You are on page 1of 20

INOVASI PELAYANAN PUBLIK DAN PRIVATISASI DI INDONESIA

Makalah

Oleh : Atik Anggraini N. Kelas B (0910310178)

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2012
1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................................ i BAB I ...................................................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1 1.1 1.2 Latar Belakang ........................................................................................................................ 1 Rumusan Masalah ................................................................................................................... 2

BAB II..................................................................................................................................................... 3 LANDASAN TEORI .............................................................................................................................. 3 2.1 2.2 2.3 Teori Pelayanan Publik ........................................................................................................... 3 Inovasi Pelayanan Publik ........................................................................................................ 4 Teori Swastanisasi .................................................................................................................. 6

BAB III ................................................................................................................................................... 9 PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 9 3.1 3.2 Kondisi Pelayanan Publik di Indonesia .................................................................................. 9 Inovasi Pelayanan Publik dan Privatisasi di Indonesia ......................................................... 10

BAB IV ................................................................................................................................................. 16 PENUTUP ............................................................................................................................................ 16 4.1 4.2 Kesimpulan ........................................................................................................................... 16 Saran ..................................................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Era globalisasi yang didukung oleh teknologi modern terutama di bidang transportasi,

telekomunikasi, membuat mobilitas, dan aktivitas masyarakat semakin meningkat dengan cepat, menuntut pelayanan yang semakin cepat dan tepat. Namun kenyataannya masih banyak keluhan masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan tersebut, semua ini merupakan indikator bahwa pelayanan yang telah diberikan oleh pemerintah dianggap masih lamban, kurang responsif terhadap keluhan, kebutuhan masyarakat, kurang terbuka, efisien dan sebagainya. Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahnya. Kesadaran akan hak-hak sipil yang terjadi di masyarakat tidak lepas dari pendidikan politik yang terjadi selama ini. Selama ini masyarakat cenderung pasrah dan menerima terhadap apa yang mereka dapatkan dari pelayanan aparatur pemerinta. Hal ini lebih diakibatkkan karena sikap dari aparatur pelayanan publik yang tidak berorientasi pada kepuasan masyarakat, pelayanan hanya bersifat sekedar melayani tanpa disertai rasa peduli dan empati terhadap pengguna layanan. Namum kondisi yang terbuka seperti sekarang ini mengharuskan aparatur sebagai pelayan publik lebih peduli lagi terhadap hak-hak sipil khususnya dalam pelayanan publik. Pemerintah di dalam menyelenggarakan pelayanan publik masih banyak dijumpai kekurangan sehingga jika dilihat dari segi kualitas masih jauh dari yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan masih munculnya berbagai keluhan masyarakat melalui media massa. Jika kondisi ini tidak direspon oleh pemerintah maka akan dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pemerintah sendiri. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan publik (Men PAN, 2004:5).
1

Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis di atas, birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dengan revitalitas birokrasi publik (terutama aparatur pemerintah daerah) ini, pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dapat terwujud. Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayan masyarakat. Karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan umum (public services) sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang dengan demikian akan menentukan sejauhmana negara telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya. Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Oleh karena itu penulis

1.2

Rumusan Masalah 1. Bagaimana kondisi pelayanan publik yang ada di Indonesia? 2. Inovasi apa saja yang dapat diterapkan dalam pelayanan publik di Indonesia?

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1

Teori Pelayanan Publik Hadirnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik semakin menegaskan

pentingnya menghadirkan pelayanan publik yang berkualitas. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa pelayanan publik haruslah berasaskan kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesional, partisipatif, tidak diskriminatif, terbuka, akuntabel, tepat waktu, cepat, mudah, dan terjangkau Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 mendefinisikan pelayanan publik sebagai:
Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Kepmen MENPAN Nomor 63/2003).

