You are on page 1of 10

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan terhadap pengetahuan khusus yang akan mendukung profesi yang akan digelutinya tersebut. Dalam melaksanakan tugas-tugas profesi itu, dituntut adanya penguasaan terhadap pengetahuan atau teori dan praktis yang sesuai. Untuk dapat mencapai kesesuaian tersebut terkadang diperlukan kesesuaian antara perkembangan jama ndan kebutuhan yang ada di masyarakat. Berdasarkan pada hal tersebut, maka suatu profesi perlu melakukan pengembangan terhadap profesi tersebut. Pengembangan itu tentunya bertujuan agar profesi tersebut menjadi lebih baik lagi. Bimbingan Konseling sebagai suatu profesi juga perlu melakukan pengembangan. Salah satu hal yang dapat menunjukan pentingnya dilakukan pengembangan terhadap profesi Bimbingan Konseling adalah semakin kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi oleh individu dalam kehidupannya serta adanya perbedaan kepribadian pada individu tersebut, berdasarkan pada hal tersebut diperlukan suatu metode-metode baru yang tepat untuk mengentaskan masalah yang semakin kompleks tersebut.Selain pengembangan untuk pelaksanaan tugas konselor, pengembangan profesi juga perlu untuk masa depan profesi tersebut melihat sekarang ini banyak sekali adanya miskonsepsi tentang profesi Bimbingan Konseling itu sendiri terutama terhadap Guru BK yang terdapat di sekolah-sekolah, tugas-tugas yang seharusnya tidak dikerjakan oleh Guru BK justru dikerjakan oleh Guru BK, ini tentunya bertentangan dengan tugas mereka. Hal-hal tersebut adalah sebagian kecil dari masalah yang dihadapi, melihat pada hal tersebutlah diperlukan suatu pengembangan terhadap profesi BimbinganKonseling itu sendiri. Pengembangan ini selain untuk dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapi atau mungkin akan dihadapi, pengembangan ini juga untuk menjaga eksistensi profesi Bimbingan Konseling itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas dapat ditarik beberapa rumusan masalah, diantaranya:
1. Bagaimanakah kriteria profesi menurut Liebermen? 2. Bagaimanakah kriteria profesi menurut Abraham Flexner?

1.3 Tujuan
1 2

Mengetahui kriteria profesi menurut Liebermen. Mengetahui kriteria profesi menurut Abraham Flexner.

BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Liebermen Lieberman (1956), mengemukakan bahwa karakteristik profesi kalau dicermati secara seksama ternyata terdapat titik-titik persamaanya. Diantara pokok-pokok persamaannya itu iyalah sebagai berikut:
1.

A unique, definite, and essential service Profesi itu merupakan suatu jenis pelayanan atau pekerjaan yang unik

(khas), dalam arti berbeda dari jenis pekerjaan atau pelayanan apapun yang lainnya. Disamping itu, profesi juga bersifat definitif dalam arti jelas batasbatas kawasan cakupan bidang garapannya (meskipun mungkin sampai batas dan derajat tertentu ada kontingensinya dengan bidang lainnya). Selanjutnya, profesi juga merupakan suatu pekerjaan atau pelayanan yang sangat penting, dalam arti hal itu amat dibutuhkan oleh pihak penerima jasa sementara pihaknya sendiri tidak memiliki pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan untuk melakukannya sendiri.
2.

An emphasis upon intellektual technique in performing its service Pelayanan itu amat menuntut kemampuan kinerja intellektual, yang

berlainan dengan keterampilan atau pekerjaan manual semata-mata. Benar, kemampuan profesi juga terkadang mempergunakan peralatan manual dalam praktek pelayanannya, seperti seorang dokter bedah misalnya menggunakan pisau operasi, namun proses penggunaannya dibimbing oleh suatu teori dan wawasan intelektual.
3.

