You are on page 1of 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca yang berjudul BURUKNYA KINERJA APARATUR PEMERINTAHAN DALAM BIROKRASI Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Lhokseumawe, 15 November 2011

Mirza fuazi

DAFTAR ISI
kata pengantar.1 daftar isi..2 Bab 1 pendahuluan..3 1.1. Latar belakang..3 1.2. Rumusan masalah.....4 Bab 2 Pembahasan .5 2.1 kinerja aparatur dalam organisasi pemerintahan.......5
2.2. penyebab buruknya kinerja aparatur dalam birokrasi.6

Bab 3 Penutup11 3.1. kesimpulan11 3.2. kritik dan saran.11 DAFTAR PUSTAKA12

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Dalam era reformasi saat ini, tuntutan masyarakat terhadap peningkatan pelayanan publik adalah sesuatu yang cukup beralasan dan tidak berlebihan, mengingat sampai sejauh ini masyarakat masih menilai bahwa kualitas pelayanan publik masih rendah serta kinerja pelayanan publik khususnya oleh pemerintah daerah masih sangat jauh dari yang diharapkan (Dwiyanto, 2002). Pada sisi yang lain, kualitas aparatur di daerah yang berada di bawah standar, mengakibatkan kesulitan bagi pimpinan unit kerja untuk membagi tugas secara merata. Gaji rendah, menyebabkan aparatur akan cari tambahan melalui kerja sampingan yang pada umumnya akan mengganggu kegiatan rutin di kantor. Selain itu, penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan kompetensinya dapat menimbulkan masalah pada manajemen kantor serta dapat mengakibatkan kegagalan pada pencapaian tujuan organisasi. Beban kerja tidak dibagi habis ke seluruh staf, sehingga ada staf yang tidak punya tugas hal ini dapat mengakibatkan ketidakseimbangan beban kerja yang dapat menimbulkan gangguan terhadap pencapaian tujuan organisasi.

Untuk itu pimpinan unit kerja harus terlebih dahulu memerincikan semua tugas dan tanggung jawab instansi sampai pada level aparatur yang paling rendah. Di sini penting dilakukannya pengelompokan tugas-tugas, sehingga dapat ditetapkan siapa akan mengerjakan apa dan kapan harus diselesaikan serta mewajibkan aparatur membuat laporan tentang hasil dan rencana kerja secara berkala, pembagian tugas ini harus diiringi dengan sanksi dan penghargaan (reward). Dalam pembagian tugas-tugas itu seharusnya dibuat secara tertulis sesuai dengan Tupoksi masing-masing unit kerja yang dilengkapi dengan prosedur atau alur kerja dari setiap bagian sampai kepada personel yang terlibat dalam melakukan setiap kegiatan. Namun hal ini tidaklah mudah dapat dilakukan oleh semua kepala unit kerja karena masih banyak faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi kinerja aparatur itu, misalnya faktor moral dan ekonomi atau rendahnya penghasilan. Meski tidak ada jaminan bahwa

pendapatan ditingkatkan akan meningkatkan kinerja sebab yang paling sulit adalah mengubah kebiasaan sebagaimana sulitnya melakukan hal yang belum biasa. Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.81/1993 tersirat sendisendi pelayanan yang harus dicakup dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia, antara lain kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, serta ketepatan waktu. Melalui aturan baku tersebut, secara ideal pola pelayanan di Indonesia telah mendapatkan bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi para pelaksana pelayanan publik untuk memposisikan mereka sebagai superior terhadap pengguna jasa layanan.

1.2. RUMUSAN MASALAH a. bagaimanakah kinerja aparatur di dalam birokrasi Pemerintahan ? b. Kenapa masih banyak aparatur pemerintahan yang tidak serius dalam menjalankan tugas ?

