You are on page 1of 20

Makalah Agama

Pandangan Iman Kristen Terhadap Politik dan Hukum

Kelompok 5 (Sastra China 2009) Anggota : Junita Purba, Indri Leonardi, Felycia Purba, Elvy, Stephanie Yulia S, Nyerli S. Gultom, Jun P. Harefa, Anne Irene Lase, Novia

I.

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL I. DAFTAR ISI

II. KATA PENGANTAR III. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP POLITIK DAN HUKUM A. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP POLITIK 1. Pengertian Politik 2. Keterlibatan Lembaga-lembaga Masyarakat dalam Politik 3. Konsep Alkitab terhadap Politik 3.1. Politik Kesejahteraan 3.2. Realitas dan Pemaknaan Teokrasi 3.2.1. Regnum Sacerdotale, Sacerdotal Kingdom 3.2.2. Ketegangan Pengangkatan Melekh (Raja) 3.3. Berasal dari Allah 4. Teologi Politik Kristen di Indonesia 5. Tanggung Jawab Sosial Politik Umat Kristen 6. Implikasi-implikasinya 7. Sikap terhadap Pemerintah yang Salah Menggunakan Otoritas 8. Etika Politik B. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP HUKUM 1. Pengertian Hukum 2. Unsur-unsur Hukum 3. Sejarah Pemikiran Deklarasi Universal HAM 4. HAM dalam Perspektif Kristiani 4.1. Sumber HAM 4.2. Keadilan Allah sebagai Dasar Implementasi HAM 4.3. Kebebasan Beragama Menurut Alkitab IV. KESIMPULAN V. KATA PENUTUP VI. DAFTAR PUSTAKA

II. KATA PENGANTAR Di zaman modern ini, kata politik dan hukum bukan lagi kata yang jarang didengar oleh masyarakat. Apalagi di masa reformasi yang semakin menunjukkan banyak terjadi penyimpangan dalam bidang politik dan hukum. Jadi tidaklah mengherankan apabila banyak hal yang terjadi di dunia ini dihubungkan dengan politik dan hukum. Ada begitu banyak respon dan tanggapan dari berbagai kalangan yang berbeda, termasuk menurut agama Kristen. Cukup banyak orang Kristen, termasuk mahasiswa Kristen, yang takut atau antipati terhadap politik. Hal ini terjadi akibat imej negatif dari politik yang dianggap tempat iblis atau setan bermain. Adanya konsep pemikiran seperti ini timbul karena mereka tidak memahami esensi dan makna politik dengan benar. Sebab mau tidak mau masyarakat, khususnya umat Kristen, pasti dihadapkan dengan masalah politik dan hukum. Semakin banyak peran dan pengaruh gereja dalam politik dan hukum diharapkan semakin menunjukkan citra Kristus yang ada dalam setiap jemaat-Nya. Karena kita diciptakan untuk menjadi kepala dan bukan ekor, serta manusia telah diberikan kuasa untuk menaklukan dunia, meruntuhkan tembok yang berabad-abad telah memisahkan kekristenan dengan dunia luar sehingga bisa membawa pembaharuan di negeri yang dipilih Tuhan untuk kita berdiam. Dalam makalah ini kami menguraikan tentang politik, hukum, pandangan Alkitab dan iman Kristen terhadap hal tersebut, aplikasinya, dan segala yang berhubungan dengan politik dan hukum menurut iman Kristen. Kami mengharapkan ada suatu pelajaran yang bisa dipetik dari makalah ini dan setiap dari kita bisa mengaplikasikannya dalam hidup sehari-hari. Kami mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian makalah ini. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini ada begitu banyak kekurangan sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menjadikannya lebih baik lagi.

Tim Penyusun

Kelompok 5

III. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP POLITIK DAN HUKUM A. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP POLITIK 1. Pengertian Politik Dilihat dari sisi etimologisnya, kata politik berasal dari kata Yunani, yaitu Polis yang diartikan sebagai kota (city). Dalam perkembangan berikutnya, kota-kota memperluas diri atau menyatukan diri dan kemudian disebut negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa tentang pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembagalembaga dan tujuannya (William Ebenstein; Political Science, 1972. p.309). Dalam bentuk yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-kebijakan publik (Joice &William Mitchel; Political Analysis and Public Policy, 1969. p. 4). Banyak pendapat masyarakat mengenai definisi politik. Di antaranya yaitu menyatakan politik adalah proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat bagi masyarakat/proses alokasi dan distribusi inti proses politik adalah : Keputusan yang mengikat masyarakat, melibatkan sejumlah ketentuan-ketentuan politik (partai politik, kelompok, kepentingan, dan sebagainya) untuk kepentingan dan kebaikan bersama. 2. Keterlibatan Lembaga-lembaga Masyarakat dalam Politik Lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok kepentingan, (termasuk lembaga keagamaan) merupakan kekuatan tersendiri untuk mempengaruhi kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yang ada itu dapat mendengar dan menyalurkan pelbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di tengah-tengah sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau mengeluarkan kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut. Keterlibatan politik secara kritis (critical engagement) dari lembaga-lembaga atau kelompokkelompok kepentingan dalam masyarakat akan menjadi sarana dan alat yang sangat efektif untuk mengontrol segala tingkah pongah penguasa dan dengan itu batas-batas etis kekuasaan yang layak tetap terjaga. Upaya-upaya melakukan kritik, menekan pemerintah dan melakukan kontrol, jika dilakukan secara berkesinambungan dan terhormat, tentu saja akan membiasakan suatu bangsa atau negara hidup dalam keseimbangan yang terukur. Juga, pemerintah akan dididik untuk tunduk pada yang seharusnya. Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir kebiasaan-kebiasaan positif yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politik yang terbuka serta mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Namun, satu hal yang harus disadari adalah bahwa semua itu tidak akan berjalan dan tercapai dengan sendirinya. Sangat diperlukan proses yang terus-menerus untuk membuka kesadaran bersama dalam pengelolaan politik. Salah satu poin yang terpenting dalam hal itu adalah persoalan perspektif pilihan sadar dan sengaja dari tiap insan politik alias manusia itu sendiri yang sejatinya merupakan mahluk politik. 3. Konsep Alkitab terhadap Politik Menurut Alkitab, politik adalah suatu upaya dan proses sadar untuk memahami dan memaknai realitas politik dari cara pandang dan pola pikir Alkitab. Pertanyaan kuncinya jelas: apa kata Alkitab terhadap politik? Bagaimana konsepsi dan sistem politik yang sesungguhnya dikandung Alkitab? Bagaimana penerjemahannya secara tepat ke dalam

