You are on page 1of 13

MULTIKULTURALISME

Pengertian Multikulturalisme Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lainlain. Kosep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak bebas nilai (value free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan dengan agama, yakni multikulturalisme religius yang menekankan tidak terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan orang-orang yang atheis (Harahap, 2008). Dalam konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional. Istilah multikulturalisme sebenarnya belum lama menjadi objek pembicaraan dalam berbagai kalangan, namun dengan cepat berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Dikatakan menarik karena memperdebatkan keragaman etnis dan budaya, serta penerimaan kaum imigran di suatu negara, pada awalnya hanya dikenal dengan istilah puralisme yang mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu daerah atau negara. Baru pada sekitar pertengahan abad ke-20, mulai berkembang istilah multikulturalisme. Istilah ini, setidaknya memiliki tiga unsur, yaitu: budaya, keragaman budaya dan cara khusus untuk mengantisipasi keanekaragaman budaya tersebut. Secara umum, masyarakat modern terdiri dari berbagai kelompok manusia yang memiliki status budaya dan politik yang sama. Selanjutnya, demi kesetaraan masa kini, pengakuan adanya pluralisme kultural menjadi suatu tuntutan dari konsep keadilan sosial (Okke KS Zaimar, 2007: 6).

Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Akan tetapi tentu, tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi secara positif. pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme. Mengutip S. Saptaatmaja dari buku Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking Context, Process And Content karya Hilda Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi. Lebih jauh, Pasurdi Suparlan memberikan penekanan, bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kebudayaan. Yang menarik disini adalah penggunaan kata ideologi sebagai penggambaran bahwa betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati perbedaan, dan memandang setiap keberagaman sebagai suatu kewajaran serta sederajat. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan. Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakatmasyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.
2

Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini maka prinsip bhineka tunggal ika seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undangundang Dasar 1945 dapat tercapai. Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru. Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (Englishspeaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya. Adalah Samuel P. Huntuington (1993) yang meramalkan bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai
3

runtuhnya polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser. Ramalan Huntuington tersebut diperkuat dengan alasannya mengapa di masa depan mendatang akan terjadi benturan antarperadaban. Antara lain adalah: Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar. Kedua, Dunia sekarang semakin menyempiti interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang ataumasyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, diasmping memperlemah negara-negara sebagi sumber identitas mereka. Keempat, timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu sisi barat berada di punjak kekuatan. Di sisi lain mungkin ini akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya fenomena asal , sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban NonBarat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Dan, keenam regionalisme ekonomi semakin meningkat. Akan tetapi asumsi tersebut tidak mutlak menjadi sebab utama terjadinya sebuah perpecahan. Misalnya, setelah berakhirnya Perang Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke dalam entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis justru disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi, persoalan perpecahan antara Jerman Barat dan Jerman Timur yang kembali bersatu karena persamaan suku dan kebudayaan. Dan multikulturalisme justru menjadi sebuah pemersatu yang kokoh. Sumber : http://my.opera.com/Putra%20Pratama/blog/show.dml/2743875

Dalam kosa kata sehari-hari Masyarakat Multikultural ini lebih dikenal.

Multikulturalisme atau banyaknya macam-macam budaya dan Etnis.

Sumber : http://www.google.co.id/search?q=contoh+multikulturalisme&oe=utf8&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&um=1&ie=UTF8&hl=id&tbm=isch&source=og&sa=N&tab=wi&ei=FX7AT7PjMpDOrQfws_HTCQ&biw =1247&bih=622&sei=F37AT82pNY3QrQewlfXCCQ