Secara teoritis tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari: 1. Transparan Pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. 2. Akuntabilitas Pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Kondisional Pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas. 4. Partisipatif Pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
3

5. Kesamaan Hak Pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain. 6. Keseimbangan Hak Dan Kewajiban Pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik. 2.2 Inovasi Pelayanan Publik Menurut David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya Mewirausahakan Birokrasi, ada beberapa indikator yang bisa diterapkan dalam rangka inovasi pelayanan publik. pemerintahan katalis (catalytic government), pemerintahan milik rakyat (community owned government), pemerintahan yang kompetitif (competitive government), pemerintahan yang digerakkan oleh misi (mission driven government), pemerintahan berorientasi hasil (result oriented government), pemerintahan yang berorientasi pelanggan (customer driven government), pemerintahan wirausaha (enterprise government), pemerintahan antisipatif (anticipatory government), pemerintahan desentralisasi (decentralized government), dan pemerintahan yang berorientasi pasar (market oriented government) Selain itu, untuk mengatasi masalah pelayanan publik, Osborne dan Plastrik menyatakan bahwa setidaknya terdapat lima strategi yang dapat digunakan untuk melakukan perubahan yang mendasar dalam rangka mendorong peningkatan kemampuan birokrasi yang efektif dan efisien, ataupun kemampuan menyesuaikan atau adaptability, dan kapasitas untuk memperbarui sistem dan organisasi publik. Pertama, strategi inti (the core strategy). Strategi ini menentukan tujuan (the purpose) sebuah sistem dan organisasi publik. Jika sebuah organisasi tidak mempunyai tujuan yang jelas atau mempunyai tujuan yang banyak atau saling bertentangan, maka organisasi itu tidak dapat mencapai kinerja yang tinggi. Dengan kata lain, sebuah organisasi publik akan mampu bekerja secara efektif jika ia mempunyai tujuan yang spesifik. Oleh karena itu, adalah penting bagi para pemimpin organisasi-organisasi publik

untuk menetapkan terlebih dahulu tujuan organisasinya secara spesifik. Barangkali, penetapan visi dan misi organisasi juga mempunyai peran yang sama pentingnya dalam melengkapi tujuan organisasi publik. Hal ini penting sebagai usaha agar karyawan atau pegawai mempunyai arah dan pegangan yang jelas. Di luar itu, strategi ini terutama berkaitan dengan usaha-usaha memperbaiki pengarahan (steering). Kedua, strategi konsekuensi (the consequences strategy). Strategi ini menentukan insentif-insentif yang dibangun ke dalam sistem publik. Birokrasi memberikan para pegawainya insentif yang kuat untuk mengikuti peraturan-peraturan, dan sekaligus, mematuhinya. Pada model birokrasi lama, para pegawai atau karyawan memperoleh gaji yang sama terlepas dari yang mereka hasilkan. Namun, dalam rangka reinventing government, seperti diungkapkan oleh Osborne dan Plastrik, mengubah insentif adalah penting dengan cara menciptakan konsekuensi-konsekuensi bagi kinerja. Jika perlu, organisasi-organisasi publik perlu ditempatkan dalam dunia usaha (market place), dan membuat organisasi tergantung pada konsumennya untuk memperoleh penghasilan. Namun, jika hal ini tidak layak untuk dilakukan, maka perlu dibuat kontrak atau perjanjian guna menciptakan persaingan antara organisasi-organisasi publik dan swasta (atau persaingan antarorganisasi publik). Hal ini karena pasar dan persaingan menciptakan insentif-insentif yang jauh lebih kuat sehingga organisasi publik terdorong untuk memberikan perbaikan-perbaikan kinerja yang lebih besar. Insentif dan persaingan ini dapat mempunyai bentuk yang beragam, seperti tunjangan kesehatan, kenaikan gaji, atau memberikan penghargaan bagi organisasi-organisasi publik yang mempunyai kinerja yang lebih tinggi. Ketiga, strategi pelanggan (the customers strategy). Strategi ini terutama memfokuskan pada pertanggungjawaban (accountability). Berbeda dengan birokrasi lama, dalam birokrasi model baru, tanggung jawab para pelaksana birokrasi publik hendaknya ditempatkan pada masyarakat, atau dalam konteks ini dianggap sebagai pelanggan. Dengan demikian, tanggung jawab tidak lagi semata-mata ditempatkan pada pejabat birokratis di atasnya, tetapi lebih didiversifikan kepada publik yang lebih luas. Model pertanggungan jawab seperti ini diharapkan dapat meningkatkan tekanan terhadap organisasiorganisasi publik untuk memperbaiki kinerja ataupun pengelolaan sumber-sumber organisasi. Selanjutnya, dengan memberikan pertanggungan jawab kepada masyarakat/ konsumen, akan dapat menciptakan informasi, yaitu tentang kepuasan para

