You are on page 1of 6

Merangkum Isi Buku

Judul Buku : Pokoknya Menulis Pengarang : A. Chaedar Alwasilah dan Senny Suzanna Alwasilah Penerbit : PT Kiblat Buku Utama Bab : 16 (Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang Menulis) Rangkuman Buku :
Dalam hal karya tulis, Indonesia memang kalah oleh tetangga serumpunnya yang berakarkan kebudayaan Melayu, yakni Malaysia. Di Malaysia rata-rata per tahun terbit sekitar 6.000-7.000 judul buku baru. Sementara Indonesia baru mampu menerbitkan sekitar 4.000-6.000 judul buku per tahun. Lemahnya keterampilan menulis yang juga terjadi di kalangan para dosen sudah dicermati 12 tahun yang lalu melalui sebuah penelitian. Responden menilai bahwa secara umum pendidikan nasional di Indonesia tidak membekali (maha)siswa dengan kemampuan menulis paper (75%), tidak mengajari mereka kemampuan berpikir kritis (68%) dan bagi mereka (75%) menulis paper merupakan tugas akademik yang paling sulit. Berdasarkan bukti di atas, dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini, pendidikan kita, dari SD hingga PT belum berhasil mengajarkan keterampilan menulis.

Sebilang Kekeliruan
Ada 11 gagas (miskonsepsi) baik secara konseptual maupun instruksional di kalangan akademisi Indonesia. Kesemuanya itu merupakan ayat-ayat sesat yang perlu diluruskan. Kekeliruan itu adalah sebagai berikut : 1. Literasi adalah kemampuan membaca. Seorang yang literat atau terdidik memiliki ability to read and write (Websters New Collegiate Dictionary 1984 : 666). Artinya, mereka yang pandai membaca tapi tidak menulis sesungguhnya baru setengah terdidik, sebab ilmuwan sejati mampu melakukan keduanya. 2. Mahasiswa tidak perlu diajari cara menulis. Miskonsepsi ini terkait miskonsepsi pertama. Banyak pihak yang beranggapan bahwa pelajaran BI di sekolah sudah cukup. Padahal yang cukup itu barulah kuantitas pembelajarannya, sementara kualitas pembelajarannya tidak.

Hingga saat ini, para mahasiswa sudah banyak dijejali ilmu tentang menulis dan tata bahasa BI. Namun, mereka belum mendapatkan latihan menulis. 3. Penguasaan teori menulis akan membuat siswa mampu menulis. Pengajaran teori-teori formal ihwal menulis digugat relevansinya bagi produktivitas tulis-menulis. Banyak mahasiswa yang memiliki potensi untuk menulis, namun tidak pernah diberdayakan guru atau dosennya. Seyogianya mereka diberi kebebasan untuk berekspresi. 4. Tidak mungkin mengajarkan menulis pada kelas-kelas besar. Ini dikelukan para guru BI dan dosen mata kuliah menulis, khususnya mereka yang menganggap dirinya sebagai sosok yang serba tahu dan serba bisa sehingga setiap individu (maha)siswa harus belajar menulis langsung kepadanya. Mereka lupa bahwa ilmu pengetahuan berserakan dimana-mana. 5. Menulis dapat diajarkan manakala siswa telah menguasai tata bahasa. Dalam perkuliahan menulis, khususnya dalam bahasa asing, penguasaan tata bahasa secara keliru dianggap sebagai prasyarat untuk mampu menulis. Maka banyak dosen mata kuliah menulis, malah mengajar tata bahasa bukan menulis! Hasilnya adalah generasi lulusan yang fasih berteori menulis dan hafal teori kecermatan bertata bahasa, tapi tetap saja lumpuh menulis. 6. Karangan yang sulit dipahami menunjukkan kehebatan penulisnya. Ada kecendrungan para pembaca menyalahkan dirinya tatkala mereka sulit memahami sebuah teks, dan menganggap sang penulis jagoan. Ini merupakan kekeliruan, karena sebenarnya penulis yang komunikatif selalu berpihak pada pembaca, tidak asosial, dan tidak sewenang-wenang. Penulis harus senantiasa memiliki reader orientedness, yaitu peka terhadap psikologi pembaca. 7. Menulis dapat diajarkan manakala siswa sudah dewasa. Inilah kekeliruan kita selama ini. Banyak orang yang ingin belajar menulis buku setelah mereka jadi ilmuwan. Penelitian Krashen (1984) di PT AS menyimpulkan bahwa mereka (pembelajar dewasa) yang terampil menulis adalah mereka yang (1) banyak berlatih menulis ekspositori sewaktu di SMU, (2) diberi banyak tugas menulis di SMU, (3) banyak membaca demi kesenangan sewaktu muda, (4) banyak membaca Koran, dan (5) di rumahnya berlimpah buku dan koran. 8. Menulis karangan naratif dan ekspositoris harus lebih dahulu diajarkan daripada genre-genre lainnya.

Kesewenang-wenangan dalam penentuan judul, topik atau genre dari sebuah karangan yang harus ditulis sebenarnya merupakan tindak pemasungan kreativitas berkarya tulis. Ada (maha)siswa yang senang fenomena alam, pengalaman lahiriah, atau pengalaman batiniah. Semua itu dicurah-tuliskan dalam puisi, cerpen; atau dalam esai narasi, argumentasi, ekspositori, dan sebagainya. Biarkan potensi mereka meledak-ledak. 9. Pengajaran bahasa adalah tanggung jawab guru bahasa. Bahasa adalah media pengajaran segala mata ajar dan mata kuliah. Artinya semua guru dan dosen sebenarnya guru bahasa juga. Kehirauan guru dan dosen non-bahasa akan pentingnya keterampilan menulis di kalangan (maha)siswa akan bergantung pada sejauh mana mereka produktif dalam berkarya tulis. 10. Menulis mesti diajarkan lewat perkuliahan bahasa.

Perlu dikemukakan bahwa yang terpenting dalam pengejaran menulis adalah pendekatan content area. Artinya setiap mata pelajaran atau mata kuliah dapat berperan sebagai media pengembangan keterampilan menulis. Jadi, keterampilan menulis tidak hanya dikembangkan melalui perkuliahan bahasa. 11. Bacaan atau pengajaran sastra hanya relevan bagi (maha)siswa fakultas sastra. Kebiasaaan membaca sastra harus dibangun sebagai landasan untuk membangun keterampilan menulis. Karena itu di negaranegara maju kebiasaan membaca karya sastra terus berlanjut di kalangan dokter, insinyur, dan sebagainya. Karena mereka merasa berhutang budi kepada pengajaran sastra yang telah membuat mereka mampu menulis, bahkan memberikan kenikmatan psikologis.

Banting Setir
Banyak sudah bukti kasat mata ihwal lemahnya ilmuwan kita berkarya tulis. Maka diperlukan keberanian untuk mendobrak kejumudan berkarya tulis dalam tataran pendekatan, metode, dan kebijakan.

Pendekatan
Lemahnya pendidikan sastra di tingkat SD-SMU berarti pula minimnya modal dasar untuk mengapresiasi dan menganalisis karya sastra pada mahasiswa jurusan bahasa asing. Pada tahap sekarang ini, mahasiswa di jurusan bahasa asing, terlebih dulu perlu diakrabkan kepada karya sastra daerah dan Indonesia sebagai batu loncatan sebelum merambah sastra dunia. Seyogianya mengikuti prinsip Dari dekat ke jauh, dari sekarang ke nanti, dari sini ke sana, dari mudah ke sulit.

Metode

Ada lima gerakan yang perlu diterobos dalam pendidikan bahasa kita agar (maha)siswa kita mampu menulis, yaitu : (1) Giatkan menulis kolaboratif terutama untuk menangani kelas-kelas besar. (2) Menumbuhkan rasa senang saat menulis. (3) Memberikan feed back terhadap suatu tulisan. (4) Menggunakan bidang studi sebagai media dalam menulis. (5) Mengajarkan dan membiasakan untuk menulis sedini mungkin.

Kebijakan
Ada lima kebijakan yang dapat diajukan untuk menghidupkan bangsa yang mampu menulis. Kebijakan tersebut yaitu : 1. Nama mata kuliah MKDU BI perlu diubah menjadi Menulis Akademik, sehingga dosen maupun mahasiswa sadar betul apa yang harus diajarkan dan apa yang akan diperoleh dari perkuliahan ini. 2. DI PT perlu dibentuk unit atau pusat kajian penelitian dan pelatihan menulis, sebagaimana yang lazim ada di setiap kampus dan di negara bagian bahkan distrik di AS. 3. Perlu diberlakukan program Writing Across the Curriculum (WAC) pada tingkat PT maupun SMU, untuk meluruskan pandangan sesat bahwa pelajaran menulis merupakan tugas guru BI atau dosen MKDU-BI semata. 4. Penulisan skripsi oleh mahasiswa S1 (apalagi tesis untuk S2) mutlak harus dipertahankan sebagai cara melatih mahasiswa melakukan dan melaporkan penelitian. 5. Pada tingkat SMP dan SMU perlu ditegakkan pendekatan pendidikan bahasa sebagai language arts dengan segala konsekuensi kurikulum dan implementasinya.

Horee Aku Kini Penulis Beken!


Hipotesis dan simpulan yang terangkat dari pembahasan pada babbab terdahulu, yaitu 1. Keterampilan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling terbengkalai dalam pendidikan bahasa. Ini disebabkan karena praktek yang salah dalam pembelajaran menulis dari tingkat SD sampai PT. 2. Pengajar menulis yang baik memenuhi syarat dan peran sebagai berikut : (a) sebagai motivator dan evaluator; (2) memiliki sikap positif terhadap kemampuan (maha)siswa; (3) memberikan kesempatan yang luas bagi (maha)siswa untuk menulis; (4) membangun suasana paguyuban untuk menumbuhkan kerja kolaboratif dan koperatif; (5) memiliki pandangan yang benar ihwal menulis dan proses menulis; (6) menjaga keseimbangan dalam

3.

4. 5. 6. 7. 8. 9.

memahami dan mempraktekkan berbagai pandangan pedagogis ihwal menulis. Sejumlah isu penting yang harus dipahami guru dan dosen menulis dan disampaikan kepada (maha)siswa adalah sebagai berikut: (1) Perlu waktu lama dan latihan secara sinambung untuk membangun kemampuan menulis. (2) (Maha)siswa perlu disadarkan terhadap fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang bermakna dan terhadap keterbatasan bahasa sewaktu mnulis. (3) (Maha)siswa membutuhkan masukan yang korektif dalam menulis agar tidak frustasi. (4) Kinerja (maha)siswa beragam dalam kualitas dan kuantitas. (5) (Maha)siswa harus terus menerus dberi semangat untuk berani mengambil risiko, melakukan inovasi, dan memberi interpretasi secara kompleks. Teknik menulis kolaboratif dapat diaplikasikan pada pengajaran menulis. Koreksi atau corrective feedback pada karangan (maha)siswa meningkatkan mutu tulis-ulang. Rendahnya kompetensi menulis di kalangan (maha)siswa disebabkan oleh rendahnya kemampuan komposisi bukan oleh rendahnya kompetensi linguistik. Proses menulis dalam bahasa ibu dapat ditransfer atau tercermin dalam proses menulis dalam bahasa asing. Ada korelasi antara kompetensi membaca dan kompetensi menulis. Penulis terampil memiliki karakteristik sebagai berikut : a. Melakukan perencanaan lebih lama dan lebih rinci. b. Melakukan reviu dan penilaian secara teratur. c. Memiliki banyak alternatif dalam menyelesaikan persoalan retorika karangan. d. Mempertimbangkan sudut pandang dan psikologis pembaca dalam perencanaan dan penulisan. e. Menulis draf dengan mempertimbangkan berbagai perspektif. f. Melakukan revisi dengan perspektif global, dan tidak terfokus pada satu segmen local dalam karangan. g. Melakukan revisi dengan memperhatikan organisasi karangan, isi, dan psikologi pembaca. h. Memiliki banyak strategi menulis dan merevisi. i. Melakukan revisi pada tataran sintaksis, leksis, dan pada keseluruhan karangan. j. Mengembangkan karangan secara rekursif bukannya linear, yaitu mendapatkan ide saat mengembangkan karangan.

Sabang, 07 Februari 2012 Penyusun

Devi Pratiwi

You might also like