You are on page 1of 8

Gereja di Asia

Gereja di Asia
(Tinjauan Eklesiologis atas Inkulturasi)
Oleh: Ditia Prabowo (07.09042.000022) Pendahuluan Gereja, sebagai perkumpulan umat beriman yang percaya kepada Yesus dalam persekutuanNya dengan Allah Bapa dan Roh Kudus, ada dalam dunia dan menjalankan misinya untuk menghadirkan Kerajaan Allah (Bdk. LG, art.5). Dalam pertemuannya dan relasinya dengan dunia, Gereja berusaha untuk tetap menghadirkan wajah Kristus di tengah tantangan dunia yang mengelilinginya. Menghadapi hal tersebut, Gereja tetap berusaha menyampaikan penghargaan terdalam kepada tradisi-tradisi lain, dan berusaha menjalin dialog yang tulus dengan para penganutnya. Nilai-nilai religius yang diajarkan oleh tradisi-tradisi tersebut bukannya menghilangkan nilai Injil, melainkan melalui ajaran-ajaran tersebut menambahkan pemenuhan mereka dalam Yesus Kristus. Dengan hadirnya Gereja di tengah dunia, maka ia pun mengemban misi untuk menyebarkan kabar gembira ke seluruh dunia, seperti yang telah diperintahkan oleh Yesus sendiri: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk (Mat 16:15). Pewartaan Kabar Gembira tersebut dapat dirasakan hingga saat ini oleh seluruh umat manusia di penjuru belahan dunia, salah satunya adalah di Asia. Benua Asia merupakan benua yang terluas di muka bumi ini. Benua ini dihuni oleh hampir duapertiga penduduk dunia. Dengan keadaan seperti itu, tak dapat dipungkiri bahwa benua ini memiliki keragaman bangsa dengan budaya-budaya yang telah diwariskan dari jaman ke jaman. Kita perlu mengingat bahwa Asia merupakan kawasan kelahiran agama-agama besar dunia, yaitu Yudaisme, aama Kristiani, Islam dan Hinduisme. Di benua ini pula lahir pula berbagai tradisi rohani lainnya, misalnya: Budhaisme,Taoisme, Konfusianisme, Zoroatrianisme, Shintoisme, dan

masih banyak lagi. Di dalamnya, iman masyarakat berbaur pula dengan agama-agama tradisional, suku-suku, pada berbagai tingkatan ajaran religius ritual dan formal yang terstruktur. Dengan kenyataan seperti itu tantangan Gereja semakin berat dan rumit. Gereja harus menghadapi cakrawala budaya yang begitu beraneka ragam dan berubah dengan cepat. Masyarakat dunia, khusunya di Asia, pada umunya sedang mengalami persoalan kultural yang tak pernah terjadi sebelumnya. Di sini Tugas Gereja adalah berusaha untuk menterjemahkan dan mengartikulasikan pesan Kristiani dalam bahsa orang-orang yang sejaman. Dalam proses tersebut, perlu pula dilihat bahwa pewartaan Kristiani ini ditujukan kepada manusia dan bukan kepada para malaikat.[1] Dengan kata lain, pewartaan ini harus mencakup manusia sutuhnya, jiwa dan badan, bukan hanya jiwanya saja. Sehubungan dengan itu, Gereja harus menjadi locus theologicus, artinya bahwa Gereja harus tetap menjadi sumber di mana para jemaat dapat menghayati imannya dan tempat di man umat dapat menimba iman Gereja itu sendiri yang benar dan sejati. Dalam pewartaannya di dunia, ia harus tetap menjadi sebuah tanda dan sarana keselamatan. Gereja di Asia adalah salah satu locus theologicus. Di dalamya kita dapat menggali nilainilai Kristiani awali yang berguna bagi perkembangan iman jemaat. Perbedaan budaya, suku bangsa, dan ajaran-ajaran yang ada bukanlah menjadi halangan untuk mendatangkan Kerajaan Allah di dunia ini. Sebaliknya, melalui keberagaman tersebut diharapkan dapat memperdalam iman kita akan Yesus Kristus. Dengan kata lain, inkulturasi perlu dikembangkan sejauh hal itu membantu jemaat dalam hidup menggereja dan hidup beriman. Tulisan ini hendak mengetengahkan gambaran umum Gereja di Asia, terlebih dilihat dalam konteks inkulturasinya. Gambaran ini bukan semata interpretasi penulis sendiri, melainkan dalam terang Dokumen Konsili Vatikan II. Di awal akan dipaparkan tentang terjadinya Gereja Asia sebagai karya Roh Kudus. Selanjutnya, ditampilkan gambaran Gereja di Asia terkait dengan konteks, serta gambaran inkulturasi yang ada di dalamnya. Di akhir tulisan ini akan ditampilkan refleksi serta relevansi praktis bagi hidup beriman dewasa ini. Gereja di Asia: Karya Roh Kudus[2] Pada jaman sekarang, terdapat kekeliruan dalam memandang Gereja, terlebih mengenai asalusulnya. Kebanyakan orang atau jemaat non-Kristiani menganggap bahwa Gereja itu merupakan

