You are on page 1of 15

Bersedekahlah

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah




Sudah menjadi kecenderungannya, manusia amat mencintai materi atau harta yang
menjadi miliknya. Di saat lapang saja ia demikian, terlebih lagi di saat sempit. Padahal Islam
senantiasa menganjurkan umatnya untuk bersedekah di saat sulit sekalipun.
E` 4g -.- 4pOgLNC
_4O^` O) O):Ec *.-
VEE O*:EO ;e44^ E7lEc
)4LEc O) ]7 l-+l4c
OwWg)` lO*:EO +.-4 -g_NC
}Eg +7.4=EC +.-4 77c4 v1)U4
^gg
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya
di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah
Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS. al-Baqarah [2]: 261)
-g~-.- ]Og4NC _4O^`
^1-) jOE_EL-4 -+Oc
LO41g^E4N4 _U -NO;_ E4gN
)_)4O 4 +OOE= )_^OU4 4 -
]O+^4O4C ^g_j
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi
dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. al-Baqarah [2]: 274)

Ep) --g)UO^-
geE)UO^-4 --gLg`u^-4
geE4g`u^-4 4-g-gL^-4
ge4gL^-4 4-g~gO-4
ge~gO-4 4)OO-4
g4OO-4 4-gg=EC^-4
geEg=EC^-4
4-g~g-=4^-4
ge~g-=4^-4
4-gj^O-4 geEj^O-4
--ggO4^-4 _E_NO
gegE^-4 -@O-~.-4
-.- -LOOgVE g4O-~.-4 O4N
+.- e+O LE4Og^E` -O;_4
VOg4N ^@)
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang
mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang
benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan
yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Ahzab [33]:
35)
Ep) 4-g~g-O^-
ge~g-O^-4 W-O4O^~4
-.- O~ 4L=OEO -E_NC _
_4 EO;_ _C@OE ^g
Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul- Nya) baik laki-laki
maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan
dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.(QS. al-
Hadid [57]:18)
Rasul Shallallahu alaihi wa sallam yang mulia pun turut memberi dorongan kepada para
wanita untuk bersedekah, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma. Ia
bertutur, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam shalat pada hari Idul Fithri dua rakaat dan tidak
shalat sebelum maupun sesudahnya. Kemudian (setelah menyampaikan khutbah kepada hadirin)
beliau mendatangi tempat para wanita sementara Bilal menyertai beliau. Beliau memerintahkan
mereka untuk bersedekah. Maka mulailah mereka melemparkan perhiasan mereka (ke kain yang
dibentangkan Bilal untuk menampung sedekah), ada wanita yang melemparkan anting-anting
dan kalungnya. (HR. Al-Bukhari no. 964 dan Muslim no. 2054)
Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu anha berkata, Aku berkata: Wahai Rasulullah, aku
tidak memiliki harta kecuali apa yang dimasukkan Az-Zubair kepadaku. Apakah boleh aku
menyedekahkannya? Beliau bersabda: Bersedekahlah. Jangan engkau kumpul-kumpulkan
hartamu dalam wadah dan enggan memberikan infak, niscaya Allah akan menyempitkan
rizkimu. (HR. Al-Bukhari no. 2590 dan Muslim no. 2375)

