You are on page 1of 24

PENDAHULUAN Berbagai faktor dapat memicu Dermatitis Atopik, antara lain allergen makanan, alergen hirup, berbagai bahan

iritan, dan stres. Tetapi, seberapa besar peran alergen makanan dan alergen hirup ini masih kontroversial. Meski pada pasien Dermatitis Atopik kerap dijumpai peningkatan IgE spesifik terhadap kedua jenis alergen ini, tetapi tidak selalu dijumpai korelasi dengan kondisi klinisnya. Hasil tes positif terhadap suatu alergen, tidak selalu menyatakan alergen tersebut sebagai pemicu Dermatitis Atopik, tetapi lebih menggambarkan bahwa pasien telah tersensitasi terhadapnya. Secara umum, alergen makanan lebih berperan pada Dermatitis Atopik usia dini. Seiring dengan 1 penambahan usia, maka peran alergen makanan akan digantikan oleh alergen hirup . Gejala dan tanda karena reaksi alergi pada anak dapat ditimbulkan oleh adanya alergen dari beberapa makanan tertentu yang dikonsumsi anak. Makanan itulah yang disebut sebagai alergen atau penyebab alergi makanan. Selama ini sering diketahui bahwa penyebab alergi pada manusia adalah debu. Masyarakat pada umumnya bahkan dikalangan sebagian klinisipun sekalipun jarang menyebutkan makanan sebagai penyebab alergi. Hal ini mungkin terjadi karena pada pemeriksaan alergi kulit (skin test) yang sering memberikan positif adalah debu. Karena pada test alergi makanan tidak dapat dideteksi dengan baik, karena yang mudah terdeteksi hanyalah reaksi cepat termasuk debu dan sebagian kecil makanan. Sebagian besar makanan lainnya yang mengakibatkan reaksi lambat pada organ tubuh manusia sering tidak dapat terdeteksi saat tes alergi. Sering tes alergi terhadap kacang tanah negatif tetapi saat makanan tersebut diberikan memperberat 4 gejala alergi .

Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan Dermatitis Atopik sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk 2 menentukan kepastiannya . DERMATITIS ATOPIK KARENA MAKANAN Berbagai faktor dapat memicu Dermatitis Aopik, antara lain allergen makanan, alergen hirup, berbagai bahan iritan, dan stres. Tetapi, seberapa besar peran alergen makanan dan alergen 1 hirup ini masih kontroversial . Pada anak, makanan dapat berperan dalam pathogenesis Dermatitis Atopik, tetapi tidak biasa terjadi pada penderita Dermatitis Atopik yang lebih tua. Makanan yang paling sering menyebabkan Dermatitis Atopik adalah telur, susu, gandum, kedele, dan kacang tanah. Reaksi yang terjadi pada penderita Dermatitis Atopik karena induksi allergen makanan dapat berupa dermatitis ekzematosa, urtikaria, kontak urtikaria, atau kelainan mukokutan yang lain. Hasil pemeriksaan laboratorium dari bayi dan anak-anak kecil dengan Dermatitis Atopik sedang atau berat, menunjukkkan reaksi positif terhadap tes kulit dadakan (immediate skin test ) dengan berbagai jenis makanan.reaksi positif ini diikuti kenaikan mencolok histamine dengan plasma dan aktivasi eosinofil. 3 Sel T spesifik untuk allergen makanan juga berhasil diklon dari lesi penderita Dermatitis Atopik . Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan ensim proteolitik. Sebagian besar alergen pada makanan adalah glikoprotein dan berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekul-molekul kecil lainnya juga dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik secara langsung

atau melalui mekanismehapten-carrier. Perlakuan fisik misalnya pemberian panas dan tekanan dapat 2 mengurangi imunogenisitas sampai derajat tertentu . Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit berupa urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa papula (bintik kecil seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-buahan menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga tergantung dengan organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun demikian ada beberapa pakar alergi 2 makanan yang berpendapat bahwa jenis makanan tidak spesifik menimbulkan gejala tertentu . Jenis makanan yang berkaitan dengan alergi MAKANAN TERSERING PENYEBAB ALERGI

IKAN LAUT (CUMI, UDANG, KEPITING, IKAN LAUT LAINNYA) COKLAT, KACANG TANAH, KACANG HIJAU, SUSU SAPI, KEJU, TELOR AYAM/PUYUH, BUAH-BUAHAN (TERUTAMA MELON, SEMANGKA, MANGGA, RAMBUTAN , NANAS, TOMAT, DURIAN, KORMA, DUKU, KELENGKENG DLL)

MAKANAN KADANG PENYEBAB ALERGI

AYAM, ITIK, IKAN LAUT SALMON/TUNA, ALKOHOL, DOMBA, KALKUN JERUK, PISANG, PEAR, APRIKOT, CRANBERRY, ANGGUR, PEACH, PIR PLUM JAGUNG, GULA, BERAS OAT, GANDUM BARLEY, UBI, SINGKONG, ASPARAGUS, SELADA, KEMBANG KOL, BAYAM, SQUASH, BROKOLI TEH, KOPI, MINYAK ZAITUN, SAFFLOWER

JENIS MAKANAN PENYEBAB ALERGI SESUAI USIA DAN PENYEBAB ANAFILAKSIS Jenus makanan Bayi/Balita Anak dan Anafilaksis Dewasa Susu (sapi/kambing) Telor ayam Kedelai Kacang tanah Kacang-Kacangan pohon ( semacam kenari, hazel/filbert, kacang mente, buah kenari hijau, Brazil, kenari) Gandum Ikan Ikan laut (shrimp, crab, lobster, oyster, scallops) Buah-buahan Sayur-sayuran Seeds ( kapas, wijen, psyllium, mustar;buah sawi) Spices

A. ETIOLOGI Makanan yang paling sering menyebabkan Dermatitis Atopik adalah telur, susu, gandum, kedele, dan kacang tanah. Berikut akan dijelaskan mengenai makanan yang sering menyebabkan alergi. 1. TELOR Telor termasuk salah satu bahan makanan yang dianggap sebagai penyebab alergi. Bila anak alergi terhadap telor ayam, maka kemungkinan terbesar juga akan bereaksi terhadap semua telor burung. Ovalbumin terdapat sekitar 65% dari total protein yang terkandung di dalam telor ayam. Zat tersebut merupakan bahan yang mempunyai tingkat alergenitas yang paling besar dari seluruh protein telor, seperti yang telah ditunjukkan oleh pemeriksaan radioallergosorbent test (RAST) dan pemeriksaan pelepasan histamine. Ovoalbumin relatif labil dalam pemanasan, tetapi beberapa penderita mengalami reaksi alergi bila mengkonsumsi telor yang dimasak. Komponen ovomucoid mungkin berpernan terhadap hal tersebut. Kuning telor relatif mempunyai potensi alergenik lebih 2 ringan dibandingkan putih telor . Tabel 3. Nama alternatif untuk produk yang mengandung telor

Albumin Binder Coagulant Egg white Egg yolk atau kuning Emulsifier

Globulin Lecithin Livetin Lysozyme Ovalbumin Ovoglobulin Ovamucin

Ovamucoid Ovotransferin Ovovitelin Silici Albuminate Simplesse Powdered egg Vitellin Whole egg

Tabel 4. makanan yang mungkin mengandung telor

Baked goods (dalam roti)

Marshmallows

Baking mixes Batters Bearnaise sauce Biscuit Bouillon Boiled frosting Breakfast cereal Cake flour Candys Cookies Creamy filling Custard Croquettes Egg noodles Eggnog French toast Hollandaise sauce Icecream Lemon curd

Meatloaf, Meatballs Meringues Muffins Mie (mi telor) Omelets Pancakes Roti Prosseced meat products : (meatloaf, meatballs,sausages, hotdog, sausage rolls) Pudding Salad dressing (creamy) Sherbets Shouffles Soups Spaggetti Sweets (fondant cream, truffles, marshmallow) Tartar sauces Turkish delight Waffles

Macaroni Macaroons Malted cocoa drinks (ovaltine, Ovomalt) Mayonnaise

Wines

2.