PRIMORDIALISME
Manusia sebagai makhluk hidup dapat ditinjau dari berbagai macam segi sesuai dengan sudut tinjauan dalam memepelajari manusia itu sendiri. Oleh karena itu tinjauan mengenai manusia dapat bermcam-macam,misalnya manusia sebagai makhluk budaya, manusia sebagai makhluk social, manusia sebagai makhluk individu dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk individu, maka dalam tindakan-tindakan yangn mereka lakukan terkadang menjurus pada kepentingan pribadi. Namun disisi lain manusia juga sebagai makhluk social, oleh karena itu manusia dituntut untuk tidak hanya mengabdi kepada dirinya sendiri melainkan juga harus mengabdi kepada masyarakat dan lingkungan sosialnya. Dalam kehidupan bermasyarakat selalu terdapat interaksi antara individu dengan individu lainya. Kehidupan bermasyarakat tidak selalu berjalan searah, dalam arti tidak selalu sesuai dengan keinginan masing-masing individu. Terkadang antara individu satu dengan yang lainnya dapat sejalan atau sependapat dalam sesuatu hal, tetapi tidak jarang terjadi suatu pertentangan atau konflik di dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat erat hubungannya dengan kebudayaan, karena segala sesuatu yang terdapat didalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri, karena kebudayaan merupakan unsur pengorganisasian antar individu dan membentuknya menjadi suatu kelompok. Seperti halnya kehidupan masyarakat Indonesia,yang notabene adalah masyarakat majemuk yang hidup tersebar diseluruh wilayah tanah air serta memiliki beraneka ragam kebudayaan. Dengan keanekaragaman budaya pasti menimbulkan perbedaan pandangan, kepentingan. Pendirian dan perasaan setiap individu. Kondisi seperti dapat menimbulkan dua hal yaitu konflik dan kerjasama. Konflik merupakan warisan kehidupan social yang tidak pernah lepas dalam kehidupan sehari-hari karena konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia. Di dalam kehidupan sehari-hari kita bias melihat bentuk-bentuk dari konflik, antara lain konflik antara para mahasiswa dengan polisi,kisruh pilkada di berbagai daerah, korupsi, perseteruan antar etnis di Papua, kerusuhan Poso dan masih banyak yang lainnya. Kali ini saya akan menganalisis mengenai konflik yang terjadi pada Pilkada Maluku Utara. Dalam catatan Pilkada di Indonesia, hampir semua berakhir dengan kericuhan serta konflik horizontal diantara para pendukung masing-masing pasangan. Pemicu konflik pun rata-rata sama yakni mengenai ketidak puasan hasil akhir penghitungan suara. Misalnya saja kisruh pilkada yang terjadi di Maluku Utara. Konflik ini berawal dari persaingan GafurFabanyo vs Thaib-Gani untuk memperebutkan kursi Gubernur dan wakil gubernur Provinsi Maluku Utara. Pada awalnya konflilk ini hanya berupa persaingan taktik kampanye,mulai dari iklan di media masa, berorasi dan mengumbar janji-janji untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka lebih baik di banding pasangan lainnya. Kemudian konflik yang terjadi meluas ditatanan kepanitiaan. KPU Daerah berseteru dengan KPU Pusat, pada mulanya dipicu oleh pemecatan Kepala KPU Daerah oleh KPU Pusat karena dianggap tidak kompeten dalam melaksanakan tugas, kemudian KPU Pusat mengambil alih segala proses Pilkada. Dalam penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU Pusat pasangan Thaib-Gani. Padahal dalam penghitungan suara sebelumnya yang dilakukan oleh KPUD, telah memenangkan pasangan Gafur-Fabanyo. Keputusan KPU Pusat yang memenangkan pasangan Thaib-Gani tidak diterima oleh KPUD dan segenap pendukung pasangan tersebut. Sampai akhirnya
6

kasus ini dibawa ke MA, kemudian MA mengesahkan hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPUD. Hal ini dikarenakan pemecatan terhadap kepala KPUD tidak sesuai prosedur hokum yang berlaku atau cacat hukum. Kekisruhan yang terjadi diduga adanya keberpihakan masing-masing KPU terhadap terhadap pasangan yang dimenangkan. Bahkan dalam sebuah sumber dinyatakan bahwa adanya hubungan etnis antara Thaib Armain dengan ketua KPUD. Konflik yang terjadi tidak berakhir disitu saja, konflik terus meluas hingga ke DPRD Maluku Utara sehingga didalam tubuh DPRD terbagi menjadi dua kubu. Bahkan surat rekomendasi pengesahan salah satu pasangan pun ada dua versi. Versi yang pertama merekomendasiakan Gafur-Fabanyo yang akhirnya dianggap tidak sah. Sehinnga DPRD mengesahkan surat rekomendasi versi kedua, yaitu mengesahkan Thaib Armain sebagai Gubernur dan Ghani sebagai Wakil Gubernur Maluku Utara. Konflik yang terjadi juga semakin meluas kepada masa pendukung masing-masing calon.Bahkan pada tahap ini konflik sudah semakin menuju ke konflik fisik. Masing-masing pendukung Cagub dan Cawagub pernah terlibat kerusuhan besar yang tidak hanya merugikan mereka saja, tetapi juga merugikan masyarakat pada umumnya baik secara materil maupun moril. Analisis dari konflik Pilkada Maluku Utara ini dapat menggunakan teori konflik Clifford Geertz, yang menyatakan bahwa konflik politik disebabkan oleh ikatan primordialisme yang mengalami percampuran antara kesetiaan politik dengan kesetiaan primordial. Sebuah ikatan primordial dapat membentuk sentimen dan loyalitas primordial yang menghasilkan solidaritas yang kuat antar kelompok. Solidaritas dalam kelompok primordial menghasilkan fanatisme yakni kesetiaan yang kuat kepada kelompok. Fanatisme ini dapat memperkuat integrasi kelompok, namun juga mempermudah terjadinya konflik dengan kelompok lain. Sikap seperti inilah yang sering dimanfaatkan di kancah perpolitikan Indonesia. Namun fanatisme atau kesetiaan ini bersifat tidak kekal, hanya bersifat sementara. Seharusnya kesetian pada partai politik didasarkan pada kualitasnya namun apabila fanatisme pada suatu parpol bercampur dengan primordialisme, maka fanatisme atau kesetiaan tersebut akan sulit diubah. Hal ini menyebabkan sulitnya pengawasan terhadap seorang yang berkuasa, karena baik ataupun buruk tetap saja dianggap baik oleh para pengikutnya. James Scott dengan teori patron-klien Sekelompok informal figure yang berkuasa(patron) dan memiliki posisi memberikan rasa aman,pengaruh atau keduanya. Sebagai imbalan,pengikutnya(klien) memberikan loyalitas dan bantuan pribadi kepada patronya dalam kondisi apa pun, baik patronya dalam keadaan benar ataupun salah. Dengan menggunakan perpaduan antara teori C.Geertz dengan teori J.Scott diatas, dapat dilihat bahwa konflik yang terjadi karena adanya perselisihan antara pasangan yang satu dengan pasangan yang lainnya. Kedua pasangan tersebut dibela oleh para pendukungnya(klien). Klien dari keduanya akan membela masing-masing patronya semaksimal mungkin, dengan kata lain massa pendukung kedua kubu akan terus mendukung patron-nya masing-masing apapun kondisi patron-nya dalam keadaan benar ataupun dalam keadaan salah. Berdasarkan analisis tersebut, dapat dilihat bahwa konflik ini
7