konsumen terhadap hasil-hasil dan pelayanan pemerintahan tertentu. Dengan kata lain, penyerahan pertanggungan jawab kepada para konsumen berarti bahwa organisasiorganisasi publik harus mempunyai sasaran yang harus dicapai, yaitu meningkatkan kepuasan konsumen (customers satisfaction). Keempat, the control strategy. Strategi ini menentukan di mana letak kekuasaan membuat keputusan itu diberikan. Dalam sistem birokrasi lama, sebagian besar kekuasaan tetap berada di dekat puncak hierarkhi. Dengan kata lain, wewenang tertinggi untuk membuat keputusan berada pada puncak hierarkhi. Perkembangan birokrasi modern yang semakin kompleks telah membuat organisasi menjadi tidak efektif. Hal ini karena proses pengambilan keputusan harus melalui jenjang hierakhi yang panjang sehingga membuat proses pengambilan keputusan cenderung lamban, dan jika hal ini dipaksakan, maka jika dilewati akan membawa dampak terjadinya bureaucracy barierrs17. Pada akhirnya, secara keseluruhan, sistem kinerja birokrasi dalam menangani masalah dan memberikan pelayanan kepada masyarakat akan berlangsung lamban karena bawahan tidak diberi ruang yang cukup untuk mengambil inisiatif dalam memecahkan masalah. Kelima, the culture strategy. Strategi ini menentukan budaya organisasi publik yang menyangkut nilai, norma, tingkah laku, dan harapan-harapan para karyawan. Budaya ini akan dibentuk secara kuat oleh tujuan organisasi, insentif, sistem pertanggungan jawab, dan struktur kekuasaan organisasi. Dengan kata lain, mengubah tujuan, insentif, sistem pertanggungan jawab, dan struktur kekuasaan organisasi akan mengubah budaya. 2.3 Teori Swastanisasi Pada tahun 1989 keluar sebuah deregulasi kebijakan yang dikenal dengan Paket Kebijakan Juni 1989 yang berisi penataan kembali perusahaan milik negara dengan menetapkan empat kategori sangat sehat, sehat, kurang sehat dan tidak sehat. Dengan kategori ini perusahan milik negara yang sangat sehat dan sehat kurang dari separoh jumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ada. Akibatnya tuntutan reorganisasi, swastanisasi dan transparansi keuangan publik, mengalir deras dari masyarakat. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dianggap kurang sehat dan tidak sehat akan dilakukan privatisasi. Pivatisasi perusahaan diartikan sebagai tindakan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, melalui perubahan status hukum, organisasi dan pemilikan saham. Privatisasi perusahaan dapat berbentuk kerjasama operasi

atau kontrak manajemen dengan pihak ketiga, konsolidasi, merger, pemecahan badan usaha, penjaualan saham serta pembentukan perusahaan patungan (join Venture). Privatisasi pada dasarnya membangun keterhubungan yang kuat antara domain sektor publik dengan sumberdaya yang dimiliki pihak pihak swasta. Bahwa manfaat utama dari privatisasi adalah untuk peningkatan efisiensi. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak barang kebutuhan dasar dan pelayanan publik yang mana masyarakat mesti membayar tinggi untuk mendapatkannya termasuk dalam hal ini pelayanan air minum, sebetulnya sistemnya bisa lebih efisien dengan melibatkan sektor swasta (Roth 1987 dalam Rondinelli 2002). Privatisasi ini juga dipandang bermanfaat dalam mendorong mobilisasi investasi swasta (Cointreau- Levine, 1994 dalam Lee 1997). Menurut Riant Nugroho (Riant Nugroho, dalam Soenarjo 2005: 14), ada tiga langkah yang bisa diambil oleh birokrasi untuk melakukan inovasi dalam menyikapi perubahan zaman, dalam menghadapi Indonesia hari ini dan masa depan. Pertama, birokrasi harus mamu melakukan redefinisi tentang visi, misi, peran, implementas dan evaluasi. Kedua, birokrasi harus menjalani restrukturisasi sesuai dengan redefinisi dan reorientasi tersebut. Restrukturisasi pada hakekatnya akan membentuk struktur yang lebih ramping mulai dari Pusat sampai Kabupaten/Kota. Ketiga, aliansi yaitu bekerjasama dengan swasta atau pihak lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melakukan tugas dan fungsinya melayani masyarakat, birokrasi justru bisa semakin adaptif-proaktif-efisien jika bermitra dengan masyarakat yang dilayaninya. Kebutuhan kerjasama dengan swasta atau pihak lain dalam pelayanan publik disebabkan antara lain terbatasnya danan yang dimiliki Pemerintah, disamping itu juga untuk menciptakan iklim kompetensi agar kualitas pelayanan publik dapat dijamin. Ketika negara memonopoli pelayanan publik, biasanya mempunyai kecenderungan dalam melakukan pelayanan publik juga cenderung rendah. Hal ini dinilai sangat wajar karena tanpa persaingan maka pemegang monopoli pelayanan publik menjadi hilang. Swastanisasi yang dimaksud di sini adalah adanya penyerahan pemerintahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan kepada swasta, profit atau