realitas? Atau lebih pas: bagaimana konsep atau doktrin politik itu mengalami pemanusiaan dan penduniaan?. Berangkat dari pertanyaan itulah penjelajahan menyangkut konsepsi politik Alkitab dilakukan. 3.1. Politik Kesejahteraan Perkatan politik (city) muncul dengan tegas dalam Yeremia(29:7): And seek the peace of the city and pray to the Lord for it (city:red); for in its (city:red.) peace you will have peace. (Holy Bibel: Gideon International, 1980). Mencari atau mengupayakan kesejahteraan kota (politik), jelas merupakan amanat Alkitab pada umat Tuhan. Dengan demikian, penataan politik tidak bisa dilepaskan dari urusan Tuhan di segala tempat, ruang dan waktu. Amanat atau perintah Alkitab untuk berpolitik bagi umat di dalam kitab Yeremia itu, tidak serta merta diikuti dengan suatu bentuk atau sistem, apalagi yang menyangkut prosedur dan mekanisme penataan politik yang detail. Pertanyaan penting muncul: Apakah Alkitab memberi konsep kosong atau memberi keleluasaan kepada umat terutama para pemimpinnya? Tampaknya, jawaban yang imaniah adalah: keleluasaan. Alkitab tidak memberikan suatu paku mati, konsep baku dan menyeluruh menyangkut upaya perealisasian dari politik itu. Formula politik itu tidak menjadi urusan Alkitab, tetapi menjadi suatu keharusan yang dirumuskan umat Tuhan. Alkitab hanya memberikan suatu konsepsi yang sangat fundamental: to seek peace (mengupayakan kesejahteraan politik). Kepada umat Tuhan, Alkitab memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk merumuskan suatu formula politik, baik itu menyangkut dasar dan sistem politik, bentuk, prosedur dan mekanisme pemerintahan. Alkitab hanya memberi satu tekanan dan kepastian: kesejahteraan. 3.2. Realitas dan Pemaknaan Teokrasi 3.2.1. Regnum Sacerdotale, Sacerdotal Kingdom Merujuk kepada naskah yang lebih muda di Alkitab, kisah penciptaan memberikan suatu konsepsi menyangkut citra dan peran manusia di dalam proses dan realitas politik. Pencitraan manusia sebagai imago dei (Kej. 1:28) merupakan konsepsi politik Alkitab untuk menjelaskan hubungannya dengan semesta alam. Demikian juga pemberian kuasa dan mandat bagi manusia untuk menata dan mengelola alam, sangat jelas sifat politisnya. Suatu bentuk dan ciri politik dinyatakan kepada Musa. Engkau akan menjadi kerajaan imamat dan bangsa yang kudus (Kel 19:6). Di sini jelas ada suatu progres dari pengelolaan politik yang disampaikan kepada bangsa Israel. Pernyataan Tuhan kepada Musa mengenai penataan politik itu tidak dapat dilepaskan dari proses awal eksodus yang dialami bangsa Israel. Mereka hidup dalam situasi tohu wavohu , (campur baur dan kosong) dalam arti politik. Status budak yang melepaskan diri melalui perlawanan, digiring menuju tanah perjanjian yang bagi sebagian besar kaum awamnya tidak jelas kapan tibanya. Paling tidak kita dapat menangkap tiga hal dari teks kerajaan imamat itu, yakni: a) bentuk politik itu adalah kerajaan; b) ciri dari kerajaan itu adalah imamat dan memiliki ciri dan jati diri tersendiri. Artinya kerajaan yang harus berbeda (kudus) dari segala kerajaan atau bentuk politik yang lain di dunia ini; c) istilah kerajaan

imamat dari perspektif politik pasti membawa kita pada pemikiran bahwa penguasa politik atau pemimpin pemerintahan adalah para orang kudus yang disebut Imam. Sumber kader kepemimpinan atau penguasa politik sudah jelas: para imam. Inilah yang disebut regnum sacerdotale atau sacerdotal Kingdom. Undang-Undang Dasar dalam bentuknya yang sangat embrional diberikan kepada bangsa yang secara politik belum memiliki wilayah itu. Dasar titah dapat dilihat pada dua bagian, Kel. 20:1-17 dan Ul. 5:6-21. Untuk yang lebih praktis dalam pengaturan kebutuhan keseharian pada masa itu (semacam penjabaran dari UUD) diberikan hukum ringkas berupa ritual decalog dan ethical decalog (Kel. 34:12-16). Termasuk kewajiban memperingati hari bersejarah secara ritual (34:18). Realitas politik yang berangkat dan mengacu dari penelusuran Alkitab di atas, sangat dipahami, bahkan diyakini sebagai teokrasi (pemerintahan Tuhan). Kenyataan yang demikian dapat menggiring kita kepada kesimpulan bahwa kelihatannya Alkitab tidak memberi penjelasan mengenai suatu bentuk pemerintahan. Rumusan atau penjelasan yang tiba kepada kita adalah: Tuhan menjadi penguasa tunggal dan manusia berada dalam naungan kedaulatanNya. 3.2.2. Ketegangan Pengangkatan Melekh (Raja) Israel sebagai komunitas pilihan Tuhan, pada tahap yang sangat awal kelihatannya baru mulai belajar untuk membentuk diri menjadi identitas politik. Tatanan sosialnya sebagai suatu bangsa, belum memiliki kesanggupan untuk menjadi perangkat politik. Suku-suku yang ada, hanya diikat dan terikat pada satu keyakinan terhadap Yahwe yang membebaskan mereka dari penindasan Mesir. Dari tinjauan politik, keterikatan tersebut jelas sangat longgar. Namun, berangkat dari fondasi satu-satunya itu, yakni keyakinan pada Yahwe tersebut, suku-suku Israel terbentuk atau membentuk diri menjadi aliansi politik. Liga suku-suku itulah yang kemudian menjadi konfederasi Israel. Keterikatan politik yang didasari keyakinan agamiah itu yang menjadikan para Imam sebagai pemimpinnya, disadari atau tidak menjadi satu perangkat politik dalam tatanan sosial keagamaan Israel. Gerakan bagi adanya seorang raja manusia (melekh) mulai muncul. Gerakan ini, tanpa disadari merupakan suatu perlawanan terhadap tradisi pewarisan turuntemurun berdasarkan garis darah dalam kepemimpinan selama ini, terutama untuk imam (dari garis suku Lewi). Dua anak Samuel, Yoel dan Abia, yang diangkat Samuel menjadi hakim di Bersyeba, digugat para tetua Israel (1 Sam: 8:4). Kualitas moral kedua anak Samuel menjadi dasar dari gugatan para tetua itu: mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan (1.Sam 8:3). Kelompok Imam dan kaum konservatif dengan keras menolak aspirasi gerakan melekh tersebut. Hal itu sangat jelas tercermin dalam pernyataan Samuel dengan mengangkat dasar legitimasi tertinggi konfederasi Israel sendiri, yakni: Yahwe.sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah (Yahwe: red) yang mereka tolak, supaya jangan Aku (Yahwe: red) menjadi raja atas mereka. (1 Sam. 8:7 b). Dengan kemenangan gerakan melekh, konsekuensi politisnya adalah dekonstruksi doktrinal atau amandemen UUD. Itu berarti, pemaknaan dan perumusan menyangkut kerajaan Allah atau teokrasi mengalami perubahan.