Sampaipun seorang wanita tidak memiliki kelebihan harta ataupun makanan, kecuali
sedikit, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tetap memberikan dorongan baginya untuk
bersedekah dan tidak menahannya, terutama kepada tetangganya. Abu Hurairah radhiyallahu
anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Wahai wanita-
wanita muslimah! Janganlah seorang tetangga meremehkan untuk memberikan sedekah kepada
tetangganya, walaupun hanya sepotong kaki kambing. (HR. Al-Bukhari no. 6017 dan Muslim
no. 2376)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, Janganlah seorang wanita menahan
untuk memberi sedekah dan hadiah kepada tetangganya, karena kekurangannya yang ada pada
dirinya dan ia meremehkan apa yang hendak diberikannya. Namun hendaknya ia bersifat
dermawan, memberi apa yang mudah baginya untuk diberikan walaupun hanya sedikit, seperti
sepotong kaki kambing. Itu lebih baik daripada tidak memberi sama sekali.
}E Eu4C 4u1g` EOO -6O^OE=
+4O4C ^_
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.(QS. az-zalzalah [99]:7)
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Takutlah kalian kepada api neraka
walaupun (untuk menjaga diri dari neraka tersebut) kalian hanya dapat bersedekah dengan
sepotong belahan kurma1. (Al-Minhaj, 7/121)
Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan bahwa kaum wanita paling
banyak menjadi penghuni neraka, beliau Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan mereka
untuk banyak-banyak bersedekah. Sebagaimana pengabaran Abu Said Al-Khudri radhiyallahu
anhu berikut ini, Dalam satu hari raya, Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam keluar menuju mushalla (tanah lapang). Beliau melewati para wanita, maka
beliau bersabda, Wahai sekalian kaum wanita, bersedekahlah. Karena diperlihatkan kepadaku
mayoritas penduduk neraka adalah kalian. (HR. Al-Bukhari no. 304)
Kaum wanita diperintah bersedekah karena mayoritas mereka penghuni neraka. Dengan
demikian, sedekah yang mereka keluarkan dapat menolak adzab api neraka dari mereka dengan
izin Allah Subhanahu wa Taala, selain juga dengan banyak beristighfar, sebagaimana tambahan
dalam riwayat Muslim dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Wahai sekalian kaum
wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun). karena aku melihat
mayoritas penduduk neraka adalah kalian. (HR. Muslim no. 238)
Boleh Bersedekah kepada Suami dan Anak. Sedekah yang utama adalah yang diberikan
kepada kerabat terdekat. Karenanya, seorang wanita boleh memberikan sedekah kepada
suaminya, bahkan mengeluarkan zakatnya untuk suaminya, bila memang suami termasuk orang
yang berhak memperolehnya, dari kalangan orang-orang yang tersebut dalam firman-Nya:
E^^) e~EO-
g7.-4OUg -=OE^-4
4-)-gE^-4 OgOU4
gOE-E^-4 gOU~ )4
~@O- 4-g`@O4^-4 )4
O):Ec *.- ^-4 O):OO- W
LO_C@O ;g)` *.- +.-4 v1)U4
_O:EO ^g
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (QS. at-Taubah [9]: 60)
Ini merupakan pendapat jumhur ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ash-
Shanani rahimahullahu dalam Subulus Salam (4/67).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, Ulama berdalil dengan hadits
ini (hadits Zainab Ats-Tsaqafiyyah radhiyallahu anha yang akan disebutkan setelah ini, pent.)
untuk membolehkan seorang wanita memberikan zakatnya kepada suaminya. Ini merupakan
pendapat Al-Imam Asy-Syafii, Ats-Tsauri, dua murid Abu Hanifah, dan salah satu dari dua
riwayat Al-Imam Malik dan Al-Imam Ahmad. (Fathul Bari, 3/415)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, Secara zahir, boleh bagi istri
menyerahkan zakatnya kepada suaminya. Pertama, karena tidak ada larangan dalam hal ini. Dan
siapa yang mengatakan tidak boleh, hendaklah ia mendatangkan dalil. Kedua (dalam hadits
Zainab Ats-Tsaqafiyyah radhiyallahu anha, pent.) Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak
minta perincian
1
. Berarti, sedekah di sini keberadaannya umum (mencakup yang sunnah dan
yang wajib). Tatkala beliau tidak meminta perincian tentang sedekah tersebut apakah sifatnya
sunnah ataukah wajib, seakan-akan beliau menyatakan (kepada Zainab), Boleh bagimu
memberikan sedekah kepada suamimu, sama saja baik sedekah yang fardhu (yaitu zakat, pent.)
atau yang sunnah. (Nailul Authar, 4/224)
Zainab Ats-Tsaqafiyyah, istri Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu, pernah minta izin
menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Ketika disebutkan nama Zainab di hadapan
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bertanya, Zainab yang mana? Dijawab, Istri
Ibnu Masud. Beliau berkata, Iya, izinkan dia masuk. Maka diizinkanlah Zainab, ia bertanya,
Wahai Nabiyullah! Engkau hari ini memerintahkan kami bersedekah. Aku memiliki perhiasan,
aku ingin menyedekahkannya. Namun Ibnu Masud menganggap bahwa dirinya dan anaknya