bentukan dari budaya Barat, khususnya budaya Eropa. Inilah kenyataan yang terjadi. Yesus Sang Pendiri Gereja itu sering dianggap seolah-olah asing bagi Asia. Terjadi sebuah paradoks, bahwa jemaat Kristiani di Asia sendiri cenderung menganggap Yesus, yang sebenarnya lahir di daerah Asia (Yudea), bukan lahir di Asia. Kebanyakan umat lebih meihatNya sebagai tokoh Barat. Hal ini tak dapat dilepaskan dari peran para misionaris Barat yang membawa serta budayanya masuk ke dalam daerah yang didatanginya. Seperti telah disampaikan di awal, Asia adalah awal dari munculnya budaya serta agama-agama besar di dunia, termasuk di antaranya adalah agama Kristiani. Dalam hal ini di dalamnya Gereja tumbuh dan berkembang dari jaman ke jaman. Munculnya Gereja ini tak dapat dilepaskan dari sebuah Karya Ilahi, yang diberikan melalui Roh Kudus sendiri. Di Asialah Yesus lahir dan Ia membangun GerejaNya melalui Para Rasul. Di Asia itu pulalah Yesus menghembuskan Roh Kudus atas murid-muridnya, dan mengutus mereka untuk mewartakan Kabar Genbira ke seluruh penjuru dunia. Peran Roh Kudus dalam keberadaan Gereja di Asia sangatlah vital. Roh Kudus ialah roh Allah sendiri yang memberi hidup. Karya penyelamatan oleh Yesus terjadi dalam jalinan misteri Tritunggal. Roh Kudus menjadi daya penggerak hidup. Hal ini nampak dalam karya penciptaan. Roh Kudus hadir sejak saat pertama penciptaan, dan kekuatannya tersembunyi dalam sejarah penyelamatan selanjutnya. Roh Kudus yang di masa lalu bergerak menjelajahi Asia pada jaman para bangsa dan para nabi, hingga jaman Yesus serta para muridNya, kini kembali bergerak di tengah umat Kristiani modern di antara bangsa-bangsa, kebudayaan, dan agama di benua itu.[3] Di dalamnya terdapat dialog cinta kasih yang terjadi antara Allah dan manusia disiapkan oleh Roh dan dilaksanakan di tanah Asia dalam misteri Kristus. Demikian pula dialog yang terjadi antara Sang Penyelamat dan Bangsa-bangsa di Asia masih berlangsung berkat Roh Kudus itu juga. Roh menghimpun menjadi kesatuan segala macam orang, beserta adat-kebiasan, sumber-sumber daya alam dan bakat kemampuan mereka yang berlainan, seraya menjadikan Gereja tanda persekutuan seluruh umat manusia di bawah Kristus sebagai kepala.[4]