Dasar hukum dari pengadaan dan pengangkatan melekh harus ditetapkan. Persoalan mengenai ketertautan Yahwe dengan Israel atas adanya seorang raja, mau tidak harus dirumuskan. Saul dari keluarga Matri, kaum Kish dari suku yang terkecil keturunan Benyamin dipilih Tuhan menjadi raja di hadapan suku-suku Israel. Dengan merujuk pada proses keterpilihan dan pengangkatan Saul sebagai raja dan sekaligus pelaksanaan kekuasaannya sebagai raja (1 Sam. 9-15), penggantinya raja Daud (16-24), dan pengangkatan Salomo (1. Raja. 1), ada berapa hal yang berkaitan dengan pemaknaan teokrasi: Pertama, pada proses Saul, kedaulatan Yahwe (teokrasi) atas Israel tetap dipertahankan dan diakui. Yahwe sendiri yang memilih, menentukan dan mengurapi Saul (1. Sam. 9 dan 10). Pencabutan mandat atas Saul juga dilakukan Yahwe (15) dan sekaligus pilihan atas penggantinya, Daud (16) yang berasal dari suku Efrata. Kedua, perjanjian Sinai bahwa Yahwe adalah sumber dan dasar Israel (teokrasi), tetap dipertahankan. Meskipun aspirasi gerakan melekh diterima sebagai realitas politik, namun hal itu diakui sebagai dosa dan bangsa Israel meminta ampun untuk itu (12: 17-19). Ketiga, fungsi Imam sebagai perantara (medium) Yahwe dan sekaligus pengawas atas tugas-tugas raja juga tetap dipertahankan. Kedudukan Imam sebagai medium dan advisori, inilah yang sekaligus menandai hakikat teokrasi itu. Keempat, proses peralihan kekuasaan dari Saul kepada Daud tidak berjalan mulus. Saul tetap mempertahankan kekuasaannya dan berupaya melenyapkan Daud. Dalam konteks ini, lembaga kerajaan (Saul) mengabaikan dan mengebiri lembaga Imam dan dengan itu menjadikan dirinya juga medium (perantara) langsung dengan Yahwe (teokrasi). Kelima, dalam garis teokrasi yang demikian terjadi peralihan kekuasaan dari Daud ke penggantinya. Daud sendiri yang menetapkan Salomo, anak haram, hasil perselingkuhannya dengan Batsyeba, setelah melampaui persaingan internal keluarga. Fungsi Imam, nabi Natan kelihatan hanya melaksanakan seremoni bagi legitimasi kekuasaan raja. Bermula dari hanya mezbah sebagai medium bagi Yahwe menyatakan kedaulatan dan titahnya, teokrasi Israel bergerak membentuk tahta yang juga mediumNya. Keduanya tetap eksis, pada waktu dan tempat yang sama, bergayut pada Allah yang sama: Yahwe. 3.3. Berasal dari Allah Berangkat dari keyakinan teokratis, dengan Yahwe yang perkasa, Israel kemudian Yahudi mengembangkan doktrin messianis: kejayaan bangsa dengan datangnya pemimpin nan digdaya untuk menaklukkan semua orang dan memerintah atas seluruh dunia. Namun, pada akhirnya, Israel sebagai entitas agama dan politik, patah terkulai, dilanda kemunduran dan kehancuran. Kelahiran Yesus (yang dimaknai sebagai awal kehadiran gereja) memasuki era yang sangat berbeda. Gereja tidak hanya bergumul dengan pemikiran dan perumusan politik teokrasinya, tetapi hidup di dalam dan dan berhadapan realitas politik yang sama sekali tidak mengenal Allah. Para pengikut Yesus, yang hidup dan menjadi bagian dari politik

negaranya, menuntut pemahaman terutama menyangkut loyalitas. Kepada siapa loyalitas tertinggi ditaruh dan dipertaruhkan: kepada raja atau kepada Allah. Berhadapan dengan realitas yang demikian, teologia politik dirumuskan Yohanes bin Zebedeus, manakala kekaisaran imperium Romawi di tangan raja Dominiatus. Persekusi besar-besaran terhadap seluruh pengikut Kristus diperintahkan di seluruh imperium Romawi itu. Terhadap realitas itu kitab Wahyu memberi makna teologis menyangkut sifat dan hakikat kekuasaan yang kuat, sadis dan kejam. Namun semua itu bukanlah akhir, bukanlah bentuk final dari segala-galanya. Kuasa Allah ada di ujung, yang mengatasi dan mengakhiri semua itu. Karenanya, inti teologia politik kitab Wahyu adalah: orang Kristen sama sekali tidak boleh tunduk menyembah raja atau ilah manapun, selain Tuhan. Paulus memberikan panduan teologis berupa pemahaman yang sangat positif mengenai pemerintah. Pemaknaan secara teologis dengan muatan teokrasi diberikan: sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah (Roma 13: 1b) ... karena pemerintah adalah hamba Allah (13:4a). Dalam garis pemikiran itulah kepada tiap orang diarahkannya untuk takluk dengan batasan yang jelas: barangsiapa yang melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah (Roma 13:2). 4. Teologi Politik Kristen di Indonesia Upaya berteologia politik telah lama ada dalam khasanah keristenan di Indonesia. Sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti, eksperemintasi berteologia politik itu telah dicatat sejarah pada masa penjajahan. Bahkan dapat dikatakan unik, sebab upaya itu tidak berangkat dari laboratorium intelektual, tetapi justru dari kalangan publicans, seperti Pattimura yang melakukan gerakan politik dengan mengangkat senjata di Maluku dan Manullang dan kawan-kawan di tanah Batak yang melakukan bentuk-bentuk penyadaran dan pengorganisasian yang mengusung tema-tema kemandirian dan kerja keras. Pada masa-masa pembebasan diri dari penjajahan, orang-orang kristen juga telah melakukan bentuk-bentuk teologia yang operasional dengan mendirikan organisasiorganisasi kemasyarakatan dan sebagain merubah diri menjadi partai politik. Kita dapat mencatat perkumpulan sosail Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai Perserikatan Kaum Kristen (PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV), dll. Hal yang sama juga terjadi pada saat Indonesia merdeka. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) hadir sebagai bagian dari upaya dan proses berteologia politik secara operasional. Hanya saja, proses-proses tersebut mengalami pasang surut disebabkan faktor internal dan situasi politik negara. Muatan atau tema-tema yang diusung dan dikomunikasikan kepada orang-orang kristen adalah dari dan demi kepentingan orang kristen. Sesuatu yang seringkali dikatakan orang sebagai lebih berpolitik teknis ketimbang berpolitik etis. Disadari atau tidak, telah terjadi pembiaran yang berkepanjangan dalam tataran konseptual teologia politik kristen di Indonesia. Dasar berpijak dalam tabung independensi gererja, dalam realitasnya seringkali diterjemahkan sebagai netralitas dan sterilisasi politik dalam semua ruang gereja. Tidaklah mengherankan bila kekristenan mengalami kegamangan demi kegamangan menghadapi pelbagai realitas politik di Indonesia. Sesungguhnya, independensi tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab politik gereja. Perumusan menyangkut keterlibatan dalam konteks independensi harus dirumuskan batasan-batasannya secara teologis. Berangkat dari pemahaman dan kesadaran

