You are on page 1of 5

FAISAL AZIS NIM : 10C10407026

POLA PENGUASAAN TANAH PADA MASYARAKAT DESA

Pengertian pemilikan adalah kepunyaan bersifat perdata, dalam hal ini kepemilikan tanah adalah hubungan hukum antara orang per-orang, kelompok orang atau badan hukum tertentu dengan tanah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.

Hubungan hukum tersebut ditunjukkan dengan adanya alat-alat bukti yang ditentukan oleh ketentuan hukum yang ada dan berlaku, baik secara tertulis, pengakuan dan kesaksian pihak lain maupun secara faktual yang ditunjukkan dengan adanya tanda-tanda pada obyek tanahnya, seperti tanda batas bidang tanah berupa patok, parit, pagar atau tanda batas alam seperti jalan, sungai, lembah, bukit, pepohonan dan lain-lain, maupun bentuk penguasaan atau pengusahaan secara fisik dilapangan. Berdasarkan catatan sejarah, sejak dahulu pemilikan dan penguasaan atas tanah menjadi faktor penting diberikan atau

dilegalisasikannya hak atas tanah oleh penguasa kepada seseorang yang secara faktual/fisik telah menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik.

Sungguhpun banyak di daerah-daerah tertentu, pemilikan tanah tidak disertai dengan bukti alas hak secara tertulis sebagaimana sifat Hukum Adat umumnya tidak tertulis, bukti pemilikan tanah hanya didasarkan pada penguasaan secara fisik atas tanah tersebut yang juga diakui kebenarannya oleh masyarakat setempat, yang ditandai dengan pengakuan dari pengetua adat atau aparat desa setempat. Pemilikan atas tanah baik ada ataupun tidak ada bukti alas hak tertulis dapat dikategorikan berdasarkan Hukum Adat dan juga didasarkan pada Hukum Barat, khusus yang didasarkan pada Hukum Adat ditemukan karakteristik yang berbeda di masing-masing daerah lingkungan hukum adat sesuai dengan adat setempat Sebagaimana diketahui bahwa menurut Hukum Adat, pada awalnya status tanah-tanah di Indonesia berasal dari hak ulayat, yakni hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar ganti kerugian kepada desa,

dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut campur dengan pembukaan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkaraperkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan. Dapat juga disebutkan bahwa Hak Ulayat adalah hak atas tanah yang secara tradisional menurut hukum adat setempat merupakan tanah milik masyarakat secara bersama dalam kerajaan-kerajaan kecil yang ada di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Secara formal pengertian hak ulayat disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ditentukan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah : Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan bathiniah turun temurun dan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adat dengan wilayah yang bersangkutan.

Selanjutnya ditentukan bahwa bagian-bagian dari hak ulayat ini dapat dikerjakan dan dikuasai oleh anggota masyarakat desa/masyarakat hukum adat yang kemudian menjadi hak perseorangan/individu. Pada umumnya hak perseorangan ini terbatas dan tidak begitu luas, yaitu hanya diakui selama hak itu dipergunakan untuk penghidupan sendiri dan keluarganya. Apabila tanah itu tidak dikerjakan atau tidak dikuasai lagi, misalnya karena meninggalkan desa tersebut, maka tanah itu kembali menjadi tanah hak ulayat. Jadi ada hubungan timbal balik antara hak-hak bersama dengan hak-hak individu, apabila hak-hak individu menguat maka hak-hak bersama akan melemah, demikian sebaliknya.

Dengan demikian, menurut Hukum Adat dan dikuatkan dengan peraturan mengenai pendaftaran tanah, bukti pemilikan atas tanah hanya didasarkan pada penguasaan atas tanah secara fisik yang ditandai dengan mengerjakan tanah tersebut secara aktif dan terus-menerus dapat menjadi faktor pendukung dilegalkannya hak perorangan tersebut oleh penguasa adat, termasuk dengan memberikan bukti hak secara tertulis.

Sedang bukti pemilikan hanya didasarkan pada alat bukti lain berupa surat atau tanda tertentu tetapi tanahnya ditelantarkan tidak mendapat perlindungan Hukum Adat, bahkan

dengan azas rechtsverwerking, pihak ketiga yang menguasai tanah dengan itikad baik dapat dilegalkan sebagai pemilik sedang orang orang terdahulu yang membiarkan tanahnya tidak dikerjakan selama jangka waktu terentu, dianggaptelah melepaskan haknya dan hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut.

Demikian juga pada zaman penjajahan Hindia Belanda yang didasarkan pada Hukum Barat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 7 ayat (1) Reglement Agraria untuk Sumatera Barat, ditentukan bahwa pemilikan dan penguasaan atas suatu bidang tanah dilihat sebagai telah adanya hak atas tanah, artinya tanah yang telah dipakai untuk diduduki atau dikerjakan dengan kekal, dapat menjadi milik atau kepunyaan orang yang membuka atau yang memakai tanah itu.

