You are on page 1of 19

Analisis Keuntungan dan Kerugian Rokok Bagi Indonesia

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya kamidapat menyelesaikan karya tulis ini tepat pada waktunya. Mengucap syukur buat berkat yang diberikan melalui tugas ini. Dengan adanya tugas ini boleh menambah pengetahuan kami dan menambah pengalaman kami. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia, atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk menyelesaikan karya tulis ini. Dan pada kesempatan membuat karya tulis ini, pengetahuan tentang Analisis kerugian dan keuntungan bagi Indonesia semakin bertambah. Dan juga kepada teman-teman yang memberikan motivasi dan inspirasi dalam membuat karya tulis ini. Dalam pembuatan karya tulis ini, kami mungkin membuat banyak kesalahaan secara tidak sengaja. Banyak kelemahan dalam membuat karya tulis ini. Oleh sebab itu, mengingat akan tujuan kami menulis karya tulis ini adalah untuk menambah pengetahuan, maka kamimohon maklum atas segala kesalahan dalam penulisan karya tulis ini. Kami juga menerima kritik dan saran pembaca karya tulis ini dan berharap dapat menjadi inspirasi serta motivasi di penulisan karya tulis lainnya. Demikianlah kata pengantar dari kami. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.

Penulis,

BAB I. PENDAHULUAN

Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat dari tahun 1995 hingga kini. Yaitu dari sebanyak 34,7 juta perokok menjadi 65 juta perokok. Ini berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Riset Kesehatan Dasar. Berdasarkan jenis kelamin pada tahun 1995 diperkirakan ada 33,8 juta perokok laki-laki dan 1,1 juta perokok perempuan. Namun, pada tahun 2007 angka ini meningkat drastis menjadi 60,4 juta perokok laki-laki dan 4,8 juta perokok perempuan, kata Peneliti Lembaga Demografi FEUI, Abdillah Hasan, Jakarta, Rabu. Ia menjelaskan, prevalensi merokok pada usia remaja juga sangat mengkhawatirkan, jika pada tahun 1995 hanya tujuh persen remaja merokok, lalu 12 tahun kemudian meningkat

menjadi 19 persen. Menurut dia, peningkatan yang drastis ini membuktikan betapa efektifnya strategi industri rokok dan betapa lemahnya pemerintah dalam melindungi remaja dari rokok. Dikatakan Abdillah, fenomena tersebut disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk, tingginya pertumbuhan ekonomi, belum efektif kawasan bebas rokok dan lemahnya peraturan tentang pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Ada empat instrumen untuk menurunkan konsumsi rokok, yaitu peningkatan harga rokok melalui peningkatan cukai, pelarangan iklan rokok secara meluruh, peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok dan kawasan tanpa rokok, kata dia. Sementara itu, Wakil Kepala Lembaga Demografi FEUI, Dwini Handayani mengatakan rokok termasuk barang yang konsumsinya perlu dikendalikan dan diawasi peredarannya karena efek rokok sangat buruk bagi perokok dan lingkungan. Dikatakannya, untuk mengendalikan konsumsi rokok memang memerlukan biaya yang sangat besar. Ia menjelaskan, efek buruk dari rokok akan dirasakan jangka panjang yaitu, sekitar 25 tahun ke depan. Keberadaan industri rokok di Indonesia memang dilematis. Di satu sisi mereka diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah karena cukai rokok diakui mempunyai peranan penting dalam penerimaan negara. Namun di sisi lainnya dikampanyekan untuk dihindari karena alasan kesehatan. Peranan industri rokok dalam perekonomian Indonesia saat ini terlihat semakin besar, selain sebagai motor penggerak ekonomi juga menyerap banyak tenaga kerja. Dalam 10 tahun terakhir industri rokok di Indonesia mengalami pertumbuhan fenomenal. Resesi ekonomi yang dimulai dengan krisis moneter sejak Juli 1997 tidak terlalu berpengaruh dalam kegiatan industri tersebut. Pada Tahun 1994 penerimaan negara dari cukai rokok saja mencapai Rp 2,9 triliun, Tahun 1996 meningkat lagi menjadi Rp 4,153 triliun bahkan pada tahun 1997 yang merupakan awal dari krisis ekonomi penerimaan cukai negara dari industri rokok menjadi Rp 4,792 triliun dan tahun 1998 melonjak lagi menjadi Rp 7,391 triliun (Indocommercial, 1999: 1).

BAB II. ISI A. ROKOK SEBAGAI SALAH SATU DEVISA DAN KEKAYAAN NEGARA. Rokok selalu menjadi perbincangan banyak orang. Hal utama yang dibahas sudah tentu tentang berbagai masalah yang disebabkannya, baik bagi kesehatan ataupun kualitas hidup pecandunya. Memang hampir kebanyakan opini publik jika ditanya soal rokok akan mengarah pada sisi negatif, padahal di balik rokok tersebut hidup juga para petani tembakau, pengusaha rokok, pekerja pabrik rokok, penjual rokok serta orang-orang yang menjual jasa pada pengusaha pabrik rokok. Mereka semua bisa bertahan hidup karena manfaat rokok. Ini adalah salah satu manfaat rokok. Selain itu, negara juga menetapkan bea cukai rokok yang besar, tujuannya memang untuk membatasi peredaran rokok dengan menaikan harga. Namun sepertinya strategi tersebut tidak begitu relevan dalam usaha membatasi perdaran rokok, melainkan malah berjasa pada pendapatan negara. Kita memang sudah tahu bahwa rokok merupakan salah satu penghasil devisa negara. Tingginya cukai rokok disebut-sebut sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar, tercatat sebesar 16,5 triliun Rupiah pada tahun 2004. Namun fakta selanjutnya lebih

