You are on page 1of 6

LATAR BELAKANG TASAWUF Tasawuf timbul dalam Islam, sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen,

filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong. Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak. Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan. Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dari surat Al-Baqarah Ayat 186 mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil." Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya.

Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diriNya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya. Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya." Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17). Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal." Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.

KOLERASI ANTAR AKHLAQ DAN TASAWUF Tasawuf dan akhlak merupakan disiplin ilmu dalam islam yang sangat erat sekali hubungannnya, dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. karena ketika kita membicarakan akhlak apek tasawuf tidak bias dilepaskan. Demikian sebaliknya jika tasawuf dibincangkan maka akhlak Menjadi hal utama yang harus bahas. Untuk mengetahui seberapa pentingkah hubungan akhlak dengan tasawuf mungkin kita dapat mengkaji pendapatpendapat ulama sebagai berikut.

Artinya: Akhlak adalah pangkal permulaan tasawuf sedangkan tasawuf batas akhir dari akhlak. Begitu juga halnya yang dikatakan oleh Al-kattany yang telah dikemukakan oleh al-Ghazali sebagai berikut Artinya: tasawuf itu adalah budi pekerti, barang siapa yang menyiapkan bekal atasmu dalam budi pekerti, maka berarti ia menyiapkan bekal atas dirimu dalam bertasawuf. Pengalaman tsawuf yang dilakukan para sufi telah memberikan kesan kepada kita, bahwa tasawuf merupakan ajaran yang meruang lingkup kepada hubungan transenden; yang berarti hubungan hamba allah dan tuhannya, hal ini telah diperkuat oleh pendapat Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi, yang mengemukakan beberapa prinsip-prinsip ajaran taawuf, sebagaimana yang telah dikatakannya; : Artinya; Prinsip-prinsip tasawuf ada lima; yaitu taqwa kepada allah mengikuti sunnah, menahan diri, rela dan bertaubat.

MAQAMAT DALAM TASAWUF Maqamat dalam tasawuf sering dikaitkan dengan penyucian jiwa, pembersihan hati, penjernihan dan pembeningan hati serta penyelarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Langkah maqamat ini boleh difahami sebagai suatu usaha integrasi diri dengan terjalinnya hubungan baik antara individu dengan orang lain dan alam lingkungan separti haiwan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam tasawuf, maqamat merupakan satu metode untuk bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Tuhan melalui proses dan latihanlatihan rohani tertentu. Seseorang sufi yang menjalani proses al-maqamat ini akan merasa dekat dengan Tuhan dan hatinya menjadi tenang, tenteram dan damai. Al-maqamat juga ditakrifkan sebagai usaha pra-kondisional berupa amalan-amalan lahir dan batin, separti tawbat, zuhd,wara, zuhud, fakir sabr, tawakkal, dan ridha.

Amalan-amalan itu kemudiannya dijadikan sufi sebagai maqam dalam tazkiyyah al-nafs. Maqamat yang terdapat dalam tasawuf tersebut merupakan satu peringkat perjalanan kerohanian yang mempunyai peraturan-peraturan tertentu yang mesti ditaati agar selalu dekat dengan Tuhan, mendapat kecintaan dan keredaan pada-Nya. Hasil pada ketaatan-ketaatan seorang sufi dalam menjalani maqamat adalah kehidupan yang positif, terutamanya terhadap kondisi batin. Seorang sufi akan merasa khawf (khuatir), tawaddu, taqwa (pemeliharaan diri), ikhlas (tidak mencampuri amalannya dengan nilai-nilai kebendaan selain Allah), shukr (berterima kasih kepada Tuhan), dan mutmainnah (ketenteraman) akan melahirkan integrasi diri, antara diri dengan orang lain dan diri dengan alam lingkungannya serta memperoleh perlindungan dan pengawalan (muhasabah) dari Allah sebagai Pencipta. Dengan arti kata lain, maqamat didefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepada-Nya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah menuju kepadanya. Ajaran sufi berkenaan maqamat memiliki hierarki yang tartib. Para ahli sufi meletakkan tingkatan yang berbeda di antara satu sama lain yang mesti diikuti oleh seorang salik (pengikut ajaran tasawuf). Namun perbedaan itu tidaklah dijadikan suatu perdebatan di antara pengamal-pengamal ajaran tasawuf itu karena mereka masing-masing memahami bahwa penentuan hierarki tersebut adalah berdasarkan pengalaman kesufian mereka tersendiri.

