You are on page 1of 24

Jumat kemarin 16 Maret 2012, kembali Saya mendapatkan sebuah buku dari program freebook toko buku Leksika

di Kalibata City. Buku ini berjudul HYPNOPARENTING yang ditulis oleh Dr. Dewi Yogo Pratomo, MHt yang diterbitkan oleh Qanita (PT. Mizan Publika). Buku ini diantaranya membahas tentang Hypnoparenting, mendidik anak dengan cinta kasih, bagaimana Hypnoparenting bekerja, aturan dasar Hypnoparenting dan menerapkan Hypnoparenting di rumah. Seperti yang dituliskan dalam buku ini, salah satu manfaat hypnosis adalah seseorang dapat berkomunikasi dan menasihati seseorang dengan menggunakan sugesti alam bawah sadar manusia. Caranya adalah dengan menggiring orang tersebut agar mampu masuk ke gelombang alpha sehingga dia merasa tenang dan nyaman, lalu mengantuk. Kemudian menuju ke gelombang theta dan pada akhirnya disugesti positif. Saat itu, RAS (Rectingular Acivating System) terbuka dan mampu menyerap sugesti . Saat seseorang dalam kondisi tersadar, sebetulnya ia ada dalam gelombang betha. Saat itu, kelemahan utamanya adalah memiliki resistensi yang tinggi sehingga sulit untuk menerima nasihat, apalagi sugesti. Dalam proses hypnosis, ada yang dinamakan alligators brain yang sedang dijinakkan. Dalam ilmu epistomologi sosiologis antropologis, dikatakan bahwa setiap manusia melakukan sesuatu karena adanya dorongan yang dinamakan primitive instinct. Hal inilah yang menjelaskan alasan manusia melakukan hal-hal negatif, buruk, destruktif, bahkan kontraproduktif. Primitive instinct juga diistilahkan sebagai alligators brain. Dianalogikan dengan alligator karena alligator adalah sejenis buaya yang digambarkan sebagai hewan derivative purba paling jahat yang tersisa di muka bumi ini. Alligators brain yang terdapat pada anak, seperti membantah, malas, berbohong, mencuri, menjahati adik, memukul, hipersensitif, hiperaktif, dlsb dapat dijinakkan dengan metode hypnosis yang dikenal dengan metode Hypnoparenting. Berdasarkan penelitian, jinak atau tidaknya alligators brain pada anak dapat diketahui sejak dia berusia 3 tahun secara fisiologis, yaitu dengan melihat amigdala yang dimiliki anak. Amigdala adalah bagian otak berupa sekelompok saraf yang berbentuk seperti kacang almond. Bagian ini berperan melakukan pengolahan dan ingatan terhadap reaksi emosi. Ukuran amigdala yang kecil atau tidak normal berpengaruh pada ketidakpekaan sosial seseorang dan hal itu dapat menjurus kepada kriminalitas. Jika tidak ditangani dengan benar akan menciptakan monster besar yang di dalam ilmu kejiwaan dinamakan dengan gangguan kepribadian atau lazim disebut Psikopat. Waktu yang tepat untuk memberikan sugesti positif pada anak diantaranya adalah saat mengajak anak berdoa/beribadah, saat anak bermain, sambil menggambar, sesaat sebelum tidur, sesaat sebelum bangun tidur, saat anak makan, saat mendiamkan anak menangis, saat menggendong dalam bentuk buaian, melalui nyanyian, melalui dongeng, saat belajar, dlsb. Ketika anak sedang fokus terhadap sesuatu, ia lebih mudah menerima sugesti dari luar. Mengucapkan sugesti dengan suara yang lembut dan nada yang rendah akan memudahkan proses hypnosis lebih efektif. Salah satu contoh menerapkan Hypnoparenting yang dibahas dalam buku ini adalah pada anak usia 1-3 tahun yang tidak suka makan sayur. Anak kecil tidak benci makan sayur, akan tetapi mereka apriori warna hijau tidak enak. Penyebabnya bisa berbagai hal, antara lain fakta orangtuanya tidak suka makan sayur, orangtua memasak sayur terlalu matang sehingga pahit,

atau penyajian sayur di meja makan ditaruh begitu saja di dalam mangkuk sehingga tidak menarik perhatian anak yang melihatnya. Kuncinya adalah jangan berikan penyedap dalam makanan dan sajikan sayur yang berwarnawarni. Jika anak terlanjur sudah tidak menyukai sayur, coba lumatkan sayur hingga kecil dan selipkan pada makanannya. Sebagai orangtua harus kreatif dalam menyajikan jenis, bentuk dan warna makanan. Saat anak menjelang tidur, ajak dia bercerita mengenai figur-figur sayuran. Gunakan buku bergambar sayuran yang menarik. Saat akan tertidur, berikan ia sugesti Anak Mama sayang, kamu akan lebih pintar jika memakan semua makanan yang Mama masak. Warnanya hijau, merah dan oranye. Ceritakan hal-hal yang lucu, tetapi berkesan untuk anakanak. Misalnya, kelinci suka makan wortel sehingga matanya bagus, buktinya tidak ada kelinci yang memakai kacamata. Hypnoparenting tidak selalu dilakukan dalam kondisi mata anak tertutup. Hal ini bisa dilakukan saat makan, bermain, menggambar, menyanyi, sehingga sugesti mengenai sayuran tertangkap jelas oleh imajinasi anak yang membentuk pemahaman positif terhadap sayuran dalam alam bawah sadarnya. Dan beberapa contoh Hypnoparenting lainnya yang juga dibahas cukup menarik dibuku ini. Selain itu dalam buku ini juga membahas contoh beberapa kasus yang berhubungan dengan pola asuh keluarga, yang berhasil ditangani dengan hipnoterapi.