mencengangkan lagi. Masih pada tahun yang sama pemerintah mengeluarkan anggaran lebih dari 127 triliun Rupiah untuk mengatasi berbagai masalah yang berhubungan dengan rokok. Lebih dari tujuh kali lipatnya sekaligus kembali menguras cukai rokok serta pendapatan negara yang didapatkan sebelumnya. Sebuah jumlah yang mencengangkan jika dibandingkan dengan yzfvm Harga rokok di Indonesia sangat rendah karena cukai yang dikenakan sangat rendah (yakni 38% terendah setelah kamboja), sehingga konsumsi rokok meningkat. Hal ini bisa dibandingkan dengan harga jual rokok Marlboro pada tahun 2008 yang di Singapura berharga USD 8.64, di Malaysia USD 2,56 sementara di Indonesia hanya USD 1,01 (data dari Fact Sheet TCSC ISMKMI). Rokok juga menjadi pengeluaran terbesar kedua bagi para rakyat Indonesia. Pada data di Lembaga Demografi FE UI tahun 2006 tercatat pengeluaran rokok sebesar 11,89%, setengahnya dari pengeluaran terhadap padi-padian yang mencapai 22,10%, namun lebih tinggi daripada Listrik, telepon dan BBM yang sebesar 10,95 % serta lebih tinggi dari pada Sewa dan Kontrak yang mencapai 8,82%. Penerimaan cukai tembakau meningkat 29 kali lipat dari Rp 1,7 trilyun menjadi Rp. 49,9 trilyun dari tahun 1990-2008. Ini bukti bahwa kenaikan tingkat cukai tembakau yang dilakukan pemerintah efektif untuk meningkatkan penerimaan negara. Dengan fakta ini, mitos bahwa peningkatan cukai tembakau akan mengurangi penerimaan negara dapat terbantahkan. Ironisnya, kontribusi cukai ini terhadap total penerimaan negara menurun menjadi 5,2% pada tahun 2008. Peningkatan cukai sebesar 2 kali lipat akan menambah 1. Pendapatan masyarakat sebesar Rp. 491 Milyar 2. Output perekonomian sebesar Rp. 333 Milyar 3. Lapangan kerja sebanyak 281.135 Dilain sisi, peningkatan cukai menjadi 57%, maka: 1. Jumlah perokok akan berkurang 6,9 juta orang 2. Jumlah kematian terkait rokok turun 2,4 juta 3. Penerimaan negara dari cukai tembakau bertaambah dengan Rp. 50,1 trilyun. B. ROKOK SEBAGAI KERUGIAN NEGARA. Selama ini rokok dibilang sebagai penyumbang devisa terbesar untuk negara padahal nyatanya rokok justru menyumbang kerugian terbesar negara. Kerugian yang ditimbulkan rokok bukan hanya masalah kesehatan saja tapi juga masalah moral dan finansial. Menurut data Depkes tahun 2004, total biaya konsumsi atau pengeluaran untuk tembakau adalah Rp 127,4 triliun. Biaya itu sudah termasuk biaya kesehatan, pengobatan dan kematian akibat tembakau. Sementara itu penerimaan negara dari cukai tembakau adalah Rp 16,5 triliun. Artinya biaya pengeluaran untuk menangani masalah kesehatan akibat rokok lebih besar 7,5 kali lipat daripada penerimaan cukai rokok itu sendiri. Jadi sebenarnya kita ini sudah dibodohi, sudah tahu rugi tapi tetap dipertahankan dan dikerjakan. Inilah cara berpikir orang-orang tertentu yang bodoh, tutur kata Prof Farid A Moeloek, Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dalam acara Peningkatan Cukai Rokok: Antara Kepentingan Ekonomi dan Kesehatan di Hotel Sahid Jakarta, Rabu (17/2/2010). Prof Farid mengatakan, rokok adalah pintu gerbang menuju kemaksiatan, penurunan moral dan lost generation. Tidak ada orang yang minum alkohol, terkena HIV, atau memakai narkoba tanpa merokok terlebih dahulu, kata Prof Farid yang juga mantan menteri kesehatan ini. Menurut agama saja menghisap rokok adalah kegiatan yang mubazir atau

makruh. Memang dilema, di satu sisi negara butuh uang tapi di sisi lain banyak yang dirugikan akibat rokok, tambahnya. Dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 disebutkan bahwa nikotin adalah zat aditif, sama halnya dengan alkohol dan minuman keras. Jadi rokok harusnya juga diperlakukan sama dengan narkoba. Artinya kalau narkotik tidak diiklankan, merokok juga harusnya tidak boleh. Masalah rokok juga harus ditangani secara spesial, ujarnya. Kenaikan cukai tembakau rokok sebesar 15 persen menurut Prof Farid dianggap tidak akan berpengaruh. Pertama, karena rokok mengandung nikotin yang bersifat candu, jadi bagaimanapun juga orang akan terus mencari dan mencari rokok untuk memenuhi kebutuhannya. Kedua, grafik elastisitas rokok bersifat inelastis, jadi kenaikan harga rokok tidak akan terlalu mengurangi konsumsi rokok. Ketiga, pertambahan penduduk terus terjadi dan hal ini memungkinkan semakin banyak orang yang merokok. Untuk itu solusinya adalah, perlu regulasi atau Peraturan Pemerintah (PP) khusus yang mengatur ketat penggunaan rokok. Sebenarnya sudah banyak UU yang mengatur tentang rokok, misalnya UU Kesehatan No 36/2009, UU Penyiaran No 33/1999, UU Perlindungan Anak No 23/2002, UU Psikotropika No 5/1997 dan UU Cukai No 39/2007. Di situ ada aturannya nikotin harus dibagaimanakan. Tapi karena UU itu berjalan sendirisendiri maka tujuannya jadi tidak tercapai. Yang dibutuhkan hanya harmonisasi UU, katanya. Peningkatan cukai rokok juga menurut Prof Farid harus didistribusikan pada kegiatankegiatan untuk menangani sektor kesehatan. Perokoklah yang membayar cukai tembakau sehingga sudah semestinya dana cukai dikembalikan untuk memperbaiki kesehatan masyarakat, ujarnya.

