You are on page 1of 7

Sosiolinguistik : Hubungan Bahasa dengan Budaya

emikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, du buah fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan. Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu. Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal dalam bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan bhasa dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan. Seperti yang diungkapkan oleh para ahli: 1. menurut Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang sewenangwenang, berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosisal untuk kerjasama dan saling berhubungan. 2. Menurut Chomsky language is a set of sentences, each finite length and contructed out of a finite set of elements. 3. Menurut Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap batasan yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep-konsep yang sama, meskipun terdapat perbedaaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan tersebut, dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda Thomas dan Shan Wareing

dalam bukunya Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam menelaah bahasa adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis untuk mengabungkan unitunit kecil menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan komunikasi. Sebagai contoh, kita menggabungkan bunyi-bunyi bahasa (fonem) menjadi kata (butir leksikal) sesuai dengan aturan dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk membuat struktur tata bahasa, sesuai dengan aturan-aturan sintaksis dalam bahasa. Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal secara arbitrer. Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata manusia. PENGERTIAN BUDAYA Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relungrelung Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan cara yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya. Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia. Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka. Definisi-definisi di atas dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan menurut Abdul Chaer yaitu: 1. Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan. 2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara

kemasyarakatan. 3. Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku. 4. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup. 5. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur. 6. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.

Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau non material. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional. HUBUNGAN ANTARA BAHASA DAN BUDAYA Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya. Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi

manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, du buah fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan. FENOMENA ANTARA BAHASA DAN BUDAYA Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat absolut; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya. Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.11 Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish. Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak. Mengapa hal ini bisa terjadi ? semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Dalam budaya masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti beras atau padi. Lalu karena makan nasi bukan merupakan budaya Inggris, maka dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang masyakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa). Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa juga berarti adik.

Para pakar Linguistik-Deskriptif biasanya mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter, yang kemudian lazim ditambah dengan yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dangan mengidentifikasikan diri. Bagian di atas menyatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem sama dengan sistem yang lain, yang otomatis bersifat sistematis dan sistemis. Jadi bahasa itu bukan merupakan suatu system tunggal melainkan dibangun oleh subsistem. Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang, sama dengan sistem lalu lintas, atau sistem lambang lainnya. Hanya sistem lambang ini berupa bunyi, bukan gambar atau tanda lain dan bunyi ini adalah bunyi bahasa yang dilahirkan oleh alat ucap manusia sama dengan sistem lambang lain, sistem lambang seperti ini juga bersifat arbiter. Artinya antara lambang yang berupa bunyi ini tidak memiliki hubungan wajib dengan konsep yang dilambangkannya. Mengapa pertanyaan, misalnya, mengapa binatang yang berkaki empat dikendarai di sebut (kuda), melainkan disebut lambang bunyi lain, sebab bahasa itu bersifat dinamis. Kalau bahasa itu ada, tentu ada asal usul keberadaannya banyak teori telah dilontarkan para pakar mengenai asalusul bahasa ini. F.B. condillac seorang filsuf bangsa Prancis berpendapat bahwa bahasa itu berasal dari teriakan-teriakan dan gerakgerik badan yang bersifat naluri yang dibangkitakan oleh perasaan dan emosi yang kuat. Kemudian teriakan-teriakan itu berubah menjadi bunyi-bunyi yang bermakna, dan yang lama-kelamaan semakin panjang dam rumit sebelum adanya teori condillac, orang (ahli agama) bahwa bahasa itu berasal dari Tuhan. Tuhan telah melengkapi pada pasangan manusia pertama (Adam dan Hawa) dalam kepandaian bahasa. Namun teori Condillac dan kepercayaan agama ini di tolak oleh Von Hender, seorang ahli fisafat bangsa Jerman, yang mengatakan bahwa bahasa itu tidak mungkin dari Tuhan karena bahasa itu sedemikian buruknya dan tidak sesuai dengan logika karena Tuhan maha sempurna. Menurut Von Herder bahasa itu terjadi dari proses onomatope, yaitu peniruan bunyi alam. Bunyi-bunyi alam yang ditiru ini merupakan benih yang tumbuh mernjadi bahasa sebagai akibat dari dorongan hati yang sangat kuat untuk berkomunkasi. Von Schlegel, seorang ahli filsafat bangsa Jerman, berpendapat bahwa bahasa-bahasa yang ada di dunia ini tidak mungkin bersumber dari satu bahasa. Asal-usul bahasa itu sangat berlainan tergantung kepada faktor-faktor yang mengatur tuibuhnya bahasa itu. Ada bahasa yang lahir dari onomatope, ada yang lahir dari kesadaran manusia, dan sebagainya. Namun dari mana asalnya menurut Von schgel akal manusialah yang membuat sempurna. Brooks (1975) memperkenalkan satu teori mengenai asal usul bahasa yang sejalan dengan perkembangan psikolingistik dewasa ini. Menurut brooks bahasa itu lahir pada waktu yang sama dengan kelahiran manusia. Berdasarkan penemuan-penemuan antropologi, arkeologi, biologi, dan sejarah purba manusia, bahasa, kebudayaan secara bersamaan lahir di bagian tenggara Afrika kira-kira dua juta tahun yang lalu. Menurut hipotesis Brooks bahasa pada mulanya berbentuk bunyi-bunyi tetap untuk menggantikan atau sebagai simbol bagi benda, hal, atau kejadian tetap di sekitar bagian yang tepat bunyi-bunyi itu, kemudian bunyi-bunyi itu dipakai bersama oleh orang-orang di tempat itu. Sejak awal bahasa itu merupakan satu kerangka atau struktur yang dibentuk oleh empat unsur, yaitu, bunyi, keteraturan, bentuk dan pilihan. Kemudian karena kelahiran bahasa bersamaan dengan kelahiran

