You are on page 1of 3

JANTURAN NUSANTARA

Oleh: Ki Denggleng Pagelaran (Dr. Ir. Winarso D. Widodo, MS). Swuh rep data putana, Nenggih negari pundi ta kang ka eka adi dasa purwa. Eka sawiji adi linuwih, dasa sapuluh, purwa wiwitan. Senadyan kathah titahing jawata ingkang kangga ing Pertiwi, kaungkulan ing Angkasa, kapit ing Samudra, kathah ingkang samya angganararas, nanging datan kadi ing negari ... (Nuswantara) ... Ngupaya satus datan antuk kekalih, sewu tan jangkep sedasa, ora jeneng mokal lamun mangka bebukaning carita. Dhasar negari panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, karta tata raharja. Panjang dawa pocapane, punjung dhuwur kawibawane, pasir samodra, wukir gunung. Pranyata nagari ... (Nuswantara) ... ngungkuraken pebunungan, ngeringaken bengawan, nengenaken pasabinan miwah ngayunaken bebandaran agung. Gemah kathah para nangkudha kang lumaku dedagangan anglur selur datan ana pedhote, labet tan ana sangsayaning margi. Ripah kathah para janma mancanegarai kang samya katrem abebale wisma ing salebeting kitha, jejel apipit bebasan aben cukit tepung taritis, papan wiyar katingal rupak. Loh subur kang sarwa tinantdur, jinawi murah kang sarwa tinuku. Karta para kawula ing padhusunan mungkul pangolahing tetanen ingon-ingon kebo-sapi pitik-iwen datan cinancangan rahina aglar ing pangonan wanci ratri bali marang kandhange dhewe-dhewe. Raharja tegese tebih ing parang muka, karana para mantri bupati wicaksana limpat ing kawruh tan kendhat denya misungsung kabagyan marang ratu gustinipun sumarambah para kawula dasih. Mila ora jenang mokal lamun negari ... (Nuswantara) .. kena dibebasakake jero tancebe, malembar jenenge, kasup kasusra prajane. `Ora ngemungake ing kanan-kering kewala, senadyan ing praja maha praja kathah kang samya tumungkul datan linawan karana bandhayuda, amung kayungyun marang pepoyaning kautaman bebasan kang cerak samya manghlung kang tebih samya mentiyung asok bulu bekti glondhong pengareng-areng peni-peni raja peni gura bakal guru dadi ..... Kalimat janturan yang selalu diucapkan dalang wayang kulit purwa tersebut di atas merupakan narasi yang menggambarkan keadaan negara yang dijadikan pembuka cerita yang dipagelarkan. Makna ringkasnya, menceriterakan negara berdaulat (adidaya) yang dihormati negara lain, mampu mencukupi kebutuhan hidup seluruh rakyat, tenteram, subur makmur, tertib, dan sejahtera. Para pemimpinnya setia kepada ratu gusti yang dalam konteks renaisans Jawa bisa diterjemahkan sebagai ide bernegara. Dengan demikian, kalimat janturan yang sudah menjadi pakem para dalang tersebut mengandung makna sebagai pendidikan bernegara bagi para penonton pagelaran wayang kulit. Bahkan sesungguhnya bila diselisik lebih mendalam, seluruh isi cerita pagelaran wayang kulit memang mengandung makna pendidikan bernegara. Landasan berpikirnya, bahwa setiap lakon wayang kulit purwa tidak pernah lepas dari cerita tentang negara. Lakon yang merujuk ke cerita Ramayana nuansanya tentang konflik antar Negara. Sedang lakon yang rujukannya ke cerita Mahabharata menceritakan konflik perebutan kekuasaan.