Gereja sunguh menyadari bahwa ia dapat menunaikan misinya dalam kepatuhan terhadap bisikan Roh Kudus.[5] Gereja memohon Roh Kudus supaya melanjutkankarya untuk menyiapkan bangsabangsa Asia bagi dialog penyelamatan dengan Sang Penyelamat manusia. Gereja dituntun oleh Roh Kudus dalam misi pelayanan dan cintakasihnya, untuk menunjukkan perjumpaan nyata antara Kristus dengan bangsa Asia. Selain itu Gereja juga wajib menjalankan penegasan rohani, dalam segala situasi yang beraneka ragam. Penegasan ini perlu diimbangi dengan mendengar seruan Roh yang memberi kesaksian akan Yesus sang Penyelamat melalui cara baru yang efektif. Roh Kudus tidak bersaksi sendirian. Ia bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. Sebagai anak Allah, maka kita berhak menerima janjiNya dalam diri Kristus. Dengan tiada henti Gereja berseru: DatanglahYa Ya Roh Kudus! Penuhilah hati umatMu, dan nyalakanlah di dalamnya api cinta kasihMu. Gereja di Asia berbagi semangatNya, supaya api Kristus yang menyala itu tetap dikobarkan di antara para Bangsa. Gereja di Asia: Konteks dan Inkulturasinya Dewasa ini, inkulturasi menjadi bahan perbincangan yang cukup serius dalam kehidupan iman Kristen. Berbicara tentang inkulturasi, berarti terkait dengan interaksi antara masalah iman dan budaya. Inkulturasi ini dipopulerkan oleh para misionaris yang bermisi ke daerah-daerah baru guna menyebarkan ajaran-ajaran iman Kristen. Ada dua bentuk disposisi misi yang menjadi perhatian dalam berinkulturasi. Di satu pihak, iman harus diwartakan ke seluruh dunia, dan di sisi lain budaya setempat juga harus tetap dilestarikan. Dengan kata lain proses inkulturasi ini tidak sekedar usaha menyebarkan iman, tetapi bagaimana iman itu dapat diterima tanpa menghilangkan budaya setempat. Berbagai pendapat mencoba mengartikulasikan hal ini agar menjadi jelas apa yang sebenarnya menjadi tujuan inkulturasi itu sendiri, dan metode apa yang relevan guna mencapai tujuan tersebut. Salah satu contoh tokoh yang mencoba mendekati persoalan ini adalah Michael Amalados (, seorang imam Yesuit. Mereka berdua mencoba menunjukkan metode-metode dalam berinkulturasi sesuai dengan konteks yang dihadapi. Pendekatan yang dilakukan oleh Amalados ini bertitik tolak pada konteks Gereja Asia, secara khusus Gereja di India.