1
Ketika ditanya sehubungan dengan masalah Zainab Ats-Tsaqafiyyah radhiyallahu anha, apakah seorang istri boleh
memberikan sedekahnya kepada suaminya. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menyatakan kebolehannya tanpa
mempertanyakan apakah sedekah tersebut sedekah yang sunnah atau sedekah yang wajib (zakat).
adalah orang yang paling pantas memperoleh sedekahku itu. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, Benar kata Ibnu Masud, suami dan anakmu adalah orang yang paling pantas
mendapatkan sedekahmu tersebut. (HR. Al-Bukhari no. 1462)

Dalam riwayat lain disebutkan, Zainab Ats-Tsaqafiyyah radhiyallahu anha berkata,
Aku pernah berada dalam masjid, ketika itu aku melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, Bersedekahlah kalian (para wanita) walaupun dengan perhiasan kalian. Sementara
Zainab biasa memberikan infak kepada Abdullah dan anak-anak yatim yang berada dalam
pengasuhannya. Zainab berkata kepada Abdullah, Tanyakan kepada Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam, apakah boleh bagiku memberikan infak kepadamu dan kepada anak-anak
yatim yang dalam asuhanku? Abdullah berkata, Kamu saja yang bertanya kepada Rasulullah.
Aku pun pergi ke tempat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Di depan pintu aku menjumpai
seorang wanita dari kalangan Anshar, keperluannya (permasalahannya) sama dengan
keperluanku. Ketika itu Bilal melewati kami, maka kami pun memanggilnya dan meminta
kepadanya, Tanyakan kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, apakah boleh bagiku
memberikan infak kepada suamiku dan kepada anak-anak yatimku yang dalam asuhanku? Kami
juga berpesan, Jangan engkau beritahu kepada Nabi siapa kami berdua. Bilal pun masuk ke
tempat Nabi dan bertanya kepada beliau. Setelahnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bertanya, Siapa dua wanita yang bertanya itu? Bilal menjawab, Zainab. Zainab yang mana?
tanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Bilal menjawab, Istri Abdullah. Iya, boleh dan
ia akan mendapatkan pahala karena menyambung hubungan kekerabatan dan pahala sedekah.
(HR. Al-Bukhari no. 1466 dan Muslim no. 2315)
Suatu ketika Ummul Mukminin, Ummu Salamah radhiyallahu anha bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Apakah aku mendapatkan pahala bila aku memberikan
infak kepada anak-anak Abu Salamah
2
? Mereka itu anak-anakku sendiri. Rasulullah bersabda:
Berilah infak kepada mereka, engkau akan mendapatkan pahala karena memberikan infak
kepada mereka. (HR. Al-Bukhari no. 1467 dan Muslim no. 2317)
Boleh Bersedekah dengan Sesuatu yang Ada di Rumah Suami
Aisyah radhiyallahu anha berkata, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Apabila
seorang wanita menginfakkan makanan yang ada di rumahnya tanpa merusak, maka ia akan
beroleh pahala atas apa yang diinfakkannya. Demikian pula suaminya mendapatkan pahala
dengan apa yang ia usahakan. (HR. Al-Bukhari no. 1437, 1441 dan Muslim no. 2361)
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam: tanpa merusak diterangkan maknanya oleh
Al-Imam Ash-Shanani rahimahullahu yaitu tidak berlebih-lebihan dalam infak tersebut, tidak
menimbulkan kemudaratan serta tidak menghabiskan harta. (Subulus Salam, 4/65)
Abu Hurairah radhiyallahu anhu menyampaikan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,
Apabila seorang wanita berinfak dari penghasilan suaminya tanpa diperintahkan oleh suaminya
maka ia beroleh setengah pahalanya. (HR. Al-Bukhari no. 2066 dan Muslim no. 2367)