Dalam rangka menstimulir gerakan kebangkitan (renaisans), maka sangat penting diselisik ide-ide Jawa tentang bernegara. Maka sungguh cerdas para empu dan pujangga yang telah memasukkan ide-ide bernegara tersebut dalam pentas pagelaran wayang kulit purwa. Dengan untaian kalimat janturan yang indah maupun dalam isi cerita, para empu dan pujangga tersebut melakukan internalisasi ide-ide bernegara ke ruang batinnya rakyat. Maka janturan sebagaimana terkutip di atas kiranya bisa dimaknai sebagai sasmita (penanaman cita-cita) kepada rakyat Jawa dalam hal memiliki Negara. Eka adi, bekonotasi sebagai negeri unggul yang nomor satu. Dasa purwa jaman sekarang sebagai sepuluh besar, begitulah kira-kira bahasa sederhana untuk penggal pertama Janturan itu. Keunggulan negeri yang demikian tentulah disampaikan untuk dimengerti oleh para penguasa yang sedang menanggap wayang, atau kepada masyarakat luas yang sedang menonton. Negeri Indonesia, bisakah mewujud seperti itu? Dalam pemahaman kami (komunitas Sekar Jagad), hal demikian, mungkin. Bayangkan betapa pejalnya negeri ini menghadapi berbagai ancaman. Kondisi geografis yang bergunung-gunung, bersungai-sungai serta dikelilingi dan dihubungkan oleh laut, tentulah wilayah yang rawan bencana. Tetapi betapa negeri ini dapat eksis ! Bahkan pulau Jawa sekarang, yang luasnya hanya 7% dari daratan Indonesia, mampu menampung 58,8% populasi Indonesia. Meskipun pas-pasan, tetapi tak sedikit yang berkecukupan, bahkan berlebihan. Negeri ini konon telah dihisap kekayaan kulit buminya oleh penjajah Belanda 3,5 abad, tetapi tetap eksis. Dihisap habis-habisan oleh Jepang untuk membiayai perang rusak-rusakan, juga tetap eksis. Dihisap oleh bangsanya sendiri dalam 2 rejim plus rejim reformasi yang hobi bancakan kekayaan negeri ini, masih juga eksis. Namun, jika yang diserahkan kepada para tuan-tuan dari luar adalah kekayaan perut bumi, maka semakin panas suasananya. Berbagai bencana dan kerusakan alam mulai dapat dimaknai sebagai SASMITA . Pertanda tak relanya penjaga bumi Nusantara ini atas perbuatan penghuninya. Hendaknya kita dapat membaca sasmita ini dengan arif. Untuk nanti mengupayakan jawaban positipnya. Karta tata raharja lalu gemah ripah loh jinawi, sungguh mewakili semua ide bernegara dimaksud. Karta mewakili kekayaan sumberdaya ekonomi agraris (pertanian, peternakan, perikanan), raharja keamanan dan kesejahteraan, gemah perekonomian perkotaan yang menarik orang asing, ripah dunia investasi, loh subur makmur negerinya, jinawi mudah mengakses sandang-pangan, pasir-wukir mencerminkan keseimbangan alam yang terpelihara, sehingga mampu membuat negeri yang panjang punjung, jero tancebe, lumembar jenenge, kasup kasusra prajane ..... Menjadi negeri adidaya bukan karena kaya senjata nan menakutkan atau perekonomian yang menghisap seluruh sumber daya alam dunia, melainkan adidaya dalam keutamaan dan kebahagiaan hidup bersama. Panjang, menjelaskan bahwa negeri itu menjadi buah bibir manusia sejagad. Punjung, tinggi kewibawaannya. Selalu diperhitungkan baik oleh kawan maupun lawan. Negeri yang lengkap bergunung-ghunung sekaligus berlautan. Berlatarkan pegunungan, menandakan potensi kesuburan tanahnya, serta sumber befrbagai mineral dan bahan tambang. Mengiringkan bengawan, sungai besar. Maksudnya menjaga aliran air dari hulu ke hilir yang semakin membesar dan meluas menuju lautan. mengiringkan dilambangkan bahwa negeri itu seolah mengalir di sebelah kanan sungai besar yang merupakan lokasi

IBUKOTA (metropolitan, bebandaran agung), dengan sistem transportasi yang baik seperti mengalirnya bengawan nan tenang, tetapi tidak pernah m,acet dan tidak semrawut. Jugamenyebelahkanankan (mengutamakan) persawahan. Tak hanya itu ! Negeri ini juga bersifat loh subur kang sarwa tinandur. Selalu subur apapun yang ditanam, sehingga jinawi murah kang sarwa tinumbas, maksudnya daya beli masyarakat yang tinggi, sehingga relatif kebutuhan hidup seluruh rakyatnya bisa dipenuhi. Ya, suatu negeri yang terkenal sejagad serta berwibawa. Disegani lawan dan kawan. Negeri yang memperhatikan keharmonisan dan keseimbangan alam, menekankan kepada sustainability bukan sekedar eksistensi apalagi subsistensi. Negeri yang berpikiran jauh ke masa depan, bukan sekedar negeri yang mewariskan hutang kepada generasi penerusnya. Gemah kathah para nangkudha kang lumaku dedagangan anglur selur datan ana pedhote, labet tan ana sangsayaning margi. Ripah kathah para janma manca negari kang samya katrem abebale wisma ing salebeting kitha, jejel apipit bebasan aben cukit tepung taritis, papan wiyar katingal rupak. Negeri yang menjadi tempat perniagaan internasional dalam artian positif, bukan pengurasan sumber daya alam dan perdagangan narkoba. Negeri yang tenteram damai sehingga menjadikan banyak wisatawan yang kerasan dan mendapatkan kenyamanan untuk tinggal. Ibaratnya merupakan tamansarinya dunia. Catatan: Tulisan ini pernah dimuat pada majalah SASMITA Edisi Perdana September 2007. Diangkat dari wacana cakrukan bersama Ki Sonmdong Mandali dan Pak Kanjeng (Ir. Dwi Atmono, MM., dosen UKDW yang kerabat dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat) di Semangkak Klaten, Jumat malam Sabtu (1 Juni 2007). Tema Cakrukan: Ngelus-elus jago wiring kuning kanggo mandegani Pahargyan Agung ngentasake Indonesia saka panandhang.

You might also like