Professional Documents
Culture Documents
mengharuskan adanya
izin suami secara sharih ataupun secara kebiasaan. Juga menunjukkan bahwa pemberian tersebut
adalah pemberian yang ringan/sedikit yang tidak menghabiskan harta. (Aridhatul Ahwadzi bi
Syarhi Shahih At-Tirmidzi, 3/143, 144)
Istri Boleh Menyedekahkan dan Menghibahkan Milik Pribadinya tanpa Izin Suami
Hal ini merupakan pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama yang dilandasi dengan dali-dalil
yang shahih. Di antaranya hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma yang telah lewat
penyebutannya, tentang para wanita yang menyedekahkan perhiasan mereka ketika dianjurkan
oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk bersedekah. Demikian pula hadits Asma`
bintu Abu Bakr radhiyallahu anhuma.
Ummul Mukminin, Maimunah bintu Al-Harits radhiyallahu anha mengabarkan bahwa ia
pernah memerdekakan budak perempuannya tanpa meminta izin kepada Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam. Ketika hari gilirannya, ia berkata kepada suaminya, Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam, Apakah anda tahu, wahai Rasulullah, bahwa saya telah memerdekakan budak
perempuan saya? Apakah engkau telah melakukannya? tanya beliau meminta kepastian.
Iya, jawab Maimunah. Beliau bersabda memberikan bimbingan, Adapun kalau budak
perempuanmu itu engkau berikan kepada kerabat-kerabatmu dari pihak ibumu niscaya lebih
besar pahalanya bagimu (daripada engkau merdekakan, pent.). (HR. Al-Bukhari no. 2592 dan
Muslim no. 2314)
Sisi pendalilan dari hadits ini adalah Maimunah memerdekakan budaknya tanpa seizin
suaminya. Ia baru menceritakannya setelah itu. Namun suaminya, Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam, tidak menyalahkannya, hanya saja beliau memberikan bimbingan kepada Maimunah
andai ia melakukan yang lebih utama, yaitu tidak memerdekakan budak tersebut tapi
menghadiahkannya kepada kerabatnya. Wallahu taala alam bish-shawab.
Salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah
kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuan. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al
Quran dan As-Sunnah, juga dengan ijma (kesepakatan ulama). (Nailul Authar, 6/374)
4).4O^-4 =}uONC
O}-Eu u-.OEO u-Ug`~E W
;}Eg E1-4O p E+NC
O4N=O- _ O>4N4 g1O7OO^-
N. O}_~^ejO O}g4OOg4
NOuO^) _ -^U> R^4^ )
E_EcN _ O._> E4).4
E-g.4O) 4 1O7O4` +O-
jg.4O) _ O>4N4 g[jO-4O^-
NuVg` ElgO up) -E1-4O =g
}4N -4O> 4gu+g)` ON4=>4 E
EEE4N_ EjgOU4N up)4 <>14O
p W-EONuO4O 7Eu
E EE4LN_ 7^OU4 -O) +;^UEc
.E` 7+^O>-47 ^OuO^)
W-OE>-4 -.- W-EOU;N-4
Ep -.- Eg 4pOU4u> OO4
^g@@
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang
ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Baqarah [2]:233)
Ketika Muawiyah bin Haidah radhiallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam: Wahai Rasulullah, apa hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?
Beliau menjawab:
((
))
Engkau beri makan istrimu bila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau
berpakaian. Jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau jelekkan
3
dan jangan engkau boikot
kecuali di dalam rumah. (HR. Abu Dawud no.1830 dan Ibnu Majah no. 1840. Dihasankan oleh
Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/202)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: Dalam hadits ini terdapat dalil tentang
wajibnya suami memberi makan kepada istrinya dengan apa yang ia makan dan memberi
3
Maksudnya, kata Abu Dawud, dengan mengatakan: Semoga Allah menjelekkanmu. (Sunan Abi Dawud, Kitabun
Nikah, bab Fi Haqqil Mar-ah ala Zaujiha). Demikian pula mengucapkan ucapan yang jelek, mencerca, mencela dan
semisalnya. (Aunul Mabud)
pakaian kepada istrinya dengan apa yang ia pakai, tidak boleh memukulnya dan tidak pula
menjelekkannya. (Nailul Authar, 6/376)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika haji Wada berkhutbah di hadapan
manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah, beliau memberi peringatan dan nasehat.