2
Suaminya yang telah meninggal dunia.
Dari hadits di atas, kita pahami bahwa seorang istri boleh berinfak dengan harta suami
walaupun tanpa seizinnya. Namun yang jadi permasalahan, terdapat hadits yang menyelisihi hal
ini, yaitu hadits Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu anhu. Ia berkata, Aku pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya pada tahun haji Wada,
Seorang wanita tidak boleh menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin
suaminya. Ditanyakan kepada beliau, Wahai Rasulullah, walaupun makanan? Beliau
menjawab, Makanan adalah harta kita yang paling utama. (HR. At-Tirmidzi no. 670,
dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, Ketahuilah, bila seorang pekerja
yaitu khazin (penjaga harta tuannya), istri dan budak ingin menginfakkan harta tuan/suaminya, ia
harus mendapatkan izin dari si pemilik harta (atau suami) terlebih dahulu. Bila sama sekali tidak
ada izinnya maka tidak ada pahala yang didapatkan oleh ketiga golongan tersebut. Bahkan
ketiganya berdosa karena menggunakan harta orang lain tanpa seizin pemiliknya. Yang namanya
izin ada dua macam, pertama: izin yang sharih (jelas) dalam nafkah dan sedekah. Kedua: izin
yang dipahami dari kebiasaan, seperti memberi sepotong roti kepada peminta-minta, dari
kebiasaan yang biasa berlangsung. Dan diketahui menurut kebiasaan bahwa suami dan pemilik
harta ridha. Dengan begitu diperoleh izinnya walaupun ia tidak mengucapkannya. Hal ini
tentunya bila diketahui keridhaannya menurut kebiasaan serta diketahui bahwa jiwanya
sebagaimana jiwa kedermawaan dan keridhaan sebagaimana keumuman orang-orang. Bila
kebiasaannya tidak tetap dan diragukan keridhaannya atau si pemilik harta/suami itu seorang
yang pelit, dan itu diketahui atau diragukan dari keadaannya, maka tidak boleh seorang istri dan
selainnya menggunakan hartanya (untuk diinfakkan kepada yang membutuhkan) kecuali
mendapatkan izin yang sharih (jelas) darinya.
Adapun sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, Apabila seorang istri berinfak dari
penghasilan suaminya tanpa diperintahkan oleh suaminya maka setengah pahalanya untuk si
suami. Maknanya, tanpa perintahnya yang sharih dalam kadar tertentu dari hartanya yang telah
diinfakkan tersebut. Namun si istri dulunya telah mendapatkan izin yang umum yang mencakup
kadar tersebut dan selainnya.
Al-Imam An-Nawawi juga menyatakan, Ketahuilah, semua pengeluaran infak dari harta
suami tanpa izinnya yang sharih adalah sebatas kadar yang ringan, yang menurut kebiasaan ia
ridha hartanya diberikan dalam kadar yang demikian. Bila kadarnya sampai melebihi kebiasaan,
maka tidaklah dibolehkan. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam mengisyaratkan kepada kadar
yang diketahui bahwa suami ridha bila hartanya diberikan sejumlah demikian menurut
kebiasaan. (Al-Minhaj, 7/114-115)
Al-Imam Ibnul Arabi Al-Maliki rahimahullahu berkata, Manusia berbeda dalam dua
pendapat dalam menjelaskan hadits ini. Di antara mereka ada yang mengatakan istri boleh
menginfakkan harta suaminya dalam kadar yang ringan/sedikit yang tidak berpengaruh bila
dikeluarkan dari harta yang ada, dan tidak begitu tampak pengeluarannya. Pendapat kedua, istri
boleh menginfakkan harta suaminya bila suaminya telah mengizinkannya. Ini pendapat yang
dipilih Al-Imam Al-Bukhari . Adapun menurutku, hal itu mungkin dibawa kepada kebiasaan
yang ada. Bila si istri tahu bahwa suaminya tidak benci/marah hartanya diberikan atau
disedekahkan maka ia boleh melakukannya selama tidak menghabiskan harta tersebut.
Ibnul Arabi rahimahullahu menjelaskan bahwa makna

