You are on page 1of 7

A.

Hakikat Karya Sastra

Karya sastra adalah artefak, adalah benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik (Teeuw, 1984:191) bila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana artefak peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi nama olaeh arkeolog. Istilah pemberian makna ini dalam sastra disebut konkretisasi. Dalam memberi makna kepada karya sastra, tentulah kritikus (pembaca) tidak hanya semaunya saja, melainkan terikat kepada teks karya sastra sendiri sebagai system tanda yang mempunyai konvensi sendiri berdasarkan kodrat atau hakikat karya sastra. Untuk dapat menangkap makna atau memberi makna karya sastra, pastilah diperlukan cara-cara yang sesuai dengan sifat hakikat karya sastra. Pertama kali, karya sastra adalah sebuah karya yang bermedium bahasa. Bahasa sebagai medium tidaklah netral, dalam arti, sebelum menjadi unsur sastra, bahasa sudah mempunyai arti sendiri. Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980: 11, 12). Artinya, karya sastra itu lahir dalam konteks sejarah dan social-budaya suatu bangsayang didalamnya sastrawan penulisnya merupakan salah satu anggota masyarakat bangsa-nya. Oleh karena itu, sastrawan tidak terhindar dari konvensi sastra yang ada sebelumnya dan tidak terlepas dari latar sosialbudaya masyarakatnya. Semuanya itu terpancar dalam karya sastranya. Dengan demikian, dalam pemaknaan karya sastra, faktor-faktor tersebut haruslah dipertimbangkan disamping faktor individu sastrawan dan konvensi sastra sebagai system semiotik atau system ketandaan. Pertama kali, karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang bermakna. Disamping itu, karya sastra adalah karya yang ditulisoleh pengarang. Pengarang tidak terlepas dari sejarah sastra dan latar belakang social budayanya. Maka semua itu tercermin dalam karya sastranya. Akan tetapi, karya sastra juga tidak akan mempunyai makna tanpa ada pembaca yang memberikan makna kepadanya. Oleh karena itu, seluruh situasi yang berhubungan dengan karya sastra itu haruslah diperhatikan dalam pemaknaan karya sastra.[1] Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis (Hill, 1966: 6). Dalam analisis itu karya sastra diuraikan unsur-unsur pembentuknya. Hal itu mengingat bahwa karya sastra itu adalah sebuah
[1] Prof. Dr. Rchmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya,

Yogyakarta: Pustakapelajar, 2010, hal. 106-108

karya sastra yang utuh (Hawkes, 1978: 16). Disamping itu, sebuah strutur sebagai kesatuan yang utuh dapat dipahami makna keseluruhnya bila diketahui unsur-unsur pembentuknya dan saling hubungan diantara dengan keseluruhannya. Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong, tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Karya sastra tidak lepas dari penulisnya. Penulis/pengarang memberikan intensinya dalam karyanya. Karya satra merupakan luapan atau penjelmaan perasaan, pikiran, dan pengalaman pengarangnya. Oleh karena itu, faktor pengarang tidak dapat diabaikan meskipun tidak harus dimutlakan. Hal ini disebabkan oleh hal, bahwa belum tentu intensi pengarang itu dapat dijelmakan dalam karya sastra secara sempurna sebab karya sastra bermedia bahasa yang mempunyai sifat sendiri yang tidak begitu saja tunduk kepada kemauan pengarang. Disamping itu juga masalah-masalah teknik penulisan seringkali menjadi penghalang bagi penulis untuk menyampaikan intesinya. Kemungkinan besar, keterangan-keterangan pengarang mengenai karya sastranya, baik dalam hal ekspresi ataupun pikiran yang dikemukakan, sangatlah perlu untuk memahami karyanya tersebut. Lebih-lebih bila karyanya menunjukan adanya teknik dan pemikiran baru yang belum dikenal oleh masyarakat sastra. Disamping itu, pemikiran-pemikiran atau gagasan pengarang tentang seni sastra pada umumnya sangat bermanfaat untuk mempermudah penangkapan makna karya sastranya.[2] B. Macam Macam Karya Sastra 1. Puisi Kata puisi berasal dari bahasa Yunani poiesis yang berarti penciptaan. Akan tetapi, arti yang semula ini lama kelamaan semakin dipersempit ruang lingkupnya menjadi hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata-kata kiasan. (Ensiklopedia Indonesia N-Z; tanpa tahun: 1147). Dalam bahasa Inggris padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat berhubungan dengan kata poet dan kata poem. Mengenai kata poet ini Vencil C. Coultermemberi penjelasan sebagai berikut: Kata poet berasal dari bahasa Yunani yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Inggris kata poet ini lama sekali disebut maker. Dalam bahasa Yunani sendiri kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa, atau