A long period of specialized training Perolehan penguasaan dan pengetahuan intelektual (wawasan atau visi

dan kemampuan atau kompetensi serta kemahiran atau skills) serta sikap profesional tersebut, seseorang akan memerlukan waktu yang sangat lama. Untuk mencapai kualifikasi keprofesian sempurna lazimnya tidak kurang dari lima tahun lamanya, ditambah dengan pengalaman praktek terbimbing hingga tercapainya suatu tingkat kemandirian secara penuh dalam
3

menjalankan profesinya. Pendidikan keprofesian termaksud lazimnya dilaksanakan seniornya.


4.

pada

jenjang

pendidikan

tinggi,

dengan

proses

pemagangannya sampai batas waktu tertentu dalam bimbingan para A broad range of autonomy for both the individual practitioners and Kinerja pelayanan itu demikian cermat secara teknis sehingga kelompok (asosiasi) profesi yang bersangkutan sudah sudah memberikan jaminan bahwa anggotanya dipandang mampu untuk melakukannya sendiri tugas pelayanan tersebut, apa yang seyogyanya dilakukan dan bagaimana menjalankannya, siapa yang seyogyanya meberikan izin dan lisensi untuk melaksanakan kinerja itu. Individu-individu dalam kerangka kelomok asosiasinya pada dasarnya relatif bebas dari pengawasan, dan secara langsung mereka menangani prakteknya. Dalam hal menjumpai sesuatu kasus yang berbeda diluar kemampuannya, mereka membuat rujukan (referral) kepada orang lain dipandang lebih berwenang, atau membawanya kedalam suatu panel atau konferensi kasus (case converence).
5.

the occupational group as a whole

An acceptance by the practitioners of broad personal responsibility

for judgments made and act performed within the scope of professional autonomy Konsekuensi dari otonomi yang dilimpahkan kepada seorang tenaga praktisi profesional itu, maka berarti pula ia memikul tanggung jawab pribadinya harus secara penuh. Apapun yang terjadi, seperti dokter keliru melakukan diagnosis atau memberikan perlakuan terhadap pasiennya atau seorang guru yang keliru menangani permasalahan siswanya, maka kesemuanya itu harus dipertanggungjawabkannya, serta tidak selayaknya menudingkan atau melemparkan kekeliruannya kepada pihak lain.
6.

An emphasis upon the service to be rendered, rather than the

economic gain to the practitioners, as the basis for the organization and performance of the social service delegated to the occupational group

Mengingat pelayanan profesional itu merupakan hal yang amat esensial (dipandang dari pihak masyarakat yang memerlukannya) maka hendaknya kinerja pelayanan tersebut lebih mengutamakan kepentingan pelayanan pemenuhan kebutuhan tersebut, ketimbang untuk kepentingan perolehan imbalan ekonomis yang akan diterimanya. Hal itu bukan berarti pelayanan profesional tidak boleh memperoleh imbalan yang selayaknya. Bahkan seandainya kondisi dan situasi menuntut atau memanggilnya, seorang profesional itu hendaknya bersedia memberikan pelayanan tanpa imbalan sekalipun.
7.

A conpehensive self-gouverning organization of practitioners Mengingat pelayanan itu sangat teknis sifatnya, maka masyarakat

menyadari bahwa pelayanan semacam itu hanya mungkin dilakukan penanganannya oleh mereka yang kompeten saja. Karena masyarakat awam yang kompeten yang bersangkutan, maka kelompok (asosiasi) para praktisi itu sendiri satu-satunya institusi yang seyogyanya menjalankan peranan yang ekstra, dalam arti menjadi polisi atau dirinya sendiri, iyalah mengadakan pengendalian atas anggotanya mulai saat penerimaannya dan memberikan sanksinya bilamana diperlukan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran terhadap kode etikanya.
8.