Dalam metode pendekatannya terhadap inkulturasi, Amalados mendasarkannya pada Sabda Tuhan sendiri (Bdk. DV,art. 10). Meskipun kelihatannya terdapat dua titik pendasaran, isi serta metode berinkulturasinya tetap sama. Keduanya sama-sama menegaskan bahwa dalam berinkulturasi, budaya lokal harus diangkat. Hal ini menimbulkan kesadaran bahwa kristianisme bukan menjadi milik budaya tertentu, dengan demikian tidak boleh menjadi monopoli dan dominasi satu kelompok. Dari sini pula dapat diyakini bahwa Allah mengajak semua manusia untuk melaksanakan kehendak-Nya. Dalam konteks Asia, kita dapat melihat adanya dua elemen utama yang diwartakan dalam terang Injil. Dua elemen itu adalah kemiskinan dan religiositas.[6] Jika Injil tidak diwartakan sebagai suatu kabar gembiran tentang pembebasan dari kemiskinan dan penindasan, sebagaimana suatu bentuk pemenuhan spiritual pribadi, Injil tidak akan diperhatikan dan tak memiliki daya lagi. Kerajaan yang diwartakan dan dijanjikan dalam Injil merupakan suatu persahabatan dari kelompok manusia yang memiliki persamaan hak, tentang kasih dan pelayanan, tentang keadilan dan mengungkapkan pendapat. Tujuan ini bisa tercapai tidak hanya melalui suatu perubahan strukturstruktur yang ada. Dalam prosesnya, Gereja perlu melalui suatu perubahan, dalam diri individuindividu dan kelompok, yang memimpin mereka untuk bertumbuh dan membebaskan diri dari belenggu penderitaan. Gereja di Asia: Kolaborasi Spiritualitas Jika Gereja dapat menemukan suatu persamaan dalam berbagai macam pergerakan duniawi dalam pencariannya tentang keadilan, ia akan menemukan bantuan dan kerja sama atau kolaborasi dalam berbagai macam tradisis spiritual Asia. Contoh dari spiritualitas itu adalah metode-metode doa, dan teknik-teknik psokologis (seperti Yoga, Zen), simbol-simbol serta upacara-upacara agama mereka yang memberikan tekanan untuk mempopulerkan religiositas, dalam pencariannya tentang realisasi diri. Satu bidang yang perlu diperhatikan dan diarahkan di Asia adalah pengembangan suatu spiritualitas yang relevan bagi bangsa-bangsa di benua itu. Orang modern kebanyakan cenderung mengikuti berbagai tradisi-tradisi spiritualitas yang berasal dari Barat. Namun, mereka juga mengadakan percobaan dengan sumber dan metode-metode spiritual Asia. Hal ini membuat esensi

iman umat terabaikan. Mereka mengikuti suatu pencampuran antara suatu ibadat sakramental yang minim dengan devosi-devosi yang populer dan dengan berbagai praktek-praktek pribumi yang diterima dari warisan lampau mereka yang tidak mengarahkan mereka ke arah hidup Kristiani yang lebih dalam. Kedangkalan ini adalah salah satu rintangan-rintangan pokok menuju inkulturasi. Orang-orang terikat dengan segala keadaan luar, sekaligus merasa terancam oleh setiap perubahan dunia yang ada. Salah satu bentuk penghayatan spiritualitas Kristiani nampak dalam Ibadat.[7] Ibadat merupakan suatu perayaan yang dihadiri oleh sekumpulan orang beriman sebagai saat yang paling penting dalam hidup dan perkembangan setiap individu dan kelompok secara keseluruhan. Inilah ciri dari Gereja. Ini adalah ungkapan iman dan hidup mereka, dalam bentuk simbolis yang memiliki arti sebagai sarana yang ingin menghadirkan kembali misteri yang mengawali dasar kehidupan mereka. Dalam konteks ini diperlukan dua bentuk pendekatan.[8] Pertama, kita harus melihat serta membedakan unsur pembedaan dan persamaan dari bentuk perayaan sakramental dalam Gereja, dan kita harus membuat bentuk perayaan baru yang difokuskan pada bentuk yang seragam. Kedua, kita harus memberikan pemaknaan baru bagi kehidupan orang kristiani yang memiliki perayaan nasional dan musiman, serta berbagai bentuk perayaan lain dalam masyarakat. Selain itu kita juga harus terbuka terhadap perkembangan bentuk-bentuk ibadat yang baru oleh Konsili Vatikan II. Relevansi Berinkulturasi berarti membangun sebuah Gereja lokal yang hidup, yang otentik.Yang menjadi masalah dengan kebanyakan Gereja Asia adalah bahwa mereka merupakan Gereja-Gereja lokal yang masih butuh diinkulturasikan. Inkulturasi kemudian menjadi semakin sukar dan menemui rintangan-rintangan psikologis dan sosiologis yang sungguh-sungguh tidak berhubungan dengan Injil atau Gereja. Salah satu hal penting yang dapat kita gali lebih dalam untuk inkulturasi ini adalah melalui liturgi. Liturgi merupakan sumber dan puncak segala perikehidupan dan misi Kristiani. Di dalamnya sangat menentukan bagi pewartaan Injil, khususnya di Asia. Dalam hal ini inkulturasi