Kemudian beliau berkata, Ketahuilah, berpesanlah tentang kebaikan terhadap para wanita (para
istri)
4
karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian, kalian tidak menguasai dari
mereka sedikitpun kecuali hanya itu,
5
terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang
nyata
6
. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah
mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Namun bila mereka menaati kalian,
tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap
istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka
adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani
kalian dan mereka tidak boleh mengijinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah
kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam
hal pakaian dan makanan mereka. (HR. Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841,
dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 2030)
Hendaknya para suami mengetahui bahwa nafkah yang ia berikan kepada keluarganya
tidaklah bernilai sia-sia di hadapan Allah. Bahkan nafkah itu terhitung sebagai amalan
sedekahnya sebagaimana hadits Abu Masud Al-Anshari radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau bersabda: ((
))
Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala
dengannya maka nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya. (HR. Al-Bukhari no. 55, 4006,
5351 dan Muslim no. 1002)
Sampaipun satu suapan yang diberikan seorang suami kepada istrinya, teranggap sebagai
amalan sedekah sang suami. Demikian disabdakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
shahabat beliau, Saad bin Abi Waqqash radhiallahu 'anhu:(( ,
)) Dan apa pun yang engkau nafkahkan maka itu teranggap sebagai sedekah bagimu
sampaipun suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu. (HR. Al-Bukhari no. 5354 dan
Muslim no. 1628)
Dalam riwayat Muslim disebutkan: Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang
dengannya engkau mengharap wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengannya
sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu.
4
Berkata Al-Qadhi: Al-Istisha adalah menerima wasiat, maka makna ucapan Nabi ini adalah: Aku wasiatkan kalian
untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini. (Tuhfatul Ahwadzi)
5
Yakni selain istimta (berasyik masyuk dengannya), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan
anaknya serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)
6
Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)
Al-Muhallab berkata: Nafkah untuk keluarga hukumnya wajib dengan ijma
(kesepakatan ulama). Adapun Penetap syariat (yakni Allah red) menamakannya dengan
sedekah hanyalah dikarenakan kekhawatiran adanya sangkaan bahwa mereka tidak akan diberi
pahala atas kewajiban yang mereka tunaikan. Mereka telah mengetahui pahala sedekah, maka
Penetap syariat mengenalkan kepada mereka bahwa nafkah/infak yang mereka keluarkan (untuk
keluarga) adalah sedekah mereka sehingga mereka tidak mengeluarkan sedekah itu kepada selain
keluarga, kecuali setelah mereka mencukupi keluarga mereka. Dan penamaan infak ini dengan
sedekah adalah dalam rangka mendorong mereka agar mendahulukan sedekah yang wajib (yaitu
memberi nafkah kepada keluarga) daripada sedekah yang sunnah. (Fathul Bari, 9/600)
Namun tentunya nafkah itu barulah bernilai sedekah bila dibarengi dengan niat karena
Allah sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Saad di atas. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata ketika menerangkan hadits Abu Masud Al-Anshari radhiallahu 'anhu: Hadits ini
menerangkan bahwa yang dimaukan dengan sedekah dan nafkah secara mutlak dalam hadits-
hadits yang ada adalah bila orang yang mengeluarkannya itu ihtisab, maknanya ia menginginkan
wajah Allah dengan nafkah tersebut. Sehingga bila seseorang memberikan nafkah dalam keadaan
lupa atau kacau pikirannya, tidaklah ia mendapatkan nilai sedekah seperti yang dinyatakan dalam
hadits ini, namun yang masuk dalam hadits ini hanyalah bila seseorang itu muhtasib
(mengharapkan pahala), ia ingat kewajibannya untuk memberikan infak kepada istri, anak-
anaknya, budaknya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi selain mereka (Syarah Shahih
Muslim, 7/88-89)
Beliau juga berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits Saad: Hadits ini
menunjukkan disenanginya memberi infak dalam berbagai perkara kebaikan, dan menunjukkan
bahwa amalan itu tergantung niatnya, sehingga seseorang itu hanyalah diberi pahala atas
amalnya dengan niatnya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa memberi infak kepada keluarga
akan diberi pahala bila mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana pula
dalam hadits ini ditunjukkan bahwa perkara mubah bila diniatkan untuk mengharap wajah Allah
Subhanahu wa Ta'ala akan menjadi amalan ketaatan dan diberi pahala karenanya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi peringatan tentang hal ini dengan sabda
beliau: Sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu, sementara istri termasuk
bagian dunia yang paling khusus bagi seorang laki-laki, tempat pelampiasan syahwatnya dan
tempat kelezatannya yang mubah. Biasanya menyuapi istri hanya terjadi ketika sedang
bercengkerama, berlemah lembut dan bercumbu dengan sesuatu yang mubah. Bila dipikir,
keadaan seperti ini tentunya sangat jauh dari ketaatan dan perkara-perkara akhirat. Namun
bersamaan dengan itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bila si suami
memaksudkan suapan tersebut dalam rangka mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala maka
ia akan memperoleh pahala dengan perbuatan tersebut.