C. MELIHAT DARI ANALSIS HUBUNGAN KEUNTUNGAN DARI PABRIK ROKOK PT. GUDANG GARAM PADA TAHUN 2007.

Dalam industri rokok, dominasi dari para pelaku utama bisnis ini sudah cukup dikenal. Pada tiga tahun terakhir (tahun 1999, 2000, 2001) ternyata 3 perusahaan rokok, yaitu PT.Gudang Garam Tbk, PT. HM Sampoerna Tbk dan PT. Djarum, selalu masuk dalam jajaran Sepuluh Besar Perusahaan Terbaik di Indonesia di antara 200 Top Companies di Asia yang disusun peringkatnya oleh majalah Far Eastern Economic Review (FEER). Di

tengah krisis ekonomi yang dinilai belum tampak pangkal akhirnya, sungguh melegakan bahwa setidaknya ada 10 perusahaan yang masuk kategori berkinerja prima di antara 200 perusahaan terbaik di kawasan Asia. Menariknya, di antara 10 besar tersebut, tiga di antaranya merupakan raksasa kretek Indonesia. Uniknya, lokasi empat perusahaan rokok yang mengusai pasar di Indonesia PT. Gudang Garam Tbk, PT. HM. Sampoerna Tbk, PT Djarum, dan PT. Bentoel masing-masing amat terkonsentrasi secara geografis. Secara regional, masing-masing Perusahaan ini berperanan dalam tumbuh dan berkembangnya kluster industri rokok di Kabupaten Kediri, Kota Surabaya, Kabupaten Kudus dan Kota Malang. PT. Gudang Garam Tbk didirikan pada tahun 1958 di Kediri, pertama kali memproduksi klobot kretek. Berkat sistem manajemen yang profesional terutama menjelang tahuntahun awal 1980-an perusahaan ini melejit mendahului perusahaan-perusahaan lainnya. Perusahaan ini menjadi perusahaan publik terbesar dalam industri rokok. PT Gudang Garam, Tbk adalah penguasa pangsa pasar terbesar industri rokok kretek di Indonesia yang menghasilkan 74,4 miliar batang rokok atau 45,4 % dari jumlah produksi 22 perusahaan terbesar yang bergabung dalam GAPPRI. Porsi sigaret kretek tangan (SKT) yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut terus menurun, pada tahun 1998 dari 74,4 miliar batang rokok yang dihasilkan 61,2 miliar batang rokok (82,1%) adalah sigaret kretek mesin (SKM), sementara produksi SKT dan klobot hanya 13,1 miliar (Indocommercial, 1999:1) Melalui merek andalannya, Gudang Garam Pada tahun 2002 Pernah menguasai pangsa pasar hingga 50%. Sumbangan terbesar Gudang Garam diperoleh dari SKM dengan merek Gudang Garam Filter International. Merek dalam segmen SKM yang dimiliki oleh Gudang Garam antara lain Gudang Garam Surya 12, Gudang Garam Surya 16, Gudang Garam Filter International Merah 12, Gudang Garam Filter International Merah 16. Sedangkan merek dalam segmen SKT yang dimiliki Gudang Garam adalah Gudang Garam King Size 12,Gudang Garam King Size 16 dan Gudang Garam Surya Pro (Indocommercial, 2002: 4) PT. Gudang Garam juga merupakan salah satu produsen rokok kretek terkemuka yang menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia, memproduksi lebih dari 70 miliar batang rokok dari 220 miliar produksi rokok nasional pada tahun 2001 atau menguasai sekitar 32% produksi rokok nasional. Selain itu PT. Gudang Garam Tbk. dikenal sebagai produsen rokok kretek yang bermutu tinggi. Sehingga sejak 8 tahun lalu, selain memproduksi rokok untuk memenuhi permintaan nasional, PT. Gudang Garam juga memproduksi rokok dengan kualitas dunia untuk diekspor ke beberapa negara di dunia seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Saudi Arabia, Australia, Jepang, Belanda, Jerman, Prancis dan Inggris sesuai dengan permintaan khusus atas jenis rokok yang paling diminati oleh masing-masing negara pengimpor. Berdasarkan sekilas deskripsi Perkembangan Industri Rokok di indonesia sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa PT. Gudang Garam Tbk. sebagai bagian dari Industri rokok di Indonesia dapat dikategorikan dalam Industri Oligopoli. Sebab, pangsa pasar rokok di Idonesia hanya dikuasai oleh 4 perusahaan besar Lokal sejenis dan satu Perusahaan Asing yaitu Philip Morris Co.Ltd. (perusahaan penghasil rokok) saat itu. Sehingga Setiap perusahaan yang bersangkutan harus mengetahui bahwa setiap kebijakan harga, kualitas, output, dan iklan yang mendorong reaksi dari pesaing merupakan kunci Keberhasilan

Perusahaan dalam memperebutkan konsumen. Selain itu, kondisi persaingan yang ketat akan menjadi hambatan yang berarti bagi pesaing baru untuk masuk dalam industri tersebut . Salah satu prinsip penting yang perlu dicermati oleh perusahaan dalam Industri Oligopoli adalah Perusahaan tidak memiliki kekeluasaan terhadap Penentuan harga, faktorfaktor yang melatarbelakanginya antara lain : 1. Kebijakan suatu perusahaan untuk menurunkan harga dengan maksud meningkatkan permintaan hanya menghasikan peningkatan keuntungan sesaat. Sebab, kebijakan tersebut akan memicu reaksi perusahaan pesaing untuk melakukan penurunan harga pula. Sehingga kondisi tarik-menarik permintaan yang terjadi antara Perusahaan dalam Industri Oligopoli akan selalu terjadi. Kondisi tersebut dapat terlihat dalam Kurva Permintaan Patah. 2. Sebaliknya, dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil, Kebijakan suatu Perusahaan untuk menaikkan harga dengan maksud menekan kerugian atas kenaikan biaya total atau dengan maksud meningkatkan keuntungan, akan menimbulkan reaksi dari Perusahaan pesaing untuk tetap mempertahankan harga lama. Hal itu dilakukan perusahaan pesaing dengan tujuan untuk menyerap permintaan baru yang timbul akibat penurunan permintaan perusahaan yang menetapkan kenaikan harga tersebut.