A. MACAM-MACAM MAQAM 1. Maqam Taubat. Bagi golongan khowas atau orang yang telah sufi, yang di pandang dosa adalah ghoflah (lalai mengingat tuhan). Karena taubat menurut sufi terutama taubat dari ghoflah, maka kesempurnaan taubat menurut ajarann tasawuf adalah apabila telah tercapai maqam attaubatu min taubatihii yakni mentaubati terhadap kesadaran keberadaan dirinya dan keasadaran akan taubatnya itu sendiri. 2. Maqam wara Wara adalah meninggalkan setiap yang berbau syubhat (segala hal yang belum jelas haram dan halalnya.) dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan.

Pada hadist lain nabi bersabda yang artinya hendaknya kamu menjalankan laku wara, agar kamu jadi ahli ibadah. Laku hidup wara memang penting bagi perkembangan mentalitas ke-islaman, apalagi bagi tasawuf. Wara itu ada dua tingkat, wara segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Alloh. Dan wara batin, yakni agar tidak masuk dalam hatimu terkecuali Alloh taala. 3. Maqam zuhud Zuhud pada dasarnya adalah tidak tamak atau tidak ingin dan tidak mengutamakan kesenangan duniawi. Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia. Pada dasarnya dibedakan. Misalnya Abu Sulaiman aal-Darani mengatakan : Sufi itu suatu ilmu dari ilmu-ilmu tentang zuhud. Maka tidak pantas mengenakan kain suf dengan uang tiga dirham di tanganya kok dalam hatinya menginginkan lima dirham. Pada tempat lain Abu Sulaiman al-Darani mengatakan : zuhud adalah meninggalkan segala yang melalaikan hati dari Allah. Ruwaim mengatakan: zuhud adalah memandang kecil arti dunia dan menghapus pengaruhnya dari hati. 4. Maqam Fakir Maqam fakir merupakan perwujudan upaya tathir al-qolbi bi l-kulliyatian ma siswa llah. Yaitu penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain Tuhan. Inilah ajaran qathu al-alaiq atau tajrid yakni ajaran untuk membelakangi atau membuang dunia. Al-Ghozali menganjurkan atau mengajarkan untuk membuang dunia itu sama sekali. Maka fakir di rumuskan dengan tidak punya apa-apa dan juga tidak menginginkan apa-apa 5. Maqam Sabar

Dalam islam mengendalikan diri untuk laku sabar merupakan tiang bagi akhlak mulia. Dalam al-Quran dinyatakan sabar merukan laku yang terpuji dan merupakan perintah suci agama. Jadi penguasaan diri dan bersabar dalam waktu mengalami kesempitan, susah, penderitaan, tantangan dan perang, adalah mentalitas Islam. Sikap sabar di tinggikan sebagai mentalitas sikap seorang mukmin dan muttqin, seperti di jelaskan dalam surat Al-Baqarah, ayat 153 yang artinya hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar. Jadi dengan maqam sabar para sufi memang telah menyengaja dan menyiapkan diri dengan seribu satu kesulitan dan derita dalam hidupnya dengan sikap sabar, tanpa ada kesulitan. Itulah laku maqam sabar di dalam tasawuf. 6. Maqam Tawakkal Dalam syariat islam diajarkan bahwa tawakkal dilakukan sesudah segala daya upaya dan ikhtiar dijalankanya. Jadi yang ditawakkalkan atau digantungkan pada rahmat pertolongan Alloh adalah hasil usahanya sesudah segala ikhtiar dilakukanya. Yakni tawakkal yang di landasi oleh aktif kerja keras. Tasawuf menjadikann maqam tawakkal sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Alloh. Oleh karena itu sesuai cita ajaran tasawuf tawakkal dijadikan prinsip ajaran yang mengarah ke paham jabbariyah mutlak. Yakni tawakkal tanpa memikirakan usaha, orang harus sepenuhnya mengantungkan diri sepenuhnya kepada takdir dan pemeliharaan langsung dari Allah. 7. Maqam Ridho Setelah mencapai maqam tawakkal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Alloh, meniggalkan membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka harus segera diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam. Maqam ridlo adalah ajaran menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan, menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni sebagaimana di katakana imam ghozali, rela menerima apa saja. Menurut Abu Sulaiman al-Darani, Hakikat berkaitan erat dengan syariat. Seperti perkataannya, Selama beberapa waktu aku tertimpa persoalan ini (para sufi) sementara ini aku tidak bisa menerimanya (maksudnya menerima dari kalbunya) kecuali disertai dua saksi yang adil; al-Quran dan as-Sunnah.

You might also like