IKAN LAUT Ikan khususnya ikan laut atau sea food paling sering menyebabkan alergi makanan. Gejala yang ditimbulkannya berupa urtikaria, (gatal di kulit), angioedema, astma atau kombinasi dari beberpa kelainan tersebut. Alergi makanan karena ikan laut paling mudah terdeteksi (terdiagnosis), karena gejala yang ditimbulkan relatif cepat. Alergi makanan karena ikan laut termasuk reaksi alergi tipe cepat. Biasanya kurang dari 8 jam keluhan alergi sudah bisa dikenali. Jenis ikan laut yang sering mengakibatkan gangguan adalah jenis ikan laut yang kecil, seperti udang, cumi, kerang, kepiting dan sebagainya. Sedangkan ikan laut yang agak besar seperti salmon, tuna dan sebaginya relatif lebih ringan. Meskipun pada penderita alergi yang berat seringkali semua ikan laut menimbulkan gangguan alergi. Ikan paling lengkap secara khas sebagai penyebab alergi adalah ikan cod, mempunyai potensi alergenik tinggi dan mempunyai reaksi yang sama (cross reaction) dengan beberapa jenis ikan lainnya. Udang mengandung allergen yang sangat kuat, banyak kasus alergi berat (anafilaksis) 2. dilaporkan karena reaksi terhadap udang

IKAN Ikan

SHELLFISH

Minyak ikan Sauce Ikan Anchovies on pizza Caesar salad Worce stershire sauce Fish Sauce Fish roe, carviar Taramosalata Caesar salad Tapenade Asian Dishes Pet foods Urimi

Asian dishes Shrimp paste Prwans, shrims Crabs Lobster, crayfish, yabby Moreton bay bugs Pet foods Mussels, clams, oysters Tiram Scallop Ikan cumi-cumi

Glues Omega 3 fortified foods Fish collagen Isinglass Food additive 631 Disodium inosinate Flavour enhancer dari ikan atau daging Any deep fried food BBQ (kontaminasi dengan grill)

3.

KACANG-KACANGAN Kacang-kacangan dikenal sebagai bahan makanan yang potensial untuk mengakibatkan reaksi alergi ayang berat bahkan bisa mengancam jiwa. Bahan makanan ini sangat satbil pada suhu tinggi, bahkan sampai suhu masak 145 C selama 1 jam bahan alerginya masih kuat. Minyak kacang mengandung hanya lemak kacang dan protein kacang yang terhidrolisa menunjukkan sedikit atau tidak ada aktifitas alergeniknya. Anak yang mempunya alergi susu sapi ternyata 30-4-% kemungkinan bisa terjadi alergi kacang kedelai. Bahkan kadang kedelai juga merupakan bahan makanan yang mempunyai allergen kuat dalam menimbulkan reaksi alergi berat (anafilaksis). Bila seorang anak didiagnosis alergi terhadap kacang-kacangan, terdapat kecenderungan alergi tersebut hingga dewasa. Berbeda dengan alergi terhadap ayam, telor, susu sapi atau beberapa jenis ikan misalnya, 2 dalam usia tertentu anak dapat mengkonsumsinya . Gangguan yang sering terjadi karena mengkonsumsi kacang pada penderita alergi adalah : sensitif pada kulit, dermatitis, furunkel (bisul), sariawan, nyeri gigi, pilek dan nyeri perut. Berikut ini beberapa jenis makanan yang termasuk dalam kacang-kacangan, yang harus diwaspadai bila anak 2 dinyatakan alergi terhadap kacang . KACANG Almonds BAHAN MAKANAN BAHAN YANG DAPAT TERKANDUNG KACANG MENGANDUNG KACANG Nut butters Ammarreto

Acorns Beer nuts Butternuts Brazilnuts Cashews Chestnut Filberts Granduya Groundnuts Hazelnuts Hickory nuts

Nut oil Nut paste

CROSS REACTION :
PEANUT

Peanut butter Peanut flour Peanut syrup Peanut butter chips Peanut brittle Loramine wax Peanutamide
SESAME :

Sesame oil Tahini Halva Roti dan makanan Indian Chinees food Geek food Vegetarian food

Asian sauces Asian food Baked goods Biscuit Baking mixed Baterred foods BBQ foods Cereal Chocolate bars Crackers Crusts Curries dan powders Dessert topping Egg rolls Emulsifier Frangelico Hidrolized Vegetable protein Hidrolizes plant protein Health bars Health foods Ice cream Lecithin Frozen dessert Margarine Marzipane Meat substitute Naogat

Vegetables burgers, sausages Health foods

Pastry Pesto sauce Sauces Spring roles Vegetable oils Vegetable shortening Vegetarian foods

4.

SUSU SAPI Tidak hanya susu sapi yang ditemukan dalam makanan bayi. Susu sapi sedikitnya merupakan 20 % komponen yang dapat menimbulkan produksi antibody. Fraksi protein susu utama adalah kasein ( 76 % ) dan whey. Whey mengandung beta-laktoglobulin, alfa-laktaalbumin, immunoglobulin sapid dan albumin serum sapi.alergi dilaporkan dapat terjadi terhadap semua komponen tersebut. Ditemukan reaksi silang antara susu sapi dengan susu domba, sehingga tidak dapat digunakan sebagai pengganti pada anak dengan alergi susu sapi. Manifestasi alergi susu sapi pada orang dewasa lebih berupa gangguan saluran nafas dan kulit, namun menetap lebih lama 2 daripada alergi susu sapi pada anak .

B.

MANIFESTASI KLINIS Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit berupa urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa papula (bintik kecil seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-buahan menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga tergantung dengan organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun demikian ada beberapa pakar alergi 2 makanan yang berpendapat bahwa jenis makanan tidak spesifik menimbulkan gejala tertentu . Ikan khususnya ikan laut atau sea food paling sering menyebabkan alergi makanan. Gejala yang ditimbulkannya berupa urtikaria, (gatal di kulit), angioedema, astma atau kombinasi dari beberpa kelainan tersebut. Alergi makanan karena ikan laut paling mudah terdeteksi (terdiagnosis), karena gejala yang ditimbulkan relatif cepat. Alergi makanan karena ikan laut termasuk reaksi alergi tipe cepat. Biasanya kurang dari 8 jam keluhan alergi sudah bisa dikenali. Jenis ikan laut yang sering mengakibatkan gangguan adalah jenis ikan laut yang kecil, seperti udang, cumi, kerang, kepiting dan sebagainya. Sedangkan ikan laut yang agak besar seperti salmon, tuna dan sebaginya relatif lebih ringan. Meskipun pada penderita alergi yang berat seringkali semua ikan laut menimbulkan gangguan alergi. Ikan paling lengkap secara khas sebagai penyebab alergi adalah ikan cod, mempunyai potensi alergenik tinggi dan mempunyai reaksi yang sama (cross reaction) dengan beberapa jenis ikan lainnya. Udang mengandung allergen yang sangat kuat, banyak kasus alergi berat (anafilaksis) 2 dilaporkan karena reaksi terhadap udang . Gangguan yang sering terjadi karena mengkonsumsi kacang pada penderita alergi adalah : sensitif pada kulit, dermatitis, furunkel (bisul), sariawan, nyeri gigi, pilek dan nyeri perut. C. DIAGNOSIS Untuk memastikan penyebab alergi makanan bukan dengan tes kulit. Tes alergi hanya bisa memastikan invidu mempunyai bakat alergi, bukan memastikan penyebab alergi. Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu anamnesa (mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi dan dengan eliminasi dan provokasi. Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk

mencari penyebab secara pasti alergi makanan. Cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan 2 membutuhkan waktu, tidak praktis dan biaya yang tidak sedikit . Beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap cara itu. Children Allergy Center Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan cara yang lebih sederhana, murah dan cukup efektif. Modifikasi DBPCFC tersebut dengan melakukan Eliminasi Provokasi 2 Makanan Terbuka Sederhana . D. TATA LAKSANA Menghindari Makanan Terapi dermatitis atopic yang disebabkan makanan adalah dengan menghindari makanan 4 penyebab . Medikamentosa Pada reaksi alergi makanan ringan hanya diberikan antihistamin, dan jika perlu 4 ditambahkan kortikosteroid pada reaksi sedang .

KESIMPULAN

Makanan yang paling sering menyebabkan Dermatitis Atopik adalah telur, susu, gandum, kedele, dan kacang tanah. Reaksi yang terjadi pada penderita Dermatitis Atopik karena induksi allergen makanan dapat berupa dermatitis ekzematosa, urtikaria, kontak urtikaria, atau kelainan mukokutan yang lain. Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan ensim proteolitik. Sebagian besar alergen pada makanan adalah glikoprotein dan berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekul-molekul kecil lainnya juga dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik secara langsung atau melalui mekanismehapten-carrier. Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit berupa urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa papula (bintik kecil seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-buahan menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga tergantung dengan organ yang sensitif pada tiap individu. Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan. Cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan waktu, tidak praktis dan biaya yang tidak sedikit. Tata laksana dermatitis atopic adalah dengan menghindari makanan yang dapat menyebabkan dermatitis atopic.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dermatitis atopik, avaible at : http://zulkiflithamrin.blogspot.com/2007/05/dermatitis-atopik.html 2. Alergi makanan, avaible at : htpp://www.childrenallergyclinic.wordpress.com/ 3. Djuanda, adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006 4. Sudoyo, aru w. Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006

DERMATITIS ATOPIK PENDAHULUAN


Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis residif disertai gatal yang berhubungan dengan atopi. Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam 1 keluarganya misalnya asma bronkial, rinitis alergika, dermatitis atopik, dan konjungtivitis alergik. Dinegara industri, prevalensi dermatitis atopi pada anak mencapai 10 sampai 20 %, sedangkan pada dewasa sekitar 1 sampai 3 %. Dinegara agraris prevalensi dermatitis atopi jauh lebih rendah. Penderita wanita lebih banyak daripada pria dengan rasio 1,3 : 1. Daerah beriklim panas dan lembab memudahkan timbulnya penyakit. Higiene yang kurang juga dapat memperberat 1 penyakit. Lingkungan yang mengganggu emosi lebih mudah menimbulkan penyakit. Penyebab dermatitis atopik belum diketahui. Gambaran klinis yang muncul di akibatkan oleh kerja sama berbagai faktor konstitusional dan faktor pencetus.
1

DEFINISI
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen. Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis residif disertai gatal yang umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak, sering berhubungan 1 dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1928), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya 1 misalnya asma bronkial, rinitis alergika, dermatitis atopik, dan konjungtivitis alergik.

SINONIM
Istilah dermatitis atopik masih ada silang pendapat. Banyak istilah lain yang di gunakan , misalnya : ekzema konstitusional, ekzema fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier. Tetapi, hingga sekarang yang paling banyak diterima ialah istilah dermatitis atopik.

EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Dinegara industri, prevalensi dermatitis atopi pada anak mencapai 10 sampai 20 %, sedangkan pada dewasa sekitar 1 sampai 3 %. Dinegara agraris prevalensi dermatitis atopi jauh lebih rendah. Penderita wanita lebih banyak daripada pria dengan rasio 1,3 : 1. Daerah beriklim panas dan lembab memudahkan timbulnya penyakit. Higiene yang kurang juga dapat memperberat 1,2 penyakit. Lingkungan yang mengganggu emosi lebih mudah menimbulkan penyakit.

ETIOLOGI
Penyebab pasti dermatitis atopik belum diketahui, tetapi faktor keturunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit. Dermatitis atopi diduga diturunkan secara autosomal yang 1,2 diekspresikan oleh gen IL-4 pada kromosom 5q31-33

PATOFISIOLOGI
Penyebab Dermatitis Atopi belum diketahui dengan jelas. Beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain imunologik, genetik, dan gangguan biokimiawi. Defisiensi imunologik berupa peningkatan IgE dan gangguan fungsi limfosit T, juga didapatkan pada Dermatitis Atopik. Diduga pada patogenesis dermatitis atopik terdapat early phase reaction (EPR) dan late phase reaction (LPR). Pada EPR, setelah alergen terikat pada IgE yang terdapat pada permukaan sel mast, terjadilah degranulasi pada sel mast sehingga terjadi pengeluaran histamin dan beberapa sitokin. Sesudah itu dilanjutkan dengan LPR yaitu timbulnya ekspresi beberapa molekul adhesi pada dinding yang dipengaruhi oleh beberapa sitokin pada EPR. Sel radang akan tertarik pada dinding pembuluh darah ditempat molekul adhesi berada. Akhirnya sel radang akan keluar dan pembuluh 3 darah mennuju jaringan sehingga timbul reaksi radang.

GEJALA KLINIS
Kulit penderita Dermatitis Atopik umumnya kering, pucat, dan redup, kadar lipid di epidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderita cenderung astenik dengan tingkat intelegensia diatas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa 1ui tertekan. Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus (gatal) hilang timbul sepanjang hari, akibatnya penderita menggaruk-garuk sehingga timbul bermacam-macam ruam berupa papul, likenifikasi, dan lesi ekzematosa berupa eritema, papulo-vesikel, erosi, eskoriasi, eksudasi dan krusta. Dermatitis 1 atopik dapat terjadi pada masa bayi (infantil), anak, maupun remaja dan dewasa. 1. Dermatitis Atopik Infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun) Masa awitan paling sering pada usia 2 6 bulan. Lokalisasi lesi mulai dimuka (dahi dan pipi), meluas ke leher, scalp, pergelangan tangan lipat siku dan bila anak mulai merangkak lesi ditemukan

di lutut. Lesi berupa eritema dan papulovesikel miliar yang sangat gatal, karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi dan eksudasi serta krusta tidak jarang mengalami infeksi.Garukan dimulai setelah umur 2 bulan. Rasa gatal ini sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan menangis. Lesi menjadi kronis dan residif. Sekitar usia 18 bulan, mulai tampak likenifikasi di bagian fleksor. Pada 1, 2 usia 2 tahun sebagian besar penderita sembuh, sebagian berlanjut menjadi bentuk anak. 2. Dermatitis Atopi pada anak (usia 3 tahun sampai 11 tahun) Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri (de novo). Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas, karena garukan terlihat pula ekskoriasi memanjang dan krusta. Tempat predileksi di tengkuk, lipat siku dan lutut, pergelangan tangan, kelopak mata, leher, jarang 1 dimuka. Tangan mungkin kering, likenifikasi atau eksudasi, bibir perional dapat pula terkena. Dermatitis Atopi pada remaja dan dewasa (usia 12 tahun sampai 30 tahun) Tempat predileksi di muka (dahi, kelopak mata, perioral), leher, dada bagian atas, lipat siku, lipat lutut, punggung tangan, biasanya simetris. Gejala utama adalah pruritus, kelaina kulit berupa likenifikasi, papul, eskoriasi dan krusta. Umumnya berlangsung lama, tetapi intensitasnya cenderung menurun setelah usia 30 tahun. Sebagian kecil dapat berlangsung sampai tua. Dapat pula 1 ditemukan kelainan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik) vulva, puting susu, skalp. Selain terdapat kelainan tersebut, kulit penderita tampak kering dan sukar berkeringat. Ambang rangsang gatal rendah, sehingga penderita mudah gatal, apalagi setelah berkeringat. Berbagai kelainan dapat menyertai ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis palmaris et plantaris, pompoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris, lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinularis (papul-papul tersusun numular) dan keratokonus (bentuk kornea yang abnormal). Selain itu penderita dermatitis atopik cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaktik terhadap obat, gigitan atau 1 senggatan serangga.

3.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan apabila memenuhi 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor berikutmenurut 4 Hanifin dan Lobitz (1977) yaitu: Kriteria Mayor: 1. Pruritus Morfologi dan distribusi khas : dewasa : likenifikasi fleksura, bayi dan anak : lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor 3. Dermatitis bersifat kronik dan residif Riwayat atopi ( asma bronkial, rinitis alergika, dermatitis atopik) pada penderita atau keluarganya. Kriteria Minor : Xerosis, iktiosis/pertambahan garis di palmar/keratosis pilaris, reaktivasi pada uji kulit tipe cepat, peningkatan kadar IgE, kecenderungan mendapat infeksi kulit/kelainan imunitas selular, dermatitis pada areola mammae, keilitis, konjungtivitis berulang, lipatan Dennie-Morgan daerah infraorbita, keratokonus, katarak subskapular anterior, hiperpigmentasi daerah orbita, kepucatan/eritema daerah muka, pitiriasis alba,lipatan leher anterior, gatal bila berkeringat, intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solven, gambaran perifolikular lebih nyata, intoleransi makanan, perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan emosi, white dermographism/delayed blanch.

2.

4.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Telah dilaporkan berbagai hasil laboratorium penderita dermatitis atopik, walaupun demikian 5 sulit untuk menghubungkan hasil laboratorium ini dengan efek yang ada. 1.Imunoglobulin IgG, IgM, IgA dan IgD biasanya normal atau sedikit meningkat pada penderita dermatitis atopik. 7 % penderita dermatitis atopik mempunyai kadar IgA serum yang rendah, dan defisiensi IgA transien banyak dilaporkan pada usia 3-6 bulan. Kadar IgE meningkat pada 80-90% penderita dermatitis atopik dan lebih tinggi lagi bila sel asma dan rinitis alergika. Tinggi rendahnya kadar IgE ini erat hubungannya dengan berat ringannya penyakit, dan tinggi rendahnya kadar IgE tidak mengalami fluktuasi baik pada saat eksaserbasi, remisi, atau yang sedang mendapat pengobatan prednison atau 5 azatioprin. Kadar IgE ini akan menjadi normal 6-12 bulan setelah terjadi remisi. 2. Leukosit a. Limfosit Jumlah limfosit absolut penderita alergi dalam batas normal, baik pada asma, rinitis alergilk, maupun pada dermatitis atopik. Walaupun demikian pada beberapa penderita dermatitis atopik berat 5 dapat disertai menurunnya jumlah sel T dan meningkatnya sel B. b. Eosinofil Kadar eosinofil pada penderita dermatitis atopik sering meningkat. Peningkatan ini seiring 5 dengan meningkatnya IgE, tetapi tidak seiring dengan beratnya penyakit. c. Leukosit polimorfonuklear (PMN) Dari hasil uji nitro blue tetrazolium (NBT) ternyata jumlah PMN biasanya dalam batas 5 normal. 3. Komplemen 5 Pada penderita dermatitis atopik kadar komplemen biasanya normal atau sedikit meningkat. 4. Bakteriologi Kulit penderita dermatitis atopik aktif biasanya mengandung bakteri patogen, 5 sepertiStaphylococcus aureus, walaupun tanpa gejala klinis infeksi. 5. Uji kulit dan provokasi Diagnosis dermatitis atopik ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis. Untuk mencari penyebab timbulnya dermatitis atopik harus disertai anamnesis yang teliti dan bila perlu dengan uji kulit serta uji eliminasi dan provokasi. Korelasi uji kulit hanya baik hasilnya bila penyebabnya alergen hirup. Untuk makanan dianjurkan dengan uji eliminasi dan provokasi. Reaksi pustula terhadap 5% nikel sulfat yang diberikan dengan uji tempel dianggap karakteristik untuk dermatitis atopik oleh beberapa pengamat. Patogenesis reaksi pustula nikel fosfat ini belum diketahui walaupun data 5 menunjukkan reaksi iritan primer.

DIAGNOSIS BANDING
Umumnya diagnosis dermatitis atopik tidak terlalu sulit. Pada bentuk infantil dapat menyerupai dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik pada muka mirip dengan dermatitis atopik. Dermatitis seboroik berlokasi di tempat-tempat seboroik yakni kulit kepala yang berambut, muka terutama alis mata dan lipatan nosolabial, ketiak, dada di atas sternum, interskapular, daerah genitalis eksterna dan perianal. Kulit pada dermatitis seboroik, berskuama kekuningan dan berminyak. Tidak terdapat 1 stigmata atopi, eosinofilia,peninggian kadar IgE, tes asetilkolin negatif maupun dermografisme putih. Pada bentuk anak dan dewasa dibedakan dengan neurodermatitis sirkumskipta vidal atau yang lazim di sebut liken simpleks kronis. Kedua-duanya gatal dan terdapat likenifikasi. Lokasi lesi

pada dermatitis atopik di lipat siku dan lipat lutut (fleksor), sedangkan liken simpleks kronis di siku dan punggung kaki (ekstensor) ada pula tempat predileksi yang sama yaitu di tengkuk. Dermatitis atopik biasanya sembuh setelah usia 30 tahun, sedangkan neurodermatitis sirkumskripta dapat berlanjut sampai tua. Pemeriksaan pembantu yang menyokong dermatitis atopik hasil negatif pada 1 neurodermatitis sirkumskripta. Penyakit lain yang dapat memberi gambaran klinis menyerupai dermatitis atopik yaitu : dermatitis kontak alergik kronis, dermatitis numularis, sindrom Wiskott-Aldrich, sindrom hiper-IgE dan 1 histiositosis-X.

PENATALAKSANAAN
Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering dan sangat peka terhadap berbagai rangsangan. Penderita merasa sangat gatal, sehingga terpaksa menggaruk. Perjalanan dermatitis berlangsung kronis dan cenderung berulang (kambuh). Banyak faktor yang menyebabkan penyakit ini, misalnya infeksi kulit. Iritai, berkeringat atau kedinginan, sters, endokrin (contonya : kehamilan, penyakit tiroid, haid). Oleh karena itu penatalaksanaannya pada dasarnya berupaya menghindari 1 atau menyingkirkan faktor-faktor tersebut. Kulit yang sehat boleh di sabun dengan sabun khusus untuk kulit kering, tetapi jangan terlalu sering agar lipid di kulit tidak banyak berkurang sehingga kulit tidak semakin kering. Kulit di olesi dengan krim omelien, maksudnya membuat kulit tidak semakin kering. Pakaian jangan terbuat dari wol atau nilon karena dapat merangsang, pakailah katun karena selain tidak merangsang juga dapat menyerap keringat. Keringat akan menambah rasa gatal, oleh karena itu pakaian jangan ketat, 1 ventilasi yang baik akan mengurangi keringat. Hindarkan dari perubahan suhu dan kelembaban mendadak. Sebaiknya mandi dengan air 4 yang suhunya sama dengan suhu tubuh, karena air panas maupun air dingin menambah rasa gatal. Upayakan tidak terjadi kontak dengan debu rumah (mengandung Dermatophagoides pteropyssimus) dan bulu binatang karena dapat menyebabkan gatal bertambah dan menyebabkan 4 penyakit kambuh. Makanan dapat mempengaruhi terjadinya kekembuhan atau menambah rasa gatal. Sebagian kecil para penderita alergi terhadap makanan, yang sering ialah susu sapi, terigu, telur, dan kacangkacangan. Dengan meningkatnya usia kemungkinan mendapat alergi tersebut makin berkurang. Menurut penyelidikan Kang dan Tan, pada bentuk infantil yang mengalami alergi makanan 17,1 % kemudian menurun menjadi 8,7 % pada bentuk anak dan menjadi 4,2 % pada bentuk dewasa. Memperpanjang masa pemberian ASI pada bayi dan menunda pemberian makananan padat ternyata tidak mencegah timbul dermatitis atopik. Stres emosional akan memudahkan penyakit kambuh, oleh 1,2 karena itu hendaknya dihindari atau di kurangi. Imunitas seluler penderita dermatitis atopik menurun, sehingga mudah mengalami infeksi oleh virus, bakteri, dan jamur. Bila mendapat infeksi virus, misalnya vaksinia atau herpes simpleks, akan menimbulkan gejala akut berupa timbulnya banyak vesikel dan pustul yang akan menyebar disertai demam yang tinggi, dan dapat menyebabkan kematian, disebut erupsi variseloformis kaposi. Oleh karena itu penderita dermatitis atopik tidak boleh berdekatan dengan penderita varisela, herpes zoster, atau herpes simpleks. Kuku di potong pendek agar bila mengaruk tidak sampai timbul luka, 1 sehingga tidak mudah terjadi infeksi sekunder.

PENGOBATAN
Pengobatan bergantung pada kelainan kulit yang di temukan. Yang paling penting adalah mencegah penderita agar tidak mengaruk. 1.
1

Terapi sitemik. Anti histamin golongan H1 (chlorpheniramine, promethazine, hydroxyzine) untuk mengurangi gatal dan sebagai penenang. Bila sangat gatal dapat diberikan klorpromazin. Jika ada infeksi sekunder diberi antibiotik seperti eritromisin. Kortikosteroid sistemik tidak di anjurkan, kecuali bila kelainannya luas, atau eksaserbasi akut, dapat diberikan dalam jangka waktu pendek (7 10 hari), 1,2 mengingat efek samping yakni osteoporosis, katarak dan sebagainya. Terapi topikal. Bergantung pada jenis kelainan kulit. Pada bentuk bayi kelainannya eksudatif, karena itu dikompres, misalnya dengan larutan asam salisil 1/1000 atau permanganas kalikus 1/10.000. setelah kelainan kering, dilanjutkan dengan krim hidokortison 1 % - 2 %. Pada bentuk anak dan dewasa tidak digunakan kompres karena kelainan kulit kering, melainkan salap karena salap mempunyai daya penetrasi lebih baik. Salap kortikosteroid yang di pilih ialah golongan sedang atau kuat karena bentuk anak dan dewasa telah terjadi likenifikasi. Jika efek terapeutik telah tercapai, maka dapat diganti dengan golongan lemah untuk mencegah terjadinya efek samping. Untuk meningkatkan daya 1,2 penetrasi, dapat ditambahkan asam salisil 3-5 % pada kortikosteroid topikal. Obat lain yang digunakan ialah ter, misalnya liquor karbonas detergens 2-5 %. Efek ter yang sebenarnya belum diketahui pasti, rupanya berkhasiat vasokontriksi, astringen, desinfektan, antipruritus, dan memperbaiki keratinisasi abnormal dengan cara mengurangi proliferasi epidermal dan infiltrasi dermal. Pada penggunaan ter yang lama dapat terjadi folikulitis. Efek samping ter yang 1,2 lain adalah fotosensitisasi. Ter dapat pula dikombinasi dengan kortikosteroid. Obat lain adalah urea 10 %, membuat kulit lemas, hidrofilik, antibakterial, dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal. Untuk membersihkan kulit jangan memakai sabun 1,2 alkali, tetapi memakai detergen dengan pH asam, atau sabun nonalkali berlemak.

2.

KOMPLIKASI
Pada anak penderita dermatitis atopik, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari. Penderita dermatitis atopik mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes). Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal. Penderita dermatitis atopik, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloniStaphylococcus 5 aureus.

PROGNOSIS
Penderita dermatitis atopik yang bermula sejak bayi, sebagian ( 40 %) sembuh spontan, sebagian berlanjut ke bentuk anak dan dewasa. Adapula yang menyatakan bahwa 40-50 % sembuh 1 pada usia 15 tahun. Sebagian besar menyembuh pada usia 30 tahun. Secara umum, bila ada riwayat dermatitis atopik di keluarga, bersamaan dengan asma 1 bronkial, masa awitan lambat, atau dermatitisnya berat, maka penyakitnya lebih persisten.

KESIMPULAN
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen. Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis residif disertai gatal yang umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Penyebab pasti dermatitis atopik belum diketahui, tetapi faktor keturunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit. Dermatitis atopi diduga diturunkan secara autosomal yang diekspresikan oleh gen IL-4 pada kromosom 5q31-33. Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus (gatal) hilang timbul sepanjang hari, akibatnya penderita menggaruk-garuk sehingga timbul bermacam-macam ruam berupa papul, likenifikasi, dan lesi ekzematosa berupa eritema, papulo-vesikel, erosi, eskoriasi, eksudasi dan krusta. Dermatitis atopik dapat terjadi pada masa bayi (infantil), anak, maupun remaja dan dewasa. Mengidentifikasi dan menyingkirkan faktor yang memperberat dan memicu siklus gatalgaruk. Hindari hal yang dapat mengiritasi kulit bayi, menjaga kebersihan kulit pada bayi khususnya daerah bokong dan genetalia.

DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4. 5. Djuanda, Adhi (edt). Sri Adi Sularsito, Suria Djuanda. 2005. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keempat. FKUI. Jakarta. Hal 129-153 Siregar, R. S..Dermatitis Atopik dalm Penyakit Kulit Alergi dalam Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. EGC. Jakarta. Hal 115-118 Barakhbah, Jusuf dkk. 2005. Dermatitis Atopi dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. sEdisi III. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo. Surabaya. Hal 1-8 http://www.klikdokter.com/illness/detail/216 diakses tanggal 17 April 2010 htpp://www.childrenallergyclinic.wordpress.com/ diakses tanggal 17 April 2010

Kulit: Dermatitis Atopik


SKENARIO 1: Gatal Kambuh-Kambuhan
DD : Dermatitis Atopik, Urtikaria

PENDAHULUAN
Atopi ialah kelainan dengan dasar genetik yang ditandai oleh kecenderungan individu untuk membentuk antibodi berupa imunoglobulin E (IgE) spesifik bila berhadapan dengan alergen yang umum dijumpai, serta kecenderungan untuk mendapatkan penyakit-penyakit asma, rhinitis alergika dan DA, serta beberapa bentuk urtikaria. Istilah atopi berasal dari kata atopos (out of place)(Ardhie, 2004). Dermatitis atopik (D.A.) adalah peradangan kulit kronik dan residif dan disertai gatal, yang terkait dengan peningkatan kadar IgE dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A. makin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar (Sularsito dan Djuanda, 2007). Skenario Seorang anak laki-laki, usia 12 tahun datang diantar ibunya ke puskesmas dengan keluhan gatal sejak 2 minggu yang lalu. Gatal dirasakan di daerah lipat siku dan lipat lutut. Di daerah tersebut terdapat bercak-bercak kemerahan, keluhan ini bersifat kambuh-kambuhan sejak usia 1 tahun. Setiap kali kambuh diperiksakan ke dokter dan sembuh setelah diberi obat. Selain gatal-gatal penderita juga menderita asma yang mulai muncul pada usia 6 tahun. Ibunya mempunyai riwayat sering bersin pagi hari atau bila cuaca dingin. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bercak eritematosa, papul dan plakat yang disertai dengan erosi di daerah kedua lipat siku dan kedua lipat lutut. Oleh dokter diberikan kortikosteroid topikal dan antihistamin oral. Pasien dianjurkan berkonsultasi dengan dokter spesialis kulit untuk direncanakan skin prick test. Rumusan Masalah

1. Apa hubungan usia, riwayat asma, dan riwayat penyakit ibu pasien yang sering bersin pagi
hari atau bila cuaca dingin?

2. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien? 3. Bagaimana patofisiologi gejala klinis yang dialami pasien? 4. Apa kemungkinan diagnosis banding pasien? 5. Bagaimana penatalaksanaan dari keluhan pasien?
Hipotesis Pasien mengalami peradangan kulit yang berhubungan dengan asma yang dideritanya dan riwayat kesehatan keluarga berupa bersin pagi hari atau bila cuaca dingin.

TINJAUAN PUSTAKA
Eritema, Papul, Plak, dan Erosi Eritema adalah kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh darah kapiler yang reversibel (Budimulja, 2007). Papul berupa penonjolan di permukaan kulit, sirkumskrip, diameter < 0,5 cm, berisi zat padat. Bentuknya bermacam-macam; setengah bola pada eksem atau dermatitis, kerucut pada keratosis folikularis, datar pada veruka plana juvenilis, datar berdasar polygonal pada liken planus, berduri pada veruka vulgaris, bertangkai pada fibroma pendulans dan veruka filiformis. Warna papul dapat merah akibat peradangan, pucat, hiperkrom, putih, atau seperti kulit di sekitarnya. Beberapa infiltrat mempunyai warna sendiri yang biasanya baru terlihat setelah eritema yang timbul bersamaan ditekan dan hilang (lupus, sifilis). Letak papul dapat epidermal atau kutan (Budimulja, 2007). Plak merupakan peninggian di permukaan kulit, permukaan rata, dan berisi zat padat (biasanya infiltrate), diameternya 2cm atau lebih. Contohnya papul yang melebar atau papul-papul yang berkonfluensi pada psoriasis (Budimulja, 2004). Erosi disebabkan kehilangan jaringan yang tidak melampaui stratum basal. Contohnya bila kulit digaruk sampai stratum spinosum akan keluar cairan sereus dari bekas garukan (Budimulja, 2004). Tes Alergi dan Skin Prick Test Macam tes kulit untuk mendiagnosis alergi (Pawarti, 2004): Puncture, prick dan scratch test biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena alergen inhalan, makanan atau bisa serangga. Tes intradermal biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa serangga Patch test (epicutaneus test) biasanya untuk melakukan tes pada dermatitis kontak

Skin Prick Test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang banyak digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibatnya timbulflare/kemerahan dan wheal/bentol pada kulit tersebut (Pawarti, 2004). Prosedur tes cukit adalah sebagai berikut. Tes Cukit ( Skin Prick Test ) seringkali dilakukan pada bagian volar lengan bawah. Pertama-tama dilakukan desinfeksi dengan alkohol pada area volar, dan tandai area yang akan kita tetesi dengan ekstrak alergen. Ekstrak alergen diteteskan satu tetes larutan alergen ( Histamin/ Kontrol positif ) dan larutan kontrol ( Buffer/ Kontrol negatif)menggunakan jarum ukuran 26 G atau 27 G atau blood lancet. Selanjutnya, jarum dicukitkan dengan sudut kemiringan 45 0menembus lapisan epidermis dengan ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan sejumlah alergen memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai bentol yang timbul (Parwati, 2004; Krouse dan Marbry, 2003).

Tes Cukit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan kesahihannya dibandingkan alergen inhalan seperti debu rumah dan polen. Skin test untuk alergen makanan seringkali negatif palsu (Nelson et.al, 1998). Untuk menilai ukuran bentol berdasarkan The Standardization Committee of Northern (Scandinavian) Society of Allergologydengan membandingkan bentol yang timbul akibat alergen dengan bentol positif histamin dan bentol negatif larutan kontrol. Adapun penilaiannya sebagai berikut (Pawarti, 2004; Nelson et.al, 1998): 1. Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3) 2. Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-) 3. Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya antara bentol histamin dan larutan kontrol. 4. Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bento histamin dinilai ++++ (+4). Di Amerika cara menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001) seperti dikutip Rusmono sebagai berikut (Pawarti, 2004; Rusmono, 2003): 0 1+ 2+ 3+ 4+ : reaksi (-) : diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-) : diameter bentol 1-3mm dari kontrol (-) : diameter bentol 3-5 mm > dari kontrol (-) : diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema.

Patofisiologi Gatal Rasa gatal diterima oleh akhiran saraf yang tidak spesifik pada pertemuan lapisan dermis dengan epidermis, yaitu reseptor gatal yang tidak bermielin. Selanjutnya, serabut saraf menghantarkan rasa gatal memasuki cornu dorsalis pada substansia grisea pada medulla spinalis, yang bersinapsis dengan neuron sekunder yang menyilang ke tractus spinothalamicus kontralateral dan kemudian menuju thalamus. Kemudian neuron tersier menghantarkan sensasi gatal ke persepsi yang dirasakan secara sadar di cortex cerebri (Sharma et al, 2009). Terdapat dua tipe sensasi gatal, yaitu sensasi gatal lokal dan sensasi gatal difus. Sensasi lokal bersifat spontan, hanya terjadi dalam waktu singkat setelah stimulus hilang, dan disampaikan oleh serabut delta A, yang bermyelin dan cepat menghantarkan stimulus. Sensasi difus melibatkan sekeliling area tertentu, dan tidak spontan, melainkan terangsang oleh sentuhan ringan atau stimulus kecil. Sensasi ini terasa tidak nyaman, patologis, yang disampaikan oleh serabut C yang tidak bermyelin dan lambat menghantarkan rangsang (Sharma et al., 2009).

Kemudian sensasi gatal diklasifikasikan kembali menjadi 4 (Sharma et al., 2009):

1.

Pruritoreseptif (kutaneus, contohnya karena scabies),

2. Neuropatik (karena adanya lesi pada jalur aferen saraf, contohnya neuritis perifer, tumor otak), 3. Neurogenik (karena mediator yang bersifat sentral yang tidak merusak system saraf pusat, contohnya peptide opioid pada kolestasis), dan 4. Psikogenik.

Macam mediator kimia yang terlibat dalam mekanisme gatal yang dikemukakan adalah sebagai berikut (Sharma et al., 2009): 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Histamine Produk peptida dari protease Takikinin Peptida opioid dan naloxone Prostaglandin dan eikosanoid yang terkait Platelet Activating Factor (PAF) Sitokin

Hubungan Asma dengan Dermatitis Atopik Dermatitis atopic (DA) mendahului perkembangan asma dan rhinitis alergik, yang menunjukkan bahwa DA adalah entry point dari penyakit alergi berikutnya. Dalam penelitian yang menguji hubungan DA pada bayi, sensitisasi terhadap aeroallergen dan terdapatnya penyakit alergi saluran napas, 69% dari bayi yang mengalami DA pada 3 bulan pertama sejak lahir di kemudian hari tersensitisasi oleh aeroallergen dalam usia 5 tahun. Tingkat sensitisasi aeroallergen meningkat sampai 77% pada anak yang kedua orangtuanya mempunyai riwayat positif DA. Sampai usia 5 tahun, 50% anak dengan DA awal dan riwayat keluarga yang alergi mengalami penyakit pernapasan alergi. Tentu, hingga 80% anak dengan DA akan berkembang menjadi penyakit pernapasan alergi saat anak-anak. Pada 40-50% anak, penyakit pernapasan alergi ini bermanifestasi sebagai asma. Diperkirakan bahwa 15-30% pasien dengan DA mengalami asma yang menetap (Eichenfield et.al, 2003). Anak dengan DA menetap mengalami asma yang lebih buruk daripada anak yang mengalami asma namun tidak mengalami DA. Penelitian oleh Buffum dan Settipane mengidentifikasikan hubungan antara adanya DA dan prognosis asma di pada anak-anak. Evaluasi selama 10 tahun pada pasien asma tanpa DA menunjukkan bahwa 41% dalam keadaan baik, 52% mengalami asma ringan, dan 5% mengalami asma berat. Sebaliknya, diantara pasien asma dengan DA, 34% dalam keadaan baik, 54% mengalami asma ringan, dan 11% mengalami asma berat atau meninggal karena penyakit tersebut. (Eichenfield et.al, 2003). Dapat dinyatakan bahwa sensitisasi alergen melalui kulit pada pasien dengan DA juga menimbulkan respon sistemik alergi yang kuat, ditandai dengan kenaikan IgE, eosinofil, makrofag, dan sel T. Penanda biologi dari aktivasi leukosit telah terbukti berhubungan dengan keparahan DA dan juga berperan dalam alergi respiratorik pada individu yang secara genetis mempunyai predisposisi alergi (Eichenfield et.al, 2003).

Secara ringkas, terdapat bukti yang kuat bahwa DA adalah faktor risiko untuk terjadinya asma pada masa anak-anak, derajat keparahan, dan juga persistensinya. Mekanisme DA mempengaruhi asma kemungkinan besar berhubungan dengan produksi awal IgE dan alergen-alergen yang disebabkan oleh reaktivitas IgE (Eichenfield et.al, 2003).

Dermatitis Atopik
Definisi. Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (Sularsito dan Djuanda, 2007). Epidemiologi. D.A. cenderung diturunkan. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat menjadi 79% jika kedua orang tua menderita atopi (Sularsito dan Djuanda, 2007). Etiopatogenesis. Berbagai faktor berpengaruh terhadap patogenesis DA, misalnya faktor genetik, lingkungan, sawar kulit, farmakologik dan imunologik. Namun konsep dasar patogenesis DA adalah mekanisme imunologik, dibuktikan oleh peningkatan kadar IgE dan eosinofil (Sularsito dan Djuanda, 2007). Terdapat 4 kelas gen yang mempengaruhi penyakit atopi (Sularsito dan Djuanda, 2007): Kelas I Kelas II : gen predisposisi untuk atopi dan respon umum IgE. : gen yang berpengaruh pada respon IgE spesifik. : gen yang mempengaruhi mekanisme non-inflamasi (misalnya hiperresponsif : gen yang mempengaruhi inflamasi yang tidak diperantarai IgE.

- Kelas III bronchial) Kelas IV

Gambaran Klinis. Kulit umumnya kering, pucat, kadar lipid epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin. Gejala utama DA adalah pruritus (gatal) yang hilang timbul, umumnya lebih hebat malam hari, akibatnya penderita akan menggaruk. Hal ini dapat menimbulkan kelainan kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta (Sularsito dan Djuanda, 2007). DA dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu DA infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun), DA anak (usia 2 sampai 10 tahun), dan DA pada remaja dan dewasa (Sularsito dan Djuanda, 2007). Pada fase bayi lesi terutama pada wajah, sehingga dikenal sebagai eksim susu.Umumnya, lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta, dan dapat mengalami infeksi. Pada tipe anak, terutama pada daerah lipatan kulit, khususnya lipat siku dan lutut. Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, sedikit likenifikasi, dan skuama. DA berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat menghambat pertumbuhan. Sedangkan pada tipe dewasa lebih sering dijumpai pada tangan, kelopak mata dan areola mamma, berupa papul eritematosa dan berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lutut, dan samping leher, dahi, dan disekitar mata. Pada DA dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik (Ardhie, 2004; Sularsito dan Djuanda, 2007). Diagnosis. Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan adanya riwayat atopic. Terdapat beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosis DA, misalnya kriteria Hanifin dan

Rajka, kriteria Williams, kriteria UK Working Party, SCORAD (the scoring of atopic dermatitis) dan EASI (the eczema area and severity index). Selama 2 dekade terakhir ini, berbagai upaya dilakukan untuk membuat standar evaluasi DA. Idealnya, kriteria ini harus efisien, sederhana, komprehensif, konsisten, dan fleksibel. Selain itu juga dapat menilai efektivitas terapi yang diberikan. Tetapi, kriteria yang sering digunakan karena relatif praktis ialah kriteria Hanifin dan Rajka. Pada criteria ini, diagnosis DA dietegakkan bila setidaknya dijumpai 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor sebagai berikut (Ardhie, 2004):
Kriteria Mayor 1. 2. 3. 4. Kritera Minor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pruritus Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak Dermatitis di fleksura pada dewasa Dermatitis kronis atau residif Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya Xerosis Infeksi kulit (S.aureus dan virus herpes simpleks) Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki Iktiosis/hiperliniar palmaris/keratosis pilaris Pitiriasis alba Dermatitis di papila mamme White dermographism dan delayed blanch response Keilitis Lipatan infra orbital Dennie-Morgan Konjungtivitis berulang Keratokonus Katarak subkapsular anterior

10. Orbita menjadi gelap 11. Muka pucat atau eritem 12. Gatal bila berkeringat 13. Intolerens terhadap wol atau pelarut lemak 14. Aksentuasi perifolikular 15. Hipersensitif terhadap makanan 16. Perjalan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi 17. Tes kulit alergi tipe dadakan positif 18. Kadar IgE di dalam serum meningkat 19. Awitan pada usia dini Hetok sign

Pengobatan. Terapi berupa hidrasi kulit untuk mengatasi kulit kering dan fungsi sawar yang berkurang, yang dapat berakibat mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan, dan alergen. Kortikosteroid topikal paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Dapat digunakan juga immunomodulator topikal, juga preparat ter sebagai anti-pruritus dan anti-inflamasi pada kulit. Antihistamin topikal tidak dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit (Sularsito dan Djuanda, 2007).

Kortikosteroid topikal sering dipakai pada pengobatan DA sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Pada bayi digunakan salap steroid potensi rendah, misalnya hidrokortison 1%-2,5%. Pada anak dan dewasa biasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka, daerah genitalia dan intertriginosa digunakan steroid potensi rendah. Antihistamin (AH) yang bekerja secara sistemik digunakan untuk mengurangi rasa gatal, terutama malam hari, yang mengganggu tidur, sehingga digunakan AH berefek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin (Sularsito dan Djuanda, 2007).

Urtikaria
Urtikaria adalah reaksi vascular di kulit akibat berbagai sebab, ditandai dengan edema setempat, warna pucat kemerahan, meninggi di permukaan kulit, dan sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subyektif berupa rasa gatal, tersengat, atau tertusuk (Aisah, 2007). Epidemiologi. Urtikaria dijumpai pada semua umur, dewasa lebih banyak daripada anak. Usia rata-rata penderita urtikaria adalah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun. Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal (Aisah, 2007). Etiologi. Hampir 80% idiopatik, namun diduga diantaranya (Aisah, 2007): 1. Obat, melalui reaksi imunologik tipe I dan II, seperti penisilin dan sulfonamide, serta non-imunologik melalui perangsangan sel mast untuk melepaskan histamin. 2. Makanan, melalui reaksi imunologik.

3. Gigitan/sengatan serangga, banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV). 4. Bahan fotosensitizer, misalnya griseofulvin, fenotiazin, dan sulfonamid.

5. Inhalan, menimbulkan reaksi urtikaria alergik (tipe I), yang sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan napas. 6. Kontaktan, yang menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.

7. Trauma fisik, diakibatkan faktor dingin, faktor panas, dan faktor tekanan. Biasanya ditemukan di tempat yang mudah trauma. 8. Infeksi dan infestasi, dapat ditimbulkan oleh toksin bakteri maupun oleh sensitisasi.

9. Psikis, tekanan memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler.

10. Genetik, namun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominan. 11. Penyakit sistemik, melalui reaksi kompleks antigen-antibodi, pada beberapa penyakit kolagen dan keganasan. Klasifikasi. Urtikaria akut berlangsung selama kurang dari 6 minggu, atau apabila berlangsung selama 4 minggu tapi timbul setiap hari; bila melebihi waktu tersebut disebut urtikaria kronik. Berdasarkan morfologi kilnis, urtikaria dibedakan menjadi papular jika berbentuk papul, gutata bila sebesar tetes air, dan girata bila ukurannya besar. Terdapat pula yang anular dan asinar. Menurut luas jaringan terkena, dibedakan menjadi urtikaria lokal, generalisata, dan angioedema (Aisah, 2007). Menurut penyebab dan mekanisme terjadinya, urtikaria digolongkan menjadi (Aisah, 2007): 1. Urtikaria atas dasar reaksi imunologik a. Bergantung pada IgE (reaksi alergik tipe I), yaitu timbul pada atopi dan akibat antigen spesifik. b. Ikut sertanya komplemen, pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II), reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III), dan defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik). c. Reaksi alergi tipe IV (urtikaria kontak). 2. Urtikaria atas dasar reaksi non-imunologik a. b. c. Memacu sel mast sehingga melepas mediator. Bahan penyebab perubahan metabolisme asam arachidonat. Trauma fisik.

3. Urtikaria idiopatik Patogenesis. Vasodilatasi yang disertai dengan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan transudasi sehingga timbul edema dan tanda kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler diakibatkan pelepasan mediator oleh sel mast. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor imunologik maupun non-imunologik (Aisah, 2007). Gejala Klinis. Keluhan gatal, rasa terbakar, atau raas tertusuk. Klinis, tampak eritema dan edema setempat batas tegas, kadang bagian tengah lebih pucat. Bentuk dapat papular, besarnya dapat lentikular, numular, sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang lebih dalam dapat disebut dengan angioedema. Pada keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena adalah muka, disertai sesak napas, serak, dan rhinitis (Aisah, 2007). Diagnosis. Melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis mudah ditegakkan. Pemeriksaan lain yang diperlukan untuk membuktikan penyebab urtikaria (Aisah, 2007): 1. Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi.

2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal.

3.

Pemeriksaan IgE, eosinofil, dan komplemen.

4. Tes kulit, uij gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta tes intradermal untuk mencari alergen inhalan, makanan dermatofit dan kandida. 5. 6. 7. 8. 9. Tes eliminasi makanan. Pemeriksaan histopatologik. Tes foto tempel pada urtikaria fisik akibat sinar. Suntikan mecholyl intradermal untuk diagnosis urtikaria kolinergik. Tes dengan es.

10. Tes dengan air hangat. Pengobatan. Mengobati penyebab serta mengurangi kontak dengan penyebabnya. Pengobatan dengan antihistamin (AH) pada urtikaria sangat bermanfaat. Antihistamin golongan AH1 menyebabkan kontraksi otot polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan sekresi dan penekanan pruritus. Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simtomatik, misalnya anti-pruritus dalam bedak atau bedak kocok (Aisah, 2007). Pengobatan dengan anti-enzim, misalnya anti plasmin, menekan aktivitas plasmin yang timbul pada reaksi aktigen-antibodi. Preparat yang sering digunakan adalah ipsilon. Pengobatan dengan cara desensitisasi, dosis penyebab disesuaikan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh penderita. Pengobatan melalui eliminasi diet dicobakan pada yang sensitif terhadap makanan (Aisah, 2007).

PEMBAHASAN
Pada skenario, pasien yang berusia 12 tahun merasakan gatal di daerah lipat siku dan lipat lutut. Daerah ini merupakan tempat predileksi dermatitis atopik pada remaja dan dewasa (lebih dari 10 tahun). Bercak kemerahan yang timbul merupakan tanda terjadinya reaksi inflamasi pada kuli. Riwayat penyakit asma pada pasien dan riwayat bersin pagi hari serta apabila cuaca dingin mempunyai hubungan terkait dengan keluhan gatal-gatal yang dialami pasien. Keluhan gatal-gatal ini dapat disebut sebagai dermatitis atopik, karena pasien mempunyai riwayat atopik dalam keluarganya. Keluhan yang muncul sejak usia 1 tahun, memperkuat dugaan kuat dermatitis atopik, yang paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bercak eritematosa, papul dan plakat yang disertai dengan erosi di daerah kedua lipat siku dan kedua lipat lutut. Untuk meringankan rasa gatal, pasien menggaruk lesi, sehingga papul pecah dan menjadi erosi. Kortikosteroid topikal digunakan untuk mengurangi peradangan, sedangkan antihistamin oral digunakan untuk mencegah rilis histamine yang menimbulkan peradangan serta untuk menimbulkan efek sedatif pada pasien yang biasanya sulit tidur pada malam hari. Skin prick testdianjurkan dilakukan untuk mengetahui jenis alergen apa yang menimbulkan gejala klinis dan keluhan gatal yang dialami pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Ardhie, A.M. 2004. Dermatitis dan Peran Steroid Dalam Penatalaksanaannya dalam DEXA MEDIA, No. 4, Vol. 17, Oktober - Desember 2004. Akses di http://www.unhas.ac.id/tahir/BAHAN-KULIAH/BIO-MEDICAL/BAHANUMUM/ECHOCARDIOGRAPHY%20%28%20SALEH%20%20D411%2002%20050%20%29/REFERENSI/dermatitis.pdf Budimulja, Unandar. 2007. Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis dalam Djuanda, Adhi. Hamzah, Mochtar. Aisah, Siti. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Eichenfield, L.F. Hanifin, J.M. Beck, L.A. Lemanske Jr, R.F. Sampson, H.A. Weiss, S.T. Leung, D.Y.M. 2003. Atopic Dermatitis and Asthma: Parallels in the Evolution of Treatment. Akses 29 Oktober 2010 dihttp://pediatrics.aappublications.org/cgi/reprint/111/3/608 Krouse JH, Marbry RL. 2003. Skin testing for Inhalant Allergy 2003 : current strategies. Otolaryngolo Head and Neck Surgary 2003 ; 129 No 4 : 34-9. Nelson HS, Lah J, Buchmeier A, McCormick D. 1998. Evaluation of Devices for Skin prick Testing. J Allergy and Clin Immunol 1998; 101 : 153-6 Pawarti D.R. 2004. Tes Kulit dalam Diagnosis Rinitis Alergi, Media Perhati. Volume 10 2004; Vol 10 no 3 :18-23 Rusmono N. Diagnosis Rinitis Alergi secra invivo dan invitro. Dalam : Kursus dan Pelatihan Alergi dan Imunologi. Konas XIII Perhati KL. Bali. 2003 ; 56-60 Sularsito, S.A. Djuanda, S. 2007. Dermatitis dalam Djuanda, Adhi. Hamzah, Mochtar. Aisah, Siti. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

You might also like