A. Analisis Keuntungan Produksi Rokok PT.Gudang Garam Tbk. a. Internal Analisis internal Produksi Rokok PT.Gudang Garam adalah analisis untuk mengetahui produktifitas dan pencapaian keuntungan atas produksi kretek PT.Gudang Garam tahun 2007. Dalam Analisis Internal terdapat beberapa tahap analisis yaitu 1.)identifikasi faktor-faktor produksi dan variabel-variabel yang digunakan dan mendukung fungsi-fungsi yang menjadi indikator pencapaian keuntungan Produksi Rokok PT.Gudang Garam tahun 2007. Fungsi-fungsi tersebut antara lain : 1. Fungsi Pendapatan (Revenue) Fungsi Pendapatan dalam Produksi Rokok adalah fungsi yang menjadi indikator tingkat penjualan Rokok selama periode tertentu. 2 Variabel yang menyusun fungsi pendapatan adalah Harga Rokok /Batang (P) dan Jumlah Rokok (Q). Berdasarkan 2 variabel tersebut dapat ditentukan Pendapatan Total (TR), Pendapatan Rata-Rata (AR) dan Pendapatan Marginal (MR). a. Pendapatan Total (Total Revenue) Pendapatan total dalam produksi rokok adalah pendapatan yang diperoleh melalui penjualan atas total rokok yang diproduksi selama periode tertentu. b. Pendapatan Rata-Rata (Average Revenue) Pendapatan Rata-rata dalam produksi rokok adalah pendapatan yang diperoleh melalui penjualan atas setiap batang rokok yang diproduksi selama periode tertentu. c. Pendapatan Marginal (Marginal Revenue) Pendapatan Marginal dalam produksi rokok adalah pendapatan Tambahan yang diperoleh penjualan atas setiap tambahan batang rokok yang diproduksi selama periode tertentu.

Beberapa persamaan pendapatan yang telah dipaparkan sebelumnya dan data tentang jumlah rokok yang terjual sebesar 59,986 M serta perkiraan harga rokok per-batangnya sebesar Rp.469 pada tahun 2007, dapat diketahui bahwa total Penjualan PT.Gudang Garam pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 28.158.428.000.000 yaitu meningkat sebesar 6,9% dari tahun 2006 yang mencpai 26,34 T. Peningkatan tersebut didipicu oleh pertumbuhan tingkat produksi rokok sebesar 0.5%/bulan sehingga tingkat penjualan rokok meningkat sebesar 0,5 0,6%. 2. Fungsi Biaya ( Total Cost) Fungsi biaya dalam Produksi Rokok adalah fungsi yang menjadi indikator tingkat pengeluaran PT.Gudang Garam untuk memproduksi rokok selama tahun 2007. Fungsi pengeluaran atau fungsi biaya terbagi manjadi 3 yaitu : a. Biaya Total ( Total Cost ) Biaya total Dalam Produksi Rokok adalah Keseluruhan Biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menghasilkan sejumlah rokok selama periode tertentu. Biaya Total tersusun atas Biaya Tetap dan Biaya Variabel dan berikut ini persamaan yang digunakan untk menentukan Total Cost : Biaya tetap (fix cost) Biaya Tetap Dalam Produksi Rokok adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh perubahan Jumlah Rokok yang diproduksi dalam periode tertentu. Biaya tetap meliputi biaya administrasi (biaya perlengkapan kantor), biaya umum(biaya listrik, air, telepon dan PBB). Biaya variabel (vareable cost) Biaya veriabel Dalam Produksi rokok adalah biaya yang besar pengeluarannya dipengaruhi oleh perubahan tingkat jumlah Rokok yang diproduksi dalam periode tertentu. Dalam hal ini biaya veriabel meliputi biaya pokok penjualan dan biaya pokok produksi (bahan baku : tembakau dan cengkeh;, upah tenaga produksi) dan biaya penjualan (transportasi, PPN/bea cukai dan lain-lain). b. Biaya Total Rata-rata (Average Total Cost ) Biaya Total Rata-rata Dalam Produksi rokok adalah biaya Total yang dikeluarkan Perusahaan untuk memproduksi satu batang rokok selama periode tertentu.

Biaya Tetap Rata-rata (Average Fix Cost) Biaya tetap Rata-rata Dalam Produksi rokok adalah biaya tetap yang dikeluarkan untuk menghasilkan setiap batang rokok secara eksplisit selama periode tertentu. Biaya Variabel Rata-rata (Average Vareable Cost) Biaya Varebel Rata-rata Dalam Produksi rokok adalah biaya yang besar pengeluarannya dipengaruhi oleh setiap batang rokok yang dihasilkan secara selama periode tertentu c. Biaya Marginal (Marginal Cost) Biaya Marginal Dalam Produksi rokok adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk setiap tambahan produksi rokok selama peride tertentu. 3. Fungsi Keuntungan ( Profit)

Fungsi Profit dalam Produksi rokok adalah fungsi yang terbentuk dari selisih yang terjadi antara Total Pendapatan atas penjualan rokok dan Total biaya yang dikeluarkan Perusahaan untuk menghasilkan rokok selama periode tertentu. Dalam Industri Oligopoli, perusahaan dapat mempertahankan keuntungan tanpa menaikkan harga yang memicu penurunan permintaan dengan cara melakukan program efisiensi penggunaan bahan baku yaitu melalui pemilihan bahan baku alternatif dengan harga terjangkau dan kualitas terjamin. Selain itu penghematan energi dan pemanfaatan semaksimal mungkin teknologi yang ada dalam memproduksi Rokok. b. Eksternal Analisis Eksternal Produksi Rokok PT.Gudang Garam adalah analisis untuk mengetahui kondisi persaingan atas penguasaan pasar Rokok PT.Gudang Garam tahun 2007 dibanding Perusahaan Pesaing dalam industri rokok di indonesia. Melalui analisis Keuntungan Produksi Rokok yang dicapai PT. gudang Garam Tahun 2007 dan Tingkat Persaingan produksi rokok PT. Gudang Garam dalam Industri rokok di Indonesia, dapat ditarik garis besar bahwa Suatu Perusahaan yang termasuk dalam Kategori Industri Oligopoli harus memiliki 2 Target yang berjalan beriringan yaitu : 1. Perusahaan Mampu meningkatkan perolehan keuntungan bersih perusahaan dalam jangka panjang. 2. Perusahaan mampu meningkatkan Total Produksi untuk menguasai pasar di atas para perusahaan pesaing dan menjadi Pihak yang dominan dalam penguasaan kondisi pasar baik dalam penetapan tingkat harga barang hingga tingkat kualitas barang.