_______________________________ Peran orangtua dalam Hypnoparenting sangatlah penting untuk menanamkan konsep diri positif pada anak. Terlepas dari orangtua yang memahami atau tidak metode Hypnoparenting ini, mereka secara tidak sadar telah menanamkan sugesti kepada anak-anak dalam kehidupan seharihari. Maka konsep diri positif atau negatif yang tertanam dalam kepribadian anak, sepenuhnya berawal dari bagaimana orangtua melukis anak-anaknya. Dalam teori Tabularasa, otak anak diibaratkan secarik kertas putih. Begitu orangtua membentak, memukul, menendang, atau menyumpahi, otak anak akan secara otomatis, tanpa proses penyaringan, merekam semua yang dia lihat, dengar dan rasa. Jika kertas surat diisi dengan kata-kata cinta, jadilah kertas tersebut sebuah surat cinta yang indah. Jika kertas gambar diberi warna-warni, jadilah kertas itu sebuah lukisan yang menawan. Sebaliknya jika kertas putih diremas, dicelupkan dalam air kotor, dan disobek-sobek, kertas tersebut akan menjadi sampah kotor yang tidak berguna.

Aku adalah secarik kertas Aku putih Aku hitam Aku biru Aku merah Aku hijau Aku oranye Aku berganti warna Hanya bagaimana kau mewarnaiku Aku membentuk diri sebagaimana Aku merekammu Kau keras, Aku mampu lebih keras melebihimu Kau memaki, Aku menyumpahi Kau diam menggeram, Aku semakin tidak peduli Kau berteriak, Aku meruntuhkan kesabaranmu untuk menahan kepalan Kau memukul, Aku berkelahi dengan orang lain Kau menghina, Aku menghujat orang lain Kau menderas amarah, Aku tumbuh menjadi pribadi pemarah yang menimbun kebencian Kau menanam dendam, Aku mendewasa dengan tangan besi Aku sebagaimana kau berperan dihadapanku Itukah yang kau inginkan Aku menjadi ? Kau berkasih sayang, Aku mengaplikasikannya menjadi karakterku yang pendamai nan penyayang Kau lembut menasihati dengan cinta, Aku mendengarmu tidak hanya dengan telinga namun menelusup masuk ke hati kemudian Aku meneruskannya dalam lingkaran kehidupanku

Kau menjadi role model kebaikan dalam keluarga, Aku mengagumimu sepenuh hati sehingga Aku akan mendengar apapun yang kau katakan Kau menanamkan kecintaan pada hewan, alam dan segala penciptaanNya yang sempurna, Aku tumbuh menjadi pribadi yang simpati , empati, dan hospitality terhadap semua makhlukNya Kau mengenalkanku pada Tuhan sejak dini, Aku membentuk diri menjadi pribadi taat yang selalu merasa diperhatikan Tuhan Inginkah Kau, Aku menjadi cerminan kebaikanmu ? Demi kebaikan yang akan tersemai, menitipkan tongkat estafet sejauh generasi bertumbuh Aku ingin menjadi bagian pembangun kehidupan yang lebih baik Aku ingin menjadi pribadi baik yang menyusuri kehidupan dengan kebaikan yang terjejak sejauh kaki melangkah Aku akan menjadi refleksi kebaikanmu Bentuklah Aku bunda Tuntunlah Aku ayahanda

Pengertian Pola Asuh Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara orang tua memberikan peraturan kepada anak, cara memberikan hadiah dan hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan cara orang tua memberikan perhatian atau tanggapan terhadap keinginan anak. Dengan demikian yang disebut dengan pola asuh orang tua adalah bagaimana cara mendidik orang tua terhadap anak, baik secara langsung maupun tidak langsung.1[1] Sedangkan cara mendidik secara langsung artinya bentuk-bentuk asuhan orang tua yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian, kecerdasan dan keterampilan yang dilakukan dengan sengaja baik berupa perintah, larangan, hukuman, penciptaan situasi maupun pemberian hadiah sebagai alat pendidikan. Dalam situasi seperti ini yang diharapkan muncul dari anak adalah efek-instruksional yakni respon-respon anak terhadap aktivitas pendidikan itu. Pendidikan secara tidak langsung adalah berupa contoh kehidupan sehari-hari baik tutur kata sampai kepada adat kebiasaan dan pola hidup, hubungan antara orang tua dengan keluarga, masyarakat, hubungan suami istri. Semua ini secara tidak sengaja telah membentuk situasi di mana anak selalu bercermin terhadap kehidupan sehari-hari dari orang tuanya.2[2] 2. Macam-macam Pola Asuh Untuk mewujudkan kepribadian anak, menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, sehingga perkembangan keagamaannya baik, kepribadian kuat dan mandiri, berperilaku ihsan, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal, maka ada berbagai cara dalam pola asuh yang dilakukan oleh orang tua menurut Hurluck sebagaimana dikutip Chabib Thoha, yaitu:3[3] a. Pola Asuh Otoriter Pola asuh ototriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang

1[1] Chabib Thoha, Kapita Seleksi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), hlm. 110. 2[2] Ibid. 3[3]Ibid., hlm. 110.

tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-cerita, bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua malah menganggap bahwa semua sikapnya yang dilakukan itu dianggap sudah benar sehingga tidak perlu anak dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang menyangkut permasalahan anak-anaknya. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga ditandai dengan hukuman-hukuman tersebut sifatnya hukuman badan dan anak juga diatur yang membatasi perilakunya. Perbedaan seperti sangat ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan sampai anak tersebut menginjak dewasa. Kewajiban orang tua adalah menolong anak dalam memenuhi kebutuhan hidup anakanaknya, akan tetapi tidak boleh berlebih-lebihan dalam menolong sehingga anak tidak kehilangan kemampuan untuk berdiri sendiri di masa yang akan datang.4[4] Orang tua yang suka mencampuri urusan anak sampai masalah-masalah kecil misalnya jam istirahat atau jam tidur, macam atau jenis bahkan jurusan sekolah yang harus dimasuki, dengan demikian sampai menginjak dewasa kemungkinan besar nanti mempunyai sifat-sifat yang ragu-ragu dan lemah kepribadian serta tidak mampu mengambil keputusan tentang apa pun yang dihadapi dalam kehidupannya, sehingga akan menggantungkan orang lain. b. Pola Asuh Demokratis Demokrasi merupakan proses dan mekanisme sosial yang dinilai akan lebih mendatangkan kebaikan bersama bagi orang banyak.5[5] Sedangkan bila dikaitkan dengan istilah pemimpin, maka pemimpin demokratis adalah pemimpin yang memberikan penghargaan dan kritik secara objek dan positif. Dengan tindakan-tindakan demikian, pemimpin demokratis itu berpartisipasi ikut serta dengan kegiatan-kegiatan kelompok. Ia bertindak sebagai seorang kawan yang lebih berpengalaman dan turut serta dalam interaksi kelompok dengan peranan sebagai kawan.6[6] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta

4[4] Chabib Thoha, op. cit., hlm. 111. 5[5] Said Aqiel Siradj, et. al., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 166. 6[6] Geurngan W.A., Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Eresco, 1996), hlm. 132-133.

perlakuan yang sama bagi semua warga negara.7[7] Dengan demikian pola asuh demokratis paling tidak mencerminkan pola asuh yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi, antara lain kebebasan, maksudnya memberikan kebebasan kepada anak dalam hal yang bersifat positif. Sementara itu bentuk pola asuh demokratik berdasarkan teori convergence yaitu bahwa perkembangan manusia itu bergantung pada faktor dari dalam dan luar, maksudnya bahwa pendidikan dalam hal ini mengasuh itu bersifat maha kuasa dan mengasuh juga tidak dapat bersifat tidak berkuasa.8[8] Oleh sebab itu mengasuh anak harus seimbang, yaitu tidak boleh membiarkan dan memberi kebebasan sebebas-bebasnya dan juga jangan terlalu menguasai anak, tetapi mengasuh harus bersikap membimbing ke arah perkembangan anak. Oleh karena itu yang dimaksud dengan pola asuh demokratis adalah pola asuh orang tua yang ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggungjawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.9[9] Oleh karena itu dalam keluarga orang tua dalam hal ini pengasuh harus merealisasikan peranan atau tanggung jawab dalam mendidik sekaligus mengasuh anak didik/anak asuhnya. Pola asuh demokratis ini merupaka kajian penulis dalam rangka mencari hubungan antara pola asuh demokratis dengan perkembangan keberagamaan anak. Adapun indikator-indikator pola asuh demokratis diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Kedisiplinan Dalam kehidupan sehari-hari, disiplin sering dikaitkan dengan hukuman, dalam arti displin diperlukan untuk menghindari terjadinya hukuman karena adanya pelanggaran terhadap suatu peraturan tertentu. Dalam pengertian yang lebih luas, disiplin mengandung arti sebagai
7[7] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 31. 8[8] Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1982), hlm. 2. 9[9] Chabib Thoha, op.cit., hlm. 111.

suatu sikap menghormati, menghargai, dan mentaati segala peraturan dan ketentuan yang berlaku.10[10] Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban.11[11] Disiplin akan membuat seseorang tahu dan dapat membedakan hal-hal apa yang seharusnya dilakukan, yang wajib dilakukan, yang boleh dilakukan, yang tak sepatutnya dilakukan (karena merupakan hal-hal yang dilarang). Kata disiplin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib (di sekolah atau kemiliteran), dan dapat pula berarti ketaatan pada aturan dan tata tertib.12[12] Dalam praktik sehari-hari dispilin biasanya dijumpai pada anggota militer, para siswa sekolah, para karyawan Instansi Pemerintah dan Swasta dan lain sebagainya. Hati merasa senang dan gembira melihat segala sesuatu yang dilakukan secara disiplin dan tertib. Keinginan untuk menegakkan disiplin adalah sejalan dengan fitrah manusia.13[13] Sedangkan pengertian disipilin menurut J.B. Syke dalam buku The Concise Oxford Dictionary of Current English, mendefinisikan sebagai berikut: Branch of instruction or learning, mental and moral training adversity as effecting this system of rules for conduct, behaviour according to astablished.14[14] Bagian dari pengajaran atau pembelajaran, latihan mental dan moral sebagai akibat sistem pranata untuk mengarahkan perilaku sesuai dengan yang ditetapkan.