nonprofit. Sedangkan mekanisme penyerahan penyelenggaraan pelayanan publik tersebut menurut Gerald Caiden (Joko Widodo, dalam Soenarjo 2005:18) antara lain melalui:

1. Kerja Kontrak (contract work), dimana pemerintah memilih satu kontraktor swasta baik yang mencari laba atau yang nirlaba untuk menyediakan layanan dan pemerintah membayar kepada kontraktor. 2. Hak (franchises) yang diberikan pemerintah kepada organisasi swasta untuk memproduksi barang atau jasa dan menarik tarif barang layanan atau jasa langsung kepada pelanggan. 3. Sistem kupon (voucher system), dimana pemerintah mengeluarkan kupon kepada yang memenuhi syarat, yang kemudian menggunakannya untuk memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan pasar. 4. Subsidi (procedure subsidy) diberikan langsung kepada produsen untuk

memperoduksi barang atau menyediakan layanannpada harga yang lebih murah kepada konsumen. 5. Pasar (market) dimana wiraswastawan melihat kebutuhan masyarakat atas barang dan jasa, lalu memperoduksi dengan harga pasar. 6. Sumbangan Sukarela (voluntary) dimana organisasi mengenali kebutuhan masyarakat lalu memenuhinya dengan menarik sumbangan secara sukarela atau memperkerjakan relawan. 7. Melayani sendiri (self-service), dimana keluarga atau individu memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhannya.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1

Kondisi Pelayanan Publik di Indonesia Setiap orang selalu memerlukan beragam barang dan jasa baik yang disediakan

oleh pemerintah maupun swasta. Produk barang atau jasa yang disediakan pemerintah (public goods) diantaranya adalah pelayanan atas keamanan, pelayanan identitas diri seperti KTP, SIM maupun akta tanah, pelayanan listrik, pelayanan pendidikan maupun kesehatan. Meskipun untuk yang dua hal terakhir (pelayanan pendidikan dan kesehatan), pihak swasta juga menyediakannya. Masyarakat berhak memilihnya, sebab penyediaan layanan pendidikan maupun kesehatan tergolong pada substitute public goods (penyediaan pelayanan atas barang dan/atau jasa yang dilakukan lembaga pemerintah dan juga lembaga swasta). Salah satu ukuran keberhasilan pelayanan publik adalah dilihat dari kepuasan masyarakat. Sekilas tampak subjektif namun yang kita lihat adalah realitas betapa masyarakat sangat berharap adanya pelaksanaan yang maksimal bagi segala kebutuhan mereka. Tidak jarang kita dengar keluhan masyarakat terhadap pelayanan yang diterimanya dan akhirnya menimbulkan kesan bahwa pelayanan publik cenderung dijalankan dengan setengah hati. Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang maksimal, sebab government terbentuk oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Masyarakatlah yang menjadi sponsor utama pemerintahan. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak memberikan pelayanan maksimal bagi masyarakat. Secara umum, kenapa masyarakat masih belum puas terhadap pelayanan publik? Menurut Peni Suparto pertama, proses pelayanan yang lambat. Masyarakat menginginkan penyelesaian masalahnya dengan secepat mungkin. Urusan yang semestinya bisa tuntas satu jam tidaklah pantas diundur sampai berhari-hari. Kalau bisa diselesaikan dalam waktu satu hari kenapa harus menunggu satu bulan? Barangkali inilah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat dan oleh karena itu kita semua harus evaluasi dan mulai memikirkan