mengharuskan adanya
izin suami secara sharih ataupun secara kebiasaan. Juga menunjukkan bahwa pemberian tersebut
adalah pemberian yang ringan/sedikit yang tidak menghabiskan harta. (Aridhatul Ahwadzi bi
Syarhi Shahih At-Tirmidzi, 3/143, 144)
Istri Boleh Menyedekahkan dan Menghibahkan Milik Pribadinya tanpa Izin Suami
Hal ini merupakan pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama yang dilandasi dengan dali-dalil
yang shahih. Di antaranya hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma yang telah lewat
penyebutannya, tentang para wanita yang menyedekahkan perhiasan mereka ketika dianjurkan
oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk bersedekah. Demikian pula hadits Asma`
bintu Abu Bakr radhiyallahu anhuma.
Ummul Mukminin, Maimunah bintu Al-Harits radhiyallahu anha mengabarkan bahwa ia
pernah memerdekakan budak perempuannya tanpa meminta izin kepada Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam. Ketika hari gilirannya, ia berkata kepada suaminya, Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam, Apakah anda tahu, wahai Rasulullah, bahwa saya telah memerdekakan budak
perempuan saya? Apakah engkau telah melakukannya? tanya beliau meminta kepastian.
Iya, jawab Maimunah. Beliau bersabda memberikan bimbingan, Adapun kalau budak
perempuanmu itu engkau berikan kepada kerabat-kerabatmu dari pihak ibumu niscaya lebih
besar pahalanya bagimu (daripada engkau merdekakan, pent.). (HR. Al-Bukhari no. 2592 dan
Muslim no. 2314)
Sisi pendalilan dari hadits ini adalah Maimunah memerdekakan budaknya tanpa seizin
suaminya. Ia baru menceritakannya setelah itu. Namun suaminya, Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam, tidak menyalahkannya, hanya saja beliau memberikan bimbingan kepada Maimunah
andai ia melakukan yang lebih utama, yaitu tidak memerdekakan budak tersebut tapi
menghadiahkannya kepada kerabatnya. Wallahu taala alam bish-shawab.
Salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah
kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuan. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al
Quran dan As-Sunnah, juga dengan ijma (kesepakatan ulama). (Nailul Authar, 6/374)

4).4O^-4 =}uONC
O}-Eu u-.OEO u-Ug`~E W
;}Eg E1-4O p E+NC
O4N=O- _ O>4N4 g1O7OO^-
N. O}_~^ejO O}g4OOg4
NOuO^) _ -^U> R^4^ )
E_EcN _ O._> E4).4
E-g.4O) 4 1O7O4` +O-
jg.4O) _ O>4N4 g[jO-4O^-
NuVg` ElgO up) -E1-4O =g
}4N -4O> 4gu+g)` ON4=>4 E
EEE4N_ EjgOU4N up)4 <>14O
p W-EONuO4O 7Eu
E EE4LN_ 7^OU4 -O) +;^UEc
.E` 7+^O>-47 ^OuO^)
W-OE>-4 -.- W-EOU;N-4
Ep -.- Eg 4pOU4u> OO4
^g@@
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang
ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Baqarah [2]:233)
Ketika Muawiyah bin Haidah radhiallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam: Wahai Rasulullah, apa hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?
Beliau menjawab:
((

))
Engkau beri makan istrimu bila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau
berpakaian. Jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau jelekkan
3
dan jangan engkau boikot
kecuali di dalam rumah. (HR. Abu Dawud no.1830 dan Ibnu Majah no. 1840. Dihasankan oleh
Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/202)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: Dalam hadits ini terdapat dalil tentang
wajibnya suami memberi makan kepada istrinya dengan apa yang ia makan dan memberi