10[10] Mohamd Surya, Bina Keluarga, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003), hlm. 131. 11[11] D. Soemarno, Pedoman Pelaksanaan Disiplin Nasional dan Teta Tertib Sekolah 1998, (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi, 1998), hlm. 20. 12[12] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), cet. 12, hal. 254. 13[13] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawy), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 248. 14[14] JB. Syke, The Consise Oxford Dictionary of Current, (Oxford: Oxford University Press, tt.), hlm. 293.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah upaya mengarahkan dan mengendalikan diri, yang berarti suatu usaha untuk mengarahkan dan mengendalikan diri kepada kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan yang ada. Disiplin sangat perlu ditanamkan pada anak, sebab disiplin adalah pendidikan untuk mengajarkan pengendalian diri, dengan peraturan, contoh dan teladan yang baik. Dalam proses penanaman kedisiplinan orang tua juga harus membina hubungan baik dengan anak-anak, agar kedisiplinan yang diajarkan oleh orang tua benar-benar diterima dan dilaksanakan oleh anak. Mengingat anak itu butuh dihargai, diakui keberadaannya dan sebagainya. Untuk menjadikan kedisiplinan itu efektif, harus memenuhi tiga kriteria, yaitu: a. Menghasilkan atau menimbulkan suatu keinginan perubahan atau pertumbuhan pada anak

b. Memelihara harga diri anak c. Memelihara hubungan yang rapat (erat) antara orang tua dengan anak.15[15] Dalam proses penanaman kedisiplinan ini orang tua juga harus bersikap dan bertindak dengan tegas dengan maksud agar ajaran yang diberikan dapat diterima dan difahami oleh anak, sehingga tujuan disiplin tercapai. Adapun tujuan disiplin menurut Ellen G. White yang dikutip oleh Ny. Kholilah Marhijanto mengatakan bahwa tujuan disiplin adalah mendidik anak untuk mengatur sendiri.16[16] Dalam hal ini anak harus diajar percaya pada diri sendiri, mengendalikan diri dan tidak tergantung pada orang lain. Di samping itu, disiplin juga bertujuan untuk menolong anak memperoleh keseimbangan antar kebutuhan untuk berdikari dan penghargaan terhadap hak-hak orang lain.17[17] Dengan ditanamkannya disiplin mungkin, diharapkan menambah kematangan dalam bertindak dan bertingkah laku, sehingga tidak akan terjadi kekacauan yang diakibatkan oleh adanya perebutan hak dan kekuasaan. Hal ini penting yang juga harus diingat dalam menerapkan

15[15] Charles Schaefar, Bagaimana Mendidik Anak Dan Mendisplinkan Anak, (Medan: IKIP Medan, 1979), hlm. 10. 16[16] Khalilah Marhijanto, Menciptakan Keluarga Sakinah, (Gresik: Bintang Pelajar, tt.), hlm. 144. 17[17] Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-dasar Pelaksanaannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 1985), hlm. 205.

kedisiplinan adalah adanya ketegasan dan ketetapan. Artinya kedisiplinan itu diberlakukan secara kontinu, bukannya hari ini disiplin besok sudah lain lagi. Tujuan jangka panjang dari disiplin adalah perkembangan dari pengendalian diri sendiri dan pengarahan diri sendiri, (self-controle and self-direction), yaitu dalam hal mana anak-anak dapat mengarahkan diri sendiri tanpa pengaruh atau pengendalian dari luar. Pengendalian diri berarti menguasai tingkah laku diri sendiri dengan berpedoman norma-norma yang jelas, standarstandar dan aturan-aturan yang sudah menjadi milik diri sendiri. Oleh karena itu orang tua haruslah secara kontinu atau terus menerus berusaha untuk makin memainkan peranan yang makin kecil dari pekerjaan pendisiplinan itu, dengan secara bertahap mengembangkan pengendalian diri sendiri dan pengarahan diri sendiri itu pada anak.18[18] Sedangkan cara terbaik untuk membantu anak belajar disiplin diri adalah dengan membiarkan dia bertanggungjawab di setiap bidang dalam hidupnya, bahkan ketika dia memilih untuk tidak melakukannya.19[19] Jadi, disiplin yang kita tuntut dari anak-anak tidak boleh hanya dilihat sebagai sarana pemaksaan yang diperlukan, bila sudah tidak ada jalan lain untuk mencegah perbuatan yang salah. Disiplin pada dirinya sendiri merupakan faktor pendidikan sui generis.20[20] Adapun peran kedisiplinan sedini mungkin penting, mengingat tanpa kedisiplinan tujuan pendidikan atau tujuan dari segala aktivitas yang dilakukan oleh orang tua sulit terwujud. Dalam hal ini sebagai orang tua harus menanamkan sikap disiplin sedini mungkin terhadap anaknya. 2) Kebersamaan Kebersamaan di sini maksudnya adalah kerjasama. Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerjasama tidak akan ada individu, keluarga, organisasi atau masyarakat. Tanpa kerjasama dan tanpa rasa kebersamaan keseimbangan hidup akan terancam punah.

18[18] Charles Schaefar, op. cit., hlm. 9. 19[19] Karin Ireland, 150 Ways to Help Your Child Succeed (terj.) Grace Styadi, 150 Cara Untuk Membantu Anak Meraih Sukses, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 164. 20[20]Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 31.

Dengan memiliki keahlian bekerjasama kita akan mudah mengungkapkan apa yang kita inginkan tanpa menyinggung orang lain. 3) Kegotong-royongan Islam mengajarkan kita untuk hidup dalam kegotong-royongan. Apabila sejak dini anak sudah ditanamkan sikap yang demikian itu, maka kelak akan terlatih dan bersikap hidup dalam penuh kegotong-royongan. Beban yang berat bisa terasa ringan jika dilakukan dengan gotong-royong, dan pada akhirnya kita tidak merasa berat dalam menjalani hidup ini. Demikianlah yang menjadi salah satu tugas orang tua, agar menanamkan sikap ini sebaik-baiknya kepada anak. c. Pola Asuh Laisses Fire Pola asuh ini adalah pola asuh dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya apa saja yang dikehendaki.21[21] Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan pada anaknya. Semua apa yang dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapat teguran. Arahan atau bimbingan.22[22]