BAB II PEMBAHASAN
2.1. KINERJA APARATUR DALAM BIROKRASI PEMERINTAHAN

Di negara-negara berkembang pada umumnya birokrasi pemerintahannya cenderung sulit untuk berubah kearah yang lebih baik. Birokrasi pemerintahannya masih berada posisi yang kurang atau tidak stabil dan belum menemukan pola kerja yang baik. Perubahan pimpinan negara dan bahkan seorang kepala unit kerja dapat merubah sistem administrasi (negara) kearah yang lebih buruk, atau dengan kata lain ganti pimpinan ganti gaya administrasi mencerminkan posisi sistem administrasi negara di negara maju dan negara berkembang). Berbagai penyakit birokrasi termasuk korupsi cenderung sulit disembuhkan. Salah satu penyebabnya adalah karena birokrasi pemerintahan sering digunakan sebagai alat perpanjangan kekuasaan oleh para penguasa untuk mempertahankan kekuasaan secara tidak demokratis dan merugikan masyarakat umum. Akibatnya, peran aparatur pemerintah yang seharusnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, yang mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat umum, cepat atau lambat berubah menjadi pelayan partai atau kelompok yang berkuasa. Selanjutnya, birokrat cenderung berperan sebagai yang dilayani sedangkan masyarakat sebagai yang melayani dengan memberikan imbalan tertentu atas suatu jasa yang diberikan birokrat tersebut. Kondisi tersebut tidak saja terjadi pada aparatur pemerintah tingkat pusat tetapi juga di daerah-daerah. Berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan sering mengindikasikan keadaan tersebut. Misalnya, kebijakan di bidang perdagangan dan industri serta proses tender proyek fisik disusun untuk menguntungkan kelompok tertentu baik yang ada dalam birokrasi pemerintahan maupun yang di luar tetapi punya kaitan erat dengan para pejabat birokrasi pemerintahan. Pendekatan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok atau partai yang berkuasa kepada birokrasi pemerintahan telah menularkan dan membentuk birokrasi pemerintahan untuk menggunakan pendekatan yang sama dalam berbagai kegiatannya baik di dalam kegiatan internal birokrasi dan terutama pada kegiatan yang melibatkan masyarakat. Demikian kuasanya birokrasi sehingga sikap aparatur pemerintah sering menjadi merasa paling tahu (yang lebih mengetahui diantara

yang mengetahui), paling mampu/bisa, dan paling berkuasa. Ketiga sikap ini dapat dikatakan sudah menjadi stempel atau nilai para pegawai birokrasi pemerintahan, dan mencerminkan betapa pendekatan kekuasaan telah dipakai oleh birokrasi. Padahal pendekatan kekuasaan ini cenderung menghambat partisipasi masyarakat dan menghambat munculnya berbagai inisiatif dan alternatif pemecahan permasalahan pembangunan di berbagai sektor kehidupan. Selain itu, pendekatan kekuasaan membuat birokrasi pemerintah kebal terhadap kritikan dan aturan hukum. Sebagai contoh, di Indonesia cukup banyak keputusan peradilan tata usaha negara (PTUN) yang memenangkan tuntutan masyarakat, tetapi pada kenyataannya tidak diindahkan atau dilaksanakan oleh para pejabat birokrasi. Hal ini sesuai dengan anggapan bahwa kekuasaan yang berlebihan atau mutlak cenderung mengarah pada korupsi tentunya bila kekuasaan tersebut tidak dikontrol atau dikendalikan. Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisiensi dan efektivitias, tetapi harus dilihat juga dan indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan responsivitas. Penilaian kinerja dan sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik seringkali memiliki kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan. Dalam pelayanan yang diselenggarakan oleh pasar, yang pengguna jasa memiliki pilihan sumber pelayanan, penggunaan pelayanan bisa mencerminkan kepuasan terhadap memberi layanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi publik, penggunaan pelayanan oleh publik sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepuasannya terhadap pelayanan. Sistem pemberian pelayanan yang baik dapat dilihat dan besarnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh birokrasi secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan pelayanan. Idealisnya, segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh aparat birokrasi hanya dicurahkan atau dikonsentrasikat untuk melayani kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa. Kemampuan dan sumber daya aparat birokrasi sangat diperlukan agar orientasi pada pelayanan dapat dicapai. Aparat birokrasi yang ideal adalah aparat birokrasi yang tidak dibebani oleh tugas-tugas kantor lain di luar tugas pelayanan kepada masyarakat. Aparat pelayanan yang ideal juga seharusnya tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan lain seperti pekerjaan sambilan di luar pekerjaan kantor yang dapat mengganggu tugas-tugas penyelenggaraan pelayanan. Kinerja pelayanan aparat birokrasi akan dapat maksimal apabila bila semua waktu dan konsentrasi aparat benar-benar tercurah untuk melayani masyarakat pengguna jasa.