yang demikian, gereja-gereja akan terdorong dan dimampukan melahirkan teologia politiknya yang otentik. 5. Tanggung Jawab Sosial Politik Umat Kristen Orang kristen harus menghormati kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Tetapi kebijakan itu tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah. Bagaimana seharusnya orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi negara yang mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan keadilan kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap politik ada 3 bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan. Respon yang benar itulah yang lebih penting dan menentukan sikap kita terhadap berbagai gejolak politik yang terjadi. Allah menghendaki orang kristen taat kepada pemerintah, sesuai dengan pengertian bahwa pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Allah. Tentunya pmerintah harus mempertanggungjawabkannya kepada pemberi kekuasaan yaitu Allah sendiri (ayat 1). Jika orang kristen tidak taat kepada pemerintah dan berpartisipasi secara aktif sebagai warga negara yang bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak. Orang kristen harus mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak Allah (ayat 1). Panggilan tersebut tentu menuntut peran aktif, yang harus dimulai dari pasal 12, yaitu penyerahan diri kepada Allah (Roma 12:1, 2) sehingga tidak menjadi serupa dengan dunia. Dengan demikian pemerintah dapat berperan sebagai hamba Allah (Roma 13:4). Ayat 5, dengan suara hati. Justru di sinilah tugas dan tanggung jawab gereja (dalam pengertian umat Allah, bukan dalam pengerrtian organisasi) supaya memampukan pemerintah menjadi hamba Allah. Ini dapat terjadi hanya apabila orang kristen memenuhi panggilannya. Jadi sudah seharusnya kita menjawab panggilan itu, untuk menjadi garam dan terang dunia, biar melalui diri kita citra Kristus boleh terpancar sehingga semua orang memuji dan memuliakan Allah. 6. Implikasi-implikasinya Sikap orang kristen dalam kehidupan politik hendaknya didasari atas penghayatan: a. Kekuasaan sebagai anugerah Allah Kekuasaan bukan sesuatu yang buruk. Dengan demikian, jabatan dan kekuasaan itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat dan Tuhan . b. Keberpihakan kepada yang lemah Para politikus kristen dipanggil karena memiliki keberpihakan kepada yang lemah, karena dua alasan penting yaitu: 1) kelompok masyarakat inilah yang sering kali menjadi korban penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Keberpihakan mereka tidak boleh dilandasi oleh sentimen yang bersifat primodial (suku, ras, atau agama). Namun, keberpihakan itu juga tidak membuat, dalam arti bahwa aturan dan hukum tidak berlaku bagi kelompok ini. c. Memiliki visi dan misi yang berorientasi pada rakyat dan kerajaan Allah

Visi dan misi para politikus kristen hendaknya tidak hanya dibatasi oleh lingkup dan waktu. Maksudnya kiprah dalam dunia politik tidak hanya dibatasi oleh konstituennya saja (kelompok pemilihnya) ataupun jangka waktu memiliki jabatan itu. Bahkan lebih jauh lagi para politikus kristen juga sekaligus adalah agen-agen eskatologis dan seharusnya ikut serta dalam menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah (keadilan, kebenaran, perdamaian dan keutuhan ciptaan) sampai dengan sepenuhnya. d. Mendorong perubahan yang benar dalam masyarakat Indonesia Para politikus kristen hendaknya juga menjadi agen-agen perubahan. Untuk itu dibutuhkan keteladanan sikap perilaku yang baik. Setiap politikus kristen harus berani mengatakan tidak atas semua tawaran, bujukan, atau strategi-strategi yang dapat membuat jatuh pada tindak korupsi, kolusi ataupun nepotisme; menjauhi segala bentuk premanisme dan menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen. 7. Sikap terhadap Pemerintah yang Salah Menggunakan Otoritas Berkaitan dengan pemerintah (kepatuhan kepada pemerintah), Roma 13:1-7 menyatakan bahwa pemerintah adalah hamba Allah. Kekuasaan pemerintah berasal dari Allah, oleh karena itu pemerintah wajib menjalankan kehendak Allah untuk mengupayakan keamanan dan kesejahteraan rakyat. Maka titik tolak pelaksanaan tugas-tugas pemerintah (hukum atau undang-undang) haruslah bersesuaian dengan kehendak Allah. Sehubungan dengan itu, pemerintah berhak dan wajib menjalankan hukuman kepada orang yang bersalah. Sebagai umat yang telah mengenal kebenaran di dalam Kristus, tentunya setiap orang percaya bisa menilai apakah sesuatu itu benar atau tidak. Kematian Kristus adalah untuk menghancurkan kerajaaan kegelapan dan menegakkan Kerajaan Allah, dan orang kristen dipanggil untuk menyatakan kehendak Allah dan memuliakan nama-Nya dalam segala bidang kehidupan. Di dalam kemenangan Kristus, bumi menjadi pusaka orang rendah hati, sehingga orang kristen tidak boleh menyia-nyiakan perkara yang di bumi termasuk kebangsaan. Kebangsaan itu tidak lahir dari si iblis, tetapi dari Tuhan Allah. Kecintaan kepada bangsa itu tidak boleh dipisahkan dengan kecintaan hal kita. Demikian menurut pengajaran dari natur dan pengajaran Alkitab. Oleh sebab itu, orang kristen mempunyai kewajiban yang lebih berat dalam perkara politik daripada orang lain. Sebab di bidang politik dan pemerintahan, peran orang kristen bukan semata-mata demi kesejahteraan bangsa, tetapi yang terutama semuanya dilakukan untuk kemuliaan nama Tuhan. Otoritas yang berkuasa ditunjuk oleh Tuhan adalah Rasul Paulus pernah membuat pernyataan yang jelas mengenai bagaimana kita seharusnya berespon terhadap otoritas. Dalam hal ini kita seharusnya berespon terhadap otoritas tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya (Roma 13:1). Frasa setiap orang menyatakan tidak adanya pengecualian. Kita sebagai orang kristen tidak boleh menentang otoritas yang sah di dalam kehidupan kita. Sebab tidak ada pemerintah yang tidak ditetapkan oleh Allah. Pada zaman kita, otoritas memiliki reputasi negatif. Banyak pemimpin, baik dalam negara maupun kalangan sosial, salah menggunakan otoritas yang dimiliki. Tidak heran rasa hormat terhadap otoritas tampak seperti kebodohan yang naif. Namun kembali lagi, Tuhan mengatakan kalau kita harus menghormati otoritas yang sah, tidak peduli bagaimanapun otoritas tersebut karena semua otoritas berasal dari Tuhan. Bahkan dengan lebih tegas lagi, semua otoritas ditetapkan oleh Allah.