bersifat top-down, Artinya konflik yang terjadi di kalangan atas (patron) akan turun ke masyarakat luas (klien). Konflik dikalangan masyarakat bawah akan sulit terjadi jika pada kalangan atas tidak terjadi konflik dan konflik akan segera hilang jika para patron sudah melakukan konsensus. Dengan begitu salah satu cara untuk mengakhiri konflik adalah dengan cara top-down juga, yaitu mendamaikan patronnya terlebih dahulu. Sumber : http://juwita.blog.fisip.uns.ac.id/2011/12/06/analisis-konflik/

Agar sikap ini tidak muncul, Primordialisme harus diimbangi.

Kekerasan mengatasnamakan agama, suku, dan sikap primordialisme. Sumber : http://www.google.co.id/search?q=contoh+primodialisme&oe=utf8&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&um=1&ie=UTF8&hl=id&tbm=isch&source=og&sa=N&tab=wi&ei=9ILAT9y3A43rrQeC9pXTCQ&biw=1247&b ih=622&sei=-YLAT6u9DIaurAeu3oy6CQ

ETNOSENTRISME
Sebagai konsekuensi dari identitas etnis munculah etnosentrisme. Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan. Pada saat konflik, etnosentrisme benar-benar bermanfaat. Dengan adanya etnosentrisme, kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok lain akan saling dukung satu sama lain. Salah satu contoh dari fenomena ini adalah ketika terjadi pengusiran terhadap etnis Madura di Kalimantan, banyak etnis Madura di lain tempat mengecam pengusiran itu dan membantu para pengungsi. Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Indikator terbaik menentukan tipe etnosentrisme seseorang dapat ditemukan pada respon orang tersebut dalam menginterpretasi perilaku orang lain. Misalnya Pita, seorang etnis Minang makan sambil jalan di gang rumah kita di Jogja, jika kita semata-mata memandang dari perspektif sendiri dan mengatakan dia memang buruk, dia tidak sopan, atau itulah mengapa dia tidak disukai berarti kita memiliki etnosentrisme yang kaku. Tapi jika mengatakan itulah cara yang dia pelajari untuk melakukannya, berarti mungkin kita memiliki etnosentrisme yang fleksibel. Lawan dari etnosentrisme adalah etnorelativisme, yaitu kepercayaan bahwa semua kelompok, semua budaya dan subkultur pada hakekatnya sama (Daft, 1999). Dalam etnorelativisme setiap etnik dinilai memiliki kedudukan yang sama penting dan sama berharganya. Dalam bahasa filsafat, orang yang mampu mencapai pengertian demikian adalah orang yang telah mencapai tahapan sebagai manusia sejati; manusia humanis. Sikap etnosentrik dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya tipe kepribadian, derajat identifikasi etnik, dan ketergantungan. Semakin tinggi derajat identifikasi etnik umumnya semakin tinggi pula derajat etnosentrisme yang dimiliki, meski tidak selalu demikian. Helmi
10