3
Maksudnya, kata Abu Dawud, dengan mengatakan: Semoga Allah menjelekkanmu. (Sunan Abi Dawud, Kitabun
Nikah, bab Fi Haqqil Mar-ah ala Zaujiha). Demikian pula mengucapkan ucapan yang jelek, mencerca, mencela dan
semisalnya. (Aunul Mabud)
pakaian kepada istrinya dengan apa yang ia pakai, tidak boleh memukulnya dan tidak pula
menjelekkannya. (Nailul Authar, 6/376)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika haji Wada berkhutbah di hadapan
manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah, beliau memberi peringatan dan nasehat.
Kemudian beliau berkata, Ketahuilah, berpesanlah tentang kebaikan terhadap para wanita (para
istri)
4
karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian, kalian tidak menguasai dari
mereka sedikitpun kecuali hanya itu,
5
terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang
nyata
6
. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah
mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Namun bila mereka menaati kalian,
tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap
istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka
adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani
kalian dan mereka tidak boleh mengijinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah
kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam
hal pakaian dan makanan mereka. (HR. Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841,
dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 2030)
Hendaknya para suami mengetahui bahwa nafkah yang ia berikan kepada keluarganya
tidaklah bernilai sia-sia di hadapan Allah. Bahkan nafkah itu terhitung sebagai amalan
sedekahnya sebagaimana hadits Abu Masud Al-Anshari radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau bersabda: ((

))
Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala
dengannya maka nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya. (HR. Al-Bukhari no. 55, 4006,
5351 dan Muslim no. 1002)
Sampaipun satu suapan yang diberikan seorang suami kepada istrinya, teranggap sebagai
amalan sedekah sang suami. Demikian disabdakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
shahabat beliau, Saad bin Abi Waqqash radhiallahu 'anhu:(( ,

)) Dan apa pun yang engkau nafkahkan maka itu teranggap sebagai sedekah bagimu
sampaipun suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu. (HR. Al-Bukhari no. 5354 dan
Muslim no. 1628)
Dalam riwayat Muslim disebutkan: Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang
dengannya engkau mengharap wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengannya
sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu.