Tentunya perbuatan yang selain ini lebih pantas untuk memperoleh pahala bila ditujukan
karena wajah Allah. Terkandung dalam hal ini apabila manusia melakukan sesuatu yang asalnya
mubah dengan mengharap wajah Allah maka ia akan diberi pahala, seperti bila seseorang makan
dengan niat agar kuat dalam melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidur untuk
istirahat agar bisa bangun untuk melaksanakan ibadah dalam keadaan segar lagi bersemangat,
bercumbu dengan istri dan budak wanita yang dimiliki dengan tujuan menjaga diri,
pandangannya dan selainnya dari perkara yang haram, juga untuk tujuan memenuhi hak istri dan
untuk memperoleh anak yang shalih. Inilah makna dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
(Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian ada sedekah.) Wallahu alam. (Syarah Shahih
Muslim, 11/77-78)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata: Dari hadits (Saad) ini diambil
faidah bahwasanya satu amalan tidak akan diperoleh pahala karenanya kecuali bila amalan itu
bergandengan dengan niat. (Fathul Bari, 9/600)
Kemudian beliau menukilkan ucapan Al-Imam Ath-Thabari secara ringkas: Wajib
memberi nafkah kepada keluarga. Orang yang melakukannya akan diberi pahala dengan
tujuannya. Dan tidaklah saling bertentangan antara keberadaan nafkah ini sebagai sesuatu yang
wajib dengan penamaannya sebagai sedekah, bahkan nafkah ini lebih utama daripada sedekah
yang sunnah.
Nafkah yang diberikan seorang suami kepada keluarganya merupakan nafkah yang paling
utama (afdhal) dan paling besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tsauban radhiallahu 'anhu menuturkan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Dinar yang paling utama yang dibelanjakan oleh seseorang adalah dinar yang dinafkahkan
untuk keluarganya, dan dinar yang dibelanjakan oleh seseorang untuk tunggangannya dalam
jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dinar yang diinfakkan oleh seseorang untuk teman-
temannya di jalan Allah. (HR. Muslim no. 994)
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, satu dinar yang engkau keluarkan
untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu
dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua
nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu. (HR. Muslim no.