Banyak orang yang benar-benar bergumul dengan arti dari ayat ini, perintah ini bisa tampak begitu sangat tinggi untuk mungkin ditaati oleh setiap orang kristen. Tetapi itulah tantangan untuk menjadi seorang pengikut Kristus. 8. Etika Politik Arena politik merupakan ruang yang sangat memungkinkan bagi pemberlakuan syalom Kerajaan Allah, tetapi sekaligus juga menjadi wilayah yang sangat terbuka bagi terjadinya pemberontakan terhadap Allah. Absolutisme yang merupakan prerogatif Allah semata dan tidak terbagi terhadap siapapun, ternyata dalam sejarah bisa ditarik dan diambil paksa oleh manusia. Namun, selalu ada konsekuensi dari sikap pemberontakan itu, yang selalu merugikan pihak manusia, termasuk orang-orang yang saleh. Etika politik sesungguhnya berbicara pada tatanan nilai tentang negara dan proses-proses yang manusiawi di dalamnya. Kesadaran tentang keberdosaan manusia dan kecenderungannya untuk menjadi ilah, membuka kesadaran perlunya batas-batas etis menyangkut proses dan perilaku politik dalam suatu negara. Karena itu politik tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja, hanya sekadar diurus orang-orang tertentu atau diserahkan kepada para politisi semata. Lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok kepentingan, termasuk lembaga keagamaan, merupakan kekuatan tersendiri untuk mempengaruhi kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yang ada itu dapat mendengar dan menyalurkan pelbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di tengah-tengah sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau mengeluarkan kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut. Pendidikan politik suatu bangsa akan berjalan dengan baik di dalam dan melalui proses kesadaran kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat untuk terus menerus membiasakan diri melakukan kritik dan kontrol terhadap proses politik yang sedang berjalan. Suatu bangsa atau negara, yang berjalan dalam situasi demikian, akan membiasakan dirinya terbuka dan siap melakukan perbaikan. Di samping itu, politik tidak akan menjadi suatu potret seram yang menakutkan, tetapi sesuatu yang wajar dan biasabiasa saja. Kritik tidak akan dianggap sebagai ancaman, dan para pengritik tidak diperlakukan sebagai musuh. Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir kebiasaan-kebiasaan yang positif, yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politik yang terbuka dan mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Kebiasaankebiasaan baik yang berjalan dalam pemerintahan itu, akan menjadi etika politik suatu bangsa.

B. PERSPEKTIF IMAN KRISTEN TERHADAP HUKUM 1. Pengertian Hukum Hukum memiliki pengertian yang beragam karena memiliki ruang lingkup dan aspek yang luas. Hukum dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan, disiplin, kaedah, tata hukum, petugas (hukum), keputusan penguasa, proses pemerintahan, perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur dan juga sebagai suatu jalinan nilai-nilai. Hukum juga merupakan bagian dari norma, yaitu norma hukum. Ada beberapa pengertian hukum yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain: a) E. M. Meyers Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman sebagai penguasa-penguasa dalam melakukan tugasnya. b) Immanuel Kant Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan. c) S. M. Amin, S,H. Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri atas norma dan sanksi-sanksi serta bertujuan untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara d) M. H. Tirto Atmidjaya, S.H. Hukum adalah semua aturan (Norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakantindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya. 2. Unsur-unsur Hukum Dari pengertian hukum yang dikemukakan ahli dapat disimpulkan bawa unsur-unsur hukum meliputi: a. Peraturan atau norma mengenai pergaulan manusia dalam pergaulan masyarakat. b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib. c. Peraturan itu bersifat memaksa. d. Sanksi terhadap pelanggar peraturan tersebut tegas, berupa hukuman.

3. Sejarah Pemikiran Deklarasi Universal HAM Hak kebebasan beragama merupakan hak yang harus dihormati oleh semua manusia hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam Deklarasi Universal HAM dalam pasal 1 dan 18 yang berbunyi: Seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal serta nurani dan harus saling bergaul dalam semangat persaudaraan (pasal 1). Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinannya, serta kebebasan secara pribadi, atau bersama-sama dengan orang-orang lain dan secara terbuka atau pribadi, untuk menjalankan agama atau keyakinannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan kataatan. Pernyataan mengenai kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM merupakan sesuatu yang dipengaruhi oleh seruan Presiden Roosevelt tentang 4 macam kebebasan. Dimana salah satunya adalah kebebasan untuk setiap orang bertakwa kepada Tuhan menurut caranya sendiri (Freedom of every person to worship God in his way). Pengakuan kebebasan beragama secara internasional nyata dengan adanya pengakuan kebebasan beragama dalam The Peace of Westphalia tahun 1648 yang mengakhiri peperangan 30 tahun. Pada waktu itu ada perlindungan bagi orang-orang Protestan dalam Negara Katolik, demikian juga orang-orang Katolik dalam negara Reformed. Westphalia pada waktu itu mulai memberikan kebebasan beragama. Pemisahan antara agama dan negara yang merupakan kelahiran negara sekuler dipelopori oleh pengakuan Peace of Westphalia dan pengakuan ini jugalah yang mempengaruhi lahirnya negara sekuler Amerika Serikat yang menghargai kebebasan beragama. Dokumen Peace of Westphalia juga dianggap sebagai karya manusia modern. Pengakuan hak kebebasan beragama tetap dianggap sebagai karya manusia sekuler, bukan saja karena keyakinan bahwa dokumen Peace of Westphalia merupakan anak kandung dari proses Renaissance, tetapi juga karena lahirnya Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang memiliki pengaruh terhadap dimasukkannya kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal HAM dianggap dilatarbelakangi oleh pikiran John Locke, seorang filsuf jaman modern. Pernyataan Hak Kebebasan Beragama yang dituangkan dalam Deklarasi Amerika Serikat dilindungi oleh negara yang memisahkan antara agama dan negara (Negara Sekuler) dan konsep tersebut dianggap dilahirkan oleh Locke yang tertuang dalam tulisannya yang berjudul A Letter Concerning Toleration yang ditulis oleh Locke ketika berada dalam pengasingan di Belanda pada tahun 1965. Tidaklah mengherankan jika perlindungan hak kebebasan beragama yang telah diakui secara internasional lebih awal dibandingkan dengan hak-hak lain, dalam implementasinya ternyata menjadi sesuatu yang paling sulit terlebih lagi dengan adanya perbedaan pandangan mengenai kebebasan beragama (paham universal dan relativisme HAM), baik yang berasal dari negara atau kelompok agama tertentu. Namun demikian usaha untuk menegakkan kebebasan beragama tetap mengalami perkembangan, hal ini terlihat setelah Deklarasi Universal HAM tahun 1948, kemudian dibuat suatu covenant on Human Rights tahun 1966 dan kemudian pada tahun 1981 ada hal yang lebih menggembirakan yaitu adanya Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief Pernyataan deklarasi tersebut memang dapat menunjukkan bahwa pelanggaran hak kebebasan beragama masih terus berlangsung dan perlu penanganan terus menerus secara lebih serius. Namun kesadaran yang mendorong dicetuskannya deklarasi