2.2. PENYEBAB BURUKNYA KINERJA APARATUR DALAM BIROKRASI

Pemerintah terhadap birokrasi seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerJ birokasinya. misalnya, dalam rnenentukan anggaran birokrasinya, pemerintah sama sekali idak mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi. Anggaran birokrasi publik selama ini lebih didasarkan atas input, bukan cutput. Anggaran yang ditcrima oleh sebuah birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan, bukan oleh hasil yangakan diberikan oleh birokrasi itu pada masyarakatnya. Akibatnya, dorongan untuk mewujudkan hasil dan kinerja cenderung rendah dalam kehidupan birokrasi publik. Karena anggaran sening menjadi driving force dari perilaku birokrasi dan para pejabatnya, mengaitkan anggaran yang ditnirna oleh sebuah birokrasi publik dengan hasil atau kinerja bisa menjadi salah satu faktor yang mendorong perbaikan kinerja birokrasi publik. Para pejabat birokrasi yang ingin memperoleh anggaran yang besar menjadi terdorong untuk menunjukkan kmerja yang balk. Kalau ini dapat dilakukan, data dan informasi mengenai kinerja birokrasi publik niscaya akan tersedia sehingga penilaian kinerja birokrasi publik juga menjadi lebih mudah dilakukan. Faktor lain yang menyebabkan terbatasnya informasi mengenai kinerja birokrasi publik adalah kompleksitas indikator kinerja yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik. Berbeda dengan swasta yang indikator kinerjanya relatif sederhana dan tersedia di pasar, indikator kinerja birokrasi sering sangat kompleks. Hal ini terjadi karena birokrasi publik memiliki stakeholders yang sangat banyak dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Perusahaan bisnis memiliki stakeholders yang jauh lebih sedikit, pemilik dan konsumen, dan kepentingannya relatif mudah dintegrasikan. Kepentingan utarna peinilik perusahaan ialah selalu memperoleh keuntungan, sedarigkan kepentingait utama konsuuen biasanya adalait kualitas produk dan harga yang terjangkau. Stakeholders dan birokrasi publik, seperti masyarakat pengguna jasa, aktivis sosial dan partai, wartawan, dan para penggusaha sering berkepentingan berbeda-beda dan berusaha mendesakkan kepentingannya agar diperhatikan oleh birokrasi publik. Penilaian kinerja birokrasi publik karenanya cenderung menjadi jauh lebih kompleks dan sulit dilakukan daripada di perusahaan bisnis. Aparat birokrasi seringkali meninggalkan tugas pelayanan dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk tugas-tugas lain di luar tugas pelayanan. Kondisi tersebut membuat