4
Berkata Al-Qadhi: Al-Istisha adalah menerima wasiat, maka makna ucapan Nabi ini adalah: Aku wasiatkan kalian
untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini. (Tuhfatul Ahwadzi)
5
Yakni selain istimta (berasyik masyuk dengannya), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan
anaknya serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)
6
Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)
Al-Muhallab berkata: Nafkah untuk keluarga hukumnya wajib dengan ijma
(kesepakatan ulama). Adapun Penetap syariat (yakni Allah red) menamakannya dengan
sedekah hanyalah dikarenakan kekhawatiran adanya sangkaan bahwa mereka tidak akan diberi
pahala atas kewajiban yang mereka tunaikan. Mereka telah mengetahui pahala sedekah, maka
Penetap syariat mengenalkan kepada mereka bahwa nafkah/infak yang mereka keluarkan (untuk
keluarga) adalah sedekah mereka sehingga mereka tidak mengeluarkan sedekah itu kepada selain
keluarga, kecuali setelah mereka mencukupi keluarga mereka. Dan penamaan infak ini dengan
sedekah adalah dalam rangka mendorong mereka agar mendahulukan sedekah yang wajib (yaitu
memberi nafkah kepada keluarga) daripada sedekah yang sunnah. (Fathul Bari, 9/600)
Namun tentunya nafkah itu barulah bernilai sedekah bila dibarengi dengan niat karena
Allah sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Saad di atas. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata ketika menerangkan hadits Abu Masud Al-Anshari radhiallahu 'anhu: Hadits ini
menerangkan bahwa yang dimaukan dengan sedekah dan nafkah secara mutlak dalam hadits-
hadits yang ada adalah bila orang yang mengeluarkannya itu ihtisab, maknanya ia menginginkan
wajah Allah dengan nafkah tersebut. Sehingga bila seseorang memberikan nafkah dalam keadaan
lupa atau kacau pikirannya, tidaklah ia mendapatkan nilai sedekah seperti yang dinyatakan dalam
hadits ini, namun yang masuk dalam hadits ini hanyalah bila seseorang itu muhtasib
(mengharapkan pahala), ia ingat kewajibannya untuk memberikan infak kepada istri, anak-
anaknya, budaknya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi selain mereka (Syarah Shahih
Muslim, 7/88-89)
Beliau juga berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits Saad: Hadits ini
menunjukkan disenanginya memberi infak dalam berbagai perkara kebaikan, dan menunjukkan
bahwa amalan itu tergantung niatnya, sehingga seseorang itu hanyalah diberi pahala atas
amalnya dengan niatnya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa memberi infak kepada keluarga
akan diberi pahala bila mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana pula
dalam hadits ini ditunjukkan bahwa perkara mubah bila diniatkan untuk mengharap wajah Allah
Subhanahu wa Ta'ala akan menjadi amalan ketaatan dan diberi pahala karenanya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi peringatan tentang hal ini dengan sabda
beliau: Sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu, sementara istri termasuk
bagian dunia yang paling khusus bagi seorang laki-laki, tempat pelampiasan syahwatnya dan
tempat kelezatannya yang mubah. Biasanya menyuapi istri hanya terjadi ketika sedang
bercengkerama, berlemah lembut dan bercumbu dengan sesuatu yang mubah. Bila dipikir,
keadaan seperti ini tentunya sangat jauh dari ketaatan dan perkara-perkara akhirat. Namun
bersamaan dengan itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bila si suami
memaksudkan suapan tersebut dalam rangka mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala maka
ia akan memperoleh pahala dengan perbuatan tersebut.
Tentunya perbuatan yang selain ini lebih pantas untuk memperoleh pahala bila ditujukan
karena wajah Allah. Terkandung dalam hal ini apabila manusia melakukan sesuatu yang asalnya
mubah dengan mengharap wajah Allah maka ia akan diberi pahala, seperti bila seseorang makan
dengan niat agar kuat dalam melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidur untuk
istirahat agar bisa bangun untuk melaksanakan ibadah dalam keadaan segar lagi bersemangat,
bercumbu dengan istri dan budak wanita yang dimiliki dengan tujuan menjaga diri,
pandangannya dan selainnya dari perkara yang haram, juga untuk tujuan memenuhi hak istri dan
untuk memperoleh anak yang shalih. Inilah makna dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
(Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian ada sedekah.) Wallahu alam. (Syarah Shahih
Muslim, 11/77-78)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata: Dari hadits (Saad) ini diambil
faidah bahwasanya satu amalan tidak akan diperoleh pahala karenanya kecuali bila amalan itu
bergandengan dengan niat. (Fathul Bari, 9/600)
Kemudian beliau menukilkan ucapan Al-Imam Ath-Thabari secara ringkas: Wajib
memberi nafkah kepada keluarga. Orang yang melakukannya akan diberi pahala dengan
tujuannya. Dan tidaklah saling bertentangan antara keberadaan nafkah ini sebagai sesuatu yang
wajib dengan penamaannya sebagai sedekah, bahkan nafkah ini lebih utama daripada sedekah
yang sunnah.
Nafkah yang diberikan seorang suami kepada keluarganya merupakan nafkah yang paling
utama (afdhal) dan paling besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tsauban radhiallahu 'anhu menuturkan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Dinar yang paling utama yang dibelanjakan oleh seseorang adalah dinar yang dinafkahkan
untuk keluarganya, dan dinar yang dibelanjakan oleh seseorang untuk tunggangannya dalam
jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dinar yang diinfakkan oleh seseorang untuk teman-
temannya di jalan Allah. (HR. Muslim no. 994)
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, satu dinar yang engkau keluarkan
untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu
dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua
nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu. (HR. Muslim no.
995)
Tentunya nafkah ini dikeluarkan oleh seorang suami sesuai dengan kadar
kemampuannya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
u-g4NOg O lOEEc }g)`
gOgEEc W }4`4 4Og~ gO^OU4N
+O~^ejO u-g4NOU .Og` +O>-47
+.- _ -ggUNC +.- O^4^ )
.4` E_>-47 _ NE;41Ec +.-
Eu4 O;ONN -LO;O+C ^_
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang
disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(QS. ath-Thalaq
[65]:7)