A code of ethics which has been clarified and interpreted at Otonomi yang dimiliki dan dinikmati oleh organisasi profesi dengan

ambiguous and doubtful points by concrete cases para anggotanya seyogyanya disertai kesadaran dan iktikad yang tulus baik pada organisasi maupun pada individual anggotanya untuk memonitor perilakunya sendiri. Mengingat organisasi dan sekaligus juga anggotanya harus menjadi polisi atas dirinya sendiri maka hendaknya mereka bertindak sesuai dengan kewajiban dan tuntunan moralnya baik terhadap klien maupun masyarakatnya. Atas dasar itu, adanya suatu perangkat kode etika yang telah disepakati bersama oleh yang bersangkutan seyogyanya membimbing hati nuraninya dan mempedomani segala tingkah lakunya.

2.2 Abraham Flexner Abraham Flexner tahun 1915 melihat ciri-ciri profesi dalam enam karakteristik, yaitu: keintelektualan, kompetensi profesional yang dipelajari, objek praktik spesifik, komunikasi, motivasi altruistik, dan organisasi profesi. 1. Keintelektualan. Kegiatan profesional merupakan pelayanan yang lebih berorientasi mental daripada manual (kegiatan yang memerlukan keterampilan fisik), lebih memerlukan proses berpikir daripada kegiatan rutin. Melalui proses berpikir tersebut, pelayanan profesional merupakan hasil pertimbangan yang matang, berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 2. Kompetensi profesional yang dipelajari. Pelayanan profesional didasarkan pada kompetensi yang tidak diperoleh begitu saja, misalnya melalui pewarisan ilmu dari pewaris kepada keturunannya, melainkan melalui pembelajaran secara intensif. Kompetensi profesionalitu tidak diperoleh dalam sekejap, misalnya melalui mimpi, melalui semedi atau bertapa sekian lama, atau melalui penyajian sesaji kepada pemegang tuah sakti. Seorang profesional harus dengan sungguhsungguh, serta mencurahkan segenap pikiran dan usaha, untuk mempelajari materi keilmuan, pendekatan, metode dan teknik, serta nilai berkenaan dengan pelayanan yang dimaksud.
3. Objek praktik spesifik.

Pelayanan suatu profesi tertentu terarah kepada objek praktik spesifik yang tidak ditangani oleh profesi lain. Tiap-tiap profesi menangani objek praktik spesifiknya sendiri. Dokter sebagai tenaga profesional misalnya menangani penyembuhan penyakit, psikolog memberikan gambaran tentang kondisi dinamik aspek-aspek psikis individu, sedangkan psikiater menangani ketidakseimbangan atau penyakit psikis, apoteker menangani pembuatan obat, akuntan menangani perhitungan keuangan berdasarkan peraturan yang berlaku, konselor menangani individu-individu normal yang mengalami masalah dalam kehidupan sehari-hari. Secara lebih umum
6