[2]. Prof. Dr. Rchmat Djoko Pradopo,Ibid, hal. 112-115

yang sangat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci; yang sekaligus merupakan seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi. (Coulter, 1930: 284-5). Selanjutnya pengarang terkenal Edgar Allan Poe membatasi puisi kata sebagai kreasi keindahan yang berirama (the rhythmical creation of beauty). John Dryden mengatakan bahwa poetry is articulate music dan Isaac Newton mengatakan bahwa puisi adalah nada yang penuh keaslian dan keselarasan atau poetry is ingenius fiddlefaddle (Blair & Chandler 1935: 3). Samuel Johnson berpendapat bahwa puisi adalah peluapan spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, dia bercikal-bakal dari emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian (Tarigan, 1967: 28; Blair & Chandler 1935: 4). Selanjutnya ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman manusia, antara lain pendapat Watts-Dunten dan Lascelles Abercrombie. Puisi adalah ekspresi yang konkret dan artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama, kata Watts Dunten, sedangkan Lescelles Abercrombie mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman yang bersifat imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa, yang memanfaatkan setiap rencana dengan matang dan tepat guna. (Blair & Chandler, 1935: 4).[3] Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.[4] I. A. Richards, seorang kritikus sastra yang terkenal telah menunjukan kepada kita bahwa suatu puisi mengandung suatu makna keseluruhan yang merupakan perpaduan dari tema penyair (yaitu mengenai inti pokok puisi itu), perasaannya (yaitu sikap sang penyair terhadap

[3] Prof.Dr. Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Bandung: Penerbit Angkasa,

2011, hal.3-5
[4] Prof. Dr. Rchmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, Jogjakarta: Gajah Mada University Press,

2010, hal.6

bahan atau objeknya), nadanya (yaitu sikap penyair terhadap pembaca atau penikmatinya), dan amanat (yaitu maksud atau tujuan sang penyair). (Moris [et all], 1964: 617).[5] Metode puisi dan sarana-sarananya: 1. Diksi (diction) Diksi berarti pilihan kata. Kata-kata yang digunakan dalam dunia persajakan tidak seluruhnya bergantung pada makna denotatif, tetapi lebih cenderung pada makna konotatif. 2. Imaji (imagery) Segala yang dirasai atau dialami secara imajinatif yang membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga mereka menganggap bahwa merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa tersebut. 3. Kata nyata (the concrete word) Salah satu cara untuk membangkitkan imajinasi para penikmat adalah menggunakan kata-kata yang tepat, konkret, dan dapat menyaranka suatu pengertian menyeluruh. 4. Majas (figurative language) Majas yang merupakan bahasa kias juga dapat membangkitkan imajinasi para penikmat suatu sajak. 5. Ritme dan irama (ryhthm and rime) Ritme dan rima, irama dan sajak, besar pengaruhnya untuk memperjelas mana suatu puisi. Dlam kepustakaan Indonesia, ritme atau irama adalah turun naiknya suara secara teratur, sedangkan rima atau sajak adalah persaaan bunyi. (Moris [et all] 1964: 617-622).[6] 2. Drama Kata drama berasal dari bahasa Yunani; tegasnya dari kata kerja dran yang berarti berbuat, to act atau to do. (Morris [et all], 1964: 476). Bathazar Verhagen mengemukakan bahwa drama adalahkesenian melukis sifat dan sikap manusia dengan gerak. (Slametmuljana, 1957: 176). Dalam The American College Dictionary dijelaskan bahwa:
[5] Prof.Dr. Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Bandung: Penerbit Angkasa,

2011, hal. 9
[6] Prof.Dr. Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Bandung: Penerbit Angkasa,

2011, hal 28-35

Drama: 1. Suatu karangan dalam prosa atau puisi yang disajikan dalam bentuk diaog atau pantomime suatu cerita yang mengandung konflik atau kontras seorang tokoh; terutama suatu cerita dipentaskan diatas panggung; suatu lakon. 2. Cabang sastra yang mengandung komposisi-komposisi sebagai subjeknya; seni atau representasi dramatik. 3. Seni yang menggarap lakon-lakon dimulai penulisan sampai produk terakhir. 4. Setiap rangkaian kejadian yang mengandung hal-hal atau akibat-akibat yang menarik hati secara dramatik. Barnhart [et all], 1960: 365)[7]. Unsur-unsur drama: 1. Alur Seperti juga bentuk-bentuk sastra lain, maka suatu lakon harus bergerak maju dari permulaan melalui suatu pertengahan menuju akhir. Dalam drama, bagian-bagian ini dikenal dengan istiahistilah eksposisi (suatu lakon mendasari serta mengatur gerak atau action dalam masalah-masalah waktu dan tempat. Komplikasi (bertugas mengembangkan konflik). Resolusi atau denauement (butir yang memisahkan komplikasi dari resolusi biasa disebut klimaks atau tuning point). 2. Penokohan Beberapa jenis pelaku atau actor:

The foil: tokoh yang membantu menjelaskan tokoh lain. The type character: tokoh yang dapat berperan dengan tepat dan tangkas. The static character: yang tetap saja keadaannya dari awal hingga akhir. The character who develops in the course of the play; tokoh yang mengalami perkembangan dalam pertunjukan.

3. Dialog
[7] Prof.Dr. Henry Guntur Tarigan, Ibid, hal. 69-70

Dialog harus mempertinggi nilai gerak dan haruslah baik serta bernilai tinggi. 4. Aneka sarana kesastraan dan kedramaan a. Perulangan: kontras dan parallel b. Gaya dan atmosfer c. Simbolisme d. Empati dan jarak estetik[8] Jenis-jenis drama Menurut genre-nya: a) Tagedi Karya tragedy harus memenuhi syarat: Suatu lakon tragis haruslah berhubungan erat atau menggarap suatu subjek yang serius. Sang pahlawan atau pelaku utama dalam tragedy harus merupakan orang penting yang herois. Insiden yang terdapat dalam tragedy haruslah wajar, apa yang harusnya terjadi harus terjadi. Rasa kasihan, sedih atau takut merupakan emosi-emosi utama pada karya tragedi. b) Komedi Cirri-ciri khas komedi: Mungkin memerankan suatu subjek yang serius dan mungkin pula suatu subjek yang ringan dalam tendensi yang ringan atau cerah Memerankan kejadian yang mungkin dan seakan-akan terjadi Segala yang terjadi muncul dari tokoh bukan dari situasi Kelucuan sejenis humor yang serius c) Melodrama Cirri-ciri utama lakon melodrama: Memerankan suatu subyek yang serius, tetapi para tokohnya tidak seotentik yang terdapat dalam tragedy Ada unsur-unsur perubahan yang masuk ke dalam melodrama Rasa kasihan memang ada ditonjolkan, tetapi cenderung kearah sentimentalis. Tokoh utama biasanya menang dalam perjuangan.
[8] Prof.Dr. Henry Guntur Tarigan, ibid, hal. 75-79

d) Farce Cirri-ciri utama farce: o Kejadian dan tokoh-tokohnya mungkin terjadi dan ada, tetapi tidaklah begitu besar kemungkinan itu. o Menimbulkan kelucuan seenaknya o Bersifat episodik o Muncul dari situasi bukan dari tokoh.[9] DAFTAR PUSTAKA 1. Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung :Penerbit Angkasa 2. Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 3. Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

[9] Prof.Dr. Henry Guntur Tarigan, Ibid , hal. 84-89

You might also like