tersebut menunjukkan bahwa kebebasan beragama merupakan kerinduan milyaran manusia di bumi ini, karena itu harus terus diperjuangkan. 4. HAM Dalam Perspektif Kristiani Dalam perspektif kristiani, HAM sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal HAM tahun 1948 merupakan sesuatu yang telah lama diakui. Pernyataan bahwa semua manusia memiliki martabat dan hak-hak yang sama (pasal 1-2), pengakuan akan hak-hak sipil (pasal 3-21), dan hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan (pasal 22-27) serta pasal-pasal penutup (pasal 28-30) yang menetapkan bahwa setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan internasional dengan menjalankan kewajibannya dalam masyarakat, adalah sesuatu yang telah lama dinyatakan oleh Alkitab. 4.1. Sumber HAM Pernyataan Deklarasi Universal HAM yang menjelaskan bahwa All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood. Bukanlah sesuatu yang baru ada dalam pemahaman John Locke yang terkenal dengan hukum kodrat, dimana dipahami bahwa HAM merupakan sesuatu yang melekat dengan manusia karena ia diciptakan sebagai manusia, sebagai hak-hak yang bersifat inheren, bukan diberikan oleh manusia. Sehingga dengan demikian tidak seorangpun yang mempunyai kuasa untuk merampas hak-hak tersebut dari diri manusia. Konsep hukum kodrati yang menjadi dasar bagi sumber dari HAM merupakan sesuatu yang telah diakui sejak lama dalam masyarakat Kristen. Hanya saja dalam pandangan Kristiani HAM tidak mungkin dimengerti dengan baik tanpa melihatnya dalam hubungan dengan Allah pencipta manusia. Jadi dasar dari penerimaan akan manusia yang mempunyai martabat dan hak-hak yang sama itu bergantung pada pernyataan Allah sendiri. Dalam hal ini Alkitab menyatakan dalam kejadian 1:27 bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah dan manusia berbeda dengan ciptaan lainnya, manusia adalah raja atas dunia yang adalah ciptaan Allah. Dan kekuasaan manusia sebagai raja diberikan oleh Allah, sehingga manusia adalah wakil Allah dalam dunia ini. Dan Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan, keduanya berada dalam kesederajatan. Karena itu semua manusia harus diperlakukan sama karena ia diciptakan demikian oleh Allah. Manusia tidak boleh menguasai sesamanya karena ia sederajat. Jadi HAM adalah semua hak manusia untuk menjadi manusia. Manusia yang diberikan martabat yang mulia oleh Allah, harus dapat hidup dengan menikmati martabatnya sebagai gambar dan rupa Allah. Dan tidak boleh seorangpun mengambil hak-hak itu dari manusia, kecuali Allah sendiri. Manusia pada hakikatnya sama-sama mulia dan mempunyai hak-hak yang sama, sehingga tidak boleh seorangpun memperlakukan sesamanya secara diskriminatif. HAM diberikan oleh Allah maka dalam pandangan Kristen HAM tidak berarti tidak tanpa batas, karena HAM dibatasi oleh Hukum Allah sendiri. Manusia yang memiliki hak-hak yang sama tersebut, wajib menjaga hak-hak orang lain, jika tidak maka ia akan berhadapan dengan Allah hakim yang agung. Maka dalam pandangan Kristiani HAM secara bersamaan juga kewajiban untuk menghormati hak-hak orang lain yang diberikan oleh Allah, keberbedaan talenta seseorang tidak boleh menghalangi seseorang untuk dapat bekerja dan mendapatkan kehidupan yang layak.

