klasifikasi Kingdom Phylum Class Ordo : : Animalia : Nematoda : Secernentea : Spirurida

Genus : Gnathostoma Species : G. spinigerum 2. Morfologi: 1. Cacing dewasa mempunyai bulbus yang diliputi 4-8 baris duri-duri yang melengkung dan runcing 2. Cacing jantan mempunyai panjang 11-25mm 3. Cacing betina mempunyai panjang 25-54mm 4. Telur berukuran 65 x 36 mikron, salah satu ujungnya terdapat tonjolan jernih berisi morula

5. Larva stadium III mempunyai panjang 5mm, kepala berbulbus dengan 4 baris duri-duri, badan berduri, esophagus 1/3 bagian anterior badan 3. Daur Hidup: Di alam,definitif host (babi, kucing, anjing, satwa liar) cacing dewasa yang berada dalam tumor yang menyebabkan mereka berhubung dgn lambung perut di dinding. Mereka mengeluarkan telur yang unembryonated ketika kelur bersama kotoran. Telur menjadi embryonated dalam air, dan telur mulai tahap awal larva. Jika virus analysis oleh kecil kerang-kerangan (Cyclops, pertama antara host), pertama-larva berkembang ke tahap kedua larva. Setelah proses menelan dari Cyclops dengan ikan, katak, atau ular (antara kedua host) , tahap kedua larva bermigrasi ke dalam daging dan berkembang ke tahap ketiga-larva. Ketika kedua antara host adalah virus analysis oleh host definitif, tahap-ketiga larva berkembang menjadi parasit dewasa di dinding perut. Atau, yang kedua antara host mungkin virus analysis oleh paratenic host (hewan seperti burung, ular, dan katak) yang tahap-ketiga larva tidak berkembang lebih lanjut tetapi tetap infective ke predator. Manusia menjadi terinfeksi oleh undercooked makan ikan atau unggas yang mengandung tahap-ketiga larva, atau dilaporkan oleh air minum yang mengandung infective tahap-kedua larva di Cyclop.
4. Penyebab Pencegahan

Pembedahan untuk mengeluarkan cacing atau pengobatan dengan Albendazole atau ivermectin dianjurkan 5. Penyebab yang disebabkan Kelainan klinis yang terjadi disebabkan oleh kerusakan mekanis yang disebabkan oleh larvayang mengalami migrasi, keradangan, reaksi toxin dan allergi. Manifestasi klinis tergantung dimanaparasit berada, dapat berupa; abcess mammae, cutaneus nodule, abcess, juga pernah ditemukan parasitdalam otot temporalis (gejala ini mirip mastoiditis). B.3 Drancunculus medinesis (Feses Anjing & Feses Sapi) 1. Klasifikasi :

Kingdom Phylum Class Order Superfamily Family Genus Spesies 2. Morfologi:

: Animalia : Nemathelminthes : Nematoda : Camallanidae : Dracunculoidea : Dracunculidea : Dracunculus : Dracunculus Medinensis

Cacing ini berbentuk silindris dan memanjang seprti benang. Permukaan tubuh berwarna putih susu dengan kutikula yang halus. Ujung anterior berbentuk bulat tumpulsedangkan ujung posterior melengkung membentuk kait. Memiliki mulut yang kecil danujung anteriornya dikelilingi paling sedikit 10 papila. Cacing jantan panjangnya 12-40mm dan lebarnya 0,4 mm Cacing betina panjangnya 120 cm dan lebarnya1-2 mm.
3. Daur Hidup:

Bila manusia meminum air mentah mengandung cyclops yang telah terinfeksi olehlarva cacing ini menetas lalu menembus dinding usus menuju jaringan bawah kulit, jantung atau otak. Setahun kemudian, cacing yang telah dewasa akan bereproduksi dan bergerak menuju permukaan kulit (umumnya tangan atau kaki), jantan akan mati setelah 3-7 bulan setelah infeksi. Betina yang akan bereproduksi akan menimbulkan bercak merah yang terasa sangat panas lalu menimbulkan luka terbuka pada anggota badan tersebut. Pada saat bagian tubuh yang terluka itu direndam air (untuk mengurangi rasa panas yang ditimbulkan) cacing betina dewasa akan keluar (dapat dilihat dengan mata) dari luka tersebut dan melepaskan larva muda kemudian larva muda mencari Cyclopsdan siklus kembali terulang. setelah proses ini terselesaikan, betina akan mati, apabilatidak dapat keluar dari tubuh

maka cacing tersebut akan terkristalisasi didalam tubuh inangnya. Luka terbuka yang diakibatkan oleh penetrasi cacing ini memiliki potansi yang besar terkena infeksi bakteri sekunder (bakteri tetanus,bakteri pemakan daging dsb) apabila tidak diobati secara tepat.
4. Penyebab Pencegahan:

Pencegahannya yaitu dengan : 1)Penyaringan air minum melalui kain katun tipis. 2)Merebus air hingga mendidih sebelum digunakan. 3)Hanya meminum air berklorin membantu mencegah dracunculiasis. Pengobatan dapat dilakukan biasanya, cacing dewasa pelan-pelan diangkat lebih dari sehari sampai seminggu dengan memutarnya pada sebuah batang. Cacing tersebut bisadiangkat dengan cara operasi setelah bius lokal digunakan, tetapi pada banyak daerah,metode ini tidak tersedia. Orang yang juga mengalami infeksi bakteri kadangkala diberikan metronidazole untuk mengurangi peradangan.
5. Penyebab Yang Disebabkan:

Gejala-gejala diawali ketika cacing tersebut menembus kulit. S e b u a h l e p u h a n terbentuk pada bukaan. Daerah di sekitar lepuhan gatal, terbakar, dan meradang bengkak, merah, dan menyakitkan. Material yang dilepaskan cacing tersebut bisa menyebabkan reaksi alergi, yang bisa mengakibatkan kesulitan bernafas, muntah, dan ruam yang gatal. Gejala-gejala reda dan lepuhan tersebut sembuh setelah cacing dewasa meninggalkan tubuh. pada sekitar 50% orang, infeksi bakteri terjadi di sekitar bukaan karena cacing tersebut. Kadang kala persendian dan tendon di sekitar lepuhan rusak. B.4 Vasicula hepatica (Feses Sapid an Feses Manusia (Dewasa)
1. Klasifikasi

: : Animalia : Platyhelminthes

Kingdom Phylum

Klas Ordo Genus Spesies


2. Morfologi:

: Trematoda : Echinostomida : Fasciola : Fasciola Hepatica

- Bersifat hermaprodit - Sistem reproduksinya ovivar - Bentuknya menyerupai daun berukuran 20-30 m x 8-13 mm - Mempunyai tonjola konus (cephalis cone) pada bagian anterionya - Memiliki batil isap mulut dan batil isap perut - Uterus pendek berkelok-kelok - Testis bercabang banyak, letaknya di pertengahan badan berjumlah 2 buah.

3. Daur Hidup:

4. Penyebab Pencegahan: - Tidak memakan sayuran mentah - Pemberantasan penyakit fasioliasis pada hewan ternak

- Kandang harus dijaga tetap bersih, dan kandang sebaiknya tidak dekat kolam atau selokan
- Siput-siput disekitar kandang dimusnakan untuk memutus siklus hidup

Fasciola hepatica. 5. Penyebab Yang Disebabkan: Terjadi sejak larva masuk kesaluran empedu sampai menjadi dewasa. Parasit ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran. Selain itu, dapat terjadi perubahan jaringan hati berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan edema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat disaluran empedu dan lamanya infeksi gejala dari penyakit fasioliasis biasanya

pada stadium ringan tidak ditemukan gejala. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, perut terasa penuh, diare dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri dari perbesaran hati, ikterus, asites, dan serosis hepatis. B.5 Strongyloides sterocalis (Feses Sapi & Feses manusia (anak-anak)) 1. Klasifikasi: Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus Species
2. Morfologi:

:Animalia :Nematoda :Secernentea :Rhabditida :Strongyloididae :Strongyloides : S. stercoralis

- Larva Rabditiform Panjangnya 225 mikron, ruang mulut: terbuka, pendek dan lebar. Esophagus dengan 2 bulbus, ekor runcing. - Larva Filariform Bentuk infektif, panjangnya 700 mikron, langsing, tanpa sarung, ruang mulut tertutup, esophagus menempati setengah panjang badan, bagian ekor berujung tumpul berlekuk. - Cacing dewasa betina yang hidup bebas panjangnya 1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus, uterus berisi telur dengan ekor runcing.
- Cacing dewasa jantan yang hidup bebas panjangnya 1 mm, esophagus

pendek dengan 2 bulbus, ekor melingkar dengan spikulum.

3. Daur Hidup:

Cara berkembang biak secara parthenogenesis Mempunyai 3 macam siklus hidup 1) Siklus langsung 2) Siklus tidak langsung 3) Autoinfeksi 1. Siklus langsung 2-3 hari di tanah larva rabditiform larva filariform menembus kulit manusia peredaran darah vena jantung kanan paru-paru parasit mulai menjadi dewasa menembus alveolus masuk trakhea dan laring terjadi refleks batuk & parasit tertelan sampai di usus halus dewasa. 2. Siklus tidak langsung Larva rabditiform di tanah cacing jantan & betina bentuk bebas terjadi pembuahan telur menetas menjadi larva rabditiform larva filariform masuk dalam hospes baru. 3. Autoinfeksi Larva rabditiform larva filariform di usus/ daerah perianal menembus mukosa usus/ perianal menyebabkan strongiloidiasis menahun. 4. Penyebab Pencegahan: Sanitasi pembuangan tinja Melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misal dengan memakai alas kaki Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan, dan cara pembuatan serta pemakaian jamban.

5. Penyebab yang disebabkan:

Bila larva filariform menembus kulit, timbul creeping eruption disertai rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan tidak menimbulkan gejala Infeksi sedang menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar, disertai mual, muntah, diare dan konstipasi. Pada strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing ditemukan di seluruh traktus digestivus, larvanya ditemukan di berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Dapat menimbulkan kematian.

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: Parasit-parasit yang ditemukan dalam perukaan feses adalah:
1. Parasit pada feses kucing adalah Toxocarra cati (telur). 2. Parasit pada feses anjing adalah Gnathostoma spinigerum (telur), Dracunculus

medinensis (larva), Metagonimus sp. (telur), dan Echinostoma sp. (telur).


3. Parasit pada feses sapi adalah Vasicula hepatica (telur) dan Dracunculus

medinensis (telur).
4. Parasit pada feses Manusia (Dewasa) adalah Vesciola hepatica (telur). 5. Parasit pada feses Manusia (Anak-Anak) adalah Strongyloides sterocalis (telur)

dan Gnathostoma spinigerum (telur).

DAFTAR PUSTAKA
Gandasoebrata R. 1970. Penuntun Laboratorium Klinic, cetakan k-4. Jakarta:Penerbit Dian Rakyat. Hepler OE. 1956. Manual of Clinical Laboratory Methods, 4 ed. Inggris: SprinfieldIllinois USA: Charles C Thomas Publisher. Hyde TA, Mellor LD, Raphael SS. 1976. Gastrointestinal tract in MedicalLaboratory Technology. ed, Raphael SS, Lynch, MJG (eds). Philadelphia: WB Saunders Company Hematest, Leaflet. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. 1956. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd edition. New York: Lange Medical Books. Illahude H.D. 1992. Ilmu Kesehatan Masyarakat .Jakarta: Rineka Cipta. Lynne S. Garcia. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Soedarto. 1991. Bunga Rampai Masalah Kesehatan Dari Dalam Lanjut Usia. Jakarta:FKUI. Syariffudin P.K. 1992. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kandungan Sampai

You might also like