pelayanan kepada masyarakat menjadi terganggu. Masih seringnya aparat birokrasi meninggalkan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, erat kaitannya dengan adanya tugastugas tambahan yang dibebankan oleh pimpinan kepada aparat pada tingkat bawah yang menjalankan tugas pelayanan langsung kepada masyarakat. Hal tersebut sangat sering menimpa aparat birokrasi di tingkat desa, kelurahan, atau kecamatan yang merupakan tingkatan pemerintahan terendah yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Aparat pelayanan seringkali diperintahkan oleh pimpinan kantor desa atau kecamatan untuk menghadiri kegiatankegiatan kemasyarakatan, scperti mewakili camat atau lurah melayat warga yang meninggal dunia, ikut serta dalam kegiatan posyandu, safari KB, pertemuan RW, atau pertemuan rapat warga lainnya, yang dilakukan pada saat jam pelayanan. Kondisi pelayanan yang ideal di atas dalam realitasnya sangat sulit untuk diwujudkan dalam birokrasi. Ketidakjelasan pembagian wewenang, inkonsistensi pembagian kerja, serta sikap pimpinan kantor yang sewenang-wenang memberikan tugas kepada aparat bawahan tanpa memperhitungkan aspek sifat pekerjaan, urgensi pekerjaan, dan dampak pemberian tugas terhadap kualitas pemberian pelayanan kepada masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan beberapa fakta penyebab sulitnya aparat birokrasi berkonsentrasi secara penuh pada tugas-tugas pelayanan masyarakat. Penugasan aparat untuk dinas luar oleh pihak pimpinan kantor pada saat jam pelayanan masih seringkali ditemukan di beberapa kantor pelayanan baik di lingkungan kantor pelayanan desa, kecamatan, kantor pertanahan maupun kantor pelayanan perizinan. Kegiatan dinas luar yang seringkali dilakukan oleh aparat birokrasi adalah melakukan kegiatan peninjauan suatu kegiatan atau membantu pekerjaan dan seksi lainnya. Banyak ditemukan aparat pelayanan yang membantu tugas-tugas dari seksi atau bagian lainnya sehingga tugas pokoknya menjadi terbengkalai, seperti seorang kepala seksi pelayanan harus ikut dalam kegiatan penataan arsip, mengurusi surat menyurat, menjaga dan menerima telepon kantor, atau bahkan penyelenggaraan pasar murah atau sekaten. Tugas-tugas tersebut belum termasuk tugas-tugas untuk kepentingan pribadi yang diberikan oleh pimpinan, seperti mengerjakan tugas-tugas kantor yang seharusnya menjadi bagian tugas pimpinan, menemani tamu kantor atau tamu pimpinan, menyampaikan suatu surat pembenitahuan ke kantor-kantor kelurahan, atau mewakili camat keliling kecamatan untuk memantau dan melakukan pembinaan kepada masyarakat. Pada akhirnya ketidakberadaan

petugas pelayanan menyebabkan pemberian pelayanan terhadap pengguna jasa menjadi lambat sehingga kinerja pelayanan publik menjadi buruk. Alasan yang seringkali dikemukakan oleh pimpinan kantor untuk menugaskan aparat pelayanan mengerjakan tugas lain pada saat-saat jam pelayanan adalah karena terbatasnya jumlah personil aparat pelayanan. Para pimpinan kantor, sebagaimana yang seringkali diungkapkan oleh para aparat, seringkali menggunakan alasan pokoknya siapa saja aparat yang dianggap memiliki waktu luang, maka akan ditugaskan untuk dinas luar. Manajemen pembagian tugas dan sebagian besar pimpinan birokrasi yang belum mencerminkan gaya seorang manajer tersebut menjadikan pola pembagian tugas dalam birokrasi antara urusan adimnistratif, tugas pimpinan, dan tugas pelayanan menjadi bercampur. Pimpinan birokrasi seningKali belwn dapat membedakan antara tugas pnibadi pimpinan, tugas pimpinan kantor yang tidak dapat diwakilkan kepada bawahan, dan tugas pelayanan masyarakat dan aparat pelayanan sehingga seningkali menyebabkan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat cenderung dapat dikalahkan oleh kepentingan pribadi pimpinan atau tugas-tuas pimpinan lainnya. Kecenderungan aparat birokrasi untuk menerima pemberian uang dan masyarakat pengguna jasa tersebut disebabkan masih adanva budaya upeti dalam sistem pelayanan publik di Indonesia. Budaya pelayanan yang dikembangkan semenjak masa birokrasi keraiaan tersebut pada dasarnya menempatkan aparat birokrasi sebagai pihak yang harus dilayani oleh masyarakat, pelayanan yang hams dilakukan oleh masyarakat tersebut ialah dalam rangka memperoleh patron di dalam birokrasi yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk membangun akses ke birokrasi. Mekanisme pemberian hiaya ekstra dalam praktik pelayanan birokrasi sesungguhnya memperlihatkan berbagai faktor yang sangat kompleks, seperti menyangkut masalah kultur psikologis, sistem pelayanan, mekanisme pengawasan, serta mentalitas aparat maupun pengguna jasa sendiri. Praktik pelayanan dengan membenikan uang ekstra kepada apara birokrasi tersebut telah menjadi suatu kebiasaan umum di lingkunga birokrasi. Aparat birokrasi xnenjadi terbiasa dalam budaya pelayana yang mengharapkan adanya pemberian uang dan masyarakat. Apabila dalam memberikan pelayanan pengguna jasa tidak memberikan imbalan dalam bentuk uang ekstra tersebut, biasanya aparat dalarn bckcrja terkesan ogah-ogahan atau seenaknya sendiri. Sebaliknya, semakin besar jmbalan yang diberikan masyarakat pengguna jasa akan semakin