bagaimana memikirkan bagaimana memangkas waktu pelayanan masyarakat agar lebih singkat dan tidak memakan waktu yang panjang. Kedua, prosedur pelayanan yang tidak praktis. Bukan lagi rahasia umum, bahwa di Indonesia ini secara umum masih banyak prosedur pelayanan publik yang terbelit-belit dan sangat tidak praktis. Hal ini kadang-kadang dilematis. Pada satu sisi, pemerintah dituntut untuk memudahkan masyarakat dengan proses pelayanan yang praktis dan mudah. Tetapi pada sisi yang lain sistem birokrasi yang berlaku banyak yang tidak praktis dan terbelitbelit. Ketiga, komunikasi pelayanan yang tidak harmonis. Komunikasi dan interaksi antara birokrasi (pemerintahan) dengan masyarakat cenderung kaku, pasif, dan tidak akrab. Kesan yang timbul adalah, masyarakat dilayani hanya karena desakan tugas dan kewajiban semata, pada saat yang sama masyarakat juga seakan-akan datang berurusan dengan pihak yang asing. Seharusnya antara pelayan dengan pihak yang dilayani ada proses komunikasi dan interaksi yang harmonis. Tampaknya budaya feodalisme dalam pikiran yang merupakan bagian dari kelemahan masa lalu masih lekat dalam keperibadian birokrat kita. Keempat, masih adanya unsur KKN dalam proses pelayanan publik. Masyarakat semakin sadar bahwa praktek KKN akan merusak mutu pelayanan bagi masyarakat. Karena KKN memungkinkan lahirnya praktek pelayanan yang tidak adil, seperti perlakuan khusus bagi kalangan tertentu dan uang dijadikan sebagai alat untuk menempuh jalan pintas. Memangkas jalur pelayanan dengan praktek seperti suap jelas tidak dibenarkan. Kepentingan masyarakat yang kurang mampu semakin tersingkir jikalau praktek KKN masih hidup dalam pelayanan publik. 3.2 Inovasi Pelayanan Publik dan Privatisasi di Indonesia Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pelayanan publik yang diberikan oleh birokrat masih jauh dari kata puas. Oleh karena itu perlu adanya suatu inovasi di bidang pelayanan publik yang diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut. Dari penjelasan-penjelasan yang sudah dijabarkan banyak sekali inovasi yang diberikan dalam pelayanan publik. Namun, hal ini tidak berarti bahwa kita harus menerima begitu saja konsep reinventing government yang ditawarkan Osborne dan Gaebler ini dalam konteks Indonesia. Hal ini karena penerapan suatu konsep tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang melingkupinya.
10

Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, mewirausahakan birokrasi berarti mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik. Di era otonomi daerah, dimana pemerintah di daerah dituntut untuk bisa mandiri, usaha tersebut dapat diterapkan agar produktivitas dan efisiensi kerja Pemda bisa dioptimalkan. Oleh karena itu, pemahaman atas cara-cara mewirausahakan birokrasi Pemerintahan Daerah harus dikuasai oleh aparat birokrasi, terlebih-lebih oleh Bupati/ Walikota termasuk pimpinan pada tiaptiap instansi atau dinas. Berkaitan dengan hal tersebut, Osborne dan Gaebler mengemukakan sepuluh cara untuk membentuk birokrasi-wirausaha, yaitu: 1. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus lebih menjadi pengarah daripada menjadi pelaksana. Misalnya adalah bekerjasama dengan pihak swasta dalam melakukan pemungutan pajak, akan tetapi penentuan Wajib Pajak dan besarnya pungutan pajak tetap dilakukan oleh pemerintah. 2. Pemerintah sebagai milik masyarakat harus lebih memberdayakan masyarakat ketimbang terus-menerus melayani masyarakat. Salah satu upayanya adalah dengan menghimbau masyarakat agar mampu mengurus keamanan lingkungannya sendiri. 3. Pemerintah sebagai institusi yang berada di alam kompetisi haruslah menyuntikkan semangat persaingan ke dalam tubuh aparat dan organisasi pelayanannya. Misalnya dengan memberikan peluang bagi swasta dalam menangani urusan-urusan yang dimonopoli pemerintah, seperti air minum, listrik, dan telepon. 4. Unit-unit pemerintahan sebagai lembaga yang bertugas mewujudkan misi harus lebih diberi kebebasan dalam berkreasi dan berinovasi. Untuk itu, petunjuk pelaksanaan yang kaku dan mengikat harus dihindarkan, baik mengenai keuangan, kepegawaian, maupun pelayanan kepada masyarakat. 5. Pemerintah harus lebih mementingkan hasil yang akan dicapai daripada terlalu memfokuskan pada faktor masukan (input). Misalnya, pemberian bantuan untuk suatu sekolah haruslah lebih didasarkan kepada kinerja dan produktivitasnya daripada jumlah muridnya. 6. Pemerintah sebagai pelayan masyarakat harus lebih mementingkan terpenuhinya kepuasan pelanggan, bukannya memenuhi apa yang menjadi kemauan birokrasi itu sendiri. Untuk itu, cara-cara baru dalam memikat pelanggan harus dilakukan.

11

7. Pemerintah sebagai suatu badan usaha harus pandai mencari uang dan tidak hanya bisa membelanjakannya. Oleh karena itu, cara-cara mencari sumber penghasilan yang baru dan menggalakkan investasi harus selalu menjadi pemikiran para manajer pemerintahan. 8. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki daya antisipatif harus mampu mencegah daripada hanya menanggulangi masalah. Misalnya soal kebakaran, dengan memakai prinsip ini, bukan mobil pemadam kebakaran yang dibeli terus tetapi supervisi/ pengawasan terhadap bangunan yang harus ditingkatkan. 9. Pemerintah harus menggeser pola kerja hierarki yang dianut ke model kerja partisipasi dan kerja sama. Misalnya, rantai organisasi yang panjang dan gemuk harus dikurangi, struktur organisasi yang tebal harus ditipiskan, dan gugus kendali mutu harus dikembangkan. 10. Pemerintah sebagai pihak yang berorientasi pada pasar harus berusaha mengatrol perubahan lewat penguasaannya terhadap mekanisme pasar. Misalnya, dalam menangani sampah yang berasal dari botol minuman, daripada membiayai usaha daur ulang yang mahal, lebih baik pemerintah mensyaratkan pengusaha minuman untuk membayar setiap pembeli yang mengembalikan botolnya. Melalui 10 prinsip tersebut, Osborne dan Gaebler yakin bahwa suatu negara akan mampu membangkitkan kembali semangat dan energi baru bagi birokrasinya. Secara singkat, inti ajaran yang tertuang dalam 10 prinsip tersebut adalah bagaimana menginjeksikan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) ke tubuh birokrasi. Meskipun secara konsepsional para pakar diatas telah memberikan garis-garis besar mengenai program reformasi sektor publik, namun perlu dipahami juga bahwa aparatur pemerintah dimasing-masing negara memiliki nuansa-nuansa yang secara kontekstual berbeda. Oleh karena itu, implementasi prinsip-prinsip kewirausahaan birokrasi perlu kita sikapi secara bijaksana, dalam pengertian bahwa tujuan hakiki program reformasi sesungguhnya adalah meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, bukan untuk mewirausahakan birokrasi semata-mata. Hal ini sesuai pula dengan kekhawatiran Osborne dan Plastrik dalam bukunya Memangkas Birokrasi (2004) yang mengemukakan adanya mitos dalam program reformasi sektor publik. Maksudnya, jangan sampai terjadi bahwa program reformasi yang sedang diselenggarakan ternyata tidak atau kurang membawa hasil sebagaimana yang diinginkan.