21[21] Mansur, Pendidikan Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 356. 22[22] Secara etimologi (asal kata) kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata guidence yang berasal dari kata to guide yang mempunyai arti menunjukkan, membimbing dan menuntun atau membantu. Lihat dalam A. Hallen, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 3. Secara istilah pengertian bimbingan adalah sebagaimana pendapat Mohammad Surya yakni, suatu proses bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Mohammad Surya, Dasar-dasar Konseling Pendidikan: Konsep dan Teori, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1988), hlm. 12. Sedangkan menurut Charles dalam bukunya Essential of Educational Psychology, mengatakan: The guidance ponit of view in eduction today is characterized by its aim to assist each individual to make choices and decisions that are congruent with his abilities, interest and opportunities and consistent with accepted social values. Bimbingan adalah proses bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang, baik anak-anak, remaja maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Lihat Charles E. Skinner, Essentials of Educational Psychology, (Tokyo: Maruzen Company LTD., tt, ), hlm. 469.

Hal itu ternyata dapat diterapkan kepada orang dewasa yang sudah matang pemikirannya sehingga cara mendidik seperti itu tidak sesuai dengan jika diberikan kepada anak-anak. Apalagi bila diterapkan untuk pendidikan agama banyak hal yang harus disampaikan secara bijaksana. Oleh karena itu dalam keluarga orang tua dalam hal ini pengasuh harus merealisasikan peranan atau tanggung jawab dalam mendidik sekaligus mengasuh anak didik/anak asuhnya.

3. Jenis-jenis Metode Pengasuhan Anak Adapun kerangka metodologis pengasuhan pasca kelahiran anak sebagaimana tertuang dalam ajaran Islam adalah sebagai berikut: a. Pola asuh anak dengan keteladanan orang tua Dalam psikologi perkembangan anak diungkapkan bahwa metode teladan akan efektif untuk dipraktikkan dalam pengasuhan anak. Oleh karena itu pada saat tertentu orang tua harus menerapkan metode ini yang memberi teladan yang baik. Cara ini akan mudah diserap dan direkam oleh jiwa anak dan tentu akan dicontohnya kelak di kemudian hari. b. Pola asuh anak dengan pembiasaan Sebagaimana kita ketahui bahwa anak lahir memiliki potensi dasar (fitrah). Potensi dasar itu tentunya harus dikelola. Selanjutnya, fitrah tersebut akan berkembang baik di dalam lingkungan keluarga, manakala dilakukan usaha teratur dan terarah. Oleh karena itu pengasuhan anak melalui metode teladan harus dibarengi dengan metode pembiasaan. Sebab, dengan hanya memberi teladan yang baik saja tanpa diikuti oleh pembiasaan bejumlah cukup untuk menunjang keberhasilan upaya mengasuh anak. Keteladanan orang tua, dan dengan hanya meniru oleh anak, tanpa latihan, pembiasaan dan koreksi, biasanya tidak mencapai target tetap, tepat dan benar. Orang tua, karena ia dipandang sebagai teladan, maka ia harus selalu membiasakan berkata benar dalam setiap perkataannya baik terhadap anggota keluarganya atau siapapun dari anggota masyarakat lainnya. Dengan demikian Menurut Khairiyah sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, orang tua harus menjadi gambaran hidup yang mencerminkan hakikat perilaku yang diserukannya dan membiasakan anaknya agar berpegang teguh pada akhlak-akhlak mulia.23[23]

Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak,yaitu bagaimana cara sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak,termasuk cara penerapan aturan,mengajarkan nilai / norma,memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi anaknya (Theresia,2009) Pola Asuh menurut agama adalah cara memperlakukan anak sesuai dengan ajaran agama berartimemehami anak dari berbagai aspek,dan memahami anak dengan memberikan ola asuh yang baik ,menjaga anak dan harta anak yatim, menerima, mamberi perlindungan, pemeliharaan, perawatan dan kasih sayang sebaik baiknya (QS Al Baqoroh:220)

Dari beberapa pengertian maka yang dimaksud pola asuh dalam penelitian ini adalah cara orang tua bertndak sebagai suatu aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik secara individu atau bersama sama sebagai serangkaian usaha aktif untuk mengarahkan anaknya. Bentuk Pola Asuh Macam macam Pola Asuh Orang Tua Menurut Baumrind,(dikutip oleh Wawan Junaidi,2010), terdapat 4 macam pola asuh orang tua : (1). Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

(2). Pola asuh Otoriter

Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

(3). Pola asuh Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

(4). Pola asuh Penelantar

Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.

Dampak atau pengaruh pola asuh orang tua terhadap anak anak menurut Baumrind, (dikutip oleh Ira, 2006) adalah:

Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak - anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan koperatif terhadap orang-orang lain. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri dan kurang matang secara sosial. Pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, harga diri yang rendah, sering bolos dan bermasalah dengan teman.

Faktor faktor yang mempengaruhi pola asuh : Setiap orang mempunyai sejarah sendiri sendiri dan latar belakang yang seringkali sangat jauh berbeda. Perbedaan ini sangat memungkinkan terjadinya pola asuh yang berbeda terhadap anak. Menurut Maccoby & Mc loby ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu:

Sosial ekonomi Lingkungan sosial berkaitan dengan pola hubungan sosial atau pergaulan yang dibentuk oleh orang tua maupun anak dengan lingkungan sekitarnya. Anak yang sosial ekonaminya rendah cenderung tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan tidak pernah mengenal bangku pendidikan sama sekali karena terkendala oleh status ekonomi.