4.2. Keadilan Allah sebagai Dasar Implementasi HAM Pada waktu manusia bertambah banyak dan ingin membangun pemerintahan sendiri, Allah mencerai-beraikan mereka di Menara Babel. Allah terus menjaga ciptaannya dengan memilih Abraham untuk membangun komunitas yang hidup menyembah Allah dan menghormati sesama manusia sebagai ciptaan Allah. Tetapi ternyata bangsa Mesir melakukan penjajahan terhadap umat Allah. Dengan kekuasaannya Allah membebaskan Israel untuk dapat hidup mulia dengan sesamanya dalam keterikatan pada Allah. 10 hukum Allah merupakan Undang-Undang Dasar bagi Teokrasi Israel secara langsung, hukum ini berisi keadilan Allah yang jika dilaksanakan dengan baik akan menciptakan proteksi terhadap HAM, karena hukum yang diberikan oleh Allah berisi penghormatan yang mulia terhadap HAM. Namun karena kejahatan manusia, Israel sebagai suatu komunitas yang dijadikan contoh bagi bangsa-bangsa lain untuk hidup menghormati sesamanya dengan bergantung pada Allah tidak dapat mengikuti kehendak Allah. Namun itu tidak berarti bahwa Allah tidak menegakkan HAM, karena pada hakikatnya semua manusia akan berhadapan dengan pengadilan Allah pada waktunya. Jadi Allah tetap menjaga HAM dalam kehidupan sesama manusia. Kejahatan manusia ternyata tidak berhenti, sehingga akhirnya Allah memakai bangsabangsa lain untuk menjadi hakim atas umatnya. Umat Allah berada dalam penjajahan bangsa yang tidak mengenal Allah. Namun perlindungan Allah tetap ada pada mereka. Jika pada mulanya Allah memerintah secara langsung pemerintahan teokrasi, kemudian Allah memakai pemerintahan sekuler untuk tetap memelihara umatnya. Memang pernah terjadi sekelompok orang yang menginginkan kekuasaan memasukkan aturan yang tidak berkeadilan dalam pemerintahan Babel, dan yang terkena dampak langsung dari ketidak adilan tersebut adalah Sadrak, Mesakh dan Abednego. Tetapi oleh kedaulatan Allah mereka dipelihara Allah di dalam kerajaan Nebukadnezar, tetapi sebagai alat Tuhan Sadrakh, Mesakh dan Abednego harus berjuang bagi adanya hukum yang berkeadilan. Penghormatan terhadap bangsa yang berbeda dan pemeluk agama yang berbeda tetap terjaga dalam pemerintahan sekuler karena negara tempat dimana Israel dibuang oleh Allah dapat disebut negara sekuler dimana pluralisme suku dan agama dihargai. Jadi Allah dengan keadilannya tetap memelihara HAM, walaupun tidak berarti orang percaya tidak berusaha untuk memperjuangkannya. Dalam perjanjian baru Allah tetap memakai pemerintahan sekuler untuk memelihara umat-Nya dan seluruh ciptaan-Nya. Kerajaan Romawi tempat dimana gereja lahir dan bertumbuh adalah pemerintahan sekuler. Pada waktu itu masih ada penghormatan terhadap kebebasan beragama, dimana dilaporkan oleh Alkitab bahwa murid-murid Tuhan Yesus dapat berkumpul dan beribadah kepada Allah. Mereka tetap dapat beribadah sesuai dengan agama mereka. Pelanggaran kebebasan beragama terjadi karena gereja yang lahir dalam agama Yahudi dianggap bidat. Pemerintah yang membutuhkan dukungan komunitas Yahudi yang besar pada waktu itu berpihak kepada agama Yahudi, sehingga kekristenan yang dianggap bidat Yahudi mendapat perlakuan yang amat diskriminatif dari pemerintah yang berkuasa. Pada waktu pemerintahan yang adalah alat Allah untuk menegakkan keadilan-Nya demi terjaganya kesejahteraan ciptaan Allah dalam memenuhi panggilan Allah sebagai manusia yang diciptakan Allah mulia tidak lagi menegakkan keadilan Allah, maka terjadilah pelanggaran HAM. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keadilan Allah bagi kekristenan merupakan dasar yang penting bagi suatu negara untuk dapat menjaga implementasi HAM secara maksimal. Apabila negara menegakkan keadilan Allah maka hubungan antar sesama manusia akan terpelihara dengan baik, walaupun kekristenan juga percaya bahwa tidak ada

seorangpun yang dapat sempurna berpegang pada keadilan Allah, sehingga tak seorangpun manusia atau lembaga yang dapat menjadikan dirinya sumber atau agen keadilan, sebaliknya setiap pribadi atau lembaga harus tunduk kepada hukum yang berkeadilan, sehingga perjuangan penegakkan HAM bagi kekristenan bersamaan dengan perjuangan untuk menegakkan supremasi hukum yang berkeadilan dan bersumber pada Allah. 4.3. Kebebasan Beragama Menurut Alkitab Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa HAM merupakan pemberian Allah dan dapat diimplementasikan dengan baik didalam hukum yang berkeadilan dan bersumber pada Allah, maka menurut pandangan kristiani kebebasan beragama juga harus didasarkan pada Allah dan hukum keadilan Allah. Alkitab memerintahkan dalam Keluaran 20:3, Jangan ada padamu allah lain dihadapanKu, dan dalam Perjanjian Baru Yesus mengatakan Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu(Matius 22:37). Kebenaran tersebut dinyatakan oleh Yesus karena manusia tidak dapat menyembah kepada dua tuan (Matius 6:24). Pernyataan-pernyataan di atas menunjukan bahwa manusia hidup dihadapan Allah. Sehingga semua manusia hidup pada hakekatnya beragama karena semua manusia diperintahkan untuk menyembah Allah. Jadi semua kehidupan manusia adalah agama. Jadi menurut pandangan Kristen Kebebasan beragama bukan hanya kebebasan untuk memilih hari Sabtu atau hari Minggu untuk beribadah, tetapi jika hidup manusia adalah agama, maka kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk untuk memilih setiap area kehidupannya. Berarti hak kebebasan beragama juga berarti hak untuk melepaskan keyakinan agamanya atau berganti agama sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 dari Deklarasi Universal HAM. Hak Kebebasan Beragama adalah kemerdekaan untuk memeluk agamanya yang didasarkan kehendak bebas manusia (sesuai dengan keinginan hati nuraninya), tidak seorangpun dapat dipaksa untuk menyembah apa yang dia ingin sembah atau apa yang ia tidak ingin menyembahnya. Sedang menurut Vatikan II tahun 1965, kebebasan beragama merupakan hak yang didasarkan pada martabat manusia yang dinyatakan oleh Firman Allah. Selanjutnya kebebasan beragama tersebut juga berarti kemerdekaan berkumpul karena aktivitas agama bersifat komunal. Namun hak tersebut juga berarti hak untuk menyendiri, karena hak tersebut juga berarti hak untuk tidak beragama. Karena itu aktivitas penyembahan agama merupakan sesuatu yang tidak boleh dibelenggu. Hak menyembah Allah sesuai dengan keyakinan dan agama seseorang baik pribadi maupun secara berkelompok bukan sesuatu yang diberikan oleh pemerintah, tetapi pemerintah wajib menjaga agar hak kebebasan beragama tersebut dapat terimplementasi dengan baik. Karena itu penyembahan kepada Allah baik secara pribadi maupun kelompok tidak memerlukan ijin dari pemerintah. Namun karena kebebasan beragama tidak tanpa batas, maka kebebasan beragama secara bersamaan juga merupakan kewajiban untuk umat beragama lain dapat melaksanakan kebebasan beragamanya. Dalam pandangan kristiani hak kebebasan beragama merupakan hak yang diberikan oleh Allah, maka negara agamapun tidak dapat melakukan diskriminasi terhadap agama lain, karena dasar hukum dari pelaksanaan tugas negara adalah menegakkan keadilan Allah. Jika Allah sendiri memberikan kebebasan kepada manusia untuk menyembah Allah atau tidak meyembahnya walaupun dengan ganjaran akan menghadapi