BAB III. PENUTUP A. KESIMPULAN. Dilihat dari segi keuntungan, pendapatan negara oleh produksi rokok sangat besar tetapi sama dengan pengeluarannya dikarenakan bea cukai yang cukup besar. Manfaat dari rokok hanya berada pada produsen yang menghasilkan rokok. Tentunya juga untuk para pekerja dan buruh yang terkait dengan pembuatan rokok. Karena rokok mereka dapat mencapai keuntungan yang besar dan dapat bertahan hidup. Lain halnya dengan pengguna, khususnya para remaja dan orang tua yang mayoritas mengkonsumsi rokok setiap harinya. Sampai ada yang menjadi perokok berat. Rokok dapat merusak kesehatan karena banyaknya unsur-unsur zat kimia yang terkandung didalamnya. Dilihat dari pabrik yang memproduksi rokok yaitu PT. Gudang Garam, PT. Gudang Garam Tbk. adalah salah satu Perusahaan Rokok dari 4 Perusahaan besar lainnya seperti PT. HM Sampoerna, PT. Djarum, Philip Morris Co.Ltd dan PT. Bentoel yang termasuk dalam kategori Industri Oligopoli dengan menguasai hingga 30% Produksi Rokok Kretek Nasional pada tahun 2007. Dalam Persaingan Industri Rokok sebagai Industri oligopoly, Setiap perusahaan terkait memiliki peran untuk saling meningkatkan produksi rokok dengan tujuan menjadi perusahaan yang dominan dalam penguasaan pasar sehingga memiliki kekuatan untuk menetapkan standar harga dan kualitas rokok yang ada dalam pasar yang secara tidak langsung akan memberikan reaksi perusahaan pesaing lain untuk menyesuakan diri.

B. KRITIK DAN SARAN. 1. Dari makalah yang telak kami buat ini kami berharap negara Indonesia tidak hanya memanfaatkan rokok sebagai penghasil devisa negara, tetapi juga sebagai motivasi untuk mengurangi jumlah kematian akibat rokok dan pengeluaran bea cukai yang cukup besar untuk produksi rokok. 2. PT. Gudang Garam walaupun sangat membantu sebagai penerimaan penghasilan negara tetapi juga sebagai neraka bagi Indonesia, karena banyaknya jumlah kematian yang dihadapi rakyat Indonesia karena rokok. Tetapi juga PT. Gudang Garam sebagai sponsor terbesar untuk menuju kemajuan negara. DAFTAR PUSTAKA http://www.gudanggaramtbk.com/indonesia/ file:///F:/SOPSIKIL/analisis-sederhana-hubungan-pendapatan.html http://www.google.co.id/search?tbm=isch&hl=id&source=hp&biw=1116&bih=448&q=pere konomian+indonesia+di+era+sebelum+orde+baru&gbv=2&oq=perekonomian+indonesia+di +era+sebelum+orde+baru&aq=f&aqi=&aql=&gs_l=img.3...448l10457l0l11807l36l35l1l20l2 0l1l388l2549l5j4j1j4l14l0.frgbld.#hl=id&gbv=2&biw=1116&bih=448&tbm=isch&sa=1&q= +C.%09MELIHAT+DARI+ANALSIS+HUBUNGAN+KEUNTUNGAN+DARI+PABRIK+ ROKOK+PT.+GUDANG+GARAM+PADA+TAHUN+2007.&oq=+C.%09MELIHAT+DA RI+ANALSIS+HUBUNGAN+KEUNTUNGAN+DARI+PABRIK+ROKOK+PT.+GUDAN G+GARAM+PADA+TAHUN+2007.&aq=f&aqi=&aql=&gs_l=img.12...0l0l13l145l0l0l0l0l 0l0l0l0ll0l0.frgbld.&pbx=1&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb&fp=8a585b9f3d640316

http://herlinamayangsari.blogspot.com/2012/04/analisis-keuntungan-dan-kerugian-rokok.html

STRUKTUR INDUSTRI ROKOK


I. A. Latar Belakang PENDAHULUAN

Keberadaan industri rokok di Indonesia memang dilematis. Di satu sisi ia diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah karena cukai rokok diakui mempunyai peranan penting dalam penerimaan negara. Namun di sisi

lainnya dikampanyekan untuk dihindari karena alasan kesehatan. Peranan industri rokok dalam perekonomian Indonesia saat ini terlihat semakin besar, selain sebagai motor penggerak ekonomi juga menyerap banyak tenaga kerja. Industri rokok di Indonesia mengalami pertumbuhan fenomenal. Resesi ekonomi yang dimulai dengan krisis moneter sejak Juli 1997 tidak terlalu berpengaruh dalam kegiatan industri tersebut. Pada Tahun 1994 penerimaan negara dari cukai rokok saja mencapai Rp 2,9 triliun, Tahun 1996 meningkat lagi menjadi Rp 4,153 triliun bahkan pada tahun 1997 yang merupakan awal dari krisis ekonomi penerimaan cukai negara dari industri rokok menjadi Rp 4,792 triliun dan tahun 1998 melonjak lagi menjadi Rp 7,391 triliun (Indocommercial, 1999: 1). Dalam industri rokok, dominasi dari para pelaku utama bisnis ini sudah cukup dikenal. Pada tiga tahun (tahun 1999, 2000, 2001) ternyata 3 perusahaan rokok, yaitu PT.Gudang Garam Tbk, PT. HM Sampoerna Tbk dan PT. Djarum, selalu masuk dalam jajaran Sepuluh Besar Perusahaan Terbaik di antara 200 Top Companies di Asia yang disusun peringkatnya oleh majalah Far Eastern Economic Review (FEER). Di tengah krisis ekonomi yang dinilai belum tampak pangkal akhirnya, sungguh melegakan bahwasetidaknya ada 10 perusahaan yang masuk kategori berkinerja prima di antara 200 perusahaan terbaik di kawasan Asia. Menariknya, di antara 10 besar tersebut, tiga di antaranya merupakan raksasa kretek Indonesia. Hal ini patut menjadi poin analisis terhadap struktur industri rokok yang sangat besar terutama untuk rokok kretek. Dimana hasil analisis nantinya dapat memberikan gambaran dari struktur industri rokok (rokok kretek) di Indonesia.

