You are on page 1of 7

Tatacara Shalat Gerhana

Tidak ada satu kejadian di antara sekian banyak kejadian yang ditampakkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala di hadapan hamba-Nya, melainkan agar kita bisa mengambil
pelajaran dan hikmah dari kekuasaan yang Allah 'Azza wa Jalla tampakkan tersebut.
Yang pada akhirnya, kita dituntut untuk selalu mawas diri dan melakukan muhasabah.

Di antara bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala itu, ialah terjadinya gerhana.
Sebuah kejadian besar yang banyak dianggap remeh manusia. Padahal Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam justru memperingatkan umatnya untuk kembali ingat dan
segera menegakkan shalat, memperbanyak dzikir, istighfar, doa, sedekah, dan amal shalih
tatkala terjadi peristiwa gerhana. Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam
dalam sabdanya:

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah.


Sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak
pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka
berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah. (Muttafaqun ‘alaihi).

PENGERTIAN GERHANA

Dalam istilah fuqaha dinamakan kusûf. Yaitu hilangnya cahaya matahari atau bulan
atau hilang sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke warna hitam atau
gelap. Kalimat khusûf semakna dengan kusûf. Ada pula yang mengatakan kusûf adalah
gerhana matahari, sedangkan khusûf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur
menurut bahasa.1 Jadi, shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan
gerakan tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya.

HUKUM SHALAT GERHANA

Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Abu


‘Awanah Rahimahullah menegaskan wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula
riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah, beliau memiliki pendapat yang sama.
Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at.
Demikian pula Ibnu Qudamah Rahimahullah berpendapat, bahwa shalat gerhana
hukumnya sunnah muakkadah.2

Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib, berdasarkan perintah
yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Imam asy-Syaukani juga
menguatkan pendapat ini. Demikian pula Shiddiq Hasan Khân Rahimahullah dan Syaikh
al-Albâni Rahimahullah.3 Dan Syaikh Muhammad bin Shâlih ‘Utsaimin Rahimahullah
berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya, berdasarkan

sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam (jika kalian melihat, maka


shalatlah -muttafaqun ‘alaih).

Sesungguhnya, gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan. Nabi Shallallahu


'alaihi wa Sallam berkhutbah dengan khutbah yang agung, menjelaskan tentang surga dan
neraka. Semua itu menjadi satu alasan kuat wajibnya perkara ini, kalaupun kita katakan
hukumnya sunnah tatkala kita melihat banyak orang yang meninggalkannya, sementara
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam sangat menekankan tentang kejadian ini, kemudian
tidak ada dosa sama sekali tatkala orang lain mulai berani meninggalkannya. Maka,
pendapat ini perlu ditilik ulang, bagaimana bisa dikatakan sesuatu yang menakutkan
kemudian dengan sengaja kita meninggalkannya? Bahkan seolah hanya kejadian
biasa saja? Dimanakah rasa takut?

Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki argumen sangat kuat.
Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari atau bulan, lalu tidak peduli
sama sekali, masing-masing sibuk dengan dagangannya, masing-masing sibuk dengan hal
sia-sia, sibuk di ladang; semua itu dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah,
yang kita diperintahkan untuk mewaspdainya. Maka pendapat yang mengatakan wajib
memiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah.4

Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan
ulama.

Pendapat pertama. Sunnah muakkadah, dan dilakukan secara berjama’ah seperti


halnya shalat gerhana matahari. Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Ahmad,
Dawud Ibnu Hazm. Dan pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i,
Ishâq dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu'anhu.5 Dalil mereka:

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah.


Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan
tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka
berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai terang kembali. (Muttafqun ‘alaihi).

Pendapat kedua. Tidak dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam
Abu Hanifah dan Mâlik.6 Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat gerhana
bulan pada malam hari lebih berat dari pada pelaksanaannya saat siang hari. Sementara
itu belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam
menunaikannya secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada
kejadian gerhana matahari.

Manakah pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat pertama, karena Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kepada umatnya untuk menunaikan
keduanya tanpa ada pengecualian antara yang satu dengan lainnya (gerhana matahari dan
bulan).7 Sebagaimana di dalam hadits disebutkan:

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau
berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangya.
(Muttafaqun ‘alaihi).

Ibnu Qudamah Rahimahullah juga berkata: “Sunnah yang diajarkan, ialah


menunaikan shalat gerhana berjama’ah di masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam, walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri, namun
pelaksanaannya dengan berjama’ah lebih afdhal (lebih baik). Karena yang dilakukan
oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam ialah dengan berjama’ah. Sehingga, dengan
demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah menunaikannya di masjid.8

WAKTU SHALAT GERHANA

Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana tersebut
berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :

Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah
sampai kembali terang. (Muttafaqun ‘alaihi).