kebudayaan, maka melalui kebudayaan ini dengan segala hasil ciptaan kognisi seseorang dapat dimiliki oleh orang lain, dan dapat di turunkan kepada generasi berikutnya. Untuk menyokong hiotesis mengenai kelahiran bahasa ini, Brooks merajuk pertemuan-pertemuan teori-teori dari Eric lenneberg (1964-1967), Suzanne langer (1942), Gorge miller (1965), dan Roman Jakobsan (1972). Umpamanya, teori keotonomian bahwa bahasa tidak terikat oleh waktu dan tempat, di terima oleh Brooks. Pendapat Suzanne langer dan Eric lanneberg bahwa bahasa juga tidak terikat oleh keperluan, juga di terima oleh Brooks. Selain itu Brooks juga mengambil analisis nurani yang beraswal Dario R Descartes (abad 17), yang di angkat lagi pada abad 20 oleh Noam Comsky (1957,1965),1968) hipotesis nurani ini menyatakan bahwa manusia itu telah lahir telah dikaruniai dengan kemampuan nurani yang memungkinkan manusia itu mempunyai kemampuan bahasa. Dengan kata lain manusia telah diciptakan menjadi makhluk berbahasa. Sejalan dengan Brooks, Philip Lieberman (1975) juga mengemukakan suatu teori mengenai asal-usul bahasa . Kalau Brooks Merujuk pada hipotesis nurani berasal dari Descartes, maka liberman meangkah jauh ke belakang. Menurut liberman bahasa lahir secara evolusi sebagai yang dirumuskan oleh Darwin (1859) dengan teori evolusinya. Semua hukum evolusi Darwin, menurut Lieberman, telah berlaku dan dilalui juga evolusi bahasa. Hubungan Bahasa dan Kebudayaan Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagia atau subsistem,dari sistem kebudayaan malah dari bagian yang inti dari kebudayaan. Bahasa terlibat dalam semua aspek kebudayaan, paling sedikit dengan cara mempunyai nama atau istilah dari unsur-unsur dari semua aspek kebudayaan itu, Lebih penting dari itu, kebudayaan manusia tidak akan mungkin terjadi tanpa bahasa; bahasalah faktor yang menentukan terbentuknya kebudayaan. Ini dapat kita mengerti jika kita bayangkan sejenak bagaimana mungkin kita memperkembangkan unsur-unsur kebudayaan seperti pakaian, rumah, lembaga, pemerintahan, hukum, perkawinan tanpa adanya bahasa. Hubungan lain dari bahasa dengan kebudayaan ialah bahwa bahasa sebagai sistem komunikasi mempunyai maknanya dalam kebudayaan yang menjadi wadahnya, adalah penting dari guru-guru bahasa mengetahui bahwa suatu bahasa berada dalam kebudayaan tertentu, sehingga mengerti, suatu bahasa tertentu merupakan sedikit mengerti tentang kebudayaan. Ini tidak berarti suatu bahasa tidak harus menjadi bagian dari suatu kebudayaan tertentu, oleh karena adanya mungkin menggunakan suatu bahasa dalam dua atau lebih kebudayaan. Umpamanya bahasa Spanyol adalah bahasa di Spanyol, Meksiko dan Amerika latin yang lain yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Bahasa Arab digunakan di Iran dan Maroko, bahasa Inggris dipakai di Amerika Serikat dan Inggris. Betul ada persamaan-persamaan dari negara-negara yang disebut dia atas, tetapi kebudayaan masing-masing dari keseluruhan adalah kebudayaan berlainan. Sedemikian eratnya hubungan bahasa dengan kebudayaan wadahnya, hingga sering terdapat kesulitan dalam menerjemahkan kata-kata dan ungkapan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Sebagai contoh, perkataan village, dalam bahasa inggris tidaklah sama dengan desa dalam bahasa Indonesia. Sebab konsep village dalam bahasa inggris dan Amerika Serikat adalah lain sekali dari desa dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu ungkapan yang pernah dikeluarkan oleh penulis asing menyebut kota Jakarta sebagai big village akan hilang maknanya jika diterjemahkan dengan Desa yang besar.

Hal ini membawa hubungan kita kepada hubungan lain kepada antara bahasa dan kebudayaan, yaitu bahwa kunci bagi pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan adalah melalui bahasanya. Semua yang dibicarakan dalam suatu bahasa, terkecuali ilmu pengetahuan yang kita anggap universal, adalah tentang hal-hal yang ada dalam kebudayaan bahasa itu. Oleh karena itu maka perlu mempelajari bahasa jika kita ingin mendalami suatu kebudayaan ialah melalui bahasanya. Inlah latar belakang pemikiran dari pengkajian bahasa, kususnya variasi penggunaan bahasa, oleh ahli ilmu-ilmu sosial, yang mereka sebut sosiologi bahasa. Tujuan mereka dalam mengkaji bahasa ialah untuk mengerti lebih mendalam pola dan nilai-nilai di suatu masyarakat , bahasa dianggap cirri yang paling kuat dari kepribadian sosial seseorang, dan juga ada keterkaitan terhadap kebudayaan di suatu masyarakat.

You might also like