(1991) misalnya menemukan bahwa generasi muda etnik Cina memiliki sikap etnosentrik lebih rendah daripada yang tua. Temuan ini membuktikan bahwa semakin terikat seseorang terhadap etniknya maka semakin tinggi pula etnosentrisme yang dimiliki, sebab generasi tua etnik Cina umumnya memang masih cukup kuat terikat dengan negeri leluhurnya dibandingkan generasi mudanya yang telah melebur dengan masyarakat mayoritas lainnya. Ketergantungan merupakan faktor penting yang menentukan etnosentrisme. Wanita yang notabene lebih tergantung terhadap keluarga dan kelompok memiliki sikap etnosentrik yang lebih tinggi. Sebuah penelitian mengenai etnosentrisme pada etnis Cina membuktikan bahwa wanita etnis Cina memiliki sikap etnosentrik lebih tinggi daripada laki-laki etnis Cina (Helmi, 1991). Hal ini nampaknya juga berlaku untuk etnik-etnik lainnya, karena praktis saat ini wanita masih lebih tergantung daripada laki-laki. Meskipun tentu saja sejalan dengan berkembangnya kesadaran gender dimana saat ini wanita menjadi semakin tidak tergantung lagi pada laki-laki dan kelompok, wanita akan menjadi tidak lebih etnosentrik daripada lakilaki. Mungkin kita menduga bahwa keterikatan yang kuat dengan budaya etniknya akan menyebabkan rendahnya rasa kebangsaan. Sebuah penelitian yang dilakukan Panggabean (1996) membantah hal tersebut. Ia menemukan bahwa meningkatnya keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan diikuti dengan sikap kebangsaan yang positif. Sebaliknya, menurunnya keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan diikuti dengan sikap kebangsaan yang negatif. Jadi tidak berarti seseorang yang sangat terikat dengan budaya etniknya lantas melunturkan keindonesiaannya. Seseorang yang sangat etnosentrik belum tentu kurang Indonesianis ketimbang mereka yang kurang etnosentrik. Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan identitasnya. Mengingat pentingnya memiliki etnosentrisme yang fleksibel dalam masyarakat multikultur seperti Indonesia maka diperlukan upaya-upaya untuk memperkuatnya. Tiga cara yang bisa kita lakukan untuk memperkuat etnosentrisme fleksibel menurut Matsumoto (1996), adalah: Mengetahui bagaimana cara kita memahami realitas sebagaimana yang biasa kita lakukan dalam cara tertentu. Misalnya saja kita mengerti bagaimana kita melakukan penilaian tentang ketidaksopanan. Sebab apa yang sopan menurut budaya kita mungkin saja bukan merupakan kesopanan dalam budaya yang lain. Mengakui dan menghargai kenyataan bahwa orang-orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda memiliki perbedaan cara dalam memahami realitas, dan
11

bahwa versi mereka tentang sebuah realitas adalah sah dan benar bagi mereka sebagaimana versi kita sah dan benar untuk kita. Sebuah joke yang cukup populer untuk menggambarkan adanya perbedaan cara pandang terhadap realitas adalah joke tentang seorang etnis Minang, etnis Madura, dan etnis Jawa. Ketiga orang berbeda etnis itu mengikuti lomba lari maraton. Tebak siapa pemenangnya? Jawabnya adalah orang Jawa. Alasannya disetiap persimpangan, orang jawa memikirkan angkernya tempat itu sehingga bergegas. Sementara itu orang Madura akan berhenti melihat-lihat peluang cocok tidak tempat itu untuk jualan sate. Dan orang Minang akan berhenti di setiap persimpangan jalan untuk melihat apakah tempat itu cocok atau tidak untuk membuka rumah makan. Mengetahui mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel. Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya. Apa yang dikemukakan Matsumoto diatas, jelas merupakan upaya-upaya pribadi yang bisa dilakukan agar seseorang bisa memiliki etnosentrisme yang fleksibel. Dalam tataran komunitas atau masyarakat, pendidikan multikultural merupakan jalan yang bisa dilakukan dalam mengembangkan etnosentrisme fleksibel. Pendidikan multikultural berarti pendidikan akan nilai-nilai keberagaman yang mengajarkan bagaimana toleran terhadap perbedaan. Adapun pendidikan itu bisa melalui pendidikan formal ataupun nonformal, seperti melalui keluarga, perkumpulan-perkumpulan, maupun media massa. Sumber : http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnosentrisme.html

Prasangka, Diskriminasi, dan Etnosentrisme di Indonesia.

12

Contoh kerusuhan Mei 1998.

Sikap Etnosentrisme dalam tingkah laku nampak canggung.

Sumber : http://www.google.co.id/search?q=contoh+etnosentrisme&oe=utf8&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&um=1&ie=UTF8&hl=id&tbm=isch&source=og&sa=N&tab=wi&ei=bYbAT6SdO4OzrAfuwPHcCQ&biw=1247& bih=622&sei=cYbAT6i7A8HhrAfr7YHMCQ

13

You might also like