KAPAN GERHANA DIANGGAP USAI?

Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1)
terang seperti sedia kala, dan (2) gerhana terjadi tatkala matahari terbenam. Demikian
pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara,
yaitu (1) terang seperti sedia kala, dan (2) saat terbit matahari.9

AMALAN YANG DIKERJAKAN KETIKA TERJADI GERHANA :

1. Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana


sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :
Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah,
bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah. (Muttafaqun ‘alaihi).
2. Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana
disebutkan dalam hadits:

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian


beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di
belakangnya. (Muttafaqun ‘alaihi).
3. Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam
hadits Asma’ binti Abu Bakr Radhiallahu'anhuma berkata:

Aku mendatangi ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tatkala terjadi
gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian
pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat… (Muttafaqun ‘alaihi).
4. Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru
untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalâtu jâmi’ah” (shalat
akan didirikan), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr
Radhiallahu'anhuma, ia berkata:

Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa


Sallam diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan).
(HR Bukhâri).
5. Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah
Radhiallahu'anha berkata:

Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam , tatkala selesai shalat, dia


berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhâri).

TATA CARA SHALAT GERHANA

Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at. Hanya
saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara pelaksanaannya. Dalam masalah
ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama. Imam Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa
shalat gerhana ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali
membaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits, di
antaranya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu'anhu , ia berkata:

Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam , maka
beliau shalat dan orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama
(seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu
berdiri, lama sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang
pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari
ruku’ pertama. (Muttafaqun ‘alaihi).

Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu'anha, ia berkata :

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah melaksanakan shalat


ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir kemudian
membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya,
kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan: “Sami’allahu liman
hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang pertama, kemudian membaca,
panjang sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang
pertama, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’
yang pertama, kemudian sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada
raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian
salam… (Muttafaqun ‘alaihi).

Pendapat kedua. Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at,
dan setiap raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya shalat sunnah
lainnya. Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada dengannya, ialah hadits
Abu Bakrah, ia berkata:
Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam ,
maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai akhirnya
tiba di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang dilakukannya, kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam shalat bersama mereka dua raka’at. (HR
Bukhâri, an-Nasâ‘i).

Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama (jumhur ulama’),
berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal itu. Karena pendapat Abu
Hanifah Rahimahullah dan orang-orang yang sependapat dengannya, riwayat yang
mereka sebutkan bersifat mutlak (umum), sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh
jumhur (mayoritas) ulama adalah muqayyad.10 Syaikh al-Albâni Rahimahullah berkata : 11
“Ringkas kata, dalam masalah cara shalat gerhana yang benar ialah dua raka’at, yang
pada setiap raka’at terdapat dua ruku’, sebagaimana diriwayatkan oleh sekelompok
sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan riwayat yang shahih”. Wallahu a’lam.

Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.

1. Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fâtihah, dan


membaca surat panjang, seperti al- Baqarah.
2. Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
3. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan :

4. Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah
dan surat yang lebih ringan dari yang pertama.
5. Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari
ruku’ yang pertama.
6. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan :

7. Kemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi.
8. Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang
dilakukan pada raka’at pertama

Demikian secara ringkas penjelasan tentang shalat gerhana, semoga bermanfaat.


Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala ‘alihi washahbihi ajma’in.

Marâji’:

1. Al-Mughni.
2. Ar-Raudhah an-Nadiyah.
3. Asy-Syarhul-Mumti’.
4. Bidayatul-Mujtahid.
5. Irwâ‘ul Ghalil.
6. Raudhatuth-Thalibin.
7. Shahîh Fiqih Sunnah.
8. Tamamul-Minnah, dan lain-lain.
---------------------------------------------------------------------------------------------
1
Lisanul-‘Arab, Kasyful Qanna’, 2/60.
2
Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 3/330.
3
Fathul-Bâri (2/612), Tamamul-Minnah (261), ar-Raudhah an-Nadiyah (156).
4
Syarhul-Mumti’, 5/237-240.
5
Al-Umm (1/214), al-Mughni (2/420), al-Inshaf (2/442), Bidayatul-Mujtahid (1/160), dan
Muhalla (5/95).
6
Ibnu Abidin (2/183) dan Bidayatul-Mujtahid (1/312).
7
Shahîh Fiqih Sunnah, 1/433.
8
Al-Mughni, 3/323.
9
Al-Mughni (3/427), Raudhatuth-Thalibin (2/87).
10
Shahîh Fiqih Sunnah, 1/437.
11
Irwâ‘ul Ghalil, 3/132.

You might also like