Pendidikan: Pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Latar belakang pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola pikir orang tua baik formal maupun non formal kemudian juga berpengaruh pada aspirasi atau harapan orang tua kepada anaknya. Nilai-nilai agama yang dianut orang tua: Nilai nilai agama juga menjadi salah satu hal yang penting yang ditanamkan orang tua pada anak dalam pengasuhan yang mereka lakukan sehingga lembaga keagamaan juga turut berperan didalamnya. Kepribadian: Dalam mengasuh anak orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak (Riyanto, 2002). Pendapat tersebut merujuk pada teori Humanistik yang menitikberatkan pendidikan bertumpu pada peserta didik, artinya anak perlu mendapat perhatian dalam membangun sistem pendidikan. Apabila anak telah menunjukkan gejalagejala yang kurang baik, berarti mereka sudah tidak menunjukkan niat belajar yang sesungguhnya. Kalau gejala ini dibiarkan terus akan menjadi masalah di dalam mencapai keberhasilan belajarnya. Jumlah anak: Jumlah anak yang dimiliki keluarga akan mempengaruhi pola asuh yang diterapkan orang tua. Semakin banyak jumlah anak dalam keluarga, maka ada kecenderungan bahwa orang tua tidak begitu menerapkan pola pengasuhan secara maksimal pada anak karena perhatian dan waktunya terbagi antara anak yang satu dengan anak yang lainnya, (Okta Sofia, 2009).

Pola Asuh Orang Tua Dalam Keluarga

Dalam kehidupan sehari-hari orang tua secara sadar atau tidak memberikan contoh yang kurang baik terhadap anaknya.misalnya meminta tolong dengan nada mengancam, tidak mau mendengarkan cerita anak tentang sesuatu hal, member nasihat tidak pada tempatnya dantidal pada waktu yang tepat, berbicara kasar pada anak,terlalu mementingkan diri sendiri, tidak mau mengakui kesalahan yang telah dilakukan.Beberapa contoh sikap dan perilaku diatas berdampak negative terhadap perkembangan jiwa anak.Sehingga efek negative yang terjadi adalah anak memiliki sikap keras hati,manja, keras kepala, pemalas, pemalu dam lain- lain.Semua perilaku diatas dipengaruhi oleh pola pendidikan orng tua .Pola asuh orang tua akan mempengaruhi perkembangan jiwa ana.Tipe kepemimpinan orang tua berdampak pada pol aasuh yamg terhadap anaknya,Disisi lain pola asuh orang tua bersifat demikkratis atau otoriter, atau bahkan pada sisis lain bersifat laissez faire atau tipe campuran antara demokratis dan otoriter, (Syaiful, 2004

Pola Perlakuan orang tua (1). Overprotection (terlalu melindungi) Perilaku Orang Tua:

Kontak berlebihan pada anak Pemberian bantuan yang terus menerus, meskipun anak sudah mampu sendiri

Pengawasan kegiatan anak yang berlebihan Memcahkan masalah anak

Profil Tingkahlaku Anak:


Perasaan tidak aman Agresif dan dengki Mudah merasa gugup Melarikan diri dari kenyataan Sangat tergantung Ingin menjdi pusat perhatian Bersikap menyerah Kurang mampu mengendalikan emosi Menolak tanggung jawab Suka bertengkar Sulit bergaul Pembuat onar (troubelmaker)

(2). Pola Perilaku Orangtua: Permissiveness (pembolehan) Perilaku Orangtua


Memberikan kebebasan untuk berfikir Menerima pendapat Membuat anak lebih diterima dan merasa kuat Toleran dan memahami kelemahan anak Cenderung lebih suka member yang diminta anak daripada menerima

Profil Tingkahlaku Anak


Pandai mencari jalan keluar Dapat bekerjasama Percaya diri Penuntut dan tidak sabaran

(3). Pola Perilaku Orangtua: Rejection (Penolakan) Perilaku Orangtua


Bersikap masa bodoh Bersikap kaku Kurang memperdulikan kesejahteraan anak

Menampilkan sikap permusuhan atau dominasi terhadap anak

Profil Tingkahlaku Anak


Agresif(mudah mara,gelisah, tidak patuh, suka bertengkar dan nakal) Submissive(kurang dapat mengerjakan tugas, pemalu suka mengasingkan diri, mudah tersinggung dan penakut) Sulit bergaul Pendiam Sadis

(4). Pola Perilaku Orangtua: Acceptance (penerimaan) Perilaku Orangtua


Memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus pada anak Menempatkan anak pada posisi yang penting di dalam rumah Mengebangkan hubungan yang hangat dengan anak Bersikap respek terhadap anak Mendorong anak untuk menyatakan perasaan atau pendapatnya Berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya

Profil Tingkahlaku Anak


Mau bekerjasama Bersahabat Loyal Emosinya stabil Ceria dan bersikap optimis Mau menerima tanggung jawab Jujur Dapat dipercaya Memiliki perencanaan baik di masa depan Bersikap realistic (memahami kelebihan dan kekurangan secara obyektif)

(5). Pola Perilaku Orangtua: Domination (dominasi) Perilaku Orangtua

Mendominasi Anak

Profil Tingkahlaku Anak


Bersikap sopan dan sangat hati-hati Pemalu, penurut, dan mudah bingung Tidak dapat bekerjasama

(6). Pola Perilaku Orangtua: . Submission (penyerahan) Perilaku Orangtua


Selalu memberi sesuatu yang diminta anak Membiarkan anak berperilaku semaunya sendiri

Profil Tingkahlaku Anak


Tidak patuh Tidak bertanggung jawab Agresif dan teledor Bersikap otoriter Terlalu percaya diri

(7). Pola Perilaku Orangtua: Punitiveness/Overdiscipline (terlalu disiplin) Perilaku Orangtua


Mudah memberikan hukuman Menanamkan kedisiplinan sangat keras

Profil Tingkahlaku Anak


Impulsif Tidak dapat mengambil keputusan Nakal Sikap bermusuhan atau gresif

Sumber: dari Syamsu Yusuf. 2009 dalam Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja

Dari ketujuh sikap atau perlakuan orangtua itu, tampak bahwa sikap . acceptance merupakan yang paling baik untuk dimiliki atau dikembangkan oleh orang tua (Syamsu, 2009) Dari penelitian yang dilakukan oleh Diana Baumrind mengemukakan dua hasil penelitian yaitu : (1) ada 4 gaya perlakuan orang tua yaitu: Authoritarian, permissive, authoritative, dan negalectfull. (2) dampak gaya perlakuan orang tua terhadap perilaku anak Pengaruh Parenting Style terhadap Perilaku Anak (1). Parenting Style: Authoritarian

Sikap atau Perilaku Orang Tua


Sikap acceptance rendah, namun kontrolnya tinggi. Suka menghukum secara fisik Bersikap mengomando (mengharuskan / memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi) Bersikap kaku (keras) Cenderung emosional dan bersikap menolak

Profil Tingkah Laku Anak


Mudah tersinggung Penakut Pemurung, tidak bahagia Mudah terpengaruh Mudah stres Tidak mempunyai arah masa depan Tidak bersahabat

(2). Parenting Style: Permisiveness

Sikap atau Perilaku Orang Tua


Sikap acceptancenya tingi, namun kontrolnya rendah Memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan / keinginannmya.

Profil Tingkah Laku Anak


Bersikap impulsif dan agresif Suka memberontak

Kurang memikliki rasa percaya diri dan pengendalian diri Suka mendominasi Tidak jelas arah hidupnya Prestasinya rendah

(3). Parenting Style: Authoritative

Sikap atau Perilaku Orang Tua


Sikap acceptance dan kontrolnya tinggi. Bersikap responsif terhadap kebutuhan anak Mendorong anak untuk menyatakan pendapat Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk

Profil Tingkah Laku Anak


Bersikap bersahabat Memiliki rasa percaya diri Mampu mengendalikan diri Bersikap sopan Mau bekerjasama Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi Mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas Berorientasi terhadap prestasi

Sumber: dari Syamsu Yusuf. 2009 dalam Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja

Anak Prasekolah Definisi Anak Prasekolah


Anak Prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun (Biechler dan Snowman,) Anak yang terkategori para sekolah adalah anak dengan usia 3-5 tahun, (Elizabeth B. Hurlock )mengatakan bahwa kurun usia pra sekolah disebut sebagai masa keemasan (the golden age).

Perkembangan Anak Prasekolah

Menurut Hurlock mengemukakan bahwa lima tahun pertama disebut dengan The Golden Years. Anak mengalami kecepatan kemajuan yang sangat cepat. Tidak hanya fisik tetapi

juga secara sosial dan emosional. Anak bukan seoarang bayi lagi melainkan seorang yang sedang dalam proses awal mencari jati dirinya. Anak sudah menjadi cikal bakal manusia dewasa. Anak sulit diatur dan mulai sadar bahwa dirinya juga manusia yang mandiri. Ciri ciri masa kanak kanak awal dapat diuraikan sebagai berikut:

Masa kanak kanak awal merupakan masa Preschool Age. Masa ini adalah masa anak sebelum anak masuk pendidikan formal (SD). Masa kanak kanak awal merupakan masa Pregang Age Masa ini anak belajar dasar dasar dari tingkah laku untuk mempersiapkan dirinya bagi kehidupan bersama. Masa kanak kanak awal merupakan masa Hunter Age Masa ini anak senang menyalidiki dan ingin tahu apa yang ada disekitarnya. Masa kanak kanak awal merupakan masa Problem Age Anak menunjukkan banyak problem tingkah laku yang harus diperhatikan oleh orang tua.

Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak


Beberapa peran keluarga dalam pengasuhan anak adalah sebagai berikut: Terjalinnya hubungan yang harmonis dalam keluarga melalui penerapan pola asuh islami sejak dini, yakni: Pengasuhan dan pemeliharaan anak dimulai sejak pra konsepsi pernikahan. Ada tuntunan bagi orangtua laki-laki maupun perempuan untuk memilih pasangan yang terbaik sesuai tuntunan agama dengan maksud bahwa orangtua yang baik kemungkinan besar akan mampu mengasuh anak dengan baik pula. Pengasuhan dan perawatan anak saat dalam kandungan, setelah lahir dan sampai masa dewasa dan seterusnya diberikan dengan memberikan kasih sayang sepenuhnya dan membimbing anak beragama menyembah Allah SWT. Memberikan pendidikan yang terbaik pada anak,terutam pendidikan agama. Orangtua yang salih adalah model terbaik untuk memberi pendidikan agama kepada anak-anak. Penanaman jiwa agam yang dimulai dari keluarga, semenjak anak masih kecil dengan cara membiasakan anak dengan tingkah laku yang baik. Dengan mencontoh keteladanan Rasulullah SAW adalah dengan menanamkan nilai-nilai akhlakul kharimah. Agama yang ditanamkan pada anak bukan hanya karena agama keturunan tetapi bagaimana anak mampu mencapai kesadaran pribadi untuk ber-Tuhan sehingga melaksanakan semua aturan agama

Kesabaran dan ketulusan hati. Sikap sabar dan ketulusan hati orangtua dapat mengantarkan kesuksesan anak. Begitu pula memupuk kesabaran anak sangat diperlukan sebagai upaya meningkatkan pengendalian diri. Kesabaran menjadi hal yang penting dalam hidup manusia sebab bila kesabaran tertanam dalam diri seseorang dengan baik

maka seseorang akan mampu mengendalikan diri dan berbuat yang terbaik untuk kehidupannya.

Secara psikologis dapat ditelusuri bahwa bila anak dilatih untuk memiliki sifat sabar dengan bekal agama yang dimiliki akan berimplikasi positif bagi kehidupan anak secara pribadi dan bagi orang lain/masyarakat secara luas, diantaranya: Mewujudkan keselehan sosial dan kesalehan individu yaitu dengan terwujudnya kualitas keimanan pada individu dan masyarakat yang bertaqwa, beriman dan beramal saleh. Seseorang yang memiliki kesalehan sosial yang tinggi memiliki empati, sosialisasi diri, kesetiakawanan, keramahan, mengendalikan amarah, kemandirian, sikap ketenangan dan teratur berfikir serta cermat bertindak. Sikap yang ditunjukkan akibat kesabaran diri akan membuat individu mudah bergaul, dengan rasa aman dan damai, tanpa kekerasan. Sikap tersebut akan mampu memupuk konsep diri seseorang. Dapat membina hubungan yang baik antar individu dan punya semangat persaudaraan. Saat seseorang dalam kesabaran akan bertumpu pada nilai ketaqwaan dan ketaatan pada Allah SWT. Seseorang yang berada dalam keimanan dan ketaqwaan sebagaimana janji Tuhan akan memiliki jiwa yang tenang. Dalam jiwa seorang yang tenang akan menstabilkan tekanan pada amygdale (system saraf emosi), sehingga emosi stabil. Dalam keadaan emosi yang stabil, seorang mudah mengedalikan diri dengan baik.

Orangtua wajib mengusahakan kebahagian bagi anak dan menerima keadaan anak apa adanya, mensyukuri nikmat yang diberikan Allah SWT , serta mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Orangtua perlu tahu bahwa anak memiliki potensi yang luar biasa dan kesuksesan seseorang bukan mutlak ditentukan oleh kecerdasan intelektual saja (hanya sekedar IQ tinggi) akan tetapi kecerdasan itu bersifat majemuk.

Menurut Gardner bahwa pada diri anak dikenal istilah multiple intellegensi/kecerdasan ganda, yaitu: Kecerdasan linguistik: meliputi kemampuan dalam hal mengarang, membaca maupun berkomunikasi verbal. Tipe kecerdasan ini banyak dikuasai oleh mereka yang berprofesi maupun orator. Kecerdasan logika-matematika. Jenis kecerdasan ini dapat membantu seseorang menemukan solusi persoalan yang melibatkan perhitungan angka. Kecerdasan visual-spasial. Tipe kecerdasan ini memudahkan seseorang untuk menemukan arah, menggunakan peta dan melihat objek dari berbagai sudut. Kecerdasan gerak tubuh/kinestesis. Pada tipe kecerdasan ini banyak dikuasai oleh olahragawan, penari,pemahat maupun dokter bedah. Kecerdasan musical. Tipe kecerdasn ini berkembang dengan sangat baik pada musisi, penyanyi dan composer.

Kecerdasan interpersonal. Tipe kecerdasn ini memudahkan seseorang untuk memahami dan bekerja dengan dirinya sendiri. Kecerdasan intrarpersonal. Tipe kecerdasan ini adalah adany kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan natural. Tipe kecerdasan ini adalah adanya kemampuan untuk bekerjasama dan menyelaraskan diri dengan alam. iKecerdasan spiritual dan kecerdasan eksistensial.

Mendisiplinkan anak dengan kasih sayang secara bersikap adil. Komunikatif dengan anak. Membicarakan hal yang ingin diketahui anak, dengan menjawab pertanyaan anak secara baik, misalkan; membicarakan pendidikan seks dan orangtua penting memberikan pendidikan seks sejak dini. Memahami anak dengan segala aktivtasnya, termasuk pergaulannya, (Rifa, 2009)

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmadi. 2003. Ilmu Pendidikan. Jakarta. PT Rineka Cipta. 2. Alimul, Hidayat. 2007. Metode Penelitian dan Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. 3. Arikunto. 2003. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: . PT Rineka Cipta. 4. Azwar, S. 2009. Metode penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar 5. Bahri.S. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua & Anak Dalam Keluarga. Jakarta. PT Rineka Cipta. 6. Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 7. Galihjoko, 2009. Pengaruh Tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak pada masyarakat. Dari Http: www.indoskripsi.com. Diakses tanggal 22 Maret 2010 8. Godam64. 2008. Jenis /Macam Tipe Pol Aasuh Orang Tua Pada Anak Dan Cara Mendidik/Mengasuh Anak Yang Baik. Dari Http:www.Organisasi.org komunitas dan perpustakaan online.Diakses taanggal 22 Maret 2010. 9. Junaidi, W. 2010. Macam-Macam Pola Asuh Orang Tua. Dari Http: www.blogspot.com. Diakses tanggal 22 Maret 2010 10. Latipun. 2005. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press. 11. Nasir. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. 12. Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 13. Ngalim. 2009. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 14. Nursalam. 2008. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan). . Jakarta: Salemba Medika. 15. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika 16. Patmonodewo,S. 2003. Pendidikan Anak Pra Sekolah. Jakarta. PT Rineka

Diposkan oleh dr. Suparyanto, M.Kes di 10:04

You might also like