pengadilan Allah, maka negara agama tidak dapat memakai kekuasaan negara untuk melakukan diskriminasi terhadap umat beragama lain, karena hak tersebut yang memberikan Allah dan negara hanya berkewajiban untuk menjaga implementasi dari hak kebebasan beragama tersebut. Hak kebebasan beragama dalam dalam pandangan Martin Luther seorang tokoh Reformasi, secara bersamaan juga merupakan hak setiap orang untuk menafsirkan Alkitab dengan cara mereka sendiri sesuai dengan hati nuraninya, pada waktu itu tidak setiap orang boleh membaca Alkitab dan menafsirkannya, dan tidak setiap orang boleh tidak setuju dengan penafsiran dari pemimpin-pemimpin gereja ... . Sehingga bidat didalam sejarah kekristenan mendapatkan hambatan yang besar dari gereja dengan memakai tangan negara. Hal ini merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan beragama dalam perspektif Kristiani. Selama bidat-bidat Kristen atau bidatbidat agama lain tetap melaksanakan kewajibannya untuk memberikan kebebasan beragama bagi kelompok di luar bidat tersebut, maka keberadaan mereka tidak boleh dihalangi oleh orang Kristen, baik oleh kelompok Kristen itu sendiri, maupun dengan menggunakan kekuasaan pemerintah. Memang tidak ada bentuk pemerintahan yang pasti yang diperintahkan oleh Alkitab untuk menjamin hak kebebasan beragama. Dalam negara agama yang mampu menegakkan keadilan Allah dalam hukum pemerintahannya kebebasan beragama akan dapat terlaksana dengan baik. Walaupun dalam sejarah umumnya negara agama tidak mampu toleran dengan umat beragama lain, hal ini dikarenakan memang negara sangat mudah untuk disimpangkan. Kebebasan beragama umumnya lebih dapat terjaga dalam negara demokrasi yang mengakui hak-hak individu, pluralisme agama dan sekularisme yang tidak berpihak pada agama tertentu, sehingga usaha untuk mengawal kebijakan pemerintah dalam menegakkan hukum yang adil melibatkan peran serta seluruh masyarakat, sehingga tidak mengherankan dalam negara demokrasi proteksi HAM lebih terjaga, walaupun tidak selalu demikian. Dalam negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi namun tidak menghargai Pluralisme agama, kebebasan beragama seringkali tetap terbelenggu, karena adanya usaha agama untuk memiliki akses yang lebih besar dalam pemerintahan dan kemudian tidak peduli apakah tindakannya merupakan sesuatu yang bersifat diskriminatif terhadap agama lain. Apapun bentuk pemerintahan, yang terutama diperlukan dalam penegakkan kebebasan beragama adalah pemisahan antara negara dan agama. Pemisahan tersebut harus terjadi karena negara mempunyai kedaulatan yang berbeda dengan gereja. Negara seharusnya menyadari bahwa kekuasaannya berasal dari Tuhan dan harus menjalankan fungsinya sesuai apa yang telah Tuhan tetapkan, dimana negara harus menjaga institusi yang ada, termasuk individu-individu untuk tidak melampaui batas kekuasaan mereka, sehingga tidak terjadi pembelengguan terhadap hak-hak institusi atau individu lain. Negara dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik apabila memiliki toleransi terhadap Religious Pluralism. Negara juga harus menjamin kedaulatan individu (Sovereignty of individual person), karena setiap individu berkedudukan sebagai seorang raja dalam hati nuraninya, kecuali dari semua kewajiban-kewajibannya. Manusia memiliki Absolute Liberty of Conscience baik untuk beragama maupun tidak sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal HAM. Pengakuan adanya kedaulatan individu ini merupakan hak asasi yang paling utama dan negara harus menjaga hak-hak ini, baru dapat dikatakan bahwa ada proteksi HAM dalam suatu negara. Kemerdekaan hati nurani ini juga merupakan akar dari Civil Rights.

IV.

KESIMPULAN Dalam dunia politik dan hukum, sikap gereja yang perlu dkembangkan adalah sikap positif, kritis, dan kreatif. Positif artinya memandang dunia politik dan hukum sebagai bidang pengabdian dan pelayanan panggilan dari Tuhan serta karena itu berasal dari pandangan positif ketika kita memberikan kontribusi sesuai iman Kristen. Kritis artinya tidak ragu-ragu member kritik jika penguasa berbuat kesalahan, menyimpang dari hukum dan prinsip-prinsip yang berlaku. Kritik yang sesuai dengan etika Kristen adalah kritik yang konstruktif (membangun, santun, dan memperdayakan), bukan kritik yang destruktif (menjatuhkan, vulgar, dan mencari kesalahan). Kreatif artinya berusaha memberikan terobosan atau alternative baru di tengah kebuntuan terhadap politik maupun hukum. Kita harus mampu berkomunikasi terbuka dan dialogis, tidak alergi terhadap perubahan. Selain itu, gereja juga dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang politik dan hukum antara lain: a) Gereja perlu terlibat dalam politik dan hukum. Dalam arti yang luas, ia mengikuti dengan seksama berbagai perkembangan politik dan hukum. b) Gereja perlu melakukan pertemuan konsultatif secara berkala dengan anggota-anggota jemaatnya yang terlibat dalam politik dan hukum praktis. c) Gereja juga perlu mendengar masukan dari berebagai LSM ataupun perguruan tinggi Kristen yang menaruh perhatian terhadap kehidupan politik. d) Gereja perlu menyelenggarakan berbagai pembinaan ataupun juga forum diskusi yang menggumuli masalah-masalah dan etikanya bagi anggota jemaatnya sehingga pemahaman salah yang dimiliki oleh anggota dapat dipatahkan dengan memperdalam kehidupan politik dan hukum sesuai kapasitas dan kemampuannya. e) Gereja perlu terlibat dalam forum-forum dialog antarumat beragama.

V.

KATA PENUTUP Demikianlah isi makalah ini kami perbuat. Semoga dapat bermanfaat bagi setiap pembaca. Dan jika ada kesalahan kata-kata dalam makalah ini kami mohon maaf. Sekian dan terima kasih.

Medan, 5 November 2009 Hormat kami,

-Kelompok 5-

VI.

DAFTAR PUSTAKA William Ebenstein; Political Science, 1972 Joice &William Mitchel; Political Analysis and Public Policy, 1969 Max Weber: Ancient Judaism, trans.: Hans Gerth & Dona Matindale, Illionis, The Free Press 1952 Holy Bibel: Gideon International, 1980 Davies, Peter, Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1994) Bevere John, 2004 Bagaimana Anda Meresponi Ketika Anda Diperlakukan Tidak Adil, Jakarta: Light Publishing http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=786&res=almanac/ Sinulingga, Risnawaty, Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006 http://syehaceh.wordpress.com/2009/03/17/pengertian-hukum-dan-norma-serta-hierarkiperundang-undangan-di-indonesia/ http://sobatbaru.blogspot.com/2008/11/pengertian-hukum.html

You might also like