B. Rumusan Masalah Keadaan industri rokok secara umum dan industri rokok kretek secara khususnya yang merupakan salah satu industri yang tetap bertahan hingga kini melewati krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 memunculkan pertanyaan yang patut dianalisis yaitu Bagaimanakah struktur industri rokok (rokok kretek) di Indonesia?.

C. Tujuan dan Manfaat Pembahasan Adapun tujuan pembahasan ini untuk mengetahui struktur industri rokok terutama industri rokok kretek di Indonesia. Hal ini berguna sebagai sumber informasi pendukung dalam pembelajaran keilmuan ekonomi industri.

II. A. Sejarah Rokok

INDUSTRI ROKOK INDONESIA

Tulisan awal tentang tembakau berasal dari Christophorus Columbus tahun 1492, yang melaporkan penduduk asli Benua Amerika senang menghisap tembakau untuk mengusir rasa letih. Daun tembakau juga digunakan untuk keperluan upacara ritual dan bahan pengobatan di kalangan Suku Indian. Kemudian para penakluk dan penjelajah dari Eropa mulai menghisap daun tembakau sehingga kebiasaaan ini menyebar keseluruh penjuru dunia (Budiman & Onghokham,1987). Rokok merupakan benda yang tidak asing lagi bagi penduduk Indonesia malahan keberadaan rokok di Indonesia sudah mengakar. Legenda percintaan antara Roro Mendut dan Pranacitra yang menampilkan ikon rokok sebagai obyek dari cerita yang ada di Jawa tersebut membuktikan bahwa keberadaan rokok di tanah Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya sudah mapan. Legenda tersebut mengkisahkan Roro Mendut yang dibebani pajak oleh Tumenggung Wiraguna sebesar tiga real sehari yang disebabkan cintanya ditolak oleh Roro Mendut. Untuk membayar pajak yang dibebankan oleh Tumenggung Wiraguna maka Roro Mendut membuka home industryrokok. Rokok produksi Mendut diserbu peminat khususnya kaum pria, salah satunya adalah Pranacitra yang kemudian menjalin cinta dengan Mendut. Kebiasaan merokok mulai menyebar di pulau Jawa karena adanya kabar bahwa kebiasaan merokok dapat menyembuhkan sakit bengek atau sesak napas. Mula-mula Haji Djamari penduduk Kudus yang menderita sakit di bagian dadanya mempelopori penggunaan minyak cengkeh dalam mengobati penyakitnya dan ternyata penyakitnya mulai sembuh.

Dengan naluri bisnisnya maka Haji Djamari mulai membuat rokok obat yang diproduksi dalam skala industri rumah tangga dan laku di pasaran. Pada saat itu rokok obat lebih dikenal dengan nama rokok cengkeh, kemudian sebutan tersebut berganti menjadi rokok kretek karena bila rokok ini dibakar maka berbunyi berkemeretekan. (Budiman & Onghokham,1987) Perkembangan rokok kretek Indonesia dimulai di Kudus pada tahun 1890 kemudian menyebar ke berbagai daerah lain di Jawa Tengah antara lain Magelang, Surakarta, Pati, Rembang, Jepara, Semarang juga ke Daerah Istimewa Yogyakarta (Gatra, 2000: 54). Perkembangan industri rokok di Indonesia ditandai dengan lahirnya perusahaan rokok besar yang menguasai pasar dalam industri ini, yaitu PT. Gudang Garam,Tbk yang berpusat di Kediri, PT. Djarum yang berpusat di Kudus, PT.HM Sampoerna, Tbk yang berpusat di Surabaya, PT. Bentoel yang berpusat di Malang dan PT. Nojorono yang berpusat di Kudus. Rokok Indonesia memiliki cita rasa yang berbeda dengan rokok luar negeri yang biasa dikenal dengan nama rokok putih. Rokok Indonesia, yang dikenal dengan rokok kretek ( clove cigarette), mempunyai cita rasa yang berbeda karena adanya pemanfaatan bahan baku cengkeh (sebagai tambahan aroma) selain tembakau sebagai bahan pokoknya. Dalam sejarah perkembangannya produksi rokok cenderung mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, salah satu sebabnya adalah makin dikenalnya rokok kretek sehingga permintaan untuk rokok kretek meningkat. Sebelum tahun 1975 industri rokok Indonesia masih didominasi oleh rokok putih yang diimpor. Setelah tahun 1975 industri rokok kretek mampu menjadi primadona di negerinya sendiri.

B. Produksi Rokok Di Indonesia Indonesia menyumbang 2,1 persen dari persediaan daun tembakau di seluruh dunia. Hampir seluruh produksi daun tembakau digunakan untuk produksi rokok domestik dan produk-produk tembakau lainnya; namun antara tahun 1995-2005, sekitar 16-47 persennya diekspor. Di saat yang sama, Indonesia mengimpor daun tembakau yang cukup banyak sebesar 31 persen dari produksi domestik pada tahun 2005 (Tabel 1). Tabel 1. Produksi Tembakau, Rasio Ekspor Impor terhadap Produksi Domestic dan Nilai Ekspor Neto, 1995 - 2005

Pemanfaatan tanah pertanian di Indonesia untuk produksi daun tembakau adalah sekitar 1 persen (antara periode 1960 sampai 2000) dari luas lahan tanaman semusim, dan sejak tahun 2001 telah menurun sedikit. Fluktuasi produksi daun tembakau disebabkan oleh perubahan biaya input tenaga kerja, inputsektor pertanian dan pengolahan daun tembakau. Biaya input yang lebih tinggi menyebabkan petani mengalokasikan lebih sedikit waktu dan investasi untuk tanaman mereka. Cengkeh adalah bahan baku kedua terpenting dalam produksi kretek setelah tembakau. Indonesia memproduksi 76 persen dari persediaan cengkeh dunia. Lebih dari 90 persen produksi cengkeh dimanfaatkan secara domestik (kecuali tahun 1998, di mana 22 persen produksi cengkeh diekspor). Sebagian besar (72 persen) permintaan cengkeh tahunan berasal dari industri kretek. Sekitar 1,2 juta petani kecil memiliki 90 persen pohon cengkeh. Namun, seperti tembakau, menanam cengkeh bukan pekerjaan purna waktu. Penanaman cengkeh lebih tersebar, tetapi lebih dari dua pertiga persediaan cengkeh berasal dari pulau Sulawesi, provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Antara tahun 1995-2002, total produksi cengkeh menurun akibat monopoli cengkeh yang dibentuk pada tahun 1990, yang menetapkan harga beli dari petani. Setelah monopoli dibubarkan tahun 1998, harga riil cengkeh meningkat 13 kali lipat antara tahun 1998-2002