12

Untuk itu, maka improvisasi sumber daya manusia sektor publik perlu diupayakan secara terus menerus dan sistematis, sehingga akan mampu melaksanakan program reformasi secara tepat guna dan berhasil guna. Terlebih lagi jika diingat bahwa kondisi lingkungan strategis organisasi pemerintah telah demikian berkembang, maka eksistensi dari aparatur yang bersih dan berwibawa, handal, bermental baik, serta efektif dan efisien, jelas merupakan keniscayaan.

Salah satu inovasi yang masih diterapkan sampai saat ini yaitu terkait dengan masalah privatisasi atau swasatanisasi. Di Indonesia swastanisasi dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang kurang sehat atau tidak sehat. Kemudian badan usaha tersebut diberikan kepada pihak swasta dengan harapan agar mendapat modal dari pihak swasta dan mampu bersaiang dengan badan usaha lain. Privatisasi di bidang pendidikan dirasa cukup baik bagi beberapa kalangan yang mempunyai ekonomi berkecukupan, karena dengan privatisasi maka sekolah-sekolah akan bersaing satu sama lain untuk mendapatkan murid dan memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya sehingga akan menghasilkan siswa yang kompeten dan tidak kalah dengan murid-murid yang berasal dari sekolah-sekolah negeri. Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya privatisasi di bidang pendidikan. Pertama, privatisasi didorong oleh motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah sering dianggap kurang mampu mengelola pendidikan. Akibatnya, lembaga pendidikan menjadi tidak efisien, tidak kompetitif, dan tidak berkembang. Kedua, privatisasi pendidikan merupakan konsekuensi logis dari adanya prinsip teknologisasi, kuantifikasi, dan efisiensi dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, pendidikan dalam masyarakat sudah dipandang sebagai private goods, sehingga pemerintah tidak harus menyediakan pendidikan secara massal. Ketiga, pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan. Dalam hal ini privatisasi dianggap dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk pendidikan bisa dialihkan pada sektor lainnya yang dirasa lebih mendesak. Namun, privatisasi pendidikan yang kemudian mengarah pada komersialisasi pendidikan kini seakan menjadi sesuatu yang sah-sah saja. Ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola regulasi pendidikan menyebabkan PTN-PTN leluasa untuk mengeruk keuntungan dari
13

mahasiswa baru. Imbasnya, rakyat miskin berada dalam posisi tawar yang lemah untuk mengenyam pendidikan. Privatisasi di bidang kesehatan juga dirasa kurang baik. Secara logika, kalau rumah sakit diprivatisasi maka keuntungan menjadi tujuan utama agar rumah sakit tetap dapat beroperasi. Akibatnya rumah sakit akan mengejar target untuk menutup investasi dengan mengambil keuntungan dari pasien. Dorongan seperti itu akan menyebabkan dokter akhirnya cenderung untuk melakukan tindakan tidak rasional dengan mengesampingkan aspek etika. Dampak privatisasi akan lebih dirasakan oleh masyarakat golongan menengah ketimbang masyarakat miskin. Karena untuk masyarakat miskin, sudah dicakup/dicover oleh pemerintah melalui asuransi kesehatan nasional. Jadi yang terkena dampaknya apabila rumah sakit pemerintah diprivatisasi adalah rakyat menengah, karena mereka tidak ada lagi pilihan. Saya berkeinginan masyarakat itu mendapat pelayanan kesehatan sewajarnya seperti yang dia harus bayar, mendapat obat juga seperti yang ia harus bayar, jangan sampai masyarakat membayar itu diluar yang seharusnya. Namun tidak semua privatisasi berjalan sesuai kenyataan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 disebutkan bahwa: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam kenyataannya air, yang merupakan sumber utama kehidupan juga ada yang di privatisasikan. Contohnya Mata Air Sumber Waras di Gunung Arjuno diprivatisasikan pada Perusahaan Jepang dan di olah menjadi infuse oleh PT Otsuka Indonesia (PT. OI) didirikan secara resmi pada tahun 1975 sebagai perusahaan patungan di bidang industri farmasi dengan Otsuka Pharmaceutical Co., Ltd., Jepang. Selain itu, mata air tersebut juga diolah oleh Jepang menjadi minuman pengganti ion tubuh, yaitu Pocari Sweat. Selain itu, mata air gunung Pandaan juga telah diprivatisasi ke Produsen air mineral terbesar di Indonesia, yaitu Aqua. Jika semua mata air di privatisasi, maka kebutuhan akan kebutuhan air akan semakin berkurang, akibatnya rakyat harus melakukan pengeluaran yang lebih besar untuk mendapatkan air. Tingginya pendapatan yang dapat diraih dalam bisnis air ini akhirnya juga menggoda perusahaan swasta internasional untuk mencari
14