Tidak ada penetapan besarnya nafkah yang wajib dikeluarkan oleh suami, namun yang
jadi patokan adalah kecukupan nafkah tersebut bagi yang dinafkahi, demikian pendapat jumhur
ulama dari perselisihan pendapat yang ada. (Subulus Salam, 3/341, Nailul Authar, 6/377)
~ Ep) O).4O 7OOO:4C -^e)O-
}Eg +7.4=EC ;}g` jg14lgN
+Og^4C4 +O _ .4`4 +^E^
}g)` 7/E* 4O_ +O)U^C7 W 4O-4
+OOE= --g~)eO- ^@_
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-
Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". dan
barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi
rezki yang sebaik-baiknya.(QS. Saba [34]:39)
Seorang suami yang tidak memberikan nafkah kepada keluarganya sementara ia punya
kemampuan berarti ia telah melalaikan satu kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
bebankan di pundaknya, dan cukuplah baginya untuk mendapatkan dosa. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyatakan hal ini dalam sabdanya, Cukuplah bagi seseorang untuk
mendapatkan dosa bila ia menahan makanan dari orang yang berhak mendapatkan makanan
darinya.
7
(HR. Muslim no. 996)
Al-Imam Ash-Shanani rahimahullah berkata: Hadits ini merupakan dalil tentang
wajibnya seseorang memberi nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Karena
tidaklah seseorang dihukumi berdosa kecuali karena ia telah meninggalkan kewajibannya.
Disampaikan di sini bahwa dosanya tersebut cukup untuk membinasakan dirinya tanpa harus
menyertakan dosa yang selainnya. (Subulus Salam, 3/345)


7
Orang yang ia beri makan adalah mereka yang wajib untuk ia berikan infak/nafkah, yaitu istrinya, anak-anak,
budak yang diimiliki. (Subulus Salam, 3/345)
Bila ternyata seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya dengan pemberian
yang mencukupi atau malah tidak memberikan sama sekali, diperkenankan bagi seorang istri
untuk mengambil dari harta suaminya walau tanpa sepengetahuannya. Hal ini pernah terjadi pada
diri Hindun bintu Utbah radhiallahu 'anha, istri Abu Sufyan dan ibu dari Muawiyah bin Abu
Sufyan radhiallahu 'anhuma. Ia mengadukan keadaan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, Abu Sufyan itu seorang lelaki yang bakhil.
8
Ia tidak memberi nafkah yang
cukup padaku dan anakku, kecuali bila aku mengambil dari hartanya dalam keadaan ia tidak
tahu.
9
Rasulullah menjawab: Ambillah untukmu dan anakmu dengan apa yang mencukupimu
dengan cara yang maruf. (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714)
Namun tentunya seorang istri hanya dibolehkan mengambil harta tersebut dengan cara
yang maruf, yaitu kadar harta yang diambil tersebut diketahui secara kebiasaan telah
mencukupi. (Fathul Bari, 9/613)
Adapun bila suami telah memberikan nafkah dengan cukup sesuai kemampuannya, tidak
boleh seorang istri mengambil harta suaminya tanpa ijinnya. Wallahu taala alam bish-shawab.

8
Al-Qurthubi menyatakan: Hindun tidaklah memaksudkan bahwa sifat Abu Sufyan itu bakhil dalam seluruh
keadaannya. Namun ia hanyalah mensifatkan keadaan dirinya bersama Abu Sufyan, bahwa Abu Sufyan
menyempitkan pemberian nafkah untuknya dan untuk anak-anaknya. Dan ini tidaklah berkonsekuensi bahwa Abu
Sufyan itu memiliki sifat bakhil secara mutlak karena kebanyakan para tokoh/pemimpin melakukan hal tersebut
terhadap istrinya dan ia mementingkan/lebih mendahulukan orang lain dalam rangka mengambil hati mereka.
(Fathul Bari, 9/613)
9
Hadits ini merupakan satu dalil tentang bolehnya seseorang menyebut perkara orang lain yang tidak ia sukai bila
dalam rangka meminta fatwa kepada seorang alim atau mengadukan perkaranya kepada orang yang berwenang dan
semisalnya. Ini salah satu bentuk ghibah yang diperbolehkan. (Syarah Shahih Muslim, 12/7, Fathul Bari, 9/613,
Subulus Salam, 3/341)

You might also like