dan produksi juga meningkat. Pada tahun 2002, diberlakukan pembatasan impor cengkeh untuk memaksa kenaikan harga cengkeh demi kepentingan para petani. Dilihat dari jumlah perusahaan secara total, pada periode tahun 1981-2002 industri rokok cukup dinamis. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah perusahaanyang bergerak pada industri rokok kurun waktu tersebut telah mencapai 201perusahaan. Tahun berikutnya jumlah perusahaan mengalami penurunan sampai dengan tahun 1990 yang merupakan pada titik terendah, dengan jumlahperusahaan sebanyak 170. Pada tahun 1990, industri rokok mulai bangkit kembali, dan terus berkembang hingga sampai tahun 1995 dengan jumlah perusahaan mencapai 244 perusahaan. Tahun 1996, industri rokok kembali lesu, sehingga hanya 228 perusahaan. Setelah tahun 2000, industri rokok relatif stabil, hal ini terlihat dari jumlah perusahaan yang jumlahnya berkisar 244 sampai dengan 247 perusahaan.Dari total industri rokok tersebut, sebesar 84,6 persen terdiri dari industri rokok kretek (31420), sebesar 4,1 persen merupakan industri rokok putih (31430), dan sebesar 11,3 persen dari industri rokok lainnya (31440). Dilihat dari pertumbuhan, secara total industri rokok tumbuh rata-rata 3,2persen per tahun. Perusahaan rokok kretek (31420) tumbuh sebesar 4,64 persen per tahun, industri rokok putih (31430) tumbuh sebesar 1,01 persen per tahun, serta industri rokok lainnya (31440) tumbuh sebesar 1,98 per tahun. Jumlah perusahan rokok yang memproduksi rokok terlihat jelas mempengaruhi jumlah produksi rokok setiap tahunya. Hal ini juga mempengaruhi pangsa pasar penjualan rokok. Adapaun perubahan pangsa pasar perusahaan rokok besar tahun 1979 2005 disajikan dalam tabel. Tabel 2. Pangsa Pasar Perusahaan Rokok Besar, 1979 - 2005

C. Struktur Industri Rokok (Rokok Kretek) Di Indonesia Merujuk pada studi empiris yang dilakuakan Simon Bambang Sumarno, Alumnus Magister Manajemen UGM dan Mudrajat Kuncoro, Mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM, maka dapat dikatan bahwa struktur industri rokok (rokok kretek) di Indonesia adalah bersifat oligopoly. Dimana dalam analisisnya mereka menggunakan indikator rasio konsentrasi dan Indeks Herfindahl-Hirchsman (IHH). Berdasarkan analisis standar dalam ekonomi industri, struktur industri dikatakan berbentuk oligopoli bila 4 perusahaan terbesar menguasai minimal 40% pangsa pasar penjualan dari industri yang bersangkutan (CR4 = 40%). Dari tabel 2 kita dapat melihat pada tahun 1989 ada beberapa perusahaan yang memiliki pangsa pasar lebih dari 10 persen. Ini berarti bila 4 perusahaan saja (Gudang Garam, Djarum, Sampoerna dan Bentoel) yang di gunakan untuk perhitungan maka akan diperoleh CR4 = 41%. Hasil ini konsisten dengan studi Hornaday (1994: 129-132) dan laporan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) yang menunjukkan dominasi 4 perusahaan rokok PT Gudang Garam, Tbk., PT HM. Sampoerna, Tbk., PT Djarum dan PT Bentoel. Menurut GAPPRI pada tahun 1998, 22 pabrik rokok kretek terbesar dalam negeri memproduksi 164,1 miliar batang rokok kretek, terdiri dari rokok kretek yang digulung dengan tangan (SKT) sebesar 54,8 miliar batang, rokok kretek yang dihasilkan

dengan mesin (SKM) sebesar 109 miliar batang dan rokok klobot 253 juta batang. Berikut ini akan dikupas profil dan penguasaaan pasar keempat perusahaan tersebut. 1. PT. Gudang Garam, Tbk Perusahaan ini didirikan pada tahun 1958 di Kediri, pertama kali memproduksi klobot kretek. Berkat sistem manajemen yang profesional terutama menjelang tahuntahun awal 1980-an perusahaan ini melejit mendahului perusahaan-perusahaan lainnya. Perusahaan

ini menjadi perusahaan publik terbesar dalam industri rokok. PT Gudang Garam, Tbk adalah penguasa pangsa pasar terbesar industri rokok kretek di Indonesia yang menghasilkan 74,4 miliar batang rokok atau 45,4 % dari jumlah produksi 22 perusahaan terbesar yang bergabung dalam GAPPRI. Porsi sigaret kretek tangan (SKT) yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut terus menurun, pada tahun 1998 dari 74,4 miliar batang rokok yang dihasilkan 61,2 miliar batang rokok (82,1%) adalah sigaret kretek mesin (SKM), sementara produksi SKT dan klobot hanya 13,1 miliar (Indocommercial, 1999:1). Melalui merek andalannya, Gudang Garam hingga kini menguasai pangsa pasar hingga 50%. Sumbangan terbesar Gudang Garam diperoleh dari SKM dengan merek Gudang Garam Filter International. Merek dalam segmen SKM yang dimiliki oleh Gudang Garam antara lain Gudang Garam Surya 12, Gudang Garam Surya 16, Gudang Garam Filter International Merah 12, Gudang Garam Filter International Merah 16. Sedangkan merek dalam segmen SKT yang dimiliki Gudang Garam adalah Gudang Garam King Size 12, Gudang Garam King Size 16, dan Gudang Garam Surya Pro (Indocommercial, 2002: 4) 2. PT. HM. Sampoerna,Tbk Perusahaan ini didirikan oleh almarhum Liem Seng Tee sejak tahun 1913 yang memproduksi kretek merek Djie Sam Soe. Merek ini berarti angka 234 dengan filosofi bila dijumlahkan akan menghasilkan angka sembilan, yang dianggap keberuntunganmenurut kepercayaan Cina. Pada tahun 1930 status usahanya berubah menjadi PT dengan nama Handel Maatschappij Liem Seng Tee. Pada tahun 1963 nama perusahaan ini diubah menjadi PT. PD & I Panamas atau disingkat PT. Panamas dengan pemegang sahamnya Mr. Aga Sampoerna dan Mr Liem Swie Hwa. Pada tahun 1977 terjadi lagi perubahan dengan masuknya Mr. Putera Sampoerna anak dari Mr. Aga Sampoerna. Pada tahun 1988 namanya berubah menjadi PT. Hanjaya Mandala Sampoerna sekaligus dengan memasukkan beberapa pemegang saham baru. PT. HM Sampoerna telah go public pada bulan Juli 1990 dengan