Liturgi tetap diminta untuk lebih memusatkan perhatian pada nilai-nilai iman dalam lambing serta upacara budaya tradisional. Tugas paling penting untuk Gereja di Asia sekarang adalah menciptakan suatu suasana dimana Gereja-Gereja lokal dapat berbela rasa dan menjadi bebas dan bertanggung jawab atas kehidupan mereka dalam semua aspeknya. Setelah berabad-abad dengan keseragaman yang kaku, hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Tetapi tanpa suasana demikian, Gereja-Gereja lokal tidak akan bertumbuh. Mengakui keberadaan budaya lokal yang mempunyai kekuatan untuk merevisi ajaran dan arah Gereja. Dalam hal ini perlu diingat bahwa Roh Kuduslah yang membimbing kita pada seluruh kebenaran, yang memungkinkan dialog yang subur dengan nilai-nilai budaya yang religius pada berbagai bangsa. Pertemuan antara iman dan budaya lain yang ada dalam suatu daerah memang dapat menimbulkan resiko besar, hingga pertumpahan darah. Namun bila inkulturasi tidak berani mengambil resiko, inkulturasi akan stagnan, mandeg, dan bila berhenti maka inkulturasi tidak relevan lagi. Sama halnya ketika penulis menilik kembali inkulturasi yang terjadi di tanah Jawa ini, belum banyak proses inkulturasi yang berhasil, dan akan selalu menuai kritikan. Malahan proses inkulturasi yang ada menjadikan penduduk pribumi menjadi Londo Ireng. Memang bila dilihat, pandangan akan inkulturasi ini lebih mengarah pada sebuah teologi pembebasan, jadi harus menyentuh pada dasar budaya tersebut guna memunculkan kebenaran iman. Kelemahan dari sistem ini adalah akan memunculkan ekstrimis spiritualis pada suatu budaya, sehingga mengklaim diri sebagai yang paling benar dan semua ajaran harus berakar dari situ. Namun yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa inkulturasi bukanlah tujuan dari evangelisasi, melainkan inkulturasi itu merupakan evangelisasi tersebut. Maka bagaimana sekarang Inijl tersebut, yang merupakan kabar gembira, dapat diterima oleh seluruh umat manusia, dan bagaimana pula kebaikan Injil tersebut dapat diterjemahkan di tengah-tengah pluralitas budaya, suku dan bangsa di dunia ini. Inilah misi dari inkulturasi yang sebenarnya. Daftar Pustaka

Amalados, Michael, Making All Things New: Dialogue, Pluralism, and Evangelization in Asia ,Maryknoll, New York: Orbis Books, 1990.

DOKUMEN KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium. 1965. PAUS YOHANES PAULUS II, ANJURAN APOSTOLIK PASCA SINODAL, Gereja di Asia.1999. Suryanto, Diktat Eklesiologi I, Malang: STFT Widya Sasana, 2009.

[1] [2]

Suryanto, Diktat Eklesiologi I, Malang: STFT Widya Sasana, 2009,hlm. 6.

Bdk. Paus Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Pasca Sinodal, Churh In Asia (New Delhi, 1999),18
[3] [4]

Ibid. Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium tentang Gereja, 13.

[5] Bdk. Churh in Asia, 13

Michael Amalados, Making All Things New: Dialogue, Pluralism, and Evangelization in Asia, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1990.
[6] [7]

Ibid.

[8] Ibid.

http://emanuelditiacm.blogspot.com/2010/12/gereja-di-asia.html (23-5)

You might also like