keuntungan di Indonesia. Dan peluang untuk makin dikomersilasasi dan di privatisasinya sektor air di Indonesia makin terbuka sejak disahkannya UU No.7 tahun 2004, tentang Sumber Daya Air oleh DPR RI. Dalam masalah privatisasi seperti ini, Pemerintah harus cermat dan pandai memilih-milah apa saja yang bisa di privatisasi dan mana yang tidak boleh diprivatisasi sehingga privatisasi tersebut nantinya tidak akan merugikan masyarakat. Pemerintah juga harus mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan sehingga kebijakan-kebijakan bersifat transparan.

15

BAB IV

PENUTUP

4.1

Kesimpulan Era globalisasi yang didukung oleh teknologi modern terutama di bidang transportasi,

telekomunikasi, membuat mobilitas, dan aktivitas masyarakat semakin meningkat dengan cepat, menuntut pelayanan yang semakin cepat dan tepat. Salah satu ukuran keberhasilan pelayanan publik adalah dilihat dari kepuasan masyarakat. Secara umum, masyarakat masih belum puas terhadap pelayanan publik karena, pertama, proses pelayanan yang lambat. Kedua, prosedur pelayanan yang tidak praktis. Ketiga, komunikasi pelayanan yang tidak harmonis. Keempat, masih adanya unsur KKN dalam proses pelayanan publik. Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pelayanan publik yang diberikan oleh birokrat masih jauh dari kata puas. Oleh karena itu perlu adanya suatu inovasi di bidang pelayanan publik yang diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut. Dari penjelasanpenjelasan yang sudah dijabarkan banyak sekali inovasi yang diberikan dalam pelayanan publik. Namun, hal ini tidak berarti bahwa kita harus menerima begitu saja konsep reinventing government yang ditawarkan Osborne dan Gaebler ini dalam konteks Indonesia. Hal ini karena penerapan suatu konsep tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang melingkupinya. Salah satu inovasi yang masih diterapkan sampai saat ini yaitu terkait dengan masalah privatisasi atau swasatanisasi. Di Indonesia swastanisasi dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang kurang sehat atau tidak sehat. Kemudian badan usaha tersebut diberikan kepada pihak swasta dengan harapan agar mendapat modal dari pihak swasta dan mampu bersaiang dengan badan usaha lain. Namun tidak semua privatisasi berjalan dengan baik dan membawa dampak positif. Banyak privatisasi yang dinilai merugikan masyarakat karena dirasa biayanya terlalu membebani masyarakat.

4.2

Saran 1. Pemerintah harus melakukan perbaikan dalam pelayanan publik agar kualitas pelayanan menjadi lebih baik.
16

2. Pemerintah

harus

lebih

responsive,

akuntabel,

dan

transparan

dalam

menyelenggarakan pelayanan publik. 3. Pemerintah melakukan inovasi-inovasi untuk memperbaiki keadaan birokrasi di Indonesia. 4. Pemerintah harus cermat dalam melakukan privatisasi. Tidak semua badan usaha bisa diprivatisasi sehingga pemerintah harus melakukan kajian terlebih dahulu dan tentunya privatisasi harus bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat. 5. Masyarakat bisa berperan dalam mengontrol kinerja birokrasi publik, seperti pembentukan LSM.

17

DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelenggaraan Pelayanan Publik. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Soenarjo. 2005. Swastanisasi: Alternatif Reformasi Birokrasi Pelayanan Publik.

___________: CV Adipura Soeparto, Peni. 2008. Paradigma dan Implementasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: KANISIUS Osborne, David dan Peter Plastrik. 2004. Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Jakarta: PPM. Osborne, David dan Ted Gaebler. 2003. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government): Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik. Jakarta: PPM

18

You might also like