menjual 15% sahamnya ke masyarakat atau sebanyak 27 juta lembar. (Indocommercial, 2002: 4). PT. HM. Sampoerna,Tbk merupakan perusahaan yang memegang pangsa pasar kedua setelah PT. Gudang Garam,Tbk. Dengan jumlah produksi 25 miliar batang rokok, poduksi SKMnya mencapai 9,4 miliar batang rokok atau hanya 37,6% dari total produknya. Produk SKT yang dimiliki Sampoerna saat ini adalah Djie Sam Soe dan Sampoerna Hijau. Di segmen SKM adalah Djie Sam Soe Filter, A King Merah dan A King Hijau, Serta A International yang menggunakan teknologi twin wrap. Untuk produksi SKM LTLNSampoerna mempunyai merek unggulan yaitu A Mild Merah 12 dan 16, A Mild Hijau 12 dan 16. 3. PT. Djarum PT. Djarum merupakan perusahaan rokok kretek terkemuka di Indonesia dan menguasai pangsa pasar industri rokok kretek terbesar ke tiga di Indonesia. Didirikan oleh Oei Wie Gwan dari sebuah pabrik rokok kecil di Kudus yang dibelinya pada tahun 1951. Nyaris punah pada saat terbakar dan saat Oei Wie Gwan wafat. Karena kegigihan dari dua bersaudara putra dari Oei Wie Gwan yang membangun kembali puing-puing yang tersisa sehingga PT Djarum dapat tetap bertahan. Mengawali sukses dengan sigaret kretek tangan (SKT), Djarum kemudian sukses juga merambah sigaret kretek mesin (SKM) (http://www.Djarum.Com, 23 April 2002). PT. Djarum menempati posisi ketiga dalam industri rokok kretek di Indonesia dengan jumlah produksi 20,9 miliar batang rokok dengan porsi SKM 9,3 miliar batang (44,5%).Pada tahun 1985 dan 1986 PT. Djarum pernah menduduki tempat teratas dalam produksi rokok kretek dalam negeri meninggalkan PT. Gudang Garam. Produk-produk Djarum disalurkan ke seluruh pelosok Indonesia dan mancanegara melalui jaringan distribusi terpadu dan terkomputerisasi yang dibangun untuk memberikan layanan profesional dan tepat waktu kepada para pelanggan. Distribusi pasar nasional dikelola oleh tiga perusahaan yaitu PT. Anindita Multiniaga Indonesia untuk wilayah Jawa Timur, Sulawesi, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, Nusa Tenggara dan Papua. PT. Lokaniaga Adipermata untuk Jawa Tengah dan Jawa Barat danPT. Adiniaga Sentrapersada untuk wilayah Jabotabek, sebagian Jawa Barat, Sumatera serta Kalimantan Barat. 4. PT. Bentoel PT. Bentoel didirikan di Malang, Jawa Timur pada tahun 1920. Produk pertamanya adalah rokok klobot dengan merek Burung. PT. Bentoel pernah menduduki posisi ketiga industri

rokok kretek di Indonesia, tetapi beberapa tahun lalu mengalami masalah karenabesarnya beban hutang di perusahaan tersebut. Tepatnya pada bulan Juni 1991 lalu, perusahaan tersebut tidak dapat membayar pinjaman setelah jatuh tempo sebesar US$ 45 juta kepada sindikasi bank international. Masalah ini timbul karena kesalahan dalam pengendalian keuangan sehingga PT. Bentoel terpaksa mengundang pihak luar yaitu PT. Rajawali Wira Bhakti Utama (RWBU). (Indocommercial, 2002: 6). Sumbangan PT. Bentoel dalam industri rokok kretek di Indonesia yaitu denganmempelopori dan mengembangkan sistem rolling otomatis pertama pada tahun 1968. Produk Bentoel di segmen SKT adalah Bentoel Merah, sedangkan untuk SKM adalah Bentoel International 12, untuk segmen SKM LTLN Bentoel mengeluarkan dua produkyaitu Star Mild dan Bentoel Mild.

III. A. KESIMPULAN

PENUTUP

Berdasarkan hasil dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa struktur indrustri rokok (rokok kretek) di Indonesia bersifat oligopoly. Hal ini terlihat jelas dengan adanya 4 perusahaan rokok besar yang memiliki pangsa pasar lebih dari 40%.

B. SARAN- SARAN

Diperlukan pembelajaran lebih lanjut terhadap metoda pengklasifikasian struktur suatu industri atau perusahaan. Baik melalui pendekatan indikator konsentrasi perusahaan maupun Indeks Herfindahl- Hirschman (IHH).

DAFTAR PUSTAKA http://strategika.wordpress.com/2008/08/04/mengukur-struktur-industri http://www.mudrajad.com/.../journal_struktur-kinerja-kluster-industri-rokok http://www.naikkan-hargarokok.com/.../EkonomicTobaccoIndonesiaBabV http:// www.docstoc.com Business Other


http://duniabirulaut.blogspot.com/2012/02/struktur-industri-rokok.html

You might also like