Bahkan menurut domeinbeginsel (Stb. 1870 Nomor 118) ditentukan bahwa sekalipun status tanah tersebut masih merupakan pinjaman, misalnya raja meminjamkan tanah kepada pembesar-pembesarnya selanjutnya pembesar-pembesar itu meminjamkan bagiannya lagi kepada warga desa, maka warga desa yang meminjam dan menguasai serta mengerjakan tanah tersebut diakui sebagai pemilik tanah.

Setelah Indonesia merdeka dan disusun peraturan perundang-undangan tentang keagrariaan sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 1960 atau lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), ternyata pemilikan atas tanah tidak bisa dilepaskan dari faktor penguasaan tanah, bahkan pemilikan atas tanah diperlukan syarat mutlak penguasaan atas tanah tersebut, terutama tanah pertanian. Pasal 10 UUPA mengatur bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

Demikian juga memiliki tanah dengan tidak menguasainya atau dengan kata lain menelantarkan tanahnya dengan sengaja, maka pada dasarnya telah bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, yakni dapat menjadi salah satu penyebab hilangnya kepemilikan atau dihapuskannya hak atas tanah tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 27, 34 dan 40 UUPA.

Pemilikan atas tanah yang didasarkan pada penguasaan tanah oleh masyarakat setempat atas rumah tempat tinggal yang telah dibangun sejak lama sebenarnya dapat

dijadikan alasan formal untuk diberikan haknya, sekalipun pemilikan tanah tersebut tidak didukung oleh surat-surat tanahnya (data yuridis). Hal tersebut dikuatkan olehketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur sebagai berikut : Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya, dengan syarat: a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya. Dalam penjelasan pasal ini diuraikan bahwa ketentuan ini memberi jalan keluar apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan atas tanahnya, baik yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya.

Dalam hal demikian pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan bukti kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan oleh pemohon dan pendahulunya.

Faktor pemilikan tanah dengan dasar penguasaan atas tanah merupakan hal penting untuk mengakui kepemilikan seseorang atas tanah, sebab pengertian dari pemilikan atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hubungan nyata dengan barang yang ada dalam kekuasaannya. Oleh karena itu sulit bagi seseorang untuk dapat membayangkan adanya suatu sistem hukum apabila di situ tidak dijumpai adanya pengakuan dan pengaturan tentang pemilikan atau penguasaan. Pengakuan terhadap pemilikan tanah yang didasarkan pada penguasaan secara fisik bidang tanah boleh dilakukan oleh seseorang atas suatu barang merupakan modal yang utama agar seseorang tersebut dapat mempertahankan kehidupannya, sebab pada saat itu, ia tidak memerlukan pengakuan atau legitimasi lain kecuali pengakuan pemilikan barang yang ada dalam kekuasaannya tersebut.

Masalah pemilikan tanah dengan dasar penguasaan secara fisik bidang tanah, seharusnya tidak dapat diabaikan sama sekali oleh hukum, walaupun soal pemilikan tersebut hanya atas dasar penguasaan bersifat faktual atau fisik saja tanpa ada bukti konkrit yang tertulis. Namun hukum dituntut untuk memberikan kepastian mengenai pemilikan tersebut. Jika hukum sudah mulai masuk, maka ia harus memutuskan apakah seseorang akan mendapat perlindungan pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan atau tidak. Jika hukum memutuskan akan mendapatkan pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan seseorang atas suatu barang, maka hukum akan melindungi orang tersebut dari gangguan orang lain, karena di sini hukum berhadapan dengan persoalan yang bersifat faktual, sehingga ukuran untuk memberikan keputusan tersebut bersifat faktual juga. Berdasarkan argumentasi tersebut sebenarnya pemilikan atas tanah yang didasarkan pada penguasaan atas suatu bidang tanah sudah menjadi faktor yang menentukan pemilikan tanah tersebut atau dengan kata lain pemilikan tersebut dapat juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang menyebut pemilikan dengan dasar penguasaan tanah tersebut sudah merupakan suatu hak. Kata pemilikan atas dasar penguasaan menunjukkan adanya suatu hubungan antara tanah dengan yang mempunyainya. Dengan demikian, faktor pemilikan atas dasar penguasaan atas tanah secara fisik merupakan hal penting dalam memberikan hak atas tanah kepada seseorang, bahkan sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, sebidang tanah dapat didaftarkan apabila telah dikuasai secara fisik oleh seseorang selama 20 tahun berturut-turut, sekalipun itu tidak didukung oleh bukti- bukti tertulis mengenai penguasaan atas tanah tersebut. Sumber : Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Penerbit Djambatan, Jakarta, edisi revisi, cetakan ke-9, 2003, halaman 483.

You might also like