misalnya, untuk guru dan konselor, yang keduanya adalah pendidik dapat ditanyakan apa objek praktik spesifik pekerjaan pendidik profesional? Tidak lain adalah pelayanan berkenaan dengan pelaksanaan proses pembelajaran terhadap peserta didik dalam bidang pelayanan yang menjadi kekhususan pekerjaan guru atau konselor. Objek praktik spesifik masing-masing profesi tidaklah tumpang tindih sehingga satu profesi dengan profesi lainnya tidak saling mengaku objek praktik spesifiknya sama dengan objek praktik spesifik profesi yang berbeda. Objek praktik spesifik profesi konselor dan guru adalah berbeda dan memang harus dibedakan secara tegas. 4. Komunikasi. Segenap aspek pelayanan profesional, meliputi objek praktik spesifik profesinya, keilmuan dan teknologinya, kompetensi dan dinamika operasionalnya, aspek hukum dan sosialnya, termasuk kode etik dan aturan kredensialisasi, serta imbalan yang terkait dengan pelaksanaan pelayanannya, semuanya dapat dikomunikasikan kepada siapapun yang berkepentingan, kecuali satuhal, yaitu materi berkenaan dengan asas kerahasiaan yang menurut kode etik profesi harus dijaga dan tidak dibocorkan kepada siapapun. Komunikasi ini memungkinkan dipelajari dan dikembangkannya profesi tersebut, dipraktikkan dan diawasi sesuai dengan kode etik, serta diselenggarakan perlindungan terhadap profesi yang dimaksud. 5. Motivasi altruistik Motivasi kerja seorang professional bukanlah berorientasi kepada kepentingan dan keuntungan pribadi, melainkan untuk kepentingan, keberhasasilan, dan kebahagiaan sasaran layanan, serta kemaslahatan kehidupan masyarakat pada umumnya. Motivasi altruistik diwujudkan melalui peningkatan keintelektualan, kompetensi dan komunikasi dalam menangani objek praktik spesifik profesi. Motivasi altruistik ini akan menjauhkan tenaga profesional mengutamakan pamrih atau keuntungan pribadi, dan sebaliknya, mengutamakan kepentingan sasaran layanan. Bahkan, jika diperlukan, tenaga profesional tidak segan-segan
7

mengorbankan kepentingan sendiri demi kepentingan/ kebutuhan sasaran layanan yang benar-benar mendesak. 6. Organisasi profesi Tenaga profesional dalam profesi yang sama membentuk suatu organisasi profesi untuk mengawal pelaksanaan tugas-tugas profesional mereka ,melalui tridarma organisasi profesi, yaitu:
a. Ikut serta mengembangkan ilmu dan teknologi profesi b. Meningkatkan mutu praktik pelayanan profesi c. Menjaga kode etik profesi

Organisasi profesi ini secara langsung peduli atas realisasi sisi-sisi objek praktik spesifik profesi, keintelektualan, kompetensi dan praktik pelayanan,komunikasi, kode etik, serta perlindungan atas para anggotanya. Organisasi profesi membina para anggotanya untuk memiliki kualitas tinggi dalam mengembangkan dan mempertahankan kemartabatan profesi. Organisasi profesi di samping membesarkan profesi itu sendiri, juga sangat berkepentingan untuk ikut serta memenuhi kebutuhan dan membahagiakan masyarakat luas.

BAB 3
8

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Memperhatikan karakteristik yang menjadi tuntutan suatu profesi, dapatlah dipahami sepenuhnya bahwa tenaga profesional perlu dipersiapkan di Perguruan Tinggi, mulai dari pendidikan program sarjananya sampai dengan program pendidikan profesinya. Aspek-aspek keintelektualan/ keilmuan, kompetensi dan teknologi operasional, kode etik, dan aspek-aspek sosialnya seluruhnya dipelajari melalui Program Sarjana Pendidikan dan Pendidikan Profesi. 3.2 Saran Sebagai seorang konselor profesional haruslah tetap melakukan proses profesionalisasi, karena profesionalisasi merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat, artinya profesionalisasi pada dasarnya merupakan serangkaian proses pengembangan keprofesionalan, baik di lakukan melalui pendidikan, latihan prajabatan maupun pendidikan latihan dalam jabatan. Hal ini dilakukan agar profesi bimbingan konseling bisa mencapai taraf kemartabatan sebagaimana yang kita harapkan. Konselor harus berusaha sekuat tenaga mengatasi segenap kendala dan krisis sebesar apapun, demi kejayaan pelayanan konseling pada khususnya dan pendidikan pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M Khoiruddin. Ulasan Pekerjaan, Profesi dan Profesional. Online at http://tugasku.netgoo.org/t46-ulasan-pekerjaan-profesi-dan-profesional diunduh 13/06/2012 Prayitno. 2008. Mengatasi Krisis Identitas Profesi Konselor. Online at http://www.scribd.com/doc/75544345/25/Ciri-ciri-Profesi diunduh 13/06/2012

10

You might also like