memacu motivasi keqa aparat dalam melayani masyarakat pengguna jasa tersebut. Selain ditinjau dan segi biaya, efisensi pelayanan publik juga ditinjau dan scgi waktu pelayanan. Keluhan yang dialami oleh pengguna jasa menyangkut waktu pelayanan adalah ketidakjelasan waktu pelayanan. Sebenarnya banyak pengguna jasa yang tidak berkeberatan untuk membayar mahal kalau jelas perinciannya untuk keperluan apa, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Akan tetapi, waktu yang diperlukan untuk mengurus pelayanan publik sangat tidak jelas. Urusan yang sama sangat mungkin membutuhkan biaya dan waktu yang jauh berbeda. Menurut petugas pelayanan, lamanya pemberian pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa disebabkan adanya kendala internal dan eksternal. Kendala iiLternal meliputi pealatan pendukung yang tidak memadai, kualitas SDM rendah, dan koordinasi antarunit. Selain itu, faktor kualitas sumber daya manusia yang relatif rendah semakin menghambat pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kualitas SDM yang rendah tersebut ditandai dengan ketidakmampuan petugas memberikan solusi kepada customer atau yang lebih dikenal dengan melakukan tindakan diskresi. Faktor rendahnya pendidikan para petugas pelayanan mempengaruhi peinikiran mereka bahwa semua keputusan harus berasal dan atasan dan harus berpegang teguh kepada juklak/juknis sehingga ketika seorang pengguna jasa memerlukan pelayanan yang cepat, aparat tidak mampu mcmenuhinya karena harus menunggu instruksi atasan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan pelayanan publik menjadi memerlukan waktu pelayanan yang relatif lebih lama.

10

BAB III PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Kinerja Pelayanan Publik menghasilkan kesimpulan mengenai rndahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Pada hakikatnya, pelayanan publik dirancang dan

diselenggarakan antuk memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna jasa. Namun, persepsi antara masyarakat penggun jasa dan aparat birokrasi mengenai kualitas pelayanan publik yang efisien, transparan, pasti dan adil belum berhasil diwujudkan. Sebagai penyelenggara pelayanan publik, birokrasi pemerintah gagal dalam merespons dinamika politik dan ekonomi sehingga pelayanan publik cenderung menjadi tidak efisien dan tidak responsif. Bahkan, berbagai bentuk patologi birokrasi telah berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akibatnya, muncul banyak praktik KKN dalam penyelenggaraan pelayanan yang amat merugikan masyarakat pengguna jasa. Kinerja pelayanan publik yang buruk ini adalah hasil dan kompleksitas permasalahan yang ada di tubuh birokrasi Indonesia. Kinerja birokrasi sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi, seperti dimensi akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas, maupun responsibiltas. Berbagai literatur yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki kesamaan substansial yakni untuk meihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan. Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dan berbagai indikator yang sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya. 3.2. KRITIK DAN SARAN Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

11

DAFTAR PUSATAKA

Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

Direktorat Aparatur Negara, Bappenas, 2004, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta.

Suprijadi, Anwar 2004. Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur Dalam Pelayanan Publik, Disampaikan pada Peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XIII Kls.A dan B, Tanggal 19 Juli 2004. di Jakarta. Suhadi Mukhlis, 2005 Bahan Ajar Teori Organisasi Publik dan Organisasi Manajemen Pemerintahan, Tanjung Pinang.

12

You might also like