995)
Tentunya nafkah ini dikeluarkan oleh seorang suami sesuai dengan kadar
kemampuannya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
u-g4NOg O lOEEc }g)`
gOgEEc W }4`4 4Og~ gO^OU4N
+O~^ejO u-g4NOU .Og` +O>-47
+.- _ -ggUNC +.- O^4^ )
.4` E_>-47 _ NE;41Ec +.-
Eu4 O;ONN -LO;O+C ^_
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang
disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(QS. ath-Thalaq
[65]:7)
Tidak ada penetapan besarnya nafkah yang wajib dikeluarkan oleh suami, namun yang
jadi patokan adalah kecukupan nafkah tersebut bagi yang dinafkahi, demikian pendapat jumhur
ulama dari perselisihan pendapat yang ada. (Subulus Salam, 3/341, Nailul Authar, 6/377)
~ Ep) O).4O 7OOO:4C -^e)O-
}Eg +7.4=EC ;}g` jg14lgN
+Og^4C4 +O _ .4`4 +^E^
}g)` 7/E* 4O_ +O)U^C7 W 4O-4
+OOE= --g~)eO- ^@_
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-
Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". dan
barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi
rezki yang sebaik-baiknya.(QS. Saba [34]:39)
Seorang suami yang tidak memberikan nafkah kepada keluarganya sementara ia punya
kemampuan berarti ia telah melalaikan satu kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
bebankan di pundaknya, dan cukuplah baginya untuk mendapatkan dosa. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyatakan hal ini dalam sabdanya, Cukuplah bagi seseorang untuk
mendapatkan dosa bila ia menahan makanan dari orang yang berhak mendapatkan makanan
darinya.
7
(HR. Muslim no. 996)
Al-Imam Ash-Shanani rahimahullah berkata: Hadits ini merupakan dalil tentang
wajibnya seseorang memberi nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Karena
tidaklah seseorang dihukumi berdosa kecuali karena ia telah meninggalkan kewajibannya.
Disampaikan di sini bahwa dosanya tersebut cukup untuk membinasakan dirinya tanpa harus
menyertakan dosa yang selainnya. (Subulus Salam, 3/345)
7
Orang yang ia beri makan adalah mereka yang wajib untuk ia berikan infak/nafkah, yaitu istrinya, anak-anak,
budak yang diimiliki. (Subulus Salam, 3/345)
Bila ternyata seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya dengan pemberian
yang mencukupi atau malah tidak memberikan sama sekali, diperkenankan bagi seorang istri
untuk mengambil dari harta suaminya walau tanpa sepengetahuannya. Hal ini pernah terjadi pada
diri Hindun bintu Utbah radhiallahu 'anha, istri Abu Sufyan dan ibu dari Muawiyah bin Abu
Sufyan radhiallahu 'anhuma. Ia mengadukan keadaan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, Abu Sufyan itu seorang lelaki yang bakhil.
8
Ia tidak memberi nafkah yang
cukup padaku dan anakku, kecuali bila aku mengambil dari hartanya dalam keadaan ia tidak
tahu.
9
Rasulullah menjawab: Ambillah untukmu dan anakmu dengan apa yang mencukupimu
dengan cara yang maruf. (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714)
Namun tentunya seorang istri hanya dibolehkan mengambil harta tersebut dengan cara
yang maruf, yaitu kadar harta yang diambil tersebut diketahui secara kebiasaan telah
mencukupi. (Fathul Bari, 9/613)
Adapun bila suami telah memberikan nafkah dengan cukup sesuai kemampuannya, tidak
boleh seorang istri mengambil harta suaminya tanpa ijinnya. Wallahu taala alam bish-shawab.
8
Al-Qurthubi menyatakan: Hindun tidaklah memaksudkan bahwa sifat Abu Sufyan itu bakhil dalam seluruh
keadaannya. Namun ia hanyalah mensifatkan keadaan dirinya bersama Abu Sufyan, bahwa Abu Sufyan
menyempitkan pemberian nafkah untuknya dan untuk anak-anaknya. Dan ini tidaklah berkonsekuensi bahwa Abu
Sufyan itu memiliki sifat bakhil secara mutlak karena kebanyakan para tokoh/pemimpin melakukan hal tersebut
terhadap istrinya dan ia mementingkan/lebih mendahulukan orang lain dalam rangka mengambil hati mereka.
(Fathul Bari, 9/613)
9
Hadits ini merupakan satu dalil tentang bolehnya seseorang menyebut perkara orang lain yang tidak ia sukai bila
dalam rangka meminta fatwa kepada seorang alim atau mengadukan perkaranya kepada orang yang berwenang dan
semisalnya. Ini salah satu bentuk ghibah yang diperbolehkan. (Syarah Shahih Muslim, 12/7, Fathul Bari, 9/